Anda di halaman 1dari 12

TAFSIR MUQARRAN/ IQTIRANI

D
I
S
U
S
U
N
OLEH
KELOMPOK VIII
MUHAMMAD IKHSAN
SAIFUDDIN
SYUKRIADI
MUTIARA FAHMI

INSTITUT AGAMA ISLAM AL- AZIZIYAH


SAMALANGA - BIREUEN 2015 2016

TAFSIR MUQARRAN/ IQTIRANI


A. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP TAFSIR MUQARRAN
Di lihat dari kata Tafsir Muqaran itu terdiri dari dua kata, yakni Tafsir dan
Muqaran, yang memiliki makna dan pengertian yang berbeda.
Secara etimologi Tafsir adalah bentuk kata dari fassara, yufassiru, tafsiran yang
bermakna As-Syarhu wa Al-Bayan.1 Dalam kitab Ulumul Quran Tafsir bermakna (AlKaysifu) menyingkap, (Al-Ibanah) menjelaskan, (Idzhar) mengungkap, dan (Tabyin)
menerangkan.2
Sedangkan menurut terminologi Tafsir adalah ilmu yang di dalamnya mencakup
berbagai macam sarana untuk menyingkap makna Al-Quran.
Sedangkan Muqaran secara etimologi adalah bentuk kata dari qaarana, yukaarinu,
muqaranatan yang bermakna menimbang (waazana) dan memperbandingkan. Jika
keduanya di gabungkan maka akan di peroleh makna: menjelaskan dengan melakukan
perbandingan.
Quraish Shihab dalam mendefinisikan Tafsir Muqaran adalah sebagai berikut.
Membandingkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi
yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda bagi masalah atau kasus
yang sama atau di duga saama.3
Sedangkan menurut Ali Hasan Al-Ridh mendefinisikan Tafsir Muqaran adalah
metode yang di tempuh seseorang mufassir dengan cara mengambil sejumlah ayat-ayat
Al-Quran kemudian mengemukakan penafsiran para ulama terhadap ayat-ayat AlQuran tersebut, baik mereka ulama salaf maupun khalaf. Metode yang di gunakan
berkecenderungan mereka berbeda-beda baik penafsiran mereka berdasarkan riwayat
yang berasal dari Rosulullah SAW, para sahabat (bil Al-Matsur) atau berdasarkan rasio
(ijtihad atau Tafsir bil-rayu) dan mengungkapkan pendapat-pendapat mereka serta
membandingkan segi-segi dan kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.4
Berdasarkan definisi mengenai Tafsir Muqaran yang telah saya jelaskan di atas,
kemudian dapat saya simpulkan bahwa ranah yang di jadikan objek dalam
mengaplikasikan metode Tafsir Muqaran adalah.5
1. Memperbandingkan antara ayat-ayat Al-Quran
2. Memperbandingkan antara ayat Al-Quran dengan Hadis Nabi.
3. Memperbandingkan antara corak hasil penafsiran para ulam tafsir
berdasarkan kecenderungan yang mereka miliki.
1 Al-Mujam Al-Wasith, hal: 713, Maktabah Syarua Ad-Dauliyah, Mesir, 2011.
2 Manna Khalil Al-Khathan, Mabchis fi Uluil Quran, hal: 323, Al-Hidyah, Surabaya, 1973.
3 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, hal: 118, Mizan, Bandung, 1996.
4 Ali Hasan Al-Aradhi, Tarikh Al-Tafsir wa Manhij Al-Mufassirin, terj: Ahmad Arkum, Sejarah dan Metodologi

Tafsir, hal: 75, Jakarta,

1994.

5 Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman Ar-Rumi, Bushust fi Ulumi At-Tafsir wa Mahajinuhu, hal: 62, Maktabah At-Taubah.

Ruang lingkup pembahasan tafsir Muqaran dari masing-masing aspek berbeda-beda.


Secara global, tafsir Muqaran antara ayat dapat diaplikasikan pada ayat-ayat al-Quran yang
memiliki dua kecenderungan. Pertama adalah ayat-ayat yang memiliki kesamaan redaksi
namun ada yang berkurang ada juga yang berlebihan. Kedua adalah ayat-ayat yang memiliki
perbedaan ungkapan, tetapi tetap dalam satu maksud. Nashruddin selanjutnya melengkapi
pendapat tersebut dalam buku yang lain dengan pernyataan bahwa wilayah kajian
perbandingan ayat dengan ayat tidak hanya terbatas pada analisis redaksional saja, melainkan
mencakup perbedaan kandungan makna masing-masing ayat yang diperbandingkan.
Disamping itu, juga dibahas perbedaan kasus yang dibicarakan oleh ayat-ayat tersebut,
termasuk juga sebab turun ayat serta konteks sosial-kultural masyarakat pada waktu itu.6
Ada tiga aspek yang menjadi kajian utama dalam metode tafsir Muqaran, yaitu:
1.
Membandingkan penafsiran ayat dengan ayat dari berbagai segi.
Perbandingan dalam aspek ini dapat dilakukan pada semua ayat, baik dalam
pemakaian mufradat, urutan kata, maupun kemiripan redaksi. Quraish Shihab menjelaskan
bahwa dalam metode ini, khusunya yang membandingkan antara ayat dengan ayat [juga ayat
dengan hadis], biasanya mufassirnya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan
perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan
kasus/masalah itu sendiri.7
Dalam membahas perbedaan-perbedaan itu, para mufassir harus meninjau berbagai
aspek yang menyebabkan timbulnya perbedaan seperti latar belakang turunnya ayat tidak
sama, pemakaian kata dan susunannya di dalam ayat berlainan, serta konteks masing-masing
ayat, situasi dan kondisi umat ketika ayat tersebut turun.
Contoh penafsiran dengan cara membandingkan ayat-ayat al-Quran yang memiliki redaksi
yang berbeda tapi maksudnya sama adalah firman Allah SWT. Pada potongan ayat surah alAnam ayat 151 dengan surah al-Isra ayat 31.
wur (#q=F)s? N2ys9rr& iB 9,n=B) ( `sR N6%

....) tR Nd$)ur
Artinya: ...dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami
akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka...(QS. Al-Anam/6: 151)
wu (#q=G)s? N.ys9rr& spuyz 9,n=B) ( `tU Ng
%tR /.$)ur 4 b) Ngn=Fs% tb%2 $\z #Z6x.
Artinya: Terjemahnya: dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (QS. Al-Isra/17:
31)
Kedua ayat diatas menggunakan redaksi yang berbeda padahal maksudnya sama,
yakni sama-sama mengharamkan pembunuhan anak. Hanya saja sasarannya yang berbeda.
6
7

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Quran Dengan Metode Mawdhiiy-Beberapa Aspek Ilmiah Tentang al-Quran, (Jakarta: Perguruan Tinggi
Ilmu al-Quran, 1986), h. 34.

Surah al-Anam khitabnya ditujukan kepada orang miskin atau fuqara, sedangkan surah alIsra arah pembicaraannya lebih ditujukan kepada orang-orang kaya.
2.
Membandingkan segi kandungan ayat dengan hadis Nabi saw.
Dalam kategori ini, yang menjadi persoalan adalah ayat yang sepintas maknanya
bertentangan dengan sabda Nabi saw. atau sebaliknya. Misalnya ayat al-Quran yang
menjelaskan bahwa yang diharamkan untuk dimakan itu ada empat macam: daging babi,
bangkai, darah yang dibekukan, dan sembelihan yang ditujukan kepada selain Allah. Namun
ternyata ada hadis yang menyatakan bahwa sesungguhnya selain yang itu, Allah
mengharamkan umat Islam memakan daging binatang yang bertaring (binatang buas) atau
binatang yang hidup di dua alama (amfibi).
Sekalipun sanad hadis tersebut sahih, jika maknanya bertentangan dengan al-Quran,
baik langsung atau tidak, maka hadis tersebut dapat diklaim sebagai hadis yang tidak sahih.
Karena salah satu ciri utama hadis sahih adalah maknanya tidak bertentangan dengan alQuran dan tidak mungkin Nabi saw. menentang Tuhan.
Demikian kira-kira logika ulama ahli hadis dalam ketika menghadapi makna-makna
hadis seperti itu. Berbeda dengan ulama ahli ushul fiqih. Menurut mereka, jika hadis
bertentangan dengan al-Quran, pertentangan itu sesungguhnya masih dapat dikompromikan,
yakni kedua larangan atas teks ajaran itu masih dapat dipakai sebagai dua ajaran yang saling
melengkapi. Dan larangan yang berasal dari al-Quran itu bersifat mutlak haramnya,
sementara larangan yang berasal dari sabda Nabi saw. dapat bersifat mutlak selama tidak ada
nash yang menentangnya. Jika ada nash lain yang menentangnya maka pelarangan itu hanya
bersifat makruh saja.8
Dalam melakukan perbandingan ayat al-Quran dengan hadis yang terkesan berbeda
atau bertentangan ini, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menentukan nilai hadis
yang akan diperbandingkan dengan ayat al-Quran. hadis itu haruslah sahih. Sementara hadis
dhaif tidak bisa diperbandingkan, karena disamping nilai otoritasnya rendah, dia justru
semakin bertolak karena pertentangannya dengan ayat al-Quran, setelah itu para mufassir
melakukan analisis terhadap latar belakang terjadinya perbedaan atau pertentangan antara
keduanya.9
3. Membandingkan pendapat-pendapat para ulama tentang penafsiran-penafsiran
yang telah mereka lakukan.
Yang menjadi pembahasan pada poin ini bukan sekedar perbedaanya saja, melainkan
argumentasi masing-masing penafsir, bahkan mencoba mencari apa yang melatarbelakangi
perbedaan itu dan berusaha pula menemukan sisi-sisi kelemahan dan kekuatan masingmasing penafsir.10
8 Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran, (Bandung: Pustaka
Setia, 2004), h. 101-102.
9 Quraish Shihab dkk, Sejarah Ulumul Quran, (Cet.IV; Jakarta: Pustaka Firdaus,
2008), h. 190.

Langkah Muqaran seperti ini penting dilakukan, mengingat bahwa khazanah tafsir alQuran itu banyak sekali, terutama dari segi coraknya. Dengan mengumpulkan pendapatpendapat ulama dari berbagai corak dan berbagai disiplin ilmu, tentu akan menghasilkan
suatu penafsiran yang lebih mendekati kebenaran dibanding hanya memegang satu
pandangan saja tanpa menguji dan melihat pandangan-pandangan penafsir yang lain.
Disinilah tampak keunggulan tafsir Muqaran dibanding dengan pendekatan-pendekatan
lainnya.11

B. VARIASI KEMIRIPAN REDAKSI TAFSIR MUQARRAN


Langkah kedua dalam Metode menafsirkan ayat-ayat yang beredaksi mirip ialah
melakukan perbandingan di antara redaksi-redaksi yang mirip tersebut, dalam langkah kedua
ini ,paling tidak ada dua pendekatan yang perlu diakukan oleh mufassir,yaitu pendekatan
linguistik (Mufasir harus menggunakan pendekatan linguistik ini karena Al Quran diturunkan
dalam bahasa Arab.) dan pendekatan ilmu qiraat (membahas tentang perbedaan lafal-lafal
wahyu dan penulisan huruf atau cara pengucapannya). Dengan demikian dapat diketahui
identitas masing-masing redaksi.
a.

Analisis redaksi yang mirip

Perbandingan yang telah dilakukan sebelumnya,disini dianalisis dengan lebih


mendalam dan detail, pendekatan yang digunakan pada tahap kedua di atas juga dipakai
disini dan ditambah aspek-aspek lain yang berkaitan erat dengan redaksi yang dikaji seperti
latar belakang turunnya ayat, biograi Rasulullah, kondiis umat ketika ayat turun, dll.
b.

perbandingan pendapat para mufasir

Dalam langkah ini yang dilakukan mufasir adalah meninjau berbagai pendapat
mufasir berkenaan dengan penafsiran ayat-ayat tersebut. dengan cara mufasir perlu menelaah
berbagai kitab tafsir berkenaan dengan penafsiran ayat yang sedang dibahasnya. Dalam
menelaah kitab-kitab tafsir itu yang menjadi perhatian adalah pola penafsiran yang
diterapakan oleh pengarangnya. Sehingga mufasir muqarin akan memperoleh gambaran yang

10 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir-Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut


Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Quran, (Cet.1; Tengerang: Lentera
Hati, 2013), h. 385.
11 Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran, h. 103.

luas sekali mengenai penafsiran satu ayat.Dengan demikian dia tidak apriori(beranggapan
sebelum mengetahui) menerima atau menolak suatu tafsir.12
Seperti halnya ketika mufasir menafsirkan ayat-ayat ini:
@% $pkr't crx69$# Iw 6r& $tB tbr7s?
Iwur OFRr& tbr7t !$tB 7r& Iwur O$tRr& /%t
$B Lnt6t Iwur OFRr& tbr7t !$tB 6r&
Jika diperbandingkan redaksi ayat ayat Al kafirun itu tampak jelas,ayat ke-2 dan ke-4
ungkapanya berbeda meskipun maksudnya sama ,yakni nabi Muhamad tidak menyembah apa
yang di sembah oleh orang musyrik makkah.kemudian ayat ke-3 dan ke-5 yang membawa
redaksi persis sama,tapi jika dibandingkan dengan redaksi pada ayat 2 dan 4 jelas terlihat
perbedaan,baik dari segi pengungkapan maupun kata yang digunakannya. Di penutup ayat
ke-4 Allah menggunakan kata kerja lampau ( fiil Madhi) sementara pada kahir ayat 3
dan 5 digunakan kata kerja masa sekarang (fi il Mudhari) .
Sepintas ayat 2 dan 4 tampak berkonotasi, tapi sebenarnya mempunyai konotasi berbeda yang
tidak ada pada yang lain. Redaksi , yang bermakana:saya tidak menyembah
apa yang sedang kalian sembah. Pengertian ini diambil dari kata kerja yang dipakai dalam
ayat itu , yaitu Fiil Mudhari yang didahului oleh yang berarati tidak(nafy).
Sedangakaan redaksi mengandung makana,saya tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kalian sembah" . Pengertian ini dipahami dari konotasi kata sifat (isim
fail) yang berarti penyembah. Sebagaimana dikutip dalam Al Karmani,isim fail
menunjukkan pada ketiga masa itu:lampau,sekarang,dan akan datang. Dengan demikian
redaksi

ayat

itu

mempertegas

apa

yang

telah

dinyatakan

didalam

ayat

sebelumnya,sehingga dapat dipahami bahwa Nabi Muhamad tidak menjadi penyembah apa
yang disembah oleh orang kafir Makkah, baik dulu, sekarang dan masa yang akan datang.
Dengan uaraian itu jelaslah bahwa masing-masing redaksi membawa pesan yang
berlainan,dan bahkan redaksi yang keempat mengandung makna yang lebih luas dari yang
dikandung oleh redaksi yang ke-2.
Yang menjadi permasalahan bagi Mufassir

dalam redaksi Al Kafirun adalah

perbedaan pemakaian kata kerja. Pada Akhir ayat ke 4 dugunakan kata kerja masa lampau
(fiil Madhi), sementara pada ayat 2,3,dan 5 digunakan kata kerja masa kini (fiil mudhari),
maka terlihat ada hubungannya dengan situasi dan kondisi yang ada pada waktu ayat itu
diturunkan, baik menyangkut diri Nabi maupun keadaan orang orang Quraisy yang selalu
12 Nashruddin Baidan. Metode penafsiran Al quran. Yogyakarta:pustaka pelajar.
2002. H. 76.

merongrong dakwah beliau dan memusuhinya. Kaum Quraisy yang diseru Nabi untuk masuk
islam setelah menjadi penyembah berhala jauh sebelum Nabi diangkat menjadi Rasul. Oleh
karena itu, supaya cocok dengan latar belakang yang telah mewarnai masa lampau mereka
yang demikian, maka tidak ada jalan lain kecuali mengguanakn kata kerja masa lalu (Fiil
Madhi): . Apabila hal itu diungkapkan dengan menggunakan kata kerja masa sekarang
(fiil Mudhori) , maka akan tidak sesuai dengan pengalaman yang mereka alami
secara turun temurun dari nenek moyang mereka.
Dalam kaitan ini timbul perbedaan pendapat Al Zamakhsyari, misalnya, menyatakan
dalam ayat 2 menunjukkan kepada masa depan karena hanya bisa masuk pada fii
mudhori yang mempunyai makna Istiqbal (akan datang). Sedangkan hanya masuk pada
fiil mudhori yang mempunyai makna hal (sekarang). Jadi menurut pendapat ini berarti
Saya tidak akan menyembah,dan Apa yang sedang saya sembah. Jumhur ulama
atau paling tidak para mufasir tidak setuju pendapat ini. Diantara yang paling keras menolak
pendapat ini Adalah Abu Hayyan,sebagaiman dikatakannyaPendapat itu tidak benar ,kecuali
dilihat dari sudut kebiasaannya karena ada yang masuk kepada fiil mudhori yang
mengandung makna hal ))dan ada pula yang masuk pada fiil mudhori yang
mengandung makna istiqbal. Abu Al Suud juga berpendapat seperti ini. Disamping itu ada
pendapat lain dari Ibn Taymiyat yang diriwayatkan oleh Ibn Katsir,katanya:Maksud
firmanNya ialah menafikan perbuatan karena diungkapkan dalam kalimat
ialah menafikan penerimaan terhadap perbuatan itu secara total , Maka seolaholah ia menafikan perbuatan itu dan sekaligus tidak menerimanya.
Jika diperbandingkan pendapat para mufasir itu dapat disimpulkan ke dalam dua hal.
Mereka yang mengatakan bahwa Nabi telah beribadah sebelum menjadi Rasul adalah dalam
pengertian beliau

telah

mempercayai ke Esaan Allah

dan tidak menyekutukanNya.

Sebaliknya mereka yang berpendapat bahwa Nabi tidak beribadah kepada Allah sebelum
menjadi Rasul adalah dalam pengertian ibadah sebagaimana diajarkannya setelah turunnya
wahyu.13
c. Membandingkan ayat Al-quran dengan matan hadits yang terkesan bertentangan,
namun sebenarya tidak. Seperti:
pkr't Aq9$# k=t/ !$tB tAR& s9) `B y7i/ ($
b)ur O9 @ys? $yJs |M=t/ mtGs9$y 4 !$#ur

13 Nashruddin Baidan. Metode penafsiran Al quran. Yogyakarta:pustaka pelajar.


2002. h. 219.

Jt z`B $Z9$# 3 b) !$# w ku tPqs)9$#


ts39$#
Artinya: Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika
tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan

amanat-Nya.

Allah

memelihara

kamu

dari

(gangguan)

manusia(Maksudnya: tak seorangpun yang dapat membunuh Nabi Muhammad


s.a.w.) Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir. (Al-maidah; 67)














.











Artinya: Allah sangat murka terhadap orang yg telah dibunuh Nabi, & Allah
sangat murka kepada seseorang yg membuat wajah Rasulullah Shallallahu 'alahi
wasallam terluka. (HR. Bukhari)
Cuplikan ayat mengisyarakatkan bahwa Allah SWT akan selalu
melindungi atau memelihara keselamatan diri dan jiwa nabi Muhammad SAW. Namun dalam
suatu matan hadits disebutkan bahwa nabi pernah dilukai (kena luka) saat perang uhud, dan
disini timbulah kejanggalan tersebut. Dalam masalah kontroversi ini , al-zarkasyi
menawarkan dua macam alternativ. pertama, peristiwa perang uhud terjadi ketika ayat ini
belum diturunkan, karna ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriah, padahal ayat ini dikenal
dengan kelompok surah madaniyah yang mana diturunkan pada saat ahir-ahir nabi menerima
wahyu. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa jaminan Allah atas nabi berlaku setelah
turunya ayat ini. Kedua, menurut al-zarkasyi yang dimaksud dengan ishmat disini adalah
terjaminya keselamatan jiwa nabi Muhammad SAW dari kemungkinan pembunuhan yang
dilakukan oleh musuh-musuh nabi, bukan keselamatan jasmani (pelukaan, karna kenyataanya
nabi tidak wafat pada perang uhud).
Jika mufassir hendak menggunakan metode muqoron seperti ketentuan diatas, maka
mula-mula ia harus mengumpulkan ayta al-quran dan matan hadits (shohih) yang
kelihatanya mempunyai perbedaan makna, kemudian adakan perbandingan, dan kesimpulan.
d. Membandingkan antara penafsiran ulama /aliran tafsir yang satu dengan yang lainya.
Sebagai ilustrasi dalam masalah ini seperti halnya tentang syafaat nabi Muhamad
yang menjadi perdebatan, pada golongan ahli sunnah dan mutazilah. Menurut penjelasan
yang diberikan thantawi jawhari, dalam kitab tafsirnya al-jawahir fi al-tafsir al-quran al-

karim, semua umat islam (ahli sunnah dan mutazilah) telah sepakat bahwa kelak diahirat
akan ada yang namanya syafaat untuk orang islam, bukan orang kafir. Namun dibalik itu
mereka berselisih tentang tujuan diberikanya syafaat itu jika dihubungkan dengan orang
islam yang mempunyai dosa besar.
Menurut penafsiran kaum ahli sunnah sayafaat itu bisa diberikan meskipun kepada
orang islam yang banyak dosanya, karna dengan diberi syafaat maka dosanya akan tertutup.
Berbeda dengan kaum mutazilah yang menganggap bahwa orang islam yang banyak
dosanya tidak berhak mendapatkan syafaat.
Dalam kedua pernyataan diatas jawhari mengemukakan pendapatnya setelah
mendapatkan bentuk muqoronah (perbandingan) pada keduanya, menurutnya hubungan antar
nabi Muhammad dengan syafaat sendiri adalah sebagaimana hubungan matahari dengan
sinarnya. Sebgaimana matahari memencarkan sinarnya keseluruh penjuru dunia, nabi
Muhamad pun akan memberikan syafaatnya kepada seluruh umatnya, namun kita bisa
pahami bahwa sinar matahari tidak semuanya sama di setiap belahan bumi, hal itu tergatung
dengan posis tempat pada bumi, begitupun dengan manusia yang tidak akan sama menerima
syafatnya, tergantung amal ibadahnya.
Jika mufassir hendak menggunakan metode muqoron seperti ketentuan diatas, maka mulamula ia harus menrauh perhatian kepada ayat-ayat Al-quran yang ada hubunganya,
kemudian lilahtlah bagaiama pendapat beberapa ulama tafsir tentang permasalahan teresebut,
kemudian lihat persamaan, perbedaan, kelebihan dan kekurangan dari tafsir-tafsir tersebut,
dengan begitu akan mengkompromikan berbagai penafsiran yang ada, atau memperkokoh
satu tafsiran saja, atau bahkan menolak, dan memberikan argumen pendapatnya sendiri.14
C. PENERAPAN METODE MUQARRAN

Dari uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, diperoleh gambaran bahwa dari segi
sasaran (objek) bahasan ada tiga aspek yang dikaji didalam tafsir Muqaran yaitu
perbandingan ayat dengan ayat, perbandingan ayat dengan hadis, dan perbandingan pendapat
para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran.
Apabila aspek pertama yang dijadikan sasaran pembahasan, perbandingan ayat dengan ayat,
maka langkah yang ditempuh ialah: 15

14

Muhamad Amin Suma. Study Ilmu-Ilmu Al-Quran 2. Jakarta; Penerbit Pustaka Firdaus, 2001. Cet 1. Hlm
115-126.

15 Nashruddin Baidan, Metoda Penafsiran al-Quran-Kajian Kritis Terhadap AyatAyat yang Beredaksi Mirip, h. 65.

1. Mengidentifikasi dan menghimpun ayat-ayat yang beredaksi mirip didalam al-Quran


sehingga diketahui mana yang mirip mana yang tidak.
2. Membandingkan ayat-ayat yang beredaksi mirip itu, yang membicarakan satu kasus
yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam satu redaksi yang sama.
3. Menganalisis perbedaan yang terkandung didalam berbagai redaksi yang mirip, baik
perbedaan tersebut mengenai konotasi ayat, maupun redaksinya seperti berbeda dalam
menggunakan kata dan penempatannya dalam satu ayat, dan sebagainya.
4. Membandingkan pendapat mufassir tentang ayat yang dijadikan objek bahasan.
Apabila aspek yang kedua yang dijadikan sasaran pembahasan, yaitu perbandingan ayat
dengan hadis Nabi, maka metodenya adalah:
1.

Menghinpun ayat-ayat yang pada lahirnya bertentangan dengan hadis-hadis Nabi saw.

2.

baik ayat-ayat tersebut mempunyai kemiripan redaksi dengan ayat lain atau tidak
Membandingkan dan menganalisis pertentangan yang dijumpai didalam kedua redaksi

3.

ayat dengan hadis.


Membandingkan pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat dan hadis
tersebut.
Apabila aspek ketiga yang dijadikan pembahasan, yaitu perbandingan pendapat para

ulama tafsir dalam menafsirkan suatu ayat, maka metodenya adalah:


1.

Menhimpun sejumlah ayat al-Quran yang dijadikan objek studi tanpa menoleh kepada

2.
3.

redaksinya, apakah mempunyai kemiripan atau tidak.


Melacak berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Membandingkan pendapat-pendapat mereka untuk mendapatkan informasi berkenaan
dengan identitas dan pola berfikir dari masing-masing mufassir.

DAFTAR PUSTAKA
Dr.
Abdul
Muin,
Metodologi
Ilmu
Tafsir,
Yogyakarta;
2005
Dr. Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhuiy, Raja grafindo Persada,
Jakarta:a1996
Nasrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 2002
Dr. Said Agil Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press,
Jakarta; 2005
al-Farmawi, Abu al-Hayy. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhui
Mesir:
Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977.
Al-Jurjaniy, al-Tarifa>t, Jeddah: al-Tabbah wa al-Nasyr wa al-Tauzi, t.t.
Baidan, Nashruddin Metodologi Penafsiran al-Quran, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000.
-------. Metoda Penafsiran al-Quran-Kajian Kritis Terhadap Ayat-Ayat yang
Beredaksi Mirip, Cet.I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Bakar, Ahmad Abu. Metodologi Penelitian Tafsir Maudu>i, Makassar:
Pustaka al-Zikra, 2011.
Baker, Anton. Metode-metode Filsafat, Cet. I; Jakarta: Ghalia Indonesia,
1984.
Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran, Bandung:
Pustaka Setia, 2004.

Mardan, al-Quran Sebuah Pengantar, Jakarta: Mazhab Ciputat, 2010.


RI, Departemen Agama. Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang: Toha
Putra, 1989.
Salim, Abd Muin. Metodologi Ilmu Tafsir, Cet. I; Yogyakarta: TERAS, 2005.
Shihab M. Quraish dkk. Ensiklopedi al-Quran - Kajian Kosa Kata, Cet. I;
Jakarta: Lentera Hati, 2007.
-------. Sejarah Ulumul Quran, Cet.IV; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
-------. Kaidah Tafsir-Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Quran, Cet.1; Tengerang: Lentera
Hati, 2013.
-------. Mukjizat al-Quran, Bandung: Mizan, 1998.
-------. Tafsir al-Quran Dengan Metode Mawdhiiy-Beberapa Aspek Ilmiah
Tentang al-Quran, Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran, 1986.

Anda mungkin juga menyukai