PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam berkembang sangat pesat ke seluruh penjuru dunia dengan kecepatan yang
menakjubkan, yang sangat menarik dan perlu diketahui bahwa Dinul Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW adalah suatu agama yang sekaligus menjadi pandangan atau
pedoman hidup. Banyak sumber-sumber ajaran Islam yang digunakan mulai zaman
muncul pertama kalinya Islam pada masa rasulullah sampai pada zaman modern sekarang
ini.
Sumber-sumber yang berasal dari agama Islam merupakan sumber ajaran yang
sudah dibuktikan kebenarannya yaitu bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia,
sumber-sumber ajaran Islam merupakan sumber ajaran yang sangat luas dalam mengatasi
berbagai permasalahan seperti bidang akhidah, sosial, ekonomi, sains, teknologi dan
sebagainya.
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa saja sumber-sumber ajaran islam
2. Untuk mengetahui bagaimana Al-Qur’an sebagai sumber ajaran islam
3. Untuk mengetahui bagaimana Hadits sebagai sumber hukum keedua ajaran Islam
4. Untuk mengetahui bagaimana Ijtihad sebagai sumber hukum ajaran Islam setelah Al-
Qur’an dan Hadits
BAB II
PEMBAHASAN
1
Nur Uhbiyati, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013, halaman 25
2
Muhaimin, dkk. Studi Islam dalam ragam dimensi dan pendekatan, Jakarta: kencana, 2012, halaman 81
3
Didik ahmad supadi dan sarjuni, Pengantar studi Islam, Semarang: Rajawali Pers, 2011 halaman 169
Pengertian Al-Qur’an dari segi terminologinya dapat dipahami dari
pandangan beberapa ulama, bahwa
a. Muhammad Salim Muhsin dalam bukunya “Tarikh Al-Qur’an al-Karim”
menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada
nabi Muhammad SAW. Yang ditulis dalam mushaf-mushf dan dinukilkan/
diriwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir dan membacanya dipandang
ibadah serta sebagai penentang (bagi yang tidak percaya) ataupun surat
terpendek.
4
Muhammad ‘abd az-‘azhim az-zarqani, Manhil al-‘irfan, Dar al-Fikr, Bairut, t.t, jilid I hlm 106.
Taufiq Adnan Amal dan Syamsul Rizal panggabean menyatakan bahwa
pemahaman terhadap konteks kesejarahn pra-qur’an dan pada masa Al-Qur’an
menjanjikan beberapa manfaat praktis, yaitu:
1) Pemahaman itu memudahkan kita mengidentifikasi gejala-gejala moral
dan sosial pada masyarakat Arab saat itu, sikap Al-Qur’an terhadapnya,
dan cara Al-Qur’an memodifikasi atau mentransformasi gejala itu hingga
sejalan dengan pandangan dunia Al-Qur’an.
2) Kesemuanya ini dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam
mengidentifikasi dan menangani problem-problem yang mereka hadapi.
3) Pemahaman tentang konteks kesejarahan pra-qur’an dan masa qur’an
dapat menghindarkan kita dari praktik-praktik pemaksaan prakonsep
dalam penafsiran.
1) Dilihat dari sudut pandang berbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat
atau berbilangnya ayat untuk asbabun nuzul.
a) Berbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat
Pada kenyataannya tidak setiap ayat memiliki riwayat asbabun nuzul
dalam satu versi. Ada kalanya satu ayat memiliki beberapa versi
riwayat asbabun nuzul. Bentuk variasi itu terkadang dalam redaksinya
dan terkadang pula dalam kualitasnya. Untuk mengatasi variasi
riwayat asbabu nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi, para ulama’
mengemukakan cara-cara berikut.
Tidak mempermasalahkannya
Mengambil versi riwayat asbabun nuzul yang menggunakan sharih
Melakukan studi selektif (tarjih)
b) Variasi ayat untuk satu sebab
Terkadang suatu kejadian menjadi sebab bagi turunnya dua ayat atau
lebih.
5
Muhammad Amin Suma. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali, 2013 halaman
c) Masalah perbuatan dan ucapan (‘amaliyah) yang terbagi dalam dua
macam yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah berkaitan dengan rukun
Islam, nazar, sumpah dan ibadah-ibadah yang lain yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah SWT. Mu’amalah berkaitan dengan
akad, pembelanjaan, hukuman, jual-beli dan lainnnya yang mengtur
hubungan manusia dengan sesama.
3) Ibadah
Tujuan hidup manusia didunia ini adalah untuk meribaddah kepada
Tuhan.pengertian ibadah menurut Islam adalah cukup luas,sebab tidak
hanya berbatas padaslat,puasa, haji dan semacamnya. Tetapi semua
aktifitas yang dilakukan manusia denga motivasi niat yang baik seprti
untuk mencari ridlo Allah, semuanya dipandang ibadah.
Ibadah bagi manusia adalah berfungsi sebagai manifestasi manusia
bersyukur kepada tuhan pencipta atas segala nikmat dan karunia. Dan juga
berfungsi sebagai relisasi dan konsekwensi manusia atas kepercayaannya
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
6
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang: CV. Aneka ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm 80
Selain Allah SWT memerintahkan agar umatnya percaya kepada Rasul
juga dapat menaati semua perintah atau peraturan yang telah ditetapkan atau
dibawa oleh beliau. Taat kepada Rasul sama denga taat kepada Allah.
Sebagaimana firman Allah QS. Al- ‘Imran:32 yang berbunyi:
َقُلْ َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوال َّرسُو َل فَِإ ْن تَ َولَّوْ ا فَِإ َّن هَّللا َ ال يُ ِحبُّ ْال َكافِ ِرين
7
Drs. Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 56
8
Musahadi HAM, Evolusi konsep sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm 82
hukum Islam dapat dilihat dari beberapa argumen Al-Qur’an,
ijma’ maupun argumen rasional.9
Beberapa implikasi pada perkembangan hukum Islam. Kosep
sunnah ternyata mengalami proses yang cukup panjang sebelum di
identikkan dengan istilah hadits. Proses tersebut disimpulkan dengan baik
oleh Fazlur Rahman sebagai berikut:
“that the sunnah-content left bythe prophet was not very large in
quantity and that it was not something meant tobe absolutely specific;
that the concept sunnah after the time of the propher himself but also the
interpretation of the prophetic sunnah; that the “sunnah” in this last
sense is co-extensive with the ijma’ of the community, which is essentially
an ever-expanding process;and finally; that after the mass-scale hadith
movement the organic relationship between the sunnah, ijtihad, and
ijma’ was destroyed”10
Artinya:
Bahwa kandungan sunnah yang bersumber dari Nabi tidak bayak jumlahnya
dan tidak dimaksudkan bersifat spesifik secara mutlak, bahwa konsep sunnah
setelah Nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah Nabi tetapi juga penafsiran-
penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut, bahwa sunnah dalam pengertian
terakhir ini sama luasnya dengan ijma’ yang pada dasarnya merupakan sebuah
proses yang semakin meluas secara terus-menerus, dan yang terkhir sekali bahwa
setelah gerakan pemurnian hadits besar-besaran, hubungan organis diantara
sunnah, ijtihad dan ijma’ menjadi rusak.
Ketika timbul gerakan hadits pada paruh kedua abad hijriyah sunnah
diekspresikan sebagai hadits, sehingga pada tahap berikutnya hadits identik
dengan sunnah. Namun jalaluddin Rahmat membantah bahwa yang pertama kali
beredar dikalangan umat Islam untuk menunjuk pada Nabi adalah hadits
bukanlah sunnah.
9
Musahadi HAM, Evolusi konsep sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm 84
10
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah. Semarang: CV. Aneka ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm 119
Kondisi kemudian berubah setelah dua khalifah mengadakan gerakan
“penghilangan” hadits yang kemudian melahirkan keenggangan para sahabat
menuliskan hadits. Ini mengakibatkan hilangnya sebagian besar hadits dan adanya
kesempatan untuk pealsuan hadits yang mengakibatkan merebaknya periwayatan
dalam makna (riwayat bi al ma’na). Dan karena orang hanya menerima hadits
lewat lisan, maka ketika menyampaikannyapun hanya menyampaikan maknanya,
sehingga dalam periwayatan hadits dapat berubah-ubah. Mengingat makna
redaksi hadits itu berkembang sesuai orang yang meriwayatkannya. Dan inilah
yang menimbulkan banyaknya perbedaan pendapat dalam penafsiran hadits.
Kemudian memunculkan ra’y atau oleh Rahman diidentifikasi sebagai sunnah.
yangmana orang lebih cenderung mencari petunjuk pada ra’y karena hilangnya
sejumlah hadits akibat perbedaan pendapat.
Ketika terjadi suasana yang tidak ada acuan universal, maka munculah
gerakan massif untuk membawa konsep sunnah kedalam konsep hadits. hadits -
hadits kemudian dihidupkan kembali, namun upaya ini mengalami kesulitan yang
besar menyangkut pengujian hadits yang dapat dipertanggungjawabkan
validitasnya yang kemudian dirumuskan kaidah-kaidah kesahihan hadits (‘ulum
al-hadits).
Dengan demikian jika ada pernyataan mengenai hadits nabi telah ada sejak
awal perkembangan Islam itu adalah sebuah kenyatan yang tidak dapat diragukan
lagi dan mematahkan pernyataan bahwa hadits adalah produk belakangan.
Perkembangan hadits berjalan pararel dengan praktek para sahabat dan umat.
Dalam hal ini hadits mengalami tahapan yang panjang sebelum ia ditetapkan
sebagai sentral keputusan hukum Islam. Memang dulu pada masa-masa awal
sunnah menjadi standar bagi manifestasi sunnah ideal Nabi, akan tetapi pada masa
al-Syafi’iy dan seterusnya haditslah yang kemudian menjadi manifestasi teladan
Nabi.
2. Macam-macam Ijtihad
a. Ijmak
Ijmak berarti menghimpun, mengumpulkan, atau bersatu dalam
pendapat, dengan kata lain ijmak merupakan consensus yang terjadi di
kalangan para mujtahid terhadap suatu masalah sepeninggal Rasulullah SAW.
11
Rois Mahfud, Sumber Ajaran Islam, Palangka raya: Erlangga, 2011, halaman 117-118.
Ahli ushul fikih mengemukakan bahwa ijmak adalah kesepatan para mujtahid
kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW terhadap
suatu hukum syariat mengenai suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa
yang memerlukan ketentuan hukum yang tidak ditemukan dalam kedua
sumber sebelumnya (Al-Quran dan sunnah) maka para mujtahid
mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu peristiwa dan jika disetujui
atau disepakati oleh para mujtahid lain, kesepakatan itulah yang disebut
ijmak.
Ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam yang memiliki posisi
kuat dalm menetapkan hukum dari suatu peristiwa. Bahkan telah diakui luas
sebagai sumber hukum yang menempati posisi ketiga dalam hukum Islam.
Sejumlah ayat dan hadits nabi menjadi pembenaran teologis kekuatan ijmak
sebagai sumber hukum dalam Islam. Pemberian warisan kepada nenek laki-
laki (jadd) ketika ia berkumpul dengan laki-laki orang yang meninggal dunia
yang dalam keadaan seperti ini nenek laki-laki tersebut menggantikan ayah
(orang yang meninggal) untuk menerima seperenam dari harta warisan atau
harta peninggalannya merupakan contoh penetapan hukum berdasarkan ijmak
sahabat.
Dalam transaksi jual beli, misalnya istishna’ atau pemesanan barang yang
baru akan dibuat yang seharusnya tidak boleh,karena dinilai sama seperti
halnya membeli barang yang tidak ada, merupakan contoh hukum yang
bersumber dari hasil ijmak sahabat (Hanafi, 1995: 61) Penggunaan ijmak
sebagai sumber hukum dalam menetapkan hukum suatu peristiwa secara
historis terjadi pasca wafatnya Nabi SAW. Selama beliau hidup, setiap
peristiwa yang muncul selalu diminta untuk ditetapkan hukumnya sehingga
tidak mungkin terjadi perlawanan hukum terhadap suatu masalah. Ijmak yang
memiliki kehujahan sebagai sumber hukum didasarkan pada sejumlah
argumentasi teologis terutama ayat 59 surah An-nisa’ yang didalamnya
terdapat anjuran untuk taat pada ulil amri setelah taat pada Allah SWT dan
Rosul-Nya. Ulil amri dalam ayat tersebut dipahami sebagai pemegang urusan
dalam arti luas mencakup urusan dunia ( seperti kepala Negara, menteri,
legislative, dan lain-lain) dan pemegang urusan agama seperti para mujtahid,
mufti, dan ulama. Karena itu, apabila ulil amri telah sepakat dalam status
hukum suatu urusan maka wajib ditaati, diikuti, dan dilaksanakan
sebagaimana mentaati, mengikuti, dan melaksanakan perintah Allah SWT dan
Rosul-Nya dalam (QS. An-nisa’ [4] : 83 ):
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang
keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan,
kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (QS. An-nisa’ 4: 83)
b. Qiyas
Secara harfiah berarti analogi atau mengumpamakan. Adapun
menurut pengertian para ahli fikih, qiyas adalah menetapkan hukum tentang
sesuatu yang belum ada nash atau dalilnya yang tegas, dengan sesuatu hukum
yang sudah ada nash atau dalilnya yang didasarkan atas persamaan illat antara
keduanya. Misalnya, menetapkan haramnya minuman bir yang tidak ada
dalilnya dalam Al-Qur’an dengan khamar yang ada hukumnya di dalam Al-
Quran. Menyamakan atau menganalogikan bir dengan khamar ini didasarkan
pada adanya persamaan illat antara keduanya, yaitu memabukkan.
c. Al-mashlahat al-mursalah
Secara harfiah berarti sesuatu yang membawa kebaikan bagi orang
banyak. Adapun menurut para ahli hukum Islam, Al-mashlahat al-mursalah
adalah sesuatu yang didalamnya mengandung kebaikan bagi masyarakat,
sehingga walaupun pada masa lalu hal tersebut tidak diberlakukan, namun
dalam keadaan masyarakat yang sudah makin berkembang, keadaan tersebut
dianggap perlu dilakukan. Misalnya, pembukuan Al-quran dalam bentuk
mushaf seperti yang ada sekarang perlu dilakukan, mengingat jumlah para
penghafal Al-Quran makin sedikit karena meninggal dunia, serta pertentangan
dalam membaca Al-Quran sering terjadi.
d. U’rf
Secara harfiah berarti sesuatu yang berlaku atau yang sudah
dibiasakan. Adapun menurut para ahli hukum Islam, ‘urf adalah sesuatu yang
berlaku dimasyarakat atau tradisi yang mengandung nilai-nilai kebaikan bagi
masyarakat. Contonya kebiasaan merayakan hari raya yang pada zaman
sebelum Islam, namun dinilai mengandung kebaikan, maka tetap dilanjutkan.
e. Istihsan
Secara harfiah berarti memandang sesuatu sebagai yang baik.
Menurut Islam, istihsan artinya segala sesuatu yang dipandang manusia pada
umumnya sebagai hal yang baik, dan tidak bertentangan dengan al-Quran dan
sunnah. Penggunaan istihsan ini antara lain didasarkan pada sabda Rasulullah
SAW : Artrinya : “segala sesuatu yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai
sesuatu yang baik, maka yang demikian itu disisi Allah dipandang sebagai hal
yang baik.”
f. Qaul al-shahabat
Secara harfiah berarti ucapan sahabat. Dalam pengertian umum,
Qaul al-shahabat adalah pendapat, pandangan, pikiran, dan perbuatan para
sahabat yang sejalan denganAl-Quran dan sunnah. Penggunaan Qaul al-
shahabat sebagai dasar hukum, mengingat para sahabat selain sebagai orang
yang dekat, bergaul dan ikut berjuang dengan Rasulullah SAW, juga memang
memiliki pemikiran, gagasan, dan karya-karya yang layak untuk dijadikan
bahan renungan dan pertimbangan dalam mengembangkan ajaran Islam pada
masa selanjutnya.
12
Abuddin Nata, Studi Islam komperehensif, Jakarta: Kencana , 2011. Halaman 43-45
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd Az-‘azhim, Az-Zarqani Muhammad. Manhil al-‘irfan, Dar al-Fikr, Bairut, t.t, jilid I
hlm 106.
Amin, Muhammad Suma. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali, 2013
Didik ahmad supadi dan sarjuni, Pengantar studi Islam, Semarang: Rajawali Pers, 2011
Mahfud, Rois. Al-Islam PendidikanAgama Islam, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011
Muhaimin, dkk. Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, Jakarta: kencana,
2012
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI,
2000
Uhbiyati, Nur. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013