Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam berkembang sangat pesat ke seluruh penjuru dunia dengan kecepatan yang
menakjubkan, yang sangat menarik dan perlu diketahui bahwa Dinul Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW adalah suatu agama yang sekaligus menjadi pandangan atau
pedoman hidup. Banyak sumber-sumber ajaran Islam yang digunakan mulai zaman
muncul pertama kalinya Islam pada masa rasulullah sampai pada zaman modern sekarang
ini.

Sumber-sumber yang berasal dari agama Islam merupakan sumber ajaran yang
sudah dibuktikan kebenarannya yaitu bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia,
sumber-sumber ajaran Islam merupakan sumber ajaran yang sangat luas dalam mengatasi
berbagai permasalahan seperti bidang akhidah, sosial, ekonomi, sains, teknologi dan
sebagainya.

Islam sangat mendukung umatnya untuk mempelajari ilmu pengetahuan, terutama


yang bersumber dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an, Sunah, Ijma’, Qiyas dan juga
ijtihad. Begitu sempurna dan lengkapnya sumber-sumber ajaran Islam. Namun
permasalahan disini adalah banyak umat Islam yang belum mengetahui betapa luas dan
lengkapnya sumber-sumber ajaran Islam guna mendukung umat Islam untuk maju dalam
bidang pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja sumber-sumber ajaran Islam?
2. Bagaimana Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam?
3. Bagaimana Hadits sebagai sumber hukum kedua ajaran Islam?
4. Bagaimana Ijtihad sebagai sumber hukum ajaran Islam setelah Al-Qur’an dan
Hadits?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa saja sumber-sumber ajaran islam
2. Untuk mengetahui bagaimana Al-Qur’an sebagai sumber ajaran islam
3. Untuk mengetahui bagaimana Hadits sebagai sumber hukum keedua ajaran Islam
4. Untuk mengetahui bagaimana Ijtihad sebagai sumber hukum ajaran Islam setelah Al-
Qur’an dan Hadits
BAB II
PEMBAHASAN

1. Macam-macam sumber ajaran Islam


Sumber adalah tempat pengambilan, rujukan atau acuan dalam penyelenggaraan
ajaran Islam, karena itulah sumber memiliki peranan yang sangat penting bagi
pelaksanaan ajaran Islam. Dari sumber inilah umat Islam dapat memiliki pedoman-
pedoman tertentu untuk melaksanakan proses ajaran Islam, tanpa adanya suatu sumber
maka umat Islam akan terombang-ambing dalam menghadapi ideologi dan bisa jadi akan
berahir pada kesesatan atau kenistaan.1

2. Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam


1. Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi Al-Qur’an berasal dari kata “qara’a, yaqra’u, qira’atan,
qur’anan” yang berarti mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf serta kata-
kata dari satu bagian ke bagian lain secara teratur.2 Ada juga sumber lain
mengatakan bahwa Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan sempurna”
merupakan suatu nama pilihan Allah yng sungguh tepat, karena tiada satu
bacaanpun sejak anusia mengenl baca tulis yang dapat menandingi Al-Qur’an al-
Karim, secara terminologi Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan Tuhan
kepada Nabi Muhammad SAW. Yang diampaikan lewat malaikat jibril, yang
dikomunikasikan dengn bahasa arab, harus dipercayai tanpa syarat dan menjadi
pedoman bagi para pengikutnya yaitu umat Islam diseluruh dunia.3

1
Nur Uhbiyati, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013, halaman 25
2
Muhaimin, dkk. Studi Islam dalam ragam dimensi dan pendekatan, Jakarta: kencana, 2012,  halaman 81
3
Didik ahmad supadi dan sarjuni, Pengantar studi Islam, Semarang: Rajawali Pers, 2011 halaman 169
Pengertian Al-Qur’an dari segi terminologinya dapat dipahami dari
pandangan beberapa ulama, bahwa
a. Muhammad Salim Muhsin dalam bukunya “Tarikh Al-Qur’an al-Karim”
menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada
nabi Muhammad SAW. Yang ditulis dalam mushaf-mushf dan dinukilkan/
diriwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir dan membacanya dipandang
ibadah serta sebagai penentang (bagi yang tidak percaya) ataupun surat
terpendek.

b. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan Al-Qur’an sebagai firman Allah SWT


yang diturunkan melalui Roh al-Amin (Jibril) kepada nabi Muhammad SAW.
Dengan bahasa arab, isinya dijamin kebenarannya, dan sebagai hujah
kerasulannya, undang-undang bagi seluruh manusia dan petunjuk dalam
beribadah serta dipandang ibadah dalam membacanya, yang terhimpun dalam
mushaf yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri surat an-Nas, yang
diriwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir.

c. Muhammad abduh mendefinisikan Al-Qur’an sbagai kalam mulia yang


diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi yang paling smpurna (Muhammad
SAW) ajarannya mencakup keseluruhan ilmu  pengetahuan, ia merupakan
sumber yang mulia yang esensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang yang
berjiwa suci daan berakal cerdas.

2. Asbabun nuzul Al-Qur’an


a. Pengertian asbabun nuzul
Ungkapan asbabun nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata asbab dan
nuzul. Secara etimologi, asbabun nuzul adalah sebab-sebab yang
melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Namun kata asbabun nuzul hanya
dipergunakan khusus untuk Al-Qur’an. Para ulama berpendapat bahwa ketika
memaknai kata nuzul, inzal, dan tanzil yang terdapat pada ayat Al-Qur’an, ada
yang memaknai idhar yaitu melahirkan Al-Qur’an. Ada juga yang memanai
bahwa Allah SWT mengajarkannya kepada malaikat jibril baik megenai
bacaannya maupun pemahamannya lalu jibril menyampaikannya kepada nabi
Muhammad SAW yang ada di bumi.
Menurut az-zarqani asbabun nuzul adalah khusus atau sesuatu yang terjadi
serta ada hubungannya dengan turunnya Al-Qur’an sebagai penjelas hukum
pada saat peristiwa itu terjadi.4

b. Urgensi Asbabun Nuzul


Mayoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejarahan yang terakumulasi
dalam riwayat-riwayat asbabun nuzul merupakan suatu hal yang signifikan
untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an. Bahkan al-wahidi menyatakan
ketidakmungkinan untuk menginterpretasikan Al-Qur’an tanpa
mempertimbangkan aspek kisah dan asbabun nuzul.
Dalam uraian yang lebih rinci, Az-Zarqani mengemukakan urgensi
asbabun nuzul dalam memahami Al-Qur’an sebagai berikut:
1. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam
menangkap pesan-pesan ayat Al-Qur’an.
2. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
3. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an, bagi
ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang
bersifat khusus dan bukan lafazh yang bersifat umum.
4. Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun.
5. Memudahkan untuk menghafalkan dan memahami ayat serta untuk
memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya.

4
Muhammad ‘abd az-‘azhim az-zarqani, Manhil al-‘irfan, Dar al-Fikr, Bairut, t.t, jilid I hlm 106.
Taufiq Adnan Amal dan Syamsul Rizal panggabean menyatakan bahwa
pemahaman terhadap konteks kesejarahn pra-qur’an dan pada masa Al-Qur’an
menjanjikan beberapa manfaat praktis, yaitu:
1) Pemahaman itu memudahkan kita mengidentifikasi gejala-gejala moral
dan sosial pada masyarakat Arab saat itu, sikap Al-Qur’an terhadapnya,
dan cara Al-Qur’an memodifikasi atau mentransformasi gejala itu hingga
sejalan dengan pandangan dunia Al-Qur’an.
2) Kesemuanya ini dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam
mengidentifikasi dan menangani problem-problem yang mereka hadapi.
3) Pemahaman tentang konteks kesejarahan pra-qur’an dan masa qur’an
dapat menghindarkan kita dari praktik-praktik pemaksaan prakonsep
dalam penafsiran.

c. Macam-macam asbabun nuzul


1) Dilihat dari segi sudut pandang redaksi-redaksi yang dipergunakan dalam
riwayat asbabun nuzul. Ada dua jenis redaksi yang dipergunakan oleh
perawi dalam mengungkapkan riwayat asbabun nuzul yaitu:
 Sharih (visionable/jelas). Artinya riwayat yang sudah jelas
menunjukkan asbabun nuzul dan tidak mungkin pula menunjukkan
yang lainnya. Contoh riwayat asbabun nuzul yang menggunakan
redaksi sharih adalah sebuah riwayat yang diawakan oleh Jabir
bahwa orang-orang yahudi berkata, “apabila suami mendatangi
“qubul” istrinya dari belakang, anaknya yang lahir akan juling”.
Maka turunlah ayat
‫نساءمك حرث ئمك فأ تو حر ثمك اىّن شئمت‬ 
Artinya: “istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam
maka datangilah tanah bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu
hendaki.” (Q.S Al-Baqarah : 223)
 Muhtamilah  (kemungkinan). Artinya riwayat yang belum jelas
menunjukkan asbabun nuzul dan masih memungkinkan pula
menunjukkan arti lain.

1) Dilihat dari sudut pandang berbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat
atau berbilangnya ayat untuk asbabun nuzul.
a) Berbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat
Pada kenyataannya tidak setiap ayat memiliki riwayat asbabun nuzul
dalam satu versi. Ada kalanya satu ayat memiliki beberapa versi
riwayat asbabun nuzul. Bentuk variasi itu terkadang dalam redaksinya
dan terkadang pula dalam kualitasnya. Untuk mengatasi variasi
riwayat asbabu nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi, para ulama’
mengemukakan cara-cara berikut.
 Tidak mempermasalahkannya
 Mengambil versi riwayat asbabun nuzul yang menggunakan sharih
 Melakukan studi selektif (tarjih)
b) Variasi ayat untuk satu sebab
Terkadang suatu kejadian menjadi sebab bagi turunnya dua ayat atau
lebih.

d. Tahapan turunnya Al-Qur’an


Turunnya Al-Qur’an merupakan peristiwa besar yang sekaligus
menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan bumi. Turunnya Al-
Qur’an yang pertama kali pada malam lailatul qadar merupakan
pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat
akan kemuliaan nabi Muhammad SAW dan umatnya dengan risalah baru agar
menjadi umat paling baik yang dikeluarkan bagi manusia. Allah menurunkan
kepada manusia melalui 3 tahap yaitu:
1) Al-Qur’an diturunkan  Allah dari Lauhul Mahfudz
Al-arqani tidak menyinggung lebih jauh tentang kapan penurunan
Al-Qur’an di Lauhul Mahfudz ini. Beliau hanya menyatakan tidak ada
yang tahu persis kapan Al-Qur’an diturunkan di Lauhul Mahfudz kecuali
Allah sendiri.

2) Dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izza


Yaitu langit yang pertama yang tampak ketika dilihat di dunia ini
namun tidak diketahui letak persisnya. Adapun jumlahnya adalah
semuanya pada waktu Lailatul Qadr. Namun tanggalnya tidak diketahui,
dan pada bulan Ramadhan.
Al-Qurtubi telah menukil dari Muqtil bin Hayyan riwayat tentang
kesepakatan bahwa turunnya Al-Qur’an sekaligus dari Lauhul Mahfudz ke
Baitul ‘Izza di langit di dunia. Sebetulnya tidak hanya Al-Qur’an saja yang
diturunkan pada bulan Ramadhan, tetapi ada juga:
a. Taurat : 6 Ramadhan
b. Suhuf Ibrahim : 1 Ramadhan
c. Injil : 13 Ramadhan
d. Zabur : 12 Ramadhan

3) Dari Baitul ‘Izza ke Rasulullah


Tahapan ketiga atau yang terakhir adalah Al-Qur’an diturunkan
dari Baitul ‘Izza kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara
malaikat jibril. Penurunannya tidak secara langsung sekaligus, namun
diangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun berdasarkan kebutuhan,
peristiwa atau bahkan melalui permintaan malaikat jibril. Adapun kitab-
kitab lain seperti tauraut, zabur dan injil diturunkan oleh Allah SWT
dengan cara sekaligus tidak secara berangsur-angsur.5

3. Isi dan pesan-pesan Al-Quran


Alqur’an diturunkan kepada nabi Muhammad kurang lebih selama 23 tahun,
dalam dua fase yaitu 13 tahun pada  fase sebelum beliau hijrah ke Madinah
(Makiyah) dan 10 tahun pada fase sesudah hijrah ke Madinah (Madaniyah). Isi
Al-Qur’an terdiri dari 114 surat, 6236 ayat, 74437 kalimat, dan 325345 huruf.
Proporsi masing-masing fase tersebuut adalah 86 surat untuk ayat-ayat Makiyah
dan 28 surat untuk ayat-ayat Madaniyah.
Dari keseluruhan isi Al-Qur’an itu, pada dasarnya mengandung pesan-
pesa sebagai berikut; masalah tauhid, termasuk didalamnya masalah kepercayaaan
pada yang gaib; masalah ibadah, yaitu egiatan-kegiatan dan perbuatan-perbuatan
yang mewujudkan dan menghidupkan didalam hati dan jiwa;  masalah janji dan
ancaman yaitu janji dengan balasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan
sebaliknya ancaman siksa  bagi mereka yang berbuat jahat; jalan menuju
kebahagiaan dunia akhirat, berupa ketentuan-ketentuan yang hendaknya dipenuhi
untuk mencapai keridhaan Allah SWT; riwayat dan cerita, yaitu sejarah orang-
orang terdahulu baik sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh maupun Nabi dan
Rosul.
Selanjutnya Abdul Wahab Khalaf lebih memerinci pokok-pokok
kandungan Al-Qur’an ke dalam 3 ktegori, yaitu:
a) Masalah kepercayaan (I’tiqadiyah), yang berhubungan dengan rukun iman
kepada Allah, malaikat, kitabullah, rasulullah, hari kebangkitan dan taqdir.
b) Masalah etika (khuluqiyah) berkaitan dengan hal-hal yang dijadikan
perhisan bagi seseorang untuk berbuat keutamaan dan meninggalkan
kehinaan.

5
Muhammad Amin Suma. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali, 2013 halaman
c) Masalah perbuatan  dan ucapan (‘amaliyah) yang terbagi dalam dua
macam yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah  berkaitan dengan rukun
Islam, nazar, sumpah dan ibadah-ibadah yang lain yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah SWT. Mu’amalah berkaitan dengan
akad, pembelanjaan, hukuman, jual-beli dan lainnnya yang mengtur
hubungan manusia dengan sesama.

Ada dua segi pembahasan isi/kandungan Al-Qur’an, yaitu dimensi keagamaan


dan dimensi keilmuan.
a. Dimensi keagamaan
Al-Qur’an memberikan petunjuk dalam kaitannya dengan persoalan-
persoalan. Pertama, akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia, yang
tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian
adanya hari pembalasan; kedua, mengenai syariat dan hukum,dengan jalan
menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam
hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya; ketiga, mengenai akhlak yang murni,
dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti
oleh manusia dalam kehidupannya baik secara individual maupun kolektif
Menurut Prof. Dr. Mahmud Syaltut dalam “al-Islam wa al-syariah” bahwa
Al-Qur’an mengandung berbagai persoalan-persoalan :
1) Akidah yang wajib dimani.
2) Budi pekerti yang dapat membersihkan jiwa, membentukpribadi dan
masyarakat yang baik
3) Petunjuk dan bimbingan untuk menyelidiki dan mentadaburi tentang rahasia-
rahasia langit dan bumi.
4) Peringatan dan ancaman
5) Hukum-hukum yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Sedangkan menurut Masyfuk Zuhdi bahwa isi atau kandungan ajaran


Al-Qur’an pada hakekatnya mengandung lima prinsip, yaitu:
1) Tauhid
Sekalipun Nabi Adam AS sebagai manusia pertama dan Nabi pertama
adalah seorang monotheisme/muwahhid dan mengajarkan tauhid kepada
turunannya, namun kenyataannya tidak sedikit manusia keturunannya itu
yang menyimpang dari ajaran tauhid. Untuk meluruskan kepercayaan
mereka yang menyimpang dari Tuhan dan untuk membimbing mereka ke
arah yang lurus dan diridlai Tuhan, maka diutuslah para Nabi/Rasul secara
silih berganti mulai Nabi Adam sampai Nabi Muhammad sebagai nabi
penutup.
Sebelum kelahiran Nabi Muhammad (pra Islam), keadaan manusia
pada umumnya telah menyimpang dari ajaran tauhid dan ajaran-
ajaranlainnya dari para nabi dan rasul sebelumnya, sekalipun sebagian
mereka ada pula yang masih mengaku percaya pada keesaan Tuhan, tetapi
sebenarnya tauhidnya sudah tidak murni lagi. Sebab Tuhan dianggap tidak
tunggal sepenuhnya, melainkan ia terdiri dari beberapa oknum, misalanya
doktrin tri murti atau trinitas dari agama Hindu dan Kristen.

2) Janji dan ancaman tuhan


Tuhan menjanjikan kepada setiap orang yang beriman dan selalu
mengikuti semua petunjuk-Nya akan mendapatkan kebahagiaan hidupnya
di dunia dan di akhirat. Sebaliknya Tuhan akan mengancam kepada siapa
saja yang ingkar kepada tuhan dan memusuhi nabi/rasul-Nya serta
melanggar perintah-perintah dan larangan-laranga-Nya, akan mendapat
kesengsaraan hidup di dunia maupun akhirat.

3) Ibadah 
Tujuan hidup manusia didunia ini adalah untuk meribaddah kepada
Tuhan.pengertian ibadah menurut Islam adalah cukup luas,sebab tidak
hanya berbatas padaslat,puasa, haji dan semacamnya. Tetapi semua
aktifitas yang dilakukan manusia denga motivasi niat yang baik seprti
untuk mencari ridlo Allah, semuanya dipandang ibadah. 
Ibadah bagi manusia adalah berfungsi sebagai manifestasi manusia
bersyukur kepada tuhan pencipta atas segala nikmat dan karunia. Dan juga
berfungsi sebagai relisasi dan konsekwensi manusia atas kepercayaannya
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

4) Jalan dan cara mencapai kebahagiaan


Setiap orang yang breagama pasti bercita-cita ingin mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat. Untuk bisa mencapai cita-
citanya, Tuhan dalam Al-Qur’an memberikan petunjuk-petunjuk-Nya
bahwa manusia harus menempuh jalan yang lurus dengan cara menghayati
dan mematuhi segala aturan agam yang ditetapkan Allah dan rasul-Nya.

5) Cerita-cerita/sejarah-sejarah umat manusia sebelum Nabi


Muhammad SAW.
Didalam Al-Qur’an terdapat cerita-cerita tentang para nabi dan
umatnya masing-masing. Cerita-cerita tersebut diungkapkan kembali
didalam al-quran dengan maksud agar dijadikan pelajaran bagi manusia
sekarang tentang bagiamna nasib manusia yang taat kepada tuhan.
Disamping itu juga sebagai hiburan bagi Nabi Muhamad dan umat Islam
pada permulaan Islam, agar nabi dan sahabat-sahabatnya tetap berteguh
hati , tidak berkecil hati dalam menghadapi segala macam hambatan-
hambatan dan tantangan-tantangan yang sama bahkan yang lebih.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa pada hakikatnya Al-
Qur’an adalah kitab keagamaan, dan bukan suatu kitab atau ensiklopedi
ilmu pengetahuan yang ddidlamnya membahas atau berisitentang teori-
teori ilmiah.
b. Dimensi Keilmuan
Al-Qur’an adalah sumber segala pelajaran dan pengetahuan,
didalamnya pembicaraan-pembicaraan dan kandungan isinya tidak semata-
mata terbatas pada bidang-bidang keagamaan, ia meliputi berbagai aspek
hidup dan kehidupan manusia.
Menurut Dr. Muhammad Ijazul Khatib dari Universitas Damaskus, tak
ada yang lebih menekankan pentingnya sains dari pada kenyataan bahwa:
berbeda dengan bagian legislatif yang hanya 250 ayat saja, sedangkan 750
ayat Al-Qur’an –hampir seperdelapannya- menegur orang-orang mukmin
untuk mempelajari alam semesta, untuk berfikir, untuk menggunakan
penalaran yang sebaik-baiknya, untuk menjadikan kegiatan ilmiah ini sebagai
bagian dari kehidupan umat.
Sekarang banyak ditemukan orang yang mencoba menafsirkan beberapa
ayat Al-Qur’andalam sorotan ilmiah modern. Dengan tujuan untuk
menunjukkan mu’jizat Al-Qur’an dalam lapangan keilmuan untuk
meyakinkan orang-orang non-muslim akan keagungan dan keunikan Al-
Qur’an, dan untuk menjadikan kaum muslimin bangga memiliki kitab seperti
itu.
Pandangan mengenai Al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan
bukanlah merupakan sesuatu yang baru, karena banyak ulama besar kaum
muslimin yang berpandangan demikian.
Dari keterangan diatas, para ulama berkeyakinan bahwa Al-Qur’an
merupakan kitab petunjuk bagi kemajuan manusia, dan mencakup apa yang
diperlukan manusia dalam wilayah iman dan amal. Al-Quran juga
mengandung rujukan-rujukan pada sebagian fenomena alam.

4. Fungsi dan tujuan Al-Qur’an


Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam merupakan kumpulan firman Allah
yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung petunjuk-
petunjuk bagi umat manusia. Menurut Dr. M. Quraish Shihab dalam “wawasan
Al-Qur’an menyebutkan delapan tujuan diturunkannya Al-Qur’an: 
a. Untuk menbersihkan dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik serta mementapkan
keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi tuhan semesta alam.
b. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa umat manusia
merupakan umat yang seharusnya dapat bekerja sama dalam pengapdian kepada Allah
dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
c. Untuk menciptakan perstuan dan kesatuan.
d. Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
e. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit dan
penderitaan hidup,serta pemerasan manusia atas manusia dalam bidang sosial, ekonomi,
politik, dan juga agama.
f. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang.
g. Untuk memberikan jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan falsafah
kolektif komunisme, menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada kebaikan
dan mencegah kemungkaran.
h. Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan suatu
peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia dengan panduan dan
panduan Nur Ilahi.

Berikut adalah fungsi al-quran menurut nama-namanya:


a. Al-huda (petunjuk). Dalam al-quran terdapat 3 kategori tentang posisi al-quran sebagai
petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum. Kedua, al-quran adalah petunjuk
bagi orang-orang yang bertaqwa. Ketiga, petunjuk bagi orang-orang beriman.
b. Al-furqan (pemisah). Dalam al-quran dikatakan bahwa ia adalah ugeran untuk
membedakan dan bahkan memisahkan antara yang hak dan batil.
c. Asy-syifa (obat). Al-quran dikatakan berfungsi sebagai obat bagi penyakit-penyakit
dalam dada. Yang dimaksud penyakit dalam dada adalah penyakit-penyakit psikologis.
d. Al-mauizhah (nasihat). Al-quran berfungsi sebagai nasihat orang-
orang yang bertakwa.

C. Hadits sebagai sumber hukum islam


Umat Islam telah sepakat bahwa hadits merupakan sumber hukum
kedua setelah Al-Qur’an. Dan  tidak boleh seorang muslim hanya mencukupkan diri
dengan salah satu dari kedua sumber Islam tersebut. Al-Qur’an dan hadits merupakan
dua sumber hukum Islam yang tetap. Umat Islam tidak mungkin dapat memahami
tentang syari’at Islam dengan benar sesuai  dengan tanpa Al-Qur’an dan Hadits.
Banyak dari ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa hadits merupakan sumber
hukum Islam selain Al-Qur’an yang wajib diikuti. Baik itu dalam hal perintah
ataupun larangan. Al-Syatibiy dalam kaitan ini mengajukan tiga argumen. Pertama,
sunnah merupakan penjabaran dari Al-Qur’an. Secara rasional, sunnah sebagai
penjabaran (bayan) harus menempati posisi lebih rendah dari yang dijabarkan
(mubayyan) yakni Al-Qur’an. Apabila Al-Qur’an sebagai mubayyan tidak ada, maka
hadits sebagai bayyan tidak diperlukan. Akan tetapi jika tidak ada bayyan, maka
mubayyan tidak hilang. Kedua, Al-Qur’an bersifat qat’iy al-subut, sedangkan sunnah
bersifat zanniy al-subut.  Ketiga, secara tekstual terdapat beberapa riwayat yang
menunjukkan kedudukan sunnah setelah Al-Qur’an seprti hadits yang sangat populer
mengenai pengutusan Mu’az Ibn Jabal menjadi hakim di Yaman. Semuanya
menunjuka subordinasi sunnah sebagai dalil terhadap Al-Qur’an.6
Berikut uraian sedikit tentang kedudukan hadits sebagai sumber hukum
Islam:
1. Dalil Al-Qur’an
Banyak dari ayat Al-Qur’an yangmenerangkan tentang  kewajiban untuk
dapat mempercayai dan menerima apa saja yang telah disampaikan oleh Rasul
kepada umat beliau untuk dijadikan sebuah pedoman hidup. Seperti ayat:

6
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang: CV. Aneka ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm 80
Selain Allah SWT memerintahkan agar umatnya percaya kepada Rasul
juga dapat menaati semua perintah atau peraturan yang telah ditetapkan atau
dibawa oleh beliau. Taat kepada Rasul sama denga taat kepada Allah.
Sebagaimana firman Allah QS. Al- ‘Imran:32 yang berbunyi:

َ‫قُلْ َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوال َّرسُو َل فَِإ ْن تَ َولَّوْ ا فَِإ َّن هَّللا َ ال يُ ِحبُّ ْال َكافِ ِرين‬

Artinya: “"Katakanlah: 'Taatilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu


berpaling, maka sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang kafir'." – (QS.
Al- ‘Imran 3:32).

Dari banyaknya ayat Al-Qur’an ini membuktikan bahwa dimana


setiap ada perintah taat kepada Allah, pasti ada perintah taat kepada
Rasul. Demikian pula mengenai ancaman. Ini menunjukkan betapa
pentingnya kedudukan dalam penetapan untuk taat kepada semua yang
diperintah Rasulullah SAW.
1. Dalil al-hadits
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW. Berkenaan dengan
keharusan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, disamping Al-
Qur;an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:
Masih banyak lagi hadits-hadits yang menerangkan tentang
pedoman hidup maupunpenetapan hukum. Hadits-hadits tersebut
menunjukkan terhadap kita bahwa berpegang teguh kepada hadits
sebagai pedoman hidup iitu wajib, sebagaimana wajib pada Al-Qur’an.
2. Kesepakatan ulama (ijma’) 
Banyak peristiwa yang menunjukan adanya kesepakatan
menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain:
a. Ketika abu bakar di baiat menjadi kholifah, ia pernahberkata “saya tidak meninggalkan
sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya
takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
b. Saat umar berada di hajar aswad ia berkata: “saya tahu bahwa engkau adalah batu.
Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu”.
c. Diceritakan dari Sa’i bin Musayyab bahwa ‘usman bin ‘affan berkata: ”saya duduk
sebagaimana duduknya Rasulullah, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan
saya sholat sebagaimana Sholatnya Rasulullah.7
Untuk mengukuhkan validitas sunnah sebagai otoritatif hukum Islam.
Al-syafi’i mengajukan analisis terhadap kata al-hikmah dalam Al-Qur’an.
Dalam banyak Al-Qur’an, kata tersebut selalu bergandengan dengan kata
al-kitab (Al-Qur’an).8
Namun al-syafi’i menyimpulkan bahwa yang dimaksud al-kitab
adalah Al-Qur’an, sedangkan yang dimaksud al-hikmah adalah sunnah
atau al-hadits. Dalam sejarah tercatat, ada sekelompok kecil umat Islam
yang menolak adanya sunnah atau hadits sebagai salah satu sumber
hukum Islam. Dikenal sebagai inkar al-sunnah dan munkir al-sunnah.
Adanya kelompok tersebut diketahui melalui tulisan al-syafi’i yang
dikelompokkan dalam tiga golongan:
a. Golongan yang menolak sunnah secara keseluruhan
b. Golongan yang menolak sunnah kecuali jika sunnah itu memiliki kesamaan denga
petunjuk Al-Qur’an
c. Golngan yang menolak sunnah yang berstatus ahad 
Hadits atau sunnah sebagai sumber hukum Islam tidak hanya untuk
kaitannya dalam hal iadah, akan tetapi juga dalam masalah
masyarakat sosial. Eksistensi sunnah atau hadits dapat sumber

7
Drs. Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 56
8
Musahadi HAM, Evolusi konsep sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI, 2000,  hlm 82
hukum Islam dapat dilihat dari beberapa argumen Al-Qur’an,
ijma’  maupun argumen rasional.9
Beberapa implikasi pada perkembangan hukum Islam. Kosep
sunnah ternyata mengalami proses yang cukup panjang sebelum di
identikkan dengan istilah hadits. Proses tersebut disimpulkan dengan baik
oleh Fazlur Rahman sebagai berikut:
“that the sunnah-content left bythe prophet was not very large in
quantity and that it was not something meant tobe absolutely specific;
that the concept sunnah after the time of the propher himself but also the
interpretation of the prophetic sunnah; that the “sunnah” in this last
sense is co-extensive with the ijma’ of the community, which is essentially
an ever-expanding process;and finally; that after the mass-scale hadith
movement the organic relationship between the sunnah, ijtihad, and
ijma’ was destroyed”10
Artinya:
Bahwa kandungan sunnah yang bersumber dari Nabi tidak bayak jumlahnya
dan tidak dimaksudkan bersifat spesifik secara mutlak, bahwa konsep sunnah
setelah Nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah Nabi tetapi juga penafsiran-
penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut, bahwa sunnah dalam pengertian
terakhir ini sama luasnya dengan ijma’ yang pada dasarnya merupakan sebuah
proses yang semakin meluas secara terus-menerus, dan yang terkhir sekali bahwa
setelah gerakan pemurnian hadits besar-besaran, hubungan organis diantara
sunnah, ijtihad dan ijma’ menjadi rusak.
Ketika timbul gerakan hadits pada paruh kedua abad hijriyah sunnah
diekspresikan sebagai hadits, sehingga pada tahap berikutnya hadits identik
dengan sunnah. Namun jalaluddin Rahmat membantah bahwa yang pertama kali
beredar dikalangan umat Islam untuk menunjuk pada Nabi  adalah hadits
bukanlah sunnah.
9
Musahadi HAM, Evolusi konsep sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm 84
10
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah. Semarang: CV. Aneka ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm 119
Kondisi kemudian berubah setelah dua khalifah mengadakan gerakan
“penghilangan” hadits yang kemudian melahirkan keenggangan para sahabat
menuliskan hadits. Ini mengakibatkan hilangnya sebagian besar hadits dan adanya
kesempatan untuk pealsuan hadits yang mengakibatkan merebaknya periwayatan
dalam makna (riwayat bi al ma’na). Dan karena orang hanya menerima hadits
lewat lisan, maka ketika menyampaikannyapun hanya menyampaikan maknanya,
sehingga dalam periwayatan hadits dapat berubah-ubah. Mengingat makna
redaksi hadits itu berkembang sesuai orang yang meriwayatkannya. Dan inilah
yang menimbulkan banyaknya perbedaan pendapat dalam penafsiran hadits.
Kemudian memunculkan ra’y atau oleh Rahman diidentifikasi sebagai sunnah. 
yangmana orang lebih cenderung mencari petunjuk pada ra’y karena hilangnya
sejumlah hadits akibat perbedaan pendapat.
Ketika terjadi suasana yang tidak ada acuan universal, maka munculah
gerakan massif untuk membawa konsep sunnah kedalam konsep hadits. hadits -
hadits kemudian dihidupkan kembali, namun upaya ini mengalami kesulitan yang
besar  menyangkut pengujian hadits yang dapat dipertanggungjawabkan
validitasnya yang kemudian dirumuskan kaidah-kaidah kesahihan hadits (‘ulum
al-hadits). 
Dengan demikian jika ada pernyataan mengenai hadits nabi telah ada sejak
awal perkembangan Islam itu adalah sebuah kenyatan yang tidak dapat diragukan
lagi dan mematahkan pernyataan bahwa hadits adalah produk belakangan.
Perkembangan hadits berjalan pararel dengan praktek para sahabat dan umat.
Dalam hal ini hadits mengalami tahapan yang panjang sebelum ia ditetapkan
sebagai sentral keputusan hukum Islam. Memang dulu pada masa-masa awal
sunnah menjadi standar bagi manifestasi sunnah ideal Nabi, akan tetapi pada masa
al-Syafi’iy dan seterusnya haditslah yang kemudian menjadi manifestasi teladan
Nabi.

D. Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an dan Hadits


1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad memiliki arti kesungguhan, yaitu mengerjakan sesuatu dengan
segala kesungguhan. Ijtihad dari sudut istilah berarti menggunakan seluruh
potensi nalar secara maksimal dan optimal untuk meng-istinbath suatu hukum
agama yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok ulama yang memenuhi
persyaratan tertentu, pada waktu tertentu untuk merumuskan kepastian hukum
mengenai suatu perkara yang tidak ada status hukumnya dalam Al-Qur’an dan
sunnah dengan tetap berpedoman pada dua sumber utama. 
Dengan demikian, ijtihad bukan berarti penalaran bebas dalam menggali
hukum satu peristiwa yang dilakukan oleh mujtahid, melainkan tetap berdasar
pada Al-Qur’an dan sunnah. Walaupun ijtihad diperbolehkan untuk dilakukan
oleh mujtahid (orang yang berijtihad) yang memenuhi syarat, namun tidak berarti
bahwa ijtihad dapat dilakukan dalam semua bidang. Ijtihad memiliki ruang
lingkup tertentu. 
Syaikh Muhammad Salut, misalnya membagi lingkup ijtihad ke dalam dua
bagian: 
a. Permasalahan yang tidak ada atau tidak jelas ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an atau
hadist Nabi.
b. Ayat-ayat Al-Qur’an tertentu dan hadis tertentu tidak begitu jelas
maksudnya yang mungkin disebabkan oleh makna yang dikandung
lebih dari satu sehingga perlu ditentukan dengan jalan ijtihad untuk
mengetahui makna-makna yang sesungguhnya yang dimaksud.11

2. Macam-macam Ijtihad
a. Ijmak
Ijmak berarti menghimpun, mengumpulkan, atau bersatu dalam
pendapat, dengan kata lain ijmak merupakan consensus yang terjadi di
kalangan para mujtahid terhadap suatu masalah sepeninggal Rasulullah SAW.

11
Rois Mahfud, Sumber Ajaran Islam, Palangka raya: Erlangga,  2011, halaman 117-118.
Ahli ushul fikih mengemukakan bahwa ijmak adalah kesepatan para mujtahid
kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW terhadap
suatu hukum syariat mengenai suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa
yang memerlukan ketentuan hukum yang tidak ditemukan dalam kedua
sumber sebelumnya (Al-Quran dan sunnah) maka para mujtahid
mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu peristiwa dan jika disetujui
atau disepakati oleh para mujtahid lain, kesepakatan itulah yang disebut
ijmak. 
Ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam yang memiliki posisi
kuat dalm menetapkan hukum dari suatu peristiwa. Bahkan telah diakui luas
sebagai sumber hukum yang menempati posisi ketiga dalam hukum Islam.
Sejumlah ayat dan hadits nabi menjadi pembenaran teologis kekuatan ijmak
sebagai sumber hukum dalam Islam. Pemberian warisan kepada nenek laki-
laki (jadd) ketika ia berkumpul dengan laki-laki orang yang meninggal dunia
yang dalam keadaan seperti ini nenek laki-laki tersebut menggantikan ayah
(orang yang meninggal) untuk menerima seperenam dari harta warisan atau
harta peninggalannya merupakan contoh penetapan hukum berdasarkan ijmak
sahabat. 
Dalam transaksi jual beli, misalnya istishna’ atau pemesanan barang yang
baru akan dibuat yang seharusnya tidak boleh,karena dinilai sama seperti
halnya membeli barang yang tidak ada, merupakan contoh hukum yang
bersumber dari hasil ijmak sahabat (Hanafi, 1995: 61) Penggunaan ijmak
sebagai sumber hukum dalam menetapkan hukum suatu peristiwa secara
historis terjadi pasca wafatnya Nabi SAW. Selama beliau hidup, setiap
peristiwa yang muncul selalu diminta untuk ditetapkan hukumnya sehingga
tidak mungkin terjadi perlawanan hukum terhadap suatu masalah. Ijmak yang
memiliki kehujahan sebagai sumber hukum didasarkan pada sejumlah
argumentasi teologis terutama ayat 59 surah An-nisa’ yang didalamnya
terdapat anjuran untuk taat pada ulil amri setelah taat pada Allah SWT dan
Rosul-Nya. Ulil amri dalam ayat tersebut dipahami sebagai pemegang urusan
dalam arti luas mencakup urusan dunia ( seperti kepala Negara, menteri,
legislative, dan lain-lain) dan pemegang urusan agama seperti para mujtahid,
mufti, dan ulama. Karena itu, apabila ulil amri telah sepakat dalam status
hukum suatu urusan maka wajib ditaati, diikuti, dan dilaksanakan
sebagaimana mentaati, mengikuti, dan melaksanakan perintah Allah SWT dan
Rosul-Nya dalam (QS. An-nisa’ [4] : 83 ): 
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang
keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan,
kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (QS. An-nisa’ 4: 83) 

Argumentasi yang kedua yang dijadikan pembenaran kehujahan ijmak


sebagai sumber hukum Islam adalah sejumlah hadis Nabi SAW yang
menjelaskan terpeliharanya umat Islam dari bersepakat membuat kesalahan
dan kesesatan separti hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu Majah, yang
mengatakan : “umatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan.” Hal ini
berarti bahwa kesepakatan yang telah dicapai oeh para mujtahid memiliki
kehujahan yang kuat sebagai sumber hukum dalam Islam dan wajib diikuti
oleh umat Islam pada umumnya.

b. Qiyas
Secara harfiah berarti analogi atau mengumpamakan. Adapun
menurut pengertian para ahli fikih, qiyas adalah menetapkan hukum tentang
sesuatu yang belum ada nash atau dalilnya yang tegas, dengan sesuatu hukum
yang sudah ada nash atau dalilnya yang didasarkan atas persamaan illat antara
keduanya. Misalnya, menetapkan haramnya minuman bir yang tidak ada
dalilnya dalam Al-Qur’an dengan khamar yang ada hukumnya di dalam Al-
Quran. Menyamakan atau menganalogikan bir dengan khamar ini didasarkan
pada adanya persamaan illat antara keduanya, yaitu memabukkan. 

c. Al-mashlahat al-mursalah 
Secara harfiah berarti sesuatu yang membawa kebaikan bagi orang
banyak. Adapun menurut para ahli hukum Islam, Al-mashlahat al-mursalah
adalah sesuatu yang didalamnya mengandung kebaikan bagi masyarakat,
sehingga walaupun pada masa lalu hal tersebut tidak diberlakukan, namun
dalam keadaan masyarakat yang sudah makin berkembang, keadaan tersebut
dianggap perlu dilakukan. Misalnya, pembukuan Al-quran dalam bentuk
mushaf seperti yang ada sekarang perlu dilakukan, mengingat jumlah para
penghafal Al-Quran makin sedikit karena meninggal dunia, serta pertentangan
dalam membaca Al-Quran sering terjadi. 

d. U’rf
Secara harfiah berarti sesuatu yang berlaku atau yang sudah
dibiasakan. Adapun menurut para ahli hukum Islam, ‘urf adalah sesuatu yang
berlaku dimasyarakat atau tradisi yang mengandung nilai-nilai kebaikan bagi
masyarakat. Contonya kebiasaan merayakan hari raya yang pada zaman
sebelum Islam, namun dinilai mengandung kebaikan, maka tetap dilanjutkan.

e. Istihsan
Secara harfiah berarti memandang sesuatu sebagai yang baik.
Menurut Islam, istihsan artinya segala sesuatu yang dipandang manusia pada
umumnya sebagai hal yang baik, dan tidak bertentangan dengan al-Quran dan
sunnah. Penggunaan istihsan ini antara lain didasarkan pada sabda Rasulullah
SAW : Artrinya : “segala sesuatu yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai
sesuatu yang baik, maka yang demikian itu disisi Allah dipandang sebagai hal
yang baik.” 

f. Qaul al-shahabat
Secara harfiah berarti ucapan sahabat. Dalam pengertian umum,
Qaul al-shahabat adalah pendapat, pandangan, pikiran, dan perbuatan para
sahabat yang sejalan denganAl-Quran dan sunnah. Penggunaan Qaul al-
shahabat sebagai dasar hukum, mengingat para sahabat selain sebagai orang
yang dekat, bergaul dan ikut berjuang dengan Rasulullah SAW, juga memang
memiliki pemikiran, gagasan, dan karya-karya yang layak untuk dijadikan
bahan renungan dan pertimbangan dalam mengembangkan ajaran Islam pada
masa selanjutnya.

g. Syar’un man qablana


Secara harfiah berarti agama sebelum kita. Dalam pengertian yang
lazim, Syar’un man qablana adlah ajaran yang terdapat didalam agama yang
diturunkan Tuhan sebelum Islam yang terdapat di dalam kitab Zabur, Taurat,
Injil yang masih asli yang tidak bertentangan dan masih sesuai dengan
kebutuhan zaman. Di dalam kitab Taurat yang ditinggalkan Nabi Musa
misalnya terdapat ajaran mengesakan Tuhan, larangan menyekutukan-Nya,
memuliakan kedua orang tua, memiliki kepedulian terhadap kerabat, orang
miskin, ibnu sabil, bersikap boros, membunuh anak, berbuat zina, memakan
harta anak yatim, mengurangi timbangan, menjadi saksi palsu, dan larangan
bersikap sombong. Ajaran yang dibawa Nabi Musa ini terus dilanjutkan oleh
Nabi Muhammad SAW, sebagaimana terdapat dalam QS. Bani Israil (17) ayat
23 sampai dengan ayat 37. Ajaran yang pernah berlaku pada zaman Nabi
Musa itu, masih tetap diberlakukan dimasa sekarang, karena masih dianggap
cocok dan dibutuhkan untuk zaman sekarang dan yang akan datang.12

12
 Abuddin Nata, Studi Islam komperehensif, Jakarta: Kencana , 2011.  Halaman 43-45
DAFTAR PUSTAKA

‘Abd Az-‘azhim, Az-Zarqani Muhammad. Manhil al-‘irfan, Dar al-Fikr, Bairut, t.t, jilid I
hlm 106.
Amin, Muhammad Suma. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali, 2013

Didik ahmad supadi dan sarjuni, Pengantar studi Islam, Semarang: Rajawali Pers, 2011
Mahfud, Rois. Al-Islam PendidikanAgama Islam, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011
Muhaimin, dkk. Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, Jakarta: kencana,
2012

Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI,
2000

Nata, Abuddin. Studi Islam komperehensif, Jakarta: Kencana 2011


Suparta, Munzier. Ilmu Hadits, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002

Uhbiyati, Nur. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013

Anda mungkin juga menyukai