Anda di halaman 1dari 46

RESUME MATERI KOMPRE

BAB I

RINGKASAN MATERI ULUMUL QUR’AN

A. Pengertian Ulumul Qur’an

Suatu ilmu yang mencakup berbagai kajian yang berkaitan dengan kajian- kajian al- Qur’an.
Frase Ulumul Qur’an mengandung dua makna :
1. Ilmu yang bersumber dari Al- Qur’an
2. Ilmu yang membicarakan tentang al- Qur’an

B. Ruang lingkup pembahasan Ulumul Qur’an

Mencakup berbagai ilmu tentang al- Qur’an yang sangat banyak jumlahnya bahkan mencakup
berbagai disiplin ilmu yang diperlukan untuk memahami isi kandungan al- Qur’an.

Tafsir Bil ma’tsur dan tafsir Birra’y

1. Tafsir bil ma’tsur adalah : penafsiran ayat al- qur’an yang didasarkan pada ayat al- qur’an lain,
sunnah, pendapat sahabat dan tabi’in

2. Contoh tafsir ayat satu dengan ayat lain dalam al- Qur’an : surah al- Baqarah di jelaskan oleh al-
a’raf ayat 23

3. Contoh tafsir ayat dengan hadist : al- Fatihah : 7 ditafsirkan nabi dengan orang yahudi dan
nasrani

4. Tafsir Bir-ra’y : penafsiran ayat al- qur’an yang diasarkan pada pendapat para mufassir.

5. Kenapa pendapat para sahabat digolongkan pada tafsir bil ma’tsur ? karena para sahabat taw
asbab al- nuzulnya dan generasi sahabat adalah generasi terbaik.

Tafsir Mawdhu’i ( tematik ) dan tafsir Tahlili ( berdasar analisis )

1. Tafsir mawdhu’i adalah : tafsir ayat al- qur’an yang sesuai dengan tema atau judul yang telah
ditentukan, tanpa harus sama susunan ayat al- qur’an dalam mushaf al-qur’an

2. Kelebihan : a. ruang lingkup luas

b. memuat berbagai ide


kekurangan : a. menjadikan petunjuk al- qur’an parsial

b. melahirkan penafsiran yang subyektif

c. masuk pemikiran israiliyat

3. contoh buku tafsir mawdhu’i : al insan fi al- qur’an

4. tafsir tahlili adalah : penafsiran ayat yang berurutan sesuai mushaf al- qur’an, kemudian
dibahas, dianalisis dari berbagai aspek ( kosa kata, munasabah dll )

5. Kelebihan : a. menjawab tantangan zaman

b. praktis, sistematis dan dinamis

c. membuat pemahaman menjadi utuh

kekurangan : a. memenggal ayat al- qur’an

b. membatasi pemahaman ayat

6. contoh kitab tafsir : tafsir Ibn. Katsir

Asbab al- Nuzul

1. Artinya : suatu konsep atau berita tentang sebab- sebab turunya wahyu tertentu, baik berupa satu
ayat maupun rangkaian ayat.

2. Guna mengetahui asbab al- nuzul :

a. Dapat diketahui pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa yang mendahului turunya ayat al-
Qur’an

b. Dapat dihilangkan keraguan dalam memahami ayat al=- Qur’an yang tidak dipahami dengan baik
karena tidak tahu asbab al- nuzulnya.

3. Cara mengetahui asbab al- nuzul adalah dengan NAKL : menukil : meriwayatkan dari nabi

Qira’at al- Qur’an

1. Qira’at adalah : suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dalam membaca al- qur’an yang
berbeda satu dengan yang lain dalam segi pengucapan.

2. Faktor munculnya perbedaan Qira’at dikalangan ulama :


a. Adanya perbedaan lahja dialek arab

b. Adanya perbedaan ijtihad

c. Nabi melantunkan dengan berbagai macam lafadz

d. Nabi menetapkan perbedaan itu benar

3. Kriteria qira’at yang diterima :

a. Bersumber dari nabi dengan riwayat yang shahih

b. Sesuai dengan rasm usmani

c. Harus sesuai dengan kaidah bahasa arab

Munasabah

1. Munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan dan kesesuaian
antar ayat atau antar surat yang dapat diterima akal. Dari segi bahasa munasabah artinya
kesesuaian.

2. Macam munasabah

a. Berdasarkan Athaf (kata hubung)

_Tamzhir, hubungan yang mencerminkan perbadingan

_mudhaddah, hubungan yang mencerminkan pertentangan

_istihrad, keterkaitan satu soal dengan persoalan lain

b. Menurut Mannaf Al-Qaththan

_Tentang perhatian terhadap lawan bicara

_munasab antara satu surat dengan surat lain, seperti pada pembukaan Q.S Al-an’am dengan kata
alhamdu yang sangat sesuai dengan penutup surat al-maidah yang menerangkan tentang
keputusan sikap akhir seorang hamba kepada Tuhan.

_munasabah antar awal dan akhir surat, seperti dalam surat al-qosos

3. Dasar pemikiran adanya Munasabah = keyakinan bahwa urut-urutan surat sudah ada sejak Nabi
dan di urutkan berdasar perintah Nabi (tauqifi)
Tafsir, Takwil, Tarjammah, Makiyyah dan Madaniyyah

1. Tafsir adalah ilmu untuk memahami qitabulloh yang diturunkan kepada Muhammadmenjelaskan
maknanya serta mengeluarkan hokum dan hikmahnya.

2. Tarjammah adalah menyalin atau memindahkan suatu pembicaraan dari satu bahasa ke bahasa
lain.

3. Takwil adalah menjelaskan makna yang terkandung dalam lafadz dan ayat al-qur’an.

4. Syarat melakukan takwil

a. Makna tidak bertentangan dengan syara’ atau akal sehat

b. Makna sudah dikenal di kalangan masyarakat arab klasik saat turun al-qur’an

5. Makiyyah adalah surat yang diturunkan di mekkah

6. Madaniyyah adalah surat yang diturunkan di madinah

7. Guna mengetahui ayat makiyyah dan madaniyyah

a. Membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an

b. Member info tentang siroh Nabi

Ayat Muhkamah dan Mutasyabihat

1. Ayat muhkamah adalah ayat yang terang, jelas maksudnya dan bias di pahami dengan mudah.

2. Ayat mutasyabihat adalah ayat yang sukar dipahami dan memerlukan penjelasan dengan
merujuk ke ayat-ayat lain dan bias digunakan takwil untuk memahaminya.

3. Contoh surat muhkamah : yadullohi fauqo aidihim bukan berarti tangan Allah berada di atas
tangan mereka tetapi di takwilkan menjadi kekuasaan Allah di atas kekuasaan mereka.

4. Contoh ayat mutasyabihat : pada huruf diawal surat atau huruf2 tahajji : alif lam mim

5. Perbedaan pendapat ulama tentang siapa yang bisa memahami makna ayat mutasyabihat,
Dalam qur’an surat al-imron ayat 7 di jelaskan bahwa :

a. Hanya Allah yang mengetahui ayat mutasyabihat


b. Manusia bisa mengetahui ayat mutasyabihat, yaitu orang2 yang mendalam dalam ilmunya (al-
rochihuna fi al-ilmi).

URGENSI ULUMUL QUR’AN DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA

A. Pengertian Ulumul Qur’an


Ulumul Qur’an berasal dari kata ulum (ilmu-ilmu) dan al-Qur’an (kitab suci umat Islam). Jadi,
Ulumul Qur’an adalah segala pengetahuan/ilmu-ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an. Tetapi
yang termasuk dalam kategori Ulumul Qur’an hanya ilmu-ilmu syar’iyyah (agama) dan
Arabiyah (bahasa Arab) saja.
B. Ruang Lingkup Ulumul Qur’an
Terdapat 17 cabang Ulumul Qur’an yang terpenting, yaitu :
1. Ilmu Mawatin al-Nuzul (ilmu tentang tempat-tempat turunnya ayat).
2. Ilmu Tawarikh al-Nuzul (ilmu tentang masa dan tertib turunya ayat).
3. Ilmu Asbab al-Nuzul (ilmu tentang sebab/latar belakang turunnya ayat).
4. Ilmu Qira’ah (ilmu tentang macam-macam bacaan al-Qur’an).
5. Ilmu Tajwid (ilmu tentang membaca al-Qur’an).
6. Ilmu Garib al-Qur’an (ilmu tentang makna lafal yang ganjil/tidak lazim).
7. Ilmu I’rab al-Qur’an (ilmu tentang lafal dan harakat dalam ayat).
8. Ilmu Wujud wa al-Naza’ir (ilmu tentang lafal al-Qur’an yang ambigu).
9. Ilmu Ma’rifah al Muhkam wa al-Mutasyabih (ilmu tentang ayat-ayat muhkam
dan mutasyabih).
10. Ilmu Nasikh wa Mansukh (ilmu tentang nasikh mansukhnya al-Qur’an).
11. Ilmu Badai al-Qur’an (ilmu tentang keindahan, kesusastraan, dan ketinggian balaghah ayat-ayat
al-Qur’an).
12. Ilmu I’jaz al-Qur’an (ilmu tentang kemu’jizatan al-Qur’an).
13. Ilmu tanasub ayat al-Qur’an (ilmu tentang kesesuaian antar ayat al-Quran).
14. Ilmu Amsal al-Qur’an (ilmu tentang perumpamaan dalam al-Qur’an).
15. Ilmu Aqsam al-Qur’an (ilmu tentang arti dan tujuan sumpah Allah dalam al-Qur’an).
16. Ilmu Jidal al-Quran (ilmu tentang bentuk perdebatan dalam al-Qur’an).
17. Ilmu Adab Tilawah al-Qur’an (ilmu tentang aturan membaca al-Qur’an).
C.Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ulumul Qur’an
Cabang-cabang Ulumul Qur’an mulai tumbuh secara terpisah pada abad ke-3 H, mulai dari
munculnya ilmu tafsir, asbab al-nuzul, nasikh wal mansukh, manazila bi makkata mawa nuzila
bil madinati. Kemudian muncul ilmu ghorobil Qur’an pada abad ke-4 H, amtsalil Qur’an pada
abad ke-5 H, serta ilmu badi’ul Qur’an, Jadalil Qur’an dan Aqsamil Qur’an pada abad ke-6 H.
Dalam perkembangannya, Ulumul Qur’an dirintis dari masa ke masa, yaitu :
1. Dari kalangan Sahabat Nabi SAW : Para Khulafaur Rasidin, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin
Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair.
2. Dari kalangan Tabi’in : Mujahid, Atha’ bin Yassar, Ikrimah, Qatadah, Hasan al-Basri, Said bin
Jubair, dan Zaid bin Aslam di Madinah.
3. Dari Tabi’i al Tabi’in : Malik bin Anas yang memperoleh ilmunya dari Zaid bin Aslam.
Secara utuh Ulumul Qur’an mulai muncul pada abad ke-5 H, ditandai dengan mulai
dihimpunnya bagian-bagian ulumul Qur’an, yang pertama kali dilakukan oleh Ali bin Ibrahim
bin Sa’id al-Hufi (w.430 H) dalam karyanya al-Burhan fi Ulumil Qur’an. Dari abad ke-6 – 14 H
tidak lahir lagi ilmu-ilmu baru dalam ulumul Qur’an, tetapi ilmu-ilmu yang sudah ada menjadi
lebih berkembang dan meluas.
D. Urgensi Ulumul Qur’an
Pentingnya Ulumul Qur’an mencakup beberapa hal, yaitu :
 Dengan Ulumul Qur’an, Seseorang akan mencapai pemahaman yang baik mengenai al-Qur’an.
 Ulumul Qur’an menjadi senjata yang ampuh dalam membela kesucian al-Qur’an.
 Ulumul Qur’an mempermudah penafsiran suatu ayat dalam al-Qur’an.
 Dengan Ulumul Qur’an, dapat diketahui semua yang berkaitan dengan al-Qur’an, sehingga dapat
terhindar dari taklid membabi buta.

Komentar : Menurut saya, Ulumul Qur’an bukan hanya sebatas ilmu-ilmu tentang al-Qur’an
yang dapat memberikan pemahaman yang baik mengenai al-Qur’an, tetapi juga dapat
memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai ajaran agama Islam. Sehingga dapat
menambah kemantapan hati dan keteguhan Iman dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam.

BAB II
NUZULUL QUR’AN

A. Pengertian Wahyu
Secara etimologi, wahyu berarti isyarat yang cepat, ilham, risalah, dan pesan. Dalam istilah lain,
wahyu berarti pemberitahuan Allah SWT kepada seorang hamba pilihan-Nya melalui cara yang
samar.
B. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang ditulis
dalam mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, membacanya dinilai ibadah, dan bernilai i’jaz
walaupun satu surat di dalamnya. Alqur’an mempunyai banyak nama, diantaranya yaitu: Kitab,
al-Furqon, Tanzil, Zikir, dll.
C. Proses Nuzulul Qur’an
Nuzulul Qur’an adalah peristiwa turunnya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW. Proses
turunnya al-Quran tersebut meliputi: (1) Melalui mimpi, (2) Melalui Malaikat Jibril, baik dalam
wujud aslinya maupun dalam wujud manusia, (3) Berupa suara, seperti bunyi lonceng, (4) Dari
balik tabir, seperti terjadi pada malam mi’raj.
D. Tahap-tahap Turunnya Al-Qur’an
Ada dua tahapan turunnya al-Qur’an, yakni:
1. Dari Lauh Mahfudh ke langit bumi, al-Qur’an diturunkan pada malam bulan Ramadhan,
tepatnya pada malam Lailatul Qadar.
2. Dari langit bumi ke Rasulullah SAW, al-Qur’an turun berangsur-angsur dalam kurun waktu 23
tahun (13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah).
E. Periodisasi Turunnya Al-Qur’an
1. Periode Pertama (selama 4-5 tahun)
Dimulai dari turunnya wahyu pertama (surat Al-Alaq), dan ditandai dengan kandungan wahyu
Ilahi yang mencakup tiga hal: (1)Pendidikan bagi Rasulullah SAW, (2)pengetahuan dasar
mengenai sifat dan af’al Allah, (3)Keterangan tentang dasar-dasar akhlak islamiah dan bantahan-
bantahan umum mengenai masyarakat jahiliah waktu itu.
2. Periode Kedua (selama 8-9 tahun)
Terjadi pertarungan hebat antara gerakan Islam dan jahiliah, hingga akhirnya ayat-ayat al-Qur’an
mampu memblokade paham jahiliah dari segala segi.

3. Periode Ketiga (selama 10 tahun)


Ditandai adanya dakwah al-Qur’an yang telah dapat mewujudkan keleluasaan penganut-
penganutnya dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam di Yatsrib.

Komentar : Nuzulul Qur’an atau turunnya al-Qur’an memberikan hikmah yang luar biasa bagi
perkembangan agama Islam, diantaranya dengan turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur
memudahkan bagi Nabi SAW maupun para sahabat dalam menerima atau menghafal al-Qur’an,
serta urutan turunnya ayat runtut, mulai dari ajaran yang bersifat dasar sampai ajaran yang
bersifat kompleks dalam agama Islam, sehingga ajaranya bisa diserap dengan baik.
BAB III
MAKIYAH DAN MADANIYAH

A. Pengertian Makiyah dan Madaniyah


Makiyah adalah surat-surat al-Qur’an yang diturunkan di Mekkah, Sedangkan Madaniyah adalah
surat-surat al-Qur’an yang diturunkan di Madinah.
B. Ciri-ciri Makiyah dan Madaniyah
1. Ciri-ciri Makiyah
 Ayat serta suratnya pendek dan berirama.
‫”يَهاَّ أهيَييههاَّ الناَّ س‬,
 ditandai dengan khitbah terhadap penduduk Mekkah, seperti “ ‫س‬
“‫”يَهاَّ بهننيِ آهدهم‬, dan sebagainya.
 Terdapat ayat sajdah dan lafadz “kalla” yang disebutkan 33 kali dalam 15 surat akhir setengah al-
Qur’an.
2. Ciri-ciri Madaniyah
 Ayat serta suratnya panjang dan kurang berirama.
 Terkandung ajakan untuk berjihad mencari syahid di jalan Allah.
 Menerangkan tentang hukum-hukum Islam dan hukum-hukum kriminal.
 Menjelaskan tentang keburukan kaum munafik
 Berisi jaminan pertolongan Allah kepada orang-orang mukmin dari serangan musuh.
C. Teori-teori penentuan Makiyah dan Madaniyah
1. Teori Mulahazhatu Makani al-Nuzuli (teori geografis/tempat turunnya wahyu).
2. Teori Mulahazhah al-Mukhathabina fi al-Nuzuli (teori subjektif/subjek yang dikhitab).
3. Teori mulahazhatu Zamani al-Nuzuli (teori historis/waktu turunnya ayat).
4. Teori Mulahazhatu Ma Tadhammanat as-Surratu (teori berdasarkan cerita).
D. Manfa’at Mempelajari Makiyah dan Madaniyah
1. Mengetahui perbedaan dan tahap-tahap dakwah Islamiah.
2. Mengetahui berbagai bentuk bahasa dalam al-Qur’an.
3. Mengetahui sejarah pensyariatan hukum-hukum Islam.
4. Mengetahui urutan turunnnya ayat.
5. Membantu menafsirkan al-Qur’an.
E. Penentuan surat Makiyah dan Madaniyah
1. Berdasarkan laporan para sahabat Nabi SAW yang menyaksikan langsung bagaimana dan
dimana wahyu turun.
2. Melalui ijtihad para ulama berdasarkan ciri-ciri surat atau ayat.

Komentar : Adanya surat Makiyah dan Madaniyah dapat memberikan pengetahuan tentang
sejarah atau kronologi perkembangan Islam mulai dari dakwah Nabi SAW di Mekkah sampai
dakwah Nabi SAW di Madinah.

BAB IV
KODIFIKASI AL-QUR’AN

A. Kodifikasi Al-Qur’an pada Masa Rasulullah SAW


Pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an pada masa Nabi SAW terbagi menjadi dua kategori, yakni
(1)Pengumpulan dalam dada, dengan cara menghafal, menghayati, dan mengamalkan.
(2)Pengumpulan dalam dokumen, dengan cara menulisnya pada kitab, atau diwujudkan dalam
bentuk ukiran.
 Proses pemeliharaan al-Qur’an:
1. Al-Qur’an di lauh mahfuz (di sisi Allah), al-Qur’an terjaga dengan sempurna.
2. Al-Qur’an dalam proses diturunkan ke bumi dijaga malaikat dari setan.
3. Al-Qur’an di sisi Rasulullah SAW, beliau melaksanakan amanah risalah dengan sempurna,
menyambut baik turunnya wahyu al-Qur’an, lalu dijaga dan dihafalkan secara cermat dan
menyampaikannya pada para sahabat dengan baik.
 Penulis (Kuttab) resmi al-Qur’an:
1. Zayd bin Tsabit (sebagai sekretaris Nabi SAW sepanjang hidupnya).
2. Abdullah bin Said (sekretaris Nabi SAW pertama saat di Mekkah).
3. Usman bin Affan.
4. Ali bin Abi Thalib (penulis naskah-naskah perjanjian Nabi SAW dengan non muslim).
5. Ubay bin Ka’b (sekretaris Nabi SAW pertama ketika di Madinah)
6. Mu’awiyah bin Abi Sufyan (sekretaris Nabi SAW setelah diajukan langsung oleh ayahnya).
 Penulis al-Qur’an yang tidak resmi: Abu Bakar As-Sidiq, Umar bin Khatab, Zubair bin Awwam,
Kholid bin Said, Tsabit bin Qays, Mughirah bin Syu’bah, Mu’az bin Jabal, dan lain sebagainya.
 Alat/benda yang digunakan untuk menulis al-Qur’an: potongan kulit, pelepah kurma, bebatuan,
tulang, dan lain-lain.
 Al-Qur’an tidak dikodifikasiakn dalam satu mushaf, karena:
1. Ayat-ayatnya masih berlangsung turun secara acak antara ayat satu dengan ayat yang lain dari
surat yang berbeda.
2. Tertib ayat tidak seperti tertib turunnya.
3. Wahyu turun dalam waktu yang singkat. (tidak lebih dari 23 tahun).
4. Tidak ada motivasi yang mendesak untuk menyatukan al-Qur’an dalam satu mushaf.
B. Kodifikasi Al-Qur’an Pasca Nabi SAW
1. Masa Khalifah Abu Bakar dan Umar
Terjadinya perang Yamamah yang menewaskan lebih dari 70 orang huffaz membuat Umar
meminta Abu Bakar sebagai khalifah untuk mengadakan pengumpulan al-Qur’an dalam satu
mushaf. Sehingga, walaupun awalnya masih ragu, akhirnya Abu Bakar segera mengutus Zaid bin
Tsabit untuk melaksanakan hal itu. Kurang lebih selama 15 bulan, akhirnya al-Qur’an terkumpul
dalam shuhuf-shuhuf. Setelah Abu Bakar wafat shuhuf-shuhuf tersebut dipegang oleh Umar dan
setelah Umar wafat, shuhuf-shuhuf itu disimpan oleh Hafshah anak Umar yang juga merupakan
Istri Rasulullah SAW yang pandai menulis dan pandai membaca.
2. Masa Khalifah Usman
Terjadi pertikaian mengenai berbagai bentuk mushaf yang beredar, sehingga Usman
memperbanyak salinan mushaf dari Abu Bakar dan menginstruksikan untuk menyebarluaskan
Mushaf tersebut ke berbagai wilayah, serta memusnahkan semua mushaf lain yang beredar.
3. Mushaf Sahabat lain:
 Ubay bin Ka’ab yang mushafnya berpengaruh di bagian besar daerah Siria.
 Abdullah ibn Mas’ud yang mushafnya mendominasi daerah Kufa.
 Abu Musa al-As’ari yang mushafnya memperoleh pengakuan masyarakat Basrah.
 Miqd ibn Aswad yang mushafnya diikuti penduduk kota Hims.
 Ibn Abbas yang jumlah keseluruhan surat dalam mushafnya sebanyak 116 surat.

Komentar : Menurut saya, ajaran agama Islam yang sekarang telah menyebar dan berkembang
diseluruh penjuru dunia, semuanya tidak lepas dari adanya kodifikasi al-Qur’an. Karena dengan
adanya kodifikasi al-Qur’an, Isi ajaran agama Islam yang termuat di dalam al-Qur’an, semuanya
bisa tersampaikan tidak hanya kepada bangsa Arab saja, tetapi meluas ke seluruh penjuru dunia
termasuk Indonesia.

BAB V
ASBABUN NUZUL

A. Pengertian Asbabun Nuzul


Secara bahasa, Asbabun Nuzul berasal dari kata Asbab (sebab-sebab) dan An-Nuzul (turun), jadi,
Asbabun Nuzul berarti sebab-sebab yang melatarbelakangi turunya al-Qur’an. Dalam arti lain,
Asbabun Nuzul berarti ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum, diturunkan kepada Rasulullah
SAW untuk menjadi keterangan bagi suatu perkara yang telah terjadi.
B. Macam-macam Asbabun Nuzul
1. Sebagai tanggapan atas suatu peristiwa umum.
2. Sebagai tanggapan atas suatu peristiwa khusus.
3. Sebagai jawaban atas petanyaan kepada Nabi SAW.
4. Sebagai jawaban dari pertanyaan Nabi.
5. Sebagai tanggapan atas pertanyaan yang bersifat umum.
6. Sebagai tanggapan terhadap orang-orang tertentu.
C. Makna Ungkapan-ungkapan Redaksi Asbabun Nuzul
1. Kata ‫( سبب‬sebab), contoh: ‫( نزول هذه الياة كذا سبب‬sebab turunnya ayat ini demikian). Termasuk
ungkapan yang sharih (jelas dan tegas).
2. Kata ‫( ف‬maka), contoh: ‫( كذاوكذافنزلت الياةحدثت‬telah terjadi peristiwa ini dan itu, maka turunlah
ayat). Termasuk ungkapan yang sharih.
3. Kata ‫( فى‬tentang),contoh: ‫( هذه الياة فى كذا وكككذانزلت‬ayat ini turun tentang ini dan itu). Termasuk
ungkapan yang ghairi sharih (tidak jelas dan tegas).
D. Manfaat dan Urgensi Asbabun Nuzul
1. Mengetahui rahasia dan tujuan Allah SWT mensyari’atkan agamanya melalui ayat-ayat al-
Qur’an.
2. Memudahkan pemahaman al-Qur’an secara benar.
3. Memperkuat hafalan al-Qur’an.
4. Membantu dalam memahami dan mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan ayat-ayat
al-Qur’an.
5. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
6. Mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan al-Qur’an turun.
7. Memantapkan wahyu-wahyu ke dalam hati yang mendengarkan.
8. Mentakhsiskan hukum, meskipun dengan shigot yang khusus.

Komentar : Menurut saya, Asbabun Nuzul sangat berperan dalam menambah pemahaman
mengenai isi kandungan al-Qur’an. Karena dengan Asbabun Nuzul, kita menjadi paham
bagaimana latar belakang turunnya al-Qur’an, serta dengan Asbabun Nuzul juga dapat
memperkuat maksud/tujuan dan keterangan ayat yang diturunkan.

BAB VI
NASIKH MANSUKH

A. Pengertian Ilmu Nasikh Mansukh


Nasikh berasal dari kata Nasakho, Tansakhu, dan Nasukhon yang berarti hilangkan dan
hapuskan. Dalam arti lain, ilmu Nasikh Mansukh adalah ilmu yang membahas tentang
penghapusan atau penghilangan dan pengangkatan hukum syara’ yang sesuai dengan perintah
atau khitbah Allah yang datang kemudian.
B. Macam-macam Nasikh Mansukh
1. Nasikh al-Qur’an dengan al-Qur’an
2. Nasikh al-Qur’an dengan sunah Rasulullah SAW
 Al-Qur’an dinasakhkan dengan hadits ahad.
 Al-Qur’an dinasakhkan dengan sunah mutawatir.
3. Nasikh sunah Rasulullah SAW dengan al-Qur’an
4. Nasikh sunah Rasulullah SAW dengan Nasikh sunah Rasulullah SAW
 Mutawatir dinasakhkan dengan mutawatir.
 Ahad dinasakhkan dengan ahad.
 Ahad dinasakhkan dengan mutawatir.
 Mutawatir dinasakhkan dengan ahad.
C. Macam-macam Nasikh dalam Al-Qur’an
1. Nasikh tilawah (bacaan) dan hukumnya (misal: ayat tentang hukum sepersusuan).
2. Dinasikhkan hukumnya, tapi tilawahnya tetap (misal: ayat tentang hukum iddah).
3. Dinasikhkan tilawahnya, tapi hukumnya tetap berlaku (misal: ayat tentang rajam).
D. Pendapat Ulama Tentang Nasikh dalam Al-Qur’an
1. Golongan Rawafidhah
Memperbolehkan adanya nasikh, tetapi meraka sangat bebas, bahkan bertindak keterlaluan
dalam menetapkan nasikh dan memperluas pengertiannya.
2. Abu Muslim Khurasani
Memperbolehkan nasikh menurut akal, tapi melarang menurut Syara’.
3. Jumhur Ulama Fiqh
Memperbolehkan nasikh, baik menurut akal maupun Syara’.
E. Manfa’at Nasikh Mansukh
1. Untuk menguji mukallaf dalam mematuhi agama Allah.
2. Memelihara kemaslahatan umat.
3. Memudahkan hukum dan mengganti dengan yang lebih baik bagi umat.
4. Mengembangkan tasyri’ kepada tingkat yang lebih sempurna sesuai perkembangan dakwah dan
umat.
Komentar : Nasikh Mansukh memberikan dampak tersendiri bagi seorang muslim. Seseorang
yang Imannya lemah, bisa saja menganggap bahwa Allah tidak konsisten. Sebaliknya, orang
yang kuat Imannya akan dapat mengambil hikmah dari adanya Nasikh Mansukh ini, sehingga
dapat memperkuat taraf keimananya.
BAB VII
MUNASABAH

A. Pengertian Munasabah
Munasabah secara bahasa berarti jiwa. Secara terminologis berarti segi-segi hubungan antar
kalimat dalam ayat, antara ayat satu dengan ayat lain, serta antara satu surat dengan surat yang
lain. Jadi ilmu munasabah adalah ilmu untuk mengetahui hubungan antar ayat dan antar surat,
serta untuk mengetahui urutan bacaan ayat.
B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Munasabah
Munasabah dicetuskan pertama kali oleh Abu Bakar Al-naisaburi (w.324 H) di Baghdad. Dalam
perkembangannya munasabah meningkat menjadi salah satu cabang dari ulumul qur’an.
Kemudian muncul tokoh-tokoh seperti Ahmad ibn Ibrahim dan Burhan Abidin yang membahas
munasabah secara spesifik. Ulama berikutnya menyusun pembahasan munasabah secara khusus
seperti kitab al-Burhan fi Munasah tartib al-Qur’an karya Ahmad ibn Ibrahim al-Andalusi (w.
807 H), dan yang lainnya.
C. Bentuk-bentuk Munasabah
1. Hubungan antar ayat
a. Diathafkannya ayat yang satu kepada ayat yang lain (seperti antara ayat 102 dan ayat 103 surat
Ali Imran).
b. Tidak diathafkannya ayat yang satu kepada ayat yang lain (seperti antara ayat 10 dan ayat 11
surat Ali Imran).
c. Digabungkannya dua hal yang sama (seperti ayat 4 dan ayat 5 surat al-Anfal).
d. Dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi (seperti ayat 94 dan 95 surat al-A’raf).
e. Dipindahkannya satu pembicaraan (seperti ayat 54 dan ayat 55 surat Shaad).
2. Hubungan antar surat
a. Hubungan antara satu surat dengan surat sebelumnya (seperti hubungan antara surat al-Fatihah,
al-Baqarah, an-Nisa, dan al-Ma’idah)
b. Hubungan awal dengan akhir surat yang sama (seperti pada surat al-Qashas)
c. Hubungan nama surat dengan isinya (seperti surat al-Baqarah yang bercerita tentang sapi betina.
d. Hubungan antara penutup surat dengan awal surat setelahnya (seperti antara surat al-Waqi’ah
dan al-Hadid).
D. Kedudukan Munasabah dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Munasabah ayat sangat membantu dalam menerangkan makna yang terkandung dalam ayat,
bahkan fungsinya mirip dengan Asbabun Nuzul. Akan tetapi munasabah berkaitan dengan
pengetahuan yang diperoleh melalui ijtihad, sedangkan Asbabun Nuzul terkait dengan
pengetahuan yang diperoleh dari riwayah.
E. Manfaat Mempelajari Munasabah
1. Mengetahui hubungan antar bagian-bagian al-Qur’an.
2. Mengetahui mutu dan tingkat kebalaghahan bahasa al-Qur’an yang menunjukkan bahwa al-
Qur’an benar-benar wahyu dari Allah.
3. Membantu menafsirkan al-Qur’an.
4. Menepis anggapan orang bahwa tema-tema al-Qur’an kehilangan relevansi antar bagiannya.

Komentar : Menurut saya, Munasabah merupakan bagian dari ulumul Qur’an yang ikut
berperan dalam memberikan pemahaman terhadap isi al-Qur’an. Munasabah juga dapat
menunjukkan keagungan Allah dalam mengatur susunan al-Qur’an, sekaligus juga dapat menepis
anggapan bahwa al-Qur’an adalah ciptaan Nabi Muhammad SAW. Karena kualitas dan tingkat
kebahasaan al-Qur’an tidak mungkin bisa disamai ataupun diungguli oleh siapapun.

BAB VIII
ILMU FAWATIHUS SUWAR

A. Pengertian Fawatihus Suwar


Fawatihus Suwar adalah kalimat-kalimat yang dipakai untuk pembukaan dalam ayat-ayat al-
Qur’an.
B. Macam-macam Pembuka Surat
1. Pujian :
a. Al-Tahmid: al-Fatihah, al-An’am, al-Kahfi, Saba’, Fathir.
b. Al-Tabaruk: al-Furqan, al-Mulk.
c. Al-Tasbih: al-Isra’, al-Hadid, al-Hasyr, al-Shaff, al-Jumu’ah, al-Taghabun, al-A’la.
2. Potongan huruf hijaiyah :
a. Diawali dengan satu huruf (muwahhadah): shad, Qaf, Nun.
b. Diawali dengan dua huruf (mutsanna): al-Mu’min, Fushshilat, al-Dhukhan, al-Jatsiyah, al-
Ahqaf, Thaha, al-Naml, Yasin, Asy-Syuraa, az-Zukhruf.
c. Diawali dengan tiga huruf (mutsalatsaah): al-Baqarah, Ali Imran, al-Ankabut, al-Rum, Luqman,
al-Sajadah, Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim, al-Hajr, as-Syu’raa, al-Qashash.
d. Diawali dengan empat huruf (muraba’ah) : al-Ra’d, al-A’raf.
e. Diawali dengan lima huruf : Maryam.
3. Fawatihus Suwar yang merupakan ayat-ayat mutasyabihat :
a. Al-Nida’(seruan) :
 Panggilan kepada Nabi : al-Ahzab, al-Muzzamil, al-Muddatsir.
 Panggilan kepada orang-orang mukmin: al-Maidah, al-Hujurat, al-Mumtahanah.
 Panggilan kepada manusia: an-Nisa, al-Hajj.
4. Jumlah khabariah (kalimat berita) :
 Jumlah Ismiyah (Kalimat Nominal): at-Taubah, an-Nur, al-Zumar, Muhammad, al-Fath, ar-
Rahman, al-Haqqah, Nuh, al-Qadr, al-Qari’ah, al-Kautsar.
 Jumlah Fi’liyah (kalimat verbal): al-Anfal, an-Nahl, al-Anbiya’, al-Mu’minun, al-Qamar, al-
Mujadilah, al-Ma’arij, al-Qiyamah, ‘Abasa, al-Balad, al-Takatsur.
5. Al-Qasam (sumpah) :
 Ulya : al-Shaffat, al-Najm, al-Mursalat, al-Nazi’at, al-Buruj, al-Thariq, al-Fajr, al-Syams.
 Sufla: al-Dzariyat, al-Thur, al-Tin, al-Adiyat.
 Waqt: al-Lail, ad-Dhuha, al-Ashr.
6. al-Syarth (kalimat syarat) :
 Syarath dengan jumlah Ismiyah: al-Takwir,al-Infitar, al-Insyiqaa.
 Syarath dengan jumlah Fi’liyah: al-Waqi’ah, al-Munafiqun, al-Zalzalah, al-Nashr.
7. Al-Amr (fi’il Amr):
 Amr dengan Iqra’: al-Alaq.
 Amr dengan Qul : al-Jinn, al-Kafirun, al-Ikhlas, al-Falaq, an-Nas.
8. Al-Istifham (kalimat tanya):
 Al-Istifham al-Ijabiy (kalimat tanya positif): al-Insan, an-Naba’, al-Ghasyiyah.
 Al-Istifham al-Salabiy (kalimat tanya negasi): al-Insyirah, al-Ma’un.
9. Ad-Du’a (do’a):
 Du’a dengan jumlah Ismiyah: al-Muthafifin, al-Lumazah.
 Du’a dengan jumlah Fi’liyah: al-Lahab.
10. Lam at-Ta’lil (lam yang berarti karena): Qureisy.
C. Pendapat Beberapa Ulama Tentang Fawatih as-Suwar
1. Ibnu Arabi (w.638 H), mengatakan bahwa Allah menjadikan huruf-huruf ini (fawatihus suwar)
dalam beberapa martabat, yakni: maushul, maqthu’, mufrad, mutsanna, dan ada yang jama’.
2. Ibnu Abbas, tentang kaf ha ya ‘ain shad.
Kaf (karim), ha (hadin), ya (hakim), ‘ain (‘alim), shad (shadiq).
3. Adh-Dhahhak, bahwa makna alif lam ra adalah Ana Allahu a’lamu wa arfa’u (Aku adalah Allah,
Aku mengetahui dan Aku mengangkat).
4. Ulama Shalaf, bahwa Fawatihus Suwar telah tersusun semenjak zaman azali sedemikian rupa
guna melengkapi segala yang melemahkan manusia untuk mendatangkan yang seperti al-Qur’an.
D. Hikmah Ayat Mutasyabih Sebagai Fawatihus Suwar
1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia.
2. Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat Mutasyabih
3. Mempermudah dalam mempelajari al-Qur’an.
4. Adanya penunjuk terhadap tema pembahasan surat dan tujuan-tujuannya.

Komentar : Fawatihus Suwar merupakan salah satu bentuk kekuasaan dan kebesaran Allah,
karena walaupun beberapa ulama berusaha memahami makna dari ayat Fawatihus Suwar
tersebut, tetaplah yang mengerti makna dan maksud yang sesungguhnya hanya Allah SWT. Akan
tetapi tidak memutus kemungkinan untuk dilakukan pemahaman yang mendalam terhadap
fawatihus suwar tersebut, karena manusia diperintahkan untuk Iqra’ dalam arti lain mempelajari
dan meneliti.

BAB IX
MUHKAM DAN MUTASYABIH

A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih


Muhkam ialah ayat-ayat yang mempunyai makna jelas, baik lafadz maupun maksudnya,
sehingga tidak menimbulkan keraguan, kekeliruan dan penafsiran lain. Ayat yang termasuk
muhkam yakni naskh dan zhahir. Sedangkan Mutasyabih ialah ayat-ayat yang maknanya belum
jelas. Ayat yang termasuk mutasyabih yakni mujmal, mu’awwal, musykil dan mubham (ambigu).
B. Sebab-sebab Adanya Ayat Mutasyabih
1. Kesamaran lafal
 Kesamaran karena mufrad
 Kesamaran karena murakkab
2. Kesamaran makna ayat
3. Kesamaran lafal dan makna ayat
C. Macam-macam Ayat Mutasyabih
1. Ayat mutasyabih yang hanya diketahui Allah (seperti ayat tentang surga, neraka, kiamat, dan lain
sebagainya).
2. Ayat mutasyabih yang bisa diketahui orang dengan pembahasan dan pengkajian yang mendalam.
3. Ayat mutasyabih yang hanya diketahui oleh pakar ilmu dan sains.
D. Pendapat Para Ulama Mengenai Ayat Mutasyabih
1. Pendapat Jumhur ulama Ahlus Sunnah dan sebagian ahli Ra’yi mengatakan bahwa ayat
mutasyabih cukup diimani saja, tidak perlu pena’wilan arti dan makna ayat mutasyabih, kecuali
ayat mutasyabih yang menerangkan keagungan Allah.
2. Ibnu Daqiqi al-‘Id mengatakan bahwa dalam pena’wilan ayat mutasyabih sepadan dengan
bahasa arab dan jika tidak, maka ditangguhkan ta’winnya tersebut. Dan ayat mutasyabih tersebut
cukup diimani tanpa perlu pengamalan.
E. Hikmah dibalik Ayat Muhkam dan Mutasyabih
1. Sebagai ujian keimanan bagi manusia.
2. Untuk memperkuat kedudukan al-Qur’an sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia.
3. Sebagai motivasi bagi umat Islam untuk menggali maksud isi yang terkandung dalam al-Qur’an.

Komentar : Seperti halnya Nasikh Mansukh dan Fawatihus Suwar, Muhkam dan Mutasyabih
juga menjadi ujian keimanan tersendiri bagi umat Islam. Karena hanya orang-orang yang
mendalam ilmunya saja yang bisa memahami makna dari ayat-ayat Mutasyabih, hal ini sekaligus
menjadi motivasi bagi umat Islam dalam mengkaji berbagi macam Ilmu pengetahuan, khususnya
yang berkaitan dengan Ilmu-ilmu al-Qur’an.
BAB X
I’JAZUL QUR’AN

A. Pengertian I’jazul Qur’an


Secara etimologis, I’jaz berarti melemahkan/membuktikan ketidakmampuan pihak lain.
Sedangkan secara terminologis I’jaz berarti pembuktian kebenaran Nabi SAW atas pengakuan
kerasulannya dengan cara menunjukkan kelemahan orang-orang Arab yang menentang. Jadi,
I’jazul Qur’an adalah kemampuan yang dimiliki al-Qur’an untuk membuktikan kenabian Nabi
Muhammad SAW dan melemahkan para penentangnya dalam membuat hal serupa.
B. Nama Lain Mu’jizat
1. Irhas : dimiliki oleh calon Nabi
2. Karomah : dimiliki oleh para Wali/orang suci.
3. Ma’unah : dimiliki manusia pada umumnya.
4. Istidros : dimiliki oleh orang fasik/kafir.
5. Sihir : dimiliki oleh seseorang dengan bantuan setan.
C. Unsur-unsur Dalam Mu’jizat
1. Berupa peristiwa luar biasa.
2. Terjadi pada orang yang mengaku Nabi.
3. Mengandung tantangan terhadap siapapun yang meragukan.
D. Tantangan Al-Qur’an Ditujukan Kepada:
1. Seluruh umat manusia.
2. Siapapun yang mengetahui al-Qur’an.
3. Kaum mukminin, untuk meneguhkan keimanan mereka.
4. Kepada orang-orang kafir yang tidak meyakininya.
E. Macam-macam Mu’jizat
1. Hissiyah
 Hanya dirasakan, dicerna, dan dilihat pada saat kemunculannya.
 Hanya untuk orang-orang yang menyaksikannya.
 Terjadi pada selain al-Qur’an.
2. Aqliyyah
 Hanya bisa diketahui dengan akal dan pemikiran mendalam.
 Berlaku sepanjang masa.
 Bisa dirasakan/diketahui oleh siapapun yang memiliki cahaya pengetahuan khusus dan mata hati
yang bersih.
 Hanya terjadi pada al-Qur’an.
F. Aspek-aspek I’jaz Al-Qur’an
1. I’jaz al-balaghi (sastra kebahasaan)
2. I’jaz al-ghaiby (hal-hal ghaib)
3. I’jaz al-tasyri’ry (perundang-undangan)
4. I’jaz al-‘Ilmy (sains; ilmu pengetahuan) :
a. I’jaz al-Thibbiy (kedokteran)
b. I’jaz al-Falaky (astronomi)
c. I’jaz al-Thabi’iy (fisika)
d. I’jaz al-‘adady (jumlah bilangan)
e. I’jaz al-I’lamiy (informasi):
 Kejadian masa lalu.
 Kejadian yang akan datang.
G. Kadar Kemu’jizatan Al-Qur’an
1. Mu’jizat al-Qur’an dalam susunan tabir (penuturan kalimat) nya dan dalam rangkaian seninya
berdasarkan keistiqomahan terhadap kekhususan di dalam satu tingkatan.
2. Mu’jizat al-Qur’an dalam bangunannya dan dalam keteraturan yang saling melengkapi antar
bagian-bagiannya.
3. Mu’jizat al-Qur’an dalam hal kemudahan untuk masuk ke dalam hati dan sanubari manusia.
F. Fungsi Mu’jizat Al-Qur’an
1. Sebagai bukti kerasulan Nabi Muhammad SAW.
2. Sebagai bukti kebenarannya sebagi firman Allah.
3. Untuk meneguhkan keimanan kaum beriman.
4. Melemahkan kaum Kuffar.

Komentar : Menurut saya, I’jazul Qur’an bisa dijadikan senjata yang ampuh dalam menjawab
anggapan-anggapan para orientalis yang mengatakan bahwa al-Qur’an bukanlah wahyu dari
Allah, melainkan ciptaan Nabi Muhammad SAW. dengan I’jazul Qur’an kita bisa membuktikan
bahwa anggapan mereka mengenai al-Qur’an adalah salah. Kita bisa menunjukkan kebesaran
Allah melalui keajaiban-keajaiban yang terkandung dalam al-Qur’an.

BAB II

RINGKASAN ULUMUL HADIS

1. Hadis dan Istilah Terkait


A. Pengertian Hadis, Sunnah, Khabar, dan Atsar
a. Pengertian hadis
Secara bahasa hadis berarti al-jadid (yang baru), al-Khabar (berita), al-qarib (dekat).
Sedangkan secara istilah diartikan sebagai segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW, baik
berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.

b. Pengertian sunnah
Secara bahasa sunnah berarti jalan yang dilalui, baik yang terpuji atau tercela. Sedangkan
secara istilah diartikan sebagai segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, pengajaran sifat, keakuan, perjalanan hidup, baik sebelum Nabi jadi rasul atau
sesudahnya.
c. Pengertian Khabar
Secara bahasa berarti berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.
Sedangkan menurut istilahyaitu segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi SAW
atau dari yang selain Nabi SAW.

d. Pengertian atsar
Dari segi bahasa, atsar berarti bekas sesuatu atau sisa sesuatu. Menurut banyak ulama,
atsar mempunyai pengertian yang sama dengan khabar dan hadis, namun menurut sebagian
ulama lainnya atsar cakupannya lebih umum dibandingkan dengan khabar.
B. Bentuk-bentuk Hadis
a. Hadis qauli
yaitu segala bentuk perkataan yang disandarkan kepada nabi.

b. Hadis fi’li
Yaitu segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi

c. Hadis taqriri
Yaitu hadis yang berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang datang atau dilakukan oleh para
sahabatnya.

d. Hadis hammi
Yaitu hadis yang berupa keinginan Nabi SAW yang belum terealisasi, seperti halnya hasrat
berpuasa 9 ‘Asyura.

e. Hadis ahwali
Yaitu hadis yang berupa hal ikhwal Nabi SAW, seperti keadaan fisik Nabi SAW dan sebagainya.

C. Hadis Qudsi
Secara bahasa hadis qudsi berarti hadis yang suci. Sedangkan secara istilah disrtikan
sebagai segala sesuatu yang diberitakan Allah SWT kepada Nabi-Nya dengan ilham atau mimpi,
kemudian Nabi SAW menyampaikan berita itu dengan ungkapan-ungkapan sendiri.
Hadis qudsi dan hadis nabawi sama-sama bersumber dari Allah SWT. Namun
perbedaannya hanya dari segi penisbatan, yaitu hadis nabawi dinisbatkan kepada Rasul, adapun
hadis qudsi dinisbatkan kepada Allah.
Antara Al-quran dan Hadis Qudsi terdapat beberapa perbedaan, diantaranya:
a. Al-quran berfungsi sebagai mu’jizat dan digunakan untuk menantang. Sedangkan hadis qudsi
tidak digunakan untuk menantang dan tidak pula untik mu’jizat.
b. Seluruh isi Al-quran kepastiannya sudah mutlak. Sedangkan hadis qudsi kebanyakan khabar
ahad sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan.
c. Lafazh atau redaksi Al-Qur’an berasal dari Allah ta’ala, berbeda dengan hadits Qudsi yang
redaksinya berasal dari pihak Nabi SAW
d. Mushhaf Al-Qur’an hanya boleh disentuh oleh orang yang tidak berhadats, berbeda dengan kitab
kumpulan hadits Qudsi yang boleh disentuh sewaktu-waktu sekalipun dalam keadaan berhadats.
e. Turunnya wahyu AL-Qur’an selalu disertai dengan keberadaan Jibril as yang menjadi mediator
Nabi SAW dengan Allah SWT, berbeda dengan hadits Qudsi.
f. Ibadah shalat tidak sah tanpa diiringi dengan bacaan Al-Qur’an, berbeda dengan hadits Qudsi.

2. UNSUR-UNSUR HADIS
A. Sanad, Matan, Rawi, Mukharrij
a. Sanad, Isnad, musnad, musnid
Sanad yaitu orang-orang yang meriwayatkan hadis atau silsilah orang-orang yang
menghubunkan kepada matan hadis.
Isnad yaitu orang yang menyampaikan atau menerangkan ( dari atas ke bawah )
Musnad yaitu orang yang menjelaskan semua periwayatan dan menulis dalam kitab.
Musnid yaitu orang yang menyampaikan info ( dari bawah ke atas ).
b. Matan
Matan yaitu perkataan yang disebut pada akhir sanad (isi dari hadis).
c. Rawi
Rawi yaitu orang yang meriwayatkan hadis atau memberikan hadis.
d. Mukharrij
Mukharrij yaitu orang yang terakhir dan sampai menuliskan dalam satu kitab.
B. Gelar Keahlian Imam Hadis
 Amirul mu’minin
 Al-hakim
 Al-hujjah
 Al-muhaddisin
 Al-musnid

3. KEDUDUKAN HADIS DALAM ISLAM

A. Dalil / Dasar Kewajiban Mengikuti Sunnah


 Dalil Al-quran, firman Allah:
Artinya"Apa yang diberikan Rosul kepada kalian, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagi kalian, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh amat keras
hukumannya". (QS. Al Hasyr [59]: 7)
 Dalil Hadis Nabi SAW :
Artinya”aku tinggalkan dua pusaka kepada kalian. Jika kalianberpegang kepada keduanya,
niscaya tidak akan tersesat, yaitu Al-quran dan Sunnah Rasul-Nya”. (H.R. Al-Hakim dari abu
Hurairah)
 Ijma’

B. Fungsi Sunnah Terhadap Al-qur’an


 Bayan at-tafsir
 Bayan at-taqrir
 Bayan an-nasakh

4. HADIS PRA-KODIFIKASI
a. Hadis Pada periode Rasul
Periode ini disebut juga dengan masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat
Islam. Pada masa Rasulullah, kepandaian baca tulis dikalangan sahabat sudah
bermunculan,hanya saja terbatas sekali. Karena itu nabi menerangkan untuk menghafal,
memahami, memelihara, dan memantapkan hadis dala amalan sehari-hari, serta mentabliqkannya
kepada orang lain.
Tidak ditulisnya hadis secara resmi pada masa ini, bukan berarti tidak ada sahabat yang
menulis hadis. Dalam sejarah terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadis, misalnya
Abdullah Ibn Amr Ibn ‘Ash, Alin bin Abi Thalib, Anas bin Malik.

b. Hadis pada periode sahabat


Sebetulnya, kodifikasi (penulisan dan pengumpulan) hadis telah dilakukan sejak jaman para
sahabat. Namun, hanya beberapa orang saja diantara mereka yang menuliskan dan menyampaikan
hadis dari apa yang mereka tulis. Disebutkan dalam shahih al-Bukhari, di Kitab al-Ilmu, bahwa Abdullah
bin ‘Amr biasa menulis hadis. Abu Hurairah berkata, “Tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak hadisnya dari aku kecuali Abdullah bin ‘Amr, karena ia
biasa menulis sementara aku tidak.”
Namun, kebanyakan mereka hanya cukup mengandalkan kekuatan hapalan yang mereka miliki.
Hal itu diantara sebabnya adalah karena di awal-awal Islam Rasulullah sempat melarang penulisan hadis
karena khawatir tercampur dengan Al-Qur`an. Dari Abu Sa’id al-Khudri, Bahwa Rasulullah bersabda,
“Janganlah menulis dariku! Barangsiapa menulis dariku selain Al-Quran, maka hapuslah. Sampaikanlah
dariku dan tidak perlu segan..” (HR Muslim)
c. Hadis Periode Tabi’in
Tradisi periwayatan hadis ini juga kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh tabi`in sesudahnya. Hingga
datang masa kepemimpinan khalifah kelima, Umar Ibn Abdul’aziz. Dengan perintah beliau, kodifikasi
hadits secara resmi dilakukan.
5. HADIS MASA KODIFIKASI
Proses kodifikasi hadits atau tadwiin al-Hadits yang dimaksudkan adalah proses
pembukuan hadits secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal ini adalah
Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99-101 H). Beliau merasakan adanya
kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaharaan sunnah. Untuk itulah beliau
mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal
Hadits menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada Hadits yang akan hilang pada masa
sesudahnya.
Proses kodifikasi al-Hadits adalah proses pembukuan al-Hadits secara resmi yang
dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan semata-mata kegiatan
penulisan al-Hadits, karena kegiatan penulisan al-Hadits secara berkesinambungan telah dimulai
sejak Rasulullah saw masih. Berangkat dari realitas ini adanya tuduhan bahwa al-Hadits sebagai
sumber yurisprudensi diragukan otentisitasnya atau tidak otentik karena baru ditulis jauh sesudah
Rasul wafat merupakan tuduhan yang tidak beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang
sebenarnya.
Tentang adanya larangan penulisan Hadits hal ini patut dimaknai larangan secara khusus
yaitu menuliskan al-Hadits bersama al-Qur’an dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan
menimbulkan kerancuan, atau menyibukkan diri dalam penulisan al-Hadits sehingga
mengesampingkan al-Qur’an.
6. ILMU HADIS RIWAYAH DAN DIRAYAH
a. Hadis Riwayah
Ilmu hadis riwayah yaitu ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan
Nabi SAW, periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafadz-lafadznya.
Ilmu ini bertujuan memelihara hadis Nabi dari kesalahan dalam proses periwayatan dan
pembukuannya.
b. Hadis Dirayah
Ilmu hadis dirayah yaitu ilmu yang membahas pedoman-pedoman
yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan.
Adapun tujuan dan faedah ilmu hadis dirayah adalah :
1. mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa ke masa sejak masa
Rasulullah hingga sekarang.
2. mengetahui tokoh-tokoh hadis dan usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan,
memelihara, dan meriwayatkan hadis.
3. Mengetahui kaidah-kaidah yang digunakan ulama dalam mengklasifikasikan hadis
4. Mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria-kriteria hadis sebagai pedoman dalam
menetapkan suatu hukum syara’.

7. PEMBAGIAN HADIS
A. Hadis Berdasarkan Kuantitas Rawi
a. Hadis mutawatir
Hadis mutawati yaitu hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang, yang menurut adat
tidak mugkin orang yang banyak tersebut bersepakat untuk berdusta.
Hadis mutawatir di bagi 3, yaitu mutawatir lafdzi (hadis yang sama bunyi, lafadz,
hukum, dan maknanya), mutawatir ma’nawi ( hadis yang berlainan bunyi dan makna, namun
dapat diambil makna umumnya), dan mutawatir ‘amali (sesuatu yang telah diketahui dan
mutawatir di kalangan umat, seperti jumlah raka’at shalat, dsb).
b. Hadis ahad
Hadis ahad yaitu hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir.
Hadis ahad dibagi 3, yaitu hadis masyhur ( yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih,
tapi tidak mencapai tingkat mutawatir), hadis aziz (yang diriwayatkan oleh dua orang perawi),
hadis gharib( yang diriwayatkan oleh satu orang perawi).
B. Hadis Berdasarkan Kualitas Sanad
a. Hadis sahih
Hadis sahih yaitu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang adil,sempurna ingatannya,
sanadnya bersambung, tidak ber’illat, dan tidak syadz.
Syarat-syarat hadis sahih yaitu rawinya adil, dhabit, bersambung sanad, tidak ber’illat,
dan tidak syadz.
Hadis sahih di bagi 2, yaitu sahih lizatihi dan sahih lighairihi.

b. Hadis hasan
Hadis hasan yaitu khabar yang dinukilkan oleh orang yang adil,kurang sempurna
hapalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz.
Hadis hasan di bagi 2, yaitu hasan lizatihi dan hadis hasan lighairihi.
Perbedaan antara hadis hasan dengan hadis sahih adalah pada hadis hasan disadang oleh
perawi yang tidak begitu kuat ingatannya, sedangkan pada hadis sahih disandang oleh rawi yang
benar-benarkuat ingatannya.

c. Hadis dha’if
Hadis dha’if adalah semua hadis yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadis
yang diterima dan menurut pendapat kebanyakan ulama, hadis dha’if adalah yang tidak
terkumpul padanya sifat hadis sahih dan hasan.
Cacat pada keadilan rawi itu disebabkan 10 macam, yaitu dusta, tertuduh dusta, fasik,
banyak salah, lengah dalam menghafal, menyalahi riwayat orang kepercayaan, banyak
nerprasangka, tidak diketahui identitasnya, penganut bid’ah, tidak baik hafalannya.
 Klasifikasi hadis dha’if berdasarkan cacat pada keadilan dan kedhabitan rawi
 Hadis maudhu : yaitu hadis palsu yang dinisbatkan kepada Rasulullah.
 Hadis matruk : yaitu hadis yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta.
 Hadis mungkar : hadis yang pada sanadnya ada seorang rawi yang parah kesalahannya atau
banyak kelupaannya atau nampak kefasikannya.
 Hadis syadz : yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul, yang menyalahi
riwayat orang yang lebih utama darinya, baik karena jumlahnya lebih banyak ataupun lebih
btinggi daya hafalannya.

 Klasifikasi hadis berdasarkan gugurnya rawi


 Hadis mu’allaq : jatuhnya rawi pada awal sanad, seorang perawi atau lebih secara berturut-
turut.
 Hadis mu’dhal : hadis yang putus sanadnya dua orang atau lebih scara berturut-turut.
 Hadis mursal : yaitu hadis yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabi’in.
 Hadis munqati’ : hadis yang gugur rawi sebelum sahabat atau gugur dua orang pada dua
tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
 Hadis mudallas : menyembunyikan cacat dalam isnad dan menampakkan cara (periwayatan)
yang baik.

C. Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kuantitas Rawi


a. Hadis marfu’
Yaitu hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW.
b. Hadis mauquf
Yaitu hadis yang disandarkan kepada sahabat.
c. Hadis maqtu’
Yaitu hadis yang disandarkan kepada tabi’in.

8. PERIWAYATAN HADIS
A. Cara-cara Menerima Riwayat
 Mendengar (Al Sama’)
 Membaca (Al Qira’ah)
 Ijazah (Al Ijazah)
 Memberi (Munawalah)
 Menulis (Al Kitabah)
 Pemberitahuan (I’lam)
 Wasiat (Al Wasiyah)
 Penentuan (Al – Wijadah)

B. Cara-cara Menyampaikan Riwayat


 Sami’tu
 Haddasana
 Akhbarana
 Ambaana
 Dll

9. ILMU ASBAB AL-WURUDIL HADIS


Ilmu asbab wurudil hadits adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi
menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturnya itu.
Contohnya:
Tentang berhati lembut
“ Hendaklah kamu berhati lembut, sebab kelembutan itu tidak menjadikan sesuatu melainkan
memperindahnya, dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu melainkan dapat memperburuknya”.
Sababul Wurud
Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Aisyah telah menunggang seekor unta yang sukar
ditungganginnya. Sehingga ia mendorongnya kuat-kuat. Maka Rasulullah bersabda: “Hendaklah
kamu berhati lembut......dst”.
Adapun urgensi asbabul wurud menurut imam as-Suyuthi antara lain untuk:
1. Menentukan adanya takhsish hadis yang bersifat umum.
2. Membatasi pengertian hadis yang masih mutlak.
3. Mentafshil (memerinci) hadis yang masih bersifat global.
4. Menentukan ada atau tidak adanya nash-mansukh dalamsuatu hadis.
5. Menjelaskan ‘illat (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum.
6. Menjelaskan maksud suatu hadis yang masih musykil (sulit dapahami)
Adapun faedah dari mengetahui asbabul wurud adalah untuk menentukan ada
tidaknya takhsish dalam suatu hadis yang umum, membatasi kemutlakan suatu hadis, merinci
yang masih global, menentukan ada tidaknya nasikh mansukh dalam hadis, mejelaskan ‘illat
ditetapkannya suatu hukum, dan menjelaskan hadis yang sulit dipahami (musykil).

10. ILMU NASIKH WALMANSUKH


Ilmu nasikh walmasukh adalah ilmu yang membahas hadis-hadis yang saling bertentangan
yang tidak mungkin bisa dikompromikan, dengan cara menentukan sebagiannya sebagai nasikh
dan sebagian lainnya mansukh. Yang terbukti datang terdahulu sebagai mansukh dan yang
terbukti datang kemudian sebagai nasikh.
Syarat-syarat nasakh yaitu:
 Adanya mansukh ( yang di hapus )
 Adanya mansukh bih ( yang digunakan untik menghapus)
 Adanya nasikh (yang berhak menghapus)
 Adanya mansukh ’anhu (arah hukum yang dihapus ituadalah orang-orang yang sudah aqil baligh
atau mekallaf)
11. ILMU JARH WA TA’DIL
Ilmu Al-jarh wa At-ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang
dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para
perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat
mereka.
Syarat-syarat bagi orang yang menta’dilkan dan mentajrihkan:
 Berilmu pengetahuan
 Taqwa
 Wara’
 Jujur
 Menjauhi fanatik golongan
 Mengetahui sebab-sebab untuk mentajrihkan dan menta’dilkan
Lafadz-lafadz jarh:
 Autsaqunnas
 Tsiqah-tsiqah
 Tsiqah
 Shuduq
 Hasanul hadis
 Shuduq insyaAllaah
Lafadz-lafadz ta’dil:
 Akzabunnas
 Kazzab
 Fulannun za’if
 Fulanun majhul
 Zha’ifun hadis

12. HADIS MAUDHU’


hadits maudhu adalah hadits yang diada-adakan dan dipalsukan atas nama Rasulullah
shallallohu alaihi wa sallam secara sengaja.
Faktor munculnya hadis maudhu’:
 Pertentangan politik dalam soal pemilihan khalifah
 Adanyakesengajaan dari pihak lain untuk merusak ajaran islam
 Mempertahankan mazhab dalam masalah fiqh dan masalah kalam
 Membangkitkan gairah beribadah untukmendekatn diri kepada Allah
 Menjilat para penguasa untu mencari kedudukan atau hadiah
Ciri-ciri hadis maudhu’ :
 Ciri yang terdapat pada sanad
 Rawinya terkenal berdusta
 Pengakuan dari si pembuat sendiri
 Kenyataan sejarah
 Keadaan rawi dan faktor-faktorn yang mendorongnya membuat hadis maudhu’
 Ciri yang terdapat pada matan
 Keburukan susunan lafadznya
 Kerusakan maknanya

13. TAKHRIJUL HADIS


Takhrij adalah penunjukan terhadap tempat hadis di dalam sumber aslinya yang dijelaskan
sanad dan martabatnya sesuai keperluan.
Tujuan pokok men-tahrij hadis adalah untuk mengetahui sumber asal hadis
yang ditakhrij. Tujuan lainnya, untuk mengetahui keadaan hadis tersebut yang
berkaitan dengan maqbul dan mardud-nya.

. cara mentakhrij hadis:


 Pertama kita mencari subuah hadis
 Selanjutnya kita melihat salah satu fi’il dari hadis tersebut, misalnya saama
 Kata saama kita lihat di mu’jam hadis ( mu’jam almunfarras )
 Di situ akan tertera potongan hadis yang dimaksud, dan ada simbul perawi, misalnya kha
(bukhari), mim (muslim),dsb.
Misal: kha-iman-32 (berarti kita mencari hadis tersebut pada kitab shahih bukhari pada bab
iman, hadis yang ke 32)
 Setelah kita melihat pada kitab shahih bukhari pada bab iman dan hadis yang ke 32, disitu
tertera hadis yang di maksud dengan sanadnya yang lengkap.
 Setelah itu kita mencari tau biografi perawi secara lengkap ( nama lenkapnya,lahir, tahun,masa,
guru, murid, keterangan perawi, nilai ) satu-persatu dari perawi pada kitab tahzibul-tahzib atau
tahzibul kamal,dsb
 Untuk mengetahui tabaqatnya, kita bisa merujuk ke kitab tarikh al kabir.

14. ILMU MUKHTALAFIL HADIS


Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib mendefiniskan Ilmu Mukhtaliful Hadits wa
Musyakilihi sebagai:
Ilmu yang membahas hadits-hadits yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan
pertentangan itu, atau mengkompromikannya, di samping membahas hadits yang sulit dipahami
atau dimengerti,lalumenghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.
Berdasrkan hasil penelitian Edi Safri mengenai metode penyelesaian hadits-
haditsmukhtalif menurut Imam al-Syafi’iy, ada tiga cara yang mesti dilakukan yakni :
a) penyelesaian dengan cara kompromi
b) penyelesaian dengan cara nasakh
c) penyelesaian dengan cara tarjîh
Di mana ketiga cara tersebut dilakukan dengan berurutan. Artinya jika cara pertama
tidak menemukan jalan keluar, maka ditempuh cara kedua, jika cara kedua belum juga diperoleh
solusi, maka ditempuh cara ketiga.

Kutub As-Sittah :
a. Imam Bukhari (194-252 H) dengan kitab Al-Jami Ash-Shahih
b. Muslim (204-261 H) dengan kitab Al-Jami Ash-Shahih
c. Abu Daud (202-275 H) dengan kitab As-Sunan
d. Tirmizi (200-279 H) dengan kitab As-Sunan
e. Nasai (215-302 H) dengan kitab As-Sunan
f. Ibnu Majah (207-273 H) dengan kitab As-Sunan

8. Ulama hadits pada abad ke 2 dan 3, digelari dengan “mutaqaddimin”, yang mengumpulkan hadits dengan semata-
mata berpegang kepada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri.

9. Pada abad ke-5 – sekarang, usaha yang ditempuh oleh para ulama ialah menerbitkan isi kitab-kitab hadits,
menyaringnya dan menyusun kitab-kitab tarjih, serta membuat kitab-kitab Jami’ yang umum, kitab-kitab yang
mengumpulkan hadits hukum, mentkhrijkan hadits-hadits yang terdapat dalam beberapa kitab, mentakhrijkan hadits-
hadits yang terkenal dalam masyarakat dan menyusun kitab Athraf.
Pada abad ini pulalah ulama menerbitkan kitab “Ulumul Hadits” karangan Al-Hakim.

10. Ulumul Hadits menurut ulama Mutaqaddimin adalah “Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara
persambunan hadits sampai kepada Rasulullah Saw. dari segi hal ihwal para perawinya, yang menyangkut kedabitan
dan keadilannya dan dari segi bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya.”
Masa pertama (13 S.H – 11 H) = masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan Nabi
dibangkit hingga beliau wafat pada tahun 11 H.
Masa kedua (12 H – 40 H) = masa membatasi riwayat oleh sahabat besar (Khulafa Rasyidin).
Masa ketiga (41 H – akhir abad 1) = masa berkembang riwayat dan perlawatan dari kota ke kota untuk mencari
hadits, yaitu masa sahabat kecil dan tabi’in besar.
Masa keempat (abad 2 H – akhir) = masa pembukuan hadits
Masa kelima (abad 3 H – akhir) = masa menthasihkan hadits dan menyaringnya
Masa keenam (abad 4 H – 656 H) = masa menapis kitab-kitab hadits dan menyusun kitab-kitab Jami’ yang khusus
Masa ketujuh (656 H – sekarang) = masa membuat syarah, membuat kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadits-
hadits hukum dan membuat kitab-kitab Jami’ yang umum serta membahas hadits-haditszawa-id.

ILMU DAN KAIDAH HADITS TENTANG RAWI DAN SANAD


1. Ilmu rijal al-hadits : Thabaqah dan Tarikh Al-Ruwah
Ilmu rijal al-hadits adalah ilmu yang membahas tentang hal ihwal dan sejarah para rawi
dari kalangan sahabat, tabi’in dan atba’ al-tabi’in.
Ilmu tarikh al-ruwah adalah ilmu yang membahas tentang biografi para perawi yang
menjelaskan tentang nama dan gelar, tanggal dan tempat kelahiran, keturunaan, guru, murid,
jumlah hadits, yang diriwayatkan tempat dan waktu, dan lain-lain.
Rawi adalah yang menerima, memelihara dan menyampaikan kepada orang lain dengan
menyebutkan sumber pemberitaannya. Sedanglan thabakoh adalah pengelompokan para rawi
menurut alat pengikat tertentu, antara lain perjumpaan shuhbah atau peristiwa tertentu.
Sahabat adalah thabaqah pertama para rawi, yakni orang yang beriman yang hidup dan
bergaul bersama Rasulullah SAW dalam waktu yang relatif lama, setahun atau dua tahun, dan
wafat dalam keadaan muslim.
Sejalan dengan kriteria sahabat maka tabi’in sebagai thabaqah ke dua adalah yang tidak
bertemu Nabi SAW hanya bertemu dan bergaul dengan sahabat, dan dalam keadaan beriman.
Orang yang hidup di zaman rasulullah SAW dalam keadaan Islam, namun tidak sempat
bertemu dan mendengarkan hdits, disebut muhadramin.
2. Ilmu jarh wa al-Ta’dil
Ilmu jarh wa al-Ta’dil adalah ilmu tentang hal ihwal para rawi dalam hal mencatat
keaibannya dan memuji keadilannya.
Ta’dil artinya menganggap adil seorang rawi, yakni memuji rawi dengan sifat-sifat yang
membawa makbulnya riwayat. Al-jarh atau tarjih artinya mencatatkan, yakni menuturkan
sebab-sebab ke aiban rawi.
Syarat pentakhrij dan penta’dil adalah : (1) berilmu, (2) takwa, (3) wara’, (4) jujur, (5)
menjauhi fanatik golongan, (6) mengetahui sebab-sebab ta’dil dan tarjih (mufasar) jumlah
pentakhrij dan penta’bil dalam periwayatan hadits harus berdiri dari dua orang menurut
goonag madinah, namun menurut pendapat sebagian ulama cukup seorang saja.
B. ILMU DAN KAIDAH TENTANG MATAN
1. Ilmu gharib al-hadits adalah ilmu yang menerangkan makna kaliamat yang terdapat dalam
matan hadits yang suka di ketahui maknanya dan yang kurang kepakai oleh umum. Yang di
bahas oleh ilmu ini adalah lafadz yang muskil dan susunana kalimat yang sukar di pahami,
tujuannya untuk menghindarkan penafsiran menduga-duga upaya para ulama muhaditsin untuk
menafsirkan keghariban matan antara lain :
1) Mencari dan menela’ah hadits yang sanadnya berlainan dengan yang bermatan gharib.
2) Memperhatikan penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan hadits atau sahabat lain yang
tidak meriwayatkan. Memperhatikan penjelasan dari rawi selain sahabat.
2. Ilmu asbab wurud al-hadits dan tawarikh al-mutun ialah ilmu yang menerangkan sebab-sebab
Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi SAW menuturkan ilmu ini mempunyai
kaitan erat dengan ilmu tarikh al-matan dan mempunyai kaidah seperti ilmu asbab nuzul Al-
Qur’an.
Manfa’at mengetahui asbab al-wurud hadits antara lain untuk memahami dan
menafsirkan hadits serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurudnya hadits,
ada yang sudah tercantum pada matan hadits itu sendiri, ada yang tercantum pada matan
hadits lain.
3. Ilmu nasih wa al-mansuh dan talfiq al hadits ialah ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang
sudah di mansufkan dan yang mengasih kannya ilmu ini bermanfaat untuk pengamalan hadits
bila ada dua hadts makbul yang tanaqud yang tidak dapat di kompromikan atau di jama.
Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antaralain berupa cara mengetahui nasakh, yakni
penjelasan dari rasulullah SAW sendiri, keterangan sahabat dan dari tarikh datangnya matan
yang di maksud. Ilmu ini juga di sebut ilmu mukhtalif al-hadits. Cara talfik al-hadits antara lain
mentakhsis hadits yang umum, mentakidkan hadits yang mutlaq.
C. ILMU DAN KAIDAH TENTANG SANAD DAN MATAN
1. Ilmu ‘ilal al-hadits
Ilmu ‘ilal al-Hadits adalah:
“ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata yang dapat mencatatkan
hadits”.
Jelasnya ilmu ini membahas tentang suatu ‘illat yang berupa memustahilkan yang munqathi’,
nerafa’kan yang mauquf, memasukan suatu hadits ke dalam hadits yang lain.
Diantara ulama yang menulis ilmu ini adalah ibn al-madini (234 H), ibn Abi hatim (327 H) yakni
kitab: ilal al-hadits.
2. Ilmu fan al-mibhamat
Ilmu mubhamat adalah:
“ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut namanya didalam matan atau
dalam sanad”.
Di antara ulama yang menyusaun kitab fan al-mubhamat adalah al-khathib al-baghdadi. Kiatab
al-baghdai ini diikhtisar oleh nawawi dalam kitab al-isyarah ila bayani asma al-mubhamat.
Penulis lain adalah al-‘asqalani menyusun kitab hidayah al-sari muqaddimah fath al-barri.
3. Ilmu tashhif wa al-tahrif
Ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (mushhaf) dan bentuknya
muharraf.
Diantara kitab ilmu ini adalah kitab: al-tashhif wa al-tahrif, susunan al-daruquthni (385 H) dan
abu ahmad al-‘askari (283 H

BAB III

RINGKASAN KAIDAH FIQH

KAIDAH FIQH
A. PENDAHULUAN

Kaidah fiqh adalah salah satu metode pengambilan hukum yang di rancang sebagai landasan filosofi dari semua rumusan
hukum yang di lakukan para ulama’di manapun mereka berada, sehinga setiap ulama’ yang menguasai dan mendalami kaidah-
kaidah fiqh akan mendapati kemudahan di dalam menjalani ketentuan-ketentuan yang di tetapkan Alloh di muka bumi ini serta
mampu memberikan solusi dan inovasi-inivasi baru bagi masyarakat dalam menjawab setiap perubahan dan tantangan yang ada.

Lantas sudahkah ulama’-ulama’ kita serta para santri -sebagai penerus para ulama’- secara intens mendalami ilmu ini?
Kalau jawapanya “ya” lantas mengapa keadaan masyarakat kita masih seperti ini. Penulis pikir pertanyaan ini tidaklah penting
untuk dijawab, karena dengan melihat kondisi masyarakat indonesia saat ini kita bisa menyimpulkan sendiri jawabanya, akan
tetapi yang sangat diperlukan saat ini adalah adanya tindakan konkrit bagi para ulama’ serta kita sebagai santri sebagai
penangung jawab dari kontrol moral masyarakat, untuk melakukan sebuah gerakan bermazdhab secara manhaji. Salah satu
langkah awal dari keseriusan kita dalam permasalahan ini adalah dengan mendalami kaidah fiqh

Sebagai tindak lanjut, penulis akan sedikit memaparkan beberapa kaidah yang sangat penting untuk di fahami. Karena
kaidah ini membahas tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan ritual keagamaan dan interaksi sosial kemasyarakatan.
Kaidah-kaidah tersebut adalah:

B. PEMBAHASAN

‫ستححح ب‬
‫ب‬ ‫اسلمخمروُمج فمسن اسلفخحل ف‬
‫ف مم س‬
“Keluar dari perbedaan (menjaga agar perbedaan pendapat tidak terlalu tajam ) adalah sunnah”

Kaidah ini memotivasi umat islam agar selalu menjaga persatuan dan mencari solusi dari setiap perbedaan yang ada,
walaupun sebenarnya perbedaan itu adalah sunnatulloh. Kaidah ini juga menekankan kepada kita agar selalu berhati-hati dalam
menyikapi segala perbedaan yang ada[1]. pengertian khilaf(perbedaan) adalah ketidaksamaan dalam memahami sesuatu, tetapi
masih mengacu pada satu pokok, sebagaimana perbedaan dikalangan pemikir islam.

1. Dasar Kaidah

Kaidah ini menurut imam suyuty berasal dari firman Alloh:

‫حيِاَ أحييِحهاَ الظفذيِحن آححممنوُا اسجتحنفمبوُا حكفثيِررا فمحن الظظنن إفظن بحسع ح‬
‫ض الظظنن إفسثمم‬
“ wahai orang-orang yang beriman jauhilah prasangka-prasangka, karena sebagian dari prasangka adalah (menyebabkan)
dosa”.(al hujarat 11)

Dan hadis nabi yang berbunyi:

‫سلظحم حدسع حماَ يِحفريِبمحك إفحلىَ حماَ حل يِحفريِبمحك‬ ‫صظلىَ ظ‬


‫ام حعلحسيِفه حوُ ح‬ ‫سوُفل ظ‬
‫اف ح‬ ‫ت فمسن حر م‬ ‫سفن سبفن حعلفيي)ٍّ ححففسظ م‬ ‫حقاَحل اسلحح ح‬
‫ق طمحمأسفنيِنحةم حوُإفظن اسلحكفذ ح‬
ٌ(‫ب فريِبحمة‬ ‫صسد ح‬‫فحإ فظن ال ن‬
Dari pemahaman Hadist yang diriwayatkan dari cucu nabi di atas kita bisa menyadari bahwa dalam diri manusia, sebenarnya
memiliki potensi untuk mengetahui atau merasakan hal-hal baik atau buruk. Serta kita diperintahkan untuk mengunakan
argumentasi yang meyakinkan dalam setiap keputusan dan tindakan. Sebagaimana kaidah di atas

2. Contoh Kaidah

Contoh kongkrit dari kaidah ini adalah di sunahkan membasuh seluruh rambut kepala saat wudhu’, agar terbebas dari
perbedaan pendapat dengan maliki dan hanafi yang mewajibkan tidak hanya sebagian dari rambut kepala, tetapi separo atau
keseluruhan.

3. Syarat-Syarat Aplikasinya
Dalam mengunakan kaidah di atas ulama’ memberikan beberapa ketentuan, sejauh manakah perbedaan itu bisa
dikompromikan agar dalam implementasinya tidak menyebabkan kebimbangan dan kerancuan. Adapun syarat-syaratnya adalah:

a) Pendapat yang lain tidak bisa dipertahankan keabsahanya. Contoh: melakukan sholat witir tiga rokaat, apakah
dengan satu kali salam atau dua kali. Dalam permasalahan ini pendapat yang mengatakan satu kali salam tidak
bisa dipertahankan, karena sudah jelas bahwa pendapat abu hanifah tentang satu kali salam bertentangan dengan
Hadist nabi yang berbunyi:[2]

‫سبلححمةح سببفن‬ ‫سيىَ ححظدثححناَ فمسقحدامم سبمن حداموُحد ححظدثححناَ حعسببمد اسلحملف فك سببمن حم س‬ ‫ححظدثححناَ أحمبوُ حعسبفد ظ‬
‫اف اسلحفاَفر ف‬
َ‫ضفل حعببسن أحبفببى‬ ‫اف سبفن اسلفح س‬‫ساَحن حعسن حعسبفد ظ‬ ‫ح سبفن حكسيِ ح‬
‫صاَلف ف‬‫سلحسيِحماَمن سبمن بفلحلل حعسن ح‬ ‫يِحفزيِحد ححظدثححناَ م‬
» ‫ قحبباَحل‬-‫صلىَ ا عليِببه وُسببلم‬- ‫ا‬ ‫سوُفل ظ ف‬ ‫ج حعسن أحفبىَ مهحرسيِحرةح حعسن حر م‬ ‫سلححمةح حوُحعفن الحسعحر ف‬ ‫ح‬
.« ‫ب‬‫صلحفة اسلحمسغفر ف‬ ‫شبنمهوُا بف ح‬ ‫سسبلع حوُلح تم ح‬‫س أحسوُ ح‬‫ث حوُأحسوُتفمروُا بفحخسم ل‬‫لح متوُتفمروُا بفثحلح ل‬
‫شاَفء حرسكحعةر فحقمسل م‬
‫ت حماَ حهفذفه حقاَحل‬ ‫صظلىَ بحسعحد اسلفع ح‬
‫سسعردا ح‬‫ت ح‬ ‫س سبفن أحفبىَ ححاَفزلم حقاَحل حرأحسيِ م‬‫حعسن قحسيِ ف‬
.‫ ميِوُتفمر بفحرسكحعلة‬-‫صلىَ ا عليِه وُسلم‬- ‫اف‬ ‫سوُحل ظ‬ ‫ت حر م‬ ‫حرأحسيِ م‬
b) Perbedaan pendapat tidak berbenturan dengan Hadist yang shohih atau hasan. Contoh: seperti dalam masalah imam
hanafi yang melarang mengangkat tangan saat sholat, karena bisa membatalkan sholat. Pendapat ini bertentangan
dengan hadis mutawatir dan shohih yang berbunyi:

ُ‫شببسيِبحةح حوُحعسمببمرو‬ ‫صوُلر حوُأحمبوُ بحسكببفر سبببمن أحبفببي ح‬ ‫سفعيِمد سبمن حمسن م‬‫ححظدثححناَ يِحسححيِىَ سبمن يِحسححيِىَ التظفميِفميي حوُ ح‬
‫سببسفحيِاَحن سبببفن معيِحسيِنحببةح حوُاللظسفببظم لفيِحسحيِحببىَ قحبباَحل‬
‫ب حوُاسبمن نمحمسيِلر مكليمهببسم حعببسن م‬
‫الظناَقفمد حوُمزحهسيِمر سبمن ححسر ل‬
‫ساَلفلم حعسن أحفبيِفه حقاَحل‬
‫ي حعسن ح‬ ‫سسفحيِاَمن سبمن معيِحسيِنحةح حعسن اليزسهفر ن‬ ‫أحسخبححرحناَ م‬
‫ي حمسنفكبحسيِفه‬ ‫سلظحم إفحذا اسفتحتححح ال ظ‬
‫صحلةح حرفححع يِححدسيِفه ححظتىَ يِمححاَفذ ح‬ ‫صظلىَ ظ‬
‫ام حعلحسيِفه حوُ ح‬ ‫اف ح‬ ‫سوُحل ظ‬ ‫ت حر م‬ ‫حرأحسيِ م‬
‫سسجحدتحسيِ ف‬
[3]‫ن‬ ‫حوُقحسبحل أحسن يِحسرحكحع حوُإفحذا حرفححع فمسن اليرمكوُ ف‬
‫ع حوُحل يِحسرفحمعمهحماَ بحسيِحن ال ظ‬
“aku melihat Nabi,S.A.W ketika memulai sholat mengangkat kedua tangan sama dengan pundaknya, serta
sebelum ruku’ dan saat berdiri dari ruku’ (juga) dan beliau tidak mengangkatnya ketika di antara dua sujud.
[4]

c) Dalil yang di gunakan untuk bisa dikomparasikan harus memiliki dalil yang sama-sama kuat. Sebagaimana contoh
kasus wudhu’ di atas[5]

‫ل حجة مع الحتماَل‬
“tidak diterima argumentasi yang bias (belum jelas)”

Setiap argumentasi yang belum jelas tidak bisa di pakai sebagai dalil. Dan setiap dalil atau argumentasi haruslah terbebas
dari kemungkinan-kemungkinan, yaitu kemungkinan yang timbul dari dalil itu sendiri.

1. Dasar Kaidah
Dasar dari kaidah ini adalah sama dengan dalil kaidah di atas (surat al Hujarot: 11), karena masih dalam satu rumpun
pembahasan. Serta kaidah pokok yang berbunyi:

‫اسليِحفقيِمن حل يِمحزامل فباَل ظ‬


‫شنك‬
2. Contoh Kaidah

Apabila ada orang tua yang menderita sakit parah menyerahkah semua hartanya kepada salah satu ahli waris, maka
traksaksinya tidak sah kecuali dengan persetujuan ahli waris yang lain. Hal ini karena dimungkinkan adanya kesengajaan bagi
orang tua tersebut untuk memberikan warisanya hanya kepada satu orang saja (hirmanu al warist ila ghoirihi) hal ini tidak di
benarkan dalam islam..

Apabila ada salah satu ahli waris yang mengaku memiliki harta yang di hutang orang tuanya yang meningal dan ia tidak
mempunyai bukti, maka hal ini tidak dibenarkan, karena ada kemungkinan ia hanya ingin mendapat bagian lebih banyak. [6]

‫اليِثاَرباَ القرب مكروُه‬


“Mempersilahkan orang lain dan mengabaikan diri sendiri dalam hal that itu makruh”.

Pendapat ulama’ tentang itsar:

1) Pendapat pertama persis seperti bunyi kaidah diatas, yakni makruh mengalah dalam masalah ibadah. Sebaliknya kalau
mengalah tidak dalam soal that, sunnah.

2) Ada yang berpendapat: itsar dalam hal tha’at itu bukan hanya makruh, melainkan haram.

3) Imam Jalal Suyuti memberikan perincian sebagai berikut:

a) Jika itsar itu berakibat meninggalkan perkara wajib maka itsar haram.

b) Bila isar itu berakibat meninggalkan sunnah atau melakukan makruh maka itsar makruh.

Dari ketiga pendapat ini qoul yang terakhir (pendapat Imam Syuyuti) yang mu’tamad.

1. Contoh Kaidah

Contoh: seseorang akan berjamaah shalat dan telah berada di shof awal (shof depan). Tiba-tiba datang orang lain yang
juga akan mengikuti jama’ah. Makruh hukumnya kalau orang yang lebih dulu datang mempersilahkan orang yang datang
belakangan untuk menempati tempatnya di shof awal, sedangkan ia sendiri mengalah mundur ke shof belakangnya.

PENGERTIAN QAW’ID FIQHIYAH


Untuk mengetahui qawaid fiqhiyah, penulis akan menghadirkan pengertiannya dalam arti
etimologi maupun terminologi. Kaidah secara etimologi diambil dari bahasa arab ‫ القاعدة‬yang
artinya adalah pondasi atau dasar. Sedangkan ‫ القواعد‬adalah bentuk jama’ dari ‫القاعدة‬.
Maka kaedah secara etimologi mempunyai arti dasar-dasar. (Munawwir, 1138: 1997)
Al-jurjani mengungkapkan makna terminologinya adalah sebuah hukum atau perkara
universal yang bisa untuk memahami beberapa hukum dan masalah yang masuk dalam cakupan
pembahasannya. Syaikh Muhammad bin sholih al utsaimin berkata dalam syarah ushul min ilmil
ushul bahwasannya fiqih secara bahasa terambil dari kata ‫ الفقه‬yang artinya adalah
faham.sedangkan secara istilah adalah mengetahui hukum-hukum syar’i yangberhubungan
dengan amal perbuatan hamba berdasarkan pada dalil-dalilnya secara terperinci.
Dr Muhammad shidqi al burnu menyimpulkan bahwa kaedah fiqih adalah hukum atau
pondasi yang bersifat umum yang bisa untuk memahami permasalahan fiqih yang tercangkup
dalam pembahasannya. ( Sabiq, 2009)
Kaidah fiqih juga disimpulkan oleh penulis pengertiannya yaitu kaidah-kaidah yang bersifat
umum, yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa kelompok. dan kaedah-
kaedah fiqih juga merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam mengistinbathkan
(menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa
dengan suatu kaidah.

3. ISTILAH-ISTILAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN QAWA’ID FIQHIYAH


Ada beberapa istilah yang berkenaan dengan qawaid fiqhiyah yang terkadang membuat beberapa
orang mengalami kebingungan dan kekeliruan.
Diantaranya adalah Al-asybah wan nadzair, dzawabitul fiqh dan qawaid ushuliyah
A. Antara qawaidul fiqh dan asybah wan nadzair
Bukanlah suatu kebetulan bila kitab-kitab kaidah fiqh dinamakan asybah wan nadzoir,
sebagaimana kitab asybah wan nadzoir karya Ibnu Al-Wakil, Tajud din Subki, Syuyuthi dan
juga Ibnu Nujaim, namun diantara keduanya mempunyai hubungan,
Adapun kitab-kitab asybah wan nadzoir lebih umum dari pada kitab-kitabqawaid fiqhiyah. Dan
kitab-kitab qawaid fiqhiyah lebih husus dari yang lainnya.
Nadwa berkata: ketika kami meneliti karangan yang berjudul “Asybah wan Nadzoir fil
Fiqhi” dari kitab milik Ibnu Al-Wakil As-Syafii (716 H) sampai kitab karya ibnu Nujaim Al-
Hanafi (970 H), kami menemui beberapa dari karangan tersebut mencakup tentang masalah fiqh
dan ushul fiqh dan terkadang juga mengenai sebagian ilmu theologi.
( ‫ هـ‬1422 .‫ى إإحسان‬،‫) موس‬
B. Antara qawaid fiqhiyah dan kaedah ushuliyah
Persamaan kaidah fiqih dengan kaidah ushul fiqih karena keduanya adalah perkara yang
berhubungan denganhukum-hukum syariat. Adapun kaidah fiqih berguna untuk mengetahui
hukum-hukum yang praktis. Kaidah-kaidah ushul adalah timbangan dan patokan untuk
melakukan istinbath al-ahkam secara benar.
Kaidah-kaidah ushuliyah yaitu ketentuan global yang memungkinkan
Seperti jika kalian berkata: “perintah menandakan kewajiban” ini disebut qaidah, dan apabila
kalian menemukan perintah di dalam al-quran ataupun hadits : seperti kerjakanlah sholat ( ‫أقيموا‬
‫ )الصلة‬bayarlah zakat (‫)آتوا الزكاة‬, maka ini disebut perintah, adapun kaidah adalah ‫المآر‬
‫( للوجوب‬perintah menandakan suatu kewajiban) dan inilah yang disebut kaidah ushuliyah, dan
kaidah usuliah ini selalu berhubungan dengan pemahaman dalil Adapun mengenai kaidah fiqih
dipelajari setelah belajar fikih secara sempurna, karena kaidah fikih seperti ringkasan yang
dengan ringkasan tersebut bisa mencakup seluruh masalah manusia dalam fikih. Dan setelah
membaca fiqih dengan lengkap mengenai ibadah dan muamalah, kaidah syari’ah, bahwa amal itu
tergantung niatnya sama seperti Al umur bimaqosidiha (segala sesuatu tergantung pada
maqsudnya) perhatikan: Al umur bimaqosidiha ini tidak hanya pada wudhu, sholat, zakat, haji,
dan puasa saja namun juga mencakup semua ibadah. Seperti ketika berkata: wadhu adalah
iabadah, ibadah tersebut diharuskan niyat. Maka amal perbuatan harus disertai niat. Maka hal
tersebut merupakan pembahasan masalah fiqih berbeda dengan ushul fiqih. (Hartati. 2012)
Jika kaidah-kaidah ushuliyah dicetuskan oleh ulama ushul, maka kaidah-kaidah fiqhiyah
dicetuskan oleh ulama fiqh, namun penggunaan masing-masing kaidah tersebut selalu berkaitan,
tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari
sumber aslinya sedang kaidah fiqh merupakan petunjuk pelaksana dari kaidah ushuliyah tersebut,
sehingga kadang-kadang terjadi tumpang tindih mana yang disebut sebagai kaidah fiqhiyah, yang
jelas keduanya merupakan patokan dalam mengistinbathkan oleh mengijtihadkan suatu hukum.
Maka penulis menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu. Sedangkan
kaidah fikih muncul setelah furu’.
C. Antara qawaid fiqhiyah dan dhawabith fiqhiyah
Kemiripan antara kaedah fiqhiyah dengan dhabit perlu dibedakan. Dzabit lebih husus,
adapun Kaidah fiqhiyah mencakup berbagai bab fiqh, berbeda dengan dzabit yang hanya

mencakup satu bab saja. Seperti contoh (‫بالشك‬ ‫ )اليقي ل يزول‬atau(‫؛)الشك ييددررأَ باليقي‬ dalam

kaidah tersebut berfungsi pada masalah fiqh mengenai hal yang berkaitan dengan yakin atau
ragu, maka kaidah tersebut dapat diterapkan dalam beberapa bab fiqih seperti bersuci, sholat,
puasa, zakat dan lain-lain.
Contoh dzabith adalah (‫)كل ما يييدعتررب ف سجود الصلة؛ يييدعتررب ف سجود التلوة‬maka, hal tersebut
hanya husus dalam bahasan sholat, bukan pada bab fiqhih yang lainnya. (‫م‬ 2000 ‫ هـ ـ‬1420 . ‫) صال‬.
4. FAEDAH QAWA’IDAH FIQHIYAH
Banyak sekali faedah-fedah yang dapat diambil dari kai77dah fiqih ini,dua diantaranya yaitu:
A. Sebuah kaedah fiqih yang bisa digunakan untuk mengetahui banyak permasalahan fiqih
yang tercangkup dalam pembahasannya.dan ini akan sangat memudahkan seorang penuntut
ilmu untuk mengetahui hokum-hukum fiqih tanpa harus menghafal sebuah permasalahan satu
persatu. Berkata imam Al qorrofi : “barang siapa yang menguasai fiqih lewat penguasaan
kaedah-kaedahnya,maka dia tidak butuh untuk menghafal semua permasalahannya satu persatu
karena sudah tercangkup dalam keumuman kaedah tersebut.
B. Dr Muhammad shidqi berpendapat bahwa penguasaan kaidah fiqih akan sangat membantu
seseorang dalam memberikan sebuah hukum yang kontemporer dan belum pernah terjadi
sebelumnya dengan cara yang mudah. ( Sabiq, 2009) Penulis menyimpulkan dari dua manfaat
tadi bisa difahami bahwa kaedah fiqih sangat diperlukan sangat penting untuk kaum
muslim,untuk itu kaum muslim perlu mengkaji lebih dalam tentang kaedah fiqih,agar dapat
lebih bijak dalam memutuskan suatu hokum fiqih jika terdapat masalah didalamnya.
5. SUMBER QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah-kaidah fiqih bila ditinjau dari sumbernya, maka terbagi menjadi tiga yaitu kaedah fiqih
yang diambil dari nash Al qur’an dan As Sunah, Kaedah fiqih yang teksnya tidak terambil
langsung dari nash al-Quran dan As Sunah dan kaedah fiqih yang diambil dari ijtihat para
ulama’.pembahasan ini akan dibahas secara rinci sebagai berikut:
A. Kaidah fiqih yang teksnya terambil langsung dari nash Al qur’an dan As Sunah. Misalnya
firman Allah ta’ala: 188> ‫>ول تأكلوا أَموا لكم بينكم بالباطل‬
"Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang bathil.”(QS.Al
Baqoroh: 188)
Ayat ini menunjukkan sebuah kaidah tentang haramnya semua jenis transaksi dan perbuatan
yang akan berakibat memakan harta orang lain dengan cara yang tidak syar’i.
Adapun missal kaedah fiqih yang terambil dari sabda rosuluallah SAW adalah:
‫ل ضرر ول ضرار‬
"Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”
Hadits ini merupakan kaedah umum tentang berbagai hal,mulai dari masalah makanan
pergaulan,muamalah dan lainnya.bahwasannya semua itu kalau mengakibatan bahaya bagi diri
sendiri maupun orang lain maka diharamkan.
B. Kaedah fiqih yang teksnya tidak terambil langsung dari nash al-Quran dan As Sunah,namun
kandungannya berdasarkan al-qur’an dan as Sunah.
Misalnya adalah sebuah kaedah yang sangat masyhur:
‫ك‬
‫اليقي ل يزول بالش ك‬
"Sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keragu-raguan.”
Kaadah ini berdasarkan kepada hadits, diantaranya adalah hadits abu sa’id Al hudri:
‫ك و ليب على ما استيقن‬
‫ك أَحدكم ف صلته فلم يدر كم صكلى أَثالثاا أَم أَربعا فليطرح الش ك‬
‫إذا ش ك‬
"Dari Abu Said al Khudri berkata: “ Rosululloh bersabda: “Apabila salah seorang di antara
kalian ragu-ragu dalam sholatnya dan dia tidak mengetahui sudah berapa rokaat dia sholat,
apakah tiga ataukah empat rokaat dia sholat,maka hendaklah dia membuang keraguan tersebut
dan berpeganglah pada sesuatu yang meyakinkan.”(HR.Muslim)
C. Kaidah fiqih yang tersusun berdasarkan ijtihat para ulama’.dan ini biasanya didasarkan atas
sebuah qiyas atau ta’lil (melihat sebab dari sebuah hukum ) atau dengan melihat kepada sifat
hukum syar’i secara umum serta melihat kepada maqoshid syar’iyyah (maksud dan tujuan dari
sebuah hu kum syar’i ) atau yang lainnya. ( Sabiq, 2009)

6. HUKUM BERHUJJAH DENGAN QAWAID FIQHIYAH


Apakah kaidah-kaidah fiqih ini boleh dijadikan sebagai sebuah hujjah? Jawabannya: masalah ini
perlu diperinci sesuai dengan perincian sumber kaidah fiqih.
Pertama:jika kaidah itu teksnya langsung terambil dari nash al-qur’an dan as sunah as
shohihah,maka tidak diragukan lagi bahwa kaedah itu adalah hujjah,karena berhujjah dengan
kaidah tersebut sama saja dengan berhujjah dengan nash yang menjadi sandaran utamanya.
Kedua: jika kedua itu teksnya tidak langsung terambil dari nash, namun hanya disusun oleh para
ulama’, hanya saja kandungan maknanya berdasarkan pada apa yang terdapat dalam al-quran dan
as sunnah,maka kaidah semacam inipun hujjah, karena dengan berhujjah dengan kaidah tersebut,
sama saja dengan berhujjah dengan berbagai dalil yang mendasarinya.
Ketiga: adapun kaidah fiqih yang tersusun berdasarkan ijtihat para ulama’ atau berdasarkan dalil
qiyas, maqoshid syar’iyyah maupun lainnya,maka hukumnya adalah hukum berdalil dengan asal
dari kaedah tersebut.( Sabiq, 2009)

7. SEJARAH SINGKAT ILMU QAWA’ID FIQHIYAH


Sejarah semua ilmu-ilmu syar’i dimulai sejak zaman rosulullah SAW karena memang zaman
itulah zaman turunnya wahyu dan tasyri’. Kaidah fiqih dimulai dengan adanya beberapa ayat dan
hadits rosuluallah SAW yang bisa dianggap sebagai sebuah kaedah yang mencangkup banyak
permasalahan fiqih. Sebagai sebuah contoh adalah beberapa ayat al-quran , diantaranya:
(275) ‫وأَحكل ال البيع وحكرم الكربوا‬
“Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba”
Adapun hadist Rosulullah SAW diantaranya:
‫البيينة على المدعي واليمين على مآن انكر‬
“orang yang menuntut harus mempunyai bukti,sedangkan yang mengingkari cukup bersumpah”
Lalu kalau kita beranjak kepada zaman sahabat,maka akan kita temukan atsar beberapa
sahabat,yang bisa dianggap sebagai sebuah kaedah fiqih.
Contohnya adalah apa yang dikatakan oleh umar bin khothob:
‫مقاطع القوق عند الشروط‬
“Hak-hak itu tergantung pada syaratnya.” (HR.bukhori)
Selanjutnya hal-hal semacam ini juga ditemukan dari perkataan para tabi’in dan para ulama’
setelahnya.
Misalnya apa yang pernah dikatakan oleh Imam Abu Yusuf Al-Qodli:
‫التعزير إل المام على قدر عظم الرم و صغره‬
"Hukuman ta’zir itu diserahkan kepada hakim,tergantung dari besar dan kecilnya tindakan
kriminal.”
‫ككل من مات من السملمي ل وارث له فماله لبيت الال‬
“Siapa saja dari kalangan ummat islam yang meninggal dunia sedangkan ia tidak meninggalkan
ahli waris,maka hartanya untuk baitul mal.”
Bagaimana pula kalau kita cermati perkataan imam syafi’i dalam beberapa kitabnya maka akan
kita dapati bahwa beliau mengungkapkan sebuah kaedah fiqih,misalnya:
‫الرخص ليتعدي با مواضعها‬
“ Sebuah keringanan syar’i itu tidak bisa melampaui tempat berlakunya.” (Al umm 1/80)
Imam ahmad berkata :
‫كل ما جاز فيهالبيع توز فيه البة والصدقة و الرهن‬
“Semua yang boleh diperjual belikan maka boleh untuk dijadikan bahan hibah, shodaqoh dan
gadai.”(Masail Imam Ahmad oleh Imam abu dawud hal :203)
Dan masih banyak lagi dari pada ulama’ islam.
Namun kaedah fiqih baru dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu yang tersendiri sekitar abad
keempat hijriyah kemudian berlanjut pada abad-abad setelahnya.
Adapun yang pertama kali dianggap mengumpulkan kaedah-kaedah fiqhiyah adalah imam abu
thohir ad dabbas beliau adalah salah seorang ulama’ madzhab hanafi pada abad keempat hijriyah,
sebagaimana yang disyaratkan oleh imam suyuti,al Ala’I dan ibnu nujaim dalam beberapa kitab
qowaid fiqhiyah mereka.
Kemudian diteruskan oleh imam karkhi (beliau wafat tahun 340H) yang mana beliau memiliki
sebuah risalah yang mengandung tiga puluh Sembilan kaedah fiqhiyah.kemudian setelah itu para
ulama’ berlomba untuk menulis dalam bidang ini sehingga banyak didapatkan kitab yang
berhubungan dan membahas kaedah fiqih. (Lihat Al wajiz fi adhohi qowaid Al fiqh al kulliyah
oleh Dr Muhammad Shidqi al burnu hal: 44, Jamharoh al qowaid al fiqhiyah oleh Dr Ali Ahmad
An- Nadawi 1/29 dan selanjutnya ). ( Sabiq, 2009)

8. MACAM-MACAM QAWA’ID FIQHIYAH


Macam-macam kaedah fiqih bisa ditinjau dari tiga sisi:
Pertama: ditinjau dari sumbernya.
Kedua : ditinjau dari keluasaan pembahsannya.
Ketiga: ditinjau dari apakah kaidah tersebut disepakati atau diperselisihkan oleh para ulama’.
Adapun yang pertama,maka telah dibahas pada sumber kaidah fiqih.
Adapun yang kedua:
Maka kaidah fiqih kalau ditinjau dari luas dan sempitnya pembahasan dan permasalahan, terbagi
menjadi tiga macam:
A. Kaidah-kaidah besar yang mencangkup hampir seluruh bab fiqih islam.
Kaedah ini biasanya disebut dengan ‫الكبي‬ ‫القواعد الكلية‬
Jumlah dari kaedah ini yang masyhur dikalangan ulama’ ada lima kaedah,namun
sebagian ahlul ilmi menambahkan satu lagi sehingga jumlahnya ada enam. Kaidah –kaidah ini
adalah:
a) ‫إنا العمال بالنيات‬
"Amal perbuatan itu tergantung niatnya”
b) ‫ك‬
‫اليقي ل يزول بالش ك‬
“Sesuatu yang yakin tidak bisa hilang dengan keraguan”
c) ‫الشقة تلب التيسمي‬
“Kesulitan membawa kemudahan”
d) ‫ل ضرر ول ضرار‬
“Tidak boleh membuat sesuatu yang membahayakan”
e) ‫العادة مكمة‬
“Sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum”
f) ‫إعمال الكلم أَول من إهاله‬
“memfungsikan ucapan lebih baik dari pada menghilangkannya”
B. Kaidah yang tidak masuk dalam kaedah besar di atas, dan kaidah ini terbagi menjadi dua,
yaitu:
Pertama : kaidah-kaidah yang menjadi cabang dari kaidah besar diatas.
Contohnya:
‫الضرورات تبيح الذحمورات‬
“Kondisi darurat bisa memperbolehkan sesuatu yang terlarang”
Kedua: kaidah-kaidah yang bukan merupakan cabang dari beberapa kaidah besar di atas, namun
juga mencangkup banyak permasalahan fiqih meskipun tidak seluas yang keenam kaidah di atas.
Contohnya:
‫التابع تابع‬
“ Sesuatu yang hanya mengikuti (lainnya) maka hukumnya pun pengikut lainnya”.
C. Kaidah yang hanya memiliki kawasan permasalahan yang sempit.yang biasanya hanya
berlaku untuk satu atau beberapa bab saja.
Misalnya:
‫الصل ف الاء الطهارة‬
“Asal hukum air itu suci.”
Kaidah ini hanya pada permasalahan air saja dan tidak berlaku pada yang lainnya.

Adapun yang ketiga:


yaitu pembagian kaedah fiqih ditinjau dari kesepakatan atau perselisihan para ulama’, maka
terbagi menjadi dua:
A. Kaedah yang disepakati oleh para ulama
Di antaranya adalah kaidah-kaidah besar serta banyak kaidah lainnya.
B. Kaedah fiqih madzab tertentu saja.
Dan ini adalah beberapa kaidah yang ditetapkan oleh para ulama’ untuk berbagai masalah yang
terdapat dalam madzhab mereka, namun diselisihi oleh madzhab ulama’ lainnya. ( Sabiq, 2009)
9. CARA ULAMA’ DALAM MENYUSUN QAW’ID FIQHIYAH
Para ulama’ melakukan banyak cara dalam penyusunan urutan kaidah-kaidah salah satunya
dimulai dengan kaidah-kaidah besar kemudian diikuti dengan beberapa kaidah kecil yang
tergabung padanya, kemudian selain itu ada pula yang dimulai dengan kaedah yang terambil dari
nash alquran dan as sunah, bahkan ada juga yang menulisnya tanpa ada urutan yang jelas.
10. PENUTUP
Terdapat banyak pengertian dari qawaid fiqhiyah dan dapat disimpulkan bahwa
pengertiannya yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih
terperinci menjadi beberapa kelompok. dan kaedah-kaedah fiqih juga merupakan kaidah atau pedoman yang
memudahkan dalam mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara
menggolongkan masalah-masalah yang serupa dengan suatu kaidah. Perbedaan antara Al-asybah wan
nadzair, dzawabitul fiqh dan qawaid ushuliyah adalah jika asybah wan nadzair lebih umum
dari qawaid fiqhiyah, kemudian terdapat beberapa perbedaan antara perbedaan qawaid
fiqhiyah dengan dhawabit fiqhiyah ialah cakupan dhabith fiqhiyah lebih sempit dari cakupan qawaidh
fiqhiyah dan pembahasan qawaid fiqhiyah tidak dikhususkan pada satu bab tertentu, lain halnya
dengan dhabith fiqhiyah. Perbedaan qawaid fiqhiyahdengan ushul fiqh ialah , qawaid ushuliyyah adalah
himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum.
Sedangkanqawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang
berada di bawah cakupannya semata. Untuk macam-macam kaidah fiqih bisa ditinjau dari tiga sisi:
ditinjau dari sumbernya, dari keluasaan pembahsannya dan ditinjau dari apakah kaedah tersebut
disepakati atau diperselisihkan oleh para ulama’. Kaidah-kaidah besar yang mencangkup hampir
seluruh bab fiqih islam yaitu
‫ العادة‬،‫ ل ضرر ول ضرار‬،‫ الشقة تلب التيسمي‬،‫ اليقي ل يزول بالشك‬،‫إنا العمال بالنيات‬
‫إعمال الكلم أَول من إهاله‬،‫مكمة‬

Pengertian Qawaid Fiqiyah


Dalam pengertian ini ada dua terminologi yang perlu kami jelaskan terlebih dahulu,
yaitu qawaid dan fiqhiyah. Kata qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah
bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan
terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah
adalah :
‫القضاياا الكلية التى ياندرج تحت كل واحدة مآنها حكم جزئيات كثيرة‬
"Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i yang
banyak”[1]
Sedangkan secara terminologi fiqh berarti, menurut al-Jurjani al-Hanafi :
‫العلم بالحكام الشرياعة العملية مآن ادلتها التفصلية وهو علم مآستنبط بالرأي والجتهاد وياحتاج فيككه الككى النظككر‬
‫والتأمآل‬
”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya
yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan”[2]
Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud
dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki :
‫المآر الكلى الذى يانطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامآها مآنها‬
"Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari padanya
diketahui hukum-hukum juziyat itu”[3]
Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang bersifat umum
dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-hukum syara’ yang umum
terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.[4]
Maka Al Qawaid al Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) secara etimologi adalah dasar-dasar
atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fiqih. Sedangkan Al
Qawaid al Fiqhiyyah secara terminologi adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general
dari materi fiqih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru
yang timbul, yang tidak jelas hukumnya didalam nash.

B. Contoh Qawaid Fiqiyah


Kaidah-kaidah fiqhiyah mempunyai implementasi dan contoh penerapan yang cukup
banyak, baik berkaitan dengan permasalahan ibadah ataupun mu’amalah (intraksi antara sesama
manusia). Diantara contohnya. Apabila seseorang mewakafkan tanah dengan mengatakan,
“Tanah ini saya wakafkan untuk orang-orang fakir”. Maka konsekuensi dari perkataan ini adalah
yang berhak memanfaatkan tanah wakaf tersebut hanyalah orang-orang yang tergolong fakir,
tidak selainnya. Karena dalam perkataan tersebut ada pengikatnya secara khusus, sehingga harus
diterapkan sesuai dengan ikatannya tersebut. Ini adalah contoh pengikat dan menyebutkan sifat.
Apabila seseorang mengatakan, “Saya wakafkan tanah saya ini untuk Ahmad dan Zaid, dengan
perincian, Ahmad dua pertiga dan Zaid sepertiga”. Konsekuensi dari perkataan ini adalah harus
diterapkan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan tersebut. Apabila seseorang mengatakan,
“Saya wakafkan tanah saya ini untuk anak-anak Ahmad kecuali anak yang fasik”. Konsekuensi
dari perkataan ini adalah harus diterapkan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan tersebut.
Contoh tersebut merupakan penerapan dari salah satu Qawa’id Fiqhiyah yang
berbunyi: “Memahami Keumuman Dan Kekhususan Sebuah Kalimat”

C. Pengertian Qawaid Ushul Fiqh


Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari Ashldan kata
fiqh. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun
bukan”.
Adapun menurut istilah, Ashl mempunyai beberapa arti :
a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqhbahwa ashl dari wajibnya
shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul.
b. Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW : ”Islam itu
didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)’
c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih : ”Yang terkuat dari
(isi/kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”. Maksudnya, yang menjadi patokan dari
setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
d. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil
yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya
seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup
sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan
waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah cabang dari ayah” (Abu Hamid
Al-Ghazali).
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah dalil, yakni dalil-dalil
fiqih.
Maka qaidah ushuliyyah adalah dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal dan global
(kulli dan mujmal). Qaidah ushuliyyah merupakan sejumlah peraturan untuk menggali
hukum. Qaidah ushuliyyah umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau
kebahasaan.
Qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat
dalam bahasa sumber hukum. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk
mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.

D. Contoh Qaidah Ushuliyyah


Untuk mengenal qaidah ushuliyyah lebih jauh, di bawah ini disebutkan beberapa qaidah
ushuliyyah :
a. “Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan dalil
yang melarang”
b. “Petunjuk perintah (amr) menunjukkan wajib”
c. “Makna implisit (kabur, gelap) tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit
(terang, tegas)”
d. “Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir”
e. “Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya”
f. ”Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya”

E. Kaidah Pokok Qawaid Fiqiyah


1ٍّ) َ‫ها‬ ‫( المممسوُمر بفحمحقاَ ف‬Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)
‫صفد ح‬
Pengertian kaidah ini bahwa hukum yang berimplikasikan terhadap suatu perkara yang
timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf) tergantung pada maksud dan
tujuan dari perkara tersebut[5]
Tujuan utama disyariatkan niat adalah untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan ibadah
dengan perbuatan adat dan untuk menentukan tingkat ibadah satu sama lain.
Contoh: Kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang namanya niat, kalau kita tidak
bertemu dengan yang namanya niat berarti kita tidak pernah sholat. Begitu juga dengan yang
lainnya, seperti puasa, zakat, haji dll. Kita pasti bertemu dengan yang namnya niat.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:
‫ب ٱلككمدفنميا نمككفؤتللهۦِ لمآفنهمككا موممآككن يامككلرفد‬ ‫ت إللل بلإ لفذلن ٱللل لك تتم ببا ممآمؤلج ب ل‬
‫ل موممآن ياملرفد ثمموا م‬ ‫موممآا مكامن للنمفف س‬
‫س مأن تمممو م‬
١٤٥ ‫للخمرلة نمفؤتللهۦِ لمآفنهماا مومسنمفجلزي ٱلتلشلكلريامن‬ ‫ب ٱف ل‬
‫ثمموا م‬
”Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu,
dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala
akhirat.”(QS. Ali-Imran: 145)

2ٍّ) ‫(ٌ المشقة تجلب التيسير‬Kesukaran mendatangkan kemudahanٍّ)


Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya
menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya,
sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran[6].
Contoh: Apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalanan tersebut sudah sampai
pada batas diperbolehkannya mengqasar sholat, maka kita boleh mengqasar sholat tersebut,
karena apa bila kita tidak mengqsar shoalat kemungkinan besar kita tidak akan punya waktu
yang cukup untuk shalat pada waktunya. Karena seseorang yang melakukan perjalanan pastilah
akan dikejar waktu untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan yang
sulit di lakukan apabila harus melakukan sholat pada waktu sholat tersebut.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”(Q.S Al
Baqarah : 185)

‫ق ٱ ف للنتمسمن م‬
٢٨ ‫ضلعيبفا‬ ‫ف معنمك افم مومخلل م‬
‫ياملريامد ٱللم مأن ياممخفف م‬
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat
lemah.”(QS. An-Nisa: 28)
F. Kaidah-Kaidah Cabang
1) Jual Beli Gharar
a) Pengertian Gharar
Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan) [7]. Sehingga
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya
(majhul al-‘aqibah)[8]. Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-
mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori
perjudian[9]
Sehingga , dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar
adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan ; pertaruhan, atau perjudian [10]
b) Hukum Gharar
Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi :
‫صالة مومعلن بمليلع اللمغمرلر نممهى مرمسومل ل‬
‫ال‬ ‫ام معلمليله مومسللمم معلن بمليلع اللمح م‬
‫صللى ل‬
‫م‬
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli
gharar”[11]
Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara
batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana
tersebut dalam firmanNya :
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (Al-Baqarah / 2 : 188)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual beli gharar ini adalah
larangan Allah dalam Al-Qur’an, yaitu (larangan) memakan harta orang dengan batil. Begitu
pula dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau melarang jual beli gharar ini [12].
Pelarangan ini juga dikuatkan dengan pengharaman judi, sebagaimana ada dalam firman
Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” [Al-
Maidah / 5 : 90]

c) Jenis Gharar
Dilihat dari peristiwanya, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga sisi.
Pertama : Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual beli habal al habalah
(janin dari hewan ternak).
Kedua : Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak, seperti
pernyataan seseorang : “Saya menjual barang dengan harga seribu rupiah”, tetapi
barangnya tidak diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang : “Aku jual mobilku ini
kepadamu dengan harga sepuluh juta”, namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa
juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang : “Aku jual tanah kepadamu
seharga lima puluh juta”, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.
Ketiga : Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak
yang kabur, atau jual beli mobil yang dicuri [13]. Ketidak jelasan ini juga terjadi pada harga,
barang dan pada akad jual belinya.
Ketidak jelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti segenggam Dinar.
Sedangkan ketidak jelasan pada barang, yaitu sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun
ketidak-jelasan pada akad, seperti menjual dengan harga 10 Dinar bila kontan dan 20 Dinar
bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya [14].
d) Gharar yang diperbolehkan
a. Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada wujudnya
(ma’dum).
b. Desepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan
ukuran serta hakikat sebenarnya tidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan
karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.
c. Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau
kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel,
kacang tanah, bawang dan lain-lainnya.

2) Riba
a) Pengertian Riba
Riba menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu :
a. Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang
dihutangkan.
b. Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang
atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
c. Berlebihan atau menggelembung[15]
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Al Mali ialah: “Akad
yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui pertimbangannya menurut
ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak salah
satu keduanya.
Sedangkan menurut terminologi syara’, riba berarti: “Akad untuk satu ganti khusus
tanpa diketahui perbandingannya dalam penilaian syariat ketika berakad atau bersama
dengan mengakhirkan kedua ganti atau salah satunya”[16].
Dengan demikian, riba menurut istilah ahli fiqih adalah penambahan pada salah satu
dari dua ganti yang sejenis tanpa ada ganti dari tambahan ini. Tidak semua tambahan
dianggap riba, karena tambahan terkadang dihasilkan dalam sebuah perdagangan dan tidak
ada riba didalamnya hanya saja tambahan yang diistilahkan dengan nama “riba” dan Al-
Quran datang menerangkan pengharamannya adalah tambahan tempo [17]
b) Dasar-dasar Hukum Riba
Al-Quran menyinggung keharaman rba secara kronologis diberbagai tempat. Pada
periode Mekkah turun firman Allah swt. Dalm surat Ar-Ruum ayat 39 :
‫س فممل يامفرمبولا لعنككمد ٱ ل ل‬
‫لكك موممآككاَ مءاتمفيتمككم فمآككن مزمكككتوةة تملرياككمدومن‬ ‫مآن فر ببا لفيمفربممولا فللي أمفمآتمولل ٱللنا ل‬ ‫موممآاَ مءاتمفيمتم ف‬
‫ك هممم ٱفلمم ف‬ ‫ل‬ ‫ت‬
٣٩ ‫ضلعمفومن‬ ‫موفجهم ٱللل فمأ ملولمئل م‬
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)” (Q.S Ar-Rum : 39)
Pada periode Madinah turun ayat yang seccara jelas dan tegas tentang keharaman
riba, terdapat dalam surat Ali-Imran ayat 130 :
‫ت ل‬ ‫تيالمأ مميامها ٱلللذيامن مءاممآمنولا مل تمفأمكملولا ٱلفربم ت لولا أم ف‬
١٣٠ ‫ضمعفمبة موٱتلمقولا ٱللم لممعللمك فم تمففللمحومن‬
‫ضتمعبفا ممآ م‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda] dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (Q.S Ali Imran:
130)
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara jelas riba adalah
perbuatan haram, termasuk salah satu dari lima dosa besar yang membinasakan.
Dalam hadist lain keharaman riba bukan hanya kepada pelakunya, tetapi semua pihak
yang membantu terlaksananya perbuatan riba sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh
Muslim :
‫ هملم مسمواءء‬:‫ مومقامل‬,‫صللى ام معلمليله مومسللمم آلكمل الفربا م موممآلولكلمهم مومكاتلبمهم مومشالهمدلياله‬
‫لممعمن مرمسلومل ال م‬
“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan
dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim)

c) Macam-macam Riba
Riba bisa diklasifikasikan menjadi tiga: Riba Al-Fadl, riba Al-yadd, dan riba An-
nasi’ah, riba Qardhi, Berikut penjelasan lengkap macam-macamnya :
a. Riba Al-Fadhl
Riba Al-Fadhl adalah kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar antara tukar
menukar benda-benda sejenis dengan tidak sama ukurannya, seperti satu gram emas
dengan seperempat gram emas,maupun perak dengan perak[18]. Hal ini sesuai dengan
hadist nabi saw. sebagai berikut :
‫ضلة مولزلنا بلمولزسن لمآلثلل بللملثسل فمممككلن مزامد أملو السككتممزامد‬
‫ضةم لباللفل ل‬
‫ب مولزلنا بلمولزسن لمآلثلل بللملثسل مواللفل ل‬
‫ب لباللذهم ل‬ ‫اللذهم م‬
‫فمهممو لرلبا‬
“Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal;
barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah
riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah)

b. Riba Al-Yadd
Riba Al-Yadd, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima
antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah
dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang
apakah cukup atau tidak[19].
‫ب لرلبا إللل مهامء مومهامء مواللبممر لباللبمفر لرلبا إللل مهامء مومهامء موالتللمككمر بلككالتللملر لربلككا إللل همككامء موهمككامء‬
‫ب لباللذهم ل‬‫اللذهم م‬
‫مواللشلعيمر لباللشلعيلر لرلبا إللل مهامء مومهامء‬
“Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba
kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan
kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan (HR al-Bukhari dari
Umar bin al-Khaththab)

c. Riba An-Nasi’ah
Riba Nasi’ah, adalah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari
orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran
utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian
waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan
utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau
menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B menawarkan kepada si A untuk membayar
utangnya sekarang atau minta ditunda dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini
Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa :
‫صللىَّالم معلمليله مومسللمم منهى معلن بمليلع الممحيمموالن لباللمحيمموالن نملسليئمةل‬ ‫معلن مسمممرلة لبلن مجلنمد س‬
‫ب املن النلبل ل‬
‫ي م‬
“Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli
hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan
oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)”
d. Riba Qardhi
Riba Qardhi adalah riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam
meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang.
Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian
diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu rupiah). Terhadap bentuk
transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda Rasulullah Saw :
‫ض مجلر ممآلنفممعةل فمهممولرلبا‬
‫مكمل قملر س‬
“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi).

3ٍّ) Bai’ Al-Dayn ٌ(Jual Beli Hutangٍّ)


a) Pengertian Bai’ Al-Dayn (Jual Beli Hutang)
Bai’ al-Dayn adalah akad jual beli ketika yang diperjual belikan adalah dayn atau hutang.
Dayn dapat diperjual belikan dengan harga yang sama, tetapi sebahagian besar ulama Fuqaha
berpendapat bahwa jual beli dayn atau hutang dengan diskon tidak dibolehkan secara
syariah[20].
Menurut takrifan ulama ialah; suatu tanggungan harta (hutang) yang ditanggung oleh
seseorang terhadap orang lain samada ia adalah hasil daripada suatu akad (kontrak) atau
disebabkan oleh kerosakan (gantirugi) atau kerana pinjaman ( qardh).
Dayn, menurut perundangan Islam, mencakupi ruang lingkup yang luas; iaitu bayaran
kepada harga barangan, bayaran kepada qardh(hutang), bayaran mahr (mas kahwin) selepas
isteri disetubuhi atau sebelumnya; yakni mahar yang belum dibayar selepas akad nikah, bayaran
ke atas sewa, ganti rugi yang mesti dibayar kerana jenayah (arsy ), ganti rugi ke atas kerosakan
yang dilakukan, jumlah wang yang mesti dibayar kerana tebus talak ( khulu' ) dan barangan
pesanan yang belum sampai ( muslam fih )[21]
Bai’ al-dayn atau bai’ nasiah bi nasiah atau Nabi SAW sering menyebutnya bai’ kaly bi kaly
adalah menjual hutang dengan hutang, membeli barang dengan hutang dan uangnya juga hasil
hutang . Bai’ al-dayn adalah akad penyediaan pembiayaan untuk jual-beli barang dengan
menerbitkan surat hutang dagang atau surat berharga lain berdasarkan harga yang telah
disepakati terlebih dahulu. Pembiayaan ini bersifat jangka pendek (kurang dari satu tahun) dan
hanya mencakup surat-surat berharga yang memiliki nilai rating investasi yang baik.
b) Contoh jual hutang dengan hutang
Jual hutang dengan hutang juga boleh berlaku samada hutang tersebut dijual kepada
penghutang atau kepada pihak ketiga :
a. Contoh jual hutang dengan hutang kepada pihak ketiga
Contoh jual hutang dengan hutang kepada pihak ketiga ialah seperti A berkata kepada B,
saya menjual 10 kilogram gandum yang menjadi tanggungan hutang C terhadapku kepada
engkau dengan nilai Rp. 500 ribu yang akan dibayar oleh engkau kepadaku secara
tangguh. Cara ini ulama menyifatkan sebagai "bai` al-dayn bi al-dayn"

Ushul fiqh berasal dari dua kata , yaitu ushul dan fiqh. Ushul adalah bentuk jamak dari kata Ashl (
‫ ) اصل‬yang artinya kuat (rajin),pokok,sumber,atau dalil tempat berdirinya sesuatu. Kalau ada pokok
pasti ada cabang,sesuatu yang berada di bawah pokok tersebut dinamai far’un ( ‫ = ) فرع‬cabang .
perkataan ushul fiqih ini sering juga di sebut dengan mushtahab, yatu sesuatu yang menyertai
sesuatu yang telah ada.
Dalam masalah Qiyas. Dimaksud dengan ushul yaitu pokok yang menjadi ukuran atau tempat
menyerupakan sesuatu (standar) ( ‫ ) مثبه به‬artinya alat ukur.
Adapun kata fiqh menurut bahasa artinya memahami,mengerti,yaitu bentuk masdar dari ( ‫) فقه‬
artinya faham,mengerti,pintar dan kepintaran. Sebagaimana sabda Nabi saw.
( ‫من يريدا به خيرا يفقهه فى الدين ) رواه البخارى‬
Artinya: Barangsiapa yang dikehendaki Allah mendapat kebijakan,niscaya allah akan memberikan
kepadanya ngerti agama. (HR. Bukhary).
Sedangkan menurut istilah yaitu semua hukum yang dipetik dari Al-quran dan sunnah rasul melalui
usaha pemahaman dan ijtihad tentang perbuatan orang mukallaf baik wajib,haram,mubah, sah atau
selain dari itu hanya berupa cabang-cabangnya saja.
Ada sebagian ulama yang membagi fiqh menjadi dua bagian,yaitu:
1. Fiqih nabawi, yaitu hukum yang dikemukakan oleh Al-quran dan hadis dan tak perlu
diijtihadkan lagi.
2. Fiqih ijtihad, yaitu hukum-hukum hasil ijtihad dan istimbath hukum oleh ahli ijtihad.
Jadi ushul fiqh itu adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau jalan yang harus ditempuh
didalam melakukan istimbath hukum dari dalil-dalil syara’
Usul fiqh itu juga berupa qaidah-qaidah dan pembahasan-pembahasan yang dipergunakan untuk
mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnyayang bersifat amaliah dan diambilkan dari dalil-dalil yang
tafsili.
Dalam rumusan lain. Ushul fiqh adalah pembahasan tentang dalil yang dapat menunjukkan kepada
sesuatu hukum secara ijmal (garis besar) yang masih memerlukan keterangan dengan
menggunakan qaidah-qaidah tertentu.
Syekh Muhammad Al-Hudhory memberikan rumusan ushul fiqh sebagai berikut :
‫هوالقواعد التى يتوسل بها استنباط الحاكام الشرعية من الدلة‬
“ushul fiqh yaitu sesuatu ilmu tentang anggaran dasar (qaidah) yang menjadi perantara untuk
istinbath hukum syara (dari suatu dalil)”.
“Ushul fiqh ialah ilmu tentang qaidah-qaidah dan pembahasan-pembahasan yang dengannya
memungkinkan istimbath hukum-hukum syara praktis dari dalil-dalilnya yang terperinci atau ia
adalah kumpulan qaidah-qaidah dan pembahasa-pembahasan yang dengannya memungkinkan
istimbath hukum-hukum syari’at praktis dari dalil-dalil yang terperinci”.

Ruang lingkup pembahasan ushul


fiqh
Ushul fiqh telah memberikan cara atau metode mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya yaitu tentang
apa yang dikehendaki oleh perintah dan apa pula yang dikehendaki oleh larangan. Jadi pada
prinsipnya harus diketahui dulu hakekat dari dalil-dalil yang mengandung hukum tersebut.
Adapun yang menjadi obyek pembahasan ushul fiqih adalah :
1. Menjelaskan macam-macam hukum dan jenis-jenis hukum seperti wajib, haram, sunnat,
makruh, dan mubah.
2. Menjelaskan macam-macam dalil dan permasalahannya.
3. Menjelaskan cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya.
4. Menjelaskan ijtihad dan cara-caranya.
Jadi yang menjadi obyek pembahasan ushul fiqh itu adalah perbuatan mukallaf dari sagi dapat
diterapkan kepadanya hukum-hukum syari’at serta syari’at yang bersifat kully dari segi dapat ditarik
daripadanya hukum yang bersifat kully (umum) pula,sedangkan yang menjadi pokok
pembahasannya adalah :
1. Hukum,yang didalamnya meliputi
wajib,sunnat,makruh,mubah,haram,hasan,qabih,’ada,qada,shahih,fasid,dan lain-lain.
2. Adillah ,yaitu dalil-dalil qur’an ,sunnah,ijma’,dan qiyas.
3. Jalan-jalan serta cara-cara beristimbath (turuqul istimbath).
4. Mustambith,yaitu mujthid dengan syarat-syaratnya.
5. Dalil-dalil untuk menginstimbathkan hukum
Didalam kehidupan manusia selalu terjadi perubahan sosial sehingga selalu muncul persoalan-
persoalan baru didalam masyarakat. Untuk memecahkan persoalan yang beru belum ada nash
yang jelas diperlukan istimbath hukum. Istimbath artinya mengeluarkan hukum-hukum baru
terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad yang didasarkan
kepada dalil yang ada dalam al-qura’an dan sunnah.
Bila timbul suatu permasalahan yang timbul di dapati hukumnya dalam al-quran dan hadis maka
harus melakukan istimbath dengan berijtihad menggunakan ra’yu untuk mendapatkan suatu
hukum,dengan berpedoman kepada maksud syara’ dan kaidah-kaidah umum untuk menetapkan
hukum yang ada dalam qur’an dan hadist.
Ulama ushul dalam melakukan istimbath hukum itu didasarkan kepada dalil ra’yu dengan alasan :
firman Allah yang berbunyi :
‫ريا أرييرها الاحذيرن آرمكنوا ل رتأمكككلوا أرممروارلككمم ربميرنككمم حباملرباحطحل حإل أرمن رتككورن حترجاررمة رعمن رتررا ض‬
‫ض حممنككمم رول رتمقكتكلوا أرمنفكرسككمم إحان ا ر‬
(٢٩) ‫ا ركارن حبككمم ررححايمما‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu [287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.
Dalam firman diatas terlihat adanya ancaman bagi orang yang mengikuti hawa nafsu dalam
menetapkan suatu hukum,sebab ada perintah untuk mengembalikan masalah kepada apa yang
telah disyari’atkan Allah dan Rasulnya,dengan menggunakan penelitian seksama terhadap masalah
apa yang nashnya tersembunyi atau tidak tegas melalui kaidah-kaidah umum dengan
menyesuaikan pada maknah syara’.
Dalil lain untuk menginstimbathkan hukum,tersebut dalam hadist rasul yang diriwayatkan oleh Said
bin Musyayyab dari Sayyidina Ali RA. yang artinya:
“Saya berkata kepada nabi saw.: bagaimana tentang masalah yang selalu datang yang perlu
mendapatkan ketentuan hukumnya,tapi ayat-ayat al-quran tidak turun,dan tidak ada juga ketetapan
dirimu?.maka sabda nabi saw.: kumpulkanlah orang-orang yang pandai atau ahli ibadah
dikalanagan kaum mukmin maka adakan musyawarah dan jangan menetapkan keputusan dengan
hanya berdasarkan satu pendapat”.

Tujuan ushul fiqh


Ushul fiqh ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam ilmu syariat,karena hukum syar’i
sebagiannya hanya mengatur permasalahan hal pokok-pokoknya dan tidak secara mendetail. Maka
tujuan ushul fiqh ini adalah untuk memecahkan permasalahan-permasalahan baru yang belum ada
nashnya yang jelas dengan melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam al-quran atau
sunnah nabi saw.
Jika seorang hendak berijtihad ,maka ushul fiqh mutlak harus dikatahui sebab ushul fiqih merupakan
alat atau keahlian untuk melakukan istimbath hukum dan ushul fiqh ini merupakan ilmu sistem
hukum silam dalam menetapkan.
Jadi tujuannya adalah dapat sampainya kepada istimbath hukum syara’ dari dalilnya serta dapatnya
menerapkan hukum-hukum syari’at ats perbuatan manusia dan perkataannya.

Anda mungkin juga menyukai