ASY’ARIYAH MATURIDIYAH
Makalah
Disusun pada tanggal 31 April 2010
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ilmu Kalam di jurusan
Pendidikan Kimia semester 4
yang dibimbing oleh Hasan Basri, M.Ag.
Disusun Oleh:
Nama NIM
Rofa Yulia Azhar 204 208 137
M. Wildan R. B. Y. 208 204 126
Syifa Fauziah 208 204 146
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
nikmat iman dan islam-Nyalah kita masih merasakan nikmatnya kehidupan ini.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada jungjungan kita The Leader of
Moeslim Muhammad saw, kepada keluarganya, sahabatnya dan kepada kita
sekalian selaku umatnya yang setia sampai akhir zaman.
Tidak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan karya yang penyusun
buat ini. Maka dari itu penyusun menantikan saran dan kritik yang membangun
dari semua pihak agar penyusun dapat mengoreksi kesalahan tersebut dan sebagai
bahan pembelajaran bagi penyusun dimasa yang akan datang.
Penyusun
Daftar Isi
Kata Pengantar........................................................................................1
Daftar Isi..................................................................................................3
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................................4
2.2 Rumusan Masalah....................................................................................4
BAB II Sejarah Asy’ariyah dan Maturidiyah
2.1 Latar Belakang Asy’ariyah .....................................................................6
2.2 Latar Belakang Maturidiyah ....................................................................13
BAB III Teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah
3.1 Teologi Asy’ariyah ...................................................................................17
3.2 Teologi Maturidiyah ................................................................................24
BAB IV Persamaan dan Perbedaan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah
4.1 Pandangan Mengenai Asy’ariyah dan Maturidiyah ................................31
4.2 Persamaan dan Perbedan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah ..............31
BAB V Penutup
5.1 Simpulan ................................................................................................34
5.2 Kritik dan Saran.......................................................................................34
Daftar Pustaka.........................................................................................35
BAB I
PENDAHULUAN
Abu Ali Al Jubba`i tidak dapat menjawab lagi, ternyata akal tidak dapat
diandalkan. Abu al Hasan Al Asy`ary dalam meninjau masalah ini selalu
berdasar kepada sunnah Rasulullah. Itulah sebabnya maka madzhab yang
dicetuskannya lebih dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jama`ah.
1
Sebagai Abu al Hasan
2
Sebagai Abu Ali al Juba’i
Namun karena pengaruh yang cukup dalam dari faham Mu`tazilah, pada
mulanya cetusan pendapat Abu Al-Hasan sedikit banya dipengaruhi oleh
Ilmu Kalam. Keadaan seperti ini sangat dimaklumi karena tantangan yang
beliau hadapi adalah kelompok yang selalu berhujjah kepada rasio, maka
usaha beliau untuk koreksi terhadap Mu`tazilah juga berusaha dengan
memberikan jawaban yang rasional. Setidak-tidaknya beliau berusaha
menjelaskan dalil-dalil dari Al Qur`an atau As Sunnah secara rasional. Hal ini
dapat dilihat ketika beliau membahas tentang sifat Allah dalam beberapa hal
beliau masih menta`wilkan sebagiannya. Beliau menyampaikan pendapatnya
tentang adanya sifat Allah yang wajib menurut akal.
Pada mulanya manhaj Abul Hasan Al Asy`ary dalam bidang aqidah
menurut pengakuan secara teoritis pertama berdasarkan naqli atau wahyu
yang terdiri dari Al Qur`an dan Al Hadits Al Mutawatir, dan kedua
berdasarkan akal. Namun dalam prakteknya lebih mendahulukan akal
daripada naql. Misalnya dalam menetapkan dua puluh sifat wajib bagi Allah,
diawali dengan menetapkan hanya tiga sifat wajib, kemudian berkembang
dalam menyimpulkan menjadi lima sifat, tujuh sifat, dua belas sifat atau dan
akhirnya dua puluh sifat atau yang lebih dikenal dengan Dua puluh Sifat
Allah (7 sifat hakiki, 13 sifat majazi). Penetapan sifat hakiki dan majazi
adalah berdasarkan rasio.
Penetapan tujuh sifat hakiki tersebut karena bila Allah tidak memilikinya
berarti meniadakan Allah. Ketujuh sifat hakiki tersebut adalah hayyun
bihayatin, alimun bi ilmin, qadirun bi qudratin, sami`un bi sam`in, basyirun
bi basharin, mutakallimun bi kalamin dan muridun bi iradatin. Sedangkan
mengenai tiga belas sifat majazi bila dikatakan sebagai sifat hakiki berarti
tasybih atau menyamakan Allah dengan makhluk.
Ketika ditanyakan: “Bagaimana menetapkan sifat hakiki tersebut,
sedangkan sifat itu secara lafziah sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh
makhluk?” Jawabannya: “Sifat-sifat tersebut dari segi lafaz sama dengan
makhluk, namun bagi Allah SWT mempunyai arti `maha` sesuai dengan
kedudukan Allah yang Maha Kuasa”. Hal inilah yang menjadi bahan
pertentangan dikemudian hari.
b) Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu
dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia,
kebijaksanaan dan keadilan kehendak Allah mengharuskan manusia
untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar) agar kewajiban
yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Al-
Maturidi mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah
sebagai pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya (kasb)
dalam setiap diri manusia dan manusia bebas memakainya, dengan
demikian tidak ada pertentangan sama sekali antara qudrat Allah dan
ikhtiar manusia.
Dalam masalah pemakaian daya ini Al-Maturidi memakai faham
Imam Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan ridha
(kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau
buruk tetap berada dalam kehendak Allah, tetapi ia dapat memilih yang
diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas
kehendak dan kerelaan Allah, dan Manusia berbuat baik atas kehendak
dan kerelaan Allah, dan berbuat buruk pun dengan kehendak Allah,
tetapi tidak dengan kerelaan-Nya.
d) Sifat Tuhan
Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan
sebagainya. Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan
sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat
Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha
lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud
tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa
kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama).
Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati
faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap
adanya sifat Tuhan.
e) Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal
ini diberitakan dalam Al-Qur’an:
f) Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca:sabda) yang
tersusun dengan huruf dan bersuara denagn kalam nafsi (sabda yang
sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi
Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah
baharu (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari
bagaimana Allah bersifat dengannya, kecuali dengan suatu perantara.
Maturidiyah menerima pendapat Mu’tazilah mengenai Al-qur’an
sebagai makhluk Allah, tapi Al-Maturidi lebih suka menyebutnya
hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al-Qur’an.
g) Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang
memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena da hikmah
dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap
perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang
dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
Tuhan tidak akan membebankan kewajiban di luar kemampuan
manusia, karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan
manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam kemampuan dan
perbuatannya, Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena
merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
h) Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa
mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan oleh rasul berarti manusia
telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan akalnya.
Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mu’tazilah, yaitu bahwa
pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia
dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.
j) Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat
bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan.
Al-Qur’an:
b) Golongan Bukhara
Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi.
Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik
dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid
Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah
pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah.
Walaupun sebagai pengikut aliran Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi selalu
sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat
islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-
pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan
umat islam.
BAB IV
a) Kedua aliran ini lahir akibat reaksi terhadap paham aliran Mu’tazilah.
3
al Khilâf Al Lafdziyu
b) Mengenai sifat-sifat Tuhan, kedua aliran ini menyatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya
tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya.
c) Keduanya menentang ajaran Mu’tazilah mengenai al-Salah wal Aslah dan
beranggapan bahwa al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang tidak diciptakan,
tetapi bersifat qadim.
d) Al-Asy’ari dan Al-Maturidi juga berkeyakinan bahwa manusia dapat
melihat Allah pada hari kiamat dengan petunjuk Tuhan dan hanya Allah
pula yang tahu bagaimana keadaan sifat dan wujud-Nya. Hal ini
mengingat nash al-Qur’an:
4
Ittihafus Sadatil Muttaqin 2 : 6
5
Ar-Raudhatul Bahiyyah oleh Abi Hudibah hal.3
a) Tentang perbuatan manusia. Al-Asy’ari menganut paham Jabariyah
sedangkan Al-Maturidi menganut paham Qadariyah.
b) Tentang fungsi akal. Akal bagi aliran Asy’ariyah tidak mampu untuk
mengetahui kewajiban-kewajiban manusia sedangkan menurut pendapat
Maturidiyah akal dapat mengetahui kewajiban-kewajiban manusia untuk
berterima kasih kepada Tuhan.
c) Tentang Janji dan ancaman Tuhan. Al-Asy’ari berkeyakinan bahwa Allah
bisa saja menyiksa orang yang taat, memberi pahala kepada orang yang
durhaka, sedangkan Al-Maturidi beranggapan lain, bahwa orang yang taat
akan mendapatkan pahala sedangkan orang yang durhaka akan mendapat
siksa, karena Allah tidak akan salah karena Ia Maha Bijaksana dan Maha
Mengetahui.
BAB V
Penutup
5.1 Simpulan
Mubarok, Jaih. 1999. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. 2000. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.