Anda di halaman 1dari 7

Pengertian Konsep Tawadhu Rendah Hati

dalam Al-Quran dan Hadis


By
Tongkrongan Islami
Share

Advertisement

Tongkronganislami.net –  Perbincangan tentang tawadhu banyak diungkap dalam disiplin ilmu


tashawuf dan dunia ajaran spiritualitas dan akhlak yang sudah ada sejak awal sejarah para nabi
dan rosul.

Mulai dari nabi Adam a.s hingga mencapai klimaksnya pada nabi Muhammad SAW. Bahkan
misi utama tugas kerasulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia.

Diskursus disekitar tawadhu dalam dunia tashawuf merupakan bahasan yang penting, sebab ia
merupakan akhlak terpuji yang akan membawa pelakunya kepada masa kebahagiaan tiada tara
karena tawadhu adalah bagian dari aspek bathiniyah yang melibatkan ranah terdalam hati
manusia, ia juga merupakan salah satu maqomat yang harus dilalui seorang sufi yang ingin
mencapai kedekatan dengan tuhannya.

Tawadhu dalam pandangan tashawuf adalah tawadhu yang erat kaitannya dalam hubungan yang
terkerucut pada aspek hubungan hamba dengan tuhan maupun dengan sesamanya.

Dengan tawadhu ini seorang hamba menghantarkan dirinya secara tidak langsung untuk berjalan
dengan ketundukan dan kepatuhan menjalankan segala yang diperintahkan oleh tuhan dengan
memasrahkan diri kepadanya, adapun tawadhu dalam aspek sosial terarah pada kerendahan hati
antar sesama, hubungan antar mereka, dan lain-lain. Disini pemakalah merasa tertarik untuk
mengkaji dan mencari hakekat apa dan bagaimananya perihal tawadhu.

Advertisement

Uraian-uraian tentang tawadhu banyak didengungkan oleh dan di berbagai media kajian aspek
relijiutas, karena tak bisa dipungkiri tawadhu merupakan pola kajian yang normatif yang ada
hubungannya seberapa besar kedekatannya kepada sang pencipta (Allah SWT) dan antar
manusia juga.

Oleh karena itu mengenai tentang tawadhu banyak dikaji dan didalami oleh para pencari nikmat
kesejukan jiwa dan kebahagiaan yang menginginkan kedekatan dengan sang rabbul izzati dan
sesamanya baik itu masih ada yang masih berdiri kaku sebatas ranah teoritis ataupun sudah
terjun mencibak-cibak pada iaplikasi lapangan.

Menurut istilah atau secara terminology, tawadhu diartikan sebagai sikap merendahkan kepada
yang berhak yaitu Allah yang maha suci lagi maha tinggi, juga kepada orang-orang yang Allah
SWT perintahkan kita untuk bersikap tawadhu pada mereka seperti kepada para nabi dan imam,
Qiyadah, hakim, ulama dan orang tua.

Amru khalid mendefinisikan tawadhu dengan ketundukan pada kebenaran yang datang dari
mana pun yang kemudian bersikap saling adanya interaksi dengan lebih sayang dan kelembutan
tanpa membedakan dengan lainya, karena menurutnya tawadhu memiliki dua makna, pertama:
menerima suatu kebenaran yang datang dari simpanan, kedua: merendahkan hati dihadapan
orang lain dan berinteraksi dengan mereka dengan kasih sayang dan kelembutan, tanpa
membedakan satu dengan lainya.

Seorang bertanya kepada ibrahim Asy’ats Al fudhail tentang tawadhu, dia berkata: “tawadhu
yaitu engkau tunduk kepada kebenaran dan mengikatkan diri kepadanya. Jika engkau
mendengarnya dari anak kecil maka engkau tetap menerimanya. Jika mendengarnya dari
manusia yang paling bodoh maka engkau tetap menerima darinya.

Ibnu mubarak berkata: “pokok tawadhu yaitu dirimu merendahkan diri dihadapan orang yang
lebih miskin darimu, sehingga kamu menjadikan dia tahu bahwa dengan duniamu tidaklah kamu
memiliki keutamaan diatasnya, serta kamu meninggikan dirimu dihadapan orang yang lebih
kaya darimu, sehingga kamu menjadikan dia tahu bahwa dengan dunianya tidaklah dia memiliki
keutamaan yang lebih diatasmu.

Menurut pemakalah sendiri seperti yang sudah didefinisikan diatas tawadhu merupakan sikap
merendahkan diri kepada yang berhak yaitu Allah yang maha suci lagi maha tinggi juga kepada
orang-orang yang allah SWT perintahkan kita untuk bersikap tawadhu kepada mereka. Maka
pada hakekatnya tawadhu adalah lebih umum dari khusyu, karena tawadhu mencakup pada
sesama hamba dan pada sang pemilik hamba, sedangkan khushu tidak boleh dilakukan kecuali
hanya pada sang pemilik hamba saja.

Sifat tawadhu’ menimbulkan rasa persamaan, menghormati orang lain, toleransi, rasa senasib,
dan cinta pada keadilan. Tetapi sebaliknya sifat takabbur membawa seseorang kepada budi
pekerti yang rendah seperti dengki, marah, mementingkan diri sendiri, serta suka menguasai
orang lain.orang-orang berakal sudah tentu menjauhkan diri dari sifat takabbur dan sombong.

Anjuran Bersikap Tawadhu


Banyak nash-nash baik Al-Qur’an yang menyuruh pada sikap tawadhu diantara firman Allah
dalam surat Asyura Ayat 215:

‫ك ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِين‬ ْ ‫َو‬


َ ‫اخفِضْ َجنَا َحكَ لِ َم ِن اتَّبَ َع‬
Yang artinya : “Dan Rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu
orang-orang yang beriman (QS Asy Ssuara: 215)

Adapun dari assunah yaitu sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh iyyadh bin khimar dia
berbeda : Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar
kalian saling merendahkan diri sehingga salah seorang dari kalian tidak saling membanggakan
atau yang lain dan salah seorang dari kalian tidak mendzalimi yang lain (H.R muslim).
Rasulullah menyuruh agar umatnya bersifat tawadhu’ dan agar disenangi oleh yang lain, beliau
sering membuat perumpamaan dan contoh-contoh:

) ‫التطرونىكمااطوت النصارى ابن مريم انمااناعبد فقولواعبدهللا ورسوله (المواهب هللا نية‬

“kamu jangan memuji aku sebagaimana orang-orang Nasrani memuji putera maryam,
sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah hamba Allah dan utusannya.”

Jenis-Jenis Tawadhu

Tawadhu ada 2 macam salah satunya terpuji dan yang lain tercela. Tawadhu yang terpuji yaitu
tunduk kepada Allah dan tidak meremehkan dan merendahkan hamba-hamba Allah, sedangkan
yang tercela yaitu seorang bertawadhu kepada orang yang memiliki dunia karena meninginkan
duniannya.

Adapun bersikap tawadhu pada semua makhluk maka hukum asalnya bahwa perbuatan tersebut
terpuji jika diniatkan untuk mencari ridha Allah SWT sabda nabi SAW: “Tidak akan berkurang
harta karena bersedekah dan tidaklah seorang hamba bersikap pemaaf kecuali akan ditambah
kemuliaan oleh allah SWT dan tidaklah seorang hamba bersikap tawadhu kecuali akan diangkat
dari derajat oleh Allah SWT, sedangkan bersikap tawadhu pada ahli dunia dan orang Zalim
maka hal tersebut bertentangan dengan sikap izzah

Siapakah Orang Yang Tawadhu ?

Seorang yang mutawadhi yaitu seorang yang tumbuh dalam dirinya kerendahan dan ketinggian
semata-mata keimanannya pada Allah SWT yang sama sekali tidak terpengaruh oleh kekuatan
harga diri, harta, potensi yang dimilikinya atau orang lain. Sebab kemuliaan dan kehinaannya
semata-mata karena pengetahuannya yang luas tentang hubungan dirinya dan seluruh makhluk
kepada Allah yang maha tinggi lagi maha agung. “Dan dia adalah maha kuasa diatas semua
hambanya “ (QS Al An’am 18).

Maka seorang mutawadhi ia sangat menyadari kebutuhannya dan kefakirannya kepada Allah
SWT yang membutuhkan pengampunannya, dan ia pun menyadari bahwa semua kenikmatan
yang didapatnya bersumber dari Allah SWT. Sehingga karena semua pemahamannya tersebut
maka tidak pernah terbersit sedikitpun dalam hatinya sikap sombong, dan mereka lebih, karena
telah meresapnya keyakinan yang menghujam ke dalam hatinya sehingga sang pemilih
memujinya. Maka jika ia ditegur dan dikoreksi oleh orang-orang jahil maka selama itu gemar ia
senantiasa tunduk dan menerima hakekatnya kebenarannya itu.

Berkata ibnu Masud r,a : bersabda nabi SAW: tidak akan masuk surga ornag yang didalam
hatinya dan seberat biji sawi dari keseimbangan juga telah bersabda SAW, maukah kalian aku
kabarkan tentang ahli neraka? Yaitu orang-orang yang pencela, kerasa hati dan sombog. Teladan
yang tinggi dari sifat tawadhu.

Beliau SAW adalah orang yang sangat rendah hati, lembut peraganya, dermawan, indah
perilakunya selalu berseri-seri wajahnya murah senyum pada siapa saja, sangat tawadhu tapi
tidak menghinakan diri, penyayang dan lain-lain. Bahkan ketika kekuasaan SAW telah meliputi
jazirah Arabia yang besar, datang seirang badai menghadap beliau SAW dengan gemetar seluruh
tubuhnya maka beliau SAW yang mulia segera menghampiri orang tersebut dan berkata:
“Tenaglah-tenaglah saya ini bukan raja, saya hanyalah anak seorang wanita Qwaisy yang biasa
makan daging kering.

Contoh lain umar bin abdul Aziz saat menjabat khalifah pernah suatu kedatanggan tamu,
sedangkan lampu dammar hamper habis minyaknya, maka ia permisi untuk mengambil minyak.
Maka kata tamunya tidaklah anda membangunkan pelayan anda? Jawab khalifah: ia letih karena
bekerja seharian, maka ia berangkatlah kegudang untuk men cari minyak, maka tamunya
berkata: anda lakukan sendiri hal ini wahai Amirul mukminin ? maka ia menjawab: diamlah aku
ini hanya seorang umar tidak berkurang sedikitpun dan sebai-baiknya manusia adalah yang disisi
allah SWT tercatat sebagai seorang yang tawadhu.

Tanda-Tanda Bertawadhu’

Diantara tanda-tanda tawadhu yaitu:

1. Selalu tunduk kepada Allah SWT


2. Merendahkan dan menghinakan diri hanya kepada Allah SWT
3. Senantiasa mengaplikasikan aspek Al amru dan an nahyu yang diperintahkan oleh Allah
dan Rosulnya
4. Menjaga hubungan social dengan sesama makhluk
5. Menyadari bahwa ia sebagai makhluk social dan bukan individual.
6. Tidak sombong dan lain-lain

Bagaimana Cara Berperilaku Tawadhu dalam Kehidupan Sehari-hari?

Pada hakekatnya tawadhu ialah dimulai dari sesuatu yang terkecil,sekarang, dan diri sendiri.
Sifat tawadhu’ tidak dapat diperoleh secara spontan(langsung) tetapi harus diupayakan secara
bertahap, serius dan berkesinambungan. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh
sifat tawadhu’ adalah:

1. Mengenal Allah

Setiap manusia akan bersikap tawadhu’ seukuran dengan pengenalanya terhadap Robbnya.
Orang yang mengenal Allah dengan ebenar-benarnya akan menyadari ahwa Allah Yang Maha
Kuasa, Maha Kaya, dan Maha Perkasa yang tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya.
Karena, bila mendapatkan kebaikan maka ia memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya, sebab
pada hakikatnya ia tidak mampu mendatangkan kebaikan kepada dirinya kecuali atas izin-Nya.
Orang yang mengenal Allah akan mengakui bahwa dirinya kecil dan lemah, sehingga ia akan
tawadhu’ dan merasa tidak pantas untuk berlaku sombong.

2. Memikirkan tentang asal manusia.

Seseorang apabila ia melihat asal-usulnya maka ia akan merasa bahwa ia adalah makhlukyang
palinghina. Cukuplah ia melihat asal diciptakannya manusia yaitu berasal dari sperma (air mani)
yang hina yang selalu dibasuh jika terkena pakaian dan badan, kemudian manusia lahir kedunia
dalam keadaan tanpa daya dan tidakmengetahui apapun. Allah telah mengatakan dalam firman-
Nya:

ْ ُ‫ ِم ْن ن‬,ُ‫ي َش ْي ٍء خَ لَقَه‬
ُ‫طفَ ٍة َخلَقَهُ فَقَ َّد َره‬ ِّ َ‫ِم ْن أ‬

Artinya:”Dari apakah Allah menciptakannya?Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu


menentukannya”. (Q.S ‘Abasa:18-19)

Ibnu Hibban mengatakan :”Bagaiman mungkin seseorang tidak bersikap tawadhu’ padahal ia
diciptakan dari setetes mani yang bau kemudian akan kembali menjadi bangkai yang bau busuk
sedangkan ia diantara kedunya sedang membawa kotoran.”
3. Mengenal aib (cacat/kekurangan) diri.

Seseorang dapat terjebak kepada kesombongan bila ia tidak menyadari kekurangan dan aib yang
ada pada dirinya. Boleh jadi seseorang mengira bahwa dirinya tela banyak melakukan kebaikan
padahal ia justru telah melakukan kerusakan dan kezhaliman. Allah telah berfirman:

‫ع اإْل ِ ْن َسانُ بِال َّشرِّ ُدعَا َءهُ بِ ْالخَ ي ِْر َو َكانَ اإْل ِ ْن َسانُ َع ُجواًل‬
ُ ‫َويَ ْد‬

Artinya: “Dan bila dikatakan kepada mereka :Janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi , mereka menjawab: sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. (Q.S
al-Isro’:11)

Oleh karena itu, setiap muslim harus selalu melakukan intropeksi diri sebelum melakukan, saat
melakukan dan setelah melakukan sesuatu sebelum ia dihisab oleh Allah kelak. Hal itu juga agar
ia menyadari kekurangan dan aib dirinya sejak dini, sehingga ia akan bersikap tawadhu’ dan
tidak akan sombong terhadap orang lain. Allah berfirman:

‫ض َولَ ْن تَ ْبلُ َغ ْال ِجبَا َل طُواًل‬


َ ْ‫ق اأْل َر‬
َ ‫ك لَ ْن ت َْخ ِر‬ ِ ْ‫ش فِي اأْل َر‬
َ َّ‫ض َم َرحًا إِن‬ ِ ‫َواَل تَ ْم‬

Artinya:”Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi
gunung.” (Q.S al-Isro’:37)

Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menjadi orang yang tawadhu’? orang yangtawadhu’ itu
adalah orang yang memiliki akhlak mulia yang menggambarkan keagungan jiwa, kebersihan
hati dan ketinggian derajat pemiliknya. Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa yang bersikap tawadhu’ karena mencari ridho Allah maka Allah akan
meninggikan derajatnya. Ia menganggap dirinya tiada berharga, namun dalam pandangan orang
lain ia sangat terhormat. Barangsiapa yang menyombongkan diri maka Allah akan
menghinakannya. Ia menganggap dirinya terhormat, padahal dalam pandangan orang lain ia
sangat hina, bahkan lebih hina daripada anjing dan babi”(HR. Al-Baihaqi)

Mawlana Sulthanul Awliya’ Syaikh ‘Abdullah Faiz ad-Daghestani berkata“Mengapakah Nabi


Muhammad SAW., menjadi seseorang yang paling terpuji dan terhormat di Hadirat Ilahi?
Karena beliau-lah yang paling rendah hati di antara seluruh ciptaan (makhluq) Allah.” Beliau
selalu duduk seakan bagai seorang hamba di hadapan tuan pemiliknya, dan selalu pula makan
sebagai seorang hamba atau pekerja yang makan di hadapan tuan pemiliknya. Beliau tak pernah
duduk di atas meja.

Karena itulah, tak seorang pun mencapai kedudukan seperti beliau di Hadirat Ilahiah, tak
seorang pun dihormati dan dipuji di Hadirat Ilahiah sebanyak Penutup para Nabi, Muhammad
SAW. Karena itulah, Allah SWT memberikan salam bagi beliau, dengan mengatakan: “As-
Salaamu ‘Alayka Ayyuha an-Nabiyyu”, “Keselamatan bagimu, wahai Nabi!”. Allah SWT tidak
mengatakan, “Keselamatan bagimu, wahai Muhammad”. Tidak!! Melainkan, “Keselamatan
bagimu, Wahai Nabi!” Dan kita kini mengulangi salam dari Allah SWT. bagi Nabi SAW.,
tersebut minimal sembilan kali dalam shalat-shalat harian kita, saat kita melakukan tasyahhud.

Salam Ilahiah ini tidaklah dikaruniakan bagi siapa pun yang lain. Ini adalah puncak tertinggi
suatu pujian dari Tuhan segenap alam bagi Nabi-Nya. Beliau telah mencapai suatu puncak
tertinggi di mana tak seorang pun dapat mencapainya, semata karena kerendahhatiannya. Karena
itu pula, beliau mewakili Keagungan Allah dalam seluruh ciptaan-Nya. Ego Sang Nabi telah
habis dan berserah diri kepada Allah SWT., tak seperti kita, yang selalu terkalahkan oleh egonya

sendiri. Seperti misalnya ketika penulisan nama seseorang, kita lupa tidak mencantumkan Bapak
atau Ibu atau pangkat atau jabatan orang tersebut. Maka, bisa jadi orang tersebut akan marah
karena merasa tidak di hormati atau tidak dihargai. Dan ini saya rasakan ketika saya mencetak
kartu undangan pernikahan. Saya serahkan data-datanya ke percetakan, setelah selesai dicetak
ada satu nama yang tidak memakai bapak. Dan apa yang terjadi, yang punya nama itu marah dan

tidak hadir dalam acara pernikahan tersebut karena merasa tidak dihormati atau dihargai.
Mengapa ego kita selalu saja mendominasi gerak langkah kita? Bisa jadi, karena kita
membiarkan setan mengajari diri kita dengan tipu muslihatnya. Kita diajari oleh setan,
bagaimana menjadi orang yang terhormat atau menjadi orang yang pertama. Dan kita juga
diajari oleh setan bagaimana memiliki ego seperti egonya Fir’aun, Namrudz, Qarun dan lain
sebagainya. Karena itulah, setiap orang kini ingin mewakili egonya mereka, bukan untuk
mewakili sang penutup para Nabi yaitu Nabi Muhammad SAW.

Oleh karena itu, alangkah baiknya kalau kita menjadi wakil sang penutup para Nabi, bukan
sebagai wakil-wakilnya setan yang menyesatkan, yang kesananya akan menjerumuskan kita
kedalam azabnya Allah SWT dalam neraka-Nya. Maka, untuk menjadi orang yang mewakili
sang penutup para Nabi, kita harus memiliki akhlak seperti beliau, yang salah satunya adalah
tawadhu’ (rendah hati). Karena sifat ini telah diwahyukan oleh Allah SWT kepada beliau supaya
orang-orang tidak bersikap sombong kepada yang lain, sebagaimana yang disabdakan oleh
Rasulullah SAW:

Dari Iyadl bin Himar ra. Berkata Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah telah memberi wahyu
kepadaku yaitu kamu sekalian hendaklah bersikap tawadhu’ (merendahkan diri) sehingga tidak
ada seseorang bersikap sombong kepada yanglain, dan tidak ada seseorang menganiaya yang
lain.” ( HR. Muslim ).

Dan, Abdullah bin Jarullah dalam kitabnya Fadhlu At-Tawadhu wa Dzamu Al-Kibr memberi
gambaran kepada kita tentang tanda-tanda orang yang tawadhu’, dia mengatakan bahwa ada
enam tanda-tanda tawadhu’ yang harus kita miliki:

PERTAMA, engkau menonjolkan diri terhadap sesamamu, maka engkau sombong. Dan apabila
engkau menyatu dalam kebersamaan dengan mereka maka engkau tawadhu’.

KEDUA, apabila engkau berdiri dari tempat dudukmu dan mempersilahkan orang berilmu dan
berakhlaq duduk di tempatmu, maka engkau tawadhu’.

KETIGA, apabila engkau menyambut orang biasa dengan ramah dan wajah yang
menyenangkan, dengan kata-kata yang akrab, memenuhi undangannya, maka engkau tawadhu’.

KEEMPAT, apabila engkau mengunjungi orang yang lebih rendah setatus sosialnya atau yang
sederajat denganmu, atau membawakan barang-barang bawaan yang ada ditangannya, maka
engkau tawadhu’.

KELIMA, apabila engkau mau duduk bersama fakir miskin, menjenguk yang sakit,orang-orang
yang cacat, memenuhi undangan mereka, makan bersama mereka, makaengkau orang yang
tawadhu’.

KEENAM, apabila engkau makan dan minum secara tidak berlebihan dan tidak untuk demi
gengsi, sekali lagi engkau tawadhu’.

Baca Juga:

1. Pengertian Islam (Kajian Konsep Keselamatan dalam Ajaran Islam)


2. Pengertian dan Perbedaan Nabi dan Rasul dalam Islam
3. Pengertian Iman (percaya) dalam Hadis Nabi

Sahabat-sahabat sekalian, semoga tanda-tanda tawadhu’ yang seperti disebutkan diatas dapat
kita miliki, sehingga kita termasuk orang-orang yang mewakili sangpenutup para Nabi yaitu
Nabi Muhammad SAW.
Sumber: https://www.tongkronganislami.net/pengertian-konsep-tawadhu-rendah-hati/

Anda mungkin juga menyukai