Anda di halaman 1dari 11

PENGARUH GOLONGAN KHAWARIJ DAN SYI’ÁH PADA

PERKEMBANGAN TASYRI’
A. Golongan Khawarij
1. Pengertian
Kaum khawarij adalah pengikut Ali bin Abi Thalib yang
meninggalkan barisannya karena tidak setuju dengan sikap Ali dalam
menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan
tentanag khalifah dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Nama khawarij
berasal dari kata khoroja yang berarti keluar. Nama itu diberikan karena
mereka keluar dari barisan Ali.1
Golongan khawarij diketuai oleh Ábdullah Ibnu Wahab ar-Rasiby.
Terus-menerus golongan khawarij membuat pertentangan sehingga
berakhir dengan pembunuhan Ali. Dan kaum khawarij ini terus-menerus
menentang kerajaan Muawiyah yang berpusat di Damaskus. Bahkan
terus-menerus mereka beretindak menentang, sehingga mereka semua
dimusnahkan oleh kerajaan Abbasiyah.2
Kaum khawarij umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badui.
Hidup di padang pasir yang serba tandus dan membuat mereka bersifat
sederhana dalam cara hidup dan pemikirian, tetapi keras hati serta berani
dan bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain. Ajaran-ajaran
Islam sebagai terdapat dalam al-Qurán dan Hadits, mereka artikan
menurut lafadz dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman
dan faham mereka merupakan iman yang fanatic yang sederhana dalam
pemikiran lagi sempit. Hal ini membuat mereka tidak bias mentolerir
penyimpangan terhadap ajaran Islam.
Disinilah letak penjelasannya bagaimana mudahnya kaum khawarij
terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula
dimengerti tentang sikap mereka yang terus-menerus mengadakan

1
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2015), hlm. 13
2
T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1971), hlm. 69
perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada
di zaman mereka.3

2. Pecahan-pecahan Kaum Khawarij


a. Al-Muhikmah
Golongan ini merupakan generasi khawarij yang pertama. Sekte ini
memandang Ali, Muawiyah tokoh pelaksana tahkim, dan semua orang
yang menyetujui dan menerima hasilnya sebagai yang bersalah dan
kafir. Pelaku dosa besar adalah kafir. Pasukan khalifah Ali segera
membasmi sekte ini dan pertempuran sengit terjadi dan kemenangan
ada di pihak Ali.4
b. Al-Zariqah
Dalam pandangan teologisnya, al-Zariqah tidak menggunakan term
kafir tetapi menggunakan term muysrik atau polities. Yang dipandang
musyrik adalah semua orang yang tidak sepaham dengan ajaran
mereka. Bahkan orang Islam yang tidak ikuttt hijrah ke lingkungannya
dihukum musyrik.
Karena kemusyrikannya itu golongan ini membolehkan membunuh
anak-anak dan istri-istri yang bukan golongan al-Zariqah.
c. Al-Najdat
Di dalam bidang politik sekte ini berpendapat bahwa keberadaan
imamah atau pendirian Negara Islam bukanlah sebagai syarí,
melainkan wajib aqli atau maslahi. Artinya apabila syariát Islam telah
terlaksana dengan baik dan setiap muslim telah dapat saling
menasehati tentang5 kebenaran maka keberadaan imamah atau Negara
Islam tidak perlu.
d. Al-‘ajaridah
Mereka berpendapat bahwa berhijrah dari daerah yang tidak
sepaham tidak wajib melainkan hanya sebagai kebajikan. Dengan

3
Harun Nasution, op.cit., hlm. 15
4
Asmal May, Perkembangan Pendidikan Aqidah Akhlak, (Pekanbaru: Suska Pres, 2017), hlm. 8
5
Ibid., hlm. 9
demikian mereka tetap mengakui para pengikut yang tidak ikut hijrah
yang tetap tinggal di luar lingkungan mereka, bahkan di lingkungan
orang-orang yang tidak sepaham.
e. Al-shufriah
Sekte ini tidak mengkafirkan orang yang tidak sepaham dengan
mereka di bidang agama dan keyakinan. Mereka tidak mengingkari
hukum rajam. Mereka juga tidak membolehkan memerangi anak dan
istri yang tidak sepaham dengan mereka. Pelaku dosa besar oleh
mereka dibedakan kepada dua macam. Pertama, pelaku dosa besar
yang tidak diancam sanksi di dunia seperti meninggalkan sholat.
Kedua, pelaku dosa besar yang jelas diancam dengan sanksi di dunia
seperti, perbuatan zina dan mencuri.6
f. Al-Ibadiah
Golongan ini merupakan yang paling moderat dari seluruh
golongan khawarij. Muslim yang melakukan dosa besar masih
dihukumkan muwahid, meng-esa-kan Tuhan, tetapi bukan mukmin.
Dan yang dikatakan kafir, bukanlah kafir agama tetapi kafir akan
nikmat. Oleh karenanya, orang Islam yang melakukan dosa besar tidak
berarti sudah keluar dari Islam. Sedangkan harta kekayaan lainnya
seperti emas dan perak harus dikembalikan kepada pemiliknya. Daerah
orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka masih merupakan dar
at-tauhid dan tidak boleh diperangi.7
3. Ajaran-ajaran Khawarij
Diantara faham Khaawarij yang menjalani faham jumhur ialah :
a. Mengkafirkan orang yang berbuat dosa
b. Menantangi kepala Negara yang fasiq
c. Memandang bahwa urusan khilafah bukan urusan yang dipusakai,
yakni bukan mesti orang yang tertentu, bukan mesti golongan yang
tertentu. Khalifah itu hak mereka yang jatuh pilihan umum kepadanya.

6
Ibid, hlm. 10
7
Ibid., hlm. 11
d. Puasa, sholat, zakat, dan ibadah-ibadah yang lain dipandang masing-
masingnya satu suku dari iman. Tidak dipandang sebagai wujud iman
sebelum ia mengerjakan dengan lidah dan anggota.

Kefanatikan orang khawarij dalam fahamnya:


Orang-orang khawarij sangat teguh memegang fahamnya. Faham mereka
seimbang dengan jiwa. Mereka lebih menyukai binasa diri daripada binasa
faham. Disamping itu mereka sangat keras menjalankan ibadah. Karena
itulah mereka tidak menyertai orang-orang yang dusta dan yang
mengerjakan maksiat dengan terang.8

4. Doktrin Politik Khawarij


a. Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam
b. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian
setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi
syarat
c. Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap
adil dan menjalankan syariát Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh
jika melakukan kezhaliman.
d. Khalifah sebelum Ali adalah sah tetapi setelah tahun ketujuh dari masa
kehalifahannya Utsman dianggap menyeleweng
e. Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah tahkim ia dianggap telah
menyeleweng. Muawiyah serta Amru bin Ash juga dianggap
menyelelweng dan telah menjadi kafir.
f. Pasukan perang Jamal yang melewati Ali juga kafir.9
B. Golongan Syiáh
1. Pengertian

8
T.M. Hasbi Ash-shiddiqy, Op.Cit., hlm. 70
9
Sukring, Ideologi Keyakinan Doktrin dan Bid’ah Khawarij, Universitas Halu Oleo Kendari,
Jurnal Theologia-Volume: 27 No: 2 2016, hlm. 423
Istilah syiáh berasal dari bahasa Arab yaitu asy-Syiáh. Syiáh
menurut etimologi bahasa Arab mempunyai pengertian yaitu pengikut,
penolong, dan pembela.10
Secara terminology syariát, syiáh yaitu kelompok muslim yang
mengatakan bahwa sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah orang yang lebih
berhak mewarisi kedudukan Khalifah dari pada sayyidina Utsman bin
Affan dan tokoh-tokoh Islam yang lainnya. Bahkan mereka mengatakan
ini semenjak Rasulullah SAW wafat. Mereka menganggap bahwa Ali bin
Abi Thalib yang berhak menjadi khalifah karena beliau adalah menantu
Rasulullah SAW walaupun pada akhirnya Abu Bakar ra. lah yang
menjadi khalifah.11
Syiáh adalah kaum yang aneh dalam beragama. Mereka
mengadakan ritual pada tanggal 10 Muharram dengan membentur-
benturkan kepala, melukai punggung hingga darah mengalir deras. Hal
ini dilakukan dikarenakan kesedihan atas terbunuhnya Husein bin Ali ra.
(cucu Rasulullah SAW).12
Disamping itu, mereka mempunyai ulama-ulama tersendiri yang
menjadi panutannya di berbagai cabang ilmu-ilmu ke-Islaman. Ulama
Ilmu Kalam yang paling masyhur adalah Hisyam bin Hakim dan
Syaikhan Thaq Muhammad Nu’man al-Ahwal. Bidang-bidang lain
diantaranya:13
a. Bidang Tafsir : Maisam bin Yahya at-Tamanar, Said bin Zubair, Abu
Shaleh Miran, Imam Muhammad al-Baqir, Abdul Jarud, Jabbar bin
Yazid al-Ju’fi, Ismail bin Abdurrahman Suda al-Kabir.
b. Bidang Ilmu Tafsir, yaitu Abu Hamzah as-Samali, Abu Junadah as-
Saluli, Abu Ali Al-Hariri, Abu Alim bin Fadlal, Abu Thalib bin
Shalat, Muhammad bin Khalil al-Brqi, Hisyam bin Muhammad as-
Saíd al-Kalbi, al-Waqidi, Abu Utsman al-Mazani, Muhammd bin

10
Asmal May, Op.cit., hlm. 98
11
Ibid., hlm. 99
12
Hasyim Ali, Dialog Sunnah Syiáh, Terj. Muhdhor Assegaf, (Jakarta: Cahaya, 2008), hlm. 37
13
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 72
Masúd al-Ajasyi, Farrad bin Ibrahim, Ali bin Mahziyar al-Ahwazi,
Husein bin Saíd al-Ahwazi, Huzan bin Khalid al-Barqi, Ibrahim as-
Saqafi, Ahmad bin Asadi.
c. Bidang Tafsir Ahkam : Al-Kalbi, ar-Rawandi, as-Sajuri, al-Ardabli,
al-Kadhimi, Atsrabadi, al-Jazairi.
d. Bidang tafsir ayat mutasyabihat : Hamzah bin Habib, Muhammad
bin Ahmad al-Wazir, Ibnu Syahras, Syaub al-Mazandra.
e. Bidang Gharib al-Qurán: Aban Ibnu Thuglab, Mustadlal Salma, Ibnu
Darid, Abdul Hasan al-Adawi asy-Syamsathi.
f. Bidang Nasikh Mansukh: Abdurrahman al-Asan ad-Darimi, Ibnu
Qadri, Ibnul Fadlal al-Jaludi, Suduq bin Babuwaih al-Qummi.
g. Bidang Majaz al-Qurán: Ibnu al-Mustamir, Ibnu Darid, Abul Hasan
al-Adawi asy-Syamsathi.
h. Bidang Hadits: Ja’far as-Shodiq, Aban bin Tuqlab bin Ribah, Musa
bin Uqbah al-Asadi, Hammad bin Zaid al-Azadi, Muhammad bin
Khazin at-Tamimi, Aban bin Utsman al-Lu’Luí.
i. Bidang Fiqih: Barid bin Muawiyah al-Ajali, Hammad bin Utsman,
Hammad bin Isa al-Jahni, Muhammad bin Ali bin Nu’man al-Bajali14
2. Beberapa Contoh dari Hukum Syiáh
Fiqih syiáh dari walaupun berdasarkan al-Qurán dan as-Sunnah,
namun berlainan dengan fiqih jumhur dari beberapa jurusan.
a. Fiqih syiáh berdasarkan kepada tafsir-tafsir yang sesuai dengan
pokok-pokok pendirian mereka. Mereka tidak menerima tafsir-tafsir
golongan lain dan tidak menerima hadits yang diriwayatkan oleh
selain imam ikutannya.
b. Fiqih syiáh berdasarkan Hadits, Qoídah atau furu’ yang mereka
terima dari imam-imamnya. Mereka tidak menerima segala rupa
Qoídah yang dipergunakan oleh jumhur ahli sunnah.15

14
Ibid., hlm. 73
15
T.M. Hasby Ash-Shiddiqy, Op.cit., hlm. 76
c. Fiqih mereka tidak mempergunakan ijma’dan tidak mempergunakan
qiyas. Mereka mennolak ijma’karena jika mengikuti faham ijma’
berarti mengikut faham lawan yaitu; sahabat, Tabiín dan Tabiít tabiín.
Mereka tidak menerima qiyas karena qiyas hasil dari daya fikir.
Agama hanya diambil dari Allah dan Rasul-Nya serta dari imam-
imam yang mereka ikuti saja.
d. Fiqih syiáh tidak memberi hak warisan bagi perempuan jika warisan
itu tanah dan kebun. Perempuan hanya diberi hak waris pada benda-
benda yang dapat dipindah-pindahkan.
Mereka mirip dengan Zaidiyah, berpegang dalam bidang fiqih kepada
al-Qurán dan kepada Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh imam-imam
mereka dan oleh orang-orang yang semadzhab dengannya.
3. Penyusunan-penyusunan Kitab Fiqih Syiáh
Fiqih mereka yang berbeda dengan jumhur ulama yaitu:
1. Pernikahan
Mereka menerapkan nikah mutháh atau kawin kontrak. Mereka
berpegang pada riwayat Ibnu Abbas, mereka menolak riwayat yang
ditegaskan bahwa Ziwajul Mutháh sudah dimusnahkan pada masa
Rasul masih hidup.
2. Menyaksikan Thalaq wajib
Saat dijatuhkan thalaq, tidak disaksikan dua orang saksi yang adil
thalaq itu tidak sah. Landasan mereka yaitu firman Allah dalam Q.S.
ath-Thalaq ayat 2:

ِ َ‫فَ ِا َذا بَلَ ْغنَ ا َ َجلَهن فَا َ ْم ِسكهن بِ َم ْعر ْوف ا َ ْو ف‬


‫ارق ْو هن بِ َم ْعر ْوف‬
... ‫ع ْدل ِم ْنك ْم‬ ْ ‫ش ِهد َذ َو‬
َ ‫ي‬ َ ‫َوا‬
“Maka apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka
rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah
mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
yang adil diantara kamu…”
Ahlussunnah berpendapat bahwa mendatangkan saksi bukan
wajib, tetapi hanya ihtijat supaya jangan terjadi16 penginkaran dari
salah seorang suami istri. Dan orang syiáh sependapat dengan
ahlussunnah tentang tidak mensyaratkan saksi untuk ruju’.
3. Mereka sependapat dengan golongan Zaidiyah tentang haram
mengawini wanita Nashraniyah atau Yahudiyah.
4. Masalah warisan, menurut madzhab mereka, anak paman yang
sebelah ibu dan sebelah bapak, anak paman yang sebelah ibu yang
lebih diutamakan.17
4. Masalah Khalifah
Setelah sayyidina Utsman bin Affan wafat, kaum muslimin yang
tidak terlibat pemberontakan sepakat mengangkat sayyidina Ali menjadi
khalifah keempat. Akan tetapi orang-orang syiáh berpendapat khalifah
Ali sebagai khalifah pertama karena mereka tidak mengakui khalifah-
khalifah sebelumnya yang dianggapnya sebagai penyerobot.
Pada masa sayyidina Ali timbul hal-hal yang mengecewakan
masyarakat sehingga terpecah belah menjadi beberapa golongan:
1. Golongan syiáh sendiri yang sebagian jumhur yang menyokong
dan mengangkat sayyidina Ali sebagai khalifah.
2. Golongan yang menuntut bela kematian sayyidina Utsman bin
Affan yang dipelopori oleh Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur
Syiria yang diangkat pada masa khalifah Utsman.18
3. Golongan yang dipimpin oleh Aisyah ra.dan diikuti Talhah bin
Ubaidillah dan Zubair bin Awwam tidak mengakui baiátnya Ali
karena pembaiátannya secara paksa.
4. Golongan yang dipimpin oleh Abdullah bin Umar didukung oleh
antara lain Muhammad bin Salamah, Utsman bin Zaid, Hasan bin
Tsabit, Abdullah bin Salam. Golongan ini bersikap pasif, tidak ikut
mengangkat khalifah Ali, tidak ikut menyalahkannya dalam

16
Ibid.,hlm. 78
17
Ibid., hlm. 79
18
Sahilun A. Nasir, Op.cit., hlm. 77
peristiwa pembunuhan terhadap khalifah Utsman dan juga tidak
ikut menyokong Muawiyah bin Abi Sufyan menyatakan diri
sebagai khalifah di Syiria. Mereka ini tidak ingin terlibat dalam
masalah-masalah politik.19

Setelah sayyidina Ali meninggal, Hasan putranya yang sulung


diangkat menjadi khalifah. Karena tidak suka susah-susah dan mau aman
saja, ia segera berdamai dengan musuh keluarganya dan hidup
mengasingkan diri sebagai orang biasa. Namun, kaum Umayyah yang
memusuhinya terus memburunya dan beberapa kemudian ia meninggal
karena terkena racun. Penyerahan kekuasaan dari Hasan kepada
Muawiyah merupakan pukulan sangat berat bagi golongan syiáh. Akan
tetapi apa boleh buat karena imamnya berpendirian demikian.

Muawiyah pendiri daulah Bani Umayyah berkedudukan di


Damaskus, memerintah tahun 40 H-60 H. pada masanya orang-orang
syiáh dan khawarij diburu-buru ditangkap.20 Muawiyah sebelum wafat
mewariskan jabatan kepada putranya yaitu Yazid bin Muáwiyah.

Husein putra Ali yang kedua, mewarisi watak dan keutamaan


ayahnya yang bersifat kesatria. Dia telah berjuang melawan orang
Kristen waktu mengepung konstantinopel. Menyatukan dirinya hak
keturunan dari Ali dengan sifat seorang cucu Rasulullah SAW.

Dalam syarat perjanjian perdamaian yang ditandatangani


Muáwiyah dan Hasan, haknya (Husein) atas kedudukan khalifah dengan
jelas disebutkan, Husein tidak pernah bersedia mengakui gelar raja
zholim (Yazid bin Muáwiyah) dari Damsyik itu yang kejahatannya
dibenci dan wataknya dipandang jijik.

Pada tahun 61 H, Yazid memerintahkan panglimanya Ubaidillah


bin Ziyad untuk memerangi sayyidina Husein. Mereka berjumpa di

19
Ibid., hlm. 78
20
Ibid., hlm. 82
padang Karbela, dekat tepi barat sungai Efrat. Pertempuran tidak dapat
dielakkan. Sayyidina Husein dipenggal kepalanya dan dibawa beriringan
oleh Ubaidillah bin Ziyad sebagai tanda bakti kepada khalifah Yazid.
Kejadian ini terjadi pada 10 Muharram.

Peristiwa karbela ini sampai sekarang masih diperingati kaum syiáh


di seluruh dunia sebagai tanda bela sungkawa. Wanita syiáh Persia
sampai sekarang di bulan Muharram mengenakan baju hitam guna
mengenang tragedy karbela.21

21
Ibid., hlm. 82
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 2015. Teologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia.

Ash-shiddiqy, T.M. Hasbi. 1971. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan


Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Asmal May. 2017. Perkembangan Pendidikan Aqidah Akhlak. Pekanbaru: Suska


Pres.

Sukring, 2016. Ideologi Keyakinan Doktrin dan Bid’ah Khawarij. Universitas


Halu Oleo Kendari. Jurnal Theologia-Volume: 27 No: 2.

Ali, Hasyim. 2008. Dialog Sunnah Syiáh. Terjemahan Muhdhor Assegaf. Jakarta:
Cahaya.

Nasir, Sahilun A. 2010. Pemikiran Kalam. Jakarta: Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai