Kata Ulumul Qur‟an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “Ulum”
dan “Al-Qur‟an”. Kata ulum adalah bentuk jamak dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu.
Kata ulum yang disandarkan pada kata Al-Qur‟an telah memberikan pengertian bahwa ilmu
ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur‟an, baik dari segi
keberadaanya sebagai Al-Qur‟an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang
terkandung di dalamnya.
Adapun definisi „Ulum Al-Qur‟an secara istilah, para ulama memberikan redaksi
yang berbeda – beda, sebagaimana dijelaskan berikut ini :
“Ilmu yang mencangkup pembahasan – pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur‟an dari
sisi informasi tentang asbab an-nuzul (sebab-sebab turunnya Al-Qur‟an), kodifikasi dan tertib
penulisan Al-Qur‟an, ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah dan ayat-ayat yang diturunkan di
Madinah, dan hal-hal yang lain yang berkaitan dengan Al-Qur‟an.”
2. Menurut Az-Zarqani
“Beberapa pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur‟an, dari sisi turun, urutan penulisan,
kodifikasi, cara membaca, kemukjizatan, nasikh, munsukh, dan penolakan hal-hal yang bisa
menimbulkan keraguan terhadapnya, serta hal-hal lain.”
“Sebuah ilmu yang memiliki banyak objek pembahasan yang berhubungan dengan Al-
Qur‟an, mulai proses penurunan, urutan penulisan, penulisan, kodifikasi, cara membaca,
penafsiran, kemukjizatan, nasikh-mansukh, muhkan-mutasyabih, sampai pembahasan-
pembahasan lain.”
Walaupun dengan redaksi yang sedikit berbeda, ketiga definisi di atas memiliki
maksud yang sama. Sehingga ketiga ulama tersebut sepakat bahwa „Ulumul Qur‟an adalah
sejumlah pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur‟an.
1. Riwayat mutawatir
2. Riwayat ahad
3. Riwayad syadz
4. Macam-macam qira‟at Nabi
5. Para perawi dan penghafal Al-Qur‟an
6. Cara-cara penyebaran riwayat
Dr. Ahmad al-Sayyid al-Kumi dan Dr. Muhammad Ahmad Yusuf al-Qosim
mengemukakan: setidak-tidaknya, ada lima makna nuzul yaitu, dua diantaranya yang telah
disebutkan di atas, sedangkan dua makna lainnya yang berarti: “tertib, teratur” dan kata yang
berarti “perkumpulan”. Kemudian yang terakhir kata: nuzul juga dapat berarti “turun secara
berangsur-angsur dan terkadang sekaligus”
Al-qur‟an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi muhammad lewat
perantara malaikat Jibril. Wahyu yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad
adalah pada saat beliau berkholwat di Gua Hiro‟. Beliau di datangi malaikat Jibril dan
menyuruhnya membaca, Nabipun sangat takut dan bergemetar lalu berkata “Saya tidak bisa
membaca” karena Nabi adalah ummy (buta huruf). Tapi Jibril dengan sabar mengajari beliau,
dan itulah wahyu yang pertama kali turun yaitu surat al-„Alaq ayat 1-5
Tahap kedua: al-qur‟an diturunkan dari lauh al-mahfuzh ke bait al-„izzah yang
berada di langit dunia. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 185
yang artinya:
“Bulan ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-qur‟an sebagi petunjuk bagi
manusia, dan memberikan penelasan-penjelasan mengenai petunjuk tersebut serta sebagai
pembeda antara yang hak dan yang batil.”
Tahap ketiga: al-qu‟an diturunkan dari bait al-„izzah (langit dunia) dengan perantara
Jibril as. kepada Rasul s.a.w untuk pertama kalinya pada tanggal 17 bulan ramadhan, dan
berlanjut secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Pendapat tersebut dianut
oleh para jumhur „ulama. Mereka mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan turunnya al-
qur‟an pada ketiga ayat diatas ialah turunnya secara keseluruhan sekaligus, bukan berangsur-
angsur. Sebab ayat-ayat tersebut bukan berbicara tentang permulaan turunnya al-qur‟an. Oleh
karena itu, jumhur „ulama sepakat untuk mengambil makna lahirnya ayat, tanpa
mena‟wilkannya, dalam kaitan ini setidak-tidaknya ada tiga hadis yang dijadikan sebagi
pegangan untuk memperkuat pendapatnya itu dalam menginterpretasikan makna ayat-ayat
tersebut.
1. Pengertian Qiraat
Menurut bahasa, qira‟at ( )قزاءاثadalah bentuk jamak dari qira‟ah ( )قزاءةyang
merupakan isim masdar dari qaraa ()قزأ, yang artinya : bacaan
Pengertian qira‟at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan
makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan diberikan dua
pengertian qira‟at menurut istilah.
Dari pengertian di atas, tampaknya al-Zarkasyi hanya terbatas pada lafal-lafal al-Qur'an
yang memiliki perbedaan qira‟at saja. Ia tidak menjelaskan bagaimana perbedaan qira‟at itu
dapat terjadi dan bagaimana pula cara mendapatkan qira‟at itu. Ada pengertian lain tentang
qira‟at yang lebih luas daripada pengertian dari al-Zarkasyi di atas, yaitu pengertian qira‟at
menurut pendapat al-Zarqani. Al-Zarqani memberikan pengertian qira‟at sebagai : “Suatu
mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra‟ yang berbeda dengan yang
lainnya dalam pengucapan al-Qur‟an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq
darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.”
Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci
tersebut adalah qira‟at, riwayat dan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan pengetian dan
perbedaan antara qira‟at dengan riwayat dan tariqah, sebagai berikut :
Qira‟at adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra‟ yang
tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira‟at Nafi‟, qira‟at Ibn Kasir, qira‟at Ya‟qub dan
lain sebagainya.
Sedangkan Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari
para qurra‟ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi‟ mempunyai dua orang
perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun „anNafi‟ atau riwayat
Warsy „an Nafi‟.
Adapun yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang
yang mengambil qira‟at dari periwayat qurra‟ yang tujuh, sepuluh atau empat belas.
Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq
al-Azraq „an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan
qira‟at Nafi‟ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.
Kedua, qira‟at mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-
orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan
dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis yang panjang
tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca al-Qur‟an dengan tujuh huruf
adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar – yang disebutkan dalam hadis
tersebutterletak di dekat kota Madinah.
Kuatnya pendapat yang kedua ini tidak berarti menolak membaca surat-surat yang
diturunkan di Makkah dalam tujuh huruf, karena ada hadis yang menceritakan tentang adanya
perselisihan dalam bacaan surat al-Furqan yang termasuk dalam surat Makkiyah, jadi jelas
bahwa dalam surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh huruf.
Ketika mushaf disalin pada masa Usman bin Affan, tulisannya sengaja tidak diberi titik
dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya dapat menampung lebih dari satu qira‟at yang
berbeda. Jika tidak bisa dicakup oleh satu kalimat, maka ditulis pada mushaf yang lain.
Demikian seterusnya, sehingga mushaf Usmani mencakup ahruf sab‟ah dan berbagai qira‟at
yang ada.
Periwayatan dan Talaqqi (si guru membaca dan murid mengikuti bacaan tersebut) dari
orang-orang yang tsiqoh dan dipercaya merupakan kunci utama pengambilan qira‟at al-
Qur‟an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para
sahabatnya. Para sahabat berbeda-beda ketika menerima qira‟at dari Rasulullah. Ketika
Usman mengirimkan mushaf-mushaf ke berbagai kota Islam, beliau menyertakan orang yang
sesuai qiraatnya dengan mushaf tersebut. Qira‟at orang-orang ini berbeda-beda satu sama
lain, sebagaimana mereka mengambil qira‟at dari sahabat yang berbeda pula, sedangkan
sahabat juga berbeda-beda dalam mengambil qira‟at dari Rasulullah SAW.
Dapat disebutkan di sini para Sahabat ahli qira‟at, antara lain adalah : Usman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas‟ud, Abu al-Darda‟, dan Abu
Musa al-„Asy‟ari.
Para sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam dengan membawa
qira‟at masing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga ketika Tabi‟in mengambil
qira‟at dari para Sahabat. Demikian halnya dengan Tabiut-tabi‟in yang berbeda-beda dalam
mengambil qira‟at dari para Tabi‟in.
Ahli-ahli qira‟at di kalangan Tabi‟in juga telah menyebar di berbagai kota. Para Tabi‟in
ahli qira‟at yang tinggal di Madinah antara lain : Ibn al-Musayyab, „Urwah, Salim, Umar bin
Abdul Aziz, Sulaiman dan‟Ata‟ (keduanya putra Yasar), Muadz bin Harits yang terkenal
dengan Mu‟ad al-Qari‟, Abdurrahman bin Hurmuz al-A‟raj, Ibn Syihab al-Zuhri, Muslim bin
Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Makkah, yaitu: „Ubaid bin‟Umair, „Ata‟ bin Abu Rabah, Tawus,
Mujahid, „Ikrimah dan Ibn Abu Malikah. Tabi‟in yang tinggal di Kufah, ialah : „Alqamah, al-
Aswad, Maruq, „Ubaidah, „Amr bin Surahbil, al-Haris bin Qais,‟Amr bin Maimun, Abu
Abdurrahman al-Sulami, Said bin Jabir, al-Nakha‟i dan al-Sya'bi.
Sementara Tabi‟in yang tinggal di Basrah , adalah Abu „Aliyah, Abu Raja‟, Nasr bin
„Asim, Yahya bin Ya‟mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah. Sedangkan Tabi‟in yang tinggal
di Syam adalah : al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi dan Khalid bin Sa‟d.
Keadaan ini terus berlangsung sehingga muncul para imam qiraat yang termasyhur,
yang mengkhususkan diri dalam qira‟at – qira‟at tertentu dan mengajarkan qira‟at mereka
masing-masing.
Menurut Sya‟ban Muhammad Ismail, kedua pendapat itu dapat dikompromikan. Orang
yang pertama kali menulis masalah qiraat dalam bentuk prosa adalah al-Qasim bin Salam,
dan orang yang pertama kali menullis tentang qira‟at sab‟ah dalam bentuk puisi adalah
Husain bin Usman al-Baghdadi.
Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun qira‟at Sab‟ah dalam
kitabnya Kitab al-Sab‟ah. Dia hanya memasukkan para imam qiraat yang terkenal siqat dan
amanah serta panjang pengabdiannya dalam mengajarkan al-Qur‟an, yang berjumlah tujuh
orang. Tentunya masih banyak imam qira‟at yanng lain yang dapat dimasukkan dalam
kitabnya.
Ibn Mujahid menamakan kitabnya dengan Kitab al-Sab‟ah hanyalah secara kebetulan,
tanpa ada maksud tertentu. Setelah munculnya kitab ini, orang-orang awam menyangka
bahwa yang dimaksud dengan ahruf sab‟ah adalah qira‟at sab‟ah oleh Ibn Mujahid ini.
Padahal masih banyak lagi imam qira‟at lain yang kadar kemampuannya setara dengan tujuh
imam qira‟at dalam kitab Ibn Mujahid.
Abu al-Abbas bin Ammar mengecam Ibn Mujahid karena telah mengumpulkan qira‟at
sab‟ah. Menurutnya Ibn Mujahid telah melakukan hal yang tidak selayaknya dilakukan, yang
mengaburkan pengertian orang awam bahwa Qiraat Sab‟ah itu adalah ahruf sab‟ah seperti
dalam hadis Nabi itu. Dia juga menyatakan, tentunya akan lebih baik jika Ibn Mujahid mau
mengurangi atau menambah jumlahnya dari tujuh, agar tidak terjadi syubhat.
Banyak sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab‟ah ini. Yang
paling terkenal diantaranya adalah : al-Taysir fi al-Qira‟at al-Sab‟i yang diisusun oleh Abu
Amr al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi Qira‟at al-Sab‟i karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi
Qira‟at al-„Asyr karya Ibn al-Jazari dan Itaf Fudala‟ al-Basyar fi al-Qira‟at al-Arba‟ah
„Asyara karya Imam al-Dimyati al-Banna. Masih banyak lagi kitab-kitab lain tentang qira‟at
yang membahas qiraat dari berbagai segi secara luas, hingga saat ini.
2. Q ira‟at Masyhur
Qira‟at Masyhur adalah qira‟at yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah
SAW. diriwayatkan oleh beberapa orang yang adil dan kuat hafalannya, serta qira‟at -nya
sesuai dengan salah satu rasam Usmani; baik qira‟at itu dari para imam qira‟at sab‟ah, atau
imam Qiraat‟asyarah ataupun imam-imam lain yang dapat diterima qira‟at -nya dan dikenal
di kalangan ahli qira‟at bahwa qira‟at itu tidak salah dan tidak syadz, hanya saja derajatnya
tidak sampai kepada derajat Mutawatir
Misalnya ialah qira‟at yang diperselisihkan perawiannya dari imam qira‟at Sab‟ah,
dimana sebagian ulama mengatakan bahwa qira‟at itu dirawikan dari salah satu imam qira‟at
Sab‟ah dan sebagian lagi mengatakan bukan dari mereka. Dua macam qira‟at di atas, qira‟at
Mutawatir dan qira‟at Masyhur, dipakai untuk membaca al-Qur‟an, baik dalam shalat
maupun diluar shalat, dan wajib meyakini ke-Qur‟an-annya serta tidak boleh mengingkarinya
sedikitpun.
3. Q ira‟at Ahad
Qira‟at Ahad adalah qiraat yang sanadnya bersih dari cacat tetapi menyalahi rasam
Utsamani dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Juga tidak terkenal di kalangan imam
qiraat. Qira‟at Ahad ini tidak boleh dipakai untuk membaca al-Qur‟an dan tidak wajib
meyakininya sebagai al-Qur‟an.
4. Q ira‟at Syazah
Qira‟at Syazah adalah qira‟at yang cacat sanadnya dan tidak bersambung sampai
kepada Rasulullah SAW. Hukum Qiraat Syazah ini tidak boleh dibaca di dalam maupun di
luar sholat.
qira‟at Syazah dibagi lagi dalam 5 (lima) macam, sebagai berikut :
a. Ahad, yaitu qira‟at yang sanadnya sahih tetapi tidak sampai mutawatir dan menyalahi
rasam Usmani atau kaidah bahasa Arab.
b. Syaz, yaitu qira‟at yang tidak mempunyai salah satu dari rukun yang tiga.
c. Mudraj, yaitu qira‟at yang ditambah dengan kalimat lain yang merupakan tafsirnya.
d. Maudu‟, yaitu qira‟at yang dinisbahkan kepada orang yang mengatakannya
(mengajarkannya) tanpa mempunyai asal usul riwayat qiraat sama sekali.
e. Masyhur, yaitu qira‟at yang sanadnya shahih tetapi tidak mencapai derajat mutawatir
serta sesuai dengan kaeidah tata bahasa Arab dan Rasam Usmani.
Dari segi jumlah, macam-macam qira‟at dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam qiraat
yang terkenal, yaitu :
1. Qira‟at Sab‟ah, adalah qira‟at yang dinisbahkan kepada para imam Qurra‟ yang tujuh
yang termasyhur. Mereka adalah Nafi‟, Ibn KAsir, Abu Amru, Ibn Amir, Ashim, Hamzah
dan Kisa‟i.
2. Qira‟at „Asyarah, adalah qira‟at Sab‟ah di atas ditambah dengan tiga qiraat lagi, yang
disandarkan kepada Abu Ja‟far, Ya‟kub dan Khalaf al-„Asyir.
3. Qira‟at Arba‟ „Asyarah, adalah qira‟at „Asyarah lalu ditambah dengan empat qiraat lagi
yang disandarkan kepada Ibn Muhaisin, Al-Yazidi, Hasan al-Bashri dam al-A‟masy.
Dari ketiga macam qira‟at di atas, yang paling terkenal adalah Qiraat Sab‟ah kemudian
disusul oleh qira‟at „Asyarah.
BAB 1V
ASBABUN NUZUL AL-QUR’AN
Pengertian
Menurut Al-Zarqani dalam kitabnya Manahil Al-Irfan fi Ulum Al-Quran, yang
dimaksud dengan asbab nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi mengiringi ayat-ayat
itu diturunkan untuk membicarakan peristiwa tersebut, atau menjelaskan ketentuan
hukumnya. Sementara menurut Manna Al-Qahtan asbab nuzul adalah sebagai peristiwa yang
menyebabkan ayat-ayat Al-Quran itu diturunkan waktu kejadian peristiwa tersebut, baik
berupa pertanyaan maupun kasus-kasus tertentu.
Berdasarkan dua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa asbab nuzul ayat adalah
berbagai peristiwa baik berupa pertanyaan maupun kasus-kasus tertentu yang menyebabkan
ayat-ayat Al-quran itu diturunkan saat terjadinya peristiwa tersebut, untuk menjelaskan
ketentuan hukumnya.
Sejalan dengan pembahasan di atas bahwa ayat-ayat Al-Quran ada kalanya diturunkan
sebagai jawaban atas pertanyaan yang dihadapkan pada Nabi Muhammad, dan beliau
mengetahui jawabannya secara pasti, maka segeralah jibril menurunkan ayat sebagai jawaban
atas pertanyaan tersebut. Dengan pertanyaan tersebut, merupakan sebab turunnya ayat.
Salah satu contoh pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat adalah pertanyaan
bangsa Yahudi Madinah kepada Nabi SAW., tentang ruh dan beliau belum dapat
menjelaskannya dengan baik kepada mereka. Lalu turunlah ayat ke 85 Surah Al-Isra, yang
berbunyi :
Artinya :” dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu
Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Al-
Isra‟: 85)
Menurut bahasa Asbabun Nuzul berarti turunya ayat-ayat Al-Qur‟an . Al-Qur‟an di
turunkan oleh Allah SWT. Kepada nabi Muhammad SAW. Secara berangsur-angsur lebih
kurang 23 tahun. Al-Qur‟an diturunkan untuk memperbaki akidah, ibadah, akhlaq dan
pergaulan manusia yang sudah menyimpang dari kebenaran.
Akan tetapi hadis-hadis tentang asbab nuzul tidak menyangkut tentang ajaran
keagamaan, tetapi sekedar mengemukakan tentang latar belakang, atau berbagai peristiwa
yang mengiringi turunnya ayat. Oleh sebab itu, kendati lemah, hadis-hadis tersebut dapat
digunakan, sebagai bahan referensi untuk memahami pesan-pesan ayat Al-Quran.
Cara-cara melihat ungkapan asbab nuzul, secara umum disimpulkan oleh para ulama
ada empat yaitu:
1. Diungkapkan dengan kata-kata sebab
2. Diungkapkan dengan kata fa ( maka )
3. Diungkapkan dengan kata nuzuli fi ...
4.Tidak diungkapkan dengan simbol-simbol kata di atas, tetapi alur ceritanya
menunjukkan sebagai ungkapan asbab nuzul.
Para sahabat yang menyaksikan proses turunnya ayat, terkadang mengungkapkan
peristiwa itu dengan kata-kata sababu nuzul al ayat każa ... ( sebab turunnya ayat ini
begini...). Kalau sahabat mengungkapkan simbol tersebut, jelas sekali bahwa sebab nuzulnya
itu sebagaimana yang ia kemukakan itu.
Kemudian ada pula dari kebiasaan mereka itu mengemukakan dengan kata-kata fa (
maka ), dalam kontes pengungkapan peristiwanya. Seusai mengemukakan peristiwanya itu,
lalu mereka mengatakan fanuzilat hażihi al-ayat fi każa, ... Kalau mereka mengatakan dengan
simbol kata tersebut, maka perkataanya itu juga jelas mengemukakan asbab nuzul ayat yang
diceritakannya.
Disamping itu ada kebiasaan sahabat yang mengemukakan asbab nuzul ayat itu
dengan perkataan nuzilat hażihi al-ayat fi każa ... Dan terkadang pula mereka tidak
mengemukakannnya dengan simbol kata-kata yang menunjukkan sebab turunya ayat, tetapi
mereka hanya bercerita tentang sebuah peristiwa, lalu mengemukakan ayat yang diturunkan
dalam peristiwa tersebut.
BAB V
AYATUL MUHKAM WAL MUTASYABBIH
Pengertian
Secara bahasa kata Muhkam berasal dari kata ihkam yang berarti kekukuhan ,
kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Namun secara pengertian ini pada dasarnya
kata tersebut kembali kepada makna pencegahan. Kata muhkam merupakan pengembangan
dari kata “ahkama, yuhkimu, ihkaman” yang secara bahasa adalah atqona wa mana‟a yang
berarti mengokohkan dan melarang. Sedangakan kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh
yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada
kesamaan antara dua hal. Tasyabaha dan isyabaha berarti dua hal yang masig-masing
menyerupai yang lainnya.
Secara istilah (terminologi) para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan definisi
muhkam dan mutasyabih. Di bawah ini ada beberpa definisi menurut Al-Zarqani :
1. Muhkam adalah ayat yang jelas maksudnya. Yang tidak mengandung kemungkinan
nasakh. Mutasyabihat adalah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui
maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allohlah
yang mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus
di awal surat. Pendapat ini dibangsakan al-Alusi kepada pemimpin-pemimpin
madzhab Hanafi.
2. Muhkam adalah ayat yang berdiri sendiri yang tidak memerlukan keterangan.
Mutasayabihat adalah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan.
Kadang-kadang diterangkan melalui ayat atau keterangan lain pulakarena terjadinya
perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad ra.
3. Mungkam adalah ayat yang tunjukan maknanya kuat. Mutasyabihat ialah ayat yang
menunjukan maknanya tidak kuat, yaitu lafalnya mujmal, musykil dll. Pendapat ini
dibangsakan kepada imam al-Razi dan banyak peniliti yang memilihnya.
Dari beberpa pendapat di atas tidak lah terjadi perbedaan pendapat, tetapi malah
diantaranya terdapat persamaan dan kedekatan makna.
Dalam Al-Qur‟an, disebutkan kata-kata muhkam dan mutasyabih. Pertama, lafal muhkam ,
terdapat dalam Q.S. Hud: 1
Ketiga, lafal muhkam dan mutasyabih sama-sama disebutkan dalam Al-Qur‟an. Hal ini
terdapat pada Q.S. Ali Imran : 7
ٍَْٚ ٓج فَب َ َّيب انَّ ِذ ِ ًج ُْ ٍَّ أُ ُّو ْان ِكخ
ٌ ِب ٔ اُخَ ُز ُيخَشب َ كَ ْان ِكْٛ َُْ َٕ انَّ ِذْ٘ اَ َْشَ َل َعه
ٌ ُُّْ خب ِي
ٌ ج ُيحْ َكٚا
ِ هَّ اِال َّ هللا ُ َٔانزْٚ ِٔ َْ ْعهَ ُى حَأٚ هِـّ َٔ َيبْٚ ِٔ َْخَّبِعُْٕ ٌَ َيب حَشبََّ ِي ُُّْ ا ْبخِغَب َء ْانفِ ْخَُـ ِت َٔا ْبخِغَب َء حَأَٛ ٌغ فْٚ َفِٗ قُهُْٕ بِ ِٓ ْى س
ِ ٌَ َّْٕاس ُخ
ٗف
ٍََِّقُْٕ نُْٕ ٌَ ا َيَُّب بِّ ُكمٌّ ِي ٍْ ِع ُْ ِد َربٚ ْان ِع ْه ِى
Artinya:
“Dialah yang telah menurunkan Al-Qur‟an kepadamu, diantaranya ada ayat-ayat muhkamat
yang merupakan induk dan lainnya mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk
menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta‟wilnya padahal tidak ada yang mengetahui
takwilnya kecuali Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya berkata,”Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabihat semuanya itu dari sisi Tuhan kami…”
Berdasarkan tiga ayat tersebut, menceritakan adanya tiga pendapat tentang masalah
ini. Pertama, berpendapat bahwa Al-Qur‟an seluruhnya muhkam berdasarkan ayat pertama.
Kedua, berpendapat bahwa Al-Qur‟an seluruhnya mutasyabih berdasarkan ayat kedua. Ketiga
berpendapat bahwa sebagian ayat Al-Qur‟an muhkam dan lainnya mutasyabih berdasarkan
ayat ketiga. Inilah pendapat yang sahih. Ayat pertama, dimaksudkan dengan muhkam-nya Al-
Qur‟an adalah kesempurnaan dan tidak adanya pertentangan antara ayat-ayatnya. Maksud
mutasyabih dalam ayat kedua adalah menjelaskan segi kesamaan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam
kebenaran, kebaikan dan kemukjizatannya
Perbedaan pengertian muhkam dan mutasyabih sehingga hal ini terasa menyulitkan
untuk membuat sebuah kriteria ayat yang termasuk muhkam dan mutasyabih. J.M.S Baljon,
mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat bahwa termasuk kriteria ayat-ayat
muhkamat adalah apabila ayat-ayat tersebut berhubungan dengan hakikat (kenyataan),
sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang menuntut penelitian (tahqiqat). Ali
Ibnu Abi Thalhah memberikan kriteria ayat-ayat muhkamat sebagai berikut. yakni ayat-ayat
yang membatalkan ayat-ayat lain, ayat-ayat yang menghalalkan, ayat-ayat yang
mengharamkan, ayat-ayat yang mengandung kewajiban, ayat-ayat yang harus diimani dan
diamalkan. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan, ayat-
ayat yang dipertukarkan antara yang dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat yang berisi
beberapa variabel, ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang boleh diimani dan
tidak boleh diamalkan.
“Ya Allah, karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahankanlah
pengetahuan tentang ta‟wil kepadanya.”
Pendapat para Ulama
Artinya : “dan pada sisi Allah kunci-kunci semua yang gaib, tak ada yang
mengetahui kecuali Dia sendiri…..
2. Ayat-ayat yang setiap orang bias mengetahui maksudnya melalui penelitian dan
pengkajian, seperti ayat-ayat : Mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas,
panjang, urutannya, dan seumpamanya QS An-Nisa :3
Artinya : “dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap ( hak-hak ) perempuan yang
yatim, maka kawinilah wanita-wanita…”.
3. Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para Ulama tertentu
dan bukan semua Ulama. Maksud yang demikian adalah makna-makna yang tinggi yang
memenuhi hati seseorang yang jernih jiwanya dan mujahid.
Tentang perbedaan pendapat antara ulama khalaf dan ulama salaf mengenai ayat-ayat
mutasyabihat dimulai dari pengertian, berbagai macam sebab dan bentuknya. Dalam bagian
ini, pembagian khusus tentang ayat-ayat mutasyabihat yang menyangkut sifat-sifat Tuhan,
yang dalam istilah As-Suyuti “ayat al-shifat” dan dalam istilah Shubi al-Shalih “mutasyabih
al-shifat” ayat-ayat yang termasuk dalam katagori ini banyak. Diantaranya : Surah ar-
Rahman [55]: 27:
Artinya : Dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Atau dalam Q.S. Taha [20]: 5 Allah berfirman :
Artinya : “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas „Arsy”.
Dalam hal ini, Subhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab.:
Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa jelas diketahui oleh setiap orang. akan tetapi,
pengertian yang demikian secara pasti bukan dimaksudkan oleh ayat. sebab, pengertian yang
demikian membawa kepada asyabih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi
Allah. karena itu, bagaimana cara istiwa‟ di sini Allah tidak di ketahui. selanjutnya,
mempertanyakannya untuk mengetahui maksud yang sebenarnya menurut syari‟at dipandang
bid‟ah (mengada-ada).
Kesahihan mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira‟at Ibnu Abbas.
ِ ُقُْٕ ُل انزَٚٔ ُ هَـُّ اِالَّ هللاْٚ ِٔ َْ ْعهَ ُى حَأٚ َٔ َيب
َِّّاس ُخْٕ ٌَ فِٗ ْان ِع ْه ِى ا َيـَُّب ب
Artinya : Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-orang
yang mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”. (dikeluarkan oleh Abd. al-Razzaq dalam
tafsirnya dari al-Hakim dalam mustadraknya).
b. Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menkwilkan lafal yang makna lahirnya
mustahil kepada makna yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka disebut pula
Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` dengan ketinggian yang abstrak,
berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah
diartikan dengan kedatangan perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah
Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah” dengan
zat “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan “diri” dengan siksa.
Demikian sistem penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama Khalaf.
Alasan mereka berani menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, menurut mereka, suatu hal
yang harus dilakukan adalah memalngkan lafal dari keadaan kehampaan yang mengakibatkan
kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tak bermakna. Selama mungkin
mentakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan untuk
melakukannya.
Kelompok ini, selain didukung oleh argumen aqli (akal), mereka juga mengemukakan
dalil naqli berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis riwayat Ibnu al-Mundzir yang
berbunyi:
ٌَ ًُْٕ ََ ْعهٚ ٍْ ًَّ اَََـب ِي:بل ِ هَُّ اِال َّ هللاُ َٔ انزْٚ ِٔ َْ ْعهَ ُى حَأٚ (ٔ َيب:
َ ََّاس ُخْٕ ٌَ فِٗ ْان ِع ْه ِىا ق َ ِّ ِ قَْٕ نِٙص ف
ٍ ع ٍَِ ا ْب ٍِ َعبَّب
(رٔاِ ابٍ انًُذرا.َُّْـهِٚٔ ْحَـأ
Terjemahan: “dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: : Dan tidak mengetahui
takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”. Berkata Ibnu
Abbas:”saya adalah di antara orang yang mengetahui takwilnya.(H.R. Ibnu al-Mundzir)
BAB VI
Untuk mengetahui dan menentukan Makkiyah dan Madaniyah para ulama bersandar
pada dua cara utama: simāi naqli (pendengaran apa adanya) dan qiyāsi ijtihadi (kias hasil
ijtihad) cara pertama didasarkan pada riwayat sahih para sahabat yang hidup pada saat dan
menyaksikan turunnya wahyu. Atau dari para tabi‟in yang menerima dan mendengar dari
para sahabat dimana dan pristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. Sebagian
besar penentuan Makkiyah dan Madaniyah itu didasarkan pada cara pertama.
Sedangkan cara qiyasi ijtihadi didasarkan pada cirri-ciri Makkiyah dan Madaniyah.
Apabila dalam surah Makkiyah terdapat ayat yang mengandung sifat Madaniyah atau
mengandung pristiwa Madani, maka dikatakan bahwa ayat itu madani, dan apabila dalam
surah Madani terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Makki dan mengandung pristiwa
Makki maka ayat tersebut dikatakan ayat Makkiyah.
Ciri-ciri ayat Makkiyah dan Madaniyah
Ayat-ayat yang turun di Mekkah sebelum hijrah (Makkiyah) dan yang turun di
Madinah sesudah hijrah (Madaniyah) mempunyai konteks yang berbeda. Masyarakat Makkah
adalah masyarakat yang menolak Risalah Nabi Muhammd saw, sedangkan masyarakat
Madinah ialah masyarakat yang menerima ajaran beliau karena itu kedua kelompok ayat
tersebut mempunyai perbedaan dan ciri-ciri khususnya.
Ayat-ayat Makkiyah dalam surah Madaniyah. Dengan menamakan sebuah surah itu
Makkiyah dan Madaniyah tidak berarti bahwa seluruhnya Makkiyah dan Madaniyah sebab di
dalam surah Makkiyah terkadang terdapat ayat-ayat Madaniyah dan di dalam surah
Madaniyah pun terkadang terdapat ayat-ayat Makkiyah. Dengan demikian penamaan surah
itu Makkiyah dan Madaniyah adalah berdasarkan sebagian besar ayat-ayat yang terkandung
di dalamya.
a. Ayat-ayat Makkiyah itu pendek-pendek dan dinamai ayat qhisar, buktinya juz
30 memuat 36 surah yang pada umumnya surah-surah Makkiyah.
b. Dimulai dengan yā ayyuha an-Nās
c. Ayat-ayat Makkkiyah pada umumnya mengandung hal-hal yang berhubungan
dengan keimanan, ancaman dan pahala, kisah-kisah umat terdahulu yang
mengandung pengajaran dan budi pekerti.
d. Setiap surat mengandung lafal Kallā, lafal ini hanya terdapat dalam separuh
terakhir dari Alquran dan disebutkan 33 kali dalam 15 surat.
e. Setiap surat di dalamnya mengandung ayat-ayat sajadah‟
f. Setiap surat diawali dengan huruf-huruf singkat seperti Alif Lāam mîim,
Alif Lāam rā, hāmîm dll. Kecuali pada surah al-Baqarah dan surah Ali-
Imran.
g. Setiap surah di dalamya kisah Adam dan Iblis keculai surah al-Baqarah.
h. Setiap surat yang di dalamnya mengandung kisah para nabi dan umat
terdahulu kecuali pada surat al-Baqarah.
i. Kata-katanya demikian lembut, jernih dan mudah dilagukan sesuai dengan
huruf-hurufnya yang dapat diucapkan lirih dan dapat pula dengan suara keras.
j. Bunyi akhiran ayat-ayat demikian harmonis dan berimbang kadang mendatar,
kadang menggelombang, kadang melemah terpatah-patah dan kadang-kadang
juga menggelegak, mengalun dan menggemuru.
Sedangkan dari segi ciri tema dan gaya bahasa dapatlah diringkas sebagai berikut:
a. Ajakan kepada tauhid dan anjuran beribadah hanya kepada Allah swt,
pembuktian tentang risalah kenabian, kebangkitan dan hari pembalasan, hari
kiamat, neraka dan siksaanya, surga dan kenikmatnnya, argumentasi terhadap
orang-orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat
kauniyah.
b. Meletakkan dasar-dasar dan ketentuan umum perundangan-undangan dan
akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat, dan
penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta
anak yatim, penguburan hidup-hidup bagi perempuan dan tradisi buruk
lainnya.
c. Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi
mereka dan dapat dijadikan sebagai hiburan buat nabi Muhammad saw, untuk
tabah dan sabar dalam menghadapi gangguan dari musuh-musuhnya.
d. Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali,
pernyataanya singkat, di telinga terasa menembus dan terdengar sangat keras,
menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-
lafal sumpah, seperti surah-surah yang pendek.
e. Bukti-bukti kebenaran dan dalil-dalil yang dipergunakan lebih mengutamakan
kebenaran agama
f. Banyak bercerita tentang orang munafik dan problem-problema yang
disebabkan karena mereka.
Jika sebuah surah sesuai dengan ciri-ciri umum surah Makkiyah dalam gaya bahasa,
tingkat keringkasan surah, kesesuain nama, dan bercerita tentang kaum musyrik, maka surah
tersebut digolongkan ke dalam surah Makkiyah karena sesuai ciri-ciri umum surah
Makkiyah. Jika ukuran perbandingan dari sejarah itu tidak dapat memberikan suatu
keputusan yang menenangkan dan meyakinkan, apakah ia termasuk surah makkiyah ataukah
madaniyah maka diperbolehkan bersandarkan pada ciri-ciri di atas. Contoh adalah ayat-ayat
Alquran yang bercerita tentang peperangan dan aturan kenegaraan. jika melihat ciri-ciri dari
tema yang ada pada surah itu kita akan mengategorikannya ke dalam surah madaniyah karena
sama-sama kita ketahui bahwa suasana dakwah pada periode pertama berlangsung sebelum
Rasulullah saw melakukan hijrah tidak berisikan tentang syarat-syarat yang berkenaan
dengan aturan perundang-undangan kenegaraan.
Oleh karena itu menunjukkan bahwa kelompok surah Makkiyah dan Madaniyah
terpengaruh oleh lingkungan Muhammad saw hidup dan tinggal, yaitu bahwa masyarakat
Makkah yang ketika itu adalah masyarkat yang ummi (buta huruf) membuat Rasulullah tidak
mampu pemaparan berupa penjelasan tentang ajaran Islam dan rinciannya secara detail. Akan
tetapi hanya pada masyarakat yang berperadaban yang telah maju sajalah, yang terdapat di
kota Yastrib (Madinah) yang menyebabkan nabi mampu memberikan penjelasan ajarannya
secara terperinci.
Dalam hal ini dapat kita simpulkan bahwa maksud dari pencirian dan pengkhususan
kelompok surah Makkiyah sebagai kelompok surah yang pendek dan ringkas dikarenakan
mayoritas surah Makkiyah adalah surah yang pendek-pendek tapi bukan berarti surah
Makkiyah secara keseluruhan. Begitupula sebaliknya kelompok surah Madaniyah adalah
panjang-panjang akan tetapi pernyataan di atas bukan berarti menunjukkan keterputusan
hubungan antara kedua kelompok surah tersebut dalam Alquran. untuk membuktikan hal
tersebut dapat kita lihat bahwa beberapa surah yang panjang masuk dalam kelompok surah
Makkiyah seperti QS al-An„am (6):151-152. dari dua pristiwa tersebut maka dapat dipahami
ada katerkaitan dan kesesuain dalam surah Makkiyah dan Madaniyah. Seolah-olah kedua
kelompok surat itu turun secara bersamaan.
Jumlah surat di dalam Alquran terdiri dari 114 surat 86 diantaranya turun di Makkah
disebut ayat Makkiyah dan 28 surat turun setelah hijrah ke Madinah disebut ayat Madaniyah.
Agak sulit untuk melacak dan mengidentifikasai secara pasti ayat-ayat Makkiyah dan ayat-
ayat Madaniyah karena urutan tertib ayat tidak mengikuti kronologi waktu turunnya ayat,
tetapi berdasarkan petunjuk nabi (taufiqi). lagi pula mushaf usmani yang menjadi acuan
sntandar sejak semula disusun mengikuti petunjuk nabi. Para ahli tafsir tiada sekata dalam
menetapkan jumlah surat yang turun di Madinah, bahkan berselisih pula tentang menentukan
surat-surat Makkiyah dan Madaniyah.
Surat-surat Makkiyah menurut tertib turunnya. Di bawah ini kami paparkan surat
Makkiyah menurut tertib turunnya berdasarkan keterangan sebagian ulama.
Dari beberapa ayat Makkiyah diatas maka penulis memberikan pengecualian ayat-ayat
Madaniyah dalam surah Makkiyah misalnya, QS al-An‟am (6): 151-153. dan QS al-A‟raf
(7)163-171.
Urgensi Pengetahuan tentang ayat Makkiyah dan Madaniyah
Perbedaan antara Makkiyah dan Madaniyah dalam teks merupakan perbedaan antar
fase. Kedua fase penting yang memiliki andil dalam pembentukan teks, baik kandungan atau
isi maupun strukturnya. Oleh karena itu pengetahuan tentang Makkiyah dan Madaniyah
sangat penting dalam upaya memahami ayat Alquran. Diantara urgensi dari mempelajari
Makkiyah dan Madaniyah menurut Manna‟ al-Qathan adalah sebagai berikut:
IJAZUL QUR’AN
Arti i‟jaz ialah pelemahkan. Yaitu lemah orang buat meniru atau menyamai, apatah
lagi menandingi dari melebihinya. Sebab itu samalah pendapat Ulama-ulama ahli bahasa dan
sastra, bahwasannya al Qur‟an ini adalah mu‟jizat bagi Nabi Muhammad s.a.w. Sebagaimana
bagi Nabi Musa ada mu‟jizat membelah laut dengan tongkat, bagi Nabi Isa ada mu‟jizat
menyembuhkan orang sakit lepra hanya semata-mata dengan menjamah.
Di zaman kita inipun masih ada orang yang bertanya-tanya demikian, dan orang-
orang musyrikin di Makkah dahulupun pernah meminta supaya Nabi Muhammad s.a.w
menunjukkan suatu mu‟jizat, misalnya bukit Shafa menjadi emas, atau beliau sendiri
mempunyai sebuah rumah dari emas, dan beberapa permintaan yang lain, sebagaimana kelak
akan tersebut di dalam Surat 17, al Isra‟, ayat 93 dan beberapa ayat pada Surat lain. Tetapi
permintaan mereka itu tidak dikabulkan Allah atau tidak memandang itu lebih penting
daripada mu‟jizat al-Quran.
Beberapa hadis yang sahih telah diriwayatkan oleh sahabat-sahabat beliau, bhw
beliaupun pernah mempertunjukkan mu‟jizat yg aneh-aneh & ganjil, misalnya keluar air yg
diminum oleh 1200 orang dari dalam timba beliau yang kecil di Hudaibiyah, atau hujan lebat
di sekitar kemah tentara saja & tdk turun di tempat lain shg dpt semuanya menampung air, yg
banyaknya 30.000 org dlm perjalanan ke peperangan Tabuk dan bbrp mu‟jizat yang lain.
Tetapi mu‟jizat-mu‟jizat yg demikian tdklah beliau jadikan tantangan kpd kaum musyrikin.
Beliau menentang lawan hanyalah dgn mu‟jizat al-Quran. Dengan al-Quran beliau
mengokohkan risalatnya dan dgn al-Quran beliau menambah iman pengikut-pengikut beliau,
kaum yang beriman sampai hari kiamat.Mu‟jizat seorang Rasul ataupun seorang Nabi selalu
disesuaikan Tuhan dgn zaman hidup Rasul dan Nabi itu sendiri, dan harus sesuai pula dengan
macam ragam risalat yang dibawanya.
Apabila risalatnya itu adalah risalat yang merata untuk seluruh manusia, yang kekal
dan tidak akan berubah lagi sampai selama-lamanya, hendaklah mu‟jizat itu yang kekal dan
merata pula, yang kian mendalam orang berfikir, kian mengaku akan mu‟jizat itu. Mu‟jizat
itu sekali-kali tdk akan kekal, kalau dia hanya merupakan suatu kejadian yang dpt dilihat
mata di suatu masa. Sebab apabila Rasul yang membawa mu‟jizat itu telah berpulang ke
Rahmatullah, mu‟jizat itu tidak akan bertemu lagi. Dan ada pula suatu kejadian yang
dipandang mu‟jizat di zaman hidup Nabi yang bersangkutan, namun setelah beberapa abad di
belakang, keangkeran mu‟jizat itu tidak ada lagi karena kemajuan ilmu pengetahuan. Sebab
itu maka mu‟jizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad bukanlah mu‟jizat untuk dilihat
mata dan pancaindera (hissi), tetapi untuk dilihat hati dan meminta pemikiran (ma‟nawi).
Mu‟jizat yang hissi telah habis pengaruhnya dengan habis zamannya. Mu‟jizat Musa
dan Isa hanya bisa dilihat oleh manusia yang sezaman dengan beliau. Orang Yogi yang kuat
mengadaan pertapaan sudah bisa berjalan di atas api yang tengah menyala, sehingga mu‟jizat
Nabi Ibrahim sudah hampir disamai. Kemajuan ilmu kedokteran di zaman sekarang telah
memungkinkan sembuhnya penyakit-penyakit hebat sebagai yang telah disembuhkan oleh
jamahan tangan Nabi Isa. Sudah ada pula orang yang menaksir bahwa terbelah laut di zaman
Musa adalah lantaran pasang yang terlalu surut.
Sedangkan mu‟jizat Nabi Muhammad s.a.w sendiri tentang Isra‟ dan Mi‟raj masih
juga menjadi pertikaian faham di antara ulama-ulama Islam sendiri sejak lagi di zaman
sahabat, apakah beliau itu Isra‟ dan Mi‟raj dengan tubuh dan nyawa beliau atau hanya dengan
nyawa saja. Aliran yang dua itu tetap ada, yang berarti bahwa bagi golongan berkepercayaan
dengan nyawa saja, urusan Isra‟ dan Mi‟raj dengan sendirinya tidak begitu hebat lagi. Dan
tidak pula mereka kafir kalau mereka berpendapat begitu.Lantaran itu dapatlah kita berkata
bahwasanya mu‟jizat segala Nabi dan Rasul, dan mu‟jizat Nabi Muhammad s.a.w. yang
selain dari al-Quran, adalah hal kenyataan yang dapat dilihat mata, yang habis dengan
sendirinya setelah lewat zamannya. Tetap mu‟jizat Nabi Muhammad s.a.w. yang bernama al-
Quran ini adalah mu‟jizat untuk seluruh masa dan bangsa, yang datang setelah akal dan
kecerdasan manusia sudah lebih tinggi daripada zaman purbakala yang telah dilaluinya itu.
Tegasnya, dahulu mu‟jizat untuk dilihat mata, sekarang mu‟jizat al-Quran untuk dilihat akal.
Akal dari seluruh manusia, turunan demi turunan.
BAB VIII
MUNASABAH AL-QUR’AN
Makna tersebut dapat dipahami, bahwa apabila suatu ayat atau surah sulit ditangkap
maknanya secara utuh, maka menurut metode munasabah ini mungkin dapat dicari
penjelasannya di ayat atau di surah lain yang mempunyai kesamaan atau kemiripan. Kenapa
harus ke ayat atau ke surah lain ? karena pemahaman ayat secara parsial (pemahaman ayat
tanpa melihat ayat lain) sangat mungkin terjadinya kekeliruan. Fazlurrahman mengatakan,
apabila seseorang ingin memperoleh apresiasi yang utuh mengenali Al-Quran, maka ia harus
dipahami secara terkait. Selanjutnya menurut beliau apabila Al-Quran tidak dipahami secara
utuh dan terkait, Al-Quran akan kehilangan relevansinya untuk masa sekarang dan akan
datang. Sehingga Al-Quran tidak dapat menyajikan dan memenuhi kebutuhan manusia. Jadi,
tidak heran kalau dalam berbagai karya dalam bidang Ulumul Quran tema munasabah hampir
tak pernah terlewatkan.
Secara terminologis, munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-
hal tertentu dalam Al-Quran baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian
satu dengan yang lainnya.
Menurut istilah, ilmu munasabah atau ilmu tanasubil ayati was suwari ini ialah ilmu
untuk mengetahui alasan-alasan penertiban dari bagian-bagian Al-Qur‟an yang mulia.
Ilmu ini menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat / beberapa surat Al-Qur‟an.
Apakah hubungan itu berupa ikatan antara „am (umum) dan khusus / antara abstrak dan
konkret / antara sebab-akibat atau antara illat dan ma‟lulnya, ataukah antara rasional dan
irasional, atau bahkan antara dua hal yang kontradiksi. Jadi pengertian munasabah itu tidak
hanya sesuai dalam arti yang sejajar dan paralel saja. Melainkan yang kontradiksipun
termasuk munasabah, seperti sehabis menerangkan orang mukmin lalu orang kafir dan
sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur‟an itu kadang-kadang merupakan takhsish
(pengkhususan) dari ayat-ayat yang umum. Dan kadang-kadang sebagai penjelasan yang
konkret terhadap hal-hal yang abstrak.
Sering pula sebagai keterangan sebab dari suatu akibat seperti kebahagiaan setelah
amal sholeh dan seterusnya. Jika ayat-ayat itu hanya dilihat sepintas, memang seperti tidak
ada hubungan sama sekali antara ayat yang satu dengan yang lainnya, baik dengan yang
sebelumnya maupun dengan ayat yang sesudahnya. Karena itu, tampaknya ayat-ayat itu
seolah-olah terputus dan terpisah yang satu dari yang lain seperti tidak ada kontaknya sama
sekali. Tetapi kalau diamati secara teliti, akan tampak adanya munasabah atau kaitan yang
erat antara yang satu dengan yang lain.
Karena itu, ilmu munasabah itu merupakan ilmu yang penting, karena ilmu itu bisa
mengungkapkan rahasia kebalaghahan Al-Qur‟an dalam menjangkau sinar petunjuknya.
Cara Mengetahui Munasabah Al-Qur’an
Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihadi.
Artinya, pengetahuan tentangnya ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditemukan
riwayat, baik dari Nabi maupun para sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada keharusan
mencari munasabah pada setiap ayat. Alasannya, Al-Qur‟an diturunkan secara berangsur-
angsur mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada. Oleh karena itu, terkadang
seorang musafir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak.
Untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam Al-Qur‟an
diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa
langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu:
1. Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
2. Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
3. Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungan atau tidak.
4. Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan
bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.
Macam-macam Munasabah
Artinya : Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula)
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (
QS. Al-Baqarah ayat 152).
Ungkapan " rabb al-alamin" dalam surat Al- Fatihah berkorelasi dengan surat Al-
Baqarah ayat 21-22:
Artinya: Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit
sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan
itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui. (Al-Baqarah ayat 22).
Demikian pula, apa yang oleh surat Al-Baqarah diungkapkan secara global, yaitu
ungkapan wa ma unzila min qablik, dirinci lebih jauh oleh surat Ali 'lmran ayat 3:
Berkaitan dengan munasabah macam ini, ada uraian yang baik yang dikemukakan
Nasr Abu Zaid. la menjelaskan bahwa hubungan khusus surat Al-Fatihah dengan surat Al-
Baqarah merupakan hubungan stilistika kebahasaan. Sementara hubungan-hubungan umum
lebih berkaitan dengan isi dan kandungan. Hubungan stilistika-kebahasaan ini tercermin
dalam kenyataan bahwa surat Al-Fatihah diakhiri dengan doa: lhdina Ashshirath Al-
mustaqim, shirath Al-ladzina an'amta alaihim ghair Al-maghdhubi'alaihim wa la adh-dhallin.
Doa ini mendapatkan jawabannya dalam permulaan surat Al-Baqarah Alif, Lam, Mim.
Dzalika Al-Kitabu la raiba fihi hudan li Al-muttaqin. Atas dasar ini, kita menyimpulkan
bahwa teks tersebut berkesinambungan: "Seolah-olah ketika mereka memohon hidayah
(petunjuk) ke jalan yang lurus, dikatakanlah kepada mereka: Petunjuk yang lurus yang
Engkau minta itu adalah Al-Kitabin"
Cerita tentang lembu betina dalam surat Al-Baqarah di atas merupakan inti
pembicaraannya, yaitu kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan perkataan lain,
tujuan surat ini adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan kepada hari kemudian.
Antara kata "yaliju”(masuk) dengan kata "yakhruju (keluar), serta kata "yanzilu
(turun) dengan kata"ya'ruju”(naik) terdapat korelasi pertawanan. Contoh lainnya adalah
kata"Al-'adzab' dan Ar-rahmah" dan janji baik setelah ancaman. Munasabah seperti ini dapat
dijumpai dalam suratAl-Baqarah, An-Nisa dan surat Al-Mai'dah.
Artinya : Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (QS. Al-Fatihah : 1-2).
Munasabah antar ayat menggunakan pola tafsir, apabila satu ayat atau bagian ayat
tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat di sampingnya. Contoh firman
Allah:
Artinya : Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. (Qs. Al-Baqarah : 2-
3).
Makna "muttaqin" pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan
demiklan, orang yang bertakwa adalah orang yang mengimani hal-halyang gaib, mengerjakan
shalat, dan selerusnya.
Munasabah antara ayat menggunakan pola i‟tiradh apabila terletak satu kalimat
atau lebih tidak ada kedudukannya dalam i‟rab (struktur kalimat), baik di pertengahan
kalimat atau di antara dua kalimat yang berhubungan maknanya. Contohnya firman Allah
pada surat An-Nahl ayat 57:
Artinya : Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci
Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-
anak laki-laki). (QS. An-Nahl ayat 57).
Kata "subhanahu" pada ayat di atas merupakan bentuk i'tiradh dari dua ayat yang
mengantarinya. Kata itu merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan
anak perempuan bagi Allah. Adapun munasabah antar ayat menggunakan pola tasydid
apabila satu ayat atau bagian ayat mempertegas arti ayat yang terletak di sampingnya.
Contohnya firman Allah dalam surat Al-Fatihah ayat 6-7:
Artinya : Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang Telah
Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah ayat 6-7).
Munasabah yang berpolakan At-tanzir terlihat pada adanya perbandingan antara ayat-
ayat yang berdampingan. Contohnya firman Allah pada surat Al-Anfal ayat 4-5:
Artinya : Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan
memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat)
yang mulia. Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran,
padahal Sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya. (QS.
Al-Anfal: 4-5).
Pada ayat kelima, Allah memerintrahkan kepada RasulNya agar terus
melaksanakan perintah-Nya meskipun para sahabatnya tidak menyukainya. Sementara, pada
ayat keempat, Allah memerintahkannya agar tetap keluar dari rumah untuk berperang.
Munasabah antarkedua ayat tersebut di atas terletak pada perbandingan antara ketidaksukaan
para sahabat terhadap pembagian ghanimah yang dibagikan Rasul dan ketidaksukaan mereka
untuk berperang. Padahal, sudah jelas bahwa dalam kedua perbuatan itu terdapat
keberuntungan, kemenangan, ghanimah, dan kejayaan lslam.
Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri
peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. (QS. Al-
Baqarah : 6).
Ayat ini bebicara tentang watak orang-orang kafir dan sikap mereka terhadap
peringatan, sedangkan ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang watak-watak orang mukmin.
Munasabah yang berpolakan istithradh terlihat pada adanya penjelasan lebih lanjut dari suatu
ayat. Misalnya dalam surat Al-A‟raaf ayat 26 diungkapkan:
Artinya : Hai anak Adam, Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepadamu Pakaian
untuk menutup auratmu dan Pakaian indah untuk perhiasan. dan Pakaian takwa Itulah yang
paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-
mudahan mereka selalu ingat. (QS. Al-A‟raaf ayat 26).
Artinya : Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka
penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. dan Allah
menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. dan adalah Allah Maha Kuat lagi
Maha Perkasa. (QS. Al-Ahzab : 25).
Artinya : Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada
Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al-Hadid Ayat 1).
RASMU AL-QUR’AN
Metode khusus dalam Al-Qur‟an yang digunakan oleh 4 sahabat yaitu: Zaid bin
Tsabit, Ubay ibn Ka‟ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan bersama disetujui oleh
khalifah Utsman. Istilah rasmul Qur‟an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur‟an yang
digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-
Qur‟an. Yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari, Mus bin zubair, Said
bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu.
Para ulama meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu : 1. Al–Hadzf
(membuang,menghilangkan,atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif
pada ya‟ nida‟ (ٓب انُب صٚ َََ٘ ََ آ
َ ). 2. Al – Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf
alif setelah wawu atau yang mempunyai hokum jama‟ (مٛ ) بُٕا اسزا ئdan menambah alif
setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( )حبهلل حفخؤا. 3. Al –
Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis dengan
huruf ber-harakat yang sebelunya, contoh (ٌ) ائذ. 4. Badal (penggantian), seperti alif ditulis
dengan wawu sebagai penghormatan pada kata ()انصهٕة. 5. Washal dan fashl(penyambungan
dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( كهًب
). 6. Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya
disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya.
Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan
alif, contohnya,(ٍٕٚو اندٚ ) يهك. Ayt ini boleh dibaca dengan menetapkan alif(yakni dibaca dua
alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat(yakni dibaca satu alif).
Rasm Qur‟ani adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar petunjuk dan tuntunan
langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang menyuruh mereka (para sahabat) menulis
rasm qur‟ani itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk tambahan huruf alif dan
pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tidak dapat dijangkau akal fikiran, yaitu
rahasia yang dikhususkan Allah bagi kitab-kitab suci lainnya”. Sebagian besar para ulama
berpendapat bahwa rasmul qur‟an bukan tauqifi,tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan
yang disetujui oleh ustman dan diterima umat,sehingga wajib diikuti dan di taati siapapun
yang menulis alqur‟an. Tidak ada yang boleh menyalahinnya. Banyak ulama terkemuka yang
menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasmul ustmani.
Secara etimologi Qiraat adalah jamak dari Qira‟ah, yang berarti „bacaan‟, dan ia
adalah masdar (verbal noun) dari Qara‟a. Secara terminologi atau istilah ilmiyah Qiraat
adalah salah satu Mazhab (aliran) pengucapan Qur‟an yang dipilih oleh seorang imam qurra‟
sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab yang lainya. Qiraat ini ditetapkan
berdasarkan sabad-sanadnya sampai kepada Rasulullah.
Periode qurra‟ (ahli / imam qiraat) yang mengajarkan bacaan Qur‟an kepada orang-
orang menurut cara mereka masing-masing adlah dengan berpedoman kepada masa para
sahabat.diantara para sahabat yang terkenal yang mengajarkan qiraat ialah Ubai, Ali, Zaid bin
Sabit, Ibn Mas‟ud, Abu Musa Al-Asy‟ari dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar
sahabat dan Tabi‟in di berbagai negri belajar qira‟at yang semuanya bersandar kepada
Rasulullah. Sahabat-sahabat nabi terdiri dari beberapa golongan.
Tiap-tiap golongan itu mempunya lahjah (bunyi suara / sebutan) yang berlainan satu
sama lain. Memaksa mereka menyebut pembacaan atau membunyikan al-Qur‟an dengan
lahjah yang tidak mereka biasakan, suatu hal menyukarkan. Maka untuk mewujudkan
kemudahan, Allah Yang Maha Bijaksana menurunkan al-Qur‟an dengan lahjah-lahjah yang
biasa dipakai oleh golongan Quraisy dan oleh golongan-golongan yang lain di tanah Arab.
Oleh karna itu menghasilkan bacaan al-Qur‟an dalam berbagai rupa atau macam
bunyi lahjah. Dan bunyi lahjah yang biasa ditanah Arab ada tujuh macam. Di samping itu ada
beberapa lahjah lagi. Sahabt-sahabat nabi menerima al-Qur‟an dari nabi menurut lahjah
bahasa golonganya. Dan masing-masing mereka meriwayatkan al-Qur‟an menurut lahjah
mereka sendiri. Sesudah itu munculah segolongan ulama yang serius mendalami ilmu qira‟at
sehingga mereka menjadi pemuka qira‟at yang dipegangi dan dipercayai. Oleh karena mereka
semata-mata mendalami qira‟at untuk mendakwahkan al-Qur‟an pada umatnya sesuai dengan
lahjah tadi.
Kemudian muncullah qurra-qurra yang kian hari kian banyak. Maka ada diantara
mereka yang mempunyai keteguhan tilawahnya, lagi masyhu, mempunyai riwayah dan
dirayah dan ada diantara mereka yang hanya mempunyai sesuatu sifat saja dari sifat-sifat
tersebut yang menimbulkan perselisihan yang banyak. Untuk menghindarkan umat dari
kekeliruan para ulama berusaha menerangkan mana yang hak mana yang batil. Maka segala
qira‟at yang dapat disesuaikan dengan bahasa arab dan dapat disesuaikan dengan salah satu
mushaf Usmani serta sah pula sanadnya dipandang qira‟at yang bebas masuk kedalam qira‟at
tujuh, maupun diterimanya dari imam yang sepuluh ataupun dari yang lain.
Hal ini disebabkan penulisan Al-Qur‟an itu sendiri pada waktu itu belum mengenal
adanya tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan belum ada baris harakat.
BAB X
TARJAMA WA TA’WIL
Pengertian Ta’wil
Kata ta‟wīl berasal dari kata al-awl, yang berarti kembali (ar-rujǔ‟) aatau dari kata al-
ma‟ǎl yang artinya tempat kembali (al-mashīr) dan al-aqībah yang berarti kesudahan.Ada
yang menduga bahwa kata ini berasal dari kata al-iyǎlah yang berarti mengatur (al-siyasah).
Sedangkan menurut istilah menurut Al-Jurjani: ialah memalingkan lafad dari makna yang
dhahir kepada makna yang muhtamil, apabila makna yang mu‟yamil tidak berlawanan
dengan al-quran dan as-sunnah.
Pengertian Terjemah
Kata terjemah berasal dari bahasa arab, “tarjama” yang berarti menafsirkan dan
menerangkan dengan bahasa yang lain (fassara wa syaraha bi lisanin akhar), kemudian
kemasukan “ta‟ marbutah” menjadi al-tarjamatun yang artinya pemindahan atau penyalinan
dari suatu bahasa ke bahasa lain (naql min lighatin ila ukhra).
Kedudukan Tafsir
Tafsir ialah dari ilmu-ilmu syari‟at yang paling mulia dan paling tinggi. Ia adalah ilmu
yang paling mulia, sebagai judul, tujuan, dan kebutuhan, karena judul pembicaraan ialah
kalam atau wahyu Allah SWT yang jadi sumber segala hikmah dan sumber segala
keutamaan. Selanjutnya, bahwa jadi tujuannya ialah berpegang pada tali Allah yang kuat dan
menyampaikan kepada kebahagiaan yang hakikat atau sebenamya. Sesungguhnya makin
terasa kebutuhan padanya ialah, karena setiap kesempurnaan agama dan dunia, haruslah
sesuai dengan ketentuan syara‟. Ia sesuai bila ia sesuai dengan ilmu yang terdapat dalam
Kitab Allah SWT.
Macam-Macam Tafsir
1). Tafsir Bil Ma’tsur
Tafsir bi al-ma‟tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an yang bersumber dari
nash-nash, baik nash al-Qur‟an, sunnah Rasulullah saw, pendapat (aqwal) sahabat, ataupun
perkataan (aqwal) tabi‟in. Dengan kata lain yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma‟tsur adalah
cara menafsirkan ayat al-Qur‟an dengan ayat al-Qur‟an, menafsirkan ayat Al Qur‟an dengan
sunnah, menafsirkan ayat al-Qur‟an dengan pendapat para sahabat, atau menafsirkan ayat al-
Qur‟an dengan perkataan para tabi‟in.
a. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an:
Misalnya dalam surat Al-Hajj: 30
“Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan
kepadamu keharamannya…”. Kalimat ‘diterangkan kepadamu’ (illa ma yutla „alaikum)
ditafsirkan dengan surat al-Maidah:3
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah.. “
Drs. H.M. Sonhaji, Prof. H. Zaini Dahlan, MA, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Universitas
Islam Indonesia, PT. Verisia Yogya Grafika dan PT. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta. 1991.
Sumber Internet:
http://quranfollow.blogspot.com/2016/01/asbabun-nuzul-dan-tahapan-turunnya-al.html
http://buyahamka.org/bagian-sebelum-tafsir-2/ijazul-quran/
https://studipemikiranquranhadist.wordpress.com/
http://khalifahcenter.com/q49.14
https://www.materipendidikan.info/2017/09/nuzulul-al-quran-pengertian-sejarah.html
https://www.google.com/search?q=Ulumul+Quran+dan+ruang+lingkupnya
http://www.ilmusaudara.com/2016/08/cabang-cabang-ulumul-quran-menurut-para-
ahli.html
MAKALAH ULUMUL QUR’AN
DOSEN PEMBIMBING
DISUSUN OLEH
Akhmad Faozi
2018-2019