Anda di halaman 1dari 59

BAB I

ULUMUL QUR’AN dan RUANG LINGKUPNYA

A. Pengertian ‘Ulumul Qur’an

Kata Ulumul Qur‟an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “Ulum”
dan “Al-Qur‟an”. Kata ulum adalah bentuk jamak dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu.
Kata ulum yang disandarkan pada kata Al-Qur‟an telah memberikan pengertian bahwa ilmu
ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur‟an, baik dari segi
keberadaanya sebagai Al-Qur‟an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang
terkandung di dalamnya.

Adapun definisi „Ulum Al-Qur‟an secara istilah, para ulama memberikan redaksi
yang berbeda – beda, sebagaimana dijelaskan berikut ini :

1. Menurut Manna „Al-Qaththan

“Ilmu yang mencangkup pembahasan – pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur‟an dari
sisi informasi tentang asbab an-nuzul (sebab-sebab turunnya Al-Qur‟an), kodifikasi dan tertib
penulisan Al-Qur‟an, ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah dan ayat-ayat yang diturunkan di
Madinah, dan hal-hal yang lain yang berkaitan dengan Al-Qur‟an.”

2. Menurut Az-Zarqani

“Beberapa pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur‟an, dari sisi turun, urutan penulisan,
kodifikasi, cara membaca, kemukjizatan, nasikh, munsukh, dan penolakan hal-hal yang bisa
menimbulkan keraguan terhadapnya, serta hal-hal lain.”

3. Menurut Abu Syahbah

“Sebuah ilmu yang memiliki banyak objek pembahasan yang berhubungan dengan Al-
Qur‟an, mulai proses penurunan, urutan penulisan, penulisan, kodifikasi, cara membaca,
penafsiran, kemukjizatan, nasikh-mansukh, muhkan-mutasyabih, sampai pembahasan-
pembahasan lain.”
Walaupun dengan redaksi yang sedikit berbeda, ketiga definisi di atas memiliki
maksud yang sama. Sehingga ketiga ulama tersebut sepakat bahwa „Ulumul Qur‟an adalah
sejumlah pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur‟an.

B. Ruang Lingkup Pembahasan ‘Ulumul Al-Qur’an

Berkenan dengan persoalan ini, M. Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa ruang


lingkup pembahasan Ulumul Qur‟an terdiri atas enam hal pokok berikut ini :
a. Persoalan turunnya Al-Qur’an (Nuzul Al-Qur’an)

1. Waktu dan tempat turunnyaAl-Qur‟an


2. Sebab-sebab turunnya Al-Qur‟an
3. Sejarah turunnya Al-Qur‟an

b. Persoalan Sanad (Rangkaian para Periwayat)

1. Riwayat mutawatir
2. Riwayat ahad
3. Riwayad syadz
4. Macam-macam qira‟at Nabi
5. Para perawi dan penghafal Al-Qur‟an
6. Cara-cara penyebaran riwayat

c. Persoalan Qira’at (Cara pembacaan Al-Qur’an)


1. Cara berhenti (waqaf)
2. Cara memulai (ibtida‟)
3. Imalah
4. Bacaan yang dipanjangkan (madd)
5. Meringankan bacaan hamzah
6. Memasukkan bunyi huruf yang sukun kepada bunyi sesudahnya (idgham)
d. Persoalan kata-kata Al-Qur’ an
1. Kata-kata Al-Qur‟an yang asing (gharib)
2. Kata-kata Al-Qur‟an yang berubah-rubah harakat akhirnya (mu‟rab)
3. Kata-kata Al-Qur‟an yang mempunyai makna serupa (hononim)
4. Padanan kata-kata Al-Qur‟an (sinonim)
5. Isti‟arah
6. Penyerupaan (tasybih)

e. Persoalan makna-makna Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum


1. Makna umum yang tetap pada keumumannya
2. Makna umum yang dimaksudkan makna khusus
3. Makna umum yang maknanya dikhususkkan sunnah
4. Nash
5. Makna lahir
6. Makna global
7. Makna yang diperinci
8. Makna yang ditunjukkan oleh konteks pembicaraan
9. Nash yang petunjuknya tidak melahirkan keraguan
10. Nash yang muskil ditafsirkan karena terdapat kesamaran di dalamnya
11. Nash yang maknanya tersembunyi karena suatu sebab yang terdapat pada kata itu
sendiri
12. Ayat yang “menghapus” dan “dihapus” (nasikh-mansukh)
13. Yang didahulukan (muqaddam)
14. Yang diakhirkan (mu‟akhir)

f. Persoalan makna Al-Qur’an yang berpautan dengan kata-kata Al-Qur’an


1. Berpisah
2. Bersambung
3. Uraian singkat
4. Uraian seimbang
5. Pendek
C. Cabang – Cabang (Pokok Bahasan) ‘Ulumul Al- Qur’an

Ada sekitar 17 ilmu yang terkandung di dalam Al-Qur‟an, antara lain:

1. Ilmu Mawathin al-Nuzul


Ilmu ini menerangkan tempat-tempat turunnya ayat, masanya, awalnya, dan akhirnya.
2. Ilmu Tawarikh al-Nuzul
Ilmu ini menjelaskan masa turunnya ayat dan urutan turunnya satu per satu, dari
permulaan sampai akhirnya serta urutan turun surah dengan sempurna.
3. Ilmu Asbab al-Nuzul
Ilmu ini menerangkan sebab-sebab turunnya suatu ayat.
4. Ilmu Qira‟at
Ilmu ini menerangkan bentuk-bentuk bacaan Al-Qur‟an yang telah diterima dari Rasul
saw. Ada sepuluh qira‟at yang sah dan beberapa macam pula yang tidak sah.
5. Ilmu Tajwid
Ilmu ini menerangkan cara membaca Al-Qur‟an dengan baik. Ilmu ini menerangkan
dimana tempat memulai, berhenti, bacaan panjang dan pendek, dsb.
6. Ilmu Gharib Al-Qur‟an
Menerangkan makna kata-kata ganjil dan tidak terdapat dalam kamus-kamus bahasa
Arab yang biasa atau tidak terdapat dalam percakapan sehari-hari yang berrati ilmu ini
membahas makna kata-kata yang pelik dan tinggi.
7. Ilmu I‟rab Al-Qur‟an
Menjelaskan baris kata-kata Al-Qur‟an dan kedudukannya dalam susunan kalimat.
8. Ilmu Wujuh wa al-Nazair
Ilmu ini menerangkan kata-kata Al-Qur‟an yang mengandung banyak arti dan
menerangkan makna yang dimaksud pada tempat tertentu.
9. Ilmu Ma‟rifah al-Muhkam wa al-Mutasyabih
Ilmu ini menjelaskan ayat-ayat yang dipandang muhkam (jelas maknanya) dan yang
mutasyabihat (samar maknanya, perlu ditakwil).
10. Ilmu Nasikh wa al-Mansukh
Ilmu ini menerangkan ayat-ayat yang dianggap mansukh (yang dihapuskan) oleh
sebagian mufassir.
11. Ilmu Bada‟i Al-Qur‟an
Ilmu ini bertujuan menampilkan keindahan-keindahan Al-Qur‟an dari sudut
kesusastraan, keanehan-keanehan, dan ketinggian balaghahnya.
12. Ilmu I‟jaz Al-Qur‟an
Ilmu ini menerangkan kekuatan susunan dan kandungan ayat-ayat Al-Qur‟an
sehingga dapat membungkam para sastrawan Arab.
13. Ilmu Tanasub Ayat Al-Qur‟an
Ilmu ini menerangkan persesuaian dan keserasian antara suatu ayat dan ayat yang
didepan dan yang dibelakangnya.
14. Ilmu Aqsam Al-Qur‟an
Ilmu ini menerangkan arti dan maksud-maksud sumpah Tuhan yang terdapat dalam
Al-Qur‟an.
15. Ilmu Amtsal Al-Qur‟an
Ilmu ini menerangkan maksud perumpamaan-perumpamaan yang dikemukakan
Al-Qur‟an.
16. Ilmu Jidal Al-Qur‟an
Membahas bentuk-bentuk dan cara-cara debat dan bantahan Al-Qur‟an yang
dihadapkan kepada kaum musyrik yang tidak bersedia menerima kebenaran Al-
Qur‟an.
17. Ilmu Adab Tilawah Al-Qur‟an
Memaparkan tata cara dan kesopanan yang harus diikuti ketika membaca Al-Qur‟an.
BAB II

SEJARAH NUZULUL QUR’AN

1. Pengertian Nuzulul al-Qur’an


Kata nuzulul al-qur‟an adalah gabungan dua kata, yang dalam bahasa Arab susunan
semacam ini disebut dengan istilah Tarkib Idhofi, dan dalam bahasa indonesia biasa diartikan
dengan turunnya al-qur‟an. Dalam bahasa Arab, kata ”nazala” dapat berarti; meluncur dari
tempat tinggi ke tempat yang rendah”. Nuzul, juga secara etimologi dapat berarti singgah
atau tiba di tempat tertentu. Makna nuzul dalam pengertian yang disebut terakhir ini dalam
kebiasaan orang arab menurut „abdul „azhim al-zarqony sebagai makna hakiki.

Dr. Ahmad al-Sayyid al-Kumi dan Dr. Muhammad Ahmad Yusuf al-Qosim
mengemukakan: setidak-tidaknya, ada lima makna nuzul yaitu, dua diantaranya yang telah
disebutkan di atas, sedangkan dua makna lainnya yang berarti: “tertib, teratur” dan kata yang
berarti “perkumpulan”. Kemudian yang terakhir kata: nuzul juga dapat berarti “turun secara
berangsur-angsur dan terkadang sekaligus”

Pengertian nuzul al-qur‟an bukanlah tergambar dalam wujud perpindahan atau


turunnya al-qur‟an dari atas ke bawah, tetapi haruslah di pahami bahwa segenap penghuni
langit dan bumi telah di „i‟lamkan (diberitahukan) oleh allah mengenai al-qur‟an dengan
segala aspeknya. Dengan demikian, bila kata nuzul dita‟wilkan dengan kata i‟lam, maka akan
hilang image tentang interpretasi nuzul dalam arti “perpindahan sesuatu dari atas ke bawah”.
Sebab pemberitahuan allah mengenai apapun pada siapa saja tidak terikat oleh arah tertentu
atau tempat tertentu. Karena bila allah hendak mengi‟lamkan (memberitahuakan) firman-Nya
tidak harus dari atas, sebab allah tidak mempunyai tempat tertentu sebagaiman makhluk-Nya
.
Atas dasar itulah, pena‟wilan kata nuzul dengan kata i‟lam, demikian al-zarqony,
adalah lebih relevan dengan kedudukan dan eksistensi serta didasarkan pada beberapa alasan
sebagai berikut:
1. Sesuatu yang pasti bahwa al-qur‟an ialah kalam Allah, karean itu kalam Allah
tersebut sangat terkait dengan dalalah dan pemahaman. Dengan demikian pena‟wilan
terhadap kata nuzul dengan arti i‟lam berarti kembali pada suatu yang telah diketahui
dan dipahami dari apa yang terkait tadi (dalalah dan pemahaman).
2. Bahwa yang dimaksud dengan al-qur‟an berada di lauh al-mahfuzh dan di langit dunia
(bait al-„izzah) serta di dalam hati Nabi s.a.w, juga dalam arti bahwasannya al-qur‟an
itu telah dii‟lamkan oleh Allah kepada makhluk-Nya di bumi sesuai dengan kehendak
Allah, sebagai petunjuk bagi manusia untuk mencapai kebenaran.
3. Bahwa ditafsirkan lafal inzal, nuzul dengan lafal i‟lam dalam konteks ini, hanyalah
tertuju kepada al-qur‟an dengan segala yang dikandungnya.

2. Sejarah Nuzulul al-Qur’an

Al-qur‟an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi muhammad lewat
perantara malaikat Jibril. Wahyu yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad
adalah pada saat beliau berkholwat di Gua Hiro‟. Beliau di datangi malaikat Jibril dan
menyuruhnya membaca, Nabipun sangat takut dan bergemetar lalu berkata “Saya tidak bisa
membaca” karena Nabi adalah ummy (buta huruf). Tapi Jibril dengan sabar mengajari beliau,
dan itulah wahyu yang pertama kali turun yaitu surat al-„Alaq ayat 1-5

Al-qur‟an diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan yang sering di peringati umat


muslim sebagai hari Nuzulul Qur‟an. Sesuai dengan firman Allah surat al-Baqoroh ayat 183.
Adapula yang mengemukakan bahwa al-qur‟an turun pada malam-malam ganjil sepuluh hari
pada bulan ramadhan (lailatul qodar) karena berpegang pada firman Allah surat al-Qodar ayat
1-2. Ada banyak cara Allah menyampaikan wahyu pada Nabi dan Rasul-Nya. Diantaranya;

1. Wahyu turun tanpa perantara.


a. Melalui mimpi yang benar. Misalnya ketika turun wahyu surat al-Kautsar ayat
1-3.
b. Allah berbicara langsung dari balik hijab, contonya wahyu yang diterima Nabi
Muhammad saat Isro‟ Mi‟roj tentang perintah sholat lima waktu.
2. Wahyu turun melalui perantara malikat.
a. Jibril menampakkan wajahnya atau bentuknya yang asli. Seperti saat Nabi
Muhammad menerima wahyu yang pertama yaitu surat al-„alaq ayat 1-5.
b. Jibril menyamar seperti seorang laki-laki yang berjubah putih. Misalnya ketika
Nabi menerima wahyu tentang iman, islam, ihsan, dan tanda-tanda hari
kiamat.
c. Wahyu datang seperti gemerincing lonceng.

Sebagaimana dimaklumi, bahwa Allah menurunkan al-Qur‟an kepada Rasul-Nya


melalui “Amin al-Wahyi” (Jibril a.s). sementara itu para ulama berbeda pendapat mengenai
turunnya wahyu tersebut sebelum disampaikan kepada Rasul pilihan-Nya itu.

Pendapat-pendapat dimaksud Ialah:


a. Pendapat pertama mengatakan bahwa al-Qur‟an itu diturunkan melalui tiga tahap.
Tahap pertama: al-Qur‟an diturumkan Allah ke lauh al-mahfuzh secara sekaligus
dalam arti, bahwa Allah menetapkan keberadaannya di sana, sebagimana halnya dia
menetapkan adanya segala sesuatu sesuai denagn kehendak-Nya, tetapi kapan saatnya serta
bagaiman caranya tidak seorangpun mengetahui kecuali Allah, sesuai dengan firman-
Nya,dalam Qur‟an surat Al-Buruj ayat 21-22 Yang artinya:
“Bahkan (yang didustakan mereka itu ), ialah al-Qur‟an yang mulia yang (tersimpan) di lauh
al-Mahfuzh.‟‟

Tahap kedua: al-qur‟an diturunkan dari lauh al-mahfuzh ke bait al-„izzah yang
berada di langit dunia. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 185
yang artinya:
“Bulan ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-qur‟an sebagi petunjuk bagi
manusia, dan memberikan penelasan-penjelasan mengenai petunjuk tersebut serta sebagai
pembeda antara yang hak dan yang batil.”

Dan dalam surat ad-Dukhan ayat 3 yang artinya:


“Sesungguhnya kami telah menurunkan al-qur‟an pada suatu malam yang diberkati, dan
sesungguhnya kamilah yang memberi peringatan.”
Dan juga firman-Nya dalam surat al-qadar ayat 1 yang artinya:“Sesungguhnya kami telah
turunkan al-qur‟an pada malam kemuliaan (lailah al-qadar)”

Tahap ketiga: al-qu‟an diturunkan dari bait al-„izzah (langit dunia) dengan perantara
Jibril as. kepada Rasul s.a.w untuk pertama kalinya pada tanggal 17 bulan ramadhan, dan
berlanjut secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Pendapat tersebut dianut
oleh para jumhur „ulama. Mereka mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan turunnya al-
qur‟an pada ketiga ayat diatas ialah turunnya secara keseluruhan sekaligus, bukan berangsur-
angsur. Sebab ayat-ayat tersebut bukan berbicara tentang permulaan turunnya al-qur‟an. Oleh
karena itu, jumhur „ulama sepakat untuk mengambil makna lahirnya ayat, tanpa
mena‟wilkannya, dalam kaitan ini setidak-tidaknya ada tiga hadis yang dijadikan sebagi
pegangan untuk memperkuat pendapatnya itu dalam menginterpretasikan makna ayat-ayat
tersebut.

Hadis-hadis dimaksud ialah:


1. Hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanadnya sendiri, dari Sa‟id bin
Jubair dari Ibnu „Abbas ia mengatakan:
“al-Qur‟an dipisahkan (dibedakan) dari al-Dzikr, mula-mula diletakkan (diturunkan) ke bait
al-„Izzah yang berada di langit dunia, kemudian jibril membawanya (menyampaikannya)
kepada Nabi s.a.w”
2. Hadis yang diriwayatkan oleh al-Nasa‟i dan al-Hakim serta al-Baihaqi melalui jalur
daud bin Abi Hind, dari „ikrimah, dari ibnu abbas, ia menyatakan:
“al-Qur‟an diturunkan secara sekaligus ke langit dunia pada malam qadar, kemudian
diturunkan (kepada Rasulallah s.a.w) selama kurang lebih dua puluh tahun. ”selanjutnya ibnu
abbas membacakan “: dan al-Qur‟an itu telah kami turunkan secara berangsur-angsur agar
kamu membacanya secara perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian
demi bagian. Q.S. (17): 106. Dan (tidaklah orang-orang kafir itu) datang kepadamu
(membawa sesuatu yang ganjil), melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar
dan paling baik penjelasannya. Q.S. (25):33
3. Hadis yang diriwayatkan oleh al-hakim dari baihaqi serta lainnya dari jalur
manshur, dari Sa‟id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, ia berkata:
“al-Qur‟an diturunkan secara seksligus ke langit dunia, sebelumnya( al-Qur‟an berada) “di
tempat” bintang-bintang, kemudian Allah menurunkannya kepada Rasul-Nya bagian demi
bagian. ”
b. Pendapat kedua mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan turunnya al-Qur‟an
dalam ketiga ayat diatas adalah, permulaan turunnya al-qur‟an langsung dari Allah melalui
malaikat Jibril kepada Rasulallah s.a.w pada malam qadar, kemudian berlanjut secara
berangsur-angsur sesuai dengan kejadian dan peristiwa dalam berbagai masa dan waktu,
selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Dengan demikian menurut pendapat ini al-qur‟an
tidak diturunkan secara sekaligus ke lauh al-mahfuzh dan ke langit dunia sebelum
disampaikan Jibril kepada Rasulullah s.a.w.

b. Pendapat ketiga mengatakan bahwa al-qur‟an diturunkan ke langit dunia selama


dua puluh atau dua puluh tiga atau dua puluh lima kali malam Lailatul Qadar. Pada setiap
malam qadar telah ditentukan ukuran turunnya untuk setiap tahun. Setelah itu, baru
diturunkan kepada Nabi secara beragsur-angsur sepanjang tahun yang telah ditentukan tadi
sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Pendapat ini adalah hasil dari ijtihad dari sebagian
mufasir, namu tidak disertai dengan argumen.

c. Pendapat keempat mengatakan, bahwa al-quran diturunkan dari lauh al-mahfuzh


secara sekaligus, kemudian jibril a.s menghafalkan secara berangsur-angsur selama dua puluh
malam setelah itu, jibril menyampaikan kepada rasul s.a.w dengan cara berangsu-angsur
selama kurang lebih dua puluh tahun.
BAB III
ILMU QIRA’AT

1. Pengertian Qiraat
Menurut bahasa, qira‟at (‫ )قزاءاث‬adalah bentuk jamak dari qira‟ah (‫ )قزاءة‬yang
merupakan isim masdar dari qaraa (‫)قزأ‬, yang artinya : bacaan

Pengertian qira‟at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan
makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan diberikan dua
pengertian qira‟at menurut istilah.

Qira‟at menurut al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik


menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif,
tasydid dan lain-lain.

Dari pengertian di atas, tampaknya al-Zarkasyi hanya terbatas pada lafal-lafal al-Qur'an
yang memiliki perbedaan qira‟at saja. Ia tidak menjelaskan bagaimana perbedaan qira‟at itu
dapat terjadi dan bagaimana pula cara mendapatkan qira‟at itu. Ada pengertian lain tentang
qira‟at yang lebih luas daripada pengertian dari al-Zarkasyi di atas, yaitu pengertian qira‟at
menurut pendapat al-Zarqani. Al-Zarqani memberikan pengertian qira‟at sebagai : “Suatu
mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra‟ yang berbeda dengan yang
lainnya dalam pengucapan al-Qur‟an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq
darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.”

Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci
tersebut adalah qira‟at, riwayat dan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan pengetian dan
perbedaan antara qira‟at dengan riwayat dan tariqah, sebagai berikut :

Qira‟at adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra‟ yang
tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira‟at Nafi‟, qira‟at Ibn Kasir, qira‟at Ya‟qub dan
lain sebagainya.
Sedangkan Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari
para qurra‟ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi‟ mempunyai dua orang
perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun „anNafi‟ atau riwayat
Warsy „an Nafi‟.

Adapun yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang
yang mengambil qira‟at dari periwayat qurra‟ yang tujuh, sepuluh atau empat belas.
Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq
al-Azraq „an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan
qira‟at Nafi‟ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.

2. Sejarah Perkembangan Qiraat


Pembahasan tentang sejarah dan perkembangan ilmu qira‟at ini dimulai dengan adanya
perbedaan pendapat tentang waktu mulai diturunkannya qira‟at. Ada dua pendapat tentang
hal ini; Pertama, qira‟at mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur‟an.
Alasannya adalah bahwa sebagian besar surat-surat al-Qur‟an adalah Makkiyah di mana
terdapat juga di dalamnya qira‟at sebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah. Hal
ini menunjukkan bahwa qira‟at itu sudah mulai diturunkan sejak di Makkah.

Kedua, qira‟at mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-
orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan
dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis yang panjang
tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca al-Qur‟an dengan tujuh huruf
adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar – yang disebutkan dalam hadis
tersebutterletak di dekat kota Madinah.

Kuatnya pendapat yang kedua ini tidak berarti menolak membaca surat-surat yang
diturunkan di Makkah dalam tujuh huruf, karena ada hadis yang menceritakan tentang adanya
perselisihan dalam bacaan surat al-Furqan yang termasuk dalam surat Makkiyah, jadi jelas
bahwa dalam surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh huruf.
Ketika mushaf disalin pada masa Usman bin Affan, tulisannya sengaja tidak diberi titik
dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya dapat menampung lebih dari satu qira‟at yang
berbeda. Jika tidak bisa dicakup oleh satu kalimat, maka ditulis pada mushaf yang lain.
Demikian seterusnya, sehingga mushaf Usmani mencakup ahruf sab‟ah dan berbagai qira‟at
yang ada.

Periwayatan dan Talaqqi (si guru membaca dan murid mengikuti bacaan tersebut) dari
orang-orang yang tsiqoh dan dipercaya merupakan kunci utama pengambilan qira‟at al-
Qur‟an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para
sahabatnya. Para sahabat berbeda-beda ketika menerima qira‟at dari Rasulullah. Ketika
Usman mengirimkan mushaf-mushaf ke berbagai kota Islam, beliau menyertakan orang yang
sesuai qiraatnya dengan mushaf tersebut. Qira‟at orang-orang ini berbeda-beda satu sama
lain, sebagaimana mereka mengambil qira‟at dari sahabat yang berbeda pula, sedangkan
sahabat juga berbeda-beda dalam mengambil qira‟at dari Rasulullah SAW.

Dapat disebutkan di sini para Sahabat ahli qira‟at, antara lain adalah : Usman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas‟ud, Abu al-Darda‟, dan Abu
Musa al-„Asy‟ari.

Para sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam dengan membawa
qira‟at masing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga ketika Tabi‟in mengambil
qira‟at dari para Sahabat. Demikian halnya dengan Tabiut-tabi‟in yang berbeda-beda dalam
mengambil qira‟at dari para Tabi‟in.

Ahli-ahli qira‟at di kalangan Tabi‟in juga telah menyebar di berbagai kota. Para Tabi‟in
ahli qira‟at yang tinggal di Madinah antara lain : Ibn al-Musayyab, „Urwah, Salim, Umar bin
Abdul Aziz, Sulaiman dan‟Ata‟ (keduanya putra Yasar), Muadz bin Harits yang terkenal
dengan Mu‟ad al-Qari‟, Abdurrahman bin Hurmuz al-A‟raj, Ibn Syihab al-Zuhri, Muslim bin
Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Makkah, yaitu: „Ubaid bin‟Umair, „Ata‟ bin Abu Rabah, Tawus,
Mujahid, „Ikrimah dan Ibn Abu Malikah. Tabi‟in yang tinggal di Kufah, ialah : „Alqamah, al-
Aswad, Maruq, „Ubaidah, „Amr bin Surahbil, al-Haris bin Qais,‟Amr bin Maimun, Abu
Abdurrahman al-Sulami, Said bin Jabir, al-Nakha‟i dan al-Sya'bi.

Sementara Tabi‟in yang tinggal di Basrah , adalah Abu „Aliyah, Abu Raja‟, Nasr bin
„Asim, Yahya bin Ya‟mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah. Sedangkan Tabi‟in yang tinggal
di Syam adalah : al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi dan Khalid bin Sa‟d.

Keadaan ini terus berlangsung sehingga muncul para imam qiraat yang termasyhur,
yang mengkhususkan diri dalam qira‟at – qira‟at tertentu dan mengajarkan qira‟at mereka
masing-masing.

Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira‟at. Para


ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira‟at adalah
Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang
diberi nama al-Qira‟at yang menghimpun qiraat dari 25 orang perawi. Pendapat lain
menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat adalah Husain bin
Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H. Dengan demikian
mulai saat itu qira‟at menjadi ilmu tersendiri dalam „Ulum al-Qur‟an.

Menurut Sya‟ban Muhammad Ismail, kedua pendapat itu dapat dikompromikan. Orang
yang pertama kali menulis masalah qiraat dalam bentuk prosa adalah al-Qasim bin Salam,
dan orang yang pertama kali menullis tentang qira‟at sab‟ah dalam bentuk puisi adalah
Husain bin Usman al-Baghdadi.

Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun qira‟at Sab‟ah dalam
kitabnya Kitab al-Sab‟ah. Dia hanya memasukkan para imam qiraat yang terkenal siqat dan
amanah serta panjang pengabdiannya dalam mengajarkan al-Qur‟an, yang berjumlah tujuh
orang. Tentunya masih banyak imam qira‟at yanng lain yang dapat dimasukkan dalam
kitabnya.
Ibn Mujahid menamakan kitabnya dengan Kitab al-Sab‟ah hanyalah secara kebetulan,
tanpa ada maksud tertentu. Setelah munculnya kitab ini, orang-orang awam menyangka
bahwa yang dimaksud dengan ahruf sab‟ah adalah qira‟at sab‟ah oleh Ibn Mujahid ini.
Padahal masih banyak lagi imam qira‟at lain yang kadar kemampuannya setara dengan tujuh
imam qira‟at dalam kitab Ibn Mujahid.

Abu al-Abbas bin Ammar mengecam Ibn Mujahid karena telah mengumpulkan qira‟at
sab‟ah. Menurutnya Ibn Mujahid telah melakukan hal yang tidak selayaknya dilakukan, yang
mengaburkan pengertian orang awam bahwa Qiraat Sab‟ah itu adalah ahruf sab‟ah seperti
dalam hadis Nabi itu. Dia juga menyatakan, tentunya akan lebih baik jika Ibn Mujahid mau
mengurangi atau menambah jumlahnya dari tujuh, agar tidak terjadi syubhat.

Banyak sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab‟ah ini. Yang
paling terkenal diantaranya adalah : al-Taysir fi al-Qira‟at al-Sab‟i yang diisusun oleh Abu
Amr al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi Qira‟at al-Sab‟i karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi
Qira‟at al-„Asyr karya Ibn al-Jazari dan Itaf Fudala‟ al-Basyar fi al-Qira‟at al-Arba‟ah
„Asyara karya Imam al-Dimyati al-Banna. Masih banyak lagi kitab-kitab lain tentang qira‟at
yang membahas qiraat dari berbagai segi secara luas, hingga saat ini.

3. Pembagian Qira’at dan Macam-macamnya


Ibn al-Jazari, sebagaimana dinukil oleh al-Suyuti, menyatakan bahwa qira‟at dari segi
sanad dapat dibagi menjadi 6 (enam) macam, yaitu :
1. Qira‟at Mutawatir
Qira‟at Mutawatir adalah qira‟at yang diriwayatkan oleh orang banyak dari banyak
orang yang tidak mungkin terjadi kesepakatan diantara mereka untuk berbuat kebohongan.
Contoh untuk qira‟at mutawatir ini ialah qira‟at yang telah disepakati jalan perawiannya dari
imam Qiraat Sab‟ah

2. Q ira‟at Masyhur
Qira‟at Masyhur adalah qira‟at yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah
SAW. diriwayatkan oleh beberapa orang yang adil dan kuat hafalannya, serta qira‟at -nya
sesuai dengan salah satu rasam Usmani; baik qira‟at itu dari para imam qira‟at sab‟ah, atau
imam Qiraat‟asyarah ataupun imam-imam lain yang dapat diterima qira‟at -nya dan dikenal
di kalangan ahli qira‟at bahwa qira‟at itu tidak salah dan tidak syadz, hanya saja derajatnya
tidak sampai kepada derajat Mutawatir

Misalnya ialah qira‟at yang diperselisihkan perawiannya dari imam qira‟at Sab‟ah,
dimana sebagian ulama mengatakan bahwa qira‟at itu dirawikan dari salah satu imam qira‟at
Sab‟ah dan sebagian lagi mengatakan bukan dari mereka. Dua macam qira‟at di atas, qira‟at
Mutawatir dan qira‟at Masyhur, dipakai untuk membaca al-Qur‟an, baik dalam shalat
maupun diluar shalat, dan wajib meyakini ke-Qur‟an-annya serta tidak boleh mengingkarinya
sedikitpun.

3. Q ira‟at Ahad
Qira‟at Ahad adalah qiraat yang sanadnya bersih dari cacat tetapi menyalahi rasam
Utsamani dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Juga tidak terkenal di kalangan imam
qiraat. Qira‟at Ahad ini tidak boleh dipakai untuk membaca al-Qur‟an dan tidak wajib
meyakininya sebagai al-Qur‟an.

4. Q ira‟at Syazah
Qira‟at Syazah adalah qira‟at yang cacat sanadnya dan tidak bersambung sampai
kepada Rasulullah SAW. Hukum Qiraat Syazah ini tidak boleh dibaca di dalam maupun di
luar sholat.
qira‟at Syazah dibagi lagi dalam 5 (lima) macam, sebagai berikut :
a. Ahad, yaitu qira‟at yang sanadnya sahih tetapi tidak sampai mutawatir dan menyalahi
rasam Usmani atau kaidah bahasa Arab.
b. Syaz, yaitu qira‟at yang tidak mempunyai salah satu dari rukun yang tiga.
c. Mudraj, yaitu qira‟at yang ditambah dengan kalimat lain yang merupakan tafsirnya.
d. Maudu‟, yaitu qira‟at yang dinisbahkan kepada orang yang mengatakannya
(mengajarkannya) tanpa mempunyai asal usul riwayat qiraat sama sekali.
e. Masyhur, yaitu qira‟at yang sanadnya shahih tetapi tidak mencapai derajat mutawatir
serta sesuai dengan kaeidah tata bahasa Arab dan Rasam Usmani.
Dari segi jumlah, macam-macam qira‟at dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam qiraat
yang terkenal, yaitu :
1. Qira‟at Sab‟ah, adalah qira‟at yang dinisbahkan kepada para imam Qurra‟ yang tujuh
yang termasyhur. Mereka adalah Nafi‟, Ibn KAsir, Abu Amru, Ibn Amir, Ashim, Hamzah
dan Kisa‟i.
2. Qira‟at „Asyarah, adalah qira‟at Sab‟ah di atas ditambah dengan tiga qiraat lagi, yang
disandarkan kepada Abu Ja‟far, Ya‟kub dan Khalaf al-„Asyir.
3. Qira‟at Arba‟ „Asyarah, adalah qira‟at „Asyarah lalu ditambah dengan empat qiraat lagi
yang disandarkan kepada Ibn Muhaisin, Al-Yazidi, Hasan al-Bashri dam al-A‟masy.
Dari ketiga macam qira‟at di atas, yang paling terkenal adalah Qiraat Sab‟ah kemudian
disusul oleh qira‟at „Asyarah.
BAB 1V
ASBABUN NUZUL AL-QUR’AN
Pengertian
Menurut Al-Zarqani dalam kitabnya Manahil Al-Irfan fi Ulum Al-Quran, yang
dimaksud dengan asbab nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi mengiringi ayat-ayat
itu diturunkan untuk membicarakan peristiwa tersebut, atau menjelaskan ketentuan
hukumnya. Sementara menurut Manna Al-Qahtan asbab nuzul adalah sebagai peristiwa yang
menyebabkan ayat-ayat Al-Quran itu diturunkan waktu kejadian peristiwa tersebut, baik
berupa pertanyaan maupun kasus-kasus tertentu.

Berdasarkan dua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa asbab nuzul ayat adalah
berbagai peristiwa baik berupa pertanyaan maupun kasus-kasus tertentu yang menyebabkan
ayat-ayat Al-quran itu diturunkan saat terjadinya peristiwa tersebut, untuk menjelaskan
ketentuan hukumnya.

Pertanyan-pertanyaan yang dimaksud tersebut di atas, ada kalanya pertanyaan dari


orang mukmin, dan ada kalanya dari orang-orang yang mengingkari ajaran yang dibawa
Muhammad sebagai utusan Allah, untuk menyampaikan ajaran kebenaran tersebut.

Sejalan dengan pembahasan di atas bahwa ayat-ayat Al-Quran ada kalanya diturunkan
sebagai jawaban atas pertanyaan yang dihadapkan pada Nabi Muhammad, dan beliau
mengetahui jawabannya secara pasti, maka segeralah jibril menurunkan ayat sebagai jawaban
atas pertanyaan tersebut. Dengan pertanyaan tersebut, merupakan sebab turunnya ayat.

Salah satu contoh pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat adalah pertanyaan
bangsa Yahudi Madinah kepada Nabi SAW., tentang ruh dan beliau belum dapat
menjelaskannya dengan baik kepada mereka. Lalu turunlah ayat ke 85 Surah Al-Isra, yang
berbunyi :

Artinya :” dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu
Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Al-
Isra‟: 85)
Menurut bahasa Asbabun Nuzul berarti turunya ayat-ayat Al-Qur‟an . Al-Qur‟an di
turunkan oleh Allah SWT. Kepada nabi Muhammad SAW. Secara berangsur-angsur lebih
kurang 23 tahun. Al-Qur‟an diturunkan untuk memperbaki akidah, ibadah, akhlaq dan
pergaulan manusia yang sudah menyimpang dari kebenaran.

Cara Mengetahui Asbabun Nuzul


Yang mempunyai otoritas untuk mengungkapkan asbab nuzul ayat-ayat Al-Quran
adalah para sahabat Nabi, karena merekalah yang menyaksikan turunnya ayat-ayat Al-Quran
tersebut. Dengan demikian, pelacakan asbab nuzul harus diakukan dengan mencari dan
mempelajari perkataan-perkataan sahabat yang mengungkapkan proses turunnya ayat-ayat
Al-Quran itu, atau riwayat-riwayat yang bermuara minimal para sahabat.

Kalau perkataan sahabat tersebut juga mengungkapkan tentang perkataan atau


perbuatan Rasulullah yang berhubungan dengan turunnya ayat-ayat Al-Quran, maka
kedudukannya menjadi hadis marfu, dan sangat berpeluang untuk memperoleh kualitas hadis
sahih. Tetapi, kalau perkataan mereka itu, tidak menyinggung sedikitpun tentang Rasulullah,
maka hadisnya menjadi mauquf. Oleh sebab itu, wajar kalau para sarjana ilmu Al-quran,
kemudian menyimpulkan bahwa hadis-hadis tentang asbab nuzul itu, pada umumnya lemah
karena tidak sampai pada Rasulullah.

Akan tetapi hadis-hadis tentang asbab nuzul tidak menyangkut tentang ajaran
keagamaan, tetapi sekedar mengemukakan tentang latar belakang, atau berbagai peristiwa
yang mengiringi turunnya ayat. Oleh sebab itu, kendati lemah, hadis-hadis tersebut dapat
digunakan, sebagai bahan referensi untuk memahami pesan-pesan ayat Al-Quran.

Cara-cara melihat ungkapan asbab nuzul, secara umum disimpulkan oleh para ulama
ada empat yaitu:
1. Diungkapkan dengan kata-kata sebab
2. Diungkapkan dengan kata fa ( maka )
3. Diungkapkan dengan kata nuzuli fi ...
4.Tidak diungkapkan dengan simbol-simbol kata di atas, tetapi alur ceritanya
menunjukkan sebagai ungkapan asbab nuzul.
Para sahabat yang menyaksikan proses turunnya ayat, terkadang mengungkapkan
peristiwa itu dengan kata-kata sababu nuzul al ayat każa ... ( sebab turunnya ayat ini
begini...). Kalau sahabat mengungkapkan simbol tersebut, jelas sekali bahwa sebab nuzulnya
itu sebagaimana yang ia kemukakan itu.

Kemudian ada pula dari kebiasaan mereka itu mengemukakan dengan kata-kata fa (
maka ), dalam kontes pengungkapan peristiwanya. Seusai mengemukakan peristiwanya itu,
lalu mereka mengatakan fanuzilat hażihi al-ayat fi każa, ... Kalau mereka mengatakan dengan
simbol kata tersebut, maka perkataanya itu juga jelas mengemukakan asbab nuzul ayat yang
diceritakannya.

Disamping itu ada kebiasaan sahabat yang mengemukakan asbab nuzul ayat itu
dengan perkataan nuzilat hażihi al-ayat fi każa ... Dan terkadang pula mereka tidak
mengemukakannnya dengan simbol kata-kata yang menunjukkan sebab turunya ayat, tetapi
mereka hanya bercerita tentang sebuah peristiwa, lalu mengemukakan ayat yang diturunkan
dalam peristiwa tersebut.
BAB V
AYATUL MUHKAM WAL MUTASYABBIH
Pengertian
Secara bahasa kata Muhkam berasal dari kata ihkam yang berarti kekukuhan ,
kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Namun secara pengertian ini pada dasarnya
kata tersebut kembali kepada makna pencegahan. Kata muhkam merupakan pengembangan
dari kata “ahkama, yuhkimu, ihkaman” yang secara bahasa adalah atqona wa mana‟a yang
berarti mengokohkan dan melarang. Sedangakan kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh
yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada
kesamaan antara dua hal. Tasyabaha dan isyabaha berarti dua hal yang masig-masing
menyerupai yang lainnya.

Secara istilah (terminologi) para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan definisi
muhkam dan mutasyabih. Di bawah ini ada beberpa definisi menurut Al-Zarqani :

1. Muhkam adalah ayat yang jelas maksudnya. Yang tidak mengandung kemungkinan
nasakh. Mutasyabihat adalah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui
maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allohlah
yang mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus
di awal surat. Pendapat ini dibangsakan al-Alusi kepada pemimpin-pemimpin
madzhab Hanafi.
2. Muhkam adalah ayat yang berdiri sendiri yang tidak memerlukan keterangan.
Mutasayabihat adalah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan.
Kadang-kadang diterangkan melalui ayat atau keterangan lain pulakarena terjadinya
perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad ra.
3. Mungkam adalah ayat yang tunjukan maknanya kuat. Mutasyabihat ialah ayat yang
menunjukan maknanya tidak kuat, yaitu lafalnya mujmal, musykil dll. Pendapat ini
dibangsakan kepada imam al-Razi dan banyak peniliti yang memilihnya.

Dari beberpa pendapat di atas tidak lah terjadi perbedaan pendapat, tetapi malah
diantaranya terdapat persamaan dan kedekatan makna.
Dalam Al-Qur‟an, disebutkan kata-kata muhkam dan mutasyabih. Pertama, lafal muhkam ,
terdapat dalam Q.S. Hud: 1

ْ ًَ ‫ِكخبٌ اُحْ ِك‬


.…ّ‫خُـ‬ٚ‫ج ا‬

Artinya :”Sebuah Kitab yang disempurnakan (dijelaskan) ayat-ayatnya…”.

Kedua, lafal mutasyabih terdapat dalam Q.S. Zumar : 23

…ْٙ َِ‫… ِكخَببًب ُيخَ َشـببًِٓب َّيـثَب‬.

Artinya :” …(yaitu) Al-Qur‟an yang serupa (mutasyabih) lagi berulang-ulang….”

Ketiga, lafal muhkam dan mutasyabih sama-sama disebutkan dalam Al-Qur‟an. Hal ini
terdapat pada Q.S. Ali Imran : 7

ٍَْٚ ‫ٓج فَب َ َّيب انَّ ِذ‬ ِ ‫ًج ُْ ٍَّ أُ ُّو ْان ِكخ‬
ٌ ِ‫ب ٔ اُخَ ُز ُيخَشب‬ َ ‫كَ ْان ِك‬ْٛ َ‫ُْ َٕ انَّ ِذْ٘ اَ َْشَ َل َعه‬
ٌ ُُّْ ‫خب ِي‬
ٌ ‫ج ُيحْ َك‬ٚ‫ا‬

ِ ‫هَّ اِال َّ هللا ُ َٔانز‬ْٚ ِٔ ْ‫َ ْعهَ ُى حَأ‬ٚ ‫هِـّ َٔ َيب‬ْٚ ِٔ ْ‫َخَّبِعُْٕ ٌَ َيب حَشبََّ ِي ُُّْ ا ْبخِغَب َء ْانفِ ْخَُـ ِت َٔا ْبخِغَب َء حَأ‬َٛ‫ ٌغ ف‬ْٚ َ‫فِٗ قُهُْٕ بِ ِٓ ْى س‬
ِ ٌَ ْٕ‫َّاس ُخ‬
ٗ‫ف‬
ٍَِّ‫َقُْٕ نُْٕ ٌَ ا َيَُّب بِّ ُكمٌّ ِي ٍْ ِع ُْ ِد َرب‬ٚ ‫ْان ِع ْه ِى‬

Artinya:

“Dialah yang telah menurunkan Al-Qur‟an kepadamu, diantaranya ada ayat-ayat muhkamat
yang merupakan induk dan lainnya mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk
menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta‟wilnya padahal tidak ada yang mengetahui
takwilnya kecuali Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya berkata,”Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabihat semuanya itu dari sisi Tuhan kami…”
Berdasarkan tiga ayat tersebut, menceritakan adanya tiga pendapat tentang masalah
ini. Pertama, berpendapat bahwa Al-Qur‟an seluruhnya muhkam berdasarkan ayat pertama.
Kedua, berpendapat bahwa Al-Qur‟an seluruhnya mutasyabih berdasarkan ayat kedua. Ketiga
berpendapat bahwa sebagian ayat Al-Qur‟an muhkam dan lainnya mutasyabih berdasarkan
ayat ketiga. Inilah pendapat yang sahih. Ayat pertama, dimaksudkan dengan muhkam-nya Al-
Qur‟an adalah kesempurnaan dan tidak adanya pertentangan antara ayat-ayatnya. Maksud
mutasyabih dalam ayat kedua adalah menjelaskan segi kesamaan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam
kebenaran, kebaikan dan kemukjizatannya

Kriteria Ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat

Perbedaan pengertian muhkam dan mutasyabih sehingga hal ini terasa menyulitkan
untuk membuat sebuah kriteria ayat yang termasuk muhkam dan mutasyabih. J.M.S Baljon,
mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat bahwa termasuk kriteria ayat-ayat
muhkamat adalah apabila ayat-ayat tersebut berhubungan dengan hakikat (kenyataan),
sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang menuntut penelitian (tahqiqat). Ali
Ibnu Abi Thalhah memberikan kriteria ayat-ayat muhkamat sebagai berikut. yakni ayat-ayat
yang membatalkan ayat-ayat lain, ayat-ayat yang menghalalkan, ayat-ayat yang
mengharamkan, ayat-ayat yang mengandung kewajiban, ayat-ayat yang harus diimani dan
diamalkan. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan, ayat-
ayat yang dipertukarkan antara yang dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat yang berisi
beberapa variabel, ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang boleh diimani dan
tidak boleh diamalkan.

Ar-Raghib al-Ashfihani memberikan kreteria ayat-ayat mutasyabihat sebagai ayat


atau lafal yang tidak diketahui hakikat maknanya, seperti tibanya hari kiamat, ayat-ayat Al-
Qur‟an yang hanya bisa diketahui maknanya dengan sarana bantu, baik dengan ayat-ayat
muhkamat, hadis-hadis sahih maupun ilmu penegtahuan, seperti ayat-ayat yang lafalnya
terlihat aneh dan hukum-hukumnya tertutup, ayat-ayat yang maknanya hanya bisa diketahui
oleh orang-orang yang dalam ilmunya. Sebagaimana diisyaratkan dalam doa Rasulullah
untuk Ibnu Abbas,

“Ya Allah, karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahankanlah
pengetahuan tentang ta‟wil kepadanya.”
Pendapat para Ulama

Menurut Al-Zarqani, ayat-ayat Mutasyabih dapat dibagi 3 ( tiga ) macam :

1. Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat mengetahui maksudnya, seperti


pengetahuan tentang zat Allah dan hari kiamat, hal-hal gaib, hakikat dan sifat-sifat zat Allah.
Sebagai mana Firman Alloh dalam QS. Al-An‟am :59

ِ ‫َٔ ِع ُْ َدُِ َيفَاتِ ُح ا ْن َغ ْي‬


……َٕ ُْ ‫ة ََل يَ ْعهَ ًُ َٓا إِ اَل‬

Artinya : “dan pada sisi Allah kunci-kunci semua yang gaib, tak ada yang
mengetahui kecuali Dia sendiri…..

2. Ayat-ayat yang setiap orang bias mengetahui maksudnya melalui penelitian dan
pengkajian, seperti ayat-ayat : Mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas,
panjang, urutannya, dan seumpamanya QS An-Nisa :3

َ ُِّ‫اب نَ ُك ْى ِيٍَ ان‬


‫سا ِء‬ ِ ‫َٔإٌِْ ِخ ْفتُ ْى أَ اَل تُ ْق‬
َ َ‫سطُٕا فِي ا ْنيَتَا َيى فَا َْ ِك ُحٕا َيا ط‬

Artinya : “dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap ( hak-hak ) perempuan yang
yatim, maka kawinilah wanita-wanita…”.

3. Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para Ulama tertentu
dan bukan semua Ulama. Maksud yang demikian adalah makna-makna yang tinggi yang
memenuhi hati seseorang yang jernih jiwanya dan mujahid.

Tentang perbedaan pendapat antara ulama khalaf dan ulama salaf mengenai ayat-ayat
mutasyabihat dimulai dari pengertian, berbagai macam sebab dan bentuknya. Dalam bagian
ini, pembagian khusus tentang ayat-ayat mutasyabihat yang menyangkut sifat-sifat Tuhan,
yang dalam istilah As-Suyuti “ayat al-shifat” dan dalam istilah Shubi al-Shalih “mutasyabih
al-shifat” ayat-ayat yang termasuk dalam katagori ini banyak. Diantaranya : Surah ar-
Rahman [55]: 27:

‫َٔيَ ْثقى َٔ ْجُّ َرتِّ َك ُذٔ ا ْن َجالَ ِل َٔا ِأل ْك َر ِاو‬

Artinya : Dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Atau dalam Q.S. Taha [20]: 5 Allah berfirman :

ِ ْ‫انزَّحْ ًٍُ َعهَٗ ْان َعز‬


َٖٕ‫ش اسْـخ‬

Artinya : “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas „Arsy”.

Dalam hal ini, Subhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab.:

a. Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat


mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka
mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan
mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur‟an serta menyerahkan urusan
mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan
mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula mazhab
Mufawwidah atau Tafwid. Ketika Imam Malik ditanya tentang makna istiwa`, dia
berkata:

ُ ٛ‫اال ْسخِ َٕا ُء َي ْعهُْٕ ٌو َٔ ْان َك‬


.ْٙ ُِّ‫ْف َيجْ ُْٕٓ ٌل َٔانسُّؤَ ا ُل َع ُْـُّ بِ ْد َعتٌ َٔ اَظُـُُّـكَ َرج َُم انسُّْٕ َء اَ ْخ ِزجُْٕ ُِ َع‬ ِ

Terjemahan: “Istiwa` itu maklum, caranya tidak diketahui (majhul),


mempertanyakannya bid‟ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan
olehmu orang ini dari majlis saya”.

Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa jelas diketahui oleh setiap orang. akan tetapi,
pengertian yang demikian secara pasti bukan dimaksudkan oleh ayat. sebab, pengertian yang
demikian membawa kepada asyabih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi
Allah. karena itu, bagaimana cara istiwa‟ di sini Allah tidak di ketahui. selanjutnya,
mempertanyakannya untuk mengetahui maksud yang sebenarnya menurut syari‟at dipandang
bid‟ah (mengada-ada).

Kesahihan mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira‟at Ibnu Abbas.
ِ ‫ُقُْٕ ُل انز‬َٚٔ ُ ‫هَـُّ اِالَّ هللا‬ْٚ ِٔ ْ‫َ ْعهَ ُى حَأ‬ٚ ‫َٔ َيب‬
ِّ‫َّاس ُخْٕ ٌَ فِٗ ْان ِع ْه ِى ا َيـَُّب ب‬

Artinya : Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-orang
yang mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”. (dikeluarkan oleh Abd. al-Razzaq dalam
tafsirnya dari al-Hakim dalam mustadraknya).

b. Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menkwilkan lafal yang makna lahirnya
mustahil kepada makna yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka disebut pula
Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` dengan ketinggian yang abstrak,
berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah
diartikan dengan kedatangan perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah
Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah” dengan
zat “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan “diri” dengan siksa.
Demikian sistem penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama Khalaf.

Alasan mereka berani menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, menurut mereka, suatu hal
yang harus dilakukan adalah memalngkan lafal dari keadaan kehampaan yang mengakibatkan
kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tak bermakna. Selama mungkin
mentakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan untuk
melakukannya.

Kelompok ini, selain didukung oleh argumen aqli (akal), mereka juga mengemukakan
dalil naqli berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis riwayat Ibnu al-Mundzir yang
berbunyi:

ٌَ ًُْٕ َ‫َ ْعه‬ٚ ٍْ ًَّ ‫ اَََـب ِي‬:‫بل‬ ِ ‫هَُّ اِال َّ هللاُ َٔ انز‬ْٚ ِٔ ْ‫َ ْعهَ ُى حَأ‬ٚ ‫(ٔ َيب‬:
َ َ‫َّاس ُخْٕ ٌَ فِٗ ْان ِع ْه ِىا ق‬ َ ِّ ِ‫ قَْٕ ن‬ِٙ‫ص ف‬
ٍ ‫ع ٍَِ ا ْب ٍِ َعبَّب‬
‫(رٔاِ ابٍ انًُذرا‬.َُّ‫ْـه‬ِٚٔ ْ‫حَـأ‬

Terjemahan: “dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: : Dan tidak mengetahui
takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”. Berkata Ibnu
Abbas:”saya adalah di antara orang yang mengetahui takwilnya.(H.R. Ibnu al-Mundzir)
BAB VI

AYAT MAKKIYAH DAN MADANIYYAH

Pengertian Ayat Makkiyah dan Madaniyah

Para Ulama Alquran biasanya mengandalkan ukuran tempat dalam membedakan


antara Makkiyah dan Madaniyah. Tempat komunikasi atau wahyu selalu tergantung dengan
tempat penerima pertama wahyu. Maka sebahagian ulama berpendapat bahwa ayat Makkiyah
adalah ayat yang turun di Makkah dan sekitarnya seperti Mina, Arafah dan Hudaibiyah.
Sedangkan ayat Madaniyah adalah ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya seperti Uhud,
Quba dll. Dari perspektif masa turun, Makkiyah adalah ayat yang turun sebelum hijrah
sekalipun turunnya di luar Makkah, sedangkan Madaniyah adalah ayat yang turun sesudah
hijrah sekalipun turunya di Makkah.

Menurut az-Zarkasyi dalam bukunya Adnan Mahmud mendefinisikan Makkiyah


adalah ayat atau surah yang khitabnya atau sasaran pembicaraanya ditujukan kepada
penduduk Makkah, dan Madaniyah adalah ayat atau surah yang sasaran pembicaraanya
ditujukan kepada penduduk Madinah. Dari beberapa pengertian di atas penulis memahami
pengertian yang mendasar Makkiyah adalah ayat yang turun sebelum hijrah ke Madinah
sedangkan Madaniyah adalah ayat yang turun sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah.

Untuk mengetahui dan menentukan Makkiyah dan Madaniyah para ulama bersandar
pada dua cara utama: simāi naqli (pendengaran apa adanya) dan qiyāsi ijtihadi (kias hasil
ijtihad) cara pertama didasarkan pada riwayat sahih para sahabat yang hidup pada saat dan
menyaksikan turunnya wahyu. Atau dari para tabi‟in yang menerima dan mendengar dari
para sahabat dimana dan pristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. Sebagian
besar penentuan Makkiyah dan Madaniyah itu didasarkan pada cara pertama.

Sedangkan cara qiyasi ijtihadi didasarkan pada cirri-ciri Makkiyah dan Madaniyah.
Apabila dalam surah Makkiyah terdapat ayat yang mengandung sifat Madaniyah atau
mengandung pristiwa Madani, maka dikatakan bahwa ayat itu madani, dan apabila dalam
surah Madani terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Makki dan mengandung pristiwa
Makki maka ayat tersebut dikatakan ayat Makkiyah.
Ciri-ciri ayat Makkiyah dan Madaniyah

Ayat-ayat yang turun di Mekkah sebelum hijrah (Makkiyah) dan yang turun di
Madinah sesudah hijrah (Madaniyah) mempunyai konteks yang berbeda. Masyarakat Makkah
adalah masyarakat yang menolak Risalah Nabi Muhammd saw, sedangkan masyarakat
Madinah ialah masyarakat yang menerima ajaran beliau karena itu kedua kelompok ayat
tersebut mempunyai perbedaan dan ciri-ciri khususnya.

Ayat-ayat Makkiyah dalam surah Madaniyah. Dengan menamakan sebuah surah itu
Makkiyah dan Madaniyah tidak berarti bahwa seluruhnya Makkiyah dan Madaniyah sebab di
dalam surah Makkiyah terkadang terdapat ayat-ayat Madaniyah dan di dalam surah
Madaniyah pun terkadang terdapat ayat-ayat Makkiyah. Dengan demikian penamaan surah
itu Makkiyah dan Madaniyah adalah berdasarkan sebagian besar ayat-ayat yang terkandung
di dalamya.

Ayat yang diturunkan di Madinah sedang hukumnya Makkiyah mereka memberi


contoh dengan surah al-Mumtahanah. surah ini diturunkan di Madinah dilihat dari segi
tempat turunnya, tetapi seruannya ditujukan kepada orang musyrik Makkah.
Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Makkah dalam Madani. maksudnya adalah ayat
dalam surah Madaniyah tetapi mempunyai gaya bahasa dan ciri-ciri umum surah Makkiyah
seperti dalam surah al-Anfal (8): 32. Begitu pula sebaliknya yang diturunkan di Madinah
dalam Makkiyah ayat-ayat dalam surah Makkiyah tetapi mempunyai gaya bahasa Madaniyah
seperti dalam surah an-Najm (53):32.

Ciri-ciri ayat dan surah Makkiyah sebagai berikut :

a. Ayat-ayat Makkiyah itu pendek-pendek dan dinamai ayat qhisar, buktinya juz
30 memuat 36 surah yang pada umumnya surah-surah Makkiyah.
b. Dimulai dengan yā ayyuha an-Nās
c. Ayat-ayat Makkkiyah pada umumnya mengandung hal-hal yang berhubungan
dengan keimanan, ancaman dan pahala, kisah-kisah umat terdahulu yang
mengandung pengajaran dan budi pekerti.
d. Setiap surat mengandung lafal Kallā, lafal ini hanya terdapat dalam separuh
terakhir dari Alquran dan disebutkan 33 kali dalam 15 surat.
e. Setiap surat di dalamnya mengandung ayat-ayat sajadah‟
f. Setiap surat diawali dengan huruf-huruf singkat seperti Alif Lāam mîim,
Alif Lāam rā, hāmîm dll. Kecuali pada surah al-Baqarah dan surah Ali-
Imran.
g. Setiap surah di dalamya kisah Adam dan Iblis keculai surah al-Baqarah.
h. Setiap surat yang di dalamnya mengandung kisah para nabi dan umat
terdahulu kecuali pada surat al-Baqarah.
i. Kata-katanya demikian lembut, jernih dan mudah dilagukan sesuai dengan
huruf-hurufnya yang dapat diucapkan lirih dan dapat pula dengan suara keras.
j. Bunyi akhiran ayat-ayat demikian harmonis dan berimbang kadang mendatar,
kadang menggelombang, kadang melemah terpatah-patah dan kadang-kadang
juga menggelegak, mengalun dan menggemuru.

Sedangkan dari segi ciri tema dan gaya bahasa dapatlah diringkas sebagai berikut:
a. Ajakan kepada tauhid dan anjuran beribadah hanya kepada Allah swt,
pembuktian tentang risalah kenabian, kebangkitan dan hari pembalasan, hari
kiamat, neraka dan siksaanya, surga dan kenikmatnnya, argumentasi terhadap
orang-orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat
kauniyah.
b. Meletakkan dasar-dasar dan ketentuan umum perundangan-undangan dan
akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat, dan
penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta
anak yatim, penguburan hidup-hidup bagi perempuan dan tradisi buruk
lainnya.
c. Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi
mereka dan dapat dijadikan sebagai hiburan buat nabi Muhammad saw, untuk
tabah dan sabar dalam menghadapi gangguan dari musuh-musuhnya.
d. Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali,
pernyataanya singkat, di telinga terasa menembus dan terdengar sangat keras,
menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-
lafal sumpah, seperti surah-surah yang pendek.
e. Bukti-bukti kebenaran dan dalil-dalil yang dipergunakan lebih mengutamakan
kebenaran agama
f. Banyak bercerita tentang orang munafik dan problem-problema yang
disebabkan karena mereka.

Ciri-ciri ayat dan surat Madaniyah

a. Ayat-ayat Madaniyah panjang-panjang dan dinamai ayat thiwal .


b. Kebanyakan firman Allah dalam surah madaniyah dimulai dengan perkataan
yā ayyuha lazina āmanū.
c. Lebih banyak mengutarakn tentang sanksi-sanksi, hukum, warisan, hak dan
aturan politik, sosial dan negara.
d. Setiap surah di dalamnya disebutkan orang-orang munafik kecuali pada surah
al-Ankabut.
e. Setiap surah di dalamya terdapat dialog dengan ahlul kitab. Dari segi ciri khas
tema dan gaya bahasa dapatlah diringkaskan sebagai berikut.
f. Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan
internasional, baik di waktu damai maupun di waktu perang, kaidah hukum
dan masalah perundang-undangan.
g. Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Dan ajakan
kepada mereka masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka
terhadp kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan
perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki
diantara sesama mereka.
h. Memyingkap prilaku orang munafik, menganalisis kejiwaanya, dan
menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
i. Suku katanya dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang
memantafkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.
Tidak diragukan lagi bahwa ukuran perbandingan diantara ciri-ciri umum surah
Makkiyah dan Madaniyah banyak membantu untuk mengetahui lebih jauh tema tersebut.
Ciri-ciri spesifik yang dimiliki Madaniyah baik dilihat dari perspektif analogy ataupun
tematis, memperlihatkan langkah-langkah yang ditempuh Islam dalam mensyariatkan
peraturan-peraturannya, yaitu dengan cara periodic hirarkis. sejarah telah membuktikan
adanya system sosio kultural berbedah Makkah dan Madinah. Makkah dihuni komunitas
yang keras kepala aksinya yang selalu menghalangi dakwah nabi dan para sahabatnya.
Sedangkan di Madinah setelah nabi hijrah ke sana terdapat tiga komunitas, komunitas muslim
yang terdiri kelompok muhajirin dan anshar, komunitas munafik dan komunitas Yahudi.
Alquran menyadari benar perbedaan sosio kultural antara kedua tempat itu. Oleh karena itu
alur pembicaraan ayat yang diturunkan bagi penghuni Makkah sangat berbeda dengan alur
yang diturunkan bagi penduduk Madinah.

Jika sebuah surah sesuai dengan ciri-ciri umum surah Makkiyah dalam gaya bahasa,
tingkat keringkasan surah, kesesuain nama, dan bercerita tentang kaum musyrik, maka surah
tersebut digolongkan ke dalam surah Makkiyah karena sesuai ciri-ciri umum surah
Makkiyah. Jika ukuran perbandingan dari sejarah itu tidak dapat memberikan suatu
keputusan yang menenangkan dan meyakinkan, apakah ia termasuk surah makkiyah ataukah
madaniyah maka diperbolehkan bersandarkan pada ciri-ciri di atas. Contoh adalah ayat-ayat
Alquran yang bercerita tentang peperangan dan aturan kenegaraan. jika melihat ciri-ciri dari
tema yang ada pada surah itu kita akan mengategorikannya ke dalam surah madaniyah karena
sama-sama kita ketahui bahwa suasana dakwah pada periode pertama berlangsung sebelum
Rasulullah saw melakukan hijrah tidak berisikan tentang syarat-syarat yang berkenaan
dengan aturan perundang-undangan kenegaraan.

Oleh karena itu menunjukkan bahwa kelompok surah Makkiyah dan Madaniyah
terpengaruh oleh lingkungan Muhammad saw hidup dan tinggal, yaitu bahwa masyarakat
Makkah yang ketika itu adalah masyarkat yang ummi (buta huruf) membuat Rasulullah tidak
mampu pemaparan berupa penjelasan tentang ajaran Islam dan rinciannya secara detail. Akan
tetapi hanya pada masyarakat yang berperadaban yang telah maju sajalah, yang terdapat di
kota Yastrib (Madinah) yang menyebabkan nabi mampu memberikan penjelasan ajarannya
secara terperinci.
Dalam hal ini dapat kita simpulkan bahwa maksud dari pencirian dan pengkhususan
kelompok surah Makkiyah sebagai kelompok surah yang pendek dan ringkas dikarenakan
mayoritas surah Makkiyah adalah surah yang pendek-pendek tapi bukan berarti surah
Makkiyah secara keseluruhan. Begitupula sebaliknya kelompok surah Madaniyah adalah
panjang-panjang akan tetapi pernyataan di atas bukan berarti menunjukkan keterputusan
hubungan antara kedua kelompok surah tersebut dalam Alquran. untuk membuktikan hal
tersebut dapat kita lihat bahwa beberapa surah yang panjang masuk dalam kelompok surah
Makkiyah seperti QS al-An„am (6):151-152. dari dua pristiwa tersebut maka dapat dipahami
ada katerkaitan dan kesesuain dalam surah Makkiyah dan Madaniyah. Seolah-olah kedua
kelompok surat itu turun secara bersamaan.

Klasifikasi ayat-ayat dan surat-surat Alquran

Jumlah surat di dalam Alquran terdiri dari 114 surat 86 diantaranya turun di Makkah
disebut ayat Makkiyah dan 28 surat turun setelah hijrah ke Madinah disebut ayat Madaniyah.
Agak sulit untuk melacak dan mengidentifikasai secara pasti ayat-ayat Makkiyah dan ayat-
ayat Madaniyah karena urutan tertib ayat tidak mengikuti kronologi waktu turunnya ayat,
tetapi berdasarkan petunjuk nabi (taufiqi). lagi pula mushaf usmani yang menjadi acuan
sntandar sejak semula disusun mengikuti petunjuk nabi. Para ahli tafsir tiada sekata dalam
menetapkan jumlah surat yang turun di Madinah, bahkan berselisih pula tentang menentukan
surat-surat Makkiyah dan Madaniyah.

Surat-surat Makkiyah menurut tertib turunnya. Di bawah ini kami paparkan surat
Makkiyah menurut tertib turunnya berdasarkan keterangan sebagian ulama.
Dari beberapa ayat Makkiyah diatas maka penulis memberikan pengecualian ayat-ayat
Madaniyah dalam surah Makkiyah misalnya, QS al-An‟am (6): 151-153. dan QS al-A‟raf
(7)163-171.
Urgensi Pengetahuan tentang ayat Makkiyah dan Madaniyah

Perbedaan antara Makkiyah dan Madaniyah dalam teks merupakan perbedaan antar
fase. Kedua fase penting yang memiliki andil dalam pembentukan teks, baik kandungan atau
isi maupun strukturnya. Oleh karena itu pengetahuan tentang Makkiyah dan Madaniyah
sangat penting dalam upaya memahami ayat Alquran. Diantara urgensi dari mempelajari
Makkiyah dan Madaniyah menurut Manna‟ al-Qathan adalah sebagai berikut:

1. Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan Alquran sebab pengetahuan


mengenai tempat turunnya ayat dapat membantu dalam memahami ayat Alquran atau
menafsirkannya dengan benar. Sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum
lafaz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang mufassir dapat membedakan
antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh bila diantara kedua ayat terdapat makna yang
kontradiktif, yang datang kemudian tentu merupakan yang nasikh atas yang terdahulu.

2. Meresapi gaya bahasa Alquran dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah


menuju jalan Allah swt. Sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan
oleh situasi merupakan arti paling khusus dalam ilmu retorika Karakteristik gaya bahasa
Makkiyah dan Madaniyah dalam Alquran memberikan gambaran kepada mereka yang
mempelajarinya tentang metode dalam menyampaikan dakwah sesuai dengan psikologi
masyarakatnya, menguasai fikiran dan perasaan serta mengatasi apa yang ada dalam dirinya
dengan penuh bijaksana. Setiap tahapan dakwah mempunyai topik dan pola penyampaian
tersendiri. Pola penyampaian itu berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan dan tata cara,
keyakinan dan kondisi lingkungan. Hal yang demikian nampak jelas dalam berbagai cara
Alquran menyeru berbagai golongan, orang beriman, musyrik, munafik.
BAB VII

IJAZUL QUR’AN

Arti i‟jaz ialah pelemahkan. Yaitu lemah orang buat meniru atau menyamai, apatah
lagi menandingi dari melebihinya. Sebab itu samalah pendapat Ulama-ulama ahli bahasa dan
sastra, bahwasannya al Qur‟an ini adalah mu‟jizat bagi Nabi Muhammad s.a.w. Sebagaimana
bagi Nabi Musa ada mu‟jizat membelah laut dengan tongkat, bagi Nabi Isa ada mu‟jizat
menyembuhkan orang sakit lepra hanya semata-mata dengan menjamah.

Maka timbullah pertanyaan orang, mengapa mu‟jizat Muhammad hanya al-Quran


yang dibaca, atau satu kitab yang dipelajari, bukan sebagai mu‟jizat yang mengagumkan
akal? Mengapa tidak tongkat sebagai yang ada pada Nabi Musa? Mengapa tidak api yang
tidak menghangusi sebagai mu‟jizat Ibrahim? Atau sebagai Isa menyembuhkan orang buta
dan orang sakit lepra itu?

Di zaman kita inipun masih ada orang yang bertanya-tanya demikian, dan orang-
orang musyrikin di Makkah dahulupun pernah meminta supaya Nabi Muhammad s.a.w
menunjukkan suatu mu‟jizat, misalnya bukit Shafa menjadi emas, atau beliau sendiri
mempunyai sebuah rumah dari emas, dan beberapa permintaan yang lain, sebagaimana kelak
akan tersebut di dalam Surat 17, al Isra‟, ayat 93 dan beberapa ayat pada Surat lain. Tetapi
permintaan mereka itu tidak dikabulkan Allah atau tidak memandang itu lebih penting
daripada mu‟jizat al-Quran.

Beberapa hadis yang sahih telah diriwayatkan oleh sahabat-sahabat beliau, bhw
beliaupun pernah mempertunjukkan mu‟jizat yg aneh-aneh & ganjil, misalnya keluar air yg
diminum oleh 1200 orang dari dalam timba beliau yang kecil di Hudaibiyah, atau hujan lebat
di sekitar kemah tentara saja & tdk turun di tempat lain shg dpt semuanya menampung air, yg
banyaknya 30.000 org dlm perjalanan ke peperangan Tabuk dan bbrp mu‟jizat yang lain.
Tetapi mu‟jizat-mu‟jizat yg demikian tdklah beliau jadikan tantangan kpd kaum musyrikin.
Beliau menentang lawan hanyalah dgn mu‟jizat al-Quran. Dengan al-Quran beliau
mengokohkan risalatnya dan dgn al-Quran beliau menambah iman pengikut-pengikut beliau,
kaum yang beriman sampai hari kiamat.Mu‟jizat seorang Rasul ataupun seorang Nabi selalu
disesuaikan Tuhan dgn zaman hidup Rasul dan Nabi itu sendiri, dan harus sesuai pula dengan
macam ragam risalat yang dibawanya.
Apabila risalatnya itu adalah risalat yang merata untuk seluruh manusia, yang kekal
dan tidak akan berubah lagi sampai selama-lamanya, hendaklah mu‟jizat itu yang kekal dan
merata pula, yang kian mendalam orang berfikir, kian mengaku akan mu‟jizat itu. Mu‟jizat
itu sekali-kali tdk akan kekal, kalau dia hanya merupakan suatu kejadian yang dpt dilihat
mata di suatu masa. Sebab apabila Rasul yang membawa mu‟jizat itu telah berpulang ke
Rahmatullah, mu‟jizat itu tidak akan bertemu lagi. Dan ada pula suatu kejadian yang
dipandang mu‟jizat di zaman hidup Nabi yang bersangkutan, namun setelah beberapa abad di
belakang, keangkeran mu‟jizat itu tidak ada lagi karena kemajuan ilmu pengetahuan. Sebab
itu maka mu‟jizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad bukanlah mu‟jizat untuk dilihat
mata dan pancaindera (hissi), tetapi untuk dilihat hati dan meminta pemikiran (ma‟nawi).

Mu‟jizat yang hissi telah habis pengaruhnya dengan habis zamannya. Mu‟jizat Musa
dan Isa hanya bisa dilihat oleh manusia yang sezaman dengan beliau. Orang Yogi yang kuat
mengadaan pertapaan sudah bisa berjalan di atas api yang tengah menyala, sehingga mu‟jizat
Nabi Ibrahim sudah hampir disamai. Kemajuan ilmu kedokteran di zaman sekarang telah
memungkinkan sembuhnya penyakit-penyakit hebat sebagai yang telah disembuhkan oleh
jamahan tangan Nabi Isa. Sudah ada pula orang yang menaksir bahwa terbelah laut di zaman
Musa adalah lantaran pasang yang terlalu surut.

Sedangkan mu‟jizat Nabi Muhammad s.a.w sendiri tentang Isra‟ dan Mi‟raj masih
juga menjadi pertikaian faham di antara ulama-ulama Islam sendiri sejak lagi di zaman
sahabat, apakah beliau itu Isra‟ dan Mi‟raj dengan tubuh dan nyawa beliau atau hanya dengan
nyawa saja. Aliran yang dua itu tetap ada, yang berarti bahwa bagi golongan berkepercayaan
dengan nyawa saja, urusan Isra‟ dan Mi‟raj dengan sendirinya tidak begitu hebat lagi. Dan
tidak pula mereka kafir kalau mereka berpendapat begitu.Lantaran itu dapatlah kita berkata
bahwasanya mu‟jizat segala Nabi dan Rasul, dan mu‟jizat Nabi Muhammad s.a.w. yang
selain dari al-Quran, adalah hal kenyataan yang dapat dilihat mata, yang habis dengan
sendirinya setelah lewat zamannya. Tetap mu‟jizat Nabi Muhammad s.a.w. yang bernama al-
Quran ini adalah mu‟jizat untuk seluruh masa dan bangsa, yang datang setelah akal dan
kecerdasan manusia sudah lebih tinggi daripada zaman purbakala yang telah dilaluinya itu.
Tegasnya, dahulu mu‟jizat untuk dilihat mata, sekarang mu‟jizat al-Quran untuk dilihat akal.
Akal dari seluruh manusia, turunan demi turunan.
BAB VIII

MUNASABAH AL-QUR’AN

Pengertian Munasabah Al-Qur’an


Munasabah berasal dari kata ‫ َاسة يُاسة يُاسثة‬yang berarti dekat, serupa, mirip, dan
rapat. ‫انًُاسثة‬sama artinya dengan ‫انًقارتة‬yakni mendekatkannya dan menyesuaikannya.;
‫انُسية‬artinya ‫( انقرية انًتصم‬dekat dan berkaitan). Misalnya, dua orang bersaudara dan anak
paman. Ini terwujud apabila kedua-duanya saling berdekatan dalam artian ada ikatan atau
hubungan antara kedua-duanya. An-Nasib juga berarti Ar-Rabith, yakni ikatan, pertalian,
hubungan.

Selanjutnya Quraish Shihab menyatakan (menggaris bawahi As-Suyuthi) bahwa


munasabah adalah ada-nya keserupaan dan kedekatan diantara berbagai ayat, surah, dan
kalimat yang mengakibatkan adanya hubungan. Hubungan tersebut dapat berbentuk
keterkaitan makna antara ayat dan macam-macam hubungan, atau kemestian dalam fikiran
(nalar).

Makna tersebut dapat dipahami, bahwa apabila suatu ayat atau surah sulit ditangkap
maknanya secara utuh, maka menurut metode munasabah ini mungkin dapat dicari
penjelasannya di ayat atau di surah lain yang mempunyai kesamaan atau kemiripan. Kenapa
harus ke ayat atau ke surah lain ? karena pemahaman ayat secara parsial (pemahaman ayat
tanpa melihat ayat lain) sangat mungkin terjadinya kekeliruan. Fazlurrahman mengatakan,
apabila seseorang ingin memperoleh apresiasi yang utuh mengenali Al-Quran, maka ia harus
dipahami secara terkait. Selanjutnya menurut beliau apabila Al-Quran tidak dipahami secara
utuh dan terkait, Al-Quran akan kehilangan relevansinya untuk masa sekarang dan akan
datang. Sehingga Al-Quran tidak dapat menyajikan dan memenuhi kebutuhan manusia. Jadi,
tidak heran kalau dalam berbagai karya dalam bidang Ulumul Quran tema munasabah hampir
tak pernah terlewatkan.
Secara terminologis, munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-
hal tertentu dalam Al-Quran baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian
satu dengan yang lainnya.

Menurut bahasa, munasabah berarti hubungan atau relevansi, yaitu hubungan


persesuaian antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang sebelum atau
sesudahnya. Ilmu munasabah berarti ilmu yang menerangkan hubungan antara ayat atau surat
yang satu dengan ayat atau surat yang lainnya.

Menurut istilah, ilmu munasabah atau ilmu tanasubil ayati was suwari ini ialah ilmu
untuk mengetahui alasan-alasan penertiban dari bagian-bagian Al-Qur‟an yang mulia.
Ilmu ini menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat / beberapa surat Al-Qur‟an.
Apakah hubungan itu berupa ikatan antara „am (umum) dan khusus / antara abstrak dan
konkret / antara sebab-akibat atau antara illat dan ma‟lulnya, ataukah antara rasional dan
irasional, atau bahkan antara dua hal yang kontradiksi. Jadi pengertian munasabah itu tidak
hanya sesuai dalam arti yang sejajar dan paralel saja. Melainkan yang kontradiksipun
termasuk munasabah, seperti sehabis menerangkan orang mukmin lalu orang kafir dan
sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur‟an itu kadang-kadang merupakan takhsish
(pengkhususan) dari ayat-ayat yang umum. Dan kadang-kadang sebagai penjelasan yang
konkret terhadap hal-hal yang abstrak.

Sering pula sebagai keterangan sebab dari suatu akibat seperti kebahagiaan setelah
amal sholeh dan seterusnya. Jika ayat-ayat itu hanya dilihat sepintas, memang seperti tidak
ada hubungan sama sekali antara ayat yang satu dengan yang lainnya, baik dengan yang
sebelumnya maupun dengan ayat yang sesudahnya. Karena itu, tampaknya ayat-ayat itu
seolah-olah terputus dan terpisah yang satu dari yang lain seperti tidak ada kontaknya sama
sekali. Tetapi kalau diamati secara teliti, akan tampak adanya munasabah atau kaitan yang
erat antara yang satu dengan yang lain.

Karena itu, ilmu munasabah itu merupakan ilmu yang penting, karena ilmu itu bisa
mengungkapkan rahasia kebalaghahan Al-Qur‟an dalam menjangkau sinar petunjuknya.
Cara Mengetahui Munasabah Al-Qur’an
Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihadi.
Artinya, pengetahuan tentangnya ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditemukan
riwayat, baik dari Nabi maupun para sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada keharusan
mencari munasabah pada setiap ayat. Alasannya, Al-Qur‟an diturunkan secara berangsur-
angsur mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada. Oleh karena itu, terkadang
seorang musafir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak.

Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak diperkenankan memaksakan diri.


Dalam hal ini, Syekh „Izzuddin bin „Abd As-Salam berkata: “Munasabah adalah sebuah ilmu
yang baik, tetapi kaitan antarkalam imensyaratkan adanya kesatuan dan keterkaitan bagian
awal dengan bagian akhirnya. Dengan demikian, apabila terjadi pada berbagai sebab yang
berbeda, keterkaitan salah satunya dangan lainnya tidak menjadi syarat. Orang yang
mengaitkan tersebut berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya. Kalaupun itu
terjadi, ia mengaitkannya hanya dengan ikatan-ikatan lemah yang pembicaraan yang baik saja
pasti terhindar darinya, apalagi kalam yang terbaik.

Untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam Al-Qur‟an
diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa
langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu:
1. Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
2. Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
3. Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungan atau tidak.
4. Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan
bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.
Macam-macam Munasabah

Dalam Al-Quran sekurang-kurangnya terdapat delapan macam munasabah, yaitu:

1. Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya


As-Suyuthi menyimpulkan bahwa munasbah antar satu surat dengan surat
sebelumnya berfungsi menerangkan atau menyempumakan ungkapan pada surat sebelurnnya.
sebagai contoh, dalam surat Al-Fatihah ayat 1 ada ungkapan alhamdulilah. ungkapan ini
berkorelasi dengan surat Al-Baqarah ayat 152 dan 186:

Artinya : Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula)
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (
QS. Al-Baqarah ayat 152).

Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka


(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran. (QS. Al-Baqarah ayat 186).

Ungkapan " rabb al-alamin" dalam surat Al- Fatihah berkorelasi dengan surat Al-
Baqarah ayat 21-22:

Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan


orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (Al-Baqarah ayat 21)

Artinya: Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit
sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan
itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui. (Al-Baqarah ayat 22).

Di dalam surat Al-Baqarah ditegaskan ungkapan "dzalik Al-kitab la raiba fih".


Ungkapan ini berkorelasi dengan surat Ali „lmran ayat 3:
Artinya : Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan Sebenarnya;
membenarkan Kitab yang Telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.
(Ali 'lmran : 3)

Demikian pula, apa yang oleh surat Al-Baqarah diungkapkan secara global, yaitu
ungkapan wa ma unzila min qablik, dirinci lebih jauh oleh surat Ali 'lmran ayat 3:

Artinya : Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan Sebenarnya;


membenarkan Kitab yang Telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.
(Ali 'lmran : 3).

Berkaitan dengan munasabah macam ini, ada uraian yang baik yang dikemukakan
Nasr Abu Zaid. la menjelaskan bahwa hubungan khusus surat Al-Fatihah dengan surat Al-
Baqarah merupakan hubungan stilistika kebahasaan. Sementara hubungan-hubungan umum
lebih berkaitan dengan isi dan kandungan. Hubungan stilistika-kebahasaan ini tercermin
dalam kenyataan bahwa surat Al-Fatihah diakhiri dengan doa: lhdina Ashshirath Al-
mustaqim, shirath Al-ladzina an'amta alaihim ghair Al-maghdhubi'alaihim wa la adh-dhallin.
Doa ini mendapatkan jawabannya dalam permulaan surat Al-Baqarah Alif, Lam, Mim.
Dzalika Al-Kitabu la raiba fihi hudan li Al-muttaqin. Atas dasar ini, kita menyimpulkan
bahwa teks tersebut berkesinambungan: "Seolah-olah ketika mereka memohon hidayah
(petunjuk) ke jalan yang lurus, dikatakanlah kepada mereka: Petunjuk yang lurus yang
Engkau minta itu adalah Al-Kitabin"

Jika kaitan antara surat Al-Fatihah dan suratAl-Baqarah merupakan kaitan


stilistika, hubungan antara surat Al-Baqarah dengan surat Ali' lmran lebih mirip dengan
hubungan antara "dalil" dengan "keraguan-keraguan akan dalil". Maksudnya, surat Al-
Baqarah merupakan surat yang mengajukan dalil mengenai hukum, karena surat ini memuat
kaidah-kaidah agama, sementara Surat Ali lmran "sebagai jawaban atas keragu-raguan para
musuh”. Kaitan antara surat Al-Baqarah dan surat Ali 'lmran merupakan kaitan yang
didasarkan pada semacam ta'wil (interpretasi) yang membatasi kandungan Surat Ali'lmran
pada ayat ketujuh saja.
2. Munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya
Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin
pada namanya masing-masing, seperti surat Al-Baqarah, surat yusuf, surat An-Naml dan
surat Al-Jinn. Lihatlah firman Allah surat Al-Baqarah : 67-71:

Artinya : Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya


Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu
hendak menjadikan kami buah ejekan? Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar
tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil". Mereka menjawab: " mohonkanlah
kepada Tuhanmu untuk kami, agar dia menerangkan kepada Kami, sapi betina apakah itu."
Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina
yang tidak tua dan tidak muda, pertengahan antara itu, Maka kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu". Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar
dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah
berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya,
lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya." Mereka berkata: "Mohonkanlah
kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi
betina itu, Karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan Sesungguhnya kami
insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)." Musa berkata:
"Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah
dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak
ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina
yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak
melaksanakan perintah itu. (QS. Al-Baqarah : 67-71).

Cerita tentang lembu betina dalam surat Al-Baqarah di atas merupakan inti
pembicaraannya, yaitu kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan perkataan lain,
tujuan surat ini adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan kepada hari kemudian.

3. Munasabah antar bagian suatu ayat


Munasabah antar bagian surat sering berbentuk pola munasabah Al-tadhadat
(perlawanan) seperti terlihat dalam surat Al-Hadid ayat 4:
Artinya : Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian dia
bersemayam di atas arsy dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar
daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan dia bersama
kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-
Hadid ayat 4).

Antara kata "yaliju”(masuk) dengan kata "yakhruju (keluar), serta kata "yanzilu
(turun) dengan kata"ya'ruju”(naik) terdapat korelasi pertawanan. Contoh lainnya adalah
kata"Al-'adzab' dan Ar-rahmah" dan janji baik setelah ancaman. Munasabah seperti ini dapat
dijumpai dalam suratAl-Baqarah, An-Nisa dan surat Al-Mai'dah.

4. Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan


Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas,
tetapi sering pula tidak jelas. Munasabah antar ayat yang terlihat dengan jelas umumnya
rnenggunakan pola ta'kid (penguat), tafsir (penjelas), i‟tiradh (bantahan), dan tasydid
(penegasan). Munasabah antar ayat yang menggunaan pola ta'kid yaitu apabila salah satu ayal
atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak di sampingnya.
Contoh firman Allah:

Artinya : Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (QS. Al-Fatihah : 1-2).

Munasabah antar ayat menggunakan pola tafsir, apabila satu ayat atau bagian ayat
tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat di sampingnya. Contoh firman
Allah:
Artinya : Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. (Qs. Al-Baqarah : 2-
3).
Makna "muttaqin" pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan
demiklan, orang yang bertakwa adalah orang yang mengimani hal-halyang gaib, mengerjakan
shalat, dan selerusnya.
Munasabah antara ayat menggunakan pola i‟tiradh apabila terletak satu kalimat
atau lebih tidak ada kedudukannya dalam i‟rab (struktur kalimat), baik di pertengahan
kalimat atau di antara dua kalimat yang berhubungan maknanya. Contohnya firman Allah
pada surat An-Nahl ayat 57:

Artinya : Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci
Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-
anak laki-laki). (QS. An-Nahl ayat 57).

Kata "subhanahu" pada ayat di atas merupakan bentuk i'tiradh dari dua ayat yang
mengantarinya. Kata itu merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan
anak perempuan bagi Allah. Adapun munasabah antar ayat menggunakan pola tasydid
apabila satu ayat atau bagian ayat mempertegas arti ayat yang terletak di sampingnya.
Contohnya firman Allah dalam surat Al-Fatihah ayat 6-7:

Artinya : Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang Telah
Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah ayat 6-7).

Ungkapan “Ash-shirath Al-mustaqim"pada ayat 6 dipertegas oleh ungkapan


“Shirathalladzina...”. Antara kedua ungkapan yang saling memperkuat itu terkadang ditandai
dengan huruf athaf (langsung) dan terkadang tidak diperkuat olehnya (tidak langsung).
Munasabah antar ayat yang tidak jelas dapat dilihat melalui qara'in ma'nawiyyah (hubungan
makna) yang terlihat dalam empat pola munasabah: At-tanzir (perbandingan), Al-mudhadat
(perlawanan), istithrad (penjelasan lebih lanjut) dan At-takhallush (perpindahan).

Munasabah yang berpolakan At-tanzir terlihat pada adanya perbandingan antara ayat-
ayat yang berdampingan. Contohnya firman Allah pada surat Al-Anfal ayat 4-5:
Artinya : Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan
memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat)
yang mulia. Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran,
padahal Sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya. (QS.
Al-Anfal: 4-5).
Pada ayat kelima, Allah memerintrahkan kepada RasulNya agar terus
melaksanakan perintah-Nya meskipun para sahabatnya tidak menyukainya. Sementara, pada
ayat keempat, Allah memerintahkannya agar tetap keluar dari rumah untuk berperang.
Munasabah antarkedua ayat tersebut di atas terletak pada perbandingan antara ketidaksukaan
para sahabat terhadap pembagian ghanimah yang dibagikan Rasul dan ketidaksukaan mereka
untuk berperang. Padahal, sudah jelas bahwa dalam kedua perbuatan itu terdapat
keberuntungan, kemenangan, ghanimah, dan kejayaan lslam.

Munasabah yang berpolakan Al-mudhadaf terlihat pada adanya perlawanan


makna antara satu ayat makna yang lain yang berdampingan. Dalam surat Al-Baqarah ayat 6,
misalnya, terdapat ungkapan:

Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri
peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. (QS. Al-
Baqarah : 6).

Ayat ini bebicara tentang watak orang-orang kafir dan sikap mereka terhadap
peringatan, sedangkan ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang watak-watak orang mukmin.
Munasabah yang berpolakan istithradh terlihat pada adanya penjelasan lebih lanjut dari suatu
ayat. Misalnya dalam surat Al-A‟raaf ayat 26 diungkapkan:

Artinya : Hai anak Adam, Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepadamu Pakaian
untuk menutup auratmu dan Pakaian indah untuk perhiasan. dan Pakaian takwa Itulah yang
paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-
mudahan mereka selalu ingat. (QS. Al-A‟raaf ayat 26).

Ayat ini, menurut Az-Zamakhsyari, datang setelah pembicaraan tentang


terbukanya aurat Adam-Hawa dan menutupnya dengan daun. Hubungan ini dimaksudkan
untuk menunjukkan bahwa penciptaan pakaian berupa daun merupakan karunia Allah,
telanjang dan terbuka aurat merupakan suatu perbuatan yang hina, dan menutupnya
merupakan bagian yang besar dari takwa.
Selanjutnya, pola muhasabah takhallush terlihat pada perpindahan dari awal
pembicaraan pada maksud tertentu secara halus. Misalnya, dalam surat Al-Araf, mula-mula
Allah berbicaara tentang para Nabi dan umat terdahulu, kemudian tentang Nabi Musa dan
para pengikutya yang selanjutnya berkisah tentang Nabi Muhammad dan umatnya.

5. Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya


Dalam surat Al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 20, misalnya Allah memulai
penjelasan-Nya tentang kebenaran dan fungsi Al-Quran bagi orang-orang yang bertakwa.
Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya dibicarakan tiga kelompok manusia dan sifat-sifat
mereka yang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.

6. Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat


Macam munasabah ini mengandung tujuan tujuan tertentu. Di antaranya adalah
untuk menguatkan (tamkin) makna yang terkandung dalam suatu ayat. Misalnnya, dalam
surat Al-Ahzab ayat 25 diungkapkan sebagai berikut:

Artinya : Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka
penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. dan Allah
menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. dan adalah Allah Maha Kuat lagi
Maha Perkasa. (QS. Al-Ahzab : 25).

Dalam ayat ini, Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan,


bukan karena lemah, melainkan karenaAllah Maha kuat dan Maha perkasa. Jadi, adanya
fashilah diantara kedua penggalan ayat di atas dimaksudkan agar pemahaman terhadap ayat
tersebut menjadi lurus dan sempurna. Tujuan lain dari fashilah, adalah memberi penjelasan
tambahan, yang meskipun tanpa fashilah sebenamya, makna ayat sudah jelas. Misalnya
dalam surat An-Naml ayat 80:

Artinya : Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati


mendengar dan (Tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila
mereka telah berpaling membelakang. (QS. An-Naml ayat 80).
Kalimat “idza wallau mudbirin" merupakan penjelasan tambahan terhadap makna
orang tuli.

7. Munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama


Tentang munasabah semacam ini, As-suyuthi telah mengarang sebuah buku yang
berjudul Marasid Al-Mathali fi Tanasub Al-Maqati „wa Al-Mathali‟. Contoh munasabah ini
terdapat dalam surat Al-Qashas yang bermula dengan menjelaskan perjuangan Nabi Musa
dalam berhadapan dengan kekejaman Firaun. Atas perintah dan pertolonganAllah, Nabi Musa
berhasil keluar dari Mesir dengan penuh tekanan. Di akhir surat Allah menyampaikan kabar
gembira kepada Nabi Muhammad yang menghadapi tekanan dari kaumnya dan janji Allah
atas kemenangannya. Kemudian, jika di awal surat dikemukakan bahwa Nabi Musa tidak
akan menolong orang kafir. Munasabah di sini terletak dari sisi kesamaan kondisi yang
dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.

8. Munasbah antar-penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya


Jika diperhatikan pada setiap pembukaan surat, akan dijumpai munasabah dengan
akhir surat sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. Misalnya, pada permulaan
surat Al-Hadid dimulai dengan tasbih:

Artinya : Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada
Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al-Hadid Ayat 1).

Ayat ini bermunasabah dengan akhir surat sebelumnya. Al-Waqiah yang


memerintahkan bertasbih: Artinya : Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu
yang Maha besar (QS. AL-Waqiah Ayat 96). Kemudian, permulaan surat Al-Baqarah:
Artinya : Alif laam miin. Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah ayat 1-2). Ayat ini bermunasabah dengan akhir surat
Al-Fatihah
Artinya : (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah ayat
7).
BAB IX

RASMU AL-QUR’AN

Pengertian Rasmul Qur’an


Rasmul Al-Qur‟an atau yang lebih dikenal dengan Ar-Rasm Al-„Utsmani lil Mushaf
(penulisan mushaf Utsmani) adalah : Suatu metode khusus dalam penulisan Al-Qur‟an yang
di tempuh oleh Zaid bin Tsabit bersama tiga orang Quraisy yang di setujui oleh Utsman.
Rasmul al-Qur‟an yaitu : Penulisan Al-Qur‟an yang dilakukan oleh 4 sahabat yang dikepalai
oleh Zaid bin Tsabit, dibantu tiga sahabat yaitu Ubay bin Ka‟ab, Ali bin Abi Thalib, dan
Utsman bin Affan yang dilatar belakangi oleh saran dari Umar bin Khattab kepada Abu
Bakar, kemudian keduanya meminta kepada Zaid bin Tsabit selaku penulis wahyu pada
zaman Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam untuk mengumpulkan (menulis) Al-Qur‟an
karena banyaknya para sahabat dan khususnya 700 penghafal Al-Qur‟an syahid pada perang
Yamamah.

Metode khusus dalam Al-Qur‟an yang digunakan oleh 4 sahabat yaitu: Zaid bin
Tsabit, Ubay ibn Ka‟ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan bersama disetujui oleh
khalifah Utsman. Istilah rasmul Qur‟an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur‟an yang
digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-
Qur‟an. Yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari, Mus bin zubair, Said
bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu.

Para ulama meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu : 1. Al–Hadzf
(membuang,menghilangkan,atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif
pada ya‟ nida‟ (‫ٓب انُب ص‬ٚ َ‫ََ٘ ََ آ‬
َ ). 2. Al – Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf
alif setelah wawu atau yang mempunyai hokum jama‟ (‫م‬ٛ‫ ) بُٕا اسزا ئ‬dan menambah alif
setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( ‫)حبهلل حفخؤا‬. 3. Al –
Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis dengan
huruf ber-harakat yang sebelunya, contoh (ٌ‫) ائذ‬. 4. Badal (penggantian), seperti alif ditulis
dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (‫)انصهٕة‬. 5. Washal dan fashl(penyambungan
dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( ‫كهًب‬
). 6. Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya
disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya.
Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan
alif, contohnya,(ٍٚ‫ٕو اند‬ٚ ‫) يهك‬. Ayt ini boleh dibaca dengan menetapkan alif(yakni dibaca dua
alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat(yakni dibaca satu alif).

Pendapat Para Ulama Tentang Rasmul Qur’an.


Para ulama telah berbeda pendapat mengenai status rasmul Al-Qur‟an ini. Sebagian
dari mereka berpendapat bahwa rasmul qur‟an bersifat tauqifi.yang mana mereka merujuk
pada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa nabi pernah berpesan kepada
mu‟awiyah,salah seorang seketarisnya, “Ambillah tinta, tulislah huruf” dengan qalam (pena),
rentangkan huruf “baa”, bedakan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis
lafadz “Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz “Ar-Rahim”
yang indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga kiri, ia akan selalu mengingat Engkau.
Merekapun mengutip pernyataan Ibnu Mubarak :“Tidak seujung rambutpun dari huruf
Qur‟ani yang ditulis oleh seorang sahabat Nabi atau lainnya.

Rasm Qur‟ani adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar petunjuk dan tuntunan
langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang menyuruh mereka (para sahabat) menulis
rasm qur‟ani itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk tambahan huruf alif dan
pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tidak dapat dijangkau akal fikiran, yaitu
rahasia yang dikhususkan Allah bagi kitab-kitab suci lainnya”. Sebagian besar para ulama
berpendapat bahwa rasmul qur‟an bukan tauqifi,tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan
yang disetujui oleh ustman dan diterima umat,sehingga wajib diikuti dan di taati siapapun
yang menulis alqur‟an. Tidak ada yang boleh menyalahinnya. Banyak ulama terkemuka yang
menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasmul ustmani.

Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al Qur‟an versi Mushaf


„Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola
tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi). Pola itu harus dipertahankan walaupun beberapa
di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn
Hanbal dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis Al Qur‟an menyalahi rasm
„Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas
(jumhur ulama).
Ulama yang tidak mengakui rasm „Utsmani sebagai rasm tauqifi, berpendapat bahwa
tidak ada masalah jika Al Qur‟an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imla‟i). Soal
pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla‟i,
ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol
pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna Al Qur‟an.

Kaitan Rusmul Qur’an Dengan Qira’at

Secara etimologi Qiraat adalah jamak dari Qira‟ah, yang berarti „bacaan‟, dan ia
adalah masdar (verbal noun) dari Qara‟a. Secara terminologi atau istilah ilmiyah Qiraat
adalah salah satu Mazhab (aliran) pengucapan Qur‟an yang dipilih oleh seorang imam qurra‟
sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab yang lainya. Qiraat ini ditetapkan
berdasarkan sabad-sanadnya sampai kepada Rasulullah.

Periode qurra‟ (ahli / imam qiraat) yang mengajarkan bacaan Qur‟an kepada orang-
orang menurut cara mereka masing-masing adlah dengan berpedoman kepada masa para
sahabat.diantara para sahabat yang terkenal yang mengajarkan qiraat ialah Ubai, Ali, Zaid bin
Sabit, Ibn Mas‟ud, Abu Musa Al-Asy‟ari dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar
sahabat dan Tabi‟in di berbagai negri belajar qira‟at yang semuanya bersandar kepada
Rasulullah. Sahabat-sahabat nabi terdiri dari beberapa golongan.

Tiap-tiap golongan itu mempunya lahjah (bunyi suara / sebutan) yang berlainan satu
sama lain. Memaksa mereka menyebut pembacaan atau membunyikan al-Qur‟an dengan
lahjah yang tidak mereka biasakan, suatu hal menyukarkan. Maka untuk mewujudkan
kemudahan, Allah Yang Maha Bijaksana menurunkan al-Qur‟an dengan lahjah-lahjah yang
biasa dipakai oleh golongan Quraisy dan oleh golongan-golongan yang lain di tanah Arab.

Oleh karna itu menghasilkan bacaan al-Qur‟an dalam berbagai rupa atau macam
bunyi lahjah. Dan bunyi lahjah yang biasa ditanah Arab ada tujuh macam. Di samping itu ada
beberapa lahjah lagi. Sahabt-sahabat nabi menerima al-Qur‟an dari nabi menurut lahjah
bahasa golonganya. Dan masing-masing mereka meriwayatkan al-Qur‟an menurut lahjah
mereka sendiri. Sesudah itu munculah segolongan ulama yang serius mendalami ilmu qira‟at
sehingga mereka menjadi pemuka qira‟at yang dipegangi dan dipercayai. Oleh karena mereka
semata-mata mendalami qira‟at untuk mendakwahkan al-Qur‟an pada umatnya sesuai dengan
lahjah tadi.
Kemudian muncullah qurra-qurra yang kian hari kian banyak. Maka ada diantara
mereka yang mempunyai keteguhan tilawahnya, lagi masyhu, mempunyai riwayah dan
dirayah dan ada diantara mereka yang hanya mempunyai sesuatu sifat saja dari sifat-sifat
tersebut yang menimbulkan perselisihan yang banyak. Untuk menghindarkan umat dari
kekeliruan para ulama berusaha menerangkan mana yang hak mana yang batil. Maka segala
qira‟at yang dapat disesuaikan dengan bahasa arab dan dapat disesuaikan dengan salah satu
mushaf Usmani serta sah pula sanadnya dipandang qira‟at yang bebas masuk kedalam qira‟at
tujuh, maupun diterimanya dari imam yang sepuluh ataupun dari yang lain.

Meskipun mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai satu-satunya mushaf yang


dijadikan pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam pembacaan Al-Qur‟an, namun
demikian masih terdapat juga perbedaan dalam pembacaan.

Hal ini disebabkan penulisan Al-Qur‟an itu sendiri pada waktu itu belum mengenal
adanya tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan belum ada baris harakat.
BAB X
TARJAMA WA TA’WIL
Pengertian Ta’wil
Kata ta‟wīl berasal dari kata al-awl, yang berarti kembali (ar-rujǔ‟) aatau dari kata al-
ma‟ǎl yang artinya tempat kembali (al-mashīr) dan al-aqībah yang berarti kesudahan.Ada
yang menduga bahwa kata ini berasal dari kata al-iyǎlah yang berarti mengatur (al-siyasah).
Sedangkan menurut istilah menurut Al-Jurjani: ialah memalingkan lafad dari makna yang
dhahir kepada makna yang muhtamil, apabila makna yang mu‟yamil tidak berlawanan
dengan al-quran dan as-sunnah.

Contoh :“Bahwasanya rabb mu sungguh memperhatikan kamu”


Tafsirnya: Bahwasanya allah senantiasa dalam mengintai-intai memperhatika keadaan
hambanya”
Ta‟wil:Menakutkan manusia dari berlalai-lalai, dari lengah mempersiapkan persiapan yang
perlu.

Pengertian Terjemah

Kata terjemah berasal dari bahasa arab, “tarjama” yang berarti menafsirkan dan
menerangkan dengan bahasa yang lain (fassara wa syaraha bi lisanin akhar), kemudian
kemasukan “ta‟ marbutah” menjadi al-tarjamatun yang artinya pemindahan atau penyalinan
dari suatu bahasa ke bahasa lain (naql min lighatin ila ukhra).

Sedangkan menurut istilah:


Terjamah Harfiyah: memindahkan kata-kata dari suatu bahasa yang sinonim dengan bahasa
yang lain yang susunan kata yag diterjemahkan sesui dengan kata-kata yang menerjemahkan,
dengan syarat tertib bahasanya.

Terjemah Tafsiriah atau Maknawiyah: menjelaskan maksud kaliamat (pembicaraan)


dengan bahasa yang lai tanpa keterikatan dengan tertib kalimat aslinya atau tanpa
memerhatikan susunannya.
Persamaan Tafsir, Ta’wil dan Terjemah
a. Ketiganya menerangkan makna ayat-ayat al-Qur‟an
b. Ketiganya sebagai sarana untuk memahami al-Qur‟an

Perbedaan Tafsir, Ta’wil dan Terjemah


a. Tafsir: menjelaskan makna ayat yang kadang-kadang dengan panjang lebar,
lengkap dengan penjelasan hokum-hukum dan hikmah yang dapat diambil dari
ayat itu dan seringkali disertai dengan kesimpulan kandungan ayat-ayat
tersebut.
b. Ta’wil: mengalihkan lafadz-lafadz ayat al-Qur‟an dari arti yang lahir dan rajih
kepada arti lain yangsamar dan marjuh.
c. Terjemah: hanya mengubah kata-kata dari bahasa arab kedalam bahasa lain
tanpa memberikan penjelasan arti kiandungan secara panjang lebar dan tidak
menyimpulkan dari isi kandungannya.
BAB XI
TAFSIR
Pengertian Tafsir
Tafsir diambil dari kata fassara – yupassiru–tafsiran yang berarti keterangan,
penjelasan atau uraian. Sedangkan Menurut istilah:
i. Menurut al-Jurjani, tafsir adalah menjelaskan makna ayat keaaannya,
kisahnya, dan sebab yang karenanya ayat diturunkan, dengan lafadz
yang menunjukkan kepadanya dengan jelas sekali.
ii. Menurut az-Zarkazyi, ialah suatu pengetahuan yang dengan
pengetahuan itu dapat dipahamkan kibullah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW menjelaskan maksud-maksudnya
mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmahnya.
iii. Menurut al-Kilbyi ialah mensyarahkan al-qur‟an, menerangkan
maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan
nashnya atau dengan isyaratnya ataupun dengan najwahnya.
iv. Menurut Syeikh Thorir, ialah mensyarahkan lafad yang sukar
difahamkan oleh pendengan dengan uraian yang menjelaskan maksud
dengan menyebut muradhifnya atau yang mendekatinya atau ia
mempunyai petunjuk kepadanya melaui suatu jalan (petunjuk).

Kedudukan Tafsir
Tafsir ialah dari ilmu-ilmu syari‟at yang paling mulia dan paling tinggi. Ia adalah ilmu
yang paling mulia, sebagai judul, tujuan, dan kebutuhan, karena judul pembicaraan ialah
kalam atau wahyu Allah SWT yang jadi sumber segala hikmah dan sumber segala
keutamaan. Selanjutnya, bahwa jadi tujuannya ialah berpegang pada tali Allah yang kuat dan
menyampaikan kepada kebahagiaan yang hakikat atau sebenamya. Sesungguhnya makin
terasa kebutuhan padanya ialah, karena setiap kesempurnaan agama dan dunia, haruslah
sesuai dengan ketentuan syara‟. Ia sesuai bila ia sesuai dengan ilmu yang terdapat dalam
Kitab Allah SWT.
Macam-Macam Tafsir
1). Tafsir Bil Ma’tsur
Tafsir bi al-ma‟tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an yang bersumber dari
nash-nash, baik nash al-Qur‟an, sunnah Rasulullah saw, pendapat (aqwal) sahabat, ataupun
perkataan (aqwal) tabi‟in. Dengan kata lain yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma‟tsur adalah
cara menafsirkan ayat al-Qur‟an dengan ayat al-Qur‟an, menafsirkan ayat Al Qur‟an dengan
sunnah, menafsirkan ayat al-Qur‟an dengan pendapat para sahabat, atau menafsirkan ayat al-
Qur‟an dengan perkataan para tabi‟in.
a. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an:
Misalnya dalam surat Al-Hajj: 30
“Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan
kepadamu keharamannya…”. Kalimat ‘diterangkan kepadamu’ (illa ma yutla „alaikum)
ditafsirkan dengan surat al-Maidah:3
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah.. “

b. Menafsirkan Al-Qur’an dengan As-Sunnah/Hadits


Contoh Surat Al-An‟am ayat 82:
ٌٔ‫ًبَٓى بظهى أٔنئك نٓى األيٍ ْٔى يٓخد‬ٚ‫هبسٕا إ‬ٚ ‫ٍ آيُٕا ٔنى‬ٚ‫انذ‬
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman,
mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan dan mereka orang-orang yang
mendapat petunjuk”
Kata “al-zulm” dalam ayat tersebut, dijelaskan oleh Rasul Allah saw dengan
pengertian “al-syirk” (kemusyrikan).

c. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat


Contoh surat an-Nisa‟ ayat 2
Mengenai penafsiran sahabat terhadap Alquran ialah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan
Ibnu Halim dengan Sanad yang saheh dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menerangkan ayat
ini:
‫زا‬ٛ‫ب ٔال حأكهٕا أيٕانٓى إنٗ أيٕانكى إَّ كبٌ حٕبب كب‬ٛ‫ث ببنط‬ٛ‫خبيٗ أيٕانٓى ٔال حخبدنٕا انخب‬ٛ‫ٔآحٕا ان‬
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu
menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama
hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang
besar.”
Kata ”hubb” ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dengan dosa besar.

d. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para Tabi’in:


Contoh Surat Al-Fatihah:
Penafsiran Mujahid bin Jabbar tentang ayat: Shiraat al-Mustaqim yaitu kebenaran.
Contoh bukunya:
1) Jami al-bayan fi tafsir Al.Qur‟an, Muhammad B. Jarir al. Thabari, W. 310 H. terkenal
dengan tafsir Thabari
2) Bahr al-Ulum, Nasr b. Muhammad al- Samarqandi, w. 373 H. terkenal dengan tafsir al-
Samarqandi.
3) Ma‟alim al-Tanzil, karya Al-Husayn bin Mas‟ud al Baghawi, wafat tahun 510, terkenal
dengan tafsir al Baghawi.

2). Tafsir Bir Ra’i


Yaitu penafsiran Al-Qur‟an berdasarkan rasionalitas pikiran (ar-ra‟yu), dan
pengetahuan empiris (ad-dirayah). Tafsir jenis ini mengandalkan kemampuan “ijtihad”
seorang mufassir, dan tidak berdasarkan pada kehadiran riwayat-riwayat (ar-riwayat).
Disamping aspek itu mufassir dituntut untuk memiliki kemampuan tata bahasa, retorika,
etimologi, konsep yurisprudensi, dan pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan
wahyu dan aspek-aspek lainnya menjadi pertimbangan para mufassir.
Contoh surat al-Alaq: 2
“Khalaqal insaana min „alaq”
Kata alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz alaqah yang berarti
segumpal darah yang kental.

a) Tafsir Terpuji (Mahmud)


Suatu penafsiran yang cocok dengan tujuan syar‟i, jauh dari kesalahan dan kesesatan,
sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, serta berpegang teguh pada ushlub-ushlubnya
dalam memahami nash Al-Qur‟an.
b) Tafsir Al-Bathil Al-Madzmum
Suatu penafsiran berdasarkan hawa nafsu, yang berdiri di atas kebodohan dan
kesesatan. Manakala seseorang tidak faham dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, serta tujuan
syara‟, maka ia akan jatuh dalam kesesatan, dan pendapatnya tidak bisa dijadikan acuan.
Contoh bukunya:
1) Mafatih al-Ghayb, Karya Muhammad bin Umar bin al-Husain al Razy, wafat tahun 606,
terkenal dengan tafsir al Razy.
2) Anwar al-Tanzil wa asrar al-Ta‟wil, Karya „Abd Allah bin Umar al-Baydhawi, wafat
pada tahun 685, terkenal dengan tafsir al-Baydhawi.
3) Aal-Siraj al-Munir, Karya Muhammad al-Sharbini al Khatib, wafat tahun 977, terkenal
dengan tafsir al Khatib.

3). Tafsir Bil Isyari


Suatu penafsiran diamana menta`wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai
usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi.
Contoh :
“...Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah…”
Yang mempunyai makna zahir adalah “……Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyembelih seekor sapi betina…” Tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan
“….Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah…”
Contoh dalam kisah :
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah
Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami.”

Penjelasan: Allah telah menganugerahkan ilmu-Nya kepada Khidhir tanpa melalui


proses belajar sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang biasa. Ia memperoleh ilmu
karena ketaatan dan kesalihannya. Ia jauh dari maksiat dan dosa. Ia senantiasa mendekatkan
diri kepada Allah. Dalam kesuciannya, Khidhir diberikan ilmu dari sisi-Nya yang dinamakan
ilmu ladunni menggunakan pendekatan qalbi (hati) atau rasa.
REFERENSI
Sumber Buku:
Yayasan Pendidikan dan Pondok Pesantren Al-Mu’min, Al-Qur‟an Sebagai Bukti yang
Nyata dari Sisi Alla Jilid 10. Jakarta. 2009.

Drs. H.M. Sonhaji, Prof. H. Zaini Dahlan, MA, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Universitas
Islam Indonesia, PT. Verisia Yogya Grafika dan PT. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta. 1991.

Sumber Internet:
http://quranfollow.blogspot.com/2016/01/asbabun-nuzul-dan-tahapan-turunnya-al.html
http://buyahamka.org/bagian-sebelum-tafsir-2/ijazul-quran/
https://studipemikiranquranhadist.wordpress.com/
http://khalifahcenter.com/q49.14
https://www.materipendidikan.info/2017/09/nuzulul-al-quran-pengertian-sejarah.html
https://www.google.com/search?q=Ulumul+Quran+dan+ruang+lingkupnya
http://www.ilmusaudara.com/2016/08/cabang-cabang-ulumul-quran-menurut-para-
ahli.html
MAKALAH ULUMUL QUR’AN

DOSEN PEMBIMBING

Bapak M. Jaedi, M.Ag

DISUSUN OLEH

Mochammad Asep Nurrochmat

Akhmad Faozi

UNIVERSITAS WIRALODRA INDRAMAYU

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2018-2019

Anda mungkin juga menyukai