Anda di halaman 1dari 7

KAJIAN TAFSIR SURAH AL-FURQAN

(25): 63-77
By abishawqy on Mei 12, 2015

KAJIAN TAFSIR SURAH AL-FURQAN (25): 63-77

Pada Surah Al-Furqan ayat 63-77 menggambarkan, bahwa ada sebelas sifat yang dimiliki oleh
orang-orang yang beriman. Menurut Allah, orang-orang beriman yang memiliki sebelas sifat
tersebut memperoleh gelar ibadurrahman, yaitu hamba-hamba Allah yang akan mendapatkan
rahmat yang paling besar di sisi Allah SWT. Rahmat-rahmat Allah yang paling besar tersebut
yaitu kedudukan atau derajat-derajat yang paling tinggi yang diperoleh oleh mereka di surga
kelak.

Orang-orang yang beriman itu harus melaksanakan seluruh kewajiban yang diwajibkan oleh
Allah kepada mereka. Apabila mereka melalaikan kewajiban-kewajiban tersebut, maka mereka
akan mendapatkan siksaan yang amat pedih dari Allah SWT. Sebaliknya, apabila mereka
menunaikan kewajiban-kewajiban yang diberikan tersebut, maka mereka akan mendapatkan
ganjaran pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Sifat-sifat yang dikemukakan di sini adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh orang-orang yang
beriman setelah menunaikan berbagai kewajiban yang diwajibkan kepada mereka. Seperti yang
termaktub pada Surah al-Furqaan ayat 63-77, sebelas sifat yang dimaksud tersebut adalah:

Pertama, sifat tawadhu’.

Tawadhu’ adalah lawan dari sifat takabbur. Tawadhu’ adalah sifat yang selalu merendah,
merupakan sifat yang sangat disukai oleh Allah. Jika orang yang memiliki sifat ini adalah orang
yang sangat disukai oleh Allah, maka orang yang memiliki sifat takabbur adalah orang yang
sangat dibenci oleh Allah SWT. Di dalam suatu hadits disebutkan, jika ada seseorang yang di
dalam dirinya terdapat sifat sombong walaupun hanya sebesar biji zarrah (biji sawi), maka Allah
akan mengharamkan surga baginya.

Takabbur adalah orang yang menganggap dirinya besar, padahal dia tidak besar. Orang yang
mengaku memiliki banyak hal, tapi sebenarnya ia tidak memiliki apa-apa. Padahal kata Allah,
bahwa apa yang mereka miliki itu tidak ada maknanya sedikitpun. Karena itulah, mereka
menambahkan sifat di dalam dirinya dengan apa yang tidak mereka miliki. Untuk menjadikan
diri kita tawadhu’ adalah dengan berpandangan bahwa apa yang kita miliki tidak ada arti apa-
apa dibandingkan dengan yang dimiliki oleh Allah SWT.

Sifat sombong adalah sifat yang merupakan fitrah yang diberikan Allah kepada setiap manusia.
Tidak ada seorangpun yang tidak memiliki sifat sombong. Hanya saja, ada orang yang
membiarkan kesombongannya menjadi subur, dan ada juga yang bisa menahan
kesombongannya, sehingga kesombongannya tidak pernah muncul.

Firman Allah pada Surah Al-Furqaan ayat 63:

Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas
bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata yang baik. (Q.S. Al-Furqaan: 63)

Pada ayat tersebut dengan jelas menyebutkan, bahwa ‘ibaadurrahman itu adalah mereka yang
berjalan di muka bumi ini dalam keadaan tawadhu’, dalam keadaan tunduk, dalam keadaan
merasa bahwa dirinya adalah makhluk yang sangat kecil, tak mempunyai kekayaan apapun, tak
memiliki ilmu apapun, walaupun orang lain memandang bahwa dirinya adalah orang yang
berilmu, orang yang kaya, ataupun orang yang memegang jabatan tinggi.

Pertanyaannya, mampukah kita bersikap tawadhu’? Harus diingat, bahwa sikap takabbur itu
akan muncul kapanpun dan di manapun. Jika kita tidak berhati-hati, maka sikap tersebut akan
menjadi subur, akan berkembang dengan sendirinya karena kondisi dan keadaan di mana kita
hidup. Karena itulah, menurut Rasulullah, sombong terhadap orang yang sombong itu adalah
sebuah kebajikan sedekah. Mengapa? Karena kalau kita menahan kesombongan seseorang,
sebenarnya kita mendekatkan orang tersebut kepada surga. Karena, jika ada kesombongan di
dalam hati seseorang, maka diharamkan kepadanya untuk mendapatkan surga. Jika kita
sombong terhadap orang yang sombong sehingga orang tersebut menjadi tidak sombong, maka
sebenarnya kita telah menjauhkannya dari neraka dan mendekatkannya kepada surga.

Kedua, selalu mengucapkan ucapan-ucapan yang baik (al-kalamuth thayyib).

Maksudnya adalah, bahwa orang tersebut senantiasa mengucapkan kalimat-kalimat yang baik,
walaupun orang lain selalu mengejeknya dengan kalimat-kalimat yang tidak mengenakkan.
Artinya, bahwa ‘ibaadurrahman adalah orang-orang yang senantiasa mengeluarkan ucapan-
ucapan yang baik, senantiasa bersikap dengan sikap yang baik, senantiasa menimbulkan
kebajikan-kebajiikan walaupun di tengah orang-orang yang tidak mau berbuat kebajikan
kepadanya.

Biasanya, jika mendengar ada orang yang mengejek kita, maka kita akan membalasnya dengan
ucapan-ucapan yang lebih kasar dibandingkan orang yang mengejek kita tersebut. Kalau ada
yang memaki kita, maka kita akan membalasnya lebih dari satu kali makian. Jika ada orang yang
berbuat jahat kepada kita sebanyak sekali, maka kita akan membalasnya lebih dari sekali. Itulah
fitrah manusia.

Dalam ayat ini disebutkan, bahwa jika ada orang-orang yang bodoh yang menyapa dia, kalau
ada orang-orang yang mengejek dia dengan kalimat-kalimat yang tidak mengenakkan baginya,
maka dia akan menyampaikan kalimat-kalimat yang baik kepada orang yang mengejeknya itu.
Tapi secara fitri, hal ini tak mudah untuk dilakukan. Malahan sebaliknya, seringkali perbuatan
kebajikan dibalas dengan kejahatan (air susu dibalas dengan air tuba).

Rasulullah menyatakan, bahwa orang yang paling baik akhlaknya adalah orang-orang yang
apabila diputuskan hubungan silaturahmi, maka ia tidak akan memutuskan hubungan tersebut.
Misalkan: ada orang yang tidak mau datang ke rumah kita, tapi kita tetap mendatangi rumah
orang tersebut. Hal ini tak mudah untuk dilakukan, karena biasanya jika ada orang yang tidak
mau datang ke rumah kita, maka kita akan semakin menjauhi orang tersebut.

Rasulullah juga menyatakan, bahwa orang yang paling baik akhlaknya adalah orang yang suka
memberi kepada orang yang tidak mau memberi kepadanya.

Ketiga, yaitu orang beriman yang suka tahajjud di malam hari.

Firman Allah pada Al-Furqaan ayat 64:

Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. (Q.S.
Al-Furqaan: 64)

Bangun di malam hari setelah tidur, untuk kemudian melakukan shalat tahajjud bukanlah hal
yang mudah dilakukan. Tetapi apabila kita membiasakan diri, maka secara otomatis pada
saatnya kita akan terbangun, sehingga hal seperti ini mudah saja untuk dilakukan. Mengapa
tahajjud ini penting? Karena jika ibadah dilakukan di tempat yang sepi, maka konsentrasi kita
akan lebih terpusat, dibandingkan ibadah di tengah keramaian.
Menurut pandangan para ulama, shalat tahajjud merupakan shalat sunnat muakkad, yaitu shalat
sunnat yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah. Shalat sunnat tahajjud biasa dilakukan paling
tidak dua raka’at, umumnya dilakukan delapan raka’at, ditambah dengan witir tiga raka’at.
Begitu besar pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang senantiasa melaksanakan shalat
tahajjud, karena tidak banyak orang yang mampu melakukan shalat tahajjud itu pada setiap
malamnya.

Keempat, yaitu merasa takut akan siksa Allah SWT.

Firman Allah pada Al-Furqan ayat 65-66:

(65)  Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami,
sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal“.

(66)  Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (Q.S.
Al-Furqaan: 65-66)

Orang yang senantiasa takut terhadap azab Allah, maka akan menyebabkannya selalu mematuhi
dan mentaati perintah-perintah Allah dan senantiasa meninggalkan segala yang dilarang oleh
Allah SWT. Di dalam Al-Qur’an digambarkan, bahwa di saat menghadapi sakaratul maut, maka
bagi mereka yang belum memiliki persiapan menghadapi alam kubur dan alam akhirat itu lalu
meminta kepada Allah untuk menunda kematiannya, karena mereka belum banyak melakukan
ibadah kepada Allah. Lalu Allah menjawab, “Apabila ajal mendatangi seseorang, maka ajal
tersebut tak bisa diundur dan tidak juga bisa dipercepat.”

Jika kita selalu mengingat akan azab Allah, maka pada saat itulah keinginan kita akan muncul
untuk melakukan ibadah kepada-Nya. Patut diingat, bahwa azab yang kita terima tak pernah ada
habisnya. Dimulai pada saat kita menjalani sakaratul maut, kemudian berlanjut ketika berada di
dalam kubur. Kemudian terus berlanjut hingga ketika dibangkitkan dan dikumpulkan di padang
mahsyar. Menurut riwayat, bahwa di padang mahsyar nanti matahari itu sejengkal di atas kepala,
dan manusia pada saat itu kondisinya berbeda-beda. Ada yang selalu merasa dingin dan sejuk,
walaupun matahari berada di atas kepalanya. Ada juga yang merasa badannya terbakar, karena
dibakar oleh matahari.

Pendeknya, ketika di padang mahsyar, maka manusia sudah merasakan alam atau suasana yang
berbeda sesuai dengan amal kebajikannya. Bagi yang mendapatkan siksaan, maka siksaan
tersebut akan terus berlanjut. Ketika berada di dalam neraka, siksaan tersebut takkan pernah ada
habisnya. Setelah kulitnya terbakar oleh api neraka, kemudian kulit tersebut diganti lagi dengan
yang baru. Setelah itu dibakar lagi, kemudian diganti lagi, dan begitu seterusnya tak pernah
berhenti.

Seorang muslim yang baik yang akan mendapatkan derajat yang tinggi di akhirat nanti adalah
mereka yang senantiasa ada di dalam dirinya itu rasa takut terhadap siksaan Allah SWT. Dan
karena rasa takut akan siksaan Allah itulah, maka kita akan menjadi orang yang senantiasa patuh
terhadap perintah-Nya.

Kelima, yaitu sederhana (moderat) di dalam berinfaq.

Firman Allah pada Al-Furqan ayat 67:

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Q.S.
Al-Furqan: 67)

Pada ayat di atas dengan jelas menyebutkan, apabila manusia atau orang yang beriman yang
ingin membelanjakan sesuatu, maka ketika membelanjakan tersebut dia tidak boleh terlalu
boros, dan juga tidak boleh terlalu kikir.
Di dalam ayat lain Allah menyebutkan:

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan
orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros. (Q.S. Al-Israa’: 26)

Jadi, tidak boleh ada sikap boros, dan tidak boleh juga kikir, melainkan berada di tengah-tengah
(moderat). Kalau kita berbelanja, maka belanjalah sesuai dengan keperluan. Kalau bersedekah,
jangan sampai memberikan sedekah terlalu banyak. Hanya karena bangga dengan pahala
bersedekah sehingga kita bersedekah terlalu banyak, sedangkan kita lupa akan kebutuhan kita
sendiri.

Allah juga mengingatkan, bahwa orang-orang yang bersifat boros itu adalah saudara-saudaranya
syaitan, seperti yang termaktub pada Surah Al-Israa’ ayat 27 berikut ini:

Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya.  (Q.S. Al-Israa’: 27)

Tetapi jangan juga karena mengingat akan kebutuhan kita, lalu kita tidak mau mengeluarkan apa
yang kita miliki, hingga zakat sekalipun tidak mau dikeluarkan. Itulah orang yang kikir
sebenarnya. Dalam hal ini, kita harus bersikap moderat, tidak kikir dan tidak juga boros, namun
berada di antara keduanya (moderat).

Pada Surah Al-Israa’ ayat 29 juga disebutkan:

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (Q.S. Al-Israa’: 29)

Jadi, jangan juga kita membelanjakan sesuatu sampai habis, dan jangan pula kita enggan
membelanjakan apa yang ada pada diri kita. Hal ini tak mudah dilaksanakan, karena pada
umumnya manusia itu bersifat konsumtif. Sifat konsumtif yang tak bisa ditahan yang kemudian
menjadi-jadi, itulah yang disebut pemborosan. Tapi kalau menahannya juga menjadi-jadi, itulah
yang dinamakan kikir. Di dalam hadits Nabi juga disebutkan, bahwa: “Urusan yang terbaik
adalah urusan yang di tengah-tengah.”

Keenam, menjauhkan diri dari sifat syirik.

(68) Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar,
dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat
(pembalasan) dosa (nya).

(69) (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam
azab itu, dalam keadaan terhina.

(70) kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka
kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.

(71) Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat
kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.

(Q.S. Al-Furqan: 68-71)

Syirik itu pada hakikatnya adalah sifat yang senantiasa menyekutukan Allah. Seseorang yang
menganggap bahwa selain Allah itu ada tuhan yang lain lagi, maka dapat dikategorikan
sebagai syirik. Kalau seseorang melakukan penyembahan terhadap Allah, tapi dalam suasana
yang lain dia juga melakukan penyembahan terhadap yang selain Allah, maka itu juga dapat
disebut sebagai syirik. Menurut ulama, syirik yang seperti ini dinamakan syirik akbar (syirik
besar). Syirik akbar adalah syirik yang berupa menyekutukan Allah SWT dengan sembahan atau
penyembahan yang selain dari Allah.

Kemudian ada juga yang dinamakan syirik asghar (syirik kecil). Menurut para ulama, syirik
asghar salah satunya adalah riya’. Mengapa? Karena ketika beribadah, yang ia harapkan
bukanlah keridhaan Allah, tetapi karena sesuatu yang selain dari Allah. Ibadah yang
dilakukannya bukanlah diniatkan untuk Allah, tetapi karena yang selain Allah. Kalau ada
seseorang yang melakukan shalat bukan karena Allah, tetapi karena yang lain, maka inilah yang
disebut sebagai syirik asghar.

Berkaitan dengan syirik akbar, di dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan, bahwa mereka yang
syirik itu apabila mati, maka dosa karena syiriknya tersebut tidak akan diampuni oleh Allah
SWT. Dosa tersebut takkan pernah diampunkan oleh Allah, jika saat ia meninggal dunia tak
pernah memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa syiriknya itu. Karena itu, banyak sekali
hal-hal yang menjauhkan seseorang dari surga, salah satu di antaranya adalah syirik.

Di dalam Al-Qur’an disebutkan:

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa
yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (Q.S. An-Nisaa: 48)

Ketujuh, menjauhkan diri dari melakukan perbuatan membunuh yang diharamkan oleh Allah
SWT.

Seperti yang termaktub pada Surah Al-Furqan ayat 68, bahwa selain syirik, melakukan
pembunuhan terhadap orang lain juga merupakan perbuatan dosa besar. Berkaitan dengan ini,
ada juga orang yang melakukan pembunuhan, tetapi pembunuhan itu atas perintah hukum.
Pembunuhan jenis ini tidak dikategorikan sebagai pembunuhan yang dilarang oleh Allah.
Misalnya, ada seseorang yang melakukan pembunuhan terhadap orang lain, lalu dia itu diadili
oleh hakim, dan hakim memutuskan bahwa dia akan juga dibunuh dengan hukum qishash. Maka
mereka yang melakukan eksekusi hukuman mati terhadap orang yang dikenai
hukum qishash tersebut tidaklah dikategorikan dalam rangka membunuh sesuatu yang
diharamkan oleh Allah SWT, karena eksekusi hukuman mati tersebut berdasarkan perintah
hukum.

Dalam kaitan dengan hukum qishash ini, ada ketentuan-ketentuan tertentu yang berlaku.


Misalnya: dalam sebuah negara, jika negara memutuskan berdasarkan keputusan pengadilan
bahwa si A akan dihukum qishash, maka itu tidak dianggap sebagai pembunuhan yang dilarang
oleh Allah. Tetapi jika ada sekelompok orang di dalam sebuah negara yang mereka (orang-orang
itu) memberlakukan hukuman qishash kepada seseorang tanpa adanya keputusan pengadilan
yang sah, maka hal ini dikategorikan bukanlah pelaksanaan hukuman qishash yang sesuai
dengan tuntunan syari’ah. Karena itu, bagi mereka yang memberlakukan pembunuhan seperti
ini, maka mereka telah melakukan pembunuhan terhadap jiwa yang diharamkan oleh Allah
untuk dibunuh.

Berkaitan dengan ini, Allah mengingatkan, bahwa barangsiapa yang membunuh seseorang,
maka seolah-olah dia itu telah membunuh semua manusia, seperti termaktub pada ayat berikut
ini:

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah
dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada
mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan di muka bumi. (Q.S. Al-Maidah: 32)

Kedelapan, menjauhkan diri dari perbuatan berzina.

Seperti yang termaktub pada Surah Al-Furqan ayat 68, bahwa selain syirik dan membunuh,
melakukan perzinahan juga merupakan perbuatan dosa besar. Karena itu, bagi pelakunya akan
diberikan siksaan yang berlipat ganda oleh Allah di akhirat nanti, seperti yang termaktub pada
Surah Al-Furqaan ayat 69: (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan
dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.

Tetapi pada Surah Al-Furqaan ayat 70 dan 71 memberikan kabar gembira kepada kita:
[70] kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka
kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. [71] Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka
sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. (Q.S. Al-
Furqan: 70-71)

Yang dimaksud pada ayat tersebut, jika sudah pernah terjadi hal-hal yang seperti itu (syirik,
pembunuhan, dan zina), maka Allah membukakan pintu taubat, lalu bertaubatlah kepada Allah.
Tapi pernyataan ini jangan dipelintir. Kalau begitu syirik dulu, baru kemudian bertaubat, karena
Allah pasti akan mengampuni. Kalau begitu membunuh dulu, nantikan Allah akan membukakan
pintu taubat. Kalau begitu berzinah dulu, nanti malam shalat lail kemudian berdo’a, minta
ampun dan bertaubat, maka Allah akan mengampuni. Tentunya bukan ini sebenarnya yang
dimaksud.

Itulah sebabnya, bagi manusia yang bersalah, apabila dia bertaubat, maka kesalahannya itu akan
dihapuskan oleh Allah SWT. Setelah dosa dan kesalahannya dihapuskan oleh Allah SWT, maka
kalau bertaubat lagi, maka akan ada tumpukan pahala dari taubatnya yang akan diberikan oleh
Allah. Jika ia bertaubat lagi, sedangkan dosanya sudah tidak ada lagi, maka pahala bertaubatnya
akan ditambahkan lagi oleh Allah SWT. Karena itulah, tindakan bertaubat dan beristighfar itu
tidak hanya dilakukan setelah kita melakukan perbuatan-perbuatan dosa, tetapi kalau
memungkinkan di sepanjang kehidupan kita selalulah kita bertaubat.

Perbuatan zina adalah perbuatan dosa besar yang menurut Rasulullah, bahwa orang yang berzina
itu tidak layak kalau diundang untuk menghadiri sebuah majelis. Ini merupakan siksaan sosial.

Kesembilan, menjauhkan diri dari bersaksi palsu.

Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu
dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka
lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (Q.S. Al-Furqaan: 72)

Saksi palsu bisa muncul kapan saja. Hal ini biasanya terjadi apabila dengan menjadi saksi palsu
itu maka akan mendapatkan keuntungan. Sekarang ini banyak sekali terjadi orang yang
memberikan kesaksian palsu. Misalkan: sebenarnya kasus tersebut seharusnya dimenangkan
oleh pihak A, tapi hakim kemudian memberikan kemenangan kepada pihak B, karena semua
saksi memberatkan pihak A. Dalam hal ini, mereka yang menjadi saksi palsu itu sudah
melakukan dosa besar. Menjadi saksi palsu itu membahayakan kemaslahatan di dalam
masyarakat.

Kesepuluh, senang menerima nasehat yang baik.

Dikatakan oleh Al-Qur’an:


Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka
tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. (Q.S. Al-Furqaan: 73)

Jadi, orang yang termasuk kategori orang beriman yang mendapat gelar ‘ibaadurrahman itu
adalah orang yang senantiasa menerima nasehat-nasehat yang baik yang diberikan oleh orang
lain, orang yang senantiasa mendapatkan pengajaran dan pelajaran dari orang-orang yang
memberikan pelajaran-pelajaran yang baik. Termasuk di dalam hal ini adalah orang yang senang
mencari ilmu adalah orang yang senang menerima nasehat.

Kesebelas, senantiasa berdo’a dan bermunajjat kepada Allah.

Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri
kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Furqaan: 74)

Bukan hanya berdoa untuk dirinya, juga berdoa untuk keluarganya, untuk anak cucunya agar
menjadi orang-orang yang baik dan orang-orang yang shaleh di belakang hari. Orang-orang
yang seperti ini dikatakan oleh Al-Qur’an adalah orang-orang yang akan mendapatkan ganjaran
yang paling tinggi di surga nanti yang akan diberikan oleh Allah SWT, seperti termaktub pada
Surah Al-Furqaan ayat 75-77:

(75) Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena
kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di
dalamnya,

(76) mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.

(77) Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): “Tuhanku tidak mengindahkan kamu,


melainkan kalau ada ibadatmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadat kepada-Nya), padahal kamu
sungguh telah mendustakan-Nya? karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu)”.

(Q.S. Al-Furqaan: 75-77)

Kesebelas hal ini bukanlah hal yang mudah dilakukan. Tetapi marilah kita melatih diri dan
membiasakan untuk memiliki kesebelas sifat dan sikap ini, seperti yang diungkapkan Al-Qur’an
pada Surah Al-Furqan ayat 63-77 ini.

https://thenafi.wordpress.com/2008/06/13/kajian-tafsir-surah-al-furqan-25-63-77/

Anda mungkin juga menyukai