Anda di halaman 1dari 17

TAFSIR IBNU KATSIR

Makalah disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah


Ulumul Quran

Oleh:
SALMAN MUNTHE
NIM: 93314050529

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Amiur Nuruddin, M.A.

PROGRAM DOKTOR EKONOMI SYARI`AH


PROGRAM PASCASARJANA
UIN SUMATERA UTARA
MEDAN
2015

A. Biografi Penulis dan latar belakang aliran Tafsir Ibn Katsir


B.

Penulis kitab tafsir ini adalah Imamul Jalil Al-Hafiz Imadud Din, Abul

Fida Ismail ibnu Amr ibnu Katsir ibnu Dhau ibnu Katsir ibnu Zari Al-Bashri AdDimasyqi, al-Qurasyi, asy-Syafii. Ibnu Katsir dilahirkan di Basrah (Syam) pada
tahun 700 Hijriyah, dan meninggal dunia pada usia 74 tahun di bulan Syaban tahun
774 Hijriyah. Ayahnya berasal dari Bashra, bernama Abu Hafsh Umar ibnu Katsir. Ia
adalah salah seorang alim di kotanya, imam dan khatib di kampungnya. Ayahnya
wafat ketika Ibnu Katsir berumur tiga tahun. Selanjutnya kakaknya bernama Abdul
Wahab yang mendidik dan mengasuh Ibnu Katsir kecil, dan membawanya ke Basrah,
Damaskus. Pada saat itu, beliau berguru pada ulama-ulama besar di Damaskus1.
C.
Ibnu Katsir menuju ke Damaskus untuk mencari ilmu, ia belajar kitabkitab fiqh, hadis, tafsir, sejarah dan bahasa, hingga ia dapat menguasai banyak ilmu 2.
Ibnu Katsir selesai menghafalkan al-Quran genap di usia sebelas tahun. Kemudian
belajar tafsir dari pembesar ulama, Ibnu Taimiyah3. Beliau berguru dengan lebih dari
dua puluh ulama besar Syam antaranya:
1. Al-Hafiz Abu al-Hajjaj al-Mizzi: Yusuf bin Abdul Rahman bin Yusuf bin Abdul Malik
(wafat tahun 742 H) yang merupakan alim dalam ilmu sejarah, hadis, dan biografi.
Beliau adalah pengarang kitab Tahdhib al-kamal fi Asma al-Rijal. Gurunya kagum
dengan beliau sehingga menihkahkan Ibnu Katsir dengan anak perempuannya Zainab.
2. Ibnu Taymiyyah (wafat tahun 728 H) Al-Mizzi sangat menyayangi Ibnu Taymiyyah
sehingga beliau dimakamkan bersebelahan kubur Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Katsir
mewasiatkan supaya beliau dikebumikan bersebelahan kedua gurunya ini. Setelah
mengutip ilmu yang banyak, Ibnu Katsir menjadi orang alim yang terkenal. Beliau
mengajar tafsir di Masjid Umawi di Damsyik dan menjadi guru di Madrasah Umm alSalih dan Dar al-Hadis dan tempat-tempat pengajian yang lain sehingga beliau
meninggal dunia4.
1. Solah Abdul Fatah Al-Kholidi, Tarifu Addarisin Bimanahijil Mufasirin (Cet. V; Damaskus :
Dar Alqolam, 2012 M / 1433 H), h 381.

2. Muhammad Az-Zuhaily, Ibnu Katsir : Al-Hafidz al-mufassir, h 74


3. Solah Abdul Fatah Al-Khalidi, Tarifu Addarisin Bimanahijil Mufasirin (Cet. V; Damaskus :
Dar Alqolam, 2012 M / 1433 H), h 387.
4 Solah Abdul Fatah Al-Khalidi, Tarifu Addarisin Bimanahijil Mufasirin (Cet. V; Damaskus :
Dar Alqolam, 2012 M / 1433 H), h 382

D.

Ibnu Katsir belajar Fiqh dari Burhanudin Ibrahim bin abdurahman Al-

Firazi, yang terkenal dengan Ibnu Firqah ( meninggal 729 H). Ibnu Katsir belajar
hadis dari Isa bin Multim, Ahmad bin abi Talib, (Ibnu As-Shahnah), ( meninggal 730
H), Ibnu Hajar ( meninggal 730 H), dan periwayat hadis dari Syam ( Sekarang Syria
dan sekitarnya) baharudin Qosim bin Mujzaffar bin Asakir ( meninggal 723 H), dan
Ibnu

Shirzi,

Ishaq

bin

Yahya

Al-Ammudi,

yang

terkenal

juga

dengan

sebutan Affifudin, Syakh Zahiriyah yang meninggal pada 725 H, dan Muhammad bin
Zarrad atau Jamaludin Yusuf bin Zaki Al-Mizzi yang meninggal pada 724 H beliau
mengambil manfaat dari ilmunya dan juga menikahi putrinya. Beliau juga belajar dari
Syakhul islam taqiyudin ahmad bin Abdul Halim bin Abdusalam bin Taimiyah yang
meninggal pada 728 H. beliau juga belajar dari dari Imam hafidz dan sejarawan
Syamsudin muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qoymaz Adz Zahabi yang
meninggal pada 748 H. juga Abu Musa Al-qarafi, Abu Fath Ad-Dabusi dan Ali bin
Umar As-Suwani dan kepada ulama lain yang memberikan izin kepada beliau untuk
mengambil manfaat dari ilmunya. Beliau belajar kepada mereka di mesir.
E.
Di dalam buku Al-Mujam Al- Mukhtas, Al-Hafidz Adh-Dhaliabi
menulis Ibnu Katsir adalah seorang Imam yang Alim dalam ilmu fiqh, Alim dalam
ilmu hadis, terkenal dan alim dalam ilmu tafsir yang telah menulis beberapa kitab
yang bermanfaat. Selain itu, di dalam Ad-Durar Al-Khidmah, Al-Hafidz Ibnu Hajar
Al-Asqolani berkata: Ibnu Katsir ahli dalam ilmu hadis baik matan maupun rawi-nya.
Dia punya kemampuan menghafal yang sangat bagus. Kitabnya sangat populer ketika
dia masih hidup dan banyak manusia mengambil manfaat darinya setelah dia
meninggal. Juga di dalam kitab Al-Manhal As-safi sejarawan terkenal Abul Mahasin,
Jamaludin yusuf bin Syaifudin ( Ibnu Taghri Bardi ) berkata :
F.
Dia adalah seorang syakh, Imam, Alim, Imadudin abul fida, dia belajar
serius dan aktif dalam mengumpulkan ilmu dan menulis. Dia sangat cerdas dalam
Ilmu fiqh, tafsir dan hadis. Dia mengumpulkan Ilmu, menulis kitab, berfikir,
meriwayatkan hadis dan menulisnya. Dia punya pengetahuan yang luas dalam Ilmu
hadis, tafsir, fiqh, bahasa arab dan yang lainya. Dia memberi fatwa dan ilmu sampai
dia meninggal. Semoga Allah SWT memberikan rahmat padanya. Dia dikenal karena
kecepatan dan keluasan ilmunya sebagai seorang yang Alim dalam sejarah, hadis, dan
tafsir.

G.

Murid-murid Ibnu Katsir, Ibnu Hajji adalah salah satu murid Ibnu

katsir dan dia menuturkan :


H.
Beliau adalah penghafal hadis terbaik. Beliau juga paling mengetahui
mengenai perawi dan keaslian hadis. Teman-teman dan gurunya mengakui
kemampuanya ini. Setiap kali saya bertemu dengannya, saya selalu mendapatkan
manfaat darinya. Juga Ibnu Imad Al-Hambali berkata dalam kitabnya Shadrat AhDhahab : Beliau adalah hafidz yang mashur, Imadudin, yang ingatanya sangat
cerdas, sedikit sekali lupa, pemahamanya cukup dan mempunyai pengetahuan yang
baik dalam bahasa arab. Ibnu habib juga berkata tentang Ibnu katsir: beliau
mendengar Ilmu, mengumpulkannya dan menulis beberapa kitab. Beliau memberikan
kenyamanan dalam hati dalam fatwa-fatwanya dan hadis yang di riwayatkanya. Dan
memberikan bayak manfaat bagi orang lain. Tulisan yang berisi fatwa-fatwanya
dikirim ke berbagai propinsi dalam kekuasaan islam. Beliau terkenal denga ketepatan
dan keluasan ilmunya. Adapun Kitab-kitab Ibnu katsir:
1. Salah satu kitab yang paling terkenal yang ditulis oleh Ibnu katsir yaitu Tafsir AlQuranil Adzim. Yang merupakan tafsir terbaik yang telah dicetak beberapa kali dan
beberapa ulama telah mencoba meringkasnya.
2. Koleksi sejarah yang disebut Al-Bidayah, yang diterbitkan dalam 14 jilid dengan
nama Al-Bidayah wa Nihayah. Berisi sejarah dari nabi-nabi dan umat-umat terdahulu
sirah rasullulah dan sejarah islam sampai masa beliau hidup. Beliau juga
menambahkan kitab al-fitan mengenai Tanda-tanda Kiamat.
3. At-takmil fi Marifat Ats- Tsiqot wad duafa wal Majdhil yang merupakan gabungan
dari kitab kedua syakhnya yaitu Syakh Al-Mizzi dan Adz- Zahabi; Al-Kidmal dan
Mizan Al Fiddl. Beliau menambahkan beberapa hal dalam bab Jarh dan tadil.
4. Al- Hadi wa Sunan fi Ahadits Al- Musnad wa Sunan yang disebut juga jami AlMusnad. Dalam buku ini Ibnu katsir menggabungkan riwayar dari Imam Ahmad bin
hambal, Al-Bazzar, Abu Yala Al-Maswili. Ibnu Abi Shaybah dan dari enam
kumpulan Hadits : dua sahih ( Bukhari dan Muslim) dan empat sunan ( abu dawud, attirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah). Beliau membagi bukunya ini berdasarkan bab5.
6.
7.
8.

bab fiqh.
Tabaqot As-Shafiyah yang berisi manakib dari imam Ash-Shafi.
Ibnu katsir menulis referensi hadis dari Adillatutanbih dari fiqh As-shafi
Ibnu katsir membuat syarah sahih Bukhari tapi beliau tidak sempat menyelesaikanya
Beliau mulai menulis banyak jilid dari hukum-hukum tapi baru selesai sampai bab

pelaksanaan haji.
9. Beliau meringkas Al-Madkhol al-Baihaqi, namun banyak dari buku-bukunya tidak di
terbitkan.
3

10. beliau meringkas ulumul hadis dari abu amr bin Shalah dan disebut Mukhtasor Ulum
al- hadis. Syakh Ahmad Sakir, seorang muhadis dari mesir menerbitkan buku ini
dengan ditambahkan komentar di dalamnya dan diberi judul Al Bath Al-Hathfih fi
Sharh Mukhtasar Ulumul hadis.
11. As-Sirah An-Nabawiyah, yang didalamya termasuk Al-Bidayah, kedua buku ini telah
diterbitkan.
12. bahasan mengenai Jihad yang disebut Al- Ijtihad fi Talabil Jihad, yang telah dicetak
beberapa kali.
I.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata: Ibnu Katsir kehilangan
penglihatannya sebelum hidupnya berakhir. Beliau meninggal di Damascus pada 774
H. ia dikuburkan di pemakaman shufiyah Damaskus, disisi makam guru yang dicintai
dan dihormatinya yaitu ibnu taimiyah5 Semoga Allah SWT memberikan rahmat
kepada Beliau dan menjadikanya sebagai salah satu penduduk surga.
J.
K. Metode Tafsir Ibn Katsir
L.

Tafsir karya monumental Ibnu Katsir itu ada pendapat yang mengatakan
bahwa dari segi metodologi ia menganut sistem tradisional, yakni sistematika tertib
mushaf dengan merampungkan penafsiran seluruh ayat dari surah fatihah hingga
akhir surah annas. Dikatakan bahwa dalam operasionalisasinya, Ibnu Katsir
menempuh cara pengelompokkan ayat-ayat berbeda, namun tetap dalam konteks yang
sama. Metode demikian juga ditempuh beberapa mufassir di abad 20-an seperti
Rasyid

Ridha,

Al-Maraghi,

Al-Qasimi.

Kitab ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak dan
orientasi (al-laun wa ittajah) tafsir bi al-matsur /tafsir bi al-riwayah, karena dalam
M.

tafsir ini sangat dominan memakai riwayat/hadis, pendapat sahabat dan tabiin.
Adapun metode (manhaj) yang ditempuh Ibnu Katsir dalam
menafsirkan al-Quran dapat dikategorikan sebagai manhaj tahlili (metode analitis).
Kategori ini dikarenakan pengarangnya menafsirkan ayat demi ayat secara analitis
menurut urutan mushaf al-Quran. Meski demikian metode penafsiran kitab ini pun
dapat dikatakan semi tematik (maudhui) karena ketika menafsirkan ayat ia
mengelompokan ayat-ayat yang masih dalam satu konteks pembicaraan ke dalam satu
tempat, baik satu atau beberapa ayat kemudian ia menampilkan ayat-ayat lainnya
terkait untuk menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan itu.

5 www., surya ningsih .worpress.com. Desember 2008.


4

N.

Metode tersebut, ia aplikasikan dengan metode-metode penafsiran


yang dianggapanya paling baik (ahsan turuq al-tafsir). Langkah-langkah dalam
penafsirannya secara garis besar ada tiga; Pertama, menyebutkan ayat ditafsirkannya,
kemudian menafsirkannya dengan bahasa yang mudah dan ringkas. Jika
memungkinkan, ia menjelaskan ayat tersebut dengan ayat yang lain, kemudian
memperbandingkannya hingga makna dan maksudnya jelas. Kedua, mengemukakan
berbagai hadis atau riwayat yang marfu yang berhubungan dengan ayat yang sedang
ditafsirkan. Ia pun sering menjelaskan antara hadis atau riwayat yang dapat dijadikan
argumentasi (hujah) dan yang tidak, tanpa mengabaikan pendapat para sahabat, tabiin
dan para ulama salaf. Ketiga, mengemukakan berbagai pendapat mufasir atau ulama
sebelumnya. Dalam hal ini, ia terkadang menentukan pendapat yang paling kuat di
antara para ulama yang dikutipnya, atau mengemukakan pendapatnya sendiri dan
terkadang ia sendiri tidak berpendapat. Secara lebih rinci tahap-tahap tersebut akan

diuraikan di bawah ini:


O. 1. Menafsirkan dengan al-Quran (ayat-ayat lainnya)
P.
Ketika membaca tafsir ini para pembaca akan sangat sering mendapatkan ayatayat al-Quran lainnya yang terkait dengan ayat yang sedang ditafsirkan. Sebab
banyak didapati kondisi umum dalam ayat tertentu kemudian dijelaskan detail oleh
ayat lain. Ayat-ayat itu adalah yang menurutnya dapat menopang penjelasan dan
maksud ayat-ayat yang sedang ditafsirkan atau ayat-ayat yang mengandung
persesuaian arti. Contoh Tafsir al-Quran dengan al-Quran adalah:
Q. Ketika Ibnu Katsir manafsirkan tentang istiazah dan menjelaskan hukum-hukumnya,
demikian ia menghadirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan urusan orang mukmin
tentang perlindungan dari setan. Kalam Allah dalam al-Quran :




.R


S. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada

Allah. (Q.S. al-Araf: 200 )6

.T

U. Dan Katakanlah: Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan

syetan. (Q.S. al-Mukminun: 97 )7

6 Alqur`an dan Terjemahan; Yayasan Penyelanggara Penerjemah Alqur`an /Penafsir Alqur`an Revisi
Terjemahan Oleh Lajnah Pentashih Mushaf Alqur`an Departmen Agama Republik Indonesia

.V

W. Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, Maka mohonlah

perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha
mengetahui. (Q.S Fushilat : 36 )8
X. Inilah tiga ayat yang tidak ada pertentangan di dalam maknanya, yang saling
menjelaskan, ayat yang satu dengan yang lainnya, dan di dalam ayat ini menjelaskan
bahwasanya Allah menyuruh berbuat baik kepada manusia, dan Allah subhanahu wa
taala memerintahkan untuk berlindung dari kejahatan syaitan.
Y.
Z. 2. Menafsirkan Alquran dengan hadis
AA.
Metode atau langkah ini ia pakai ketika penjelasan dari ayat lain tidak
ditemukan, atau jika ayat lain ada, penyajian hadis dimaksudkan untuk melengkapi
penjelasan. Hal ini merupakan ciri khas tafsir Ibnu Katsir. Dalam tafsir ini, secara
kuantitas banyak sekali dikutip hadis-hadis yang dianggap terkait atau dapat
menjelaskan maksud ayat yang sedang ditafsirkan. Dalam konteks ini, jika
menemukan banyak riwayat/hadis baik yang senada maupun tidak ia seringkali
menampilkannya meskipun memakan tempat yang cukup banyak. Demikian juga
secara kualitas, ia pun sering mengemukakan kritik atau penilaian terhadap hadishadis yang dikutipnya, meskipun tidak semuanya. Misalnya dengan menyatakan
bahwa hadis tertentu sanadnya daif, daif jiddan, dan sebagainya. Kenyataan ini
dapat dipahami karena Ibnu Katsir adalah seorang pakar hadis.
AB. Ibnu katsir dalam menafsirkan satu ayat memasukkan satu
hadis, dua hadis dan juga tiga hadis sekaligus, kadang-kadang
menyebutkan lebih banyak dari itu, dan kadang-kadang juga dalam
menafsirkan satu ayat ia memasukkan banyak hadis yang mencapai
lebih dari 10 hadis.
AC.Contoh tafsir al-Quran dengan sunnah adalah:






:








} :

AD.

7 ibid
8 ibid
6









:






.





"

:
:




" .

AE.
AF.

3. Menafsirkan dengan pendapat sahabat dan tabiin


Selanjutnya jika tidak didapati tafsir baik dalam al-Quran dan hadis, kondisi

ini menuntutnya untuk merujuk kepada referensi sahabat. Sebab mereka lebih
mengetahui karena menyaksikan langsung kondisi dan latar belakang penurunan ayat.
Di samping pemahaman, keilmuan dan amal saleh mereka. Diantara pendapat para
sahabat yang sangat sering ia kutip adalah pendapat Ibnu Abbas dan Qatadah.
Referensi tabiin kemudian alternatif selanjutnya ketika tidak ditemukan tafsir dalam
al-Quran, hadis dan referensi sahabat. Namun, pendapat tabiin dijadikan hujah bila
pendapat tersebut telah menjadi kesepakatan di antara mereka, jika tidak maka ia
tidak mengambilnya sebagai hujah.
AG.
Tafsir Ibnu Katsir memasukkan perkataan sahabat di
dalam kitab tafsirnya seperti: perkataan al-Khulafa al-Rasyidin, Ibn
Abbas, Ibn Masud, Abu Ibn Kaab, Abdullah Ibn Umar, Abdullah Ibn
Amr, Abu Hurairah, Abu Darda, Muaz ibn Jabal dan lain-lain
(Rhodiyallohu anhum).
AH.
Untuk perkataan ulama tafsir dari tabiin, seperti:
Mujahid, Atha Ibn Abiy Rabah, Akramah, Thawas al-Yamaniy, Abu
Aliyah, Zaid ibn Aslam. Anaknya Abdurrahman, Said ibn Musayyab,
Muhammad ibn Kaab al-Qarzhiy, Said ibn Jubair, Hasan al-Bashriy,
Masruq ibn al-Ajda, Abu Wail, Muqatil ibn Hayyan, Muqatil ibn
Sulaiman al-Balakhiy, Rabi ibn Anas, dan lain-lain.
AI. Contoh tafsir al-Quran dengan perkataan sahabat dan tabiin:
7









} .AJ


{ (10)

.AK






:











{
:
{
}





}



:
.
AL.
AM.

4.

Menafsirkan dengan pendapat para ulama


Disamping menggunakan ayat-ayat yang terkait hadis Nabi dan para

sahabat dan tabiin, Ibnu Katsir pun seringkali mengutip berbagai pendapat ulama
atau mufasir sebelumnya ketika menafsirkan ayat. Berbagai pendapat yang dikutip
menyangkut berbagai aspek seperti kebahasaan, teologi, hukum, kisah/sejarah.
Namun, dari sekian banyak pendapat ulama yang dikutip, yang paling sering adalah
pendapat Ibn Jarir al- Thabari. Ia sangat banyak mengutip riwayat-riwayat dari
periwayatan al- Thabari lengkap dengan sanadnya. Ia pun sering mengkritik atau
menilai kualitas hadis yang dikutipnya itu. Dengan demikian, secara subtansial Ibnu
Katsir telah melakukan perbandingan penafsiran.
AN.
5. Menafsirkan dengan pendapat sendiri
AO.
Langkah ini biasanya ditempuh setelah ia melakukan keempat langkah
di atas. Dengan menempuh langkah-langkah tersebut dan menganalisis serta
membandingkan berbagai data atau penafsiran, ia sering kali mengemukakan
pendapatnya sendiri pada berbagai akhir penafsiran ayat. Namun perlu diketahui
bahwa langkah ini tidak semuanya dapat diterapkan pada semua ayat. Adapun untuk
membedakan antara pendapatnya sendiri dengan pendapat ulama-ulama lainnya dapat
diketahui dari pernyataan: menurut pendapatku (qultu). Berbagai sikap penafsiran
Ibnu Katsir
AP.1. Sikap terhadap Israiliyat
AQ.
Riwayat-riwayat Israiliyat oleh Ibnu Katsir ada yang dipakai ada yang
tidak. Sebagai contoh, ketika ia menafsirkan QS. al-Baqarah: 67 yang menceritakan
perintah Tuhan kepada bani Israil untuk menyembelih seekor sapi betina. Dalam
menafsirkan ayat ini, ia mengutip dua riwayat Israiliyat, namun sekaligus
mengemukakan sikapnya yang tidak membenarkan dan juga tidak menolak riwayat
tersebut kecuali jika sejalan dengan kebenaran yakni syariat islam. Demikian juga
8

terhadap riwayat-riwayat israiliyat yang dinilainya tidak dapat dicerna oleh akal sehat
ia

terkadang

meriwayatkannya

disertai

peringatan.

Bahkan

meskipun

meriwayatkannya ia pun terkadang membantahnya dengan keras. Ada kalanya ia


sama sekali tidak mengambil riwayat.
AR.
AS.
2. Tentang penafsiran ayat-ayat hukum
AT.
Sebagai orang ahli hukum dalam Islam, ketika menafsirkan ayat-ayat yang
bernuansa hukum, Ibnu Katsir memberikan penjelasan yang relatif lebih luas, apalagi
ketika menafsirkan ayat-ayat yang dipahami secara berbeda dikalangan para ulama.
Dalam hal ini, ia kerap kali menyajikan diskusi dengan mengemukakan argumentasi
masing-masing, termasuk pendapatnya sendiri. Dari penafsiran-penafsirannya dalam
masalah fiqih ini terlihat bahwa ia adalah seorang yang moderet dan toleran.
AU.
AV.
AW.
3. Tentang naskh (penghapusan)
AX.
Dalam masalah ini, Ibnu Katsir termasuk yang berpendapat bahwa
naskh dalam al-Quran itu ada. Menurutnya, naskh ialah penghapusan hukum atau
ketentuan yang terdahulu dengan hukum yang terdapat dalam ayat yang muncul lebih
belakangan. Adanya penghapusan ini merupakan kehendak Allah sesuai kebutuhan
demi kemaslahatan, sebagaimana al-Quran banyak yang me-naskh ajaran-ajaran
sebelumnya. Contohnya ialah penghapusan hukum pernikahan antara saudara
kandung sebagaimana yang dilakukan oleh putra-putri Nabi Adam, dan penghapusan
penyembelihan Ibrahim atas putranya yakni Ismail, dan sebagainya.
AY.
4. Tentang muhkam dan mutasyabih
AZ.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam hal ini ia mengikuti
pendapat Muhammad Ibn Ishaq Ibn Yasar, yang berpendapat bahwa ayat-ayat alQuran yang muhkam merupakan argumentasi Tuhan, kesucian hamba, dan untuk
mengatasi perselisihan yang batil. Pada ayat-ayat tersebut, tidak ada perubahan dan
pemalsuan Sedangkan pada ayat-ayat yang mutasyabihat tidak ada perubahan dan
pentakwilan. Allah hendak menguji hamba-hambanya melalui ayat ini sebagaimana
dalam hal halal dan haram; apakah dengannya akan berpaling kepada yang batil dan
berpaling dari kebenaran (yang haq).
BA.
5.
BB.

Tentang ayat-ayat tasybih (antropomorfis)


Dalam mengartikan ayat-ayat semacam ini ia mengikuti pendapat

ulama salaf al-salih, yang berpendapat tidak ada penyerupaan (tasybih) perbuatan
Allah dengan hamba-hamba-Nya. Ia memilih membiarkan atau tidak mengartikan
9

lafaz-lafaz tasybih dalam al-Quran seperti kursi, arasy, dan istawa yang terdapat
dalam al-Quran. Dalam menafsirkan ayat-ayat semacam ini ia menjelaskan dengan
mengutip pendapat sejumlah ulama. ia juga mengutip hadis-hadis, namun menurut
penelitiannya hadis-hadis tersebut kualitasnya lemah. Ringkasnya dalam masalah ini
sikapnya lebih berhati-hati.
BC.
BD.
6. Tentang ayat-ayat yang dipahami secara berbeda-beda
BE.
Pada dasarnya pada banyak ayat, khususnya menyangkut pembahasan
hukum atau fiqih, perbedaan penafsiran dapat saja, bahkan seringkali terjadi. Namun
disini ingin ditegaskan kembali bahwa kontroversi dan terkadang kontradiksi
penafsiran di kalangan para ulama itu, oleh Ibnu Katsir biasanya dideskripsikan,
didiskusikan dan di analisis secara rinci.
BF.
BG.

Aspek-aspek ekonomi yang ada di Tafsir Ibnu Katsir ( beri satu kasus

kemudian jelaskan)
BH.

Qs. Albaqarah Ayat 261-264 Cara-cara Penggunaan Harta dan Hukum-

Hukumnya Menafkahkan Harta di Jalan Allah Qs.Al Baqarah ayat 261

BI.

BJ.

BK.

Ayat 261,Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan harta mereka

di jalan Allah adalah serupa dengan butir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada
setiap butir seratus biji. Allah (terus-menerus) melipat gandakan bagi siapa yang Dia
kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Tafsir Qs.Al
Baqarah ayat 261: Ayat ini turun menyangkut kedermawanan Utsman Ibn Affan dan
Abdurrahman Ibn Auf ra. yang datang membawa harta mereka untuk membiayai
perang Tabuk. Ayat ini turun menyangkut mereka, bukan berarti bahwa ia bukan janji
Allah terhadap setiap orang yang menafkahkan hartanya dengan tulus. Ayat ini
berpesan kepada yang berpunya agar tidak merasa berat membantu, karena apa yang
dinafkahkan akan tumbuh berkembang dengan berlipat ganda (Tafsir Al-Mishbah, vol
1, h.567). Dengan perumpamaan yang mengagumkan itu, sebagaimana dipahami dari
kata ( matsal) ayat ini mendorong manusia untuk berinfak. Bukankah jika ia
menanam sebutir di tanah, tidak lama kemudian ia akan mendapatkan benih tumbuh
berkembang sehingga menjadi tumbuhan yang menumbuhkan buah yang sangat
10

banyak? Kalau tanah yang diciptakan Allah memberikan sebanyak itu, apakah
engkau, hai manusia, ragu menanamkan hartamu di jalan Allah? Apakah keyakinanmu
kepada tanah, melebihi keyakinanmu kepada Sang Pencipta tanah? (Tafsir AlMishbah,vol 1,h.567) Ayat ini menyebut angka tujuh yang tidak harus dipahami
dalam arti angka di atas enam dan dibawah delapan. Angka itu berarti banyak. Bahkan
pelipatgandaan itu tidak hanya tujuh ratus kali, tetapi lebih dari itu, karena Allah
(terus-menerus) melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, selaras dengan
keikhlasannya beramal.
BL. (Tafsir Ibnu Katsir,h.438)9. Jangan menduga bahwa Allah tidak mampu
memberi sebanyak mungkin. Bagaimana mungkin Dia tidak mampu, bukankah Allah
Maha Luas anugerah-Nya. Jangan juga menduga, Dia tidak tahu siapa yang bernafkah
dengan tulus di jalan yang diridhai-Nya. (Tafsir Al Mishbah,vol 1,h.567). Yakinlah
bahwa Dia Maha Mengetahui,siapa yang berhak menerima karunia-Nya dan siapa
yang tidak. (Tafsir Ibnu Katsir,h.438) Qs.Al Baqarah ayat 262

BN.
BO.

BM.


Ayat 262,Orang-orang yang menafkahkan harta mereka di jalan Allah,

kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebutnyebut pemberiannya dan tidak pula mengganggu (menyakiti perasaan), bagi mereka
pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula)
mereka bersedih hati. Tafsir Qs.Al Baqarah ayat 262: Ayat ini menjelaskan tentang
sebab keberhasilan mereka yang menginfakkan harta mereka di jalan Allah.
Pelipatgandaan yang disebut pada ayat lalu diperoleh mereka yang menghindari sebab
kegagalan ini. Kata mann yang di atas diterjemahkan dengan menyebut-nyebut
pemberian, terambil dari kata minnah, yaitu nikmat. Mann adalah menyebut-nyebut
nikmat kepada yang diberi serta membanggakannya. Kata ini pada mulanya berarti
memotong atau mengurangi. Dalam konteks ayat ini, menyebut-nyebut pemberian
dinamai demikian karena ganjaran pemberian itu -dengan menyebut-nyebut- menjadi
berkurang atau terpotong, dan hubungan baik yang tadinya terjalin dengan pemberian
itu, terpotong hingga tidak bersambung lagi. Adapun kata ( adza), bermakna
9. Ar-Rifai, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta : Gema Insani
Press, 1999 Shihab,M. Quraish, Tafsir Al Mishbah, Volume 1, Jakarta : Lentera Hati, 2002

11

gangguan. Sebenarnya menyebut-nyebut nikmat-pun merupakan gangguan, tetapi


kalau kata mann adalah menyebut-nyebutnya di hadapan orang yang diberi, maka kata
adza adalah menyebut-nyebutnya kepada orang lain, sehingga yang diberi merasa
malu. Di sisi lain penggunaan kata ( tsumma/kemudian) sebelum menyebut dua
keburukan itu, mengisyaratkan bahwa yang dituntut adalah tidak melakukan kedua
keburukan itu, bukan hanya pada saat pemberian, tetapi juga di kemudian hari setelah
masa yang berkepanjangan berlalu dari masa pemberian. Memang ada orang yang
pada saat memberi, memberikan secara tulus, bahkan mungkin rahasia, tetapi
beberapa lama kemudian dia menceritakan pemberiannya kepada orang lain, yang
mengakibatkan yang diberi merasa malu atau tersinggung perasaannya. (Tafsir AlMishbah,vol 1,h.568-569) Ayat Bagi mereka pahala mereka di sisi Tuhan mereka,
yakni pahala yang mereka peroleh adalah pelipatgandaan yang disebut pada ayat yang
lalu. Dengan demikian pelipatgandaan itu tidak diperoleh tanpa menghindari kedua
keburukan tersebut, dan tentu saja sebelum itu adalah ketulusan dan penggunaannya
di jalan Allah (Tafsir Al-Mishbah,vol 1,h.569). Bahkan sedekah menjadi batal karena
diikuti dengan menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan yang menerimanya. Jadi
pahala sedekah tidak akan terpenuhi karena kesalahan tersebut. (Tafsir Ibnu
Katsir,h.440) Makna tidak ada kekhawatiran atas mereka adalah sehingga yang
menafkahkan hartanya secara tulus tidak akan merasa takut kekurangan materi di
masa depan, dan tidak pula mereka bersedih hati akibat pemberian yang diberikannya,
yang mungkin terbersit dalam benaknya bahwa itu banyak atau bukan pada
tempatnya. Kata tidak ada kekhawatiran atau keresahan menyangkut masa depan,
dapat juga mencakup janji anugerah rezeki yang berbentuk pasif. (Tafsir AlMishbah,vol 1,h.569-570) Qs.Al Baqarah ayat 263
BP.

BQ.
BR.

Ayat 263,Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah

yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha
Kaya lagi Maha Penyantun. Tafsir Qs.Al Baqarah ayat 263: Ayat di atas menekankan
pentingnya ucapan yang menyenangkan dan pemaafan. Perkataan yang baik adalah
ucapan yang tidak menyakiti hati peminta/penerima. Perkataan yang baik itu lebih
baik, walau tanpa memberi sesuatu, daripada memberi dengan menyakitkan hati yang
diberi. Demikian juga memberi maaf kepada peminta-minta yang tidak jarang
12

menyakitkan hati pemberi, apalagi kalau si peminta-minta mendesak atau merengek,


juga lebih baik daripada memberi disertai dengan menyakiti hati. Karena memberi
dengan menyakiti hati adalah aktivitas yang menggabungkan kebaikan dengan
keburukan, plus dengan minus.

BS.
Qs.Al Baqarah ayat 264

BT.

BU.

Ayat 264,
BV. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membatalkan

sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima),


seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak
beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Maka keadaan orang itu seperti batu licin
yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia
bersih (tidak bertanah/berdebu). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang
mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Tafsir Qs.Al Baqarah ayat 264: Ayat ini dimulai dengan panggilan mesra Ilahi, Wahai
orang-orang yang beriman, disusul dengan larangan, jangan membatalkan, yakni
ganjaran sedekah kamu. Kata ganjaran tidak disebutkan dalam ayat ini untuk
mengisyaratkan, bahwa sebenarnya bukan hanya ganjaran atau hasil dari sedekah itu
yang hilang, tetapi juga sedekah yang memberikan modal pun hilang tidak berbekas,
keduanya hilang lenyap. Allah bermaksud melipatgandakannya namun kamu sendiri
yang melakukan sesuatu yang mengakibatkannya hilang lenyap, karena kamu
menyebut-nyebutnya dan mengganggu perasaan si penerima.
Sungguh tercela sifat mereka. (Tafsir Al-Mishbah,vol 1,h.571-572) Dua
kelakuan buruk di atas dipersamakan dengan dua hal buruk yaitu pamrih dan tidak
beriman. Orang yang pamrih melakukan sesuatu dengan tujuan mendapat pujian
manusia tidak wajar mendapat ganjaran dari Allah. Yang tampak oleh manusia bahwa
dia bersedekah karena Allah, padahal dia bermaksud meraih pujian orang melalui
13

sedekahnya, serta tujuan-tujuan duniawi lainnya, dengan memutuskan perhatiannya


dari interaksi dengan Allah dan dari tujuan meraih keridhaan-Nya (Tafsir Ibnu
Katsir,h.440). Kelakukannya itu menunjukkan ia tidak percaya kepada Allah tidak
juga hari Kemudian. Bersedekah dengan pamrih (riya) diibaratkan seperti batu licin
yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat. Seandainya dia
bukan batu licin seandainya batu retak, berlubang, atau berpori-pori, bisa jadi tanah
yang tersisa, jadi ada sisa-sisa yang tidak keluar akibat hujan, tetapi dia batu licin
yang halus, licin, dan dengan sedikit air saja sudah dapat membersihkannya apalagi
kalau hujan lebat, maka ia menjadi bersih, tidak meninggalkan sedikit tanah atau debu
pun. Dan dengan demikian, mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang
mereka usahakan, yakni tidak mendapat sesuatu apapun dari sedekah mereka itu, dan
memang Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir, di antaranya
mereka yang mengkufuri nikmat-Nya dan tidak mensyukuri-Nya. (Tafsir AlMishbah,vol 1,h.572-573)
BW.
BX.

Penutup

BY.

Keseluruhan kandungan Qs. Al Baqarah ayat 261-264 adalah menjelaskan

tentang keutamaan bersedekah dan apa hal-hal apa yang dapat menghilangkan
pahalanya. Ayat 261 menjelaskan tentang perumpamaan atas orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah (infak/sedekah) dengan ikhlas adalah seperti
serupa dengan butir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada setiap butir seratus
biji. Allah (terus-menerus) melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki.
Sedangkan dalam ayat 262 dilanjutkan tentang penjelasan Allah bahwa mereka yang
bersedekah dengan tidak menyebut-nyebut kembali apa yang diberikannya tersebut
dan tidak menyakiti hati si penerima, maka pahala akan mereka peroleh. Sebaliknya
di ayat 263 jika memang belum bisa bersedekah, maka perkataan yang baik dan
pemberian maaf kepada si penerima adalah lebih baik daripada sedekah diiringi
sesuatu yang menyakitkan hati si penerima. Kemudian di ayat 264 Allah mempertegas
bahwa dengan menyebut-nyebut apa yang telah disedekahkan dan menyakiti hati si
penerima berarti sia-sia sajalah sedekah yang dikeluarkannya itu. Pahala keberkahan
atas sedekahnya itu hilang sama sekali bagaikan tanah di atas batu licin yang
kemudian ditimpa hujan lebat, tiada bekas yang tersisa sama sekali.
BZ.
Analia Ekonomi Kandungan ayat dalam Al Quran salah satunya adalah
tentang perumpamaan. Dalam Qs. Al Baqarah ayat 261-264 menjelaskan tentang
14

perumpamaan yang disebutkan oleh Allah tentang keutamaan menginfakkan hartanya


(bagi mereka yang berpunya) di jalan Allah maka akan dilipatgandakan pahala pada
mereka yang ikhlas melaksanakannya. Disambung dengan ayat bahwa pada saat
berinfak janganlah diiringi dengan menyebut-nyebut pemberian tersebut yang akan
menyakiti hati si penerima. Bahkan jika tidak ingin atau belum bisa berinfak, maka
perkataan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada memberi namun
menyakiti hati si penerima. Dan terakhir disebutkan bahwa pemberian dengan
menyebut-nyebut apa yang diberikan tersebut adalah sia-sia belaka, tidak ada pahala
dan kebaikan apapun yang diperoleh si pemberi jika ia melakukan hal itu. Dalam
kehidupan sehari-hari, banyak contoh nyata tentang keengganan bagi mereka yang
berpunya untuk menafkahkan hartanya di jalan Allah dalam hal ini baik dalam bentuk
infak, sedekah, ataupun zakat. Mereka merasa sayang untuk mengeluarkan harta
tersebut karena takut akan mengurangi jumlah harta yang mereka miliki. Kalaupun
mereka ingin bersedekah, mereka ingin banyak orang tahu tentang perilaku
sedekahnya itu. Bahkan ada yang ingin mengabadikan momen bersedekahnya itu baik
dengan foto ataupun video. Bahkan ada yang lucu dan konyol, yaitu ada yang ingin
bersedekah atau berinfak untuk pembangunan masjid misalnya, tetapi sedekahnya itu
dalam rangka untuk mencari simpati masyarakat dalam kaitannya dengan pencalonan
dirinya sebagai kepala atau wakil kepala daerah misalnya. Dan jika setelah masa
pemilihan dia gagal, mereka mengambil kembali barang-barang yang telah
diinfakkannya tadi. Hal itu terbukti bahwa tujuan atas infak yang dikeluarkannya
tersebut bukanlah untuk Allah, namun hanya untuk kepentingan pribadinya.
Kadangkala apa yang kita keluarkan dengan tujuan infak akan menjadi sia-sia belaka
karena perilaku kita sendiri. Padahal jika kita benar-benar memahami dan menerapkan
apa yang telah diterangkan Allah dalam ayatnya tersebut, maka kesia-siaan tersebut
dapat dihindari dan kita termasuk orang-orang yang beruntung. Namun di tengah
kompetisi dalam memenuhi kebutuhan hidup yang semakin sulit, manusia terkadang
lupa akan hakikat dari infak yang seharusnya dikeluarkannya. Ada yang mungkin
terpaksa karena sistem yang telah mengikat mereka, misalnya jika mereka seorang
pegawai baik swasta atupun negeri, maka secara otomatis gaji di tiap bulannya akan
dipotong untuk dana ZIS, ada yang menganggap bahwa jika dia sudah keluarkan
pajak, maka tidak wajib baginya untuk infak artinya dia beranggapan bahwa pajak
adalah pengganti infak, ada yang bahkan sama sekali tidak pernah berinfak kecuali
jika saat di jalan ia bertemu dengan peminta-minta yang tidak bisa dia hindari, bahkan
15

saat memberi dia akan mencari uang receh yang paling kecil nominalnya, namun di
antara mereka itu juga tidak sedikit mereka yang dengan secara sadar mengeluarkan
infak atas tiap penghasilan yang mereka terima dan itu adalah yang paling baik di
antara contoh-contoh sebelumnya. Jika kita benar-benar memahami dan menyadari
ayat tersebut, maka sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak berinfak. Dan
pastinya dengan tidak melakukan perbuatan yang dapat merusak pahala keberkahan
dari infak kita tersebut. Namun terkadang karena kesibukan yang luar biasa dalam
mencari dunianya, manusia sudah jarang yang peduli untuk memahami kandungan Al
Quran yang merupakan petunjuk hidup manusia yang sebenar-benarnya. Jangankan
untuk memahami isi kandungannya, untuk membaca Al Quran saja bisa dihitung
kuantitasnya. Mungkin saja mereka memiliki Al Quran, namun hanya untuk pajangan
di lemari saja, naudzubillah.
CA.
DAFTAR PUSTAKA
CB.
CC.

Alqur`an dan Terjemahan; Yayasan Penyelanggara Penerjemah Alqur`an /Penafsir


Alqur`an Revisi Terjemahan Oleh Lajnah Pentashih Mushaf Alqur`an Departmen
Agama Republik Indonesia.

CD.
CE. Ar-Rifai, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
Jakarta : Gema Insani Press, 1999 Shihab,M. Quraish, Tafsir Al Mishbah, Volume 1,
Jakarta : Lentera Hati, 2002.
CF.
CG.
Muhammad Az-Zuhaily, Ibnu Katsir : Al-Hafidz al-mufassir, h
74.
CH.
CI.
Solah Abdul Fatah Al-Kholidi, Tarifu Addarisin Bimanahijil
Mufasirin (Cet. V; Damaskus : Dar Alqolam, 2012 M / 1433 H), h
381-387,CJ.
CK.
www., surya ningsih .worpress.com. Desember 2008.

16

Anda mungkin juga menyukai