Anda di halaman 1dari 5

SYUKURAN

“Syukuran“, sebuah istilah yang ada dinegeri ini dan dikaitkan sebagai sebuah
bentuk dari aplikasi rasa syukur. Hampir semua apa saja dari setiap yang dianggap
sebagai suatu kenikmatan berupa kebahagian yang ditunjukkan dengan rasa bersyukur
kepada zat yang telah memberikan kenikmatan dan kebahagian dituangkan atau
diimplementasikan oleh umat muslim dengan pelaksanaan syukuran.
Fenomena syukuran sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka dan malah
dianggap sebagai label yang Islami, karena di dalamnya tidak pernah lepas dari ritual
pembacaan doa dan lain-lain.
Kita mungkin pernah mendapatkan undangan dan menghadiri acara syukuran, atau
undangan dengan sebutan selamatan atau dinamai juga sebagai kenduri, seperti syukuran
peringatan kelahiran atau ulang tahun, syukuran sembuh dari sakit, syukuran
mendapatkan kenaikan pangkat atau jabatan, syukuran karena lulus dalam ujian
disekolah, syukuran atas keberhasilan mendapatkan gelar, syukuran pesta panen,
syukuran menempati rumah baru, syukuran isteri yang baru melahirkan, syukuran
membeli kendaraan baru. Dan bahkan mungkin saja kita pernah melakukan acara
syukuran atau yang sejenis dengan mengundang sanak keluarga atau tetangga, bahkan
dengan jumlah undangan yang cukup banyak, yang tentunya tidak pernah lupa
menyediakan makanan segala.
Acara syukuran atau kenduri yang sudah merakyat dari lapisan bawah sampai
kelapisan atas, dari kalangan awam sampai kalangan yang berilmu, tidak saja dilakukan
oleh orang-orang secara invidu/ keluarga, tetapi banyak pula yang dilakukan secara
berjama’ah ramai oleh orang-orang sekampung. Perhatikanlah betapa banyak pesta-pesta
atau syukuran yang dilakukan oleh suatu kampung yang ditayangkan oleh berbagai media
televisi. Ada syukuran pasca panen, syukuran bersih desa, ada syukuran dalam bentuk
pesta laut. Semua dilakukan oleh mereka, yang konon katanya sebagai ungkapan rasa
syukur kepada penguasa bumi dan penguasa laut yang telah memberikan rezeki berupa
hasil bumi dan hasil laut, dengan memberikan sesajen dan bentuk makanan dan buah-
buah bahkan hewan ternak agar para penguasa alam berupa dewa-dewa dan jin tidak
marah.

Syukuran Ditinjau Dari Kacamata Syari’at.

“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu;
dan syukurilah ni`mat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”(Q.S. An-
Nahl : 114)

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) -Ku.” (Q.S. Al-
Baqarah : 152)

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya
kamu menyembah.”(Q.S. Al-Baqarah : 172)
“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu
membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu
memberikan rezki kepadamu; maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia
dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan.”(Q.S.
Al-Ankabut : 17)

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah
kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia
bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".(Q.S. Lukman : 12)

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-
bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah,
dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”(Q.S. Lukman : 14)

Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman
mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka
dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan
bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu)
adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".(Q.S. Saba : 15)

Perlu dicermati apakah syukuran yang dikenal luas dikalangan umat Islam itu
adalah merupakan suatu bentuk pelaksanaan dari petunjuk baik yang ada dalam Al-
Qur’an maupun As-Sunnah Rasullulah SAW yang harus dijadikan panduan dalam
melakukan sesuatu yang terkait dengan kepentingan agama.

Dari beberapa ayat tersebut diatas, jelas sekali bahwa setiap nikmat datangnya dari
Allah SWT, dan kita sebagai makhluk wajib untuk mensyukuri segala nikmat-Nya
tersebut. Namun dalam hal ini tidak ada satu perintah yang jelas mengenai pelaksanaan
bersyukur itu, jadi apakah syukuran itu ada dalil atau hujjah yang dapat dipakai sebagai
dasar hukumnya, karena sesuatu ibadah itu dalam Islam harus didasarkan kepada adanya
perintah, suruhan dan contoh dari Rasullulah SAW, atau setidaknya pernah dilakukan
oleh kalangan para sahabat, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Kalau tidak ada perintah,
suruhan, atau contohnya maka perbuatan itu adalah termasuk perbuatan mengada-ada
atau menambah-nambah yang dilarang keras untuk dilakukan oleh umat Islam. Dan
pelakunya telah melakukan pelanggaran syari’at yang diancam mendapatkan sanksi
hukuman.
Dari seluruh hadits yang diriwayatkan oleh para muhadistin, baik yang maudhu,
dhaif, maupun hasan tidak ada satupun yang menyebutkan adanya syukuran tersebut,
apalagi hadits yang shahih sama sekali tidak pernah menyinggung dan membicarakan
tentang syukuran tersebut.
Nabi Muhammad SAW sebagai Rasullulah yang diutus menyampaikan risalah
Islam oleh Allah SWT dalam bentuk syari’at, telah memberikan informasi yang lengkap
dan sempurna tentang bagaimana seharusnya sepak terjang, tingkah polah dan prilaku
umat manusia terhadap Allah SWT. Islam telah mengajarkan dan memberitahukan
segalanya kepada makhluk yang namanya manusia, apa yang harus dilakukan berupa
segala perintah yang harus dilakukan dan segala sesuatu yang sifatnya larangan.

Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam bukunya “Risalah Bid’ah“ dalam Bab
Kesempurnaan Islam mengemukan tentang ayat tersebut diatas : “dalam ayat yang mulai
ini, Allah menegaskan bahwa agama ini (al Islam) telah sempurna dan lengkap, yang
tidak memerlukan sedikit pun tambahan dan pengurangan, apapun bentuk dan alasannya
dari tambahan-tambahan tersebut meskipun disangka baik atau dari siapa saja datangnya
meskipun dianggap besar oleh sebagian manusia, adalah satu perkara besar yang sangat
dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi sangat dicintai oleh iblis dan para
pengikutnya. Pelakunya, langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar, telah
membantah firman Allah diatas dan telah menuduh Rasullulah SAW berkhianat di dalam
menyampaikan risalah.
Al-Qur’an sebagai acuan pokok dan standar atau landasan hukum yang pokok
dalam syari’at Islam bagi kaum muslimin, dilengkapi pula oleh as–Sunnah Rasullulah
SAW sebagai penjelasan dan penjabaran dari al-Qur’an, merupakan aturan rinci dan
lengkap, bagaimana seharusnya umat Islam dalam beribadah dan bermuamalah, yang
mengatur bagamaina umat Islam dalam mengadakan kontak dengan Allah Sang Maha
Pencipta (hablumminallaah) dan berhubungan sesama manusia (hablumminannas).
Semua aturan sudah ter-cover secara lengkap dalam as-sunnah Rasul dan tidak satupun
yang tercecer atau terlupakan, dari hal yang paling kecil sekalipun dan sepele sampai
kepada hal yang besar, semuanya ada diatur.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam ath Thabrani dikitabnya al-Mu’jamir
Kabir dari Abu Dzar, ia berkata : “Rasullulah SAW telah (pergi) meninggalkan kami
(wafat) dan tidak seekorpun burung yang (terbang) membalik-balkikan kedua
sayapanya diudara melainkan beliau telah menerangkan ilmunya kepada kami.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Salman al Faarisiy, ia berkata :
Ditanyakan kepadanya, '(Apakah) Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu hingga
adab beristinja? ' 'Abdurrahman berkata, "Salman menjawab, 'Ya. Sungguh dia telah
melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar, buang air kecil, beristinja'
dengan tangan kanan, beristinja' dengan batu kurang dari tiga buah, atau beristinja'
dengan kotoran hewan atau tulang'."

Dari riwayat diatas dapat disimpulkan bahwa para sahabat menegaskan kepada
kita : Sesungguhnya Rasullulkah SAW telah mengajarkan kepada umatnya segala sesuatu
tentang Agama Allah ini (al-Islam), baik aqidah, ibadah dan lain-lain sampai kepada
adab-adab buang air. Oleh karena itu, apa saja yang tidak ada dalam al-Qur’an dan as-
sunnah, maka ia bukan merupakan bagian dari agama, yang tentunya tidak boleh
seorangpun melakukan sesuatu dalam beragamanya tanpa dilandasi dalil yang shahih.
Meskipun itu menurut pikiran, akal, perasaan dan hawa nafsu sesuatu yang baik. Karena
apa yang baik menurut akal, pikiran, perasaan dan hawa nafsu itu baik, belum tentu baik
menurut syari’at, mungkin ia bahkan bertentangan dengan syari’at. Tetapi sebaliknya
apapun yang dikatakan oleh syari’at baik, maka mutlak dan pasti tidak akan pernah
bertentangan dan ditolak oleh akal, pikiran, dan perasaan.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah diriwayatkan
bahwa rasullulah SAW bersabda : "Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah
Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW. Seburuk-buruk
perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid'ah adalah sesat."
Satu catatan penting yang perlu mendapat perhatian secara khusus oleh kita kaum
muslimin adalah syukuran yang didalam pelaksanaannya banyak sekali bertentangan
dengan syari’at karena banyaknya terjadi berbagai kemunkaran dan malah bersifat
kesyirikan, yaitu syukuran yang dilaksanakan secara massal oleh masyarakat seperti pesta
laut dengan melarungkan sesajen kelaut sebagai persembahan kepada dewa dan penguasa
laut yang telah memberikan rezeki berupa tangkapan ikan, dimana juga sebelumnya
didahului dengan pawai yang diikuti kaum dewasa, muda, anak-anak, laki-laki dan
perempuan campur baur dan yang perempuannya menampakkan auratnya berupa pakaian
yang terbuka dadanya. Hal yang sama juga dilakukan dalam rangka syukuran selepas
panen dengan melakukan ritual pesta bersih desa dan tentunya juga tidak ketinggalan
sesajen serta pertunjukan wayang semalam suntuk. Acara hajatan syukuran bersih desa
dimaksudkan agar penguasa bumi memberikan perlindungan dari bagai malapetaka, dan
juga harapan panenan hasil bumi dimasa yang akan datang berlimpah. Coba disimak
secara akal sehat, tidakkah hajatan syukuran seperti itu suatu kesyirikan, karena
memberikan sesajen kepada para dewa penguasa bumi. Tidakkah itu merupakan prilaku
menyukutukan Allah dengan yang lain . Kalau itu ditujukan kepada Allah, caranya juga
telah menyalahi syariat, karena Allah tidak pernah meminta sesuatu dari hambanya
berupa sesajen.

Di Dalam al-Qur’an terdapat cukup banyak ayat-ayat yang menyebutkan tentang


bersyukur antara lain dalam surat al-Baqarah ayat 152 : “Karena itu, ingatlah kamu
kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku, dan
janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.

Juga dalam ayat lain , seperti yang tercantum dalam al-qur’an surat adh-Dhuha ayat 11 :
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaknlah kamu menyebut-nyebutnya (dengan
bersyukur ).

Selain itu dalam al-Qur’an surat Ibrahim ayat 7 Allah Ta’ala berfirman :“Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nimatku) kepadamu, dan jika kamu
mengingkarai (nikmatku) maka sesungguhnya azab-ku sangat pedih “

Karena bersyukur adalah suatu perintah yang termasuk sebagai sebuah ibadah,
maka cara bersyukur haruslah pula sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at, dimana untuk
itu tidak diperkenankan seorangpun untuk membuat ketetapan syari’at yang baru dalam
beribadah tersebut, termasuk dalam cara melakukan syukuran. Mensyukuri nikmat yang
diberikan Allah SWT adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia, dan
menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam buku beliau Tazkiyatun Nafs bahwa pujian
tidak terjadi kecuali dengan adanya nikmat dan itu merupakan inti dari syukur dan awal
dari bentuk kesyukuran. Dan mensyukuri nimat Allah tidak hanya cukup dengan memuji
tetapi harus dibarengi dengan tindakan baik memuji-Nya dengan lisan yaitu berzikir,
menggunakan nikmat tersebut dijalan yang diridhai Allah.
Mengutip tulisan Ahmad Abu Ari dalam majalah Fatawa Vol. 06. th. II 1425H.
2004 bahwa diantara cara bersyukur yang dibangun atas ilmu adalah menyadari bahwa
semua nikmat itu datang dari Allah SWT semata. Sehingga sangat tidak masuk akal jika
rasa syukur itu ditujukan kepada selain Allah atau menyelisihi syari’at, sebagaimana
banyak yang dilakukan masyarakat. Termasuk didalam hal ini ialah tidak memahami
keharamannya secara syar’i. Misalnya melakukan pesta, bersedekah bumi sesudah panen
atau sedekah laut, berterimakasih kepada kuburan atau orang pintar, memaksakan diri
melakukan selamatan jika keinginanya terkabul.

Sumber bacaan :
• Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ensiklopedi Hadits, kitab 9 Imam CDHKJ91
Ver.1.2k
• Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, Kemulian Sabar dan Keagungan Syukur.
• Ibnu Qaiyyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah).
• Majalah Fatawa Vol. 06.Th II. 1425. 2004 M
• Syaikh Dr. Ahmad Farid, Manajemen Qalbu Ulama Salaf.
• Ibnu Qudamah, Minhajul Qashidin (Jalan Orang-Orang Yang Mendapat
Petunjuk).
• Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah.
• Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005

Anda mungkin juga menyukai