Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang selalu menarik untuk dibahas serta
memiliki otoritas yang tinggi dalam islam. Didalamnya terdapat begitu
banyak khazanah ilmu dan sumber ilmu pengetahuan. Satu ayat sja bahkan
satu huruf saja bahkan satu huruf saja mempunyai multi dimensi warna
yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Al-Qur’an merupakan
sumber dri segala sumber.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Menjelaskan Pengertian Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an Serta Ruang
Lingkup dan Cabang-cabang.
2. Menjelaskan Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an dn Hikmah Al-
Qur’an diturunkan Secara Berangsur-angsur.
3. Menjelaskan Tentang Penulisan Al-Qur’an pada masa Rasulullah Saw.
4. Menjelaskan Tentang penulisan Al-Qur’an pada masa Khulafaul
Rasyidin
5. Menjelaskan Pemeliharaan Rasmul Al-Qur’an,Qiraati
Qur’an,Hubungan Rasmul Al-Qur’an dengan Qira’ah.
6. Menjelaskan Tentang Nuzulul Qur’an
7. Menjelaskan Tentang Munasabah Al-Qur’an
C. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dan tujuan kelompok kami membuat makalah ini adalah bukan
hanya sebagai pemenuhan atas tugas yang diberikan tetapi juga sebagai
alat kita untuk menambah wawasan mengenai pembelajaran Ilmu Al-
qur’an.

1
BAB 2
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN AL-QUR’AN DAN ULUMUL QUR’AN SERTA


RUANG LINGKUP DAN CABANG-CABANG

A. Pengertian Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an


Al-Qur’an merupakan kitab suci ummat islam yang diturunkan kepada
Rasul Allah (Nabi Muhammad SAW).
Ulumul Qur’an berasal dari Bahasa Arab yang Merupakan gabungan
dua kata(idhafi),yaitu “ulum” daan “Al-Qur’an”. Kata ‘ulum secara
etimologis adalah bentuk jamak dari kata ilmu,berasal dari kata’alima-
ya’lamu-ilman.
‘ilmu merupakan bentuk masdhar yang artinya pengetahuan dan
pemahaman. Maksudnya pengetahuan ini sesuai dengan maksa
dasarnya, yaitu “Al-Fahmu wa al-idrak” (pemahaman dan pengetahuan).
Kemudian pengertiannya dikembangkan pada berbagai masalah yang
beragam dengan standar ilmiah. Kata ‘ilm juga berarti “idrak al-syai’I bi
haqiqatih”(mengetahui dengan sebenarnya).
B. Ruang Lingkup ‘Ulumul Qur’an
Berkaitan dengan hal tersebut maka ‘Ulumul Qur’an memiliki ruang
lingkup pembahasan seperti diungkapkan oleh M.Hasbi As-Shiddeqy
yang berpendapat bahwa ruang lingkup pembahasan ‘Ulum Al-Qur’an
terdiri dari enam hal pokok berikut :
a. Persoalan turunnya Al-Qur’an (nuzul Al-Qur’an)
Persoalan ini menyangkut tiga hal :
1) Waktu dan tempat turunnya Al-Qur’an (auqat nuzul wa
mawathin an-nuzul)
2) Sebab-sebab turunnya Al-Qur’an (asbab an-nuzul)
3) Sejarah turunnya Al-Qur’an (tarikh an-nuzul)

2
b. Persoalan Sanad (rangkaian para periwayat)
Persoalan ini menyangkut enam hal :
1) Riwayat mutawir
2) Riawayat ahad
3) Riwayat syadz
4) Macam-macam qira’at Nabi
5) Para perawi dan penghapal Al-Qur’an
6) Cara-cara Penyebaran riwayat (tahammul)
c. Persoalan Qira’at (cara pembacaan Al-Qur’an)
Persoalan ini menyangkut hal-hal berikut ini :
1) Cara berhenti (waqaf)
2) Cara memulai (ibtida’)
3) Ilmalah
4) Bacaan yang dipanjangkan (madd)
5) Meringankan bacaan hamzah
6) Memasukkan bunyi huruf yang sukun kepada bunyi
sesudahnya (idgham)
d. Persoalan kata-kata Al-Qur’an
Persoalan ini menyangkut beberapa hal berikut:
1) Kata-kata Al-Qur’an yang asing (gharib)
2) Kata-kata Al-Qur’an yang berubah-ubah harakat akhirnya
(mu’rob)
3) Kata-kata Al-Qur’an yang mempunyai makna serupa
(homonym)
4) Padanan kata-kata Al-Qur’an (sinonim)
5) Isti’rah
6) Penyerupaan (tasybih)
e. Persoalan makna-makna Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum
Persoalan ini menyangkut hal-hal berikut:
1) Makna umum (‘am) yang tetap dalam keumumannya
2) Makna umum (‘am) yang dimaksudkan makna khusus

3
3) Makna umum (‘am) yang maknanya dikhususkan Sunnah
(mafhum)
4) Nash
5) Makna lahir
6) Makna global (mujmal)
7) Makna yang diperinci (mufashshal)
8) Makna yang ditunjukan oleh konteks pembicaraan (manthuq)
9) Makna yang dapat dipahami dari konyeks pembicaraan
(mahfum)
10) Nashyang petunjuknya tidak melahirkan keraguaan (nuhkam)
11) Nash yang musykil ditafsirkan karena terdapat kesamaan
didalamnya (mutasyabih)
12) Nash yang maknanya tersembunyi karena suatu sebab yang
terdapat pada kata itu sendiri (musykil)
13) Ayat yang menghaous dan dihapus (nasikh-mansukh)
14) Yang didahulukan (muqaddam)
15) Yang diakhirkan (mu’akhakhar)
f. Persoalan makna-makna Al-Qur’an yang berputan dengan kata-kata
Al-Qur’an
Persoalan ini menyangkut hal-hal berikut :
1) Berpisah (fashl)
2) Bersambung (washi)
3) Uraian singkat (I’jaz)
4) Uraian panjang (ithnab)
5) Uraian seimbang (musawah)
6) Pendek (qashr)
C. Cabang-cabang (Pokok Bahasan ) Ulumul Qur’an
Cabang-cabang (pokok bahasan ) yang menjadi pembahasan ‘ulumul
Qur’an adalah :
a. Ilmu adab tilawat Al-Qur’an
b. Ilmu tajwid

4
c. Ilmu mawathin an-nuzul
d. Ilmu tawarikh an-nuzul
e. Ilmu asbab an-nuzul
f. Ilmu qira’at
g. Ilmu gharib
h. Ilmu I’rab Al-Qur’an
i. Ilmu wujuh wa an-nazha’ir
j. Ilmu mi’rafat al-muhkam wa al-mutasyabih
k. Ilmu nasikh wa al-mansukh
l. Ilmu bada’I Al-Qur’an
m. Ilmu I’jaz Al-Qur’an
n. Ilomu tanasub ayat Al-Qur’an
o. Ilmu aqsam Al-Qur’an
p. Ilmu amtsal Al-Qur’an
q. Ilmu jadal Al-Qur’an

2. SEJARAH PERKEMBANGAN ULUMUL QUR’AN DAN HIKMAH

AL-QUR’AN DITURUNKAN SECARA BERANGSUR-ANGSUR

Munculnya ulumul Qur’an merupakan bbagian yang penting dalam


mengetahui dan memahami Al-Qur’an yang harus diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. ‘Ulumul Qur’an sebagai pengetahuan tentang Al-Qur’an focus pada
dua hal yaitu kajian yang berkaitan dengan materi-materi seputar Al-Qur’an tetapi
lingkupnya diluar materi dalam Al-Qur’an seperti kaian tentang asbab an-nuzul.

Sejarah perkembangan ‘Ulumul Qur’an tidak terlepas waktu kapan Al-


Qur’an diturunkan pertama kali sampai dengan bagaimana Al-Qur’an menjadi
sebuah muhsaf. Perkembangan Ulumul Qur’an secara umum tidak ada yang tahu
persis kapan istilah ‘Ulumul Qur’an pertama kali dikenalkan dan menjadi sebuah
disiplin ilmu. Namun menurut beberapa ahli bahwa istilah ‘Ulumul Qur’an
pertama kali diperkenalkan oleh ibn Al-Marzuben (wafat 309 H).

5
Perkembangan ‘Ulumul Qur’an dikelompokkan menjadi fase-fase berikut
ini.

1. ‘Ulumul Qur’an pada masa Rasulullah SAW


Embrio awal ‘Ulumul Qur’an pada masa ini berupa penafsiran ayat Al-
Qur’an langsung dari Rasulullah saw kepada para sahabat,begitu pula
dengan antusias para sahabat dalam bertanya tentang makna suatu
ayat,menghafalkan dan memepelajari hukum-hukumnya.
a. Rasulullah SAW menafsirkan kepada sahabat beberapa ayat.
Dari Uqbah Bin Amir ia berkata.”aku pernah mendengar Rasulullah
saw berkata diatas mimbar,”dan siapkan untuk menghadapi mereka
kekuatan yang kamu sanggupi (anfal;60) ingatlaah bahwa kekuatan
disini adalah memanah”(HR Muslim).
b. Antusiaseme sahabat dalam menghafal dan memepelajari Al-Qur’an
Diriwaytakan dari Abu ‘Abdurrahman as-sulaiman,ia mengatakan .
mereka yang membacakan Al-Qur’an kepada kami, seperti utsman bin
affan dan Abdullah bin Mas’ud serta yang lain menceritakan,bahwa
mereka bila belajar dari nabi sepuluh ayat mereka tidak
melanjutkannnya,sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang ada
didalamnya,mereka berkata ‘kami mempelajari Al-Qur’an berikut ilmu
dan amalnya sekaligus.
c. Larangan Rasulullah SAW untuk menulis selain Al-Qur’an,sebagai
upaya menjaga kemurnian Al-Qur’an
Dari Abu Su’ad al-khudri,bhawa Rasulullah SAW
bersabda,”Janganlah kamu tulis dari aku,barang siapa menuliskan
tentang aku selain Al-Qur’an ,hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa
yang dariku,dan itu tiada halangan baginya,dan barang siapa sengaja
berdusta atas namaku,ia akan menempati tempatnya di api
neraka.”(HR Muslim).
2. ‘Ulumul Qur’an pada masa Sahabat dan Tabi’in
a. Peranan Sahabat dalam penafsiran Al-Qur’an dan Tokoh-tokohnya

6
Para sahabaat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam
menyampaikan makna-makna Al-Qur’an dan penafsiran ayat-ayat
yang berbeda diantara mereka,sesuai dengan kemampuan mereka yang
berbeda-beda dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama
dan tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah SAW, hal demikian
diteruskan oleh murid-murid mereka,yaitu para tabi’in.
Diantaranya para Musafir yang termashur dari para sahabat adalah :
1) Empat orang khalifah (Abu Bakar, ‘Umar ,’Utsman dan ‘Ali)
2) Ibnu mas’ud
3) Ibnu abbas
4) Ubai bin Ka’ab
5) Zaid bin Tsabit
6) Abu Musa al-asy’ari
7) Abdullah bin Zubair
b. Peranan Tabi’in dalam Penafsiran Al-Qur’an dan Tokoh-tokohnya
1) Murid Ubai bin Ka’ab ,di Madinah : Zaid bin aslam, Abul
Aliyah,dan Muhammad bin Ka’b al-Quraizi
2) Abdullah bin Mas’ud di Iraq yang terkenal : Alqamah bin
Qais,Maseuq al aswad bin Yazid,’Amir as sya’bi,Hasan Al
basyri dan qataadaah bin Di’amah as-sadusi. Dan yang
diriwayatkan mereka semua meliputi ilmu tafsir,imu gharibil
Qur’an,ilmu asbabun nuzul, ilmu makki wal madani dan ilmu
nasikh dan mansukh,tetapi semua ini tetap didasarkan para
riwayat dengan cara didiktekan.

Hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara Berangsur-angsur kepada Nabi


Muhammad SAW.adalah sebagai berikut:

1. Meneguhkan hati Rasulullah dan ara sahabat. Dakwah Rasulullah pada era
makkiyah penuh dengan tribulasi berupa celaan,cemoohan,siksaan,bahkan
upaya pembunuhan.

7
Waktu yang turun secara bertahap dari waktu ke waktu ini menguatkan
hati Rasulullah dalam menapaki jalan yang sulit dan terjal itu. Di Era
Madaniyah,hikmah ini juga terus berlangsung. Ketika hendak menghadapi
perang atau kesulitan, Al-Qur’an turun menguatkan Rasulullah dan kaum
muslimin generasi pertama.
2. Sebagai tantangan dan mukjizat.
Orang-orang Musyrik yang berada dalam kesesatan tidak henti-hentinya
berupaya melemahkan kaum muslimin. Mereka sering mengajukan
pertanyaan yang aneh-aneh dengan maksud melemahka kaum muslimin.
Pada saat itulah, kaum muslimin ditolong Allah dengan Jawaban langsung
darinya melalui wahyu yang turun. Selain itu,Al-Qur’an juga menantang
langsung orang-orang kafir untuk membuat sesuatu yang semisal dengan
Al-Qur’an. Walaupun Al-Qur’an turun berangsur-angsur, tidak
seluruhnya,mereka tidak mampu menjawab tantangan itu. Ini sekaligus
menjadi bukti mukjizat Al-Qur’an yang tak tertandingi oleh siapapun.
3. Mempermudah dalam menghafal dan memahami
Dengan turunya Al-Qur’an secara berangsur-angsur,maka para kaum
muslimin menjadi lebih mudah mengahafalkan dan memahaminya.
Terlebih, ketika ayat itu turun dengan latar belakang peristiwa tertentu atau
yang diistilahkan dengan asbabun nuzul, maka semakin kuatlah
pemahaman para sahabat.
4. Relevan dengan penetapan hukum dan aplikasinya
Sayyid Quthb megatakan bahwa para sahabat adalah generasi yang selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Al-Qur’an.karena dijuluki
dengan Jailul Qur’ani Farid (generasi Qur’an yang unik).
Diantara hal yang memudahkan bersegaranya para sahabat dalam
menjalankan perintah Al-Qur’an turun secara bertahap.perubahan terhadap
kebiasaan atau budaya yang mengakar di masyarakat Arab pun dilakukan
melalui tahapan hukum yang memungkinkan dilakukan karena turunnya
Al-qur’an secara berangsur-angsur ini.

8
Misalnya khamr,ia tidak langsung diharamkan secara mutlak,tetapi melalui
penahapan. Pertama,Al-Qur’an menyebut mudharat lenih besar dari
manfaatnya (QS.2:219). Dan yang ketiga baru diharamkan secara tegas
(QS.5:90-91).
5. Memperkuat keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah benar dari Allah
Ketika Al-Qur’an turun berangsur-angsur dalam kurun lebih 22 tahun,
kemudian menjadi rangkaian yang sangat cermat dan penuh makna, indah
dan fasih gaya Bahasa, terjalin antara suatu ayat dengan ayat lainnya
bagaikan untaian mutiara,serta ketiadaan pertentangan di dalamnya,
semakin menguatkan bahwa Al-Qur’an benar-benar kalam ilahi, zat yag
Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
3. PENULISAN AL-QUR’AN PADA MASA RASULULLAH SAW
Sejarah telah mencatat bahwa pada masa-masa awal kehadiran agama
Islam, bangsa Arab tempat diturunkannya Al-Qur’an tergolong kedalam
bangsa yang buta huruf, sangat sedikit di antara mereka yang pandai
menulis dan membaca. Mereka belum mengenal kertas,sebagaimana kertas
yang dikenal sekarang.
Bahkan, Nabi Muhammad Saw sendiri dinyatakan sebagai nabi yang
Ummi, yang berarti tidak pandai membaca dan menulis. Buta huruf bangsa
Arab pada saat itu dank e-ummi-an Nabi Muhammad saw,dengan tegas
disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Jumu’ah ayat 2,yaitu
‫ُهَو ٱَّلِذ ى َبَع َث ِفى ٱُأْلِّم ِّيۦَن َر ُس واًل ِّم ْنُهْم َيْتُلو۟ا َع َلْيِه ْم َء اَٰي ِتِهۦ َو ُيَز ِّك يِهْم َو ُيَع ِّلُم ُهُم ٱْلِكَٰت َب َو ٱْلِح ْك َم َة َو ِإن‬
‫َٰل‬
‫َك اُنو۟ا ِم ن َقْبُل َلِفى َض ٍل ُّم ِبيٍن‬
Artinya : Dialah Allah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf,
seorang rasul dalam kalangan mereka sendiri yang membacakan ayat-
ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada
mereka al-kitab dan hikmah; dan sesungguhnya mereka itu sebelumnya
benar-benar(berada) dalam kesesatan yang nyata.
Kendatipun bangsa Arab pada saat itu masih tergolong buta huruf pada
awal penurunan Al-Qur’an, tetapi mereka dikenal memiliki daya ingat

9
( hafal) yang sangat kuat. Mereka terbiasa menghafal berbagai syar’ir Arab
dalam jumlah yang tidak sedikit atau bahkan sangat banyak.
Dengan demikian, pada saat diturukan Al-Qur’an, Rasulullah saw
menganjurkan supaya Al-Qur’an itu dihafal, dibaca selalu, dan diwajibkan
membacanya dalam shalat. Sedangkan untuk penulisan Al-
Qur’an ,Rasulullah Saw mengangkat beberapa orang sahabat,yang
bertugas merekam dalm bentuk tulisan semua wahyu yang di turunkan
kepada Rasulullah Saw. Diantaraa mereka ialah Abu Bakar As-
Shiddiq,Umar bin Khaattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,Zaid
bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, dan beberapa sahabt lainnya.
Adapun alaat yang digunakan untuk menulis wahyu pada saat itu
masih sederhana.para sahabat menulis Al-Qur’an pada ‘usub (pelepah
kurma),likhaf (btu halus berwarna putih ), riqa’ (kulit),aktaf(tulang unta),
dan aqtab (bantalan dari kayu yang biasa dipasang diatas panggung unta).
Salah seorang sahabat yang paling banyak terlibat dalam penulisan Al-
Qur’an pada masa nabi adalah Zaid binTsabit. Dan juga ia terlibat dalam
pengumpulan dan pmbukuaan Al-Qur’an masing-masing dimasa abu
bakar dan Utsman bin Affan.
Untuk menghindari keracunan akibat brcampur aduknya ayat-ayat Al-
Qur’an dengan lainnya,misalnya hadist Rasulullah ,maka beliau tidak
membenarkan seorang sahabat menulis apapun selain Al-Qur’an .larangan
Rasulullah untuk tidak menuliskan selain Al-Qur’an ini, oleh Dr.Adnan
Muhammad, yang disebutkan oleh Kamaluddin Marzuki dalam
bukunya,dipahami sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk
menjamin nilai akurasi(keakuratan) Al-Qur’an.
Setiap kali turun ayat Al-Qur’an, Rasulullah memanggil juru tulis
wahyu dan memeritahkan sahabatnya agar meencatat dan menempatkan
serta mengurutkannya sesuai petunjuk beliau. Pada masa Rasulullah
keseluruhan Rasulullah, keseluruhan telah ditulis,namun masih belum
terhimpun dalam satu tempat artinya masih berserak-serak. Mengingat
pada masa itu belum dikenal zaman pembukuan,maka tidaklah

10
mengherankan jika pencatatan Al-Qur’an bukan dilakukan pada ketas-
kertas sepertidikenal pada zaman sekarang.mlainkan dicatat pada benda-
benda yang mungkin digunakan sbagai sarana tulis-menulis terutama
pelepah-pelepah kurma,kulit-kulit hewan,tulang belulang,bebatuan dan
juga dihafal oleh para hafizh muslimin.
4. PENULISAN AL-QUR’AN PADA MASA KHULAFAUL RASYIDIN
Masa Khulafaur Rasyidin pemerintah Abu Bakar Pada masa
Kekhalifahan Abu Bakar. Terjadi beberapa pertempuran (dalam perang
yang dikenal dengan nama perang Radda) yang mengakibatkan tewasnya
beberapa penghafal Al-Qur’an dalam jumlah yang signifikan. Ummar bin
khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut.
Lantas meminta Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-
Qur’an yang saat itu tersebar diantara para sahabat. Abu Bakar lantas
memerintah Zaid bin Tsabit sebagai coordinator pelaksanaan tugas
tersebut. Setelah pekeraan tersebut selesai dan Al-Qur’an tersusun secara
rapi dalam satu mushaf,hasilnya diserahkan kepada Umar sebagai khalifah
penerusnya.selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni hafshah yang
juga istri Nabi Muhammad.

5. PEMELIHARAAN RASMUL AL-QUR’AN,QIRAATI AL-


QUR’AN,HUBUNGAN RASMUL AL-QQUR’AN DENGAN
QIRAAH
1. Rasmul Al-Qur’an
Rasm Al-qur’an atau adalah ilmu yang mempelajari tentang penulisan
Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam
penulisan lafal-lafalnya maupun dalam bentuk-bentuk huruf yang
digunakan. Dengan kata lain, Rasm Al-Qur’an adalah tata cara
menukis Al-Qur’an . rasimul qur’an dikenal juga dengan sebutan Rasm
Al-Utsmani. Utsmani adalah rasm (bentuk ragam tulis) yang telah

11
diakui dan diwarisi oleh uat islam sejak masa Utsman. Dan
pemeliharan Rusm Utsmani adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an
yang ditetapkan pada masa khalifah Utsman bin Affan. Istilah Rasmul
Qur’an yang digunakan Utsman bin Affan dan sahabat-sahabatnya
ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Yaitu Mushaf yang
ditulis oleh panitia empat.
2. Qiraati Al-Qur’an
Qiraati Al-Qur’an adalaah suatu metode membaca Al-Qur’an yang
lansung memasukkan dan mempraktekkan bacaan tartil sesuai dengan
Qaidah Ilmu Tajwid. Metode Qiraati merupakan metode yang bisa
dikatakan metode membaca Al-Qur’an yang ada di Indonesia.yang
terlepas daripengaruh Arab. Metode ini pertama kali disusun pada
tahun 1963, hanya saja pada waktu itu buku metode qiraati belum
disusun secara baik. Dan hanya digunakan untuk mengajarkan anaknya
dan beberapa anak disekitar rumahnya,sehingga sosialisasi metode
qiraati ini sangat kurang. Berasal metode qiraati inilah kemudian
banyak sekali bermunculan metode membaca Al-qur’an seperti
metode iqro’, metode AnNadliyah, metode Tilawaty ,metode Al-Barqy
dan lain sebagainya.
3. Rasm Utsmani adalah cara penulisan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan
huruf-hurufnya yang telah direstui oleh khalifah Utsmani, sedangkan
qira’at adalah cara membaca lafazh-lafazh tertulis dari wahyu Al-
Quran dalam bentuk-bentuk huruf, apakah dengan cara memanjangkan
ataukah memendekkan, meringankan atau mentasydidkan, dan lain-
lain. Melihat perngertian rasm Al-Quran dan qira’at tersebut, ternyata
terdapat kaitan yang erat antara keduanya, karena apa yang tertulis,
tentunya akan seperti itu pula bacaan atau pengucapannya. Akan tetapi,
rasm Utsmani tidak selamanya seperti itu, karena terkadang antara
bacaan/qira’at dengan tulisannya mengalami perbedaan, dan hal inilah
yang menurut al-Zarqani, dikarenakan adanya maksud-maksud tertentu
yang mulia.11

12
4. Terkait pembahasan ini, Adnan telah memberikan ilustrasi yang
cukup baik kepada kita dengan memberikan sebuah perbandingan
qira’at antara Imam Ashim dengan riwayat Hafsh dan qira’ah Imam
Nafi’ dengan riwayat Warsy. Pada Qs. 2:259, misalnya, dalam qira’ah
Ashim yang diriwayatkan oleh Hafsh ada kata yang dibaca dengan
‫( ُنْنِش ُز َها‬nunsyizuha); sementara dalam qira’ah nafi’ yang diriwayatkan
oleh Warsy dibaca ‫( ُنْنِش ُرَها‬nunsyiruha). Menurutnya, perbedaan
pemberian titik diakritis ini sama sekali tidak mempengaruhi arti
keseluruhan ayat, karena kedua kata itu memiliki makna yang senada,
yakni membangkitkan. Adnan menambahkan, demikian pula dengan
konsonantal dalam Qs. 5:54, terdapat kata yang terbaca dalam qira’ah
pertama sebagai ‫( َيْر َتَّد‬yartadda); sementara dalam qira’ah kedua dibaca
dengan ‫( َيْر َت ِد ْد‬Yartadid). Mengenai perbedaan tersebut, Zamakhsyari
mengemukakan bahwa keduanya adalah bacaan yang tepat, dan
menambahkan bacaan terakhir – yakni yartadid- terdapat di dalam
mushaf induk (mushaf Imam), yang perbedaan ini pun tidak memiliki
efek terhadap makna ayat atau memperlihatkan divergensi tekstualnya,
tetapi lebih merupakan masalah asimilasi kebahasaan saja. Sementara
kerangka grafis pada Qs. 3:81, terdapat kata yang dalam qira’ah
pertama dibaca ‫( َاَتْيُتُك ْم‬ataytukum); sedangkan dalam qira’ah kedua
dibaca dengan ‫( َاَتْيَنُك ْم‬ataynakum). Sebagaimana sebelumnya, bacaan itu
pun tidak memiliki efek apapun terhadap makna. Subyek keduanya
sama, yaitu Tuhan, dan barangkali hanya merupakan pilihan untuk
menggunakan bentuk orang pertama tunggal atau jamak – dalam hal
ini “Aku” atau “Kami” – yang memang sering muncul dalam
penggunaan Al-Quran.12
Demikian pula pada Qs. 20:63 ( ‫ )ِاْن َهَذ اِن َلَس اِحَر اِن‬dalam rasm Utsmani
ditulis tanpa adanya titik, syakel, takhfif pada kedua nun lafazh ‫ ان‬dan
‫ هذان‬dan juga alif dan ya sesudah dza dari lafazh ‫هذان‬. Ejaan seperti itu
untuk menunjukkan bahwa ayat tersebut bisa dibaca dalam empat
qira’at, dan semuanya berdasarkan sanad yang shahih, yaitu:

13
a. Qira’at Nafi’ dan para pengikutnya membaca ayat tersebut dengan
cara mentasydidkan nun pada lafazh ‫ ان‬dan meringankan lafazh ‫هذان‬
dengan alif.
b. Qira’at Ibn Katsir mentakhfifkan nun pada lafazh ‫ ان‬dan
mentasydidkan nun pada lafazh ‫هذان‬.
c. Qira’at Hafsh meringankan nun pada lafazh ‫ ان‬dan ‫ هذان‬dengan
alif.
d. Qira’at Abu ‘Amer mentasydidkan lafazh ‫ ان‬dengan ya mati setelah
dza dengan mentakhfifkan nun.13
Terjadinya perbedaan bacaan tidak saja seperti halnya di atas,
melainkan berbeda pula terhadap tanda baca, sebagaimana yang terjadi
pada imam-imam qira’at lainnya ketika membaca ‫ عليهم القتال‬dengan
acara diwasalkan, seperti:14
a.Abu ‘Amr membaca ‫عليِهِم القتال‬
b. Hamzah membaca ‫عليُهُم القتال‬
c. Al-Kisai membaca ‫عليُهُم القتال‬
d. Imam lainnya membaca ‫عليِهُم القتال‬

6. Asbabun Nuzul Qur’an

Pengertian Asbabun Nuzul


Mengutip buku Asbabun Nuzul karya Ach. Fawaid, asbabun nuzul berasal dari
dua kata, yaitu asbab dan nuzul. Asbab artinya “karena”, “sebab”, “lantaran”.
Kemudian, nuzul mengandung arti “turun”.

Secara bahasa, asbabun nuzul didefinisikan sebagai sebab-sebab yang


melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Istilah ini hanya digunakan untuk sesuatu
yang berkaitan dengan sebab-sebab turunnya Al Quran.

Di sisi lain, Muhammad Abdul Azim az-Zarqani berpendapat bahwa asbabun


nuzul adalah suatu peristiwa yang melatarbelakangi turunnya Al-Quran yang
kemudian menjadi penjelas hukum ketika peristiwa itu terjadi.

Macam-macam Asbabun Nuzul

14
Berikut macam-macam asbabun nuzul yang dikutip dari Jurnal Asbabun Nuzul:
Pengertian, Macam-macam Redaksi dan Urgensi yang ditulis oleh Pan Suaidi
(2016):

1. Ta’addud Al-Asbab Wa Al-Nazil Wahid

Asbabun nuzul Ta’addud Al-Asbab Wa Al-Nazil Wahid adalah beberapa sebab


yang hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat atau wahyu. Ada kalanya wahyu
turun untuk menanggapi beberapa peristiwa atau sebab, misalnya turunnya Q.S.
Al-Ikhlas ayat 1-4 yang berbunyi:

“Katakanlah:”Dia-lah Allah, yang maha Esa. Allah adalah tuhan yang


bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Tiada berada beranak dan tiada pula di
peranakkan. Dan tiada seorang pun yang setara dengan dengan dia.”

Surat tersebut diturunkan untuk menanggapi orang-orang musyrik Mekkah


sebelum Rasulullah SAW melakukan hijrah. Ayat itu juga diturunkan kepada
kaum ahli kitab yang ditemui di Madinah usai Rasulullah hijrah.

2. Ta’adud an-nazil wa al-asbab wahid

Asbabun nuzul Ta’adud an-nazil wa al-asbab wahid merupakan satu sebab yang
mendasari turunnya beberapa ayat. Misalnya, Q. S. Ad-dukhan ayat 10, 15, dan
16, yang berbunyi:

“Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata,” (QS. Ad-
Dukhan: 10)

“sesungguhnya (kalau) kami akan melenyapkan siksaan itu agak sedikit


sesungguhnya kamu akan kembali (ingkar),” (QS. Ad-Dukhan: 15)

“(ingatlah) hari (ketika) kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras.
Sesungguhnya kami memberi balasan,” (QS. Ad-Dukhan: 16)

Asbabun nuzul dari ayat-ayat tersebut terjadi ketika kaum Quraisy durhaka
kepada Rasulullah SAW. Beliau berdoa agar mereka merasakan kelaparan seperti
yang pernah terjadi pada zaman nabi Yusuf.

15
7. MUNASABAH AL-QUR’AN

Pengertian Munasabah Al-Qur’an

Munasabah berasal dari kata ‫بة‬55‫ب مناس‬55‫ب يناس‬55‫ناس‬yang berarti dekat, serupa,
mirip, dan rapat. ‫ المناسبة‬sama artinya dengan ‫ المقاربة‬yakni mendekatkannya dan
menyesuaikannya.;‫النسيب‬artinya ‫(القريب المتصل‬dekat dan berkaitan). Misalnya, dua
orang bersaudara dan anak paman. Ini terwujud apabila kedua-duanya saling
berdekatan dalam artian ada ikatan atau hubungan antara kedua-duanya. An-
Nasib juga berarti Ar-Rabith, yakni ikatan, pertalian, hubungan.[1]
Selanjutnya Quraish Shihab menyatakan (menggaris bawahi As-Suyuthi)
bahwamunasabah adalah ada-nya keserupaan dan kedekatan diantara berbagai
ayat, surah, dan kalimat yang mengakibatkan adanya hubungan[2]. Hubungan
tersebut dapat berbentuk keterkaitan makna antara ayat dan macam-macam
hubungan, atau kemestian dalam fikiran (nalar).
Makna tersebut dapat dipahami, bahwa apabila suatu ayat atau surah sulit
ditangkap maknanya secara utuh, maka menurut metode munasabah ini mungkin
dapat dicari penjelasannya di ayat atau di surah lain yang mempunyai kesamaan
atau kemiripan. Kenapa harus ke ayat atau ke surah lain ? karena pemahaman ayat
secara parsial (pemahaman ayat tanpa melihat ayat lain) sangat mungkin
terjadinya kekeliruan. Fazlurrahman mengatakan, apabila seseorang ingin
memperoleh apresiasi yang utuh mengenali Al-Quran, maka ia harus dipahami
secara terkait. Selanjutnya menurut beliau apabila Al-Quran tidak dipahami secara
utuh dan terkait, Al-Quran akan kehilangan relevansinya untuk masa sekarang dan
akan datang. Sehingga Al-Quran tidak dapat menyajikan dan memenuhi
kebutuhan manusia. Jadi, tidak heran kalau dalam berbagai karya dalam bidang
Ulumul Quran tema munasabah hampir tak pernah terlewatkan.[3]
Secara terminologis, munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat
pada hal-hal tertentu dalam Al-Quran baik surat maupun ayat-ayatnya yang
menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya.
Menurut bahasa, munasabah berarti hubungan atau relevansi, yaitu hubungan
persesuaian antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang sebelum

16
atau sesudahnya. Ilmu munasabah berarti ilmu yang menerangkan hubungan
antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang lainnya.
Menurut istilah, ilmu munasabah atau ilmu tanasubil ayati was suwari ini
ialah ilmu untuk mengetahui alasan-alasan penertiban dari bagian-bagian Al-
Qur’an yang mulia.
Ilmu ini menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat / beberapa surat Al-
Qur’an. Apakah hubungan itu berupa ikatan antara ‘am (umum) dan khusus /
antara abstrak dan konkret / antara sebab-akibat atau antara illat dan ma’lulnya,
ataukah antara rasional dan irasional, atau bahkan antara dua hal yang kontradiksi.
Jadi pengertian munasabah itu tidak hanya sesuai dalam arti yang sejajar dan
paralel saja. Melainkan yang kontradiksipun termasuk munasabah, seperti sehabis
menerangkan orang mukmin lalu orang kafir dan sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-
Qur’an itu kadang-kadang merupakan takhsish(pengkhususan) dari ayat-ayat
yang umum. Dan kadang-kadang sebagai penjelasan yang konkret terhadap hal-
hal yang abstrak.
Sering pula sebagai keterangan sebab dari suatu akibat seperti kebahagiaan
setelah amal sholeh dan seterusnya. Jika ayat-ayat itu hanya dilihat sepintas,
memang seperti tidak ada hubungan sama sekali antara ayat yang satu dengan
yang lainnya, baik dengan yang sebelumnya maupun dengan ayat yang
sesudahnya. Karena itu, tampaknya ayat-ayat itu seolah-olah terputus dan terpisah
yang satu dari yang lain seperti tidak ada kontaknya sama sekali. Tetapi kalau
diamati secara teliti, akan tampak adanya munasabah atau kaitan yang erat antara
yang satu dengan yang lain.

Karena itu, ilmu munasabah itu merupakan ilmu yang penting, karena ilmu itu
bisa mengungkapkan rahasia kebalaghahan Al-Qur’an dalam menjangkau sinar
petunjuknya.

C. Cara Mengetahui Munasabah Al-Qur’an

Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat


ijtihadi. Artinya, pengetahuan tentangnya ditetapkan berdasarkan ijtihad karena
tidak ditemukan riwayat, baik dari Nabi maupun para sahabatnya. Oleh karena itu,

17
tidak ada keharusan mencari munasabah pada setiap ayat. Alasannya, Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa
yang ada. Oleh karena itu, terkadang seorang musafir menemukan keterkaitan
suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak. Ketika tidak menemukan
keterkaitan itu, ia tidak diperkenankan memaksakan diri. Dalam hal ini, Syekh
‘Izzuddin bin ‘Abd As-Salam berkata: “Munasabah adalah sebuah ilmu yang baik,
tetapi kaitan antarkalam imensyaratkan adanya kesatuan dan keterkaitan bagian
awal dengan bagian akhirnya. Dengan demikian, apabila terjadi pada berbagai
sebab yang berbeda, keterkaitan salah satunya dangan lainnya tidak menjadi
syarat. Orang yang mengaitkan tersebut berarti mengada-adakan apa yang tidak
dikuasainya. Kalaupun itu terjadi, ia mengaitkannya hanya dengan ikatan-ikatan
lemah yang pembicaraan yang baik saja pasti terhindar darinya, apalagi kalam
yang terbaik.

Untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam Al-
Qur’an diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Suyuthi
menjelaskan ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan
munasabah ini, yaitu:

1. Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek


pencarian.

2. Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam
surat.

3. Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungan atau tidak.

4. Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-


ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.

D. Macam-macam Munasabah

Jika di tinjau dari segi sifat munasabah atau keadaan persesuaian dan
persambungannya, maka munasabah itu ada dua macam[4];

18
 Persesuaian yang nyata (zahir al-Irtibat) atau persesuaian yang tampak jelas, yaitu
yang persambungan atau persesuaian antara bagian al-Qur’an yang satu dengan
yang lain tampak jelas dan kuat, karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain
erat sekali, sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna, jika di
pisahkan dengan kalimat yang lain. Maka deretan beberapa ayat yang
menerangkan sesuatu materi itu kadang-kadang ayat yang satu berupa penguat,
penafsir, penyambung, penjelas, pengecualian atau pembatasan dari ayat yang
lain, sehingga semua ayat-ayat tersebut tampak sebagai satu kesatuan yang sama.

 Persambungan yang tidak jelas (khaafiyyu al-Irtibath) atau samarnya persesuaian


antara bagian al-Qur’an dengan yang lain, sehingga tidak tampak adanya pertalian
untuk keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat/surah itu berdiri sendiri-
sendiri, baik karena ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain, atau karena
yang satu bertentangan dengan yang lain. Contoh: seperti hubungan antara ayat
189 surah al-Baqarah dengat ayat 190 surah al-Baqarah.

Jika ditinjau dari segi materinya dalam al-Qur’an sekurang-kurangngya


terdapat tujuh macam munasabah, yaitu:

 Munasabah antara surat dengan surat sebelumnya.[5] Satu surah berfungsi


menjelaskan surah sebelumnya, contoh, di dalam Q.S. Al-Fatihah ayat 6 :

)6( ‫اهِد َنا الِّصَر اَط الُم سَتِقيَم‬

“tunjukilah kami kejalan yang lurus”

Lalu dijelsakan di surah al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti
petunjuk al-Qur’an.

 Munasabah antara nama surat dengan isi atau tujuan surah.Nama-nama surah
biasanya diambil dari suatu masalah pokok di dalam satu surah,misalnya Q.S.an-
Nisa’ (perempuan) karena di dalamnya banyak menceritakan tentang persoalan
perempuan.

 Hubungan antara fawatih as-suwar (ayat pertama yang terdiri dari beberapa huruf)
dengan isi surah. Hubungan fawatih as-suwar dengan isi surahnya bisa dilacak

19
dari jumlah huruf-huruf yang dijadikan sebagai fawatih as-suwar. Misalnya
jumlah huruf alif, lam, dan mimi pada surah-surah yang dimulai dengan alif-lam-
mim semuanya dapat dibagi 19 (Sembilan belas).[6]

 Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surah.

Misalnya Q.S Al-Mu’minun: 1 imulai dengan:

)1( ‫َقْد َأْفَلَح اْلُم ْؤ ِم ُنون‬

“sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”

kemudian di bagian akhir surat ayat 117 ditemukan kalimat;

)117( ‫َو َم ْن َيْدُع َم َع ِهللا ِإٰل هًا الآَخ َر ُبْر هاَن َلُه ِبِه َفِإَّنما ِح ساُبُه ِع ْنَد َر ِّبِه الِإَّنُه ُيفِلُح اْلكاِفُر ون‬

“Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak
ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di
sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak beruntung”

 Hubungan antara satu ayat dengan ayat lain dalam satu surah. Misalnya kata
“Muttaqin” di dalam surah al-Baqarah ayat 2 dijelaskan pada ayat berikutnya
mengenai ciri-ciri orang yang bertaqwa.

 Hubungan antara penutup surah dengan awal surah berikutnya, misalnya akhir
Q.S. Al-Waqi’ah: 96 :

)96( ‫َفَسِّبْح ِبآْس ِم َر ِّبَك آْلَعِظ يِم‬

“maka bertasbihlah dengan menyebut nama TuhanMu Yang Maha Besar”

Lalu surah berikutnya yakni Q.S. Al-hadid: 1;

)1( ‫َسَّبَح ِهلِل َم ا ِفى الَّسٰم ٰو ِت َو ْاَالْر ِضۨ َو ُهَو اْل ُز َع ِز ْي اْل َح ِكْي ُم‬

“semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan
kebesaran Allah). Dan dialah Maha Kuasa Atas Segala Sesuatu”

20
Munasabah al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan berdasarkan
petunjuk Nabi (tawqifi). Setiap orang bisa saja menghubung-hubungkan antara
berbagai hal di dalam kitab al-Qur’an.[7]

E. Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Munasabah

Sebagaimana asbab an-nuzul, munasabah sangat berperan dalam


memahami Al-Qur’an. Muhammad ‘Abdullah Darraz berkata: “Sekalipun
permasalahan-permasalahan yang diungkapan oleh surat-surat itu banyak,
semuanya merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal dan akhirnya saling
berkaitan. Maka bagi orang yang hendak memahami sistematika surat
semestinyalah ia memerhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga memerhatikan
segala permasalahannya.[8]

Di samping itu, para ulama’ bersepakat bahwa Al-Qur’an ini, yang


diturunkan dalam tempo 20 tahun lebih dan mengantung bermacam-macam
hukum karena sebab yang berbeda-beda, sesungguhnya memiliki ayat-ayat yang
mempunyai hubungan erat, hingga tidak perlu lagi mencari asbab Nuzulnya,
karena pertautan satu ayat dengan ayat lainnya sudah bisa mewakilinya.
Berdasarkan prinsip itu pulalah, Az-Zarkasyi mengatakan bahwa jika tidak ada
asbab An-Nuzul, yang lebih utama adalah mengemukakan munasabah.

Lebih jauh lagi, kegunaan mempelajari Ilmu Munsabah dapat dijelaskan


sebagai berikut:[9]

1. Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-Qur’an


kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian lainnya. Contohnya terhadap
firman Allah dalam Surat Al-Baqorah ayat 189:

‫يسئلونك عن االهلة هي مواقيت للناس والحج وليس البر بان تا توا البيوت من ظهورها ولكن ابر من‬
)١٨٩:‫تقى واتواالبيوت من ابوابها واتقواهللا لعلكم تفلحون (البقرة‬

Artinya:

“ Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:”bulan sabit itu


adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah haji; dan bukanlah

21
kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi, kebajikan itu
adalah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah kerumah-rumah itu dari
pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”

2. Mengetahui atau persambungan atau hubungan antara bagian Al-Qur’an, baik


antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam
pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat
keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.

3. Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Qur’an dan konteks
kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau
surat yang satu dari yang lain.

4. Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui


hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.

22
BAB 3

KESIMPULAN

Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang berfungsi sebagai petunjuk bagi
manusia dalam mengarahkan kehidupannya. Secara garis besar, al-Qur’an
mengandung ajaran tentang aqidah, syariah, dan akhlak, namun al-Qur’an juga
mengandung isyarat-isyarat ilmiah yakni mengandung ayat-ayat sains dan
teknologi. Untuk dapat mengenal, memahami, dan menafsirkan al-Qur’an tidak
hanya berbekal pengetahuanbahasa Arab, melainkan dibutuhkan berbagai macam
ilmu guna untuk mengungkap makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Mata
kuliah ini mengkaji tentang ayat-ayat sains dalam al-Qur’an. Materi ini sangat
penting bagi mahasiswa untuk memperluas pandangan dan pengetahuan tentang
al-Qur’an guna untuk membantu dalam memahami dan menafsirkannya.

SARAN

Demikianlah makalah saya yang berisikan tentang tafsir, ta’wil dan terjemah.
Makalah inipun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang
ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan
sebagai penunjang pada makalah ini. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan
terima kasih.

23
DAFTAR PUSTAKA

Al Qaththan, Manna’ Khalil. 2006. Studi Ilmu-Ilmu Al- Qur`an (terjemahan


Mabaahits fii ‘Uluumil Qur`an). Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa.

Anwar Rosihun, Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2012.

Sumber dari Internet

http://haniehisyam.wordpress.com/2013/06/02/tafsir-ta’wil-terjemah.html

http://mt4info.blogspot.com/2013/01/pengertian-dan-perbedaan.tafsir.html

24

Anda mungkin juga menyukai