Jazulie98@gmail.com
Abstrak
A. Pendahuluan
Islam merupakan agama yang melengkapi syariat yang terdapat dalam
agama-agama samawi sebelumnya. Dimana syariat yang dibawa oleh islam
tertuang didalam kitabullah, Al-Qur’an, yang notabenenya juga menjadi kitab
pelengkap dari kitabullah yang turun sebelumnya seperti injil, zabur, dan taurat.
Dengan perkataan tersebut, sudah barang tentu Al-Qur’an dapat dijadikan
pedoman yang bersifat abadi dan universal. Artinya abadi yakni dapat dijadikan
pedoman sampai hari kiamat, dan universal berarti dapat digunakan untuk
pedoman bagi seluruh manusia, tidak terbatas untuk kaum muslimin saja,
mengingat islam adalah ajaran yang rohmatan lil ‘alamiin. Bukan hanya rohmatan
lil muslimin.
Mengingat Al-Qur’an itu merupakan pedoman yang harus dipegang oleh
kaum muslimin, penulis merasa sangatlah diperlukan tinjauan dan kajian untuk
memahami pelbagai ulumul qur’an yang menopang kemukjizatan Al-Qur’an
sehingga mukjizatnya tidak hanya sebatas kata sahaja. Tapi, dengan penguasaan
Ulumul Qur’an seperti bahasan asbabun nuzul, ushul tafsir, muhkam mutasyabih,
majaz al-qur’an, dan naikh mansukh. Babakan Nasikh dan Mansukh inilah yang
kemudian akan saya uraikan dalam tulisan ini mengingat adanya dua kubu yang
pro-kontra terhadap permasalahan yang krusial ini. Terkait dalam bahasan ini,
banyak diantara ulama’ mutaqoddimin maupun mutaakkhirin yang turut
memberikan perhatiannya dengan komentar-komentar beserta argumennya
masing-masing.
Diantara ulama’ yang pro yakni seperti Abu ‘ubaid al-Qosim ibn Salam,
Abu ‘Ubaid As-Sijistaniy, Abu Ja’far An-Nuhhas (sebagian menyebutnya an-
Nahhas), Ibn Al-Anbary, Al-Makkiy, dan masih banyak lainnya. Didalam Al-
Itqan Fi ‘ulumil Qur’an disebutkan “Seseorang tidak boleh menafssirkan Al-
Qur’an kecuali setelah memahami Nasikh dan Mansukh”, ungkapan tersebut
diimbuhi dengan perkataan setelahnya yang merupakan hadits dari Sayyidina Ali
yang pada saat itu sedang bertanya kepada Qodli (seorang hakim). Sayyidina ali
bertanya,”Apakah kamu (qodli) mengetahui tentang nasikh mansukh? “Tidak”,
Jawab sang Qodli. Kemudian sayyidina ‘ali berkata: “Dirimu celaka, juga dapat
mencelakakan”.1
Sedangkan yang termasuk diantara ulama’ yang kontra terhadap adanya
nasikh dan mansukh yang paling masyhur yaitu Abu Muslim Al-Isfahani (w, 322
H), beliau menyatakan bahwasannya yang dikategorikan sebagai ayat naskh itu
bukanlah ayat naskh ataupun mansukh, melainkan ayat yang ditakhsis. Tanpa
telaah lebih lanjut, antara keduanya memang hampir sama.
Dengan adanya pro-kontra dalam pembahasan nasikh dan mansukh,
kiranya diperlukan pengerucutan terkait pembahasan lebih lanjut. Disini, penulis
dalam penulisannya akan lebih mengacu kepada apa dan bagaimana kata penulis
ibnu katsir dalam kitabnya mengenai Nasikh dan Mansukh terhadap al-Qur’an.
Dikarenakan tulisan ini merupakan sebuah representatif argumentatif seorang
1
As-Suyuthi, Al-Itqan fi ulumil qur’an, (Beirut : Resalah Publisher, 2008), h.462
tokoh, dengan ini penulis dalam kajiannya akan langsung meninjau pernyataan
tertulis beliau didalam kitabnya, Kitab Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adziim Lil Haafidz
Ibn Katsir. Semoga tulisan ini dapat dijadikan sebuah referensi yang terarah
pembahasannya perihal ‘Nasikh dan Mansukh dalam perspektif Kitab Tafsir Ibnu
Katsir’.
A. Biografi dan Karya Ibnu Katsir
1. Biografi Ibnu Katsir
Nama lengkap beliau yaitu Imam ad-Din Abu al-Fida’ Ismail Ibn
Amr Ibn Katsir Ibn Zara’ al-Bushra al-Dimaysqiy.2 Beliau lahir di desa
Mijdal didaerah Basrah pada tahun 700 H |1301 M. Dikarenakan beliau
bertanah-kelahiran basrah inilah yang kemudian ia memiliki predikat
sebagai ”al-Bushrawi” dibelakang namanya, penisbatan daerah pada
setiap penduduk di jazirah arab kala itu.3 Lalu beliau wafat pada
tahun 1372 M di Damaskus, Suriah.
Ayah beliau merupakan orang basrah dan ibunya merupakan
orang mijdal. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Hafs Amr Ibn
Katsir yang merupakan tokoh berpengaruh dikawasan tempat
tinggalnya. Ayahnya diperkirakan lahir pada tahun 640 H dan wafat
pada 703 H di desa Mijdal juga dikuburkan disana.4 Beliau (ayah
ibnu katsir) wafat saat ibnu katsir baru menginjak umur 3 tahun.
Hingga kemudian Ismail (Nama asli ibnu katsir) kecil diasuh oleh
kakaknya yakni Kamaluddin Abdul Wahhab dan dibawa pindah
menuju kota Damaskus, Suriah. Lalu beliau mengkhatamkan hafalan
al-Qur’an pada umur 11 tahun.
Ibnu Katsir merupakan sesosok pemikir muslim. Berawal dari
perpindahan tempat tinggalnya dari basrah menuju damaskus yang
notabenenya pada kala itu merupakan pusat studi islam menjadikan
alasan atas kepesatan pendidikan yang beliau peroleh dari madrasah
2
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, at-Tafsir wal-Mufassiruun, Jilid II, (Mesir : Maktabah Wahbah, 1985),
hlm.242
3
Menurut Manna Qatthan, Ibn Katsir lahir pada tahun 705 H. Lihat Manna al-Qattan, hlm.386
4
Abdur Rahman adz-Dzarqiy, Bidayatun Nihayah, (Beirut: Libanon, 1999), hlm 7
dan kajian-kajian yang rutin diadakan. Disebutkan pada masa itu,
Damaskus merupakan pusat studi kajian islam yang berdiri diatas
kejayaan dinasti mamluk. Pemerintahan pada masa itu sangat
memperhatikan dunia pendidikan untuk manifestasi jangka panjang
peradaban sehingga kemudian konon banyak sekali cendekiawan
muslim dicetak oleh dinasti ini. Salah satunya yaitu Ibnu Katsir.
Manna al-Qaththan dalam kitabnya Mabaahits fii Ulumil
Qur’an memberikan predikat kepada Ibnu Katsir sebagai “Orang
yang pakar fiqih, hadits, sejarah, dan tafsir al-Qur’an yang
paripurna”. Pengakuan seperti ini juga beliau dapatkan dari ulama-
ulama serta ilmuan era kini, diantaranya sebagai berikut : Al-Hafidz
(Mampu menghafal 100.000 hadits berikut matan dan sanadnya), Al-
Muhaddits (Orang yang ahli hadits baik itu dirayat maupun riwayat),
Al-Faqih (Gelar bagi ulama’ yang ahli hukum islam namun tidak
sampai pada mujtahid), Al-Mu’arrikh (Seorang yang ahli dalam
bidang sejarah), Al-Mufassir (Gelar bagi orang yang ahli dalam
bidang tafsir yang menguasai pelbagai ulumul qur’an dan perangkat
ilmu untuk menafsirkan al-Qur’an). Dari sekian banyak predikat
yang menempel dibahu Ibnu Katsir, predikat “Al-Hafidz Ibnu
Katsir” yang paling masyhur menjadi panggilan beliau.
Diantara guru-guru beliau yakni : Burhanuddin al-Fazari
(Guru utama beliau bermadzhab Syafi’i), Kamaluddin Ibnu Qadli
Syuhbah, Syekh Najmuddin Ibn ‘Asqalany, Syihabuddin al-Hajjar,
dan Jamaluddin al-Mizzi (Pakar Hadits), al-Hafidz al-Birazly (Pakar
Sejarah), dan Ibnu Taimiyyah (dikatakan bahwasannya guru inilah
yang banyak sekali mempengaruhi keilmuan beliau). Setelah
menjalani kehidupan yang panjang, beliau kemudian wafat pada
tanggal 26 sya’ban 774 H|Februari 1373 M pada hari kamis di
Damaskus, Suriah.
2. Karya Ibnu Katsir
Beliau semasa hidupnya mendedikasikan dirinya dalam dunia
keilmuan. Beliau dapat dikenal sampai saat ini tak lain dan tak bukan
karena produk yang ia hasilkan, yaitu karya-karya yang menjadi
saksi atas kepiawaian bidag keilmuan beliau. Diantara karya-karya
beliau yang ada hingga saat ini yaitu:
▪ Tafsir al-Qur’an al-‘Adziim yang biasa dikenal dengan
sebutan Kitab Tafsir Ibnu Katsir. Kitab tafsir ini memiliki
metode yang apik. Beliau menafsirkab al-Qur’an dengan al-
Qur’an maka dari itu tafsir ini merupakan tafsir bil ma’tsur.
Kitab tafsir ini sangat popular dari dulu hingga sekarang.
Oleh karena itu, kitab ini banyak dijadikan rujukan oleh
ulama lain baik itu sebelum atau sesudah beliau wafat.
▪ Al-Bidayah wa al-Nihayah. Kitab ini genrenya adalah kitab
sejarah. Kitab ini sangat penting diketahui oleh sejarawan
islam. Karena didalamnya disusun berdasarkan dua tahap.
Tahap pertama yakni sejarah mulai dari masa penciptaan
sampai pada masa kenabian Muhammad Saw. tahap kedua
yakni dimulai pada masa kenabian Muhammad sampai pada
pertengahan abad ke-8 H.
▪ Jami’ al-Musanid wa al-Sunan. Kitab ini berisi nama-nama
sahabat dan perawi hadits yang ada didalam Musnad Ahmad
bin Hanbal.
▪ Al-Mukhtasar. Sesuai dengan namanya, kitab ini merupakan
kitab ringkasan yang meringkas kitab Muqaddimah li Ulumil
Hadits karya Ibnu Sholah.
▪ Qashas al-Anbiya’ yang menceritakan tentang nabi-nabi.
▪ At-Takmilah fi Ma’rifat al-Tsiqat wa al-Dluafa’ wa al-
Mujahal. Kitab ini merupakan penyempurna kitab hadits yang
berguna untuk mengetahui perawi hadits yang tsiqah, dlaif,
ataupun majhul. Kitab ini terdiri dari lima jilid.kitab ini
merupakan gabungan dari karya Imam adz-Dzahabi yakni
Tahdzib al-Kamal fi Asma’i al-Rijal dan Mizan al-I’tidal fi
Naqdi al-Rijal dan diberi tambahan dalam Jarh wa Ta’dil.
Artinya : Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (ma-nusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripa-danya atau yang sebanding
dengannya. Tidakkah kamu mengeta-hui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa
atas segala sesuatu?
Ibnu katsir dalam menafsirkan ayat ini menukil banyak sekali riwayat. Sebagian
sudah tersampaikan sebelumnya seperti riwayat Ibn Abi Talhah, Ibnu Juraij, Ibn Nujaih,
riwayat sahabat Mujahid, dan juga riwayat Ibnu Jarir. Selain daripada banyaknya riwayat
penafsiran sahabat terhadap ayat tersebut, beliau (Ibn Katsir) dalam menafsirkan ayat
tersebut menjadikan satu pembahasan dengan ayat setelahnya yakni al-Baqarah : 107
yang bunyinya :
)107(ُيُوالُنصير ّ
ّ المُتعلمُانُهللاُلهُملكُالسّماواتُواالرضُوماُلكمُمنُدونُهللاُمنُول
Arrtinya : Tidakkah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan
Allah? Dan tiada bagi kalian selain Allah se-orang pelindung maupun seorang
penolong.
Ibnu katsir dalam menafsirkan ayat tersebut mengambil riwayat Imam Abu Ja’far
bin Jarir rahimahullahu ta’ala, redaksinya yaitu “Hai Muhammad, tidakkah engkau
5
Al-Hafidz Ibnu Katsir, “Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adziim lil Haafidz Ibn Katsir”, (Arab Saudi : Dar at-Thoibah li
an-Nasyar wa at-Tauzi’, 1997), hlm.217
mengetahui bahwa hanya aku (Allah) pemilik kerajaan dan kekuasaan atas langit dan
bumi. Didalamnya aku putuskan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Ku dan disana
aku mengeluarkan perintah dan larangan, dan juga menasakh, mengganti serta
mengubah hukum-hukum yang Aku berlakukan ditengah-tengah hamba-Ku sesuai
kehendak-Ku jika aku menghendaki” memang benar bahwasannya secara pemahaman
singkat ayat ini ditujukan terhadap nabi Muhammad saw. akan tetapi, Abu Ja’far
menegaskan kemudian meskipun ayat tersebut ditujukan kepada nabi Muhammad saw
untuk menegaskan keagungan Allah yang maha berkuasa atas segala sesuatu, namun ayat
tersebut juga ditujukan untuk mendustakan kaum Yahudi yang mengingkari adanya
nasakh atas hukum-hukum taurat serta menolak kenabian Isa dan Muhammad saw karena
kedua nabi ini menurut mereka telah merubah taurat dengan hukum-hukum baru yang
Allah gariskan. Oleh karenanya, setelah dijelaskan dalam ayat al-Baqarah 106, pada akhir
ayat yang sama ditegaskan bahwasannya Allah berkuasa atas segala sesuatu. Termasuk
perihal adanya ayat yang nasikh maupun mansukh didalam al-Qur’an. Kemudian, masih
dipertegas lagi dengan al-Baqarah ayat 107 yang juga merupakan penegasan untuk ayat
sebelumnya.6
6
Ibid, hlm.218
patung anak sapi, kemudian Dia menarik kembali perintah tersebut agar tidak
memusnahkan mereka. Dan masih banyak lagi sampel-sampel yang memperkuat
eksistensi nasikh maupun mansukh dalam sejarah.7
Dari sini cukup jelas kiranya bagaimana tanggapan Ibnu Katsir terhadap persoalan
nasikh mansukh. Beliau mengakui keberadaan ayat yang nasikh dan mansukh didalam al-
Qur’an. Keunggulan beliau dalam menafsirkan al-Qur’an adalah dengan banyak
mendatangkan riwayat-riwayat dari para sahabat yang perkataannya dianggap dekat
kepada kebenaran karena mereka adalah orang-orang yang tahu akan kontekstualisasi al-
Qur’an pada masa nabi Muhammad hidup. Jadi, penulis dapat menyimpulkan terkait
nasikh maupun mansukh adalah sebuah keniscayaan yang memang ada dalam
kenyataannya. Selain itu, banyak juga hikmah yang dapat diperoleh dengan keberadaan
nasikh mansukh terhadap ayat-ayat yang bertentangan atau sukar untuk difahami.
C. Kesimpulan
Nasikh mansukh adalah salah satu perangkat ilmu untuk menafsirkan al-Qur’an.
Ketika seseorang telah menguasai dan mengetahui Nasikh mansukh, mamka seseorang
tersebut baru diperbolehkan untuk menafsirkan al-Qur’an. Hal tersebut karena untuk
menanggulangi kesalahfahaman dalam memaknai ayat-ayat a;-Qur’an yang mungkin
bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya, pengetahuan terkait
7
Ibid, hlm.219
8
Ibid, hlm.220
nasikh dan mansukh itu sangatlah penting bagi setiap pengkaji al-Qur’an untuk
menghindari pemahaman yang melenceng.
Setelah kita ketahui bersama terkait kubu-kubu yang pro maupun kontra terhadap
nasikh mansukh. Kita sekarang setidaknya memiliki sandaran kepada mana kita akan
condong. Dalam hal ini, penulis lebih menerima pendapat yang pro ketimbang pendapat
yang kontra. Sebagaimana pendapat Ibnu Katsir yang telah dinukilkan oleh penulis,
kiranya dapat memberikan argumentatif deskriptif ssehingga terbersit dalam benak “apa
dan bagaimana nasikh mansukh terhadap al-Qur’an itu”.
Al-Hafidz Ibnu Katsir, “Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adziim lil Haafidz Ibn Katsir”, (Arab
Saudi : Dar at-Thoibah li an-Nasyar wa at-Tauzi’, 1997), hlm.217