Anda di halaman 1dari 5

Mata kuliah: Ilmu Perbandingan Agama

Pertemuan: II

Materi:

Sejarah Pertumbuhan dan Masa perkembangan Ilmu Perbandingan Agama

Tujuan Perkuliahan:

Mahasiswa memahami sejarah pertumbuhan dan masa perkembangan Ilmu Perbandigan


Agama

Tujuan Khusus:

1. Mahasiswa dapat menjelaskan sejarah pertumbuhan dan masa perkembangan Ilmu


Perbandingan Agama
2. Mahasiswa dapat menjelaskan manfaat dan tujuan mengetahui sejara pertumbuhan
dan masa perkembangan Ilmu Perbandingan Agama

Materi: Sejarah Ilmu Perbandingan Agama

Masa Yunani-Romawi
Sejarah Ilmu Perbandingan Agama dapat ditelusuri jauh pada masa Yunani-
Romawi yang di dalamnya terdapat beberapa tokoh yang melakukan studi perbandingan
terhadap agama-agama. Berdasarkan corak kepercayaan Yunani-Romawi yang
bersifat antropomorfis dan politeistis, maka karakteristik studi agama pada masa itu
menggambarkan religiusitas masyarakat yang bersangkutan. Seperti tokoh Herodotus (484-
425 SM), misalnya, menyatakan bahwa meskipun masyarakat Yunani menyembah banyak
dewa namun pada hakikatnya dewa-dewa itu sama, yaitu manifestasi dari manusia. Teori ini
dikenal dengan the equivalence of gods. Begitu pula tokoh Euhemerus (330-260 M),
mengatakan hal yang sama, bahwa dewa-dewa yang disembah masyarakat Yunani
Kuno berasal dari manusia.
Abad Pertengahan
Selanjutnya pada abad ke-9, Barat mulai melakukan kajian terhadap agama-agama.
Kajian ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu: Pertama, sinkretisme yang dilakukan oleh
sebagian umat Kristiani yang secara formal memeluk Kristen, namun dalam praktiknya masih
sering mengamalkan tradisi keagamaan non-Kristen. Atas dasar ini, orang Barat mengkaji
tradisi keagamaan tersebut guna memisahkan tradisi keagamaan Kristen dengan non-Kristen.
Kedua, ditemukannya area baru yang didalamnya terdapat kepercayaan-kepercayaan di luar
agama Kristen yang sebelumnya belum diketahui. Ketiga, penemuan area baru dengan banyak
kepercayaan di luar Kristen menumbuhkan semangat missionaris Kristen untuk menyebarkan
ajarannya. Beberapa tokoh pada periode ini melahirkan teori-teori berdasarkan latar belakang
kajian agama-agama tersebut. Roger Bacon (1214-1294) misalnya, orang Inggris yang dalam
lingkungan Eropa merupakan orang pertama yang ahli dalam bidang perbandingan sejarah
agama. Berdasarkan pendekatan tersebut ia menemukan beberapa tipologi agama. Tokoh lain
adalah Lord Herbert (1583-1648) yang juga ahli dalam studi perbandingan, mengungkapkan
bahwa yang membedakan manusia dengan makhluk yang lainnya adalah agama. Oleh sebab
itu tidak ada yang disebut dengan Ateis, karena
ateis sebenarnya hanyalah orang yang berkeberatan untuk meyakini dan
mempercayai Tuhan.
Zaman Modern
Menjelang abad ke-19 yaitu saat-saat kemunculan Ilmu Perbandingan Agama, orientasi
studi agama mengalami perubahan disebabkan oleh adanya semangat serta kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pada masa kemajuan inilah kemudian kecenderungan untuk
mengkaji agama secara kritis dan ilmiah berkembang dengan pesat. Agama dijadikan sebagai
pokok pembicaraan, baik dari segi praktis maupun teoretis. Berkenaan dengan hal ini ada
beberapa alasan yang mendukungnya, yaitu:

1. Kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempengaruhi
dinamika beragama masyarakat saat itu, sehingga kecenderungan untuk mengkaji
agama secara ilmiah dan kritis menjadi sangat tinggi.
2. Kecenderungan untuk merekonstruksi agama sebagai upaya untuk
mengembangkannya dalam semua bidang urusan dunia.
3. Pengaruh-pengaruh social, politik, dan peristiwa-peristiwa internasional terhadap
agama-agama.
Berangkat dari beberapa alasan tersebut kemudian studi agama mulai meninggalkan
model kajiannya yang bersifat primordial dan mementingkan upaya penyebaran agamanya
sendiri menuju model studi yang metodologis dengan beragam pendekatan yang sesuai
dengan keahlian para pengkaji agama tersebut. Frederich Max Muller, seorang
ahli filologi dan sarjana besar berkebangsaan Jerman menyampaikan pidatonya pada 19
Februari 1970 di Royal Institution, London, dengan judul Introduction to the Science of
Religion. Titik inilah yang menjadi awal sebenarnya dari sejarah berdirinya Ilmu
Perbandingan Agama. Pasalnya kemudian pidato Max Muller ini dicetak dalam sebuah buku
yang dianggap sebagai dokumen besar bagi Ilmu Perbandingan Agama dunia, dan Max
Muller berdasarkan hal tersebut dianggap sebagai Bapak Ilmu Perbandingan Agama.

Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di Yunani dan Romawi Kuno

Ilmu perbandingan agama mulai mencapai masa keemasan yaitu sekitar abad ke-19
masehi. Pencapaian masa tersebut merupakan usaha dua tokoh besar ilmu perbandingan
agama yaitu seorang sarjana belanda ahli mesir yang bernama “C.P Tiele” dan seorang ahli
filologi kelahiran jerman yang bernama “Friedrich Max Muller”. Namun ilmu ini telah di
bahas jauh sebelum masa tersebut, yaitu ketika masa Yunani dan Romawi Kuno. Munculnya
ilmu ini di sebabkan rasa ketertarikan Yunani dan Romawi Kuno terhadap agama lain yang
memiliki ajaran yang berbeda. Metode yang di gunakanpun tidak jauh berbeda dengan metode
yang di gunakan pada saat ini dimana metode yang di gunakan adalah studi kritik terhadap
bentuk-bentuk agama yang di pelajari. Selain itu, metode yang digunakan adalah dengan
metode Fenomenologi dan Perbandingan. Metode Fenomenologi adalah metode dengan cara
mencatat dan mendekskripsikan gejala-gejala agama sesuai dengan kejadian dan
meninggalakan segala asumsi yang bersifat subjektif. Sedangkan metode perbandingan adalah
metode dengan cara membandingkan agama satu dan agama lainnya untuk mencari
persamaan universal dari semua agama.
Xenophanes dan Colophon merupakan tokoh awal ilmu perbandingan agama di Yunani.
Mereka adalah filusuf yang dalam usahanya telah melakukan studi kritik terhadap bentuk
keagamaan di Yunani. Menurut Xenophanes “tidak seorang pun mengetahui atau dapat
mengetahui tentang hakikat para dewa, karena semua yang di katakan tentang dewa-dewa
tersebut hanya merupakn pendapat (DOXA) saja”. Studi kritik tersebut dilancarkan pada dua
aspek yaitu pada antropromis dan immoral.

Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di Yahudi dan Kristen

Sebelumya telah di jelaskan tentang peradaban yunani yang mencerminkan sikap


terbuka dan toleran. Hal demikian terbukti dengan munculnya ilmu perbandingan agama di
Yunani berbeda dengan yahudi yang memiliki sikap intoleran dan eksklusif. Yahudi memilki
kepercayaan dan bertanggung jawab untuk menjaga kemurnian tehadap yahweh, sikap
tersebut muncul sebagai reaksi terhadap agama yang ada pada saat itu yaitu agama kan’an
yang memiliki dewa dewi yang banyak. Maka munculnya ilmu perbandingan agama di yahudi
sangat sulit karna reaksi yang ada pada kaum yahudi itu sendiri.
Sikap intoleran yang ada pada agama yahudi ini tidak berhenti sampai di sini, bahkan
melanjut sampai kepada agama keristen yang menyatakan bahwasanya tidak ada keselamatan
di luar gereja dan keselamatan hanya dengan mengimani yesus kristus sebagai tuhan, mereka
bahkan sampai menyerang agama lain yang tidak sesuai dengan ajaran agama mereka.
Menurut mereka, ajaran di luar kristen merupakan karya setan atau roh jahat lainnya. Hal
demikian sebagaman yang sering dikemukakan oleh para apologiste kristen abad ke 2 masehi
seperti Justin Martyr,Tatian,Minucius, Felix, Tertulian, dan Cyprian.

Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di Barat

Sejarah ilmu perbandingan agama dapat terbagi atas tiga fase. Pertama, pada abad ke-
15 dan 16 yang merupakan awal munculnya ilmu perbandingan agama. Kedua, pada abad ke-
17 dan 18 yang merupakan titik perkembangan dan pertumbuhan ilmu perbandingan agama.
Ke tiga, abad ke-19 yang merupakan puncak keemasan ilmu perbandingana agama.
Seperti yang kita ketahui, di abad 15-16 adalah abad di mana terjadinya masa
Renaissans yang menimbulkan dua fenomena yaitu munculnya perhatian terhadap studi
mithologi dan di lakukan perjalanan-perjalanan eksplorasi ke negara-negara lain. Akan tetapi
gerakan reneissens ini hanya memilki dampak yang sedikit terhdapa ilmu perbandingan
agama. Hal itu terbukti dengan jumlah tokoh yang mengkaji tentang ilmu perbandingan
agama tidak terlalu banyak. Seperti Martin Luther yang mengkaji tentang islam dan Zwingli
yang tertarik dengan filsafat yunani. Setelah melihat dari apa yang terjadi, abad ini hanya
dapat di katakan sebagai titik awal munculnya ilmu perbandingan agama saja, karena
susuahnya perkembangan ilmu perbandingan agama pada abad ini.
Perkembangan ilmu perbandingan agama terlihat pada abad ke 17-18 dengan
munculnya gerakan konter-reformasi, yaitu kelompok masyarakat yesus (The Society of
Yesus) dan perluasan misi ke Amerika utara, Asia timus, India dan Cina. Perhatian lebih
kemudian muncul pada studi agama di cina. Menurut Matteo Ricci ajaran konfusius tentang
hakekat tuhan sama dengan ajaran gereja, dan ajaran konfusius untuk tidak memuja langit
yang tidak terlihat akan tetapi memuji tuhan yang tidak terlihat, tuhan langit dengan mudah di
serap menjadi ajaran agama keristen.
Selanjutnya, terjadi penulisan buku-buku tentang cina oleh barat dengan komentar
atau tanpa komentar. Hal ini merupakan bukti perkembangan ilmu perbandingan agama pada
abad ini. Selain itu pada tahun 1625, di terbitkan sebuah karya dengan judul Lord Herbert Of
Cherbury, De Veritate, yang menjelaskan tentang paham deisme sebagai bentuk theologi yang
koheren. Paham ini berusaha untuk mencari titik temu dari semua agama dan sebagai
denominator umum bagi semua agama.
Fase terakhir, yaitu fase keemasan ilmu perbandingan agama terjadi pada abad ke 19.
Fase ini di tandai dengan ekspedisi Napoleon Bonaparte ke Mesir pada tahun 1798 M, yang
merupakan fase sebelumnya. Oleh karena itu, pada awal abad ke -19 mulai bermunculan studi
agama-agama yang bahan dasarnya dari Indo-Eropa.[10] Kemudian pada tahun 1856, terbit
sebuah buku dengan judul Comparative Mythology oleh Max Muller. Kemudian di susul
setelahnya pada tahun 1870 dengan judul Introduction to the Science of Religions.[11] Berkat
jasanya dan perjuangannya di bidang ilmu perbandingan agama ia di nobatkan sebagai bapak
ilmu perbandingan agama di dunia barat.
Spencer merupakan tokoh yang juga memilki peran dalam perkembangan ilmu
perbandinagan agama. Dalam bukunya First Principles yang di terbitkan pada tahun 1862,
Spencer menyatakan bahwa benda benda berkembang secara uniform dari bentuk bentuk
sederhana menuju bentuk bentuk yang lebih kompleks. Evolusi katanya adalah perubahan dari
suatu homogenitas tidak menentu dan inkoheren menuju bentuk heterogenitas tertentu dan
koheren, melalui diferensiasi dan integrasi yang terjadi secara terus menerus. Memang sekilas
dari pendapat diatas tidak menunjukan peran Spencer dalam menjelaskan asal usul agama.
Namun arti penting Spencer dapat telihat dari ushanya menjelaskan, bahwa agama sangat
mungkin urntuk dikaji dengan menggunakan teori evolusionistik.
Kemudian pada tahun 1896 – 1898, seroang sarjana belanda yang bernama C.P Tiele
menjelaskan tentang kuliah kuliah Gifford, dan diterbitkan setelahnya sebuah buku dengan
judul Elements of the Science of Religions. Buku itu menjelaskan perpindahan masa transisi
babak pertama menuju babak ke dua. Walaupun buku ini dalam studinya masih terdapat
unsur-unsur spekulatif dan metode historis namun teori evolusi telah muncul didalamnya.
Abad ke-19 terbagi menjadi tiga babak yaitu babak pertama sangat mementingkan penelitian
terhadap kesetaraan disertai dengan kegilaan penemua-penemuan baru. Pada babak ke dua
cenderung mengabaikan perbedaan-perbedaan karena menyukai kesamaan-kesamaan. Kedua
babak ini masih di pengaruhi oleh historisime shingga kajian agama bersifat historis. Ketika
perang dunia pertama meletus terjadi perubahan besar. Historisisme yang menguasai babak
sebelumnya mulai memudar walaupun penelitian-penelitian bahasa dan psikologi masih
berlanjut dan metode positivisme tetap bertahan. Babak ke tiga di tandai dengan munculnya
kembali kajian filsafat dan theologi, yang sebelunya runtuh akibat perkembangan positivisme
dan historisisime. Pada babak ini ilmu perbandingan agama menenpati posisi yang strategis di
dalam filsafat. Babak ini di warnai dengan tiga hal : pertama, keinginan untuk mengatasi
perselishan-perselisihan yang timbuk akibat spesialisasi dan perbidangan yang terlalu
berlebihan, malalui suatu pandangan yang terpadu. Kedua, keinginan untuk mengkaji hakikat
pengalaman keagamaan secara mendalam. Ketiga, munculnya pembahasan masalah
epistemologis yang wujud akhirnya dalah metafisis.

Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di Islam

Munculnya ilmu perbandingan agama dalam islam di tandai dengan munculnya tokoh-
tokoh ilmu perbandingan agama seperti Ibnu Hazm Alandalusy (wafat 1013 M), As-
Shahrastani (wafat 1153 M), Abu Royhan Al-Birruni (wafat 1048 M), Abu Hamid Al-Ghazali
(wafat 1111 M).
Ibnu Hazm Al-Andalusy merupakan tokoh ilmu perbandingan agama dengan
Karangannya adalah Al-Fashl fil Milal Wal Ahwa Wa Nihal. Ibnu Hazm menjelaskan di
dalam bukunya tentang pembagian Kristen menjadi dua golongan. Golongan politeistis dan
golongan yang masih berpegangan teguh dengan ajarannya. Golongan politeistis adalah
mereka yang ajarannya telah di selewengkan oleh Yahudi dan kaum mereka sendiri. Selain itu
Ibnu Hazm mengungkapkan terdapat 78 pasal dalam kitab injil yang saling bertentangan
sehingga dapat di simpulkan bahwa kitab Injil bukanlah berasal dari wahyu.
Kecerdasan Ibnu Hazm terlihat dari pemahamannya terhadap perjanjian lama dan
perjanjian baru yang tergambarkan dalam karya agungnya di atas. Selain itu karena kritikan
yang tajam terhadap umat Kristen dan sumbangan yang besar terhadap ilmu perbandingan
agama, para sarjana barat dan islamis barat memberikan pengakuan dan pengukuan terhadap
karya-karyanya.
Ilmu perbandingan agama dalam Islam selanjutnya di kembangkan oleh seorang theolog
terkemuka yang telah mendapat epresiasi besar dari Timur maupun di Barat. Diapun telah
berhasil merekam sejarah panjang pemikiran para filusuf, theolog, ahli hikmah termasyhur
dari penjuru dunia serta berbagai bentuk agama, kepercayaan, sekte lainnya di luar Islam di
dalam sebuah buku yang berjudul Al-Milal wa Al-Nihal.
Namun perkembangan ini hanya bersifat apologis, yaitu jawab atas kritik Kristen
terhadapap islam. Sebagaimana Ahmand As-sanhaji Al-qorafi yang menulis tentang Al-
Ajwibah Al-Fakhirah an Al-As’ilah Al-Fajirah. Kitab ini berisi tentang jawaban atas buku
yang dikarang oleh Uskup dari Sidon dengan judul Risalah ila Ahad Al-Muslim. Lalu
Muhammad Abduh menulis buku Al-Islam Wa Al-Nasroniah Ma’a Al-Ilmi Wa Al-
Madaniayah sebagai jawaban terhadap tulisan-tulisan Farah Antum dalam Al-Jami’ah.
Ada dua faktor yang menybabkan ilmu perbandingan agama kurang berkembang dalam
Islam di antar lain sedikitnya literatur-literatur orisinil yang berasal dari penilitian dan
pengkajian langsung terhadap agama. Selain itu kurangnnya perhatian agama islam terhadap
ilmu-ilmu yang bersifat empiris dan lebih mementingkan ilmu yang bersifat theologis, seperti
Tauhid, Fiqh, Ilmu Kalam, Tasawuf dan Ulum Al-Hadits.

Sumber Referensi:
Djam’annuri “Studi Agama-Agama, Sejarah dan Pemikiran” Pustaka Rihlah, Jogjakarta:
2003. Hal: 19
https://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_perbandingan_agama

Ariyanto, M. Djarot. Ilmu Perbandingan Agama. Suhuf, Vol. XVIII, No. 02 (November
2006).Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai