Anda di halaman 1dari 25

PEMIKIRAN YUSUF QARADHAWI DALAM BUKU KAIFA

NATA’AMAL MA’ A AL-QUR’AN

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Study Al-Qur’an

Dosen Pengampu

Dr. H. Baharuddin Fanani, M.A.

Di susun Oleh.
Muhammad Muqorobin
200101210013

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

PASCASARJANA UIN MAULANA MALIK IBRAHIM


MALANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami panjatkan kepada Allah SWT. atas limpahan rahmat,
hidayah serta inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
tanpa suatu halangan yang berarti. Tidak lupa sholawat serta salam tetap
tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa
kita dari jaman jahiliah menuju jaman Islamiah sekarang ini.

Adapun tujuan dari penyusunan makalah yang berjudul ” Pemikiran Yusuf


Qaradhawidalam buku Kaifa Nata’amal ma’a al-Quran”. ini adalah sebagai
pemenuhan tugas yang diberikan demi tercapainya tujuan pembelajaran yang telah
direncanakan.

Diharapkan makalah ini memberikan informasi kepada kita semua tentang


apa saja yang berkaitan dengan ” Pemikiran Yusuf Qaradhawidalam buku Kaifa
Nata’amal ma’a al-Quran.” Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala urusan kita. Amin.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Banyak orang yang merasa kebingungan ketika mereka mulai menyadari
harus berinteraksi dengan Al Quran. Di satu sisi meyakini Al Quran adalah
kitab berisi petunjuk dan pedoman kehidupan sehingga mereka
berkesimpulan bahwa yang paling penting berinteraksi dengan Al Quran
adalah memahaminya agar dapat diamalkan, namun tidak sedikit yang
berkeyakinan bahwa membaca Al Quran dalam arti membaca rangkaian huruf
demi huruf, kata demi kata dan kalimat demi kalimat adalah semata-mata
untuk nilai ibadah saja tanpa ada beban harus memahaminya walaupun
meyakini pentingnya memahami al Quran tersebut.
Ada juga yang bersungguh-sungguh menghafalkannya karena memang
tidak sedikit keterangan-keterangan baik dari al Quran maupun sunnah
Rasulullah saw yang menekankan pentingnya menghafal Al Quran. Efek
yang buruk dari pemahaman yang parsial berkaitan dengan tuntutan
berinteraksi dengan Al Quran pada akhirnya mengantarkan seseorang pada
sikap saling merendahkan pendapat yang lain dan mengunggulkan pendapat
pribadinya.
Jadi didalam berinteraksi dengan al-Qur’an harus berjalan secara
proposional yakni dengan cara menghafal, membaca, mendengarkan,
menyimak dan memperhatikannya. Tapi disisi lain manusia harus memahami
al-Qur’an dengan penafsiran yang baik dan sudah ditentukan. Karena allah
SWT menurunkan al-Qur’an agar kita mendalaminya, memamahami rahasia-
rahasianya, mengeluarkan karunianya dan masing-masing menurut kadar
kemampuannya.
Untuk menghindari pemahaman dan penafsiran al-Qur’an, manusia harus
mengikuti ilmu penafsiran yang sudah ditentukan oleh para ulama’ karena
didalam penafsiran terdapat celah yang yang sangat berbahaya terhadap
pemahaman dan penafsiran al-Qur’an sendiri sehingga a-Qur’an ajaran
nantinya al-Qur’an tidak sepenuhnya dijalankan menurut anjuran Allah SWT.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, Maka dapat dirumuskan pokok masalah
yang akan menjadi titik sentral dalam makalah ini sebagai berikut :
1. Siapakah Yusuf Qardhawi itu ?
2. Bagaimana Pandangan Yusuf Al-Qardhawi terhadap Al-Qur’an ?
3. Bagaimana Pemikiran Yusuf Qardhwi dalam “Berinteraksi dengan Al-
Qur’an” ?
C. Tujuan
Pada intinya tujuan makalah ini tidak terlepas dari masalah yang telah
dirumuskan berdasarkan rumusan masalah tersebut. Maka makalah ini
bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui siapa yusuf Qardhawi itu
2. Untuk mengetahui pandangan Yusuf Al-Qardhawi terhadap Al-Qur’an
3. Untuk mengetahui Pemikiran Yusuf Qardhwi dalam “Berinteraksi
dengan Al-Qur’an”
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Yusuf Qardhawi


Nama lengkapnya adalah Yusuf Abdullah Qardhawi
dilahirkan pada tanggal 9 September 1926 disebuah desa yang
bernama Shaftu Turab, daerah Mahallah al-Kubra Provinsi al-Garbiyah
Republik Arab Mesir, dari kalangan keluarga yang taat beragama dan hidup
sederhana.1
Ayahnya adalah seorang petani yang wafat pada saat
Qardhawi berusia dua tahun sehingga ia dipelihara oleh pamannya dan
hidup bergaul dengan putra putri pamannya yang dianggap
sebagai saudara kandungnya sendiri. Saat berusia
sepuluh tahun, ia belajar pada sekolah al-Ilzamiyah pada pagi hari dan
sore harinya ia belajar al-Quran.Pada usia itu ia telah hafal al
Quran dan menguasai Ilmu Tilawah. Kemudian ia
melanjutkan pendidikannya ke Tanta dan menamatkan
pendidikannya pada Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar pada tahun
1952/1953 dengan predikat terbaik. Setelah itu ia
belajar bahasa Arab selama dua tahun dan memperoleh ijazah
internasional dan sertifikat mengajar. Tahun 1957 ia
melanjutkan karirnya di Ma’had al-Buhus wa al-Dirasat al-Arabiyah al-
Aliyah (Lembaga Tinggi Riset dan Kajian Kearaban).
Tahun 1960 ia menamatkan studi pada Pascasarjana di
Universitas Azhar dengan konsentrasi Tafsir Hadits. Selanjutnya
Qardhawi berhasil menyelesaikan pendidikannya pada program Doktor
dengan disertasi Fiqh al-Zakah pada tahun 1972 dengan predikat cumlaude. 2
Qardhawi memiliki tujuh anak. Empat putri dan tiga putra. Sebagai
seorang ulama yang sangat terbuka, dia membebaskan anak-anaknya untuk
menuntut ilmu apa saja sesuai dengan minat dan bakat serta kecenderungan

1
Yusuf Qardhawi, Masalah-Masalah Islam Kontemporer, (Jakarta: Najah Press 1994) Cet I hlm. 219
2
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam j. 5 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve 2005) hlm. 322
masing-masing. Dan hebatnya lagi, dia tidak membedakan pendidikan yang
harus ditempuh anak-anak perempuannya dan anak laki-lakinya. 3
Salah seorang putrinya memperoleh gelar doktor fisika dalam bidang
nuklir dari Inggris. Putri keduanya memperoleh gelar doktor dalam bidang
kimia juga dari Inggris, sedangkan yang ketiga masih menempuh S3. Adapun
yang keempat telah menyelesaikan pendidikan S1-nya di Universitas Texas
Amerika.4
Anak laki-laki yang pertama menempuh S3 dalam bidang teknik elektro di
Amerika, yang kedua belajar di Universitas Darul Ulum Mesir. Sedangkan
yang bungsu telah menyelesaikan kuliahnya pada fakultas teknik jurusan
listrik.5
Dilihat dari beragamnya pendidikan anak-anaknya, kita bisa membaca
sikap dan pandangan Qardhawi terhadap pendidikan modern. Dari tujuh
anaknya, hanya satu yang belajar di Universitas Darul Ulum Mesir dan
menempuh pendidikan agama. Sedangkan yang lainnya, mengambil
pendidikan umum dan semuanya ditempuh di luar negeri. Sebabnya ialah,
karena Qardhawi merupakan seorang ulama yang menolak pembagian ilmu
secara dikotomis. Semua ilmu bisa islami dan tidak islami, tergantung kepada
orang yang memandang dan mempergunakannya. Pemisahan ilmu secara
dikotomis itu, menurut Qardhawi, telah menghambat kemajuan umat Islam.
B. Pandangan Yusuf Al-Qardhawi terhadap Al-Qur’an
Menurut pandangan Yusuf Qardhawi Al-Qur’an adalah kitab Ilahi yang
bersumber asli dari Allah dan diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai
pedoman hidup beragama yang memiliki karakteristik dan tujuan-tujuan
utamanya, antara lain adalah:
Pertama, al-Quran sebagai kitab Allah Swt yang mengandung firman-
firman-Nya, yang diberikan kepada penutup para rasul dan nabi-Nya, yaitu
Muhammad saw. al-Qur’an – seratus persen – berasal dari Allah swt kepada
Rasul dan Nabi-Nya: Muhammad saw. melalui wahyu al-Jaliyy ‘wahyu yang

3
Rokhim, Pemikiran Yusuf Qardhawi “Bagaimana Berinteraksi dengan al-Qur’an”, (online) diakses melalui
http://www.rokhim.net, tanggal akses. 10 Desember 2020
4
ibid…
5
Ibid…
jelas’. Yaitu, dengan turunnya malaikat utusan Allah swt, Jibril a.s. untuk
menyampaikan wahyu-Nya kepada Rasulullah saw. yang manusia, bukan
melalui jalan wahyu yang lain: seperti ilham, pemberian inspirasi dalam
jiwa. 6
Al-Quran tidak diturunkan Allah sekedar untuk mencari berkah dari
membacanya, menjadi hiasan dinding rumah, atau dibacakan pada orang yang
meninggal dunia agar mereka mendapatkan rahmat dari Allah.
Sesungguhnya, Allah menurunkan al-Qur’an untuk memastikan petunjuk-Nya
bagi perjalanan hidup manusia, sehingga kehidupan mereka dapat diatur
dengan petunjuk dan agama yang diturunkan oleh Allah. Dengan cahaya
petunjuknya, Allah memberikan petunjuk kepada umat manusia dari
kegelapan kepada cahaya yang terang benderang.7 Demikianlah al-Qur’an
sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia.
kedua, al-Qur’an adalah kitab suci yang terpelihara, Allah sendiri menjamin
pemeliharaannya, serta tidak membebankan hal itu kepada seorangpun. Tidak
seperti kitab-kitab suci lainnya, yang hanya dipelihara oleh umat yang
menerimanya.8
Diantara nikmat Allah terhadap pemeluk Islam ialah bahwasannya Dia telah
menjamin pemeliharaan kitab suci mereka dari penghapusan, penyimpangan,
dan pemalsuan. Allah berfirman:
. َ‫اِنَّا نَحْ نُ ن ََّز ْلنَ ال ِذِّ ْك َر َو ا َِّن لَهُ لَ َحا ِفظُ ْون‬

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya


Kami benar-benar memeliharanya”. (al-Hijr: 9).

Jaminan seperti ini sesuai dengan hikmah Allah. Sesungguhnya kitab-kitab


suci ini berisi firman-firman Allah yang terakhir untuk mahkluk-Nya, dan
tidak ada kitab suci lagi setelah itu. Tidak ada lagi Nabi setelah Rasulullah
saw yang menerima kitab suci ini. kalau kitab suci ini hilang atau
diselewengkan – sebagaimana yang terjadi pada kitab-kitab suci sebelumnya
– maka kehidupan manusia akan mengalami ketimpangan dan tidak ada

6
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an. (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 25.
7
Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan As-Sunnah; Referensi Tertinggi Ummat Islam, (Jakarta_ Robbani Press:
1997),hlm. 19
8
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…,hlm. 39.
timbangan yang bisa dirujuk, dan tidak ada petunjuk yang diandalkan , serta
tidak ada lagi harapan dan tujuan. Setelah wahyu ini turun seluruhnya, maka
telah sempurnalah hubungan antara langit dan bumi melalui al-Qur’an ini. 9

Ketiga, al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi mukjizat yang


mengandung syarat-syarat kemukjizatan yang dapat diakui kebenarannya,
serta manusia tunduk kepadanya, yaitu:

 Harus ada tantangan dengan mukjizat itu.


 Harus mengandung unsur yang dapat mendorong pihak musuh
untuk menentang.
 Tidak ada penghalang bagi orang lain untuk menentangnya. 10

Dalam hal ini, Allah memberikan tantangan melalui al-Qur’an untuk diuji
kebenarannya, tidak ada penghalang bagi siapapun yang hendak menguji
kemukjizatan al-Qur’an tersebut sehingga manusia itu sendiri yang pada
akhirnya menemukan kebenaran dari kemukjizatan al-Qur’an.

Keempat, al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi penjelas dan


dimudahkan pemahamannya. Al-Qur’an adalah kitab hidayah yang datang
untuk berinteraksi dengan seluruh macam manusia dan hatinya serta indra
dan kalbunya, sehingga ia menerangi akal manusia, mengguncang hati
manusia, memuaskan batin manusia, menggerakkan kehendak dan
mendorong manusia untuk bekerja.11

Kelima, al-Qur’an adalah kitab suci agama seluruhnya, pokok agama,


dan ruh wujud Islam. darinya disimpulkan konsep akidah Islam, tatacara
ibadah, tuntunan akhlak, dan pokok-pokok legislasi dan hokum.12 Al-
Qur’an berisi pokok-pokok ajaran Islam secara keseluruhan sehingga ia
sendiri adalah kitab suci yang sempurna.

Keenam, al-Qur’an adalah kitab suci bagi seluruh zaman, yakni ia


merupakan kitab yang abadi, bukan kitab bagi suatu masa tertentu, atau
kitab bagi suatu generasi tertentu, yang kemudian habis masa berlakunya.

9
Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan…, hlm. 16.
10
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan… , hlm. 52-53.
11
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 61.
12
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 70.
Maksudnya, hukum-hukum al-Qur’an, perintah, dan larangannya, tidak
berlaku secara kontemporer dengan suatu kurun waktu tertentu, kemudian
habis masanya.13 Hal ini pulalah yang membedakan al-Qur’an dengan
kitab-kitab suci sebelumnya yang hanya diturunkan kepada umat dan
bangsa dalam suatu masa tertentu.

Ketujuh, al-Qur’an adalah kitab suci bagi manusia seluruhnya. Al-Qur’an


bukanlah kitab yang hanya ditujukan bagi suatu bangsa, sementara tidak
kepada bangsa yang lain, tidak juga hanya untuk satu warna kulit manusia,
atau suatu wilayah tertentu, dan tidak pula hanya untuk satu jenis manusia.
Juga tidak hanya bagi kalangan rasional, sementara tidak menyentuh
kalangan intuitif dan esoteric (khusus), dan tidak pula sebaliknya. Tidak
hanya untuk kalangan rohaniawan, sementara tidak menyentuh kalangan
materialis, dan begitu juga sebaliknya. 14 Dan lain sebagainya.

Demikianlah pandangan Yusuf Qardhawi mengenai al-Qur’an yang


dijelaskan dengan tujuh karakteristik yang terkandung di dalamnya.
Dengan karakteristik-karakteristik tersebut al-Qur’an menjadi Kitab Suci
yang menyempurnakan Kitab-kitab Suci sebelumnya, Kitab suci yang
terpelihara dan menjadi pedoman bagi seluruh umat manusia dengan
mukjizatnya yang luar biasa.

C. Pemikiran Yusuf Qardhwi dalam “Berinteraksi dengan Al-Qur’an”


Di dalam bukunya Kaifa Nata ‘amalu ma’a al-Qur’ani” yang dalam
terjemahan bahasa Indonesianya berjudul “Berinteraksi dengan al-Qur’an”
Yusuf Qardhawi memiliki pandangan tersendiri bagaimana cara berdialog
dengan al-Qur’an. Beliau membagi tiga cara dalam berinteraksi dengan al-
Qur’an, yaitu: berinteraksi dengan al-Qur’an menghafal, membaca dan
mendengarnya. Berinteraksi dengan al-Qur’an melalui pemahaman dan tafsir,
serta berinteraksi dengan al-Qur’an dengan mengikuti, mengamalkannya, dan
berdakwah, berikut akan dijelaskan ketiga cara berdialog dengan al-Qur’an
tersebut:

13
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 93.
14
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm, 98.
1. Berinteraksi dengan al-Qur’an: Menghafal, Membaca, dan
Mendengarkan
Diantara karakteristik al-Qur’an adalah ia merupakan kitab suci yang
mudah untuk di hafal, diingat, dan dipahami. Allah swt, berfirman:
.‫َولَقَدْ يَس َّْرنَا اْلقُ ْر َءانَ لِل ِذِّ ْك ِرفَ َه ْل م ِْن ُمدَّك ِِر‬

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk


pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Q.S.: al-
Qamar;17)

Ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung keindahan dan kemudahan


untuk menghafal bagi mereka yang ingin mengahafalnya dan
menyimpannya di dalam hati.

Dalam menghafal al-Qur’an, ada etika-etika yang harus diperhatikan.


Para penghafal al-Qur’an mempunyai tugas yang harus dijalankan,
sehingga mereka benar-benar menjadi “keluarga al-Qur’an”.

a. Selalu Bersama Al-Qur’an


Diantara etika itu adalah selalu bersama al-Qur’an, sehingga al-
Qur’an tidak hilang dari ingatannya. Caranya, dengan terus
membacanya melalui hafalan, dengan membaca dari mushaf, atau
mendengarkan pembacaannya dari radio atau kaset rekaman.15
Ibnu Umar r.a. mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw,
bersabda:
ْ َ ‫ َو ِإ ْن أ‬،‫س َك َها‬
‫طلَقَ َها‬ َ ‫علَ ْي َها أ َ ْم‬ َ ‫ ِإ َّن‬،ِ‫اْل ِب ِل ْال ُم َعقَّلَة‬
َ َ‫عا َهد‬ ِْ ‫ب‬ ِ ‫ب ْالقُ ْر‬
َ ‫آن َك َمث َ ِل‬
ِ ِ‫صاح‬ َ ‫ِإنَّ َما َمث َ ُل‬
ِ ِ‫صاح‬
ْ ‫ذَ َه َب‬
.‫ت‬

“Perumpamaan orang yang hafal al-Qur’an seperti pemilik unta


yang terikat. Jika ia terus menjaganya, maka ia dapat terus
memegangnya. Dan, jika ia lepaskan maka ia akan segera pergi.”
(H.R. Bukhari dan Muslim).

15
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 200
Penghafal al-Qur’an harus menjadikan al-Qur’an sebagai
temannya dalam kesendiriannya, serta penghiburnya dalam
kegelisahannya sehingga ia tidak berkurang dari hafalannya. Qasim
bin Abdurrahman berkata, “Aku bertanya kepada sebagian kaum
sufi, “Tidak ada yang menjadi teman dalam kesepianmu disini?”. Ia
mengulurkan tangannya ke mushaf dan meletakkannya di atas batu
dan berkata, “Inilah temanku dalam kesepian. 16

Al-Qur’an hanya akan tersimpan dalam hati orang-orang yang


senantiasa menjaganya. Selalu bersama al-Qur’an sebagai teman
setianya, sehingga hafalannya tidak luput dari ingatan dan hatinya.

b. Berakhlak dengan Akhlak Al-Qur’an


Orang yang menghafal al-Qur’an hendaklah berakhlak dengan
akhlak al-Qur’an seperti halnya Nabi Muhammad saw., Aisyah r.a,
pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah saw., ia menjawab:
“Akhlak Nabi saw., adalah al-Qur’an”.
Penghafal al-Qur’an harus menjadi kaca tempat orang dapat
melihat akidah al-Qur’an, nilai-nilainya, etika-etikanya, dan
akhlaknya agar ia membaca al-Qur’an dan ayat-ayat itu sesuai
dengan perilakunya. Bukan sebaliknya, ia membaca al-Qur’aan
namun ayat-ayat al-Qur’aan melaknatnya.
Abdullah bin Amru mengatakan bahwa Rasulullah saw., bersabda:

‫ب‬
ِ ِ‫صاح‬ َ ،ِ‫َم ْن قَ َرأ َ ْالقُ ْرآنَ فَقَدْ ا ْستَد َْر َج النُّب َُّوة َ َبيْنَ َج ْن َب ْيه‬
َ ‫ ََل َي ْن َبغِى ِل‬.ِ‫غي َْر أَنَّهُ ََلي ُْو َحى ِإلَ ْيه‬

.ِ‫ َوفِ ْي َج ْوفِ ِه ك َََل ُم هللا‬،‫ َو ََل يَجْ َه ُل َم َع َم ْن َج ِه ِل‬،َ‫ْالقُ ْرآنَ أَ ْن يَ ِجدَ َم َع َم ْن َو ِجد‬

“Siapa yang membaca (menghafal) al-Qur’an, berarti ia telah


meningkatkan kenabian dalam dirinya, hanya saja al-Qur’an tidak
diwahyukan langsung kepadanya. Tidak sepantasnya seorang
penghafal al-Qur’an ikut emosi bersama orang yang emosi, dan ikut
bodoh bersama orang yang bodoh, sementara dalam dirinya ada
hafalan al-Qur’an”.17

16
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 202.
17
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 204.
c. Ikhlas dalam Mempelajari Al-Qur’an
Para pengkaji dan penghafal al-Qur’an harus mengikhlaskan
niatnya dan mecari ridha Allah swt semata dalam mempelajari dan
mengajarkan al-Qur’an itu. Bukan untuk pamer di hadapan manusia
dan juga tidak untuk mencari dunia.18
Para penghafal al-Qur’an dan penuntut ilmu harus bertakwa kepada
Allah swt dalam dirinya dan mengikhlaskan amalnya kepada-Nya.
Sedangkan, perbuatan dan niat buruk yang pernah terjadi
sebelumnya, maka hendaknya ia segera bertobat dan kembali kepada
Allah swt untuk kemudian memulai dengan keikhlasan dalam
menuntut ilmu dan beramal. 19
Allah swt. menurunkan kitab-Nya yang mulia al-Qur’an, agar
dibaca oleh lidah-lidah manusia, didengarkan oleh telinga mereka,
ditadaburi oleh akal mereka, dan menjadi ketenangan dalam hati
mereka.
Banyak ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw. yang mendorong
kita untuk membaca al-Qur’an dengan menjanjikan pahala dan
balasan yang besar dengan membacanya itu.
Allah swt. berfirman:

َ‫ع ََل نِيَةً ي َّْر ُج ْون‬


َ ‫صَلَة َ َوا َ ْنفَقُ ْوا ِم َّما َرزَ ْقنَاهُ ْم س ًِّر َّاو‬ َ ‫ا َِّن الَّ ِذيْنَ يَتْلُ ْونَ ِكت‬
َّ ‫َاب هللِ َواَقَا ُموال‬

)٣٠( ‫شكُ ْو ٌر‬


َ ‫غفُ ْو ٌر‬ ْ َ‫) ِلي َُوفَّيَ ُه ْم ا ُ ُج ْو َرهُ ْم َويَ ِز ْيدَ هُ ْم ِِّم ْن ف‬٢٩( ‫ارة ً لَّ ْن تَب ُْو َر‬
َ ُ‫ض ِل ِه اِنَّه‬ َ ‫تِ َج‬

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab-kitab


Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang
Kami anugrahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-
terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan
merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka
dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (Faathir: 29-30).

18
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 208.
19
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 211.
Dalam membaca al-Qur’an tidak terlepas dari adab, diantara adab
atau sikap yang sopan bagi untuk membaca al-Qur’an adalah
sebagaimana yang dikatakan oleh Yusuf Qardhawi.

d. Membaca al-Qur’an Secara Tartil


Allah swt, berfirman:

.‫َو َرتِ ِّ ِل ْالقُ ْرآنَ ت َْر ِتي ًَْل‬

“Dan engkau bacalah akan al-Qur’an itu, akan sempurna betul


bacaan”. (Q.S. Al-Muzammil: 4).

Menurut Ali bin Abi Thalib, yang dimaksudkan dengan “tartila”


dalam ayat itu, ialah “Tajwid”20

Membaca al-Qur’an tidak sama dengan membaca bahan bacaan


lainnya karena ia adalah kalam Allah swt. Allah swt berfirman.

“Ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara


terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Mahabijaksana
lagi Mahatahui.” (Hud: 1)

Oleh karena itu, membacanya mempunyai etika zahir dan batin. Di


antara etika-etika zahir adalah membacanya dengan tartil, maka
membaca dengan tartil adalah dengan perlahan-lahan, sambil
memperhatikan huruf-huruf dengan barisnya. 21

Kalam Allah berbeda dengan perkataan siapapun maka dari itu al-
Qur’an harus dibaca dengan tatacara yang benar yaitu dengan jalan
tartil. Harapannya dengan membaca al-Qur’an dengan cara tartil
dapat memperjelas huruf dan harakatnya.

e. Membaca dengan Irama dan Suara yang Indah


Di antara etika membaca al-Qur’an yang disepakati oleh para
ulama adalah memperbagus suara saat membaca. Al-Qur’an –
tentunya – adalah indah bahkan ia amat indah. Namun, suara yang

20
Ismail tekan, Tajwid al-Qur’anul Karim: Pembahasan Secara Praktis, Populer dan Sistematis, (Jakarta:
Pustaka al-Husna Baru, 2005),hlm. 13.
21
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 231.
indah akan menambah keindahannya sehingga menggerakkan hati
dan menggoncangkan kalbu.
Akan tetapi, ada perbedaan tentang batas melagukan suara itu. Ada
ulama yang ketat, ada yang membebaskan, dan ada yang bersikap
pertengahan. Dan sebaik perkara adalah pertengahannya, tidak baik
dalam berlaku berlebihan atau berkurangan. As-Suyuthi mengatakan
disunnahkan untuk memperindah suara dalam membaca al-Qu’an
dan menghiasinya. Dengan landasan hadits Ibnu Hibban dan lainnya,
“Perindahlah Al-Qur’an dengan suara kalian”.22
Jika al-Qur’an menjadi ibadah dengan membacany, ia juga menjadi
ibadah dengan mendengarkannya. Pada saat sekarang, kesempatan
untuk mendengarkan al-Qur’an menjadi terbuka luas dari para qari
yang bagus dan khusyu, yang bacaannya menyentuh kalbu. Bacaan
mereka telah meyebar dengan perantaraan kaset rekaman yang dijual
dengan harga murah. Juga ada radio yang secara khusus menyiarkan
al-Qur’an di banyak Negara Islam. ini merupakan nikmat Allah swt
bagi manusia.
2. Berinteraksi dengan al-Qur’an Melalui Pemahaman dan Tafsir
Mengkaji Al-Qur’an adalah upaya lanjutan yang dilakukan untuk
memahami dan menghayati Al-Qur’an secara lebih dalam. Pengkajian
terhadap Al-Qur’an pada langkah ini dilakukan dengan mempelajari dan
mengkaji secara lebih dalam dan lebih luas lagi.
Pada tahap ini, kita dituntut tidak hanya untuk memahami arti ayat-
ayat Al-Qur’an secara harfiyah, tetapi lebih jauh dari itu,
yaitu mempelajari penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. Mempelajari dan
memahami penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an akan menjadikan kita
memahami lebih jauh lagi pesan yang terdapat dalam ayat-ayat itu dan
pesan-pesan yang terdapat di balik ayat-ayat itu, dan ini hanya dapat
diperoleh melalui pengkajian yang lebih dalam.
Berikut adalah metode yang dianggap ideal oleh Yusuf Qardhawy
dalam manafsirkan al-Qur’an

22
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 233.
a. Menggabungkan antara Riwayat dan Dirayat
Prinsip pertama manhaj ini adalah menggabungkan antara riwayat
dan dirayah. Jika ada manhaj tafsir yang berfokus pada riwayat dan
atsar, dan ada pula yang berfokus pada dirayah dan perenungan
pemikiran. Maka manhaj yang paling tepat adalah mensintesiskan
antara riwayat dan dirayah, menyatukan antara manqul (dalil naql)
yang shahih dan hasil pemikiran yang jelas, dan meracik antara
warisan salaf dan pengetahuan kaum khalaf. 23
b. Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
Yaitu bahwa ayat al-Qur’an saling membenarkan antara satu
dengan lainnya, dan saling memberikan penafsiran antara sebagian
terhadap sebagian yang lain. bagian al-Qur’an yang dijelaskan secara
umum pada satu tempat akan dijelaskan secara terinci pada tempat
lain. dan bagian yang belum dijelaskan pada satu tempat akan
dijelaskan pada tempat yang lain. 24
c. Tafsir al-Qur’an dengan Sunnah yang sahih
Apabila tidak mendapatkan penafsirannya pada al-Qur’an maka
tafsirkanlah dengan Sunnah Nabi saw karena sesungguhnya dia
memberikan penjelasan terhadap al-Qur’an. Bahkan Imam Syafi’i
mengatakan bahwa setiap hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah
saw merupakan pemahaman yang berasal dari al-Qur’an. 25
d. Mempergunakan tafsir Sahabat dan Tabi’in
Kita dapat menerima penafsiran dari para sahabat ra tertentu,
dengan alasan bahwa mereka memiliki keistimewaan karena ikut
menyaksikan sebab dan keterkaitan turunnya satu ayat; mereka
melihat dan mendengar apa yang tidak dilihat dan didengar oleh
orang lain; mereka memiliki kedalaman dari segi bahasa saat bahasa
itu dipergunakan, kejernihan pemahaman, kebenaran fitrah,
keyakinan yang kuat.

23
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan… , hlm. 312.
24
Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan…, hlm. 40-41
25
Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan…, hlm. 45-46.
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Apabila tidak ditemukan penafsiran
di dalam al-Qur’an dan juga di dalam Sunnah; serta tidak ditemukan
pula penafsiran para sahabat, maka dalam hal ini biasanya para imam
merujuk kepada qaul para tabi’in, seperti Mujahid Ibnu Jabar, karena
ia merupakan pakar dalam tafsir. 26
e. Mengambil kemutlakan bahasa
Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan: “Dengan bahasa Arab yang
jelas”. (asy-Syu’araa: 195).
Oleh sebab itu, kita mesti – di samping berpedoman pada hal-hal
yang telah diebutkan di atas – menafsirkan lafal sesuai dengan apa
yang ditunjukkan dan dipergunakan oleh bahasa Arab, sesuai dengan
kaidah-kaidahnya, serta sesuai dengan balaghah al-Qur’an yang
merupakan mu’jizat.27
f. Memperhatikan konteks kalimat
Sebuah ayat mesti dikaitkan dengan konteks yang terkandung di
dalamnya dan tidak diputus dengan kaitan sebelum atau sesudah ayat
itu, lalu ayat itu dilepaskan sama sekali; agar dapat mengungkapkan
makna yang dikandungnya atau menguatkan hukum yang
dimaksudkan olehnya. 28
g. Memperhatikan asbabun nuzul (Sebab turunnya ayat)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa mengetahui asbabun
nuzul akan membantu untuk memahami ayat al-Qur’an , karena ilmu
tentang asbabun nuzul akan mewariskan ilmu tentang musabab (akat
al-Qur’an yang diturunkan berkaitan dengan sebab itu)29
h. Menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan utama dalam mencari
pemahaman.
Orang yang ingin memahami al-Qur’an dan menafsirkannya harus
mengosongkan dirinya dari keyakinan dan pemikiran-pemikirannya
yang sebelumnya, tidak memaksakan kehendak dirinya terhadap al-

26
Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan…, hlm. 51.
27
Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan…, hlm. 55
28
Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan…, hlm. 54.
29
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 360.
Qur’an, dan menafsirkannya dengan memaksakan agar sesuai
dengan pendapat dan kehendaknya, dan mengarahkannya untuk
memperkuat keyakinan yang ia anut, pemikiran yang ia adopsi atau
mazhab yang ia ikuti.30
Adapun beberapa peringatan dalam memahami dan menafsirkan al-
Qur’an menurut Yusuf qardhawi adalah:
a. Mengikuti mutasyabihat dan meninggalkan muhkamat
Mengenai pengertian muhkam dan mutasyabih terdapat banyak
perbedaan pendapat. Yang terpenting diantaranya adalah sebagai
berikut:
1) Muhkam adalah ayat yang mudah dketahui maksudnya,
sedangkan mutasyabih hanyalah diketahui oleh Allah sendiri.
2) Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah,
sedangkan mutasyabihat mengandung banyak wajah.
3) Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara
langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedang mutasyabih
tidak demikian; ia memerlukan penjelasan dengan merujuk
kepada ayat-ayat lain.31
Adapun menurut yusuf qardhawi yang dimaksud dengan
muhkamat ialah ayat-ayat yang telah jelas dengan sendirinya, tegas,
dan terang maknanya, dan tidak mengandung keraguan di dalam
lafalnya, dan dari segi maknanya. Sedangkan yang dimaksud dengan
ayat-ayat mutasyabihat ialah ayat-ayat yang mengandung banyak
penafsiran, karena serupa dengan ayat-ayat yang lainnya. 32
Dalam hal ini, untuk dapat menafsirkan dan memahami ayat al-
Qur’an secara baik dan benar adalah dengan mengikuti keduanya
yakni muhkamat dan mutasyabih dan tidak mengabaikan salah
satunya.
b. Takwil yang buruk

30
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 372.
31
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2012), hlm. 305-306.
32
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 222.
Takwil yaitu memalingkan lafaz dari arti yang lahir kepada arti lain
yang mungkin dijangkau oleh dalil. 33 Bahaya paling besar yang
mengancam nash-nash adalah takwil yang buruk terhadapnya. 34
Dengan penakwilan yang buruk maka penafsiran tersebut akan
mengalami tafsiran yang jauh berbeda dari apa yang dimaksudkan
oleh ayat tersebut.
c. Meletakkan nash tidak pada tempatnya
Diantara larangan yang paling penting yang harus diperhatikan
dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah, serta terhadap apa yang
dikandung keduanya, dari akidah, syariat, hukum, dan akhlak adalah
meletakkan nash tidak pada tempat yang benar. Ini adalah semacam
penggeseran Kalam Allah swt dari tempatnya, seperti yang pernah
dilakukan oleh Ahli Kitab sebelum kita. 35
d. Dakwaan nasakh dengan tanpa bukti
Diantara rintangan dalam memamahami al-Qur’an dan
menafsirkannya adalah dakwaan adanya nasakh (penghapusan
hukum) suatu ayat al-Qur’an, tanpa adanya bukti yang meyakinkan
yang mewajibkan nasakh itu.36 oleh karena itu dalam melakukan
dakwaan adanya nasakh maupun mansukh harus menyadurkan bukti
yang kuat sehingga al-Qur’an dapat dipahami secara baik dan benar.
e. Ketidaktahuan terhadap sunnah dan atsar
Diantara faktor yang menggelincirkan penafsir dan yang dilarang
dalam penafsiran adalah ketidaktahuan terhadap Sunnah dan atsar,
atau tidak memperhatikan keduanya dengan sengaja. 37
f. Mempercayai cerita israiliyat begitu saja
Di antara larangan dalam tafsir dan yang membuat para penafsir
terperosok adalah menerima secara bulat israiliyat yang memenuhi
kitab-kitab tafsir (terutama dalam kitab nabi-nabi dan kaum beriman
dalam al-Qur’an) yang menyelinap ke dalam turats tafsir ini

33
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2 cet. 4, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 39
34
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 409.
35
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…,hlm. 452.
36
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 466.
37
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan… ,hlm. 477.
sehingga merusak wajahnya dan mengeruhkan kemurniannya karena
ia mengandung khurafat dan kebatilan yang berkembang di tengah
bangsa Yahudi dan Nasrani, kemudian mereka ingin
mengembangkan dan menyebarkan hal itu di kalangan kaum
muslimin. 38 Adapun disini pentingnya bagi seseorang yang hendak
memahami dan menafsirkan al-Qur’an mempelajari betul-betul
sejarah maupun cerita-cerita israiliyat sehingga tidak mengeruhkan
pemahamannya terhadap al-Qur’an.
g. Menghindar dari konsensus umat
Di antara beberapa pedoman pokok untuk mencapai pemahaman
Islam yang benar, juga untuk memahami teks-teks al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah saw. secara tepat, adalah dengan berpegang pada
sesuatu yang telah menjadi konsensus umat, konsisten terhadap
akidah, tasyri’, dan pemikirannya, berpijak kepada nilai-nilai dan
dasar mengikutinya, mengklasifikasikan adab dan beberapa suluk
(jalannya) serta hubungannya. 39 Dalam hal ini para mufassir maupun
orang yang hendak memahami al-Qur’an tidak boleh menghindari
kesepakatan umat selama kesepakatan tersebut tidak keluar dari
konteks syariat yang ditetapkan Allah dan rasul-Nya.
h. Kelemahan kerangka ilmiah
Ulama terdahulu mensyaratkan bagi seseorang yang menafsirkan
al-Qur’an beberapa syarat ilmiah (di samping syarat yang berdimensi
agama dan moral). Di antara beberapa syarat ini adalah kemampuan
bahasa Arab sehingga ia dapat mengetahui maksud (dilalah) kata dan
kalimat, macam-macam dilalah antara hakikat dan majas, sharih dan
kinayah. Demikian juga mengetahui ilmu nahwu dan sharaf, ilmu
asal kata (etimologi), dan ilmu balaghah sehingga tidak tergelincir
dalam memahami al-Qur’an.40 Demikianlah syarat-syarat yang sudah
semestinya dimiliki oleh para mufassir dalam memahami al-Qur’an

38
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan… ,hlm. 494.
39
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 502.
40
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 518
3. Berinteraksi dengan al-Qur’an dengan mengikuti,
mengamalkannya, dan berdakwah
a. Mengikuti al-Qur’an dengan mengamalkannya
Kaum muslimin telah mengetahui semenjak masa sahabat bahwa
keberkahan al-Qur’an bukan dengan jalan membawa, menggantung,
dan menjadikannya hiasan di dinding-dinding. Juga bukan pada
acara penyembuhan yang dibacakan oleh seorang syaikh, atau
menulisnya dalam piring lalu diisi air dan diminum airnya. Akan
tetapi, keberkahan al-Qur’an yang sesungguhnya adalah mengikuti
(itba’) dan mengamalkannya.41 Hal ini seperti dikatakan oleh al-
Qur’an sendiri:
َ ‫َو َهذَا ِكتَبٌ أ َ ْنزَ ْلنَهُ ُم َب‬
. َ‫اركٌ فَات َّ ِبعُ ْوهُ َواتَّقُ ْوا لَ َعلَّكُ ْم ت ُ ْر َح ُم ْون‬
“Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang
diberkati maka ikutilah dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.”
(Q.S. al-An’am: 155).
Jadi, keberkahan seperti disinyalir ayat tersebut adalah
mengikutinya dan takwa kepada Allah dengannya. Dengan demikian
rahmat Allah bisa diharapkan juga.

b. Qur’an adalan panduan bagi kehidupan manusia


Seyogyanya setiap muslim mengetahui bahwa Allah telah
menurunkan al-Qur’an “untuk menjelaskan segala sesuatu” (an-
Nahl: 89), seperti difirmankan oleh Zat yang menurunkannya
(Allah). Ia merupakan pedoman bagi setiap pribadi dan undang-
undang bagi sebuah masyarakat, memang, ia merupakan pedoman
praktis yang menjamin dasar yang mengarah bagi kehidupan pribadi,
hubungannya dengan Tuhannya, hubungannya dengan alam dan
kehidupan sekitarnya, hubungannya dengan dirinya, hubungannya
dengan keluarga, tetangga, dan masyarakat, hubungannya dengan
kaum muslim, hubungannya dengan kaum non muslim, baik yang
berdamai maupun yang memeranginya.42

41
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 582-583.
42
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm, 596.
Hubungannya dengan Allah dalam bentuk menyembah-Nya dan
tidak menyekutukan dengan lain-Nya,

)١٢( َ‫َل ْن اَكُ ْو َن ا َ َّو َل ْال ُم ْسلِمِ يْن‬


َ ِ ُ‫) َوا ُم ِْرت‬١١( َ‫صا لَّهُ ال ِدِّيْن‬
ً ‫قُ ْل اِنَّ ْي اُم ِْرتُ ا َ ْن ا َ ْعبُدَ هللاَ ُم ْخ ِل‬
)١٤( ‫صا َّلهُ ِد ْين ِْي‬ َ ‫) قُ ِل‬١٣( ‫عظِ ي ٍْم‬
ً ‫هللا ا َ ْعبُد ُ ُم ْخ ِل‬ َ َ ‫عذ‬
َ ‫اب يَ ْو ٍم‬ َ ‫صيْتُ َر ِِّب ْي‬
َ ‫ع‬ َ ‫َاف ا ِْن‬ ُ ‫قُ ْل اِنِِّ ْي اَخ‬
‫س ُه ْم َوا َ ْه ِل ْي ِه ْم َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة‬
َ ُ‫فَا ْعبُد ُْوا َما ِشئْت ُ ْم ِِّم ْن د ُْونِ ِه قُ ْل ا َِّن ْال َخس ِِريْنَ الَّ ِذ يْنَ َخس ُِر ْوآ ا َ ْنف‬
)١٥(‫ا َ ََل ذَلِكَ ه َُو ْال ُخس َْرا ُن ْال ُمبِ ْي ُن‬
“Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi
orang yang pertama-tama berserah diri, ‘Katakanlah,
‘Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika
akudurhaka kepada Tuhanku.’ Katakanlah, “Hanya Allah saja yang
aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agamaku.’ Maka sembahlah olehmu (hai orang-
orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia. Katakanlah,
‘Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang
merugikan dirinya sendiri dan keluarga pada hari kiamat. ‘Ingatlah,
yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (az-Zumar: 11-15).

c. Al-Qur’an adalah konstitusi politik pemerintahan


Pemberlakuan hukum (semua yang diturunkan oleh Allah)
merupakan keharusan. Dalam logika keimanan, tidak boleh
menerima sebagian hukum yang diturunkan Allah dan menolak
sebagian yang lain. dengan ini maka perlu diwaspadai orang-orang
yang berusaha menyelewengkan sebagian hukum yang diturunkan
Allah sehingga tidak sampai terjadi sebagaimana Ahli Kitab yang
mempercayai sebagian isi Kitab Suci dan mengingkari sebagian
lainnya.43
d. Al-Qur’an adalah konstitusi dakwah
Al-Qur’an mempunyai tugas lain dalam kehidupan islami, di
samping fungsinya sebagai metode aktivitas bagi kehidupan pribadi

43
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 607-608.
muslim, undang-undang hukum dan tasyri’ bagi masyarakat muslim
atupun bagi Negara muslim, yaitu sebagai perundang-undangan
dakkwah islamiyah. 44
Demikian pula kesempatan pertama yang diberikan oleh Rasulullah
adalah mengirim utusan untuk menyampaikan beberapa surat beliau
kepada para raja level dunia beserta para penguasa-penguasanya:
mereka adalah Kaisar romawi, Kaisar Persia, Najasyi-al-Habsyi,
penguasa Syam, Mesir, dan lain-lainnya. Beliau mengajak mereka
untuk masuk Islam agar mereka selamat di dunia dan di akhirat.45
Al-Qur’an telah mendeklarasikan keuniversalitasan dakwahnya.
Juga Rasulullah telah mendeklarasikan keuniversalitasan risalahnya,
yaitu risalah yang universal di semua tempat, konstan di segala
zaman, dan komprehensif meliputi semua problematika manusia.
e. Keharusan beriman dengan kitab secara keseluruhan
Keimanan seorang muslim belumlah dianggap sejati sebelum
beriman dengan al-Qur’an. Bahkan, tidaklah sempurna keimanannya
kecuali jika telah beriman kepada semua kitab suci Allah. Keimanan
terhadap al-Qur’an adalah keimanan terhadap semua yang tersurat
dan tersirat, baik tentang, baik tentang akidah maupun beberapa
pemahaman, ritual dan siar, moral dan adab, serta syariat dan
muamalah.
Seorang muslim tidak boleh mengatakan, “Kami mengambil al-
Qur’an tentang akidah saja dan tidak mengambilnya tentang akhlak.”
Atau mengatakan, “Kami mengambilnya dalam bidang ibada dan
tidak mengambil dalam bidang muamalah”. Atau, “Kami
mengambilnya dalam dimensi spiritual dan tidak mengambilnya
dalam dimensi ekonomi, politik, atau perundang-undangan bagi
berbagai urusan kehidupan.”46
f. Memperhatikan segala sesuatu sesuai dengan kadar perhatian al-
Qur’an terhadapnya

44
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm, 615.
45
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan… , hlm. 617-618.
46
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan…, hlm. 631.
Adapun sesuatu yang menjadi perhatian al-Qur’an – sesuai dengan
ia mengulang-ulang dan menekankannya dalam banyak banyak
surat, moment, dan uslub – menunjukkan dengan jelas bahwa hal itu
adalah mempunyai perhatian dan kedudukan tersendiri dalam agama
dan kehidupan. Hal ini mengharuskan berpaling (menghadap)
kepadanya, memperhatikannya, memberikan haknya dari angan-
angan, perhatian, pemikiran, kecenderungan, dan pengamalan sesuai
dengan kapasitasnya dalam al-Qur’an.47
Adapun sesuatu yang dibiarkan oleh al-Qur’an tidak
menyebutkannya baik dalam ayat Makiyah maupun Madaaniyah
adalah menunjukkan bahwa ia tidak merupakan pilar-pilar agama,
juga bukan asasnya. Karena, al-Qur’an telah berisi semua yang
berhubungan dengan asas agama, bahkan memisahkan daalam
bagiannya.48 Inilah yang dimaksud dengan firman Allah:
“…, Dan, Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl: 89).
Demikianlah pemikiran Yusuf Qardhawi mengenai cara
berinteraksi dengan al-Qur’an. Al-Qur’an bukan hanya sekedar
dibaca dan dijadikan hiasan di rumah-rumah. Al-Qur’an akan terasa
keberkahannya melalui cara-cara berinteraksi yang baik dengannya
sebagaimana yang telah dijelaskan. Dengan begitu maka al-Qur’an
akan senantiasa menjadi cahaya dalam perjalanan kehidupan
manusia.

47
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan… ,hlm. 644.
48
Yusuf al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan… ,hlm. 644.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Yusuf Abdullah Qardhawidilahirkan pada tanggal 9 September 1926
disebuah desa yang bernama Shaftu Turab, daerah Mahallah al
Kubra Provinsi al-Garbiyah Republik Arab Mesir, dari kalangan keluarga
yang taat beragama dan hidup sederhana.
Menurut pandangan Yusuf Qardhawi Al-Qur’an adalah kitab Ilahi yang
bersumber asli dari Allah dan diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai
pedoman hidup beragama yang memiliki karakteristik dan tujuan-tujuan
utamanya, antara lain adalah: Pertama, al-Quran sebagai kitab Allah Swt
yang mengandung firman-firman-Nya, yang diberikan kepada penutup para
rasul dan nabi-Nya, yaitu Muhammad saw. kedua, al-Qur’an adalah kitab suci
yang terpelihara, Allah sendiri menjamin pemeliharaannya, serta tidak
membebankan hal itu kepada seorangpun. Ketiga, al-Qur’an adalah kitab suci
yang menjadi mukjizat yang mengandung syarat-syarat kemukjizatan yang
dapat diakui kebenarannya, serta manusia tunduk kepadanya. Keempat, al-
Qur’an adalah kitab suci yang menjadi penjelas dan dimudahkan
pemahamannya. Kelima, al-Qur’an adalah kitab suci agama seluruhnya,
pokok agama, dan ruh wujud Islam.. Keenam, al-Qur’an adalah kitab suci
bagi seluruh zaman, yakni ia merupakan kitab yang abadi, bukan kitab bagi
suatu masa tertentu, atau kitab bagi suatu generasi tertentu, yang kemudian
habis masa berlakunya.. Ketujuh, al-Qur’an adalah kitab suci bagi manusia
seluruhnya.
Pemikiran Yusuf Qardhwi dalam “Berinteraksi dengan Al-Qur’an” Di
dalam bukunya Kaifa Nata ‘amalu ma’a al-Qur’ani” yang dalam terjemahan
bahasa Indonesianya berjudul “Berinteraksi dengan al-Qur’an” Yusuf
Qardhawi memiliki pandangan tersendiri bagaimana cara berdialog dengan
al-Qur’an. Beliau membagi tiga cara dalam berinteraksi dengan al-Qur’an,
yaitu: berinteraksi dengan al-Qur’an menghafal, membaca dan
mendengarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Qardhawi ,Yusuf, Masalah-Masalah Islam Kontemporer, (Jakarta: Najah Press


1994) Cet I
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam j. 5 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve 2005)
Rokhim, Pemikiran Yusuf Qardhawi “Bagaimana Berinteraksi dengan al-
Qur’an”, (online)
diakses melalui http://www.rokhim.net, tanggal akses. 10 Desember 2020.
Qardhawi ,Yusuf, Berinteraksi dengan al-Qur’an. (Jakarta: Gema Insani
Press, 1999), Qardhawi, Al-Qur’an dan As-Sunnah; Referensi Tertinggi
Ummat Islam, (Jakarta_ Robbani
Press: 1997)
Tekan ,Ismail, Tajwid al-Qur’anul Karim: Pembahasan Secara Praktis, Populer
dan Sistematis, (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2005)
Khalil ,Manna, al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera
AntarNusa, 2012)
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid 2 cet. 4, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008)

Anda mungkin juga menyukai