Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

ULLUMUL QUR’AN

Disusun Oleh:

Nama :Rizkia Yuniarti

Nim : 2030210083

Kelas : PIAUD 3

Dosen Pengampu : Alihan Sastra,M.Pd.I

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang

Tahun Akademik 2020/2021


Kata Pengantar

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT. Atas berkat rahmat dan
karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “ Prinsip-Prinsip
Ajaran Islam ’. Makalah ini dibuat sebagai materi bahan ajar dan tugas mata kuliah
Studi Keislaman. Dalam penyusunan makalah ini ditulis berdasarkan buku yang
berkaitan dengan Studi Keislaman dan media massa yang berhubungan dengan Studi
Keislaman.

Makalah ini dapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Alihan Sastra,M.Pd.I selaku dosen pengajar mata kuliah Studi


Keislaman di kelas PIAUD 3 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Raden Fatah Palembang.
2. Orang tua yang selalu mendukung penulis setiap saat.
3. Teman-teman yang selalu memberikan masukan, bantuan dan motivasi
kepada penulis, saat penulis melakukan penulisan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan Makalah ini masih banyak


kekurangan baik sistematika penulisan maupun materi yang disajikan. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun.
Akhir kata, Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Muara Enim, 02 Desember 2020

Penulis

Rizkia Yuniarti
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu penyebab kebangkrutan moral dan kejumudan berpikir  umat Islam
adalah ‘sikap bangganya’ untuk meninggalkan Al-Qur’an sebagai suluh dan pembuka
akses jalan kehidupan.   Ironis sekali bahwa banyak dari umat islam yang tidak bisa
membaca al Qur’an apalagi mendalami dan menelaah al Qur’an sebagai generasi
salaf yang secara intensif mengkaji dan menelaah alquran sebagai sumber inspirasi
ilmu dan sains. Umat Islam tidak terkecuali di Indonesi mengalami pasang surut
dangat intens dalam merespons ajaran-ajaran agamanya.  Al-Quran merupakan
mukjizat terbesar nabi Muhammad SAW. Diturunkan dalam bahasa Arab,
baik lafal maupun uslub-nya. Suatu bahasa yang kaya kosa kata dan sarat makna.
Kendati al-Quran berbahasa Arab, tidak berarti semua orang Arab atau orang yang
mahir dalam bahasa Arab, dapat memahami al-Quran secara rinci. Al-Quran adalah
kitab yang agung, memiliki nilai sastra yang tinggi. Meskipun diturunkan kepada
bangsa Arab yang lima belas abad lalu terkenal dengan jiwa yang kasar. Al-Quran
mampu meruntuhkan dominasi sya’ir-sya’ir Sastrawan Arab, hingga tidak berdaya
dihadapan Al-Quran. Untuk memahami ajaran Islam secara sempurna (kaffah),
diperlukan pemahaman terhadap kandungan al-Quran dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten. Hasbi Ash-Shidieqi
menyatakan untuk dapat memahami al-Quran dengan sempurna, bahkan untuk
menterjemahkannya sekalipun, diperlukan sejumlah ilmu pengetahuan, yang
disebut Ulumul Qur”an. Ulumul Qur’an memiliki komposisi dan kedudukan yang
sangat penting karena ia menjadi pintu gerbang bagi pemahaman al Qur’an yang
lebih baik.  Dengan kata lain,  langkah awal yang harus dilakukan untuk dapat
memahami al Qur’an dengan utuh dan komprehensif adalah memahami Ulumul
Qur’an.

B. Rumusan Masalah
a. Latar Belakang
b. Pengertian Ulumul Qur’an
c. Kedudukan Ulumul Quran
d. Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an
e. Metodelogi Tafsir Al-Qur’an

C. Tujuan
a. Latar Belakang
b. Pengertian Ulumul Qur’an
c. Kedudukan Ulumul Quran
d. Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an
e. Metodelogi Tafsir Al-Qur’an
BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan kitab suci dan petunjuk yang diwahyukan Allah Swt
kepada Nabi Muhammad saw bagi seluruh manusia. Di antara tujuan utama
diturunkannya al-Qur’an yakni untuk menjadi pedoman manusia dalam menata
kehidupan mereka supaya memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kitab suci
ini menempatkan posisi sebagai sentral, bukan saja dalam bidang ilmu-ilmu
keIslaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu perkembangan peradaban
umat Islam sepanjang empat belas abad. Al-Qur’an juga sebagai salah satu kunci
untuk membuka wawasan akal umat Islam memahami kehidupan, baik itu untuk
berhubungan kepada Tuhannya, maupun hubungan untuk umat manusia itu sendiri.1

Pada Umumnya, umat islam diwajibkan untuk selalu menjadikan kitab suci
Al-Quran sebagai landasan dalam hidup, untuk itu, pengetahuan sejarah
perkembangan maupun pengertian dari Al-Quran itu sendiri harus benar-benar
dimengerti. Selain merupakan sumber utama bagi ajaran islam, Al-qur’an  juga
sebagai pedoman, sumber rujukan bagi umat islam yang universal, baik meyangkut
kehidupan dunia maupun akhirat.2

Ulumul qur’an atau juga di sebut ilmu-ilmu Al-Qur’an adalah kumpulan


sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaannya
sebagai Al-Quran maupun dari segi pemahaman terhadap apa yang terkandung di

1
Izzan, H. Ahmad. 2011.  Ulumul Qur’an: telaah tekstualitas dan kontekstualitas al Qur’an. 
Bandung: Humaniora.71
2
Mansyur, Kahar. 1992. Pokok-Pokok Ulumul Qur’an.  Jakarta: Rineka Cipta.
dalamnya. Dengan demikian ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu
asbabul nuzul dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an menjadi bagian
dari Ulumul Qur’an. Sebelum kita mempelajari ilmu-ilmu Al-Qur’an, ada baiknya
kita mengerti terlebih dahulu sejarah adanya ulumul Qur’an. Dengan adanya pokok
pembahasan ini diharapkan mahasiswa semakin mencintai sumber utama umat islam
yaitu Al-Qur’an.3

B. Pengertian Ulumul Qur’an

Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri
dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari
kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-
Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah
ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-
Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di
dalamnaya. Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu
I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya dengan Al-
Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.4

Menurut bahasa, kata “Al-Qur’an” merupakan bentuk mashdar yang


maknanya sama dengan kata “qira’ah” yaitu bacaan. Bentuk mashdar ini berasal dari
fi’il madli “qoro’a” yang artinya membaca. Menurut istilah, “Al-Qur’an” adalah
firman Allah yang bersifat mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang
tertulis dalam mushaf-mushaf, yang dinukil dengan jalan mutawatir dan yang
membacanya merupakan ibadah. Setelah membahas kata “ulum” dan “Al-Qur’an”
yang terdapat dalam kalimat “Ulumul Qur’an”, perlu kita ketahui bahwa tersusunnya
kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa adanya bermacam-macam ilmu pengetahuan
yang berkaitan dengan Al-Qur’an atau pembahasan-pembahasan yang berhubungan

3
Suma, Muhammad Amin. 2013. Ulumul Qur’an.  Jakarta: Rajawali.23
4
Izzan, Ahmad. 2011. Ulumul Qur’an. Edisi Revisi. Bandung Humaniora. Hlm 9.
dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun aspek
pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.5

C. Kedudukan Ulumul Quran

Al-Qur’an sebagai dasar hukum yang pertama tidak di sangsikan lagi oleh
umat islam bahwa Al Qur’an adalah sumber yang asasi bagi syariat islam. Dari Al
Qur’an inilah dasar-dasar hukum islam beserta cabang-cabangnya digali. Agama
islam, agama yang dianut oleh umat muslim di seluruh dunia, merupakan way of
life yang menjamin kebahagian hidup pemeluknya di dunia dan di akherat kelak.
Agama islam datang dengan Al Qur’annya membuka lebar-lebar mata manusia agar
mereka menyadari jati diri dan hakekat keberadaan manusia di atas bumi ini. Juga,
agar manusia tidak terlena dengan kehidupan ini, sehingga manusia tidak menduga
bahwa hidup mereka hanya di mulai denga kelahiran dan kematian saja.6

Al Qur’an mengajak manusia berpikir tentang kekuasaan Allah SWT. Dan


dengan berbagai dalil, Al Qur’an juga mengajarkan kepada manusia untuk
membuktikan keharusan adanya hari kebangkitan, dan bahwa kebahagiaan manusia
pada hari itu akan di tentukan oleh sikap persesuaian hidup mereka dengan apa yang
dikehendaki oleh Sang Pencipta, Allah Yang Maha Kuasa. Untuk mencapai
kebahagiaan hidup baik di dunia dan di akherat kelak manusia membutuhkan
peraturan-peraturan, gambarannya adalah seperti halnya seseorang yang yang akan
menuju suatu negeri atau kota yang amat jauh. Ia haus berkendaraaan yang layak, dan
harus mengikuti rambu-rambu lalu lintas di sepanjang perjalanannya bila ia ingin
selamat sampai tujuan.7

D. Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an


5
Izzan, H. Ahmad. 2011.  Ulumul Qur’an: telaah tekstualitas dan kontekstualitas al Qur’an. 
Bandung: Humaniora. hlm 7.
6
Suma, Muhammad Amin. 2013. Ulumul Qur’an.  Jakarta: Rajawali.    Hlm. 9
7
Zuhdi, Masjfuk.  1997. Ulumul Qur’an.  Surabaya: Karya Adhitama. hlm 32.
Sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, ulumul Qur’an
tidak lahir sekaligus. Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin ilmu melalui
proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan
untuk membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaanya dan segi pemahamanya. Al
Qur’an menegaskan bahwa penerima wahyu al Qur’an adalah Nabi Muhammad
SAW.  Lebih dari itu, Muhammad-lah yang diberi otoritas oleh Allah SWT untuk
menerangakan (menafsirkan al Qur’an).  Karenanya mudah dimengerti jika  orang
yang mendapat gelar al-muffasir al-awwal (mufasir al Qur’an yang pertama) adalah
Nabi Muhammad SAW. Setiap kali nabi menerima dan menyampaikan ayat-ayat al
Qur’an kepada para sahabat,  selama itu pula beliau menerangkan isi
kandungannnya.  Terutama ketika timbul pertanyaan-pertanyaan dari anggota sahabat
yang mempelajarinya.  Dan Nabi pun dengan penuh tanggung jawab selalu
menerangkan isi kandungan ayat-ayat al Qur’an, seiring dengan proses penurunannya
yang berjalan sedikit demi sedikit.8

Di masa Rasul SAW dan para sahabat, ulumul Qur’an belum dikenal sebagai
suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab asli
yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang
diturunkan kepada Rasul, dan bila menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat
tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul SAW. Di zaman
Khulafa’u Rasyiddin sampai dinasti umayyah wilayah islam bertambah luas sehingga
terjadi pembauran antara orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui
bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan
tercemarnya keistimewaan bahasa arab, bahkan dikhawatirkan tentang baca’an Al-
Qur’an yang menjadi sebuah standar bacaan mereka. Untuk mencegah kekhawatiran
itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah al-qur’an yang disebut mushaf
imam. Dan dari salinan inilah suatu dasar ulumul Qur’an yang disebut Al rasm Al-
Utsmani. Kemudian, Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuanya pada abad ke-2
8
Suma,  Muhammad Amin. 2013. Ulumul Qur’an.  Jakarta: Rajawali. hlm 17.
H. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena
fungsinya sebagai umm al ulum alQur’aniyyah. Para penulis pertama dalam tafsir
adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj (160 H), Sufyan Ibn Uyaynah (198 H), dan Wali Ibn al-
Jarrah (197 H). dan pada abad ke-3 muncul tokoh tafsir yang merupakan mufassir
pertama yang membentangkan berbagai pendapat dan mentarjih sebagianya. Beliau
adalah Ibn jarir atThabari (310 H).9

Selanjutnya sampai abad ke-13 ulumul Qur’an terus berkembang pesat dengan
lahirnya tokoh-tokoh yang selalu melahirkan buah karyanya untuk terus melengkapi
pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Diantara sekian
banyak tokoh-tokoh tersebut, Jalaluddin al-bulqini (824 H) pengarang kitab Mawaqi’
Al-ulum min Mawaqi’ al-Nujum dipandang Assuyuthi sebagai ulama yang
mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap. Sebab, dalam kitabnya
tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an. Jalaluddin al-Syuyuthi (991 H) menulis kitab
Al-Tahhir fi Ulum al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun 873 H. kitab ini
memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab
ini dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an paling lengkap.namun, Al-Syuyuthi
belum merasa puas dengan karya monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab
Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an.

Didalamnya dibahas 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat dan


sistematis. Menurut Al-Zarqani, kitab ini merupakan pegangan bagi para peneliti dan
penulis dalam ilmu ini. Sampai saat ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern
dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama masih memperhatikan akan ilmu
Qur’an ini. Sehingga tokoh-tokoh ahli Qur’an masih banyak hingga saat ini di seluruh
dunia. Cabang-cabang ilmu pengetahuan untuk mempelajari al Qur’an kian hari
semakin beraneka ragam.  Setiap kali al Qur’an itu dibahas dari aspeknya yang
manapun,  selama itu pula akan lahir ilmu al Qur’an.  Atas dasar kenyataan ini maka

9
Abdul Wahid Ramli, Drs.2002.Ulumul Qur’an. Jakarta : Raja Grafindo Persada.23
tidak mengherankan manakala kita merasakan bahwa Ulumul Qur’an itu selalu up to
date.
Semenjak banyak ulama-ulama yang membukukan baik Tafsir Al-Qur’an
ataupun juga ilmu pedukung lainya mulai dari abad pertama hijrah sampai abad
kesepuluh pembukuan masih berlanjut. Apalagi pada abad ke-VIII H, Ululumul Al-
Quran perkembanganya sangat pesat dengan lahirnya tokoh-tokoh yang selalu
melahirkan buah karyanya untuk terus melengkapi pembahasan-pembahasan yang
berhubungan dengan ilmu tersebut. Jalaluddin al-Syuyuthi menulis kitab Al-Tahhir fi
Ulum al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun 873 H. kitab ini memuat 102
macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab ini
dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an paling lengkap.namun, Al-Syuyuthi belum
merasa puas dengan karya monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab Al-Itqan
fi Ulum Al-Qur’an. Didalamnya dibahas 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat
dan sistematis. Menurut Al-Zarqani, kitab ini merupakan pegangan bagi para peneliti
dan penulis dalam ilmu ini. Sampai saat ini bersamaan dengan masa kebangkitan
modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama masih memperhatikan
akan ilmu Qur’an ini. Sehingga tokoh-tokoh ahli Qur’an masih banyak hingga saat ini
di seluruh dunia.10

E. Metodelogi Tafsir Al-Qur’an

Sejarah perkembangan penafsiran Al-Qur’an, banyak sekali metode yang


berkembang seiring dengan perkembangan peradaban dan juga perkembangan ilmu
pengetahuan waktu demi waktu. Begitu juga dengan berbagai corak penafsiran yang
ada saat ini adalah buah perjalanan panjang sejarah peradaban Islam. Karena tersebar
luasnya dan bertemunya beraneka budaya yang ada, di tengah-tengah pesatnya
perkembangan ilmu dan budaya waktu itu, dimana gerakan penerjemahan tumbuh
dan giat dilaksanakan setidaknya di masa dinasti Bani Abbasiyah. Berbagai sumber

10
Wahid Ramli, Abdul. 2002. Ulumul Qur’an. Jakarta : Raja Grafindo Persada.56
perbendaharaan ilmu digali dan aneka macam pustaka diterjemahkan. Maka dari
sinilah muncul berbagai corak penafsiran yang ada sekarang.

Metodologi tafsir dalam Al-Qur’an dan pengelompokan pada berbagai


bentuknya sebenarnya tidak ada batasan secara resmi dan paten. Karena metode
penafsiran dan corak-corak yang ada lebih dulu muncul dari pada klasifikasi serta
pengelompokan yang ada. Jadi para mufassir terdahulu menafsirkan Al-Qur’an
menurut kapasitas keilmuan, motifasi dan keinginan mereka sendiri bukan menurut
metode dan pengelompokan yang ada kemudian. Akan tetapi, setelah itu para ulama
khalaf yang direpresentasikan oleh al-Farmawi mulai mengkategorikan metode tafsir
menjadi empat yaitu Tahlili, Ijmali, Muqarin, dan Maudlu’i.

Namun jika dilihat dari sudut pandang yang sedikit berbeda, maka
pengelompokkan metodologi penafsiran dapat dibedakan jika dilihat menurut
intensitas penafsiran, menurut sumber yang digunakan, menurut langkah-langkah
yang ditempuh, dan juga warna atau corak penafsiran. Adapun metodologi tafsir
dalam Al-Qur’an jika dilihat dari segi intensitas mufassir dalam menafsirkan dapat
kita kategorikan menjadi dua, yaitu Tahlili dan Ijmali.11

1. Tahlili (Analitik)

Metode Tahlili adalah metode tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan


ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Metode ini disebut juga dengan Tajzi’i.
Metode ini dianggap metode yang paling tua dan paling sering digunakan. Tafsir
ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal
hingga akhir sesuai dengan susunan dalam mushaf Al-Qur'an. Kemudian
menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran
yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan
susunan kalimat, menjelaskan munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan

11
Halim, Muhammad Abdul.  2012. Memahami Al Qur’an dengan metode menafsirkan al
Qur’an dengan al-Qur’an.  Bandung: Marja.97
hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Menjelaskan apa yang dapat
diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma
akhlak dan lain sebagainya.

Ada juga yang mengatakan bahwa metode Tahlili bisa dilihat dari
kedalaman analisa oleh mufassir itu. Kalau analisa yang digunakan oleh mufassir
cukup mendalam, maka dikatakan Tahlili. Dan jika analisa yang digunakan oleh
mufassir itu sedikit dan kurang mendalam maka disebut Ijmali. Adapun kelebihan
metode ini adalah :

a. Dapat meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan


Al-Qur'an.
b. Dapat mengeksplorasi kandungan ayat secara maksimal.
c. Dapat menghasilkan gagasan yang beraneka ragam.
d. Dapat mengetahui dengan mudah tafsir suatu ayat atau surat.
e. Mudah mengetahui relevansi atau munasabah antara satu ayat dengan ayat
yang lain, atau satu surat dengan surat yang lain.

Adapun lelemahan metode ini adalah :

a. Bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada


persoalan-persoalan khusus yang dialami oleh masyarakat mereka.
b. Menghasilkan gagasan yang parsial sehingga sulit menangkap pesan pokok
pada ayat yang ditafsirkan.
c. Metode ini terkadang terlalu panjang lebar, sehingga sulit ditangkap maksud
yang ingin disampaikan dan bahkan kadang tidak menyentuh kandungan yang
diinginkan.
d. Terkesan adanya peanfsiran yang berulang-ulang, terutama pada ayat yang
mempunyai tema yang sama.
e. Faktor subyektifitas yang sulit dihindari, misalnya ada ayat yang ditafsirkan
dalam rangka membenarkan pendapatnya.
f. Bahsan-bahasannya dirasakan mengikat pada generasi berikutnya.
g. Masuknya berita-berita Isro’iliyyat.12

2. Ijmali (Global)

Metode Ijmali adalah suatu metode tafsir yang berusaha menafsirkan Al-
Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap
kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran
sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang
singkat dan tidak panjang lebar. Dalam menyajikan makna-makna ini mufassir
menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari al-Qur’an sendiri dengan
menambahkan kata-kata penghubung sehingga memberi kemudahan pada para
pembaca untuk memahaminya.

Adapun keistimewaan metode ini adalah :

a. Kemudahannya untuk difahami, sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan


dan tingkatan kaum muslimin secara merata.
b. Bebas dari berita-berita Isro’iliyyat
c. Metode ini dianggap akrab dengan bahasa al-Qur’an, karna kelugasan dan
kesederhanaan bahsanya.

Adapun kelemahan metode ini :

a. Penjelasannya yang terlalu ringkas dan global sehingga terkadang tidak


dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan
masalah secara tuntas.
b. Menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial.
c. Tidak ada ruang untuk memberikan uraian atau pembahasan yang memadai
sesuai dengan keahlian para mufassir.

12
Zuhdi, Masjfuk.  1997.  Pengantar Ulumul Qur’an.  Surabaya: Karya Adhitama.71
Jika metodologi tafsir dalam al-Qur’an jika dilihat dari segi langkah-langkah
mufassir dalam menafsirkan dapat kita kategorikan menjadi dua,
yaitu Muqarin dan Maudlu’I (Tematik).

1. Muqarin

Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau
ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan
menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.13

2. Maudlu’I (Tematik)

Metode Maudlu’i adalah metode tafsir yang berusaha menafsirkan al-


Qur’an secara integral dan komprehensif mengenai tema tertentu, dengan
mengambil berbagai ayat yang terkait dengan tema tersebut dari seluruh rangkaian
ayat atau dari sebuah surat dari surat-surat yang ada dalam al-Qur’an. Dan ada
juga yang mendeskripsikan dengan suatu metode panafsiran yang menghimpun
seluruh ayat al-Qur’an yang berbicara tentang suatu tema, serta mengarah pada
satu pengertian dan tujuan. Kemudian baru dikaji keseluruhan seginya, sehingga
satu tema dapat dibahas tuntas. Adapun kelebihan metode ini:

Merupakan cara yang efektif untuk menggali hidayah al-Qur’an.

a. Memberikan solusi terhadap permasalahan-permasalahan kehidupan sosial.


b. Merupakan jalan termudah dalam merasakan fasahat dan balaghah al-Qur’an.
c. Metode ini lebih tuntas dalam membahas suatu permasalahan.

Sedangkan kelemahan metode ini adalah sebagai berikut:

a. Pembahasannya cenderung parsial dan tidak menyeluruh.


b. Dalam penafsirannya, seringkali subyektifitas mufassir terlalu jauh.

13
Zuhdi, Masjfuk.  1997.  Pengantar Ulumul Qur’an.  Surabaya: Karya Adhitama.75
Adapun contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah : Min Huda
al-Qur’an karya Mahmud Syaltut, al-Ma’rifah fi al-Qur’an karya Abbas mahmud al-
Aqqad, al-Aqidah fi al-Qur’an karya Muhammad abu Zahrah. Kemudian jika Tafsir
dalam al-Qur’an jika dilihat dari segi sumber yang digunakan mufassir dalam
menafsirkan dapat kita kategorikan menjadi dua, yaitu Bi al-Ra’yi dan Bi al-Riwayah.

1. Bi al-Riwayah

Tafsir bi al-Riwayah adalah penafsiran ayat Qur’an dengan menggunakan


ayat Qur’an, penafsiran ayat dengan hadis Nabi, penafsiran ayat dengan hasil
ijtihat para sahabat, atau penafsiran ayat dengan ijtihat para tabi’in, yang
menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit untuk dipahami. Atau dalam
pengertian lain adalah tafsir yang mengutip pendapat orang lain. Adapun
kelebihan metode ini adalah sebagai berikut:

a. Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah sumber tafsir terunggul dibanding


dengan metode lainnya.
b. Tafsir al-Qur’an dengan Sunnah Rasul adalah istimewa karena Rasulullah
adalah yang menerima wahyu tersebut, maka beliaulah yang lebih mengerti
tentang makna dan maksud ayat al-Qur’an tersebut.
c. Tafsir al-Qur’an dengan ucapan sahabat dianggap bisa dipertanggung
jawabkan, karna mereka menyaksikan al-Qur’an diturunkan dan mengetahui
kondisi sosiokultural saat al-Qur’an diturunkan
d. Tafsir al-Qur’an dengan pendapat tabi’in dianggap bisa diterima, karena
mereka belajar dari para sahabat Nabi.

Sedangkan kelemahan dari metode ini yaitu:

a. Masuknya cerita-cerita Isro’iliyyat


b. Dihilangkannya mata rantai (sanad) hadis.
c. Banyaknya riwayat-riwayat palsu yang terkadang dipakai.
d. Banyaknya riwayat hadis-hadis sahih yang bercampur dengan riwayat-riwayat
hadis yang tidak sahih.14

2. Bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang dilakukan dengan
menetapkan rasio sebagai titik tolak dalam suatu penafsiran, atau dengan ijtihad,
setelah seorang mufassir menguasai seluk-beluk bahasa arab, asbab an-nuzul,
nasikh mansukh dan hal-hal lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir.
Dalam pengertian lain tafsir bi al-Ra’yi adalah tafsir yang tidak mengutip pendapat
dari orang lain. Karena penafsiran yang menggunakan metode ini
menitikberaktkan pada hasil pemikiran seorang mufassir, maka para ulama
membagi tafsir ini pada yang Mahmudah (terpuji) dan juga Madzmumah (tercela).
Oleh karena itu tafsir yang menggunakan metode ini bisa diterima jika
mufassirnya memenuhi persyaratan untuk menjadi seorang mufassir profesional,
disamping itu juga menjauhi hal berikut ini:
a. Menghindari sifat pasti, di mana seorang penafsir tanpa alasan mengklaim
bahwa itulah yang dimaksudkan Allah.
b. Tidak memaksa diri untuk memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah
untuk mengetahuinya.
c. Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu.
d. Menghindari penafsiran yang bertujuan untuk menguatkan kepentingan
madzhab atau golongan tertentu.

Adapun kelebihan dari metode ini adalah sebagai berikut:

a. Penafsirannya sering kali memuat berbagai ide dan memiliki ruang lingkup
yang cukup luas.
b. Pembahasan terhadap suatu bidang keilmuan lebih fokus.
c. Penafsirannya lebih mampu untuk menjawab tantangan zaman.
14
Kurdi, dkk. 2010. Hermeutika al Qur’an & Hadis. Yogyakarta: Elsaq Press.56
Sedangkan kelemahan metode ini yaitu:

a. Terjerumusnya sang mufassir dalam penafsiran yang bersifat subyektif.


b. Seringkali mengabaikan konteks turunnya ayat yang berisi uraian asbab an-
nuzul, sisi kronologis, nasikh mansukh dan lain sebagainya.

Namun mengomentari hal ini, yaitu adanya pembagian tafsir bi al-Ra’yi


dengan ada yang terpuji dan tercela serta menganggap tafsir bi al-Riwayah terpuji
semua karna tidak adanya kalsifikasi itu, tentulah patut kita pertanyakan ulang.
Karena dasar pengelompokan tafsir menjadi tercela ataupun terpuji adalah
subyektif juga, sehingga tidak menutup kemungkinan jika dalam tafsir bi al-
Riwayah terdapat dua pembagian terpuji dan juga tercela, karna dalam tafsir bi al-
Riwayah juga terdapat unsur subyektifitasnya, seperti pemilihan ayat atau riwayat
yang dipilih untuk ditafsirkan, pemaknaan dan pemahaman terhadap teks,
pembuatan kesimpulan, dan juga kontekstualisasi ayat tersebut dan banyak lagi
hal-hal yang melibatkan subyektifitas penafsir. Karena tidak ada seorangpun yang
mampu menangkap pesan obyektif dan makna kebenaran mutlak dari suatu teks
kecuali Allah sendiri.

Sedangkan tafsir dalam al-Qur’an jika dilihat dari segi corak penafsiran yang
digunakan mufassir dalam menafsirkan dapat kita sebutkan setidaknya ada enam
corak tafsir, yaitu corak Falsafi, Fiqhi, Ilmi, Lughawi, Adabi Ijtima’I, dan Isyari.

Latar belakang munculnya berbagai macam corak penafsiran adalah tatkala ilmu
keislaman berkembang pesat, disaat para ulama telah menguasai berbagai disiplin
ilmu, dan berbagai karya dari bermacam disiplin mulai bermunculan, maka karya
tafsir juga ikut bermunculan sesuai dengan corak keilmuan yang dimiliki
pengarangnya. Masing-masing penafsir mempunyai kecenderungan dan arah
pembahasan tersendiri, maka timbullah berbagai corak penafsiran tersebut.

a. Falsafi
Corak penafsiran falsafi muncul, karena masuknya ilmu filsafat yunani pada
masa dinasti Bani Abbas seiring dengan semangat gerakan penterjemahan.
Tafsir Falsafi adalah tafsir yang banyak mengungkap sisi filsafat dalam al-
Qur’an. Kelemahan tafsir bercorak falsafi adalah karena tidak ada tafsir yang
bercorak ini yang secara penuh menafsirkan al-Qur’an. Contoh tafsir yang
bercorak falsfi adalah Mafatih al-Ghaib karya al-Fakhr al-Razi.
b. Fiqhi
Tafsir yang bercorak fighi muncul berbarengan dengan lahirnya tafsi bi al-
Riwayah, yang sama-sama dinukil dari Nabi. Corak tafsir ini terus tumbuh
dan berkembang bersama dengan perkembangan semangat ijtihad. Hasilnya
terus berkembang dan bertambah serta disebarluaskan dengan baik hingga
munculnya berbagai madzhab fiqih. Contoh tafsir yang bercorak fiqhi adalah
Ahkam al-Qur’an karya al-Jasshos.15

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan


dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek
pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia. Ulumul
Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas.
Ulumul Qur’an  meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik
berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab.
15
Izzan, H. Ahmad. 2011.  Ulumul Qur’an: telaah tekstualitas dan kontekstualitas al Qur’an. 
Bandung: Humaniora.43
Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya.
Pertumbuhan dan perkembangan ‘Ulumul Qur’an berlangsung dalam rentang waktu
yang panjang. Walaupun pada masa nabi hidup di siplin ilmu ini belum dibukukan,
sebab sahabat merasa cukup meminta penjelasan dari rasul akan sesuatu yang tidak
dipahami.

Keberadaan Ulumul Qur’an dalam konteksnya  yang serba luas dan umum,


memegang fungsi dan posisi penting bagi penafsiran al Qur’an sepanjang Zaman.
Ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-
Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman
kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia. Ulumul Qur’an
merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas.
Ulumul Qur’an  meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik
berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab.
Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya.
Keberadaan Ulumul Qur’an dalam konteksnya  yang serba luas dan umum,
memegang fungsi dan posisi penting bagi penafsiran al Qur’an sepanjang Zaman.

DAFTAR PUSTAKA

Izzan, H. Ahmad. 2011.  Ulumul Qur’an: telaah tekstualitas dan kontekstualitas al


Qur’an.  Bandung: Humaniora.43

Mansyur, Kahar. 1992. Pokok-Pokok Ulumul Qur’an.  Jakarta: Rineka Cipta.23

Suma, Muhammad Amin. 2013. Ulumul Qur’an.  Jakarta: Rajawali.80

Zuhdi, Masjfuk.  1997.  Pengantar Ulumul Qur’an.  Surabaya: Karya Adhitama.66

Kurdi, dkk. 2010. Hermeutika al Qur’an & Hadis. Yogyakarta: Elsaq Press.47

Halim, Muhammad Abdul.  2012. Memahami Al Qur’an dengan metode menafsirkan


al Qur’an dengan al-Qur’an.  Bandung: Marja.21
Abdul Wahid Ramli, Drs.2002.Ulumul Qur’an. Jakarta : Raja Grafindo Persada18

Suma, Muhammad Amin. 2013. Ulumul Qur’an.  Jakarta: Rajawali.    Hlm. 9

Izzan, Ahmad. 2011. Ulumul Qur’an. Edisi Revisi. Bandung Humaniora. Hlm 9.

Izzan, H. Ahmad. 2011.  Ulumul Qur’an: telaah tekstualitas dan kontekstualitas al


Qur’an.  Bandung: Humaniora. hlm 7.

Zuhdi, Masjfuk.  1997. Ulumul Qur’an.  Surabaya: Karya Adhitama. hlm 32.

Suma,  Muhammad Amin. 2013. Ulumul Qur’an.  Jakarta: Rajawali. hlm 17.

Anda mungkin juga menyukai