Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

SUMBER-SUMBER
AJARAN ISLAM

Dipresentasikan dalam Mata Kuliah


Pengantar Studi Islam
yang diampu oleh: M. Rikza Chamami, MSI

Ahmad Maulidin 133711016


Fiki himmatul Aliyah 133711017
Ranum saputri 133711018
Luthfiyatu dzikriyah 133711020
Aliefa sana 133711021
Aliefa sana 133711021

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
TAHUN 2013
I. PENDAHULUAN
Islam berkembang sangat pesat ke seluruh penjuru dunia dengan kecepatan yang
menakjubkan, yang sangat menarik dan perlu diketahui bahwa Dinul Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW adalah suatu agama yang sekaligus menjadi pandangan atau
pedoman hidup. Banyak sumber-sumber ajaran Islam yang digunakan mulai zaman
muncul pertama kalinya Islam pada masa rasulullah sampai pada zaman modern sekarang
ini. Sumber-sumber yang berasal dari agama Islam merupakan sumber ajaran yang sudah
dibuktikan kebenarannya yaitu bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia, sumber-
sumber ajaran Islam merupakan sumber ajaran yang sangat luas dalam mengatasi berbagai
permasalahan seperti bidang akhidah, sosial, ekonomi, sains, teknologi dan sebagainya.
Islam sangat mendukung umatnya untuk mempelajari ilmu pengetahuan, terutama
yang bersumber dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an, Sunah, Ijma’, Qiyas dan juga
ijtihad. Begitu sempurna dan lengkapnya sumber-sumber ajaran Islam. Namun
permasalahan disini adalah banyak umat Islam yang belum mengetahui betapa luas dan
lengkapnya sumber-sumber ajaran Islam guna mendukung umat Islam untuk maju dalam
bidang pengetahuan.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja sumber-sumber ajaran Islam?
2. Bagaimana Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam?
3. Bagaimana Hadits sebagai sumber hukum kedua ajaran Islam?
4. Bagaimana Ijtihad sebagai sumber hukum ajaran Islam setelah Al-Qur’an dan
Hadits?

III. PEMBAHASAN
A. Macam-macam sumber ajaran Islam
Sumber adalah tempat pengambilan, rujukan atau acuan dalam penyelenggaraan
ajaran Islam, karena itulah sumber memiliki peranan yang sangat penting bagi
pelaksanaan ajaran Islam. Dari sumber inilah umat Islam dapat memiliki pedoman-
pedoman tertentu untuk melaksanakan proses ajaran Islam, tanpa adanya suatu sumber
maka umat Islam akan terombang-ambing dalam menghadapi ideologi dan bisa jadi
akan berahir pada kesesatan atau kenistaan.[1]
Dalam pembahasan disini akan diuraikan macam-macam sumber ajaran Islam
yang diantaranya meliputi:
1. Al-Quran
2. Sunah
3. Ijtihad
B. Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam
1. Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi Al-Qur’an berasal dari kata “qara’a, yaqra’u, qira’atan,
qur’anan” yang berarti mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf serta kata-
kata dari satu bagian ke bagian lain secara teratur.[2] Ada juga sumber lain
mengatakan bahwa Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan sempurna”
merupakan suatu nama pilihan Allah yng sungguh tepat, karena tiada satu
bacaanpun sejak anusia mengenl baca tulis yang dapat menandingi Al-Qur’an al-
Karim, secara terminologi Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan Tuhan
kepada Nabi Muhammad SAW. Yang diampaikan lewat malaikat jibril, yang
dikomunikasikan dengn bahasa arab, harus dipercayai tanpa syarat dan menjadi
pedoman bagi para pengikutnya yaitu umat Islam diseluruh dunia.[3]
Pengertian Al-Qur’an dari segi terminologinya dapat dipahami dari
pandangan beberapa ulama, bahwa:
a. Muhammad Salim Muhsin dalam bukunya “Tarikh Al-Qur’an al-Karim”
menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada
nabi Muhammad SAW. Yang ditulis dalam mushaf-mushf dan dinukilkan/
diriwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir dan membacanya dipandang
ibadah serta sebagai penentang (bagi yang tidak percaya) ataupun surat
terpendek.
b. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan Al-Qur’an sebagai firman Allah SWT
yang diturunkan melalui Roh al-Amin (Jibril) kepada nabi Muhammad SAW.
Dengan bahasa arab, isinya dijamin kebenarannya, dan sebagai hujah
kerasulannya, undang-undang bagi seluruh manusia dan petunjuk dalam
beribadah serta dipandang ibadah dalam membacanya, yang terhimpun dalam
mushaf yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri surat an-Nas, yang
diriwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir.
c. Muhammad abduh mendefinisikan Al-Qur’an sbagai kalam mulia yang
diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi yang paling smpurna (Muhammad
SAW) ajarannya mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan, ia merupakan
SAW) ajarannya mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan, ia merupakan
sumber yang mulia yang esensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang yang
berjiwa suci daan berakal cerdas.
2. Asbabun nuzul Al-Qur’an
a. Pengertian asbabun nuzul
Ungkapan asbabun nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata asbab dan
nuzul. Secara etimologi, asbabun nuzul adalah sebab-sebab yang
MAKALAH SUMBER-SUMBER
melatarbelakangi terjadinya …
sesuatu. Namun kata asbabun nuzul hanya
dipergunakan khusus untuk Al-Qur’an. Para ulama berpendapat bahwa ketika
memaknai kata nuzul, inzal, dan tanzil yang terdapat pada ayat Al-Qur’an, ada
yang memaknai idhar yaitu melahirkan Al-Qur’an. Ada juga yang memanai
bahwa Allah SWT mengajarkannya kepada malaikat jibril baik megenai
bacaannya maupun pemahamannya lalu jibril menyampaikannya kepada nabi
Muhammad SAW yang ada di bumi.
Menurut az-zarqani asbabun nuzul adalah khusus atau sesuatu yang terjadi
serta ada hubungannya dengan turunnya Al-Qur’an sebagai penjelas hukum
pada saat peristiwa itu terjadi.[4]
b. Urgensi Asbabun Nuzul
Mayoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejarahan yang terakumulasi
dalam riwayat-riwayat asbabun nuzul merupakan suatu hal yang signifikan
untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an. Bahkan al-wahidi menyatakan
ketidakmungkinan untuk menginterpretasikan Al-Qur’an tanpa
mempertimbangkan aspek kisah dan asbabun nuzul.
Dalam uraian yang lebih rinci, Az-Zarqani mengemukakan urgensi asbabun
nuzul dalam memahami Al-Qur’an sebagai berikut:
1) Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam
menangkap pesan-pesan ayat Al-Qur’an.
2) Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
3) Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an, bagi
ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang
bersifat khusus dan bukan lafazh yang bersifat umum.
4) Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun.
5) Memudahkan untuk menghafalkan dan memahami ayat serta untuk
memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya
Taufiq Adnan Amal dan Syamsul Rizal panggabean menyatakan bahwa
pemahaman terhadap konteks kesejarahn pra-qur’an dan pada masa Al-Qur’an
menjanjikan beberapa manfaat praktis, yaitu
1) Pemahaman
Edit dengan apl Dokumen itu memudahkan kita mengidentifikasi gejala-gejala moral
dan sosial pada
Membuat penyesuaian, masyarakat
memberi komentar,Arab
dan saat itu, sikap Al-Qur’an terhadapnya,
dan sosial pada
Membuat penyesuaian, masyarakat
memberi komentar,Arab
dan saat itu, sikap Al-Qur’an terhadapnya,
berbagi dengan
dan yang
cara lain agar dapat
Al-Qur’an mengedit atau mentransformasi gejala itu hingga
memodifikasi
secara bersamaan.
sejalan dengan pandangan dunia Al-Qur’an.
2) Kesemuanya ini dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam
LAIN KALI DAPATKAN APLIKASI
mengidentifikasi dan menangani problem-problem yang mereka hadapi.
3) Pemahaman tentang konteks kesejarahan pra-qur’an dan masa qur’an
dapat menghindarkan kita dari praktik-praktik pemaksaan prakonsep dalam
penafsiran.
c. Macam-macam asbabun nuzul
1) Dilihat dari segi sudut pandang redaksi-redaksi yang dipergunakan
dalam riwayat asbabun nuzul. Ada dua jenis redaksi yang dipergunakan
oleh perawi dalam mengungkapkan riwayat asbabun nuzul yaitu:
➢ Sharih (visionable/jelas). Artinya riwayat yang sudah jelas menunjukkan
asbabun nuzul dan tidak mungkin pula menunjukkan yang lainnya. Contoh
riwayat asbabun nuzul yang menggunakan redaksi sharih adalah sebuah
riwayat yang diawakan oleh Jabir bahwa orang-orang yahudi berkata,
“apabila suami mendatangi “qubul” istrinya dari belakang, anaknya yang
lahir akan juling”. Maka turunlah ayat

‫نساءكم حرث ئكم فأ تو حر ثكم انّى شئتم‬


Artinya: “istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok
tanam maka datangilah tanah bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu
hendaki.” (Q.S Al-Baqarah : 223)
➢ Muhtamilah (kemungkinan). Artinya riwayat yang belum jelas
menunjukkan asbabun nuzul dan masih memungkinkan pula
menunjukkan arti lain.
2) Dilihat dari sudut pandang berbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat
atau berbilangnya ayat untuk asbabun nuzul.
a) Berbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat
Pada kenyataannya tidak setiap ayat memiliki riwayat asbabun nuzul
dalam satu versi. Ada kalanya satu ayat memiliki beberapa versi
riwayat asbabun nuzul. Bentuk variasi itu terkadang dalam redaksinya
dan terkadang pula dalam kualitasnya. Untuk mengatasi variasi riwayat
asbabu nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi, para ulama’
mengemukakan cara-cara berikut.
➢ Tidak mempermasalahkannya
➢ Mengambil versi riwayat asbabun nuzul yang menggunakan
sharih
➢ Melakukan studi selektif (tarjih)
➢ Melakukan studi selektif (tarjih)
b) Variasi ayat untuk satu sebab
Terkadang suatu kejadian menjadi sebab bagi turunnya dua ayat atau
lebih.
d. Tahapan turunnya Al-Qur’an
Turunnya Al-Qur’an merupakan peristiwa besar yang sekaligus
menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan bumi. Turunnya Al-
Qur’an yang pertama kali pada malam lailatul qadar merupakan pemberitahuan
kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan
nabi Muhammad SAW dan umatnya dengan risalah baru agar menjadi umat
paling baik yang dikeluarkan bagi manusia. Allah menurunkan kepada manusia
melalui 3 tahap yaitu:
1) Al-Qur’an diturunkan Allah dari Lauhul Mahfudz
Al-arqani tidak menyinggung lebih jauh tentang kapan penurunan
Al-Qur’an di Lauhul Mahfudz ini. Beliau hanya menyatakan tidak ada
yang tahu persis kapan Al-Qur’an diturunkan di Lauhul Mahfudz kecuali
Allah sendiri.
2) Dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izza
Yaitu langit yang pertama yang tampak ketika dilihat di dunia ini
namun tidak diketahui letak persisnya. Adapun jumlahnya adalah
semuanya pada waktu Lailatul Qadr. Namun tanggalnya tidak diketahui,
dan pada bulan Ramadhan.
Al-Qurtubi telah menukil dari Muqtil bin Hayyan riwayat tentang
kesepakatan bahwa turunnya Al-Qur’an sekaligus dari Lauhul Mahfudz ke
Baitul ‘Izza di langit di dunia. Sebetulnya tidak hanya Al-Qur’an saja yang
diturunkan pada bulan Ramadhan, tetapi ada juga
a) Taurat : 6 Ramadhan
b) Suhuf Ibrahim : 1 Ramadhan
c) Injil : 13 Ramadhan
d) Zabur : 12 Ramadhan
3) Dari Baitul ‘Izza ke Rasulullah
Tahapan ketiga atau yang terakhir adalah Al-Qur’an diturunkan dari
Baitul ‘Izza kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara malaikat
jibril. Penurunannya tidak secara langsung sekaligus, namun diangsur-
angsur selama dua puluh tiga tahun berdasarkan kebutuhan, peristiwa atau
bahkan melalui permintaan malaikat jibril. Adapun kitab-kitab lain seperti
tauraut, zabur dan injil diturunkan oleh Allah SWT dengan cara sekaligus
tidak secara berangsur-angsur.[5]
3. Isi dan pesan-pesan Al-Qur’an
3. Isi dan pesan-pesan Al-Qur’an
Alqur’an diturunkan kepada nabi Muhammad kurang lebih selama 23
tahun, dalam dua fase yaitu 13 tahun pada fase sebelum beliau hijrah ke Madinah
(Makiyah) dan 10 tahun pada fase sesudah hijrah ke Madinah (Madaniyah). Isi Al-
Qur’an terdiri dari 114 surat, 6236 ayat, 74437 kalimat, dan 325345 huruf.
Proporsi masing-masing fase tersebuut adalah 86 surat untuk ayat-ayat Makiyah
dan 28 surat untuk ayat-ayat Madaniyah.
Dari keseluruhan isi Al-Qur’an itu, pada dasarnya mengandung pesan-pesa
sebagai berikut; masalah tauhid, termasuk didalamnya masalah kepercayaaan pada
yang gaib; masalah ibadah, yaitu egiatan-kegiatan dan perbuatan-perbuatan yang
mewujudkan dan menghidupkan didalam hati dan jiwa; masalah janji dan
ancaman yaitu janji dengan balasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan
sebaliknya ancaman siksa bagi mereka yang berbuat jahat; jalan menuju
kebahagiaan dunia akhirat, berupa ketentuan-ketentuan yang hendaknya dipenuhi
untuk mencapai keridhaan Allah SWT; riwayat dan cerita, yaitu sejarah orang-
orang terdahulu baik sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh maupun Nabi dan Rosul.
Selanjutnya Abdul Wahab Khalaf lebih memerinci pokok-pokok
kandungan Al-Qur’an ke dalam 3 ktegori, yaitu:
a. Masalah kepercayaan (I’tiqadiyah), yang berhubungan dengan rukun iman
kepada Allah, malaikat, kitabullah, rasulullah, hari kebangkitan dan taqdir.
b. Masalah etika (khuluqiyah) berkaitan dengan hal-hal yang dijadikan perhisan
bagi seseorang untuk berbuat keutamaan dan meninggalkan kehinaan.
c. Masalah perbuatan dan ucapan (‘amaliyah) yang terbagi dalam dua macam
yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah berkaitan dengan rukun Islam, nazar,
sumpah dan ibadah-ibadah yang lain yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah SWT. Mu’amalah berkaitan dengan akad, pembelanjaan, hukuman, jual-
beli dan lainnnya yang mengtur hubungan manusia dengan sesama.
Ada dua segi pembahasan isi/kandungan Al-Qur’an, yaitu dimensi keagamaan
dan dimensi keilmuan.
a. Dimensi keagamaan
Al-Qur’an memberikan petunjuk dalam kaitannya dengan persoalan-
persoalan. Pertama, akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia, yang
tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian
adanya hari pembalasan; kedua, mengenai syariat dan hukum,dengan jalan
menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam
hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya; ketiga, mengenai akhlak yang murni,
dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti
oleh manusia dalam kehidupannya baik secara individual maupun kolektif
Menurut Prof. Dr. Mahmud Syaltut dalam “al-Islam wa al-syariah” bahwa
Menurut Prof. Dr. Mahmud Syaltut dalam “al-Islam wa al-syariah” bahwa
Al-Qur’an mengandung berbagai persoalan-persoalan :
1) Akidah yang wajib dimani.
2) Budi pekerti yang dapat membersihkan jiwa, membentukpribadi dan
masyarakat yang baik
3) Petunjuk dan bimbingan untuk menyelidiki dan mentadaburi tentang rahasia-
rahasia langit dan bumi.
4) Peringatan dan ancaman
5) Hukum-hukum yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Sedangkan menurut Masyfuk Zuhdi bahwa isi atau kandungan ajaran Al-
Qur’an pada hakekatnya mengandung lima prinsip, yaitu:
1) Tauhid
Sekalipun Nabi Adam AS sebagai manusia pertama dan Nabi pertama
adalah seorang monotheisme/muwahhid dan mengajarkan tauhid kepada
turunannya, namun kenyataannya tidak sedikit manusia keturunannya itu yang
menyimpang dari ajaran tauhid. Untuk meluruskan kepercayaan mereka yang
menyimpang dari Tuhan dan untuk membimbing mereka ke arah yang lurus dan
diridlai Tuhan, maka diutuslah para Nabi/Rasul secara silih berganti mulai Nabi
Adam sampai Nabi Muhammad sebagai nabi penutup.
Sebelum kelahiran Nabi Muhammad (pra Islam), keadaan manusia pada
umumnya telah menyimpang dari ajaran tauhid dan ajaran-ajaranlainnya dari
para nabi dan rasul sebelumnya, sekalipun sebagian mereka ada pula yang masih
mengaku percaya pada keesaan Tuhan, tetapi sebenarnya tauhidnya sudah tidak
murni lagi. Sebab Tuhan dianggap tidak tunggal sepenuhnya, melainkan ia
terdiri dari beberapa oknum, misalanya doktrin tri murti atau trinitas dari agama
Hindu dan Kristen.
2) Janji dan ancaman tuhan
Tuhan menjanjikan kepada setiap orang yang beriman dan selalu mengikuti
semua petunjuk-Nya akan mendapatkan kebahagiaan hidupnya di dunia dan di
akhirat. Sebaliknya Tuhan akan mengancam kepada siapa saja yang ingkar
kepada tuhan dan memusuhi nabi/rasul-Nya serta melanggar perintah-perintah
dan larangan-laranga-Nya, akan mendapat kesengsaraan hidup di dunia maupun
akhirat.
3) Ibadah
Tujuan hidup manusia didunia ini adalah untuk meribaddah kepada
Tuhan.pengertian ibadah menurut Islam adalah cukup luas,sebab tidak hanya
berbatas padaslat,puasa, haji dan semacamnya. Tetapi semua aktifitas yang
dilakukan manusia denga motivasi niat yang baik seprti untuk mencari ridlo
Allah, semuanya dipandang ibadah.
Ibadah bagi manusia adalah berfungsi sebagai manifestasi manusia
bersyukur kepada tuhan pencipta atas segala nikmat dan karunia. Dan juga
berfungsi sebagai relisasi dan konsekwensi manusia atas kepercayaannya
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4) Jalan dan cara mencapai kebahagiaan
Setiap orang yang breagama pasti bercita-cita ingin mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat. Untuk bisa mencapai cita-citanya,
Tuhan dalam Al-Qur’an memberikan petunjuk-petunjuk-Nya bahwa manusia
harus menempuh jalan yang lurus dengan cara menghayati dan mematuhi segala
aturan agam yang ditetapkan Allah dan rasul-Nya.
5) Cerita-cerita/sejarah-sejarah umat manusia sebelum Nabi Muhammad SAW
Didalam Al-Qur’an terdapat cerita-cerita tentang para nabi dan umatnya
masing-masing. Cerita-cerita tersebut diungkapkan kembali didalam al-quran
dengan maksud agar dijadikan pelajaran bagi manusia sekarang tentang
bagiamna nasib manusia yang taat kepada tuhan. Disamping itu juga sebagai
hiburan bagi Nabi Muhamad dan umat Islam pada permulaan Islam, agar nabi
dan sahabat-sahabatnya tetap berteguh hati , tidak berkecil hati dalam
menghadapi segala macam hambatan-hambatan dan tantangan-tantangan yang
sama bahkan yang lebih.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa pada hakikatnya Al-Qur’an
adalah kitab keagamaan, dan bukan suatu kitab atau ensiklopedi ilmu
pengetahuan yang ddidlamnya membahas atau berisitentang teori-teori ilmiah.
b. Dimensi keilmuan
Al-Qur’an adalah sumber segala pelajaran dan pengetahuan, didalamnya
pembicaraan-pembicaraan dan kandungan isinya tidak semata-mata terbatas pada
bidang-bidang keagamaan, ia meliputi berbagai aspek hidup dan kehidupan
manusia.
Menurut Dr. Muhammad Ijazul Khatib dari Universitas Damaskus, tak ada
yang lebih menekankan pentingnya sains dari pada kenyataan bahwa: berbeda
dengan bagian legislatif yang hanya 250 ayat saja, sedangkan 750 ayat Al-Qur’an –
hampir seperdelapannya- menegur orang-orang mukmin untuk mempelajari alam
semesta, untuk berfikir, untuk menggunakan penalaran yang sebaik-baiknya, untuk
menjadikan kegiatan ilmiah ini sebagai bagian dari kehidupan umat.
Sekarang banyak ditemukan orang yang mencoba menafsirkan beberapa
ayat Al-Qur’andalam sorotan ilmiah modern. Dengan tujuan untuk menunjukkan
mu’jizat Al-Qur’an dalam lapangan keilmuan untuk meyakinkan orang-orang non-
muslim akan keagungan dan keunikan Al-Qur’an, dan untuk menjadikan kaum
muslimin bangga memiliki kitab seperti itu.
Pandangan mengenai Al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan bukanlah
merupakan sesuatu yang baru, karena banyak ulama besar kaum muslimin yang
berpandangan demikian.
berpandangan demikian.
Dari keterangan diatas, para ulama berkeyakinan bahwa Al-Qur’an
merupakan kitab petunjuk bagi kemajuan manusia, dan mencakup apa yang
diperlukan manusia dalam wilayah iman dan amal. Al-Quran juga mengandung
rujukan-rujukan pada sebagian fenomena alam.
4. Fungsi dan tujuan Al-Qur’an
Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam merupakan kumpulan firman Allah yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung petunjuk-petunjuk bagi
umat manusia. Menurut Dr. M. Quraish Shihab dalam “wawasan Al-Qur’an
menyebutkan delapan tujuan diturunkannya Al-Qur’an:
a. Untuk menbersihkan dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik serta
mementapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi tuhan semesta alam.
b. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa umat
manusia merupakan umat yang seharusnya dapat bekerja sama dalam pengapdian
kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
c. Untuk menciptakan perstuan dan kesatuan.
d. Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
e. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit dan
penderitaan hidup,serta pemerasan manusia atas manusia dalam bidang sosial,
ekonomi, politik, dan juga agama.
f. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang.
g. Untuk memberikan jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan
falsafah kolektif komunisme, menciptakan ummatan wasathan yang menyeru
kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
h. Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan suatu
peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia dengan panduan dan panduan Nur
Ilahi.
Berikut adalah fungsi al-quran menurut nama-namanya:
a. Al-huda (petunjuk). Dalam al-quran terdapat 3 kategori tentang posisi al-quran
sebagai petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum. Kedua, al-quran
adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Ketiga, petunjuk bagi orang-orang
beriman.
b. Al-furqan (pemisah). Dalam al-quran dikatakan bahwa ia adalah ugeran untuk
membedakan dan bahkan memisahkan antara yang hak dan batil.
c. Asy-syifa (obat). Al-quran dikatakan berfungsi sebagai obat bagi penyakit-
penyakit dalam dada. Yang dimaksud penyakit dalam dada adalah penyakit-penyakit
psikologis.
d. Al-mauizhah (nasihat). Al-quran berfungsi sebagai nasihat orang-orang yang
bertakwa.
C. Hadits sebagai sumber hukum Islam
Umat Islam telah sepakat bahwa hadits merupakan sumber hukum kedua setelah
Al-Qur’an. Dan tidak boleh seorang muslim hanya mencukupkan diri dengan salah
satu dari kedua sumber Islam tersebut. Al-Qur’an dan hadits merupakan dua sumber
hukum Islam yang tetap. Umat Islam tidak mungkin dapat memahami tentang syari’at
Islam dengan benar sesuai dengan tanpa Al-Qur’an dan Hadits. Banyak dari ayat Al-
Qur’an yang menerangkan bahwa hadits merupakan sumber hukum Islam selain Al-
Qur’an yang wajib diikuti. Baik itu dalam hal perintah ataupun larangan. Al-Syatibiy
dalam kaitan ini mengajukan tiga argumen. Pertama, sunnah merupakan penjabaran
dari Al-Qur’an. Secara rasional, sunnah sebagai penjabaran (bayan) harus menempati
posisi lebih rendah dari yang dijabarkan (mubayyan) yakni Al-Qur’an. Apabila Al-
Qur’an sebagai mubayyan tidak ada, maka hadits sebagai bayyan tidak diperlukan.
Akan tetapi jika tidak ada bayyan, maka mubayyan tidak hilang. Kedua, Al-Qur’an
bersifat qat’iy al-subut, sedangkan sunnah bersifat zanniy al-subut. Ketiga, secara
tekstual terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan kedudukan sunnah setelah Al-
Qur’an seprti hadits yang sangat populer mengenai pengutusan Mu’az Ibn Jabal
menjadi hakim di Yaman. Semuanya menunjuka subordinasi sunnah sebagai dalil
terhadap Al-Qur’an[6].
Berikut uraian sedikit tentang kedudukan hadits sebagai sumber hukum
Islam:
1. Dalil Al-Qur’an
Banyak dari ayat Al-Qur’an yangmenerangkan tentang kewajiban untuk
dapat mempercayai dan menerima apa saja yang telah disampaikan oleh Rasul
kepada umat beliau untuk dijadikan sebuah pedoman hidup. Seperti ayat:

Selain Allah SWT memerintahkan agar umatnya percaya kepada Rasul


juga dapat menaati semua perintah atau peraturan yang telah ditetapkan atau
dibawa oleh beliau. Taat kepada Rasul sama denga taat kepada Allah.
Sebagaimana firman Allah QS. Al- ‘Imran:32 yang berbunyi:

ِ ‫ب ا ْل َك‬ ِ ُ‫ ي‬A َBC‫ن ا‬B ‫ل ْوا فَ ِإ‬B ‫ول فَ ِإ ْن تَ َو‬ ِ


‫اف ِري َن‬ = ‫ح‬ َ ‫س‬ B ‫َ َو‬BC‫ُق ْل أَطي ُعوا ا‬
ُ ‫الر‬

Artinya: “"Katakanlah: 'Taatilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu


berpaling, maka sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang kafir'." – (QS.
Al- ‘Imran 3:32)
Dari banyaknya ayat Al-Qur’an ini membuktikan bahwa dimana setiap ada
perintah taat kepada Allah, pasti ada perintah taat kepada Rasul. Demikian pula
mengenai ancaman. Ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan dalam
mengenai ancaman. Ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan dalam
penetapan untuk taat kepada semua yang diperintah Rasulullah SAW.
2. Dalil al-hadits
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW. Berkenaan dengan keharusan
menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, disamping Al-Qur;an sebagai pedoman
utamanya, beliau bersabda:

Masih banyak lagi hadits-hadits yang menerangkan tentang pedoman hidup


maupunpenetapan hukum. Hadits-hadits tersebut menunjukkan terhadap kita
bahwa berpegang teguh kepada hadits sebagai pedoman hidup iitu wajib,
sebagaimana wajib pada Al-Qur’an.
3. Kesepakatan ulama (ijma’)
Banyak peristiwa yang menunjukan adanya kesepakatan menggunakan
hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain:
a. Ketika abu bakar di baiat menjadi kholifah, ia pernahberkata “saya tidak
meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh
Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
b. Saat umar berada di hajar aswad ia berkata: “saya tahu bahwa engkau adalah
batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan
menciummu”.
c. Diceritakan dari Sa’i bin Musayyab bahwa ‘usman bin ‘affan berkata: ”saya
duduk sebagaimana duduknya Rasulullah, saya makan sebagaimana makannya
Rasulullah dan saya sholat sebagaimana Sholatnya Rasulullah[7]
Untuk mengukuhkan validitas sunnah sebagai otoritatif hukum Islam. Al-
syafi’i mengajukan analisis terhadap kata al-hikmah dalam Al-Qur’an. Dalam
banyak Al-Qur’an, kata tersebut selalu bergandengan dengan kata al-kitab (Al-
Qur’an)[8].
Namun al-syafi’i menyimpulkan bahwa yang dimaksud al-kitab adalah Al-
Qur’an, sedangkan yang dimaksud al-hikmah adalah sunnah atau al-hadits. Dalam
sejarah tercatat, ada sekelompok kecil umat Islam yang menolak adanya sunnah
atau hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam. Dikenal sebagai inkar al-
sunnah dan munkir al-sunnah. Adanya kelompok tersebut diketahui melalui tulisan
al-syafi’i yang dikelompokkan dalam tiga golongan:
a. Golongan yang menolak sunnah secara keseluruhan
b. Golongan yang menolak sunnah kecuali jika sunnah itu memiliki kesamaan
denga petunjuk Al-Qur’an
c. Golngan yang menolak sunnah yang berstatus ahad[9]
Hadits atau sunnah sebagai sumber hukum Islam tidak hanya untuk kaitannya
Hadits atau sunnah sebagai sumber hukum Islam tidak hanya untuk kaitannya
dalam hal iadah, akan tetapi juga dalam masalah masyarakat sosial. Eksistensi
sunnah atau hadits dapat sumber hukum Islam dapat dilihat dari beberapa argumen
Al-Qur’an, ijma’ maupun argumen rasional.
Beberapa implikasi pada perkembangan hukum Islam. Kosep sunnah
ternyata mengalami proses yang cukup panjang sebelum di identikkan dengan
istilah hadits. Proses tersebut disimpulkan dengan baik oleh Fazlur Rahman
sebagai berikut:
“that the sunnah-content left bythe prophet was not very large in quantity and
that it was not something meant tobe absolutely specific; that the concept sunnah
after the time of the propher himself but also the interpretation of the prophetic
sunnah; that the “sunnah” in this last sense is co-extensive with the ijma’ of the
community, which is essentially an ever-expanding process;and finally; that after
the mass-scale hadith movement the organic relationship between the sunnah,
ijtihad, and ijma’ was destroyed”[10]
Artinya:
Bahwa kandungan sunnah yang bersumber dari Nabi tidak bayak jumlahnya
dan tidak dimaksudkan bersifat spesifik secara mutlak, bahwa konsep sunnah
setelah Nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah Nabi tetapi juga penafsiran-
penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut, bahwa sunnah dalam pengertian terakhir
ini sama luasnya dengan ijma’ yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang
semakin meluas secara terus-menerus, dan yang terkhir sekali bahwa setelah
gerakan pemurnian hadits besar-besaran, hubungan organis diantara sunnah, ijtihad
dan ijma’ menjadi rusak.
Ketika timbul gerakan hadits pada paruh kedua abad hijriyah sunnah
diekspresikan sebagai hadits, sehingga pada tahap berikutnya hadits identik dengan
sunnah. Namun jalaluddin Rahmat membantah bahwa yang pertama kali beredar
dikalangan umat Islam untuk menunjuk pada Nabi adalah hadits bukanlah sunnah.
Kondisi kemudian berubah setelah dua khalifah mengadakan gerakan
“penghilangan” hadits yang kemudian melahirkan keenggangan para sahabat
menuliskan hadits. Ini mengakibatkan hilangnya sebagian besar hadits dan adanya
kesempatan untuk pealsuan hadits yang mengakibatkan merebaknya periwayatan
dalam makna (riwayat bi al ma’na). Dan karena orang hanya menerima hadits
lewat lisan, maka ketika menyampaikannyapun hanya menyampaikan maknanya,
sehingga dalam periwayatan hadits dapat berubah-ubah. Mengingat makna redaksi
hadits itu berkembang sesuai orang yang meriwayatkannya. Dan inilah yang
menimbulkan banyaknya perbedaan pendapat dalam penafsiran hadits. Kemudian
memunculkan ra’y atau oleh Rahman diidentifikasi sebagai sunnah. yangmana
orang lebih cenderung mencari petunjuk pada ra’y karena hilangnya sejumlah
hadits akibat perbedaan pendapat.
Ketika terjadi suasana yang tidak ada acuan universal, maka munculah gerakan
massif untuk membawa konsep sunnah kedalam konsep hadits. hadits -hadits
kemudian dihidupkan kembali, namun upaya ini mengalami kesulitan yang besar
menyangkut pengujian hadits yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya
yang kemudian dirumuskan kaidah-kaidah kesahihan hadits (‘ulum al-hadits).
Dengan demikian jika ada pernyataan mengenai hadits nabi telah ada sejak
awal perkembangan Islam itu adalah sebuah kenyatan yang tidak dapat diragukan
lagi dan mematahkan pernyataan bahwa hadits adalah produk belakangan.
Perkembangan hadits berjalan pararel dengan praktek para sahabat dan umat.
Dalam hal ini hadits mengalami tahapan yang panjang sebelum ia ditetapkan
sebagai sentral keputusan hukum Islam. Memang dulu pada masa-masa awal
sunnah menjadi standar bagi manifestasi sunnah ideal Nabi, akan tetapi pada masa
al-Syafi’iy dan seterusnya haditslah yang kemudian menjadi manifestasi teladan
Nabi.
D. Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an dan Hadits
1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad memiliki arti kesungguhan, yaitu mengerjakan sesuatu dengan
segala kesungguhan. Ijtihad dari sudut istilah berarti menggunakan seluruh potensi
nalar secara maksimal dan optimal untuk meng-istinbath suatu hukum agama yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok ulama yang memenuhi persyaratan
tertentu, pada waktu tertentu untuk merumuskan kepastian hukum mengenai suatu
perkara yang tidak ada status hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunnah dengan tetap
berpedoman pada dua sumber utama.
Dengan demikian, ijtihad bukan berarti penalaran bebas dalam menggali
hukum satu peristiwa yang dilakukan oleh mujtahid, melainkan tetap berdasar pada
Al-Qur’an dan sunnah. Walaupun ijtihad diperbolehkan untuk dilakukan oleh
mujtahid (orang yang berijtihad) yang memenuhi syarat, namun tidak berarti
bahwa ijtihad dapat dilakukan dalam semua bidang. Ijtihad memiliki ruang lingkup
tertentu.
Syaikh Muhammad Salut, misalnya membagi lingkup ijtihad ke dalam dua
bagian:
a. Permasalahan yang tidak ada atau tidak jelas ketentuan hukumnya dalam Al-
Qur’an atau hadist Nabi.
b. Ayat-ayat Al-Qur’an tertentu dan hadis tertentu tidak begitu jelas maksudnya
yang mungkin disebabkan oleh makna yang dikandung lebih dari satu sehingga
perlu ditentukan dengan jalan ijtihad untuk mengetahui makna-makna yang
perlu ditentukan dengan jalan ijtihad untuk mengetahui makna-makna yang
sesungguhnya yang dimaksud.[11]
2. Macam-macam Ijtihad
a. Ijmak.
Ijmak berarti menghimpun, mengumpulkan, atau bersatu dalam pendapat,
dengan kata lain ijmak merupakan consensus yang terjadi di kalangan para
mujtahid terhadap suatu masalah sepeninggal Rasulullah SAW. Ahli ushul fikih
mengemukakan bahwa ijmak adalah kesepatan para mujtahid kaum muslimin
dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syariat
mengenai suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa yang memerlukan
ketentuan hukum yang tidak ditemukan dalam kedua sumber sebelumnya (Al-
Quran dan sunnah) maka para mujtahid mengemukakan pendapatnya tentang
hukum suatu peristiwa dan jika disetujui atau disepakati oleh para mujtahid
lain, kesepakatan itulah yang disebut ijmak.
Ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam yang memiliki posisi
kuat dalm menetapkan hukum dari suatu peristiwa. Bahkan telah diakui luas
sebagai sumber hukum yang menempati posisi ketiga dalam hukum Islam.
Sejumlah ayat dan hadits nabi menjadi pembenaran teologis kekuatan ijmak
sebagai sumber hukum dalam Islam. Pemberian warisan kepada nenek laki-laki
(jadd) ketika ia berkumpul dengan laki-laki orang yang meninggal dunia yang
dalam keadaan seperti ini nenek laki-laki tersebut menggantikan ayah (orang
yang meninggal) untuk menerima seperenam dari harta warisan atau harta
peninggalannya merupakan contoh penetapan hukum berdasarkan ijmak
sahabat.
Dalam transaksi jual beli, misalnya istishna’ atau pemesanan barang yang
baru akan dibuat yang seharusnya tidak boleh,karena dinilai sama seperti
halnya membeli barang yang tidak ada, merupakan contoh hukum yang
bersumber dari hasil ijmak sahabat (Hanafi, 1995: 61) Penggunaan ijmak
sebagai sumber hukum dalam menetapkan hukum suatu peristiwa secara
historis terjadi pasca wafatnya Nabi SAW. Selama beliau hidup, setiap
peristiwa yang muncul selalu diminta untuk ditetapkan hukumnya sehingga
tidak mungkin terjadi perlawanan hukum terhadap suatu masalah. Ijmak yang
memiliki kehujahan sebagai sumber hukum didasarkan pada sejumlah
argumentasi teologis terutama ayat 59 surah An-nisa’ yang didalamnya terdapat
anjuran untuk taat pada ulil amri setelah taat pada Allah SWT dan Rosul-Nya.
Ulil amri dalam ayat tersebut dipahami sebagai pemegang urusan dalam arti
luas mencakup urusan dunia ( seperti kepala Negara, menteri, legislative, dan
lain-lain) dan pemegang urusan agama seperti para mujtahid, mufti, dan ulama.
Karena itu, apabila ulil amri telah sepakat dalam status hukum suatu urusan
Karena itu, apabila ulil amri telah sepakat dalam status hukum suatu urusan
maka wajib ditaati, diikuti, dan dilaksanakan sebagaimana mentaati, mengikuti,
dan melaksanakan perintah Allah SWT dan Rosul-Nya dalam (QS. An-nisa’ [4]
: 83 ):
‫ ْم ِر ِمن ْ ُه ْم‬RA‫ول َو إِ َلى أ ُ ْولِى ا‬ ِ ِ َ ‫ ْم ِن أ َ ِو ا ْل‬RA‫َو إِذَا َجآ َء ُه ْم أ َ ْمر ]م َن ا‬
ِ ‫س‬ B ‫خ ْوف أَذَا ُعوا ْ ِبه َو َل ْو َر =دو ُه إِ َلى‬
ُ ‫الر‬ ٌ
ِ
‫َل َعل َم ُه‬
B ‫بَ ْعت ُ ُم‬B‫َت‬A ‫ل ِه َع َليْ ُك ْم َو َر ْح َمت ُ ُه‬B ‫ض ُل ال‬
BAِ‫الشيْطَـ َن إ‬ ْ َ‫َ ف‬A‫ستَن ْ ِبطُونَ ُه ِمن ْ ُه ْم َو َل ْو‬
ْ َ‫ل ِذي َن ي‬B ‫ا‬
ًk‫َقلِي‬
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang
keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan,
kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (QS. An-nisa’ 4: 83)
Argumentasi yang kedua yang dijadikan pembenaran kehujahan ijmak
sebagai sumber hukum Islam adalah sejumlah hadis Nabi SAW yang
menjelaskan terpeliharanya umat Islam dari bersepakat membuat kesalahan
dan kesesatan separti hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu Majah, yang
mengatakan : “umatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan.” Hal ini
berarti bahwa kesepakatan yang telah dicapai oeh para mujtahid memiliki
kehujahan yang kuat sebagai sumber hukum dalam Islam dan wajib diikuti
oleh umat Islam pada umumnya.
b. Qiyas
Secara harfiah berarti analogi atau mengumpamakan. Adapun menurut
pengertian para ahli fikih, qiyas adalah menetapkan hukum tentang sesuatu
yang belum ada nash atau dalilnya yang tegas, dengan sesuatu hukum yang
sudah ada nash atau dalilnya yang didasarkan atas persamaan illat antara
keduanya. Misalnya, menetapkan haramnya minuman bir yang tidak ada
dalilnya dalam Al-Qur’an dengan khamar yang ada hukumnya di dalam Al-
Quran. Menyamakan atau menganalogikan bir dengan khamar ini didasarkan
pada adanya persamaan illat antara keduanya, yaitu memabukkan.
c. Al-mashlahat al-mursalah
Secara harfiah berarti sesuatu yang membawa kebaikan bagi orang banyak.
Adapun menurut para ahli hukum Islam, Al-mashlahat al-mursalah adalah
sesuatu yang didalamnya mengandung kebaikan bagi masyarakat, sehingga
walaupun pada masa lalu hal tersebut tidak diberlakukan, namun dalam
keadaan masyarakat yang sudah makin berkembang, keadaan tersebut
dianggap perlu dilakukan. Misalnya, pembukuan Al-quran dalam bentuk
dianggap perlu dilakukan. Misalnya, pembukuan Al-quran dalam bentuk
mushaf seperti yang ada sekarang perlu dilakukan, mengingat jumlah para
penghafal Al-Quran makin sedikit karena meninggal dunia, serta pertentangan
dalam membaca Al-Quran sering terjadi.
d. ‘Urf
Secara harfiah berarti sesuatu yang berlaku atau yang sudah dibiasakan.
Adapun menurut para ahli hukum Islam, ‘urf adalah sesuatu yang berlaku
dimasyarakat atau tradisi yang mengandung nilai-nilai kebaikan bagi
masyarakat. Contonya kebiasaan merayakan hari raya yang pada zaman
sebelum Islam, namun dinilai mengandung kebaikan, maka tetap dilanjutkan.
e. Istihsan
Secara harfiah berarti memandang sesuatu sebagai yang baik. Menurut
Islam, istihsan artinya segala sesuatu yang dipandang manusia pada umumnya
sebagai hal yang baik, dan tidak bertentangan dengan al-Quran dan sunnah.
Penggunaan istihsan ini antara lain didasarkan pada sabda Rasulullah SAW :
Artrinya : “segala sesuatu yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai sesuatu
yang baik, maka yang demikian itu disisi Allah dipandang sebagai hal yang
baik.”
f. Qaul al-shahabat
Secara harfiah berarti ucapan sahabat. Dalam pengertian umum, Qaul al-
shahabat adalah pendapat, pandangan, pikiran, dan perbuatan para sahabat
yang sejalan denganAl-Quran dan sunnah. Penggunaan Qaul al-shahabat
sebagai dasar hukum, mengingat para sahabat selain sebagai orang yang dekat,
bergaul dan ikut berjuang dengan Rasulullah SAW, juga memang memiliki
pemikiran, gagasan, dan karya-karya yang layak untuk dijadikan bahan
renungan dan pertimbangan dalam mengembangkan ajaran Islam pada masa
selanjutnya.
g. Syar’un man qablana
Secara harfiah berarti agama sebelum kita. Dalam pengertian yang lazim,
Syar’un man qablana adlah ajaran yang terdapat didalam agama yang
diturunkan Tuhan sebelum Islam yang terdapat di dalam kitab Zabur, Taurat,
Injil yang masih asli yang tidak bertentangan dan masih sesuai dengan
kebutuhan zaman. Di dalam kitab Taurat yang ditinggalkan Nabi Musa
misalnya terdapat ajaran mengesakan Tuhan, larangan menyekutukan-Nya,
memuliakan kedua orang tua, memiliki kepedulian terhadap kerabat, orang
miskin, ibnu sabil, bersikap boros, membunuh anak, berbuat zina, memakan
harta anak yatim, mengurangi timbangan, menjadi saksi palsu, dan larangan
bersikap sombong. Ajaran yang dibawa Nabi Musa ini terus dilanjutkan oleh
Nabi Muhammad SAW, sebagaimana terdapat dalam QS. Bani Israil (17) ayat
Nabi Muhammad SAW, sebagaimana terdapat dalam QS. Bani Israil (17) ayat
23 sampai dengan ayat 37. Ajaran yang pernah berlaku pada zaman Nabi Musa
itu, masih tetap diberlakukan dimasa sekarang, karena masih dianggap cocok
dan dibutuhkan untuk zaman sekarang dan yang akan datang. [12]

IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sumber ajaran islam ada
tiga macam, yaitu Al-qur’an, hadits dan ijtihad. Al-qur’n sebagai sumber hukum
Islam yang pertama yaitu Al-qu’an berisi tentang semua kehidupan yang ada di alam,
perintah, akidah dan kepercayaan, akhlak yang murni, mengenai syari’at dan hukum
dan sebagai petunjuk umat Islam. Sedangkan Hadits itu sebagai sumber ajaran islam
karena dalam Dalil al-qur’an mengajarkan kita untuk mempercayai dan menerima apa
yang telah disampaikan oleh Rasul untu dijadikan sebagai pedoman hidup. Selain itu
dalam hadits juga terdapat pertnyataan bahwa berpedoman pada hadits itu wajib,
bahkan juga terdapat dalam salah satu pesan Rasulullah berkenaan menjadikan hadist
sebagai pedoman hidup setelah Al-qur’an sebagai sumber yang pertama. Ijtihad
sebagai sumber ajaran karena melalui konsep ijtihad, setiap peristiwa baru akan
didapatkan ketentuan hukumnya Dari pemaparan makalah kami tersebut kita tahu
bahwa sumber ajaran islam sangat penting sebagai pedoman hidup, untuk itu
hendaknya apabila kita melenceng dari salah satu sumber ajaran tersebut, maka akan
menjadikan hal yang fatal.

V. Daftar Pustaka
‘Abd Az-‘azhim, Az-Zarqani Muhammad. Manhil al-‘irfan, Dar al-Fikr, Bairut, t.t, jilid I
hlm 106.

Amin, Muhammad Suma. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali, 2013


Didik ahmad supadi dan sarjuni, Pengantar studi Islam, Semarang: Rajawali Pers, 2011
Mahfud, Rois. Al-Islam PendidikanAgama Islam, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011

Muhaimin, dkk. Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, Jakarta: kencana,
2012
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI,
2000
Nata, Abuddin. Studi Islam komperehensif, Jakarta: Kencana 2011

Suparta, Munzier. Ilmu Hadits, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Uhbiyati, Nur. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013
VI. BIODATA PEMAKALAH
1. Nama : Ahmad Maulidin
NIM : 133711016
Jurusan/Prodi : Tadris Kimia
TTL : Kendal, 13 Agustus 1994
Tempat Tugas : Kampus 2 IAIN Walisongo Semarang
Pendidikan saat ini : S-1 IAIN Walisongo Semarang
Alamat : Jambearum 2/1 patebon, Kendal, 51251
No.Hp : 085726829670
2. Nama : Fiki Himmatul Aliyah
NIM : 133711017
Jurusan/Prodi : Tadris Kimia
TTL : Pekalongan 18 maret 1995
Tempat Tugas : Kampus 2 IAIN Walisongo Semarang
Pendidikan saat ini : S-1 IAIN Walisongo Semarang
Alamat : Kebonrejopucang, Karangdadap, Pekalongan
No.Hp : 085642907450
Email : fikihimmatul_aliyah@yahoo.com
Twetter : @fikihimatul_A
3. Nama : Ranum Saputri
NIM : 13371018
Jurusan/Prodi : Tadris Kimia
TTL : Grobogan, 20 Mei 1995
Tempat Tugas : Kampus 2 IAIN Walisongo Semarang
Pendidikan saat ini : S-1 IAIN Walisongo Semarang
Alamat : Rt/0 Rw/4 Gubug, Grobogan, Jateng
No.Hp : 085713075419
Email : ranum.saputri@gmail.com
Twetter : @ranum_saputri
Twetter : @ranum_saputri
4. Nama : Luthfiyatu dzikriyah
NIM : 133711020
Jurusan/Prodi : Tadris Kimia
TTL : Keendal, 19 April 1996
Tempat Tugas : Kampus 2 IAIN Walisongo Semarang
Pendidikan saat ini : S-1 IAIN Walisongo Semarang
Alamat : Bulak 2/III Rowosari, Kendal
No.Hp : 085641869641
Email : luthfiyatu.dzikriyah@gmail.com
Twetter : @dzikri_luthfi
5. Nama : Aliefa Sana
NIM : 133711021
Jurusan/Prodi : Tadris Kimia
TTL : Semarang, 19 Febuari 1995
Tempat Tugas : Kampus 2 IAIN Walisongo Semarang
Pendidikan saat ini : S-1 IAIN Walisongo Semarang
Alamat : tugu rejo A7 Rt/ 04 Rw 01, Semarang, Jateng
No.Hp : 085727676807
Email : sana.aliefa@yahoo.com
Twetter : @efa_sana

[1] Nur Uhbiyati, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013, halaman 25

[2] Muhaimin, dkk. Studi Islam dalam ragam dimensi dan pendekatan, Jakarta: kencana, 2012, halaman 81

[3]Didik ahmad supadi dan sarjuni, Pengantar studi Islam, Semarang: Rajawali Pers, 2011 halaman 169

[4] Muhammad ‘abd az-‘azhim az-zarqani, Manhil al-‘irfan, Dar al-Fikr, Bairut, t.t, jilid I hlm 106.

[5] Muhammad Amin Suma. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali, 2013 halaman

[6] Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang: CV. Aneka ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm 80

[7] Drs. Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 56

[8] Musahadi HAM, Evolusi konsep sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm 82

[9] Musahadi HAM, Evolusi konsep sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm 84

[10] Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah. Semarang: CV. Aneka ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm 119

[11] Rois Mahfud, Sumber Ajaran Islam, Palangka raya: Erlangga, 2011, halaman 117-118.
[12] Abuddin Nata, Studi Islam komperehensif, Jakarta: Kencana , 2011. Halaman 43-45

Anda mungkin juga menyukai