Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH ILMU QIRAAT

“IMAM IBNU KATSIR”

Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu Qiraat.

Disusun oleh :
Kelompok 1 Semester 3

Della Puspita 2231030056


Muhammad Kholiluddin 2231030015

Dosen Pengampu : Abuzar Alghifari, S.Ud., M.Ag

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UIN RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN AJARAN 2023/2024

1
Abstrak

Tafsir Ibnu Katsir merupakan tafsir dengan corak bi al-ma’tsur/ bi al-riwayah karena
dalam tafsir ini sangat dominan memakai riwayat/hadis, pendapat sahabat dan tabi’in.
Adapun metode yang digunakan adalah metode tahlili (analitis) karena dalam penafsiran
ayat demi ayat dilakukan secara analitis menurut urutan mushaf al-Qur’an.Berbagai
sikap Ibnu Katsir dalam menafsirkan yakni terhadap riwayat Israilyat, penafsiran ayat-
ayat hukum, naskh, muhkam dan mutasyabih, dan lain-lain, menunjukkan bahwa ia
adalah mufassir yang kritis dan selektif serta pemikirannya lebih sejalan dengan ulama
salaf yang mengutamakan metode nalar.
Kata kunci: biografis Ibnu Kasir, biografis Ibnu Kasir, Corak dan Metode
Penafsiran Ibnu Katsir, sikap penafsiran Ibnu Katsir, Penilaian terhadap tafsir
Ibnu Katsir.

BAB I
PENDAHULUAN

Al qur’an merupakan mu’jiat Islam yang abadi dan sbuah kemukjizatan


terbesar bagi baginda Nabi Muhammad SAW , dimana semakin maju ilmu
pengetahuan , semakin jelas kemu’jizatannya Allah SWT menurunkannya kepada
Nabi Muhammad Saw. 1 Demi membebaskan manusia dari kegelapan hidup menuju
cahaya ilahi ,dan membimbing mereka ke jalan yang lurus . Dalam ilmu tafsir Al
qur’an banyak sekali ulama’ yamg mencoba menafsirkan ayat-ayat dalam Al qur’an
.Dalam penafsirannya para mufassirin di bagi kedalam dua kelompok yaitu,mufassir
yang menafsirkan ayat dengan menggunakan metode bil ma’tsur dan para mufassirin
yang menafsirkan ayat dengan menggunakan metode bir Ra’yi .Metode bil ma’tsur

1
Muhammad Ali Mustofa Kamal, Jurnal: Dinamika Struktur Kemukjizatan Al-
qur’an. Vol 01.(November 2015).hal 1.

2
yaitu menafsirkan ayat dengan ayat , ayat dengan sunnah ,ayat dengan perkataan
sahabat atau ayat dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in .Sedangkan metode bir
Ra’yi yaitu menafsirkan ayat dengan pemahaman mufassir sendiri. Kesibukan para
ahli megkaji Al-qura’an dalam kurun waktu paruh pertama abad hijriyah membrikan
gairah awal dalam kajian pnafsiran Al-qur’an.2
Adapun dalam tulisan ini kami akan menjelaskan tentang penafsiran dan
metode yang di pakai ibnu katsir untuk menafsirkan Al qur’an.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Historis-biografis Ibnu Kasir
Nama lengkap Ibnu Katsir ialah, Abul Fidâ „Imaduddin Isma‟il bin Syeh
Abi Haffsh Syihabuddin Umar bin Katsir bin Dla`i ibn Katsir bin Zarâ` al-Qursyi
al-Damsyiqi. Ia di lahirkan di kampung Mijdal, daerah Bashrah sebelah timur kota
Damaskus, pada tahun 700 H. Ayahnya berasal dari Bashrah, sementara ibunya
berasal dari Mijdal. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Hafsh Umar ibn Katsir.
Ia adalah ulama yang faqih serta berpengaruh di daerahnya. Ia juga terkenal dengan
ahli ceramah. Hal ini sebagaimana di ungkapkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya
(al-Bidâyah wa al-Nihâyah). Ayahnya lahir sekitar tahun 640 H, dan ia wafat pada
bulan Jumadil Ula 703 H/1300 M. di daerah Mijdal, ketika Ibnu Katsir berusia tiga
tahun, dan dikuburkan di sana.
Ibnu Katsir mulai sedari kecil mencari ilmu. Semenjak ayahnya wafat kala
itu Ibnu Katsir baru berumur tiga tahun, selanjutnya kakaknya bernama Abdul
Wahab yang mendidik dan mengayomi Ibnu Katsir kecil. Ketika genap usia sebelas
tahun, Ia selesai menghafalkan al-Qur`an.
Pada tahun 707 H, Ibnu Katsir pindah ke Damaskus. Ia belajar kepada dua
Grand Syaikh Damaskus, yaitu Syaikh Burhanuddin Ibrahim Abdurrahman al-
Fazzari (w. 729) terkenal dengan ibnu al-Farkah, tentang fiqh syafi‟i. lalu belajar

2 Muhammad Ali Mustofa Kamal, Jurnal: Dinamika Struktur Kemukjizatan Al-


qur’an. Vol 02. (November 2015) hal 1.

3
ilmu ushul fiqh ibn Hâjib kepada syaikh Kamaluddin bin Qodi Syuhbah. Lalu ia
berguru kepada; Isa bin Muth‟im, syeh Ahmad bin Abi Thalib al-Muammari (w.
730), Ibnu Asakir (w. 723), Ibn Syayrazi, Syaikh Syamsuddin al-Dzhabi (w. 748),
Syaikh Abu Musa al-Qurafi, Abu al-Fatah al-Dabusi, Syaikh Ishaq bin al-Amadi
(w. 725), Syaikh Muhamad bin Zurad. Ia juga sempat ber-mulajamah kepada
Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazi (w. 742), sampai ia mendapatkan
pendamping hidupnya. Ia menikah dengan salah seorang putri Syaikh al-Mazi.
Syeh al-Mazi, adalah yang mengarang kitab “Tahdzîbu al-kamâl” dan “Athrâf-u
al-kutub-i al-sittah“.
Begitu pula, Ibnu Katsir berguru Shahih Muslim kepada Syaikh
Nazmuddin bin al-Asqalani. Selain guru-guru yang telah dipaparkan di atas, masih
ada beberapa guru yang mempunyai pengaruh besar terhadap Ibnu Katsir; mereka
adalah Ibnu Taymiyyah. Banyak sekali sikap Ibnu Katsir yang terwarnai dengan
Ibnu Taymiyah, baik itu dalam berfatwa, cara berpikir juga dalam metode karya-
karyanya. Dan hanya sedikit sekali fatwa beliau yang berbeda dengan Ibnu
Taymiyyah. Sementara murid-murid beliaupun tidak sedikit, diantaranya
Syihabuddin bin haji. Pengakuan yang jujur lahir dari muridnya, “Ibnu Katsir
adalah ulama yang mengetahui matan hadits, serta takhrij rijalnya. Ia mengetahui
yang shahih dan dha‟if”. Guru-guru maupun sahabat beliau mengetahui, bahwa ia
bukan saja ulama yang kapabel dalam bidang tafsir, juga hadits dan sejarah.
Sejarawan sekaliber al-Dzahabi, tidak ketinggalan memberikan sanjungan kepada
Ibnu Katsir, “Ibnu Katsir adalah seorang mufti, muhaddits, juga ulama yang faqih
dan kapabel dalam tafsir”.
Sejak saat itu, berbagai jabatan penting didudukinya sesuai bidang keahlian
yang dimilikinya. Dalam bidang ilmu hadis, pada tahun 748 H/ 1348 M ia
menggantikan gurunya, Muhammad Ibn Muhammad al-Zahabi (1284-1348 M),
sebagai guru di Turba Umm Salih (sebuah lembaga pendidikan), dan pada tahun
756 H/ 1355 M, setelah Hakim Taqiuddin al-Subki (683-756H/ 1284 M-1355 M)
wafat ia diangkat menjadi kepala Dar al-Hadis al-Asyrafiyah (sebuah lembaga
pendidikan hadis). Kemudian tahun 786 H/ 1366 M ia diangkat menjadi guru besar
oleh Gubernur Mankali Buga di Masjid Umayah Damaskus. Selain itu, ibnu kasir

4
pun dikenal sebagai pakar terkemuka dalam bidang ilmu tafsir, hadis, sejarah dan
fikih.
Genap usia tujuh puluh empat tahun akhirnya ulama ini wafat, tepatnya
pada hari Kamis, 26 Sya‟ban 774 H. Ia di kuburkan di pemakaman shufiyah
Damaskus, disisi makam guru yang sangat dicintai dan dihormatinya yaitu Ibnu
Taimiyah.3

2. Biografis Ibnu Kasir


Selama hayatnya ia telah menghasilkan banyak karya tulis, diantaranya;
a. Bidang Hadis: (1) Kitab Jami’ al-Masanid wa al-Sunan (kitab koleksi Musnad
dan Sunan); (2) Al Kutub al-Sittah, (Enam Kitab Koleksi Hadis); (3) At-
Takmilah fi Ma’rifat al-Siqat wa ad-Du’afa’ wa al-Mujahal (Pelengkap untuk
Mungetahui Para Periwayat yang terpercaya, Lemah dan Kurang Dikenal).
Kitab ini terdiri dari lima jilid; (4) Al-Mukhtasar (Ringkasan), dari
Muqaddimah li Ulum al-Hadis karya Ibnu Salah (w. 642 H/ 1246 M); (5)
Adillah al-Tanbih li Ulum al-Hadis, yaitu buku ilmu hadis yang lebih dikenal
dengan nama al-Ba’is al-Hasis.
b. Bidang Sejarah: (1) Qasas al-Ambiya’ (kisah-kisah Para Nabi); (2) Al-
Bidayah wa al-Nihayah (Permulaan dan Akhir). Kitab ini merupakan kitab
sejarah yang sangat penting.; (3) Al-Fusul fi Sirah al-Rasul (Uraian Mengenai
Sejarah Rasul); (4) Tabaqat al-Syafi’iyah (pengelompokan Madzhab Syafi’i);
(5) Manaqib al-Imam al-Syafi’i (Biografi Imam Syafi’i) 4

3. Corak dan Metode Penafsiran Ibnu Katsir


Kitab ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak
dan orientasi (al-laun wa al-ittijah) tafsir bi al-ma’sur / tafsir bi al-riwayah, karena
dalam tafsir ini sangat dominan memkai riwayat atau hadis, pendapat sahabat dan
tabiin. Dapat dikatakan bahwa dalam tafsir ini yang paling dominan ialah
pendekatan normatif/historis yang berbasis utama kepada hadis atau riwayah.
Namun Ibnu Kasir pun terkadang menggunakan rasio atau penalaran ketika
menafsirkan ayat.

3
Dr. Hamim Ilyas, MA, Studi Kitab Tafsir,h. 132-133
4
Ensoklopedi Islam Jilid 2, (Jakarta: Ichtar Baru Vanhoeve, 1994) h. 156-158

5
Adapun metode (manhaj) yang ditempuh oleh ibnu kasir dalam
menafsirkan al-qur’an dapat dikategorikan sebagai manhaj tahlili (metode
analisis). Kategori ini dikarenakan pengarangnya menafsirkan ayat demi ayat
secara analisis menurut urutan mushaf al-qur’an. Meski demikian, metode
penafsiran kitab ini pun dapat dikatan semi tematik (maudlu’i), karena menafsirkan
ayat ia mengelompokkan ayat-ayat yang masih dalam satu konteks pembicaraan
ke dalam satu tempat baik satu atau beberapa ayat, kemudian ia menampilkan ayat-
ayat lainnya yang terkait untuk menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan itu.
Metode tersebut, ia aplikasikan dengan metode-metode atau langkah-langkah
penafsiran yang dianggapnya paling baik (ahsan turuq al-tafsir)5
Secara lebih rinci tahap-tahap metode penafsiran Ibnu Kasir sebagai
berikut;
a. Menafsirkan dengan al-qur’an (ayat-ayat lainnya)
Menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an. Pendeknya, Ia menjelaskan satu
ayat dengan ayat yang lain, karena dalam satu ayat di ungkapkan dengan
abstrak (mutlak) maka pada ayat yang lain akan ada pengikatnya (muqayyad).
Atau pada suatu ayat bertemakan umum (‟âm) maka pada ayat yang lain di
khususkan (khâsh). Ibnu Katsir menjadikan rujukan ini berdasarkan sebuah
ungkapan, “bahwa cara yang paling baik dalam penafsiran, adalah
menafsirkan ayat dengan ayat yang lain”.
Contohnya, ketika Ibnu Kasir menafsirkan kalimat ‫( هدى للمتقين‬al-qur’an
sebagai petunjuk orang-orang yang bertakwa) dalam Q.S. Al-Baqarah (2):2,
ia menafsirkan dengan tiga ayat lain dari Q.S. Fusshilat (41):44, al-Isra’
(17):82 dan Yunus (10):85 sehingga pengertiannya menjadi khusus yakni
bagi orang-orang yang beriman.
b. Menafsirkan dengan Hadits
Ibnu Katsir menjadikan Sunnah sebagai referensi kedua dalam penafsirannya.
Bahkan dalam hal ini, Ibnu Katsir tidak tanggung-tanggung untuk
menafsirkan suatu ayat dengan berpuluh-puluh hadits –bahkan mencapai 50
hadits, kasus ini bisa dilihat ketika menafsirkan surat al-Isrâ.6

5
Al-farmawi, al-bidayah fi tafsir al-maudlu’i (Kairo: dar al-kutub al-arabiyah, 1976) h. 20
6
Ibnu Kasir, Abu al-Fida’ Ismail, Tafsir al-qur’an al-Azim, Juz III hal. 2-24

6
‫سُ ۡب َٰحن ٱلَّذِي أسۡ ر َٰى ِبع ۡب ِد ِهۦ ل ۡي اٗل ِمن ۡٱلمسۡ ِج ِد ۡٱلحر ِام ِإلى ۡٱلمسۡ ِج ِد ۡٱۡل ۡقصا ٱلَّذِي َٰبر ۡكنا‬
١ ‫ير‬
ُ ‫ص‬ ِ ‫ح ۡولهُۥ ِلنُ ِريهۥُ مِ ۡن ء َٰايتِن ۚٓا إِنَّهۥُ هُو ٱلسَّمِ ي ُع ۡٱلب‬
c. Menafsirkan dengan pendapat sahabat dan tabi’in
Sebagai gurunya, yakni Ibnu taimiyah, ia pun berpendapat bahwa
pernyataan sahabat dan tabiin merupakan rujukan disamping al-qur’an dan
hadits. Pendapat ini didasarkan pada asumsi bahwa sahabat terutama tokoh-
tokohnya adalah orang yang lebih mengetahui penafsiran al-qur’an, karena
mereka mengalami dan menyaksikan langsung proses turunnya ayat-ayat al-
qur’an.7
Diantara pendapat para sahabat yang sangat sering ia kutip ialah pendapat
Ibnu Abbas dan Qatadah. Sedangkan pendapat Tabiin dijadikan hujjah bila
pendapat tersebut telah menjadi kesepakatan diantara mereka, jika tidak maka
ia tidak mengambilnya sebagai hujjah.8
d. Menafsirkan dengan pendapat ulama
Disamping mengunakan ayat-ayat yang terkait, hadits nabi dan
pendapat para sahabt dan tabiin, Ibnu Kasir pun sering kali mengutip berbagai
pendapat ulama atau mufasir sebelumnya ketika menafsirkan ayat. Berbagai
pendapat yang dikutip menyangkut berbagai aspek, seperti kebebasan, teologi,
hukum, kisah atau sejarah. Namun, dari sekian banyak pendapat ulama yang
dikutip, yang paling sering adalah pendapat Ibn Jarir al-Tabari. Ia sangat
banyak mengutip riwayat-riwayat dari periwayatan al-Tabari lengkap dengan
sanadnya. Ia pun sering mengkritik atau menilai kualitas hadis yang
dikutipnya itu. Dengan demikian, secara substansial Ibnu Kasir telah
melakukan perbandingan penafsiran.
e. Menafsirkan dengan pendapatnya sendiri
Langkah ini biasanya ditempuh setelah ia melakukan keempat langkah
diatas. Dengan menempuh langkah-langkah tersebut dan menganalisis serta
membandingkan berbagai data atau penafsiran, ia sering kali mengemukakan
kesimpulan ataupun pendapatnya sendiri pada bagian akhir penafsiran ayat.
Namun, perlu diketahui bahwa langkah ini tidak semuanya dapat diterapkan
pada semua ayat. Adapun untuk membedakan antara pendapatnya sendiri

7
Ibid., Juz I hal. 4
8
A. Malik Madani, Ibn Tafsir dan Tafsirnya, tanggal 23 Mei 1986, h. 28

7
dengan pendapat ulama-ulama lainnya, dapat diketahui dari pernyataannya:
“Menurut pendapatku...” (qultu...) yang secara eksplisit banyak dijumpai
dalam kitab ini9

4. Sikap Penafsiran Ibnu Katsir


a. Sikap terhadap Israiliyat
Riwayat-riwayat Israiliyat oleh Ibnu Katsir ada yang dipakai ada yang tidak.
Sebagai contoh, ketika ia menafsirkan QS. al-Baqarah: 67 yang menceritakan
perintah Tuhan kepada bani Israil untuk menyembelih seekor sapi betina.
Dalam menafsirkan ayat ini, ia mengutip dua riwayat Israiliyat, namun
sekaligus mengemukakan sikapnya yang tidak membenarkan dan juga tidak
menolak riwayat tersebut kecuali jika sejalan dengan kebenaran yakni syariat
islam. Demikian juga terhadap riwayat-riwayat israiliyat yang dinilainya tidak
dapat dicerna oleh akal sehat ia terkadang meriwayatkannya disertai
peringatan, misalnya ketika ia menafsirkan surat al-Baqarah (2):102 yang
berisi kisah Harut dan Marut, dan ketika menafsirkan QS. Al-Ahzab (33):37
yang berisi tentang kisah nabi dan Zainab binti Jahsy.10
b. Tentang penafsiran ayat-ayat hukum
Sebagai orang ahli hukum dalam Islam, ketika menafsirkan ayat-ayat yang
bernuansa hukum, Ibnu Katsir memberikan penjelasan yang relatif lebih luas,
apalagi ketika menafsirkan ayat-ayat yang dipahami secara berbeda
dikalangan para ulama. Dalam hal ini, ia kerap kali menyajikan diskusi dengan
mengemukakan argumentasi masing-masing, termasuk pendapatnya sendiri.
Dari penafsiran-penafsirannya dalam masalah fiqih ini terlihat bahwa ia
adalah seorang yang moderet dan toleran. Misalnya ketika menafsirkan QS.
Al-Baqarah (2):185 yang berisi tentang perintah berpuasa di bulan Ramadhan,
dan perintah menggantinya bagi orang yang sakit dan safar. ‫فم ْن ش ِهد مِ ْن ُك ُم‬...(
)...ۗ ‫مِن أي ٍَّام أُخر‬ ُ ‫ ال َّش ْهر ف ْلي‬dan pada surat yang sama
ْ ٌ ‫ص ْمهُ ۖ وم ْن كان م ِريضًا أ ْو عل َٰى سف ٍر ف ِعدَّة‬
ayat 230, ketika mengupas sarat-sarat yang harus dipenuhi dalam nikah
muhallil ‫مِن ب ْعدُ حتَّ َٰى ت ْنكِح ز ْوجًا غيْرهُ ۗ فإِ ْن طلَّقها فٗل جُناح عل ْي ِهما أ ْن‬
ْ ُ‫(فإِ ْن طلَّقها فٗل تحِ ُّل له‬

9
Dr. Hamim Ilyas, MA., Studi Kitab Tafsir, h. 141-142
10
Ibn Kasir, Tafsir... Juz III h. 492

8
َّ ُ‫َّللا ۗ وت ِْلك ُحدُود‬
)‫َّللاِ يُبيِنُها لِق ْو ٍم ي ْعل ُمون‬ ِ َّ ‫يتراجعا ِإ ْن ظنَّا أ ْن يُقِيما ُحدُود‬. Dari penafsiran-
penafsirannya dalam masalah-masalh fiqih ini terlihat bahwa ia seorang yang
moderat dan toleran.
c. Tentang naskh (penghapusan)
Dalam masalah ini, Ibnu Katsir termasuk yang berpendapat bahwa naskh
dalam al-Qur’an itu ada. Menurutnya, naskh ialah penghapusan hukum atau
ketentuan yang terdahulu dengan hukum yang terdapat dalam ayat yang
muncul lebih belakangan. Adanya penghapusan ini merupakan kehendak
Allah sesuai kebutuhan demi kemaslahatan, sebagaimana al-Qur’an banyak
yang me-naskh ajaran-ajaran sebelumnya. Contohnya ialah penghapusan
hukum pernikahan antara saudara kandung sebagaimana yang dilakukan oleh
putra-putri Nabi Adam, dan penghapusan penyembelihan Ibrahim atas
putranya yakni Ismail, dan sebagainya. 11
d. Tentang muhkam dan mutasyabih
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam hal ini ia mengikuti pendapat
Muhammad Ibn Ishaq Ibn Yasar, yang berpendapat bahwa ayat-ayat al-Quran
yang muhkam merupakan argumentasi Tuhan, kesucian hamba, dan untuk
mengatasi perselisihan yang batil. Pada ayat-ayat tersebut, tidak ada
perubahan dan pemalsuan Sedangkan pada ayat-ayat yang mutasyabihat tidak
ada perubahan dan pentakwilan. Allah hendak menguji hamba-hambanya
melalui ayat ini sebagaimana dalam hal halal dan haram; apakah dengannya
akan berpaling kepada yang batil dan berpaling dari kebenaran (yang haq). 12
e. Tentang ayat-ayat tasybih (antropomorfis)
Dalam mengartikan ayat-ayat semacam ini ia mengikuti pendapat ulama salaf
al-salih, yang berpendapat tidak ada penyerupaan (tasybih) perbuatan Allah
dengan hamba-hamba-Nya. Ia memilih ”membiarkan” atau tidak mengartikan
lafaz-lafaz tasybih dalam al-Qur’an seperti kursi, arasy, dan istawa yang
terdapat dalam al-Qur’an. Dalam menafsirkan ayat-ayat semacam ini ia
menjelaskan dengan mengutip pendapat sejumlah ulama. ia juga mengutip

11
Ibid., Juz I h. 149-151
12
Ibid., h. 345

9
hadis-hadis, namun menurut penelitiannya hadis-hadis tersebut kualitasnya
lemah. Ringkasnya dalam masalah ini sikapnya lebih berhati-hati.13
f. Tentang ayat-ayat yang dipahami secara berbeda-beda
Pada dasarnya pada banyak ayat, khususnya menyangkut pembahasan hukum
atau fiqih, perbedaan penafsiran dapat saja, bahkan seringkali terjadi. Namun
disini ingin ditegaskan kembali bahwa kontroversi dan terkadang kontradiksi
penafsiran di kalangan para ulama itu, oleh Ibnu Katsir biasanya
dideskripsikan, didiskusikan dan di analisis secara rinci. Sebagai contoh
keti9ka ia menafsirkan surat al-Isra’ (17):15 ‫(م ِن ا ْهتد َٰى فإِنَّما ي ْهتدِي لِن ْفسِ ِه ۖ وم ْن ض َّل‬
ً ‫ض ُّل عليْها ۚٓ وَل ت ِز ُر و ِازرة ٌ ِو ْزر أ ُ ْخ ر َٰى ۗ وما كُنَّا ُمع ِذ ِبين حتَّ َٰى نبْعث رس‬
.)‫ُوَل‬ ِ ‫ فإِنَّما ي‬Dalam
menfsirkan ayat ini ia mengemukakan enam buah hadis, dan juga
mengemukakan tiga pendapat tentang anak-anak yang musyrik. Ketiga
pendapat tersebut adalah; pertama, bahwa mereka masuk surga; kedua,
mereka merupakan usaha orang tuanya; ketiga, tidak memberikan komentar
atau menangguhkan (tawaqqut). 14

5. Penilaian terhadap tafsir Ibnu Katsir


Para pakar tafsir dan ‘Ulumul Qur’an umumnya menyatakan bahwa tafsir
Ibnu Katsir ini merupakan kitab tafsir bi al-matsur terbesar kedua setelah tafsir al-
Thabari. Namun, menurut Subhi al-Salih, dalam beberapa aspek, kitab Ibnu Katsir
ini memiliki keistimewaan jika dibandingkan dengan tafsir al-Thabari seperti
dalam hal ketelitian sanadnya, kesedarhanaan ungkapannya dan kejelasan ide
pemikirannya.15
Kelebihan lain kitab ini adalah penafsiran ayat dengan ayat atau al-Qur’an
dengan al-Qur’an dan dengan hadis yang tersusun secara semi tematik, bahkan
dalam hal ini ia dapat dikatakan sebagai perintisnya. Selain itu, dalam tafsir ini pun
banyak memuat informasi dan kritik tentang riwayat Israiliyat dan menghindari
kupasan-kupasan linguistik yang terlalu bertele-tele. Karena itulah al-Suyuti
memujinya sebagai kitab tafsir yang tiada tandingannya.16

13
Ibid., h. 35-39
14
Dr. Hamim Ilyas, MA., Studi Kitab Tafsir, h. 147
15
Subhi Salih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, h. 291
16
As-Suyuti, Zail Tabaqat..., h. 361

10
Namun, tidak berarti kitab ini luput dari kekurangan dan kritik. Muhammad
al-Gazali, misalnya, menyatakan bahwa betapapun Ibnu Katsir dalam tafsirnya
telah berusaha menyeleksi hadis-hadis atau riwayat-riwayat (secara relatif ketat),
ternyata masih juga memuat hadis hadis yang sanadnya da’if dan kontradiktif.
Hal ini tidak hanya ada dalam tafsir Ibnu Katsir tetapi juga pada kitab-kitab tafsir
bil al-matsur pada umumnya. 17 Selain itu, secara teknis ia terkadang hanya
menyebutkan maksud hadisnya tanpa menampilkan matan/redaksi hadisnya
dengan menyebut fi al-hadis (dalam suatu hadis) atau fi al-hadis al-akbar (dalam
hadis yang lain).
Hal lainnya ialah ketika menguraikan perdebatan yang berhububungan
dengan masalah fikih. Ia kadang-kadang terlampau berlebihan, sehingga Mahmud
Basuni Faudah mengkritik Ibnu Katsir suka melantur jauh dalam membahas
masalah-masalah fikih ketika menafsirkan ayat-ayat hukum. Berbeda dengan
Basuni Faudah, Husain al-Zahabi menilai bahwa diskusu-diskusi masalah fikihnya
itu masih dalam batas-batas kewajaran, tidak berlebihan sebagaimana umumnya
mufasir dari kalangan fuqaha.
Terlepas dari berlebihan dan kekurangannya, tafsir ini ternyata telah
memberi pengaruh yang sangat signifikan kepada sejumlah mufasir yang hidup
sesudahnya, termasuk Rasyid Rida, penyusun Tafsir al-Manar. Kitab ini pun masih
tetap releven untuk dikaji dan diambil manfaatnya dewasa ini. Penilaian ini sejalan
dengan kenyataaan di mana kitab ini masih cukup banyak beredar di sebagian
masyarakat dan menjadi bahan kajian serta rujukan penting. 18

17
Syaikh Muhammad al-Gazali.Berdialog dengan al-Qur’an: Terjemah Maskur Hakim dan
Ubaidillah. (Bandung: Mizan, 1997) h. 267
18
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir... h. 59

11
12
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Ibnu Katsir adalah seorang ulama besar pada abad 8 H yang sejak kecil telah
berguru pada banyak ulama. Perjuangan beliau menuntut ilmu telah
melahirkan banyak karya baik dalam bidang tafsir, hadis, fiqih, bahkan
sejarah.
Tafsir Ibnu Katsir merupakan tafsir dengan corak bi al-ma’tsur/ bi al-
riwayah karena dalam tafsir ini sangat dominan memakai riwayat/hadis,
pendapat sahabat dan tabi’in. Adapun metode yang digunakan adalah metode
tahlili (analitis) karena karenakan ia menafsirkan ayat demi ayat secara analitis
menurut urutan mushaf al-Qur’an.
Berbagai sikap Ibnu Katsir dalam menafsirkan yakni terhadap riwayat
Israilyat, penafsiran ayat-ayat hukum, naskh, muhkam dan mutasyabih, dan
lain-lain, menunjukkan bahwa ia adalah mufassir yang kritis dan selektif serta
pemikirannya lebih sejalan dengan ulama salaf yang mengutamakan wahyu
dibanding nalar menurut rasio.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Farmawi, 1976, al-bidayah fi tafsir al-maudlu’i, Kairo: dar al-kutub al-arabiyah.

al-Gazali, Syaikh Muhammad. 1997. Berdialog dengan al-Qur’an:Terjemah Maskur


Hakim dan Ubaidillah. Bandung: Mizan/

As-Suyuti, Zail Tabaqat...

Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-tafsir.

Ilyas,Hamim, MA, Studi Kitab Tafsir

Kasir, Ibnu, Abu al-Fida’ Ismail, Tafsir al-qur’an al-Azim, Juz III.

Madani,A Malik, 1986, Ibn Tafsir dan Tafsirnya.

Salih, Subhi, Mabahis fi Ulum al-Qur’an.

Tim Penyusun, 1994, Ensoklopedi Islam Jilid 2, Jakarta: Ichtar Baru Vanhoeve.

Muhammad Ali Mustofa Kamal, Dinamika Struktur Kemukjizatan Al-qur’an.vol 01 No.


02.(November2015).diaksesdari
http://syariati.unsiq.ac.id/index.php/syariati_j/article/view/13/14

14

Anda mungkin juga menyukai