ULLUMUL QUR’AN
Disusun Oleh:
Nim : 2030210083
Kelas : PIAUD 3
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT. Atas berkat rahmat dan
karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “ Prinsip-Prinsip
Ajaran Islam ’. Makalah ini dibuat sebagai materi bahan ajar dan tugas mata kuliah
Studi Keislaman. Dalam penyusunan makalah ini ditulis berdasarkan buku yang
berkaitan dengan Studi Keislaman dan media massa yang berhubungan dengan Studi
Keislaman.
Makalah ini dapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada:
Penulis
Rizkia Yuniarti
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu penyebab kebangkrutan moral dan kejumudan berpikir umat Islam
adalah ‘sikap bangganya’ untuk meninggalkan Al-Qur’an sebagai suluh dan pembuka
akses jalan kehidupan. Ironis sekali bahwa banyak dari umat islam yang tidak bisa
membaca al Qur’an apalagi mendalami dan menelaah al Qur’an sebagai generasi
salaf yang secara intensif mengkaji dan menelaah alquran sebagai sumber inspirasi
ilmu dan sains. Umat Islam tidak terkecuali di Indonesi mengalami pasang surut
dangat intens dalam merespons ajaran-ajaran agamanya. Al-Quran merupakan
mukjizat terbesar nabi Muhammad SAW. Diturunkan dalam bahasa Arab,
baik lafal maupun uslub-nya. Suatu bahasa yang kaya kosa kata dan sarat makna.
Kendati al-Quran berbahasa Arab, tidak berarti semua orang Arab atau orang yang
mahir dalam bahasa Arab, dapat memahami al-Quran secara rinci. Al-Quran adalah
kitab yang agung, memiliki nilai sastra yang tinggi. Meskipun diturunkan kepada
bangsa Arab yang lima belas abad lalu terkenal dengan jiwa yang kasar. Al-Quran
mampu meruntuhkan dominasi sya’ir-sya’ir Sastrawan Arab, hingga tidak berdaya
dihadapan Al-Quran. Untuk memahami ajaran Islam secara sempurna (kaffah),
diperlukan pemahaman terhadap kandungan al-Quran dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten. Hasbi Ash-Shidieqi
menyatakan untuk dapat memahami al-Quran dengan sempurna, bahkan untuk
menterjemahkannya sekalipun, diperlukan sejumlah ilmu pengetahuan, yang
disebut Ulumul Qur”an. Ulumul Qur’an memiliki komposisi dan kedudukan yang
sangat penting karena ia menjadi pintu gerbang bagi pemahaman al Qur’an yang
lebih baik. Dengan kata lain, langkah awal yang harus dilakukan untuk dapat
memahami al Qur’an dengan utuh dan komprehensif adalah memahami Ulumul
Qur’an.
B. Rumusan Masalah
a. Latar Belakang
b. Pengertian Ulumul Qur’an
c. Kedudukan Ulumul Quran
d. Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an
e. Metodelogi Tafsir Al-Qur’an
C. Tujuan
a. Latar Belakang
b. Pengertian Ulumul Qur’an
c. Kedudukan Ulumul Quran
d. Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an
e. Metodelogi Tafsir Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci dan petunjuk yang diwahyukan Allah Swt
kepada Nabi Muhammad saw bagi seluruh manusia. Di antara tujuan utama
diturunkannya al-Qur’an yakni untuk menjadi pedoman manusia dalam menata
kehidupan mereka supaya memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kitab suci
ini menempatkan posisi sebagai sentral, bukan saja dalam bidang ilmu-ilmu
keIslaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu perkembangan peradaban
umat Islam sepanjang empat belas abad. Al-Qur’an juga sebagai salah satu kunci
untuk membuka wawasan akal umat Islam memahami kehidupan, baik itu untuk
berhubungan kepada Tuhannya, maupun hubungan untuk umat manusia itu sendiri.1
Pada Umumnya, umat islam diwajibkan untuk selalu menjadikan kitab suci
Al-Quran sebagai landasan dalam hidup, untuk itu, pengetahuan sejarah
perkembangan maupun pengertian dari Al-Quran itu sendiri harus benar-benar
dimengerti. Selain merupakan sumber utama bagi ajaran islam, Al-qur’an juga
sebagai pedoman, sumber rujukan bagi umat islam yang universal, baik meyangkut
kehidupan dunia maupun akhirat.2
1
Izzan, H. Ahmad. 2011. Ulumul Qur’an: telaah tekstualitas dan kontekstualitas al Qur’an.
Bandung: Humaniora.71
2
Mansyur, Kahar. 1992. Pokok-Pokok Ulumul Qur’an. Jakarta: Rineka Cipta.
dalamnya. Dengan demikian ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu
asbabul nuzul dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an menjadi bagian
dari Ulumul Qur’an. Sebelum kita mempelajari ilmu-ilmu Al-Qur’an, ada baiknya
kita mengerti terlebih dahulu sejarah adanya ulumul Qur’an. Dengan adanya pokok
pembahasan ini diharapkan mahasiswa semakin mencintai sumber utama umat islam
yaitu Al-Qur’an.3
Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri
dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari
kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-
Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah
ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-
Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di
dalamnaya. Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu
I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya dengan Al-
Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.4
3
Suma, Muhammad Amin. 2013. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali.23
4
Izzan, Ahmad. 2011. Ulumul Qur’an. Edisi Revisi. Bandung Humaniora. Hlm 9.
dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun aspek
pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.5
Al-Qur’an sebagai dasar hukum yang pertama tidak di sangsikan lagi oleh
umat islam bahwa Al Qur’an adalah sumber yang asasi bagi syariat islam. Dari Al
Qur’an inilah dasar-dasar hukum islam beserta cabang-cabangnya digali. Agama
islam, agama yang dianut oleh umat muslim di seluruh dunia, merupakan way of
life yang menjamin kebahagian hidup pemeluknya di dunia dan di akherat kelak.
Agama islam datang dengan Al Qur’annya membuka lebar-lebar mata manusia agar
mereka menyadari jati diri dan hakekat keberadaan manusia di atas bumi ini. Juga,
agar manusia tidak terlena dengan kehidupan ini, sehingga manusia tidak menduga
bahwa hidup mereka hanya di mulai denga kelahiran dan kematian saja.6
Di masa Rasul SAW dan para sahabat, ulumul Qur’an belum dikenal sebagai
suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab asli
yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang
diturunkan kepada Rasul, dan bila menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat
tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul SAW. Di zaman
Khulafa’u Rasyiddin sampai dinasti umayyah wilayah islam bertambah luas sehingga
terjadi pembauran antara orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui
bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan
tercemarnya keistimewaan bahasa arab, bahkan dikhawatirkan tentang baca’an Al-
Qur’an yang menjadi sebuah standar bacaan mereka. Untuk mencegah kekhawatiran
itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah al-qur’an yang disebut mushaf
imam. Dan dari salinan inilah suatu dasar ulumul Qur’an yang disebut Al rasm Al-
Utsmani. Kemudian, Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuanya pada abad ke-2
8
Suma, Muhammad Amin. 2013. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali. hlm 17.
H. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena
fungsinya sebagai umm al ulum alQur’aniyyah. Para penulis pertama dalam tafsir
adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj (160 H), Sufyan Ibn Uyaynah (198 H), dan Wali Ibn al-
Jarrah (197 H). dan pada abad ke-3 muncul tokoh tafsir yang merupakan mufassir
pertama yang membentangkan berbagai pendapat dan mentarjih sebagianya. Beliau
adalah Ibn jarir atThabari (310 H).9
Selanjutnya sampai abad ke-13 ulumul Qur’an terus berkembang pesat dengan
lahirnya tokoh-tokoh yang selalu melahirkan buah karyanya untuk terus melengkapi
pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Diantara sekian
banyak tokoh-tokoh tersebut, Jalaluddin al-bulqini (824 H) pengarang kitab Mawaqi’
Al-ulum min Mawaqi’ al-Nujum dipandang Assuyuthi sebagai ulama yang
mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap. Sebab, dalam kitabnya
tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an. Jalaluddin al-Syuyuthi (991 H) menulis kitab
Al-Tahhir fi Ulum al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun 873 H. kitab ini
memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab
ini dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an paling lengkap.namun, Al-Syuyuthi
belum merasa puas dengan karya monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab
Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an.
9
Abdul Wahid Ramli, Drs.2002.Ulumul Qur’an. Jakarta : Raja Grafindo Persada.23
tidak mengherankan manakala kita merasakan bahwa Ulumul Qur’an itu selalu up to
date.
Semenjak banyak ulama-ulama yang membukukan baik Tafsir Al-Qur’an
ataupun juga ilmu pedukung lainya mulai dari abad pertama hijrah sampai abad
kesepuluh pembukuan masih berlanjut. Apalagi pada abad ke-VIII H, Ululumul Al-
Quran perkembanganya sangat pesat dengan lahirnya tokoh-tokoh yang selalu
melahirkan buah karyanya untuk terus melengkapi pembahasan-pembahasan yang
berhubungan dengan ilmu tersebut. Jalaluddin al-Syuyuthi menulis kitab Al-Tahhir fi
Ulum al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun 873 H. kitab ini memuat 102
macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab ini
dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an paling lengkap.namun, Al-Syuyuthi belum
merasa puas dengan karya monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab Al-Itqan
fi Ulum Al-Qur’an. Didalamnya dibahas 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat
dan sistematis. Menurut Al-Zarqani, kitab ini merupakan pegangan bagi para peneliti
dan penulis dalam ilmu ini. Sampai saat ini bersamaan dengan masa kebangkitan
modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama masih memperhatikan
akan ilmu Qur’an ini. Sehingga tokoh-tokoh ahli Qur’an masih banyak hingga saat ini
di seluruh dunia.10
10
Wahid Ramli, Abdul. 2002. Ulumul Qur’an. Jakarta : Raja Grafindo Persada.56
perbendaharaan ilmu digali dan aneka macam pustaka diterjemahkan. Maka dari
sinilah muncul berbagai corak penafsiran yang ada sekarang.
Namun jika dilihat dari sudut pandang yang sedikit berbeda, maka
pengelompokkan metodologi penafsiran dapat dibedakan jika dilihat menurut
intensitas penafsiran, menurut sumber yang digunakan, menurut langkah-langkah
yang ditempuh, dan juga warna atau corak penafsiran. Adapun metodologi tafsir
dalam Al-Qur’an jika dilihat dari segi intensitas mufassir dalam menafsirkan dapat
kita kategorikan menjadi dua, yaitu Tahlili dan Ijmali.11
1. Tahlili (Analitik)
11
Halim, Muhammad Abdul. 2012. Memahami Al Qur’an dengan metode menafsirkan al
Qur’an dengan al-Qur’an. Bandung: Marja.97
hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Menjelaskan apa yang dapat
diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma
akhlak dan lain sebagainya.
Ada juga yang mengatakan bahwa metode Tahlili bisa dilihat dari
kedalaman analisa oleh mufassir itu. Kalau analisa yang digunakan oleh mufassir
cukup mendalam, maka dikatakan Tahlili. Dan jika analisa yang digunakan oleh
mufassir itu sedikit dan kurang mendalam maka disebut Ijmali. Adapun kelebihan
metode ini adalah :
2. Ijmali (Global)
Metode Ijmali adalah suatu metode tafsir yang berusaha menafsirkan Al-
Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap
kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran
sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang
singkat dan tidak panjang lebar. Dalam menyajikan makna-makna ini mufassir
menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari al-Qur’an sendiri dengan
menambahkan kata-kata penghubung sehingga memberi kemudahan pada para
pembaca untuk memahaminya.
12
Zuhdi, Masjfuk. 1997. Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya: Karya Adhitama.71
Jika metodologi tafsir dalam al-Qur’an jika dilihat dari segi langkah-langkah
mufassir dalam menafsirkan dapat kita kategorikan menjadi dua,
yaitu Muqarin dan Maudlu’I (Tematik).
1. Muqarin
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau
ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan
menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.13
2. Maudlu’I (Tematik)
13
Zuhdi, Masjfuk. 1997. Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya: Karya Adhitama.75
Adapun contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah : Min Huda
al-Qur’an karya Mahmud Syaltut, al-Ma’rifah fi al-Qur’an karya Abbas mahmud al-
Aqqad, al-Aqidah fi al-Qur’an karya Muhammad abu Zahrah. Kemudian jika Tafsir
dalam al-Qur’an jika dilihat dari segi sumber yang digunakan mufassir dalam
menafsirkan dapat kita kategorikan menjadi dua, yaitu Bi al-Ra’yi dan Bi al-Riwayah.
1. Bi al-Riwayah
2. Bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang dilakukan dengan
menetapkan rasio sebagai titik tolak dalam suatu penafsiran, atau dengan ijtihad,
setelah seorang mufassir menguasai seluk-beluk bahasa arab, asbab an-nuzul,
nasikh mansukh dan hal-hal lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir.
Dalam pengertian lain tafsir bi al-Ra’yi adalah tafsir yang tidak mengutip pendapat
dari orang lain. Karena penafsiran yang menggunakan metode ini
menitikberaktkan pada hasil pemikiran seorang mufassir, maka para ulama
membagi tafsir ini pada yang Mahmudah (terpuji) dan juga Madzmumah (tercela).
Oleh karena itu tafsir yang menggunakan metode ini bisa diterima jika
mufassirnya memenuhi persyaratan untuk menjadi seorang mufassir profesional,
disamping itu juga menjauhi hal berikut ini:
a. Menghindari sifat pasti, di mana seorang penafsir tanpa alasan mengklaim
bahwa itulah yang dimaksudkan Allah.
b. Tidak memaksa diri untuk memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah
untuk mengetahuinya.
c. Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu.
d. Menghindari penafsiran yang bertujuan untuk menguatkan kepentingan
madzhab atau golongan tertentu.
a. Penafsirannya sering kali memuat berbagai ide dan memiliki ruang lingkup
yang cukup luas.
b. Pembahasan terhadap suatu bidang keilmuan lebih fokus.
c. Penafsirannya lebih mampu untuk menjawab tantangan zaman.
14
Kurdi, dkk. 2010. Hermeutika al Qur’an & Hadis. Yogyakarta: Elsaq Press.56
Sedangkan kelemahan metode ini yaitu:
Sedangkan tafsir dalam al-Qur’an jika dilihat dari segi corak penafsiran yang
digunakan mufassir dalam menafsirkan dapat kita sebutkan setidaknya ada enam
corak tafsir, yaitu corak Falsafi, Fiqhi, Ilmi, Lughawi, Adabi Ijtima’I, dan Isyari.
Latar belakang munculnya berbagai macam corak penafsiran adalah tatkala ilmu
keislaman berkembang pesat, disaat para ulama telah menguasai berbagai disiplin
ilmu, dan berbagai karya dari bermacam disiplin mulai bermunculan, maka karya
tafsir juga ikut bermunculan sesuai dengan corak keilmuan yang dimiliki
pengarangnya. Masing-masing penafsir mempunyai kecenderungan dan arah
pembahasan tersendiri, maka timbullah berbagai corak penafsiran tersebut.
a. Falsafi
Corak penafsiran falsafi muncul, karena masuknya ilmu filsafat yunani pada
masa dinasti Bani Abbas seiring dengan semangat gerakan penterjemahan.
Tafsir Falsafi adalah tafsir yang banyak mengungkap sisi filsafat dalam al-
Qur’an. Kelemahan tafsir bercorak falsafi adalah karena tidak ada tafsir yang
bercorak ini yang secara penuh menafsirkan al-Qur’an. Contoh tafsir yang
bercorak falsfi adalah Mafatih al-Ghaib karya al-Fakhr al-Razi.
b. Fiqhi
Tafsir yang bercorak fighi muncul berbarengan dengan lahirnya tafsi bi al-
Riwayah, yang sama-sama dinukil dari Nabi. Corak tafsir ini terus tumbuh
dan berkembang bersama dengan perkembangan semangat ijtihad. Hasilnya
terus berkembang dan bertambah serta disebarluaskan dengan baik hingga
munculnya berbagai madzhab fiqih. Contoh tafsir yang bercorak fiqhi adalah
Ahkam al-Qur’an karya al-Jasshos.15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Zuhdi, Masjfuk. 1997. Ulumul Qur’an. Surabaya: Karya Adhitama. hlm 32.