Anda di halaman 1dari 16

Ontologi Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Islam (Hakikat Wujud Menurut

Ibn Sina dan Perbandingannya Dengan Ontologi Barat )

Dosen Pengampu: Dr. H. Sholihan, M.Ag.

Raden Arfan Rifqiawan


Nim: 2100029050

PROGRAM DOKTORAL
PASCASARJANA UIN WALISONGO SEMARANG
TAHUN 2022
Abstract
The purpose of this article is to understand the ontology of existence according to Ibn Sina and
western philosophers. The western world states that Ibn Sina only follows the ontology of being
proposed by Greek and Roman philosophers, especially since the Renaissance, when the western
world began to abandon church dogmas, and also made rationality oriented to Greek and Roman
thought as the main reference in realizing progress. . This statement arose because Ibn Sina was a
scientist who graduated from Baitul Hikmah at the time of the Abbasid Caliphate in Baghdad,
where Baitul Himah was the largest library of its time and was the center for the translation of
ancient manuscripts from various worlds including Greece and Rome. Furthermore, whether the
ontology of existence according to Ibn Sina only followed the opinions of Greek and Roman
philosophers, or did Ibn Sina put forward a new theory on the ontology of existence,
and how western philosophy explains it will be described in this article.

Keyword: Ibn Sina, Ontology of Being, Western Philosopher

Abstrak

Tujuan artikel ini adalah untuk memahami ontologi tentang wujud menurut Ibnu Sina dan filosof
barat. Dunia barat menyatakan bahwa Ibnu Sina hanya mengikuti ontologi wujud yang
dikemukankan oleh filosof Yunani dan Romawi, terlebih sejak masa Renaisans, ketika dunia barat
mulai meninggalkan dogma-dogma gereja, dan juga menjadikan rasionalitas yang berkiblat pada
pemikiran Yunani dan Romawi sebagai rujukan utama dalam mewujudkan kemajuan. Pernyataan
itu muncul karena Ibnu Sina adalah ilmuan lulusan Baitul Hikmah pada zaman kekhalifahan
Abbasiyah di Baghdad, di mana Baitul Himah adalah perpustakan terbesar pada masanya dan
merupakan tempat pusat penerjemahan manuskrip kuno yang berasal dari berbagai dunia termasuk
Yunani dan Romawi. Selanjutnya, apakah hakikat wujud menurut Ibnu Sina hanya mengekor
pendapat filosof Yunani dan Romawi, ataukah Ibnu Sina mengemukakan teori baru tentang
hakikat wujud, dan bagaimana filosofi barat menjelaskan hal tersebut akan diuraikan dalam
artikel ini.

Keyword: Ibnu Sina, Ontologi Wujud, Filosof Barat

1
1. Pendahuluan
Sebelum membahas hakikat wujud menurut Ibnu Sina, harus diketahui bagaimana biografi
kehidupannya, karena pemikiran seseorang itu juga dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya dan
kepada siapa seseorang itu belajar.
Ibnu Sina dikenal sebagai dokter yang masyhur di Persia, seoarang filosof muslim serta
dianggap bapak kedokteran modern. Lahir pada tahun 980 M di Bukhara, Uzbekistan. 1 Ibnu Sina
memperoleh fasilitas dari kekhalifahan setelah merawat Sultan Bukhara dan Hamadan. Dia juga
dikenal sebagai pakar diagnosis penyakit. Dia yang dalam bahasa Latin namanya disebut Avicenna
ini, mendalami skill yang hebat, di bidang yang tidak diminati orang lain.
Pada saat usia 10 tahun dia telah hafal al-Quran dan tidak lama kemudian sudah mulai
mempelajari ilmu kedokteran di Baitul Hikmah pada zaman Kekhalifahan Abbasiyah. Belajarnya
sanagat cepat dan nilainya baik. Setelah itu, dia mengabdikan seluruh kegiatannya untuk
mempelajari ilmu medis. Pada umur 18 tahun dia sudah diangkat statusnya menjadi dokter. Dalam
zaman itu dia sukses mengobati Nuh Ibnu Mansour, pemimpin dinasti Samaniyyah.2
Dia memadukan ilmu medis ilmiah dengan filsafat yang tertuang dalam bukunya, Al Qanun
fil-Tibb (The Canon of Medicine) dan Kitab Al Shifa (The Book of Healing). 3 Bukunya The Canon
of Medicine telah diterjemahkan ke banyak bahasa dan dijadikan literatur pokok dalam dunia
kedokteran pada abad pertengahan dan masih terus dipakai hingga abad 18. Buku tersebut berisi
berbagai cara pengobatan kuno dari berbagai negara dan pengobatan Islam. Isinya terdiri lima jilid
dan lebih dari satu juta kata.4
Bukunya yang lain adalah "The Book of Healing", yang merupakan buku kamus ilmiah
yang dibuat secara filosofis. Tujuan dari penulisannya adalah untuk penyembuhan mental. Dalam
tulisannya, Ibnu Sina juga mendefinisikan penyakit menular seperti TBC. Dia juga menemukan
bahwa penyebaran penyakit itu bisa melalui tanah dan air, jauh beberapa abad sebelum Louis
Pasteur. Dia juga meneliti stabilitas emosi manusia, jauh hari sebelum metode biofeedback
diketemukan.5
Kerja ilmiahnya sangat lengkap, memadukan pemikiran Aristotelian, Neo-Platonis, dan
para mutakallimin sunni.6 Cara berfikirnya luar biasa. Dia memisahkan segala pengetahuan
1
D. Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 124.
2
Muhammad Irfandi Rahman dan Nida Shofiyah, “RELEVANSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU SINA
PADA PENDIDIKAN MASA KINI,” TARBAWY : Indonesian Journal of Islamic Education 6, no. 2 (30 November
2019): 145, https://doi.org/10.17509/t.v6i2.20640.
3
Harun Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), 68–69.
4
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam. Cet. ke-2 (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 170–71.
5
Sudarmadi Putra, “KLASIFIKASI ILMU DALAM PERSPEKTIF IBNU SINA,” Sanaamul Qur’an - Jurnal
Wawasan Keislaman 1, no. 2 (2019): 1, https://jurnal.stimsurakarta.ac.id/index.php/sanaamul-quran/article/view/33.
6
Kamaruddin Mustamin, “Filsafat Emanasi Ibnu Sina,” Farabi (e-Journal) 16, no. 1 (1 Juni 2019): 84,
https://doi.org/10.30603/jf.v16i1.1084.

2
menjadi teori dan praktis, dimana yang termasuk teori itu antara lain (matematika, astronomi,
kimia, fisika dan metafisika) dan ilmu praktis antara lain filsafat, ekonomi, etika dan politik.
Sedangkan pemikiran nalarnya mengenai kebenaran Tuhan dan kehidupan, membuatnya
merumuskan bahwa segala wujud itu terbagi dua, yaitu fisik dan non fisik.
Sumbangan lainnya adalah penemuan penyakit meningitis, anatomi jantung, dan sistem
saraf dan otot, bidang anatomi tubuh manusia, ginekologi, dan pediatri modern.7
Dalam bukunya, dia merumuskan sistem logika Avicennian. Dalam matematika, Ibnu Sina
menguariakan mengenai aritmatika.8
Salah satu bentuk penghormatan untuknya adalah dipajangnya lukisan dirinya di auditorium
utama Fakultas Kedokteran Universitas Paris.9 Sementara peristirahatan terakhirnya, di daerah
Hamadan, Iran, lokasi wafatnya pada 1037 M, menjadi tujuan rekreasi dan banyak diziarahi
orang.10

2. Pembahasan
2.1 Pengertian Ontologi
Untuk membahas ontologi tentang wujud, harus didefinisikan terlebih dahulu apa itu
ontologi dan apa itu wujud. Membahas ontologi tentunya tidak bisa dipisahkan dari bahasan filsafat.
Menurut bahasa kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata ontos dan logos. Ontos
berarti suatu wujud, sedangkan logos artinya ilmu.11
Adapun Susanto menyatakan bahwa akar kata on itu sama dengan being, dan logos itu
sama dengan logic yang memiliki makna teori tentang wujud. Adapun secara terminologi, ontologi
merupakan cabang filsafat mengenai hakikat hidup.12
Sedangkan objek bahasan ontologi terdiri dari, wujud individu, wujud umum, wujud
terbatas, wujud tidak terbatas, wujud universal, dan wujud absolut Tuhan Yang Maha Esa tak
terbilang. Istilah ontologi tersebut sering dipakai dalam bahasan filsafat. Dari uraian di atas , bisa

7
Ahmad Ridlo Shohibul Ulum, Ibnu Sina: Sarjana, Pujangga, dan Filsuf Besar Dunia Biografi Singkat 980-
1037 M (Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia, 2018), 27–28.
8
Nur Anwar, “BELAJAR LEBIH DARI MATEMATIKAWAN MUSLIM,” ITQAN : Jurnal Ilmu-Ilmu
Kependidikan 8, no. 2 (13 Desember 2017): 32.
9Taurus Tamaji, “Al-Fakkaar: Jurnal Ilmiah Pendidikan Bahasa Arab Vol. 1 No. 2 Agustus 2020 80
PEMBELAJARAN BAHASA ARAB DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT,” 19, diakses 13 Mei 2022,
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:yhBtEP7UCq8J:e-jurnal.unisda.ac.id/index.php/ALF/article/
download/2049/1377+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=ubuntu.
10
Parlaungan Parlaungan, Haidar Putra Daulay, dan Zaini Dahlan, “PEMIKIRAN IBNU SINA DALAM
BIDANG FILSAFAT,” Jurnal Bilqolam Pendidikan Islam 2, no. 1 (15 Juli 2021): 82,
https://doi.org/10.51672/jbpi.v2i1.51.
11
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 69.
12
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologi, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta:
Bumi Aksara, 2011), 91.

3
diartikan bahwa ontologi adalah esensi mengenai wujud yang terdiri wujud yang pasti ada dan
mungkin ada 13
Wujida adalah asal kata dari wujud yang artinya ditemukan.14 Adapun kata kata being atau
existance, menurut bahasa sesungguhnya tidak sepadan dengan kata wujud, namun keunggulan
bahasa Indonesia itu, kata yang tidak ada padanannya bisa diadaptasi secara langsung, sehingga
kata tersebut sudah digunakan dalam kosa kata keseharian. Makna yang ditemukan dalam wujida
adalah karena manusia menemukan Tuhan adalah kesuksesan manusia dalam menapaki perjalanan
ruhaninya.15

2.2 Ontologi Wujud Menurut Filsafat Yunani


Bagi Aristoteles Tuhan (theos) adalah wujud yang paling awal ada. Dia menyatakan gerakan
yang ada di alam semesta ini berpusat pada sesuatu yang tunggal. Menurutnya, benda itu tidak
dapat bergerak sendiri tanpa sesuatu yang menggerakkannya. Gerakan benda akan digerakkan oleh
benda lain, gerakan benda lain juga akan digerakkan oleh benda lainnya lagi hingga mencapai titik
pusat yang tunggal, diam, tak bergerak. Poros yang tunggal ini lah yang dinamakan theos.
Aristoteles juga menyatakan bahwa, Tuhan hanya menggerakkan semua benda di alam
semesta tetapi tidak menciptakan alam semesta beserta isinya. Menurutnya lagi, hal-hal yang detail
di alam semesta tidak diketahui oleh Tuhan. Ringkasnya, dia menganggap bahwa Tuhan adalah
causa ,sebab dari segala sebab pergerakan di alam semesta, namun causa prima itu diam tidak ikut
bergerak.16
Adapun pengikut ajaran Plato, yaitu Plotinus (205-270) M juga memberikan pemikiran
tentang hakikat wujud. Plotinus tidak berniat mendirikan aliran pemikiran, sehingga ia sering
dikenal sebagai Neoplatonis. Paham dualisme Neoplatonis, sebagaimana yang diajarkan Plato,
membagi menjadi wujud dua, yaitu wujud yang terlihat dan yang tak terlihat (alam ide). Teori ini
kemudian disebut juga sebagai teori “arus Ilahi”. Neoplatonis menyatakan jika sesuatu yang tak
terhingga dan mutlak itu adalah asal dari semua wujud itu terdapat pada di alam semesta ini. 17
Bermula dari yang mutlak ini muncul ide kesatuan wujud yang disebut dengan Yang Satu.
Melewati proses pancaran atau radiasi itu lah yang akan melahirkan “nous” atau roh. Nous terdiri
“wujud yang berfikir” dan dalam proses berfikir itu sumbernya adalah Yang Esa tak terbilang. Nous
13
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian, 91.
14
M. Afif. Anshori, Tasawuf Falsafi, Syaikh Hamzah Fansuri (Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2004), 64–65.
15
Miswari, Wahdah Al-Wujud (Yogyakarta: BASABASI, 2018), 71.
16
Edi Sumanto, “TUHAN DALAM PANDANGAN FILOSUF (Studi Komparatif Arestoteles Dengan Al-
Kindi),” El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Tafsir Hadis 7, no. 1 (12 Juni 2018): 87,
https://doi.org/10.29300/jpkth.v7i1.1590.
17
Muhaemin Latif, “Teori Emanasi dalam Hubungannya dengan Sains: Modern Sebuah Kajian Kritis,” Jurnal
Ushuluddin: Media Dialog Pemikiran Islam 20, no. 2 (2016): 319.

4
terus berfikir dan melahrkan jiwa (psyche) dan dari psyche inilah yang menjadi sebab musababnya
semeseta. Akhirnya al-Farabi dan al-Kindi ikut mengembangkan teori ini.18
Dari uraian di atas tampak bahwa menurut filosof Yunani kuno itu menganut Dualisme
dalam menjelaskan tentang wujud. Meskipun pada hakikatnya satu, tapi masing-masing wujud itu
bisa dibedakan dalam wujud fisik dan wujud non fisik.

2.3 Ontologi Wujud menurut Ibnu Sina


Berbagai buku Aristoteles telah dibaca ulang oleh sebanyak 40 kali oleh Ibnu Sina, sebelum
dia fokus mendalami filsafat. Dia mendapatkan pencerahan sesudah buku Agrâd Kitâb mâ’ warâ’ al-
T abî’ah li Aristû-nya Al-Fârabî (870-950 M.). Dia seperti memperoleh hakikat ilmu metafisikaAl-
Fârabî, sehingga dia mengakui sebagai pengikut al-Farabi.19
Sifat wujud sangat penting bagi Ibnu Sina dan menempati posisi yang lebih baik dari semua
esensi, termasuk esensi (mâhiyyah). Menurut Ibnu Sina, esensi ada di dalam pikiran dan wujud
berada di luar pikiran. Wujud lah yang menciptakan semua esensi yang mengingat realitas yang
melampaui pikiran. Tanpa itu, Esensi tidak ada artinya. Eksistensi lebih penting daripada esensi.
Ibnu Sina berusaha menggabungkan pandangan Mutakalimin, Aristoteles, dan Neoplatonisme
secara jelas untuk menjadi cara lain dalam menganalisis wujud. Ia pun sependapat, Al-Fârabî bahwa
wujud itu mempunyai sifat dan bisa terpancar dan semua wujud yang ada terpancar dari Tuhan.20
Ibnu Sina menyatakan jika wujud digabung dengan esensinya maka akan muncul tiga
kemungkinan yaitu: esensi tanpa wujud yang disebut “mumtana‟ yaitu sesuatu yang mustahil ber-
wujud (mumtana al-wujûd). Contohnya, adanya kosmos lain sekarang ini di samping kosmos yang
ada. Esensi yang mungkin berwujud dan tidak berwujud, hal ini disebut mumkin al-wujûd.
Contohnya semesta ini awalnya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak
ada. Esensi yang pasti itu memiliki wujud. Di sini, esensi tidak dapat dipisahkan dari wujudnya.
Esensi dan wujud sama dan satu. Di sini, awalnya esensi itu tak berwujud, kemudian berwujud,
tetapi esensi yang wajib mempunyai wujud selama-lamanya ini disebut (wâjib al-wujûd) Necessary
Being), wâjib al-wujûd inilah yang mewujudkan mumkin al-wujûd dan itulah Tuhan.21
Adapun wâjib al-wujûd dibagi dua, yaitu:
1. Wâjib bidhâtihi sesuatu yang kepastian wujud-Nya karena Zat itu sendiri tanpa sebab lain.
Artinya, dia merdeka dari selain diri-Nya. Dalam hal ini, wujud tidak bisa dipisahkan

18
Muhaemin Latif, “Teori Emanasi, 320,
19
Thawil Akhyar Dasuki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Cet. ke-1 (Semarang: Dina Utama, 1993), 34.
20
M. Syarif, Para Filosof Muslim. Cet. ke-2 (Bandung: Mizan, 1989), 103.
21
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), 40.

5
dengan esensi. Dia adalah wujud yang tunggal. Dia menganggap Allah Swt. memenuhi
kriteria ini.
2. Wâjib bigayrihi yaitu harus ada zat lain yang mewujudkan kapstian wujud zat tersebut.
Misalnya, adanya lima karena 2 + 3 atau 4 + 1; adanya kebakaran disebabkan oleh api,
adanya basah karena ada air.22

2.4 Hakikat Wujud Menurut Filosof Barat


Sejak awal Renaisans dunia barat memang sengaja mencari model baru untuk dijadikan
kiblat pemikiran demi membebaskan diri dari pemahaman gereja. Akhirnya dipilihlah filsafat
Yunani sebagi dasar berpikir mereka dengan pertimbangan bahwa tidak seperti di kebudayaan maju
zaman kuno seperti di Babilonia, Mesopotamia, Mesir Kuno, dan Inca, masyarakat Yunani kuno
tidak mengenal kasta, sehingga ide-ide filsafatnya mudah diakses oleh semua golongan dan
ditemukan banyak literaturnya.
Aliran ontologi yang muncul dari filsafat Yunani antara lain Monisme, Dualisme,
Naturalisme, Nihilisme dll. Berdasarkan filsafat ontologi Yunani inilah akhirnya di dunia barat
berkembang cabang-cabang aliran filsafat epistomologi seperti rasionalisme, empirikisme,
positivisme, dll. Tulisan di bawah ini akan menguraikan hakikat wujud menurut Rene Decart,
David Hume, dan Auguste Comte, kerana ketiga filosof ini memiliki pengaruh besar di Eropa
hingga saat ini.

2.4.1 Hakikat Wujud Menurut René Descartes


Salah satu tokoh penting dalam filsaat Rasionalisme adalah René Descartes. Faham
Ontologinya adalah mengikuti Dualisme Aristoteles. Inti dari dualisme adalah bahwa segala
sesuatu adalah berlawanan dan sifatnya abadi. Meskipun berlawanan, tetapi keduanya berhenti
kembali kepada Tuhan, dengan kata lain, Tuhan tidak memiliki lawan.23
René Descartes juga dikenal dengan sebutan René Cartesius, karena dia lah yang
menemukan sistem koordinat kartesius dan kalkulus modern. Dia dilahirkan di La Haye, pada tahun
1596, dan meninggal pada usia 53 tahun di Stockholm, Swedia.24
Konsepnya memicu revolusi filosofis di Eropa, karena bahwa seseorang itu mampu berpikir
itu adalah kenyataan yang pasti. Pernyataannya itu dalam bahasa Perancis adalah: Je pense donc je

Abu Bakr Ahmad al-Shahrastanî, Al-Milal wa al-Nihal. Juz III (Cairo: Muassasa al-Halabî, 1968), 26.
22

Yosep Hadi Putra, “HAKIKAT DARI MONISME, DUALISME, PLURALISME, NIHILISME,


23

ARGONTISME” 18 (2021): 18.


24
Agus Riyadi dan Helena Vidya Sukma, “KONSEP RASIONALISME RENE DESCARTES DAN
RELEVASINYA DALAM PENGEMBANGAN ILMU DAKWAH,” An-Nida : Jurnal Komunikasi Islam 11, no. 2 (27
Desember 2019): 113, https://doi.org/10.34001/an.v11i2.1026.

6
suis, dan dalam bahasa latin adalah cogito ergo yang artinya "Aku berpikir maka aku ada". (Ing: I
think, therefore I am).25
Karya filosofis Descrates dapat dipahami dalam konteks konsep pada masanya, pada saat
terjadinya konflik antara aliran skolastik dan ilmu baru Galilean-Copernicus. Berdasarkan hal ini, ia
mencari pengetahuan yang tidak perlu dipertanyakan lagi dalam misi filosofisnya. Rahasianya
adalah meragukan semua pengetahuan yang ada. Ini akhirnya menyimpulkan tentang jenis-jenis
pengetahuan, yaitu:
1. Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman indrawi dapat dipertanyakan. Misalnya, jika
seseorang meletakkan tongkat lurus pada cairan, maka tongkat itu akan terlihat bengkok.
2. Fakta umum tentang dunia semisal api itu panas dan benda yang berat akan jatuh juga bisa
diragukan. Descrates menyatakan bagaimana jika kita merasakan mimpi yang sama berkali-
kali dan dari situ kita memperoleh ilmu umum tersebut. Fakta umum yang ad, misalnya
panasnya api dan jatuhnya benda berat jika dilempar patut dicurigai. Descrates menjelaskan
apa yang terjadi ketika seseorang merasakan mimpi yang sama berulang-ulang dan
mendapatkan pengetahuan umum dari mimpinya tersebut.
3. Logika dan Matematika prinsip-prinsip logika dan matematika juga ia ragukan. Ia
menyatakan bagaimana jika berada suatu makhluk yang berkuasa memasukkan ilusi dalam
tipu daya kita, dengan kata lain kita berada dalam suatu matriks.26

Dari pertanyaan-pertanyaan ini, Descrates mencari pengetahuan tentang apa yang tidak
perlu diragukan lagi. Yang terakhir mengarah ke premis Cogito Ergo Sum (saya pikir itu sebabnya
saya ada). Baginya, keberadaan tipu daya manusia adalah mutlak dan tidak perlu dipertanyakan
lagi. Dia meragukan segalanya, bahkan jika ada idenya bahwa ada sesuatu yang salah, karena
delusinya disesatkan oleh suatu matriks, tidak ada keraguan bahwa delusi itu sendiri ada.27
Bagi Descrates, penipuan itu sendiri adalah res cogitans pemikiran, bukan fisik atau materi.
Dimulai dengan prinsip asli bahwa delusi ada, Descrates melanjutkan filosofinya untuk
membuktikan keberadaan Tuhan.
Dimulai dengan bukti bahwa delusi ada, filsafatnya membuktikan bahwa Tuhan ada dan
kemudian hal-hal materi.

25
Ngismatul Choiriyah, “Rasionalisme Rene Descartes,” Anterior Jurnal 13, no. 2 (2014): 239,
https://doi.org/10.33084/anterior.v13i2.284.
26
Akhyar Yusuf, Pengertian Epistemologi, Logika, Metodologi, Ontologi, dan Aksiologi (Jakarta: Program
Pasca sarjana UI, 2002), 13.
27
A. Sonny Keraf, Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Filosofis (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 47.

7
Descrates didasarkan pada prinsip bahwa wujud Tuhan harus lebih agung, lebih sempurna,
dan lebih efektif. Ia memiliki gagasan bahwa Tuhan itu sempurna tanpa batas. Gagasan tentang
Tuhan dalam pikiran (sebagai akibatnya) hanya dapat dipicu oleh makhluk yang sempurna.
Setelah membuktikan wujudnya Tuhan, Descrates membuktikan bahwa benda material itu
berwujud. Ia menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan ketidakmampuan kepada
membuktikan bahwa benda material itu sejatinya tidak berwujud. Bahkan Tuhan menciptakan
manusia kepada mempunyai kecenderungan pemahaman bahwa benda material itu berwujud.
Apabila pemahaman benda material berwujud itu hanya merupakan sebuah matriks kompleks yang
menipu tipu daya manusia, itu berarti Tuhan merupakan penipu, dan bagi Descrates, penipu ialah
ketidaksempurnaan. Padahal Tuhan ialah makhluk yang sempurna, oleh karena itu Tuhan tidak
mungkin menipu, sehingga benda material itu pastilah berwujud.
Bagi Rene Descartes, realitas terdiri dari tiga hal. Yaitu, objek fisik terbatas (benda fisik
seperti meja, kursi, dan tubuh manusia), objek spiritual imaterial terbatas (pikiran dan jiwa
manusia), dan objek spiritual tanpa batas (Tuhan).28

2.4.2 Hakikat Wujud Menurut Filsafat David Hume


Salah satu tokoh filosofis teori empiris adalah David Hume. Faham Ontologinya adalah
Nihilisme. Inti dari nihilisme ini adalah posisinya selalu 0 (nol). Nihilisme memperhitungkan segala
sesuatu yang tidak ada dan semuanya kembali ke bentuk aslinya.29
David Hume lahir dan dibesarkan pada tanggal 26 April 1711 di sebuah kompleks keluarga
kecil di "Ninewells", sekitar 9 mil dari Berwick, Edinburgh. Dia adalah anak kedua dari pasangan
keluarga terkemuka, Joseph Hume dan Catherine Falconer. Ayahnya adalah pemilik tanah yang
dihormati di masyarakat. Sayangnya, Joseph meninggal pada usia muda, meninggalkan Hume pada
usia tiga tahun. Ibunya, Catherine, adalah putri Sir David Falconer, ketua pengadilan Skotlandia.
Namun, Hume tumbuh dalam keluarga pengusaha dari pihak ayah dan profesional hukum dari
pihak ibu. Sayangnya, tidak banyak informasi tentang kisah hidup Hume, kecuali biografi singkat
"My Own Life", yang ia tulis empat bulan sebelum kematiannya.30
David Hume meninggal karena kanker hati yang sudah berlangsung lama. Dia meninggal
dunia di Edinburgh pada tahun 1776. Kepergiannya meninggalkan nama besar dan pengaruh tidak

28
Himawan Putranta, Perkembangan Filsafat Abad Modern (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta,
2017), 28.
Yosep Hadi Putra, “HAKIKAT DARI, 18.
29

Nurazila Sari dan Sangkot Sirait, “Metodologi David Hume (Empirisme) Dalam Pemikiran Pendidikan
30

Islam,” HEUTAGOGIA: Journal of Islamic Education 1, no. 1 (3 Mei 2021): 67.

8
hanya di Eropa tetapi juga di dunia filsafat. Hume justru terkenal setelah kematiannya. Tentu saja,
orang Skotlandia menyebutnya "Saint David", tetapi di Prancis dikenal sebagai "Le Bon David".31
Pada saat kematiannya, Hume masih sejalan dengan prinsip-prinsip filosofis yang dianutnya.
Seorang skeptis sejati, dia meragukan segala sesuatu yang harus dicapai oleh kebenaran tertinggi,
dan bahkan agama. Jadi, pada saat yang genting, dia masih menolak untuk menyerahkan dunia fana
ini kepada pastor paroki yang ingin membimbing dan menghiburnya, seperti kebiasaan dalam
tradisi Kristen. Hume menolak hal ini karena Tuhan dan agama adalah sesuatu yang meragukan.
Mungkin dia punya prinsip, apa perlunya meminta bantuan pada sesuatu yang masih meragukan.
Akhirnya, menurut James Boswell, yang mencatat beberapa detik terakhir hidupnya, Hume
meninggal dengan tenang meski tanpa bimbingan keagamaan.32
Pemahaman empiriksme menurut Hume menyatakan bahwa ontologi seuatu wujud itu harus
didapatkan melalui pengalaman dan pengamatan oleh indra. Untuk memperoleh hakikat dari suatu
maka seseorang harus meragukan semua hal sampai ada bukti nyata. Bagi Hume, tidak ada bukti
nyata tentang keberadaan Tuhan. Bahkan pengetahuan yang dimiliki manusia tentang Tuhan tidak
dapat mencapai hal-hal tertentu, dan kemampuan manusia untuk mengetahui aspek-aspek Tuhan
dan metafisika sangat terbatas. Selain itu, Hume juga mempertimbangkan asumsi-asumsi yang
dibuat oleh para filosof awal tentang keberadaan Tuhan, baik secara kosmologis maupun teleologis,
tetapi keduanya tidak dapat memberikan kepastian tentang keberadaan Tuhan. Ketika para teolog
mulai percaya bahwa Tuhan itu sempurna, kecurigaan Hume tentang Tuhan meningkat. Sementara
itu, Hume melihat berbagai masalah di dunia, seperti kejahatan, ketidakadilan, dan keburukan. Jika
Tuhan itu sempurna, tentu Tuhan tidak akan menciptakan masalah. Ketidaksempurnaan sebenarnya
bisa dijadikan bukti bahwa Tuhan itu tidak sempurna. Tuhan bahkan bisa dikatakan sebagai sumber
kejahatan. Tetapi pada akhirnya, Hume kembali ke skeptisismenya bahwa kita tidak memiliki cukup
informasi tentang Tuhan karena manusia tidak memiliki pengalaman di dunia lain.33
Hume tidak hanya mengkritik, tetapi membongkar, kebenaran yang ada dalam teori
kausalitas. Dia mengatakan tidak ada alasan untuk peristiwa pertama memicu peristiwa kedua. Oleh
karena itu, Hume memberi perumpamaan bola bilyar, dia menunjukkan bahwa satu bola mengenai
yang lain, bola pertama berhenti bergerak, dan bola lainnya terus bergerak. Hume mengatakan
bahwa ketika bola pertama bersentuhan dengan bola lain, hal ini tidak dapat dibuktikan secara

Ibid
31

Anthony Kenny, An Illustrated Brief history of Western Philisophy (Victoria: Blackwell Publishing, 2006),
32

256.
33
Saidul Amin, “SKEPTISME TERHADAP AGAMA DALAM FILSAFAT DAVID HUME ( 1711-1776),”
TOLERANSI: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama 2, no. 2 (2 November 2010): 215,
https://doi.org/10.24014/trs.v2i2.436.

9
empiris dan oleh karena itu tidak dapat dinyatakan sebagai bola pertama yang menggerakkan bola
lainnya.34
Hume berpendapat bahwa mukjizat, yang digunakan sebagai salah satu aspek kunci agama,
menghancurkan hukum alam karena mereka mengubah tatanan empiris yang menentukan menjadi
alam metafisik, dan bahkan takhayul. Berbagai peristiwa mukjizat itu ternyata sangat bertentangan
dengan hukum alam, seperti api yang tidak menyala, kelahiran tanpa proses alam. Demikian pula,
proses menerima Tuhan dalam diri manusia dalam wahyu melampaui empirisme manusia. Sulit,
buktikan kebenarannya.35
Hume berpendapat bahwa agama berasal dari takhayul dan jauh dari filsafat pemikiran yang
jelas. Sumber agama berupa wahyu dan masalah yang terus-menerus diperdebatkan dalam agama,
seperti keabadian dan dunia kematian, merupakan faktor eksternal dari pengalaman empiris
manusia. Agar agama dapat diterima, masalah takhayul dalam agama harus dibasmi dan
dihilangkan. Hume menyebut proses ini "skeptisisme yang sehat" dan perlu mereduksi unsur-unsur
supernatural agama dari sikap supernatural ke realitas alam empiris. Artinya, agama harus dilandasi
oleh unsur-unsur surga. Agama perlu dibawa dari dunia tak nyata ke dunia nyata yang obyektif.
Pada akhirnya, filosofi skeptis Hume memunculkan skeptisisme baru. Hume sendiri tidak bisa
membuktikan secara empiris konsep skeptisisme. Hume sebenarnya menebak-nebak, tapi
sebelumnya dia menolak menebak. Jadi apa yang dikatakan Magnis Suseno benar, skeptisisme
Hume menciptakan nihilisme.36

2.4.3 Hakikat Wujud Menurut Aguste Comte


Salah satu tokoh dalam filsafat positivis adalah Auguste Comte. Faham Ontologinya adalah
Agnotisme. Agnostisme adalah sesuatu yang terkait dengan tidak adanya Tuhan dalam pikiran
manusia, Agnostisisme menekankan ketidakhadiran Tuhan dalam tindakan berbasis logika.37
Auguste Comte (1798-1857) adalah seorang filosof Perancis yang sering dipuji karena
menciptakan ilmu sosiologi dan menciptakan nama "sosiologi". Lahir 19 Januari 1798 di
Montpellier, Prancis, Auguste Comte adalah putra seorang bangsawan dari keluarga Katolik.
Namun, dia tidak menunjukkan kesetiaan kepada status kebangsawanan atau Katolik sepanjang
hidupnya. Pemikirannya dipengaruhi oleh suasana pergolakan sosial, intelektual, dan politik pada
masanya.38

34
Ibid.
35
Budi Hardiman E., Filsafat Modern dari Machievelli sampai Nietzsche (Jakarta: PT Gramedia, 2004), 92.
36
Antonny Flew, Hume’s Philosophy of Belief : A study of His First inquiry (New York: Rpotledge & Kegan
Paul, 1961), 218.
37
Yosep Hadi Putra, “HAKIKAT DARI, 18.

10
Positivisme adalah paradigma ilmiah pertama yang muncul di dunia ilmiah. Keyakinan
dasar aliran tersebut berakar pada pemahaman ontologis bahwa realitas (eksistensi) sebenarnya ada
menurut hukum alam. Upaya penelitian dalam hal ini adalah untuk mengungkap realitas keberadaan
dan kebenaran tentang bagaimana bentuk ini sebenarnya bekerja.39
Comte berusaha membebaskan klaim metafisik dari sains. Comte melihat fakta secara
berbeda dari nilai. Fakta dapat dipisahkan dari nilai-nilai positivis. Dia hanya menerima
pengetahuan tentang fakta, fakta positif, yaitu fakta yang tidak tergantung pada kesadaran individu.
Dalam membahas masalah konsep Tuhan oleh Auguste Comte, tentu saja kemajuan ilmiah
fenomena alam ke-16 dan ke-17 mempengaruhi pemikirannya, karena bersifat mekanis dan tidak
memerlukan Tuhan, tidak terlepas dari pengungkapan para filosof. Orang-orang berpikir mereka
bisa mendapatkan apa pun yang mereka butuhkan tanpa bantuan Tuhan.
Yang menjadi pokok pemikiran Aguste Comte adalah teorinya mengenai ketiga tahapan
yakni sebagai berikut:40
1. Tahap Teologi
Menurut Auguste Comte, pada tingkat ini, manusia berada pada tingkat berpikir yang paling
rendah. Dia tidak bisa memikirkan penyebab peristiwa di alam, sehingga manusia berasumsi
bahwa segala sesuatu terjadi dengan sendirinya. Orang tidak tahu karena mereka tidak tahu
harus berbuat apa. Pada tataran teologis ini dapat dibagi menjadi tiga periode: animisme,
politeisme, dan monoteisme.
2. Tahap Metafisika
Pada tahap ini, seseorang menahan keberanian dalam dirinya. Orang dapat melakukan
sesuatu tentang kekuatan eksternal dan sudah tahu bagaimana menghadapinya, dan orang-
orang di tingkat ini merasa bahwa kekuatan yang menyebabkan penyakit, banjir dan gempa
bumi dapat dicegah dengan memberikan penelitian. Di era metafisik, kekuatan supernatural
digantikan oleh konsep dan prinsip abstrak.
3. Tahap Positivisme
Pada tingkat ketiga ini, manusia dapat memperoleh pengetahuan yang cukup untuk
mengendalikan alam, sehingga pada tingkat pertama mereka selalu dalam keadaan takut
dan cemas, dan pada tingkat kedua mereka mencoba untuk mempengaruhi kekuatan alam.
bisa gagal. Oleh karena itu, dalam tataran positif, manusia memiliki pengaruh yang besar
terhadap hakikat hukum dan segala aspek yang terkait, meskipun tidak semua masalah dapat

Irham Nugroho, “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya Terhadap Sains,”
38

Cakrawala: Jurnal Studi Islam 11, no. 2 (12 Desember 2016): 167, https://doi.org/10.31603/cakrawala.v11i2.192.
39
Irham Nugroho, “Positivisme Auguste, 171.
40
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), 70.

11
diselesaikan olehnya, tetapi banyak upaya telah dilakukan dan memiliki banyak pengalaman
dan penelitian.

Bagi Aguste Comte Tuhan adalah bukanlah sesuatu yang positif wujudnya, Tuhan tidak akan
ditemukan di laboratorium. Demikian halnya dengan unsur-unsur abstrak yang lain seperti mental,
jiwa dan perasaan.
Pembahasan mengenai yang tidak wujud adalah hanya membuang-buang waktu saja.
Sesuatu yang bermanfaat adalah sesuatu yang positif ada wujudnya dan bisa diuji secara objectif.
Fenomena masyarakat dengan segala normanya adalah sesuatu yang positif wujudnya. Hal itulah
yang lebih patut dikaji dan diteliti. Pada akhirnya Comte mendirikan agama baru, yang lebih
objectiv, yaitu agama kemanusiaan.

3. Kesimpulan
Pembahasan mengenai hakikat wujud memang sudah ada sejak Yunani kuno. Baik
Aristoteles maupun Neoplatonis menganut ontologi dualisme yang membagi wujud menjadi wujud
materi dan non materi. Menurut Aristoteles awal dari sesuatu yang wujud itu adalah theos. Theos
adalah causa prima yang menyebabkan segala sesuatu di alam semesta ini bergerak, namun dirinya
sendiri diam. Theos menyebabkan semua yang wujud itu bergerak, tetapi dia tidak menciptakan
semua wujud itu.
Sedangkan menurut Neoplatonis wujud itu terbagai dua, yaitu wujud materi dan wujud
immateri. Seluruh wujud yang ada itu berasal dari wujud yang tak terhingga dan absolut. Wujud
absolut inilah yang disebut Tuhan. Dari wujud absolut inilah memancar menjadi banyak ciptaan.
Adapun Ibnu Sina berusaha memadukan pendapat Aristoteles, Neoplatonis, dan
mutakallimin. Ibnu Sina sepakat dengan Aristoteles bahwa Tuhan itu causa prima, namun dia tidak
sepakat dengan Aristoteles yang menyatakan Tuhan itu diam tidak mencipta. Ibnu Sina juga sepakat
dengan teori emanasinya Neoplatonis. Bahwa segala sesuatu itu wujud karena adanya pancaran
Tuhan.
Seperti halnya faham dualisme Aristoteles dan Neoplatonis, Ibnu Sina mendefinisikan
perbedaan wujud Tuhan dan pancarannya, Ibnu Sina membedakan keduanya. Menurut Ibnu Sina,
sesuatu yang kepastian wujud-Nya karena Zat itu sendiri tanpa sebab lain. Artinya, dia merdeka dari
selain diri-Nya. Dalam hal ini, wujud tidak bisa dipisahkan dengan esensi. Dia adalah wujud yang
tunggal. Dia menganggap Allah Swt. memenuhi kriteria ini. Sedangkan makhluk itu adalah imkanul
wujud, yaitu sesuatu yang kepastian wujudnya dipengaruhi oleh zat yang lain. Pembedaan yang

12
dilakukan Ibnu Sina tersebut bersesuaian dengan para mutakallimin dan merupakan bukti bahwa dia
tidak keluar dari akidah sunni.
Sedangkan menurut René Descartes sesuatu itu wujud karena memikirkannya. Sesuai
jargonnya Aku berfikir maka aku ada. Tuhan itu selalu ada pada pikiran manusia, sehingga
keberadaannya memang benar-benar ada. Demikian wujud setiap benda itu memang benar-benar
ada karena manusia memikirkannya. Faham ontologi yang dianutnya adalah Dualisme. Dia tetap
membedakan wujud manusia dan wujud ide pemikiran manusia.
Namun menurut David Hume sesuatu itu wujud harus bisa diamati secara objektif, sehingga
perkara mengenai Tuhan, perasaan, mental, jiwa itu harus ditolak, karena tidak dapat
dipertanggungjwabkan secara ilmiah. Faham ontologinya mengarah ke nihilisme. Dia nyaris
menolak semuanya termasuk hukum kausalitas.
Adapun menurut Aguste Comte, sesuatu itu dianggap wujud bila positif benar-benar bisa
diindra secara objektif. Pembahasan mengenai Tuhan dan agama, masalah mental dan jiwa itu tidak
positif wujudnya sehingga juga harus ditolak. Sesuatu yang jauh lebih penting yaitu fakta adanya
masyarakat dan norma-normanya. Aliran ini berusaha mendirikan agama baru yang lebih objectif
yaitu agama yang bisa mengatur kehidupan masyarakat agar lebih bermartabat dan lebih
berprikemanusiaan. Agama baru ini kemudian dikenal dengan agama kemanusiaan (Religion of
Humanity). Adapun faham ontologinya menganut Agnotisme. Baginya Tuhan dan agama itu tidak
penting, yang terpenting adalah logika manusia dalam menyelesaikan berbagai problem.

13
DAFTAR PUSTAKA

A. Susanto. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologi, Epistemologis, dan Aksiologis.
Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Adib, Mohammad. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Amin, Saidul. “SKEPTISME TERHADAP AGAMA DALAM FILSAFAT DAVID HUME ( 1711-
1776).” TOLERANSI: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama 2, no. 2 (2 November
2010): 209–19. https://doi.org/10.24014/trs.v2i2.436.
Anshori, M. Afif. Tasawuf Falsafi, Syaikh Hamzah Fansuri. Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2004.
Anwar, Nur. “BELAJAR LEBIH DARI MATEMATIKAWAN MUSLIM.” ITQAN : Jurnal Ilmu-
Ilmu Kependidikan 8, no. 2 (13 Desember 2017): 17–33.
Choiriyah, Ngismatul. “Rasionalisme Rene Descartes.” Anterior Jurnal 13, no. 2 (2014): 237–43.
https://doi.org/10.33084/anterior.v13i2.284.
Dasuki, Thawil Akhyar. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Cet. ke-1. Semarang: Dina Utama, 1993.
E., Budi Hardiman. Filsafat Modern dari Machievelli sampai Nietzsche. Jakarta: PT Gramedia,
2004.
Flew, Antonny. Hume’s Philosophy of Belief : A study of His First inquiry. New York: Rpotledge &
Kegan Paul, 1961.
Hanafi, A. Pengantar Filsafat Islam. Cet. ke-2. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Kenny, Anthony. An Illustrated Brief history of Western Philisophy. Victoria: Blackwell Publishing,
2006.
Keraf, A. Sonny. Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Latif, Muhaemin. “Teori Emanasi dalam Hubungannya dengan Sains: Modern Sebuah Kajian
Kritis.” Jurnal Ushuluddin: Media Dialog Pemikiran Islam 20, no. 2 (2016): 318–30.
Miswari. Wahdah Al-Wujud. Yogyakarta: BASABASI, 2018.
Muhadjir, Noeng. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rakesarasin, 2001.
Mustamin, Kamaruddin. “Filsafat Emanasi Ibnu Sina.” Farabi (e-Journal) 16, no. 1 (1 Juni 2019):
75–90. https://doi.org/10.30603/jf.v16i1.1084.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
———. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
Nugroho, Irham. “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya Terhadap
Sains.” Cakrawala: Jurnal Studi Islam 11, no. 2 (12 Desember 2016): 167–77.
https://doi.org/10.31603/cakrawala.v11i2.192.
Parlaungan, Parlaungan, Haidar Putra Daulay, dan Zaini Dahlan. “PEMIKIRAN IBNU SINA
DALAM BIDANG FILSAFAT.” Jurnal Bilqolam Pendidikan Islam 2, no. 1 (15 Juli 2021):
79–93. https://doi.org/10.51672/jbpi.v2i1.51.
Putra, Sudarmadi. “KLASIFIKASI ILMU DALAM PERSPEKTIF IBNU SINA.” Sanaamul
Qur’an - Jurnal Wawasan Keislaman 1, no. 2 (2019).
https://jurnal.stimsurakarta.ac.id/index.php/sanaamul-quran/article/view/33.
Putra, Yosep Hadi. “HAKIKAT DARI MONISME, DUALISME, PLURALISME, NIHILISME,
ARGONTISME” 18 (2021): 7.
Putranta, Himawan. Perkembangan Filsafat Abad Modern. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta, 2017.
Rahman, Muhammad Irfandi, dan Nida Shofiyah. “RELEVANSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN
IBNU SINA PADA PENDIDIKAN MASA KINI.” TARBAWY : Indonesian Journal of
Islamic Education 6, no. 2 (30 November 2019): 142–56.
https://doi.org/10.17509/t.v6i2.20640.

14
Riyadi, Agus, dan Helena Vidya Sukma. “KONSEP RASIONALISME RENE DESCARTES DAN
RELEVASINYA DALAM PENGEMBANGAN ILMU DAKWAH.” An-Nida : Jurnal
Komunikasi Islam 11, no. 2 (27 Desember 2019). https://doi.org/10.34001/an.v11i2.1026.
Sari, Nurazila, dan Sangkot Sirait. “Metodologi David Hume (Empirisme) Dalam Pemikiran
Pendidikan Islam.” HEUTAGOGIA: Journal of Islamic Education 1, no. 1 (3 Mei 2021):
72–83.
Shahrastanî, Abu Bakr Ahmad al-. Al-Milal wa al-Nihal. Juz III. Cairo: Muassasa al-Halabî, 1968.
Sumanto, Edi. “TUHAN DALAM PANDANGAN FILOSUF (Studi Komparatif Arestoteles
Dengan Al-Kindi).” El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Tafsir Hadis 7, no. 1 (12
Juni 2018): 83–90. https://doi.org/10.29300/jpkth.v7i1.1590.
Supriyadi, D. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Syarif, M. Para Filosof Muslim. Cet. ke-2. Bandung: Mizan, 1989.
Tamaji, Taurus. “Al-Fakkaar: Jurnal Ilmiah Pendidikan Bahasa Arab Vol. 1 No. 2 Agustus 2020 80
PEMBELAJARAN BAHASA ARAB DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT.” Diakses 13 Mei
2022. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:yhBtEP7UCq8J:e-
jurnal.unisda.ac.id/index.php/ALF/article/download/
2049/1377+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=ubuntu.
Ulum, Ahmad Ridlo Shohibul. Ibnu Sina: Sarjana, Pujangga, dan Filsuf Besar Dunia Biografi
Singkat 980-1037 M. Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia, 2018.
Yusuf, Akhyar. Pengertian Epistemologi, Logika, Metodologi, Ontologi, dan Aksiologi. Jakarta:
Program Pasca sarjana UI, 2002.

15

Anda mungkin juga menyukai