Anda di halaman 1dari 14

PAKET X

MACAM-MACAM HADIS DARI SEGI KEHUJJAHAN DALAM AJARAN ISLAM

A. INDIKATOR:

Mahasiswa diharapkan dapat:


- Menyebutkan pembagian hadis yang maqbul dan mardud
- Memberi argumentasi mengapa hadis yang maqbul masih dibagi menjadi ma’mul bihi
dan ghairu ma’mul bihi
- Memberi contoh hadis maqbul yg ma’mul bihi dan ghairu ma’bul bihi -

A. Latar Belakang

Salah satu kajian dalam ilmu hadits ialah hal yang berkenaan dengan bidang pengetahuan
hadits-hadits yang kuat dari yang lemah dan tentang hal-ihwal para perawi yang diterima
haditsnya dan ditolak menghasilkan suatu kesimpulan-kesimpulan ilmiah dan istilah-
istilah yang mengindikasikan keshahihan atau kedha’ifan suatu hadits.

Salah satu kajian dari penelitian tersebut ialah ditetapkannya salah satu pembagian hadits
dari sisi kehujjahannya. Inilah yang dimaksud dengan hadits yang maqbul dan hadits yang
mardud. Yang maqbul ialah yang memenuhi syarat untuk diterima sebagai hujjah dan yang
mardud ialah yang tertolak untuk dijadikan hujjah.

Pembahasan dalam bab ini hanya terbatas pada persoalan mengenai tinjauan hadits dari sisi
diterima tidaknya untuk menjadi hujjah. Yaitu hadits yang maqbul beserta permasalahan
pokok yang berkaitan dengannya dan hadits mardud beserta permasalahan pokok yang
berkaitan dengannya.

Tujuan dari pembahasan ini ialah untuk memberikan penjelasan kepada pembaca tentang
salah satu bentuk kajian dalam ilmu hadits dari sisi diterima atau ditolaknya suatu hadits
untuk dijadikan hujjah. Sehingga pambaca diharapkan bisa mengetahui tentang bagaimana
maksud dari hadits yang maqbul dan mardud beserta contoh-contohnya masing-masing.

Materi:

Pembagian Hadits Dari Sisi Kehujjahan dalam


Syari’at Islam
A. Hadits Maqbul dan Permasalahannya

1. Pengertiannya maqbul menurut bahasa adalah yang diambil, yang diterima dan yang
dibenarkan. Sedangkan menurut istilah ahli hadis, hadis maqbul ialah hadis yang telah
sempurna syarat-syarat penerimaannya . Adapun syarat-syarat penerimaan hadits
menjadi hadits yang maqbul berkaitan dengan sanad-nya yang tersambung, diriwayatkan
oleh rawi yang adil dan dhabit, dan dari segi matan yang tidak syadz dan tidak terdapat
illat.1[1]

Hadits maqbul ialah hadits yang dapat diterima sebagai hujjah. Jumhur ulama
sepakat bahwa hadits Shohih dan hasan sebagai hujjah. Pada prinsipnya, baik hadits
shohih maupun hadits hasan mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima (Maqbul).
Walaupun rawi hadits hasan kurang hafalannya dibanding dengan rawi hadits shohih,
tetapi rawi hadits hasan masih terkenal sebagai orang yang jujur dan dari pada melakukan
dusta.

2. Klasifikasi Hadits Maqbul. Yang termasuk kedalam kategori hadits maqbul ialah :

a. Hadits Shohih2[2], baik shohih lidzatihi maupun shohih ligahirih.


b. Hadits Hasan3[3], baik hasan lidzatihi maupun hasan lighairihi.

Kedua macam hadits tersebut wajib diterima, namun demikian para muhaddisin
dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus
diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan
hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan lain yang juga ditetapkan oleh
hadis Rasulullah SAW.

Maka dari itu, apabila ditinjau dari sifatnya, hadits maqbul terbagi pula menjadi
dua, yakni Hadits maqbul yang dapat diterima menjadi hujjah dan dapat pula diamalkan,
inilah yang disebut dengan hadits maqbul ma’mulun bih. Disamping itu juga ada hadits
maqbul yang tidak dapat diamalkan, yang disebut dengan hadits maqbul ghairu ma’mulin
bih. Berikut ini adalah rincian dari masing-masing hadits tersebut yakni sebagai berikut
:

1). Hadits Maqbul yang Ma’mul bih.

a. Hadits Muhkam

Al-Muhkam menurut bahasa artinya yang dikokohkan, atau yang diteguhkan.


Yaitu hadits-hadits yang tidak mempunyai saingan dengan hadits yang lain, yang
dapat mempengaruhi artinya. Dengan kata lain tidak ada hadits lain yang

1
Dewan Redaksi. Ulumul hadits: pembagian hadits secara umum. http//: www.cybermq.com
2
Hadits Shohih lidzatihi ialah hadits shohih yang telah memenuhi syarat-syarat untuk dinilai shohih secara
sempurna, sedangkan hadits Shohih Lighairihi ialah hadits shohih yang turun nilainya disebabkan kedhobitan
seorang rawi yang kurang sempurna.
3
Hadits Hasan Lidzatihi ialah hadits yang telah memenuhi syarat-syarat hadits hasan secara sempurna.
Sedangkan hadits hasan lighairihi ialah hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur, bukan pelupa
yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikannya fasik dan matan haditsnya adalah baik
berdasarkan periwayatan yang semisal.
melawannya. Dikatakan muhkam ialah karena dapat dipakai sebagai hukum lantara
dapat diamalkan secara pasti, tanpa syubhat sedikitpun.

Kebanyakan hadits tergolong kepada jenis ini, sedangkan yang bertentangan


jumlahnya sedikit.

Menurut bahasa: merupakan isim maf’ul dari kata ahkama, yang bearti
meyakinkan (atqona).
Menurut istilah: hadits maqbul yang selamat dari berbagai pertentangan yang
semisal.

Kebanyakan dari hadits-hadits merupakan hadits-hadits muhkam. Sedangkan


hadits-hadits yang saling bertentengan jumlahnya amat sedikit dibandingkan
dangan keseluruhan jumlah hadits.

b. Hadits Mukhtalif.

Pengertian hadis Mukhtalif artinya adalah yang bertentangan atau yang


berselisih. Sedangkan secara istilah ialah hadits yang diterima namun pada
dhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya,
akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya. Kedua buah
hadits yang berlawanan ini kalau bisa dikompromikan, diamalkan kedua-kaduanya.

Menurut Ajjaj al-Khathib, bahwa Ilmu Mukhtalif Al-Hadits, ialah:

‫َض ََها َأ َ ْْو ي ََُوفِ ُق‬ ُ َ‫اِرٌض فَُي ُِِز ْي ُُل َتَع‬
َ ‫اِر‬ ِ َ‫ظا ِه ُرهَا ُمتَع‬ َ ‫ث الَّتِ ْي‬ ِ ‫ث فِى اْأل َ َحا ِد ْي‬ ْ ‫ْال ِع ْل ُم الَّذ‬
ُ ‫ِي يَ ْب َح‬
‫َض ُح‬ِ ‫َصَو ُِرهَا فَ َُي ْْدفَ ُُع َأ َ ْْش َكالَ ََها َْوي ََُو‬
َ َ‫ث الَّ ِت ْي َي ْش ُك ُُل َف َْه ُم ََها َأ َ ْْو َت‬
ِ ‫ث فِى اْأل َ َحا ِد ْي‬
ُ ‫َب ُْينَ ََها َك َما َي ْب َح‬
‫َح ِق ُْي َقت َ ََها‬
Ilmu yang membahas hadits-hadits, yang menurut lahirnya saling
bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau
dikompromikan antara keduanya, sebagaimana yang membahas hadits-hadits yang
sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta
menjelaskan hakikatnya4

Cara mengatasi apabila hadis mukhtalif antara lain: (1) Hendaklah kita
berusaha untuk mengkompromikan (al-jam’u wa at-taufiq); (2) Jika cara
kompromi gagal, maka mencari mana diantara kedua hadits tersebut yang datang

4
Ajjaj Al-Khathib, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), Cet. Ke-6, hal. 283,
dalam Buku Munzier Suparta. 2008. Ilmu Hadits. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, hal.
lebih dahulu (Nasikh); (3) Jika tidak diketahui mana yang dahulu dan mana yang
kemudian, beralih pada penelitian mana hadits yang lebih kuat, baik sanad ataupun
matannya untuk di-tarjih-kan; (4) Jika usaha tarjih ini mengalami kebuntuan atau
gagal, maka hadits tersbut hendaklah dibekukan, ditinggalkan untuk
pengamalannya; (5) Atau Metode Ta’wil.5 Metode ini bisa menjadi salah satu
alternatif baru dalam menyelesaikan hadits-hadits yang bertentangan.

1) Metode al-jam’u wa taufiq (kompromi) adalah penyelesaian pertentangan


antara hadits mukhtalif dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna
masing-masingnya sehingga makna essensial yang dituju oleh hadits-hadits
tersebut dapat diungkap. Melalui pemahaman ini maka makna yang dikandung
masing-masing hadis dapat diamalkan sesuai dengan tuntutannya. Metode al-
jam’u wa taufiq(kompromi) adalah penyelesaian pertentangan antara hadits
mukhtalif dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-
masingnya sehingga makna essensial yang dituju oleh hadits-hadits tersebut
dapat diungkap. Melalui pemahaman ini maka makna yang dikandung masing-
masing hadis dapat diamalkan sesuai dengan tuntutannya.6 Metode
mengumpulkan atau mengompromokan (al-jam’u wa at-taufiq) kedua-duanya
hadis yang bertentangan sampai hilang perlawanannya. Dalam hal ini apabila
dapat dikumpulakan, maka kedua hadits tersebut wajib diamalkan.

5
Arti ta’wil, 1. Menurut Al-Jurzani adalah memalingkan satu lafazh dari makna lahirnya terhadap makna
yang dikandungnya, apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan ketentuan Al-kitab dan As-
sunnah; 2).Menuurut ulama khalaf takwil adalah mengalihkan suatu lafazh dari makna yang rajih pada makna
yang marjuh karena ada indikasi untuk itu. Dalam Rosihun Anwar, Ulum Al-Qur’an (Bandung:Pustaka Setia,
2012), 211; 3).Menurut sebagian ulama lain takwil ialah menerangkan salah satu makna yang dapat diterima
oleh lafazh.Dalam Hasbi Muhammad, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1987, hlm.
172
6
Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi’i : Metode Penyelesain Hadits-hadits Mukhtalif, (Padang: IAIN Bonjol
Press, 1999), 151
Contoh aplikasi dari metode al-jam’u wa at-taufiq adalah hadits tentang
cara berwudhu Rasulullah Saw,. Hadits pertama menyatakan bahwa Rasulullah
Saw. berwudhu dengan cara membasuh wajah dan kedua tangannya, serta
mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini:

‫ع ْن‬ ِ ‫ َأ َ ْخ َب َرنَا َع ْبْد ُ ْال َع ِِز‬: ‫ قَا َل‬، ‫شافِ ِعي‬


َ ، ‫يِز ب ُْن ُم َح َّم ٍْد‬ َّ ‫ َأ َ ْخ َب َرنَا ْال‬: ‫ قَا َل‬، ‫َحْدَّثَنَا ْال َّر ِب ُْي ُُع‬
َّ ‫صلَّى‬
ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬ ِ َّ ‫سَو َل‬ُ ‫ َأ َ َّن َِر‬، ‫َّاس‬ ٍ ‫عب‬ َ ‫ع ِن اب ِْن‬ َ ، ‫اِر‬
ٍ ‫س‬َ َ‫اء ب ِْن ي‬ ِ ‫ط‬ َ ‫ع‬ َ ‫ع ْن‬ َ ، ‫زَ ْي ِْد ب ِْن َأ َ ْسلَ َم‬
١ ‫ اختالف الحْديث – ج‬.ً‫س َح بِ َرَأْ ِس ِه َم َّرة ً َم َّرة‬ َ ‫ َْو َم‬، ‫سلَّ َم َْوَضَّأ َ َْو ْج ََههُ َْويَْدَ ْي ِه‬ َ ‫علَ ُْي ِه َْو‬
َ
٦‫ص‬
Artinya: Ar-Rabi’ telah bercerita kepada kami, dia berkata: Imam asy-
Syafi’i memberi kabar kepada kami, Ia berkata: Abdul Aziz ibn Muhammad
telah memberi kabar kepada kami dari Zaid ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari
Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw. berwudhu membasuh wajah dan kedua
tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali (H.R. asy-Syafi’i).
Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Saw. berwudhu
dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali,
sebagaimana terbaca dalam hadits berikut ini:

‫ع ْن َأَبُِي ِه‬
َ ، َ ‫ع ْر َْوة‬ ُ ‫ع ْن ِهش َِام ب ِْن‬ َ ، َ‫عُيَ ُْينَة‬
ُ ‫ان ب ُْن‬ ُ َ‫س ْفُي‬ َّ ‫َأ َ ْخبَ َرنَا ْال‬
ُ ‫ َأ َ ْخبَ َرنَا‬: ‫ قَا َل‬، ‫شافِ ِعي‬
‫سلَّ َم َت َ ََوَضَّأ َ ثَالَثًا‬
َ ‫ع َل ُْي ِه َْو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ي‬َّ ‫ َأ َ َّن النَّ ِب‬، َ‫عثْ َمانَ ب ِْن َعفَّان‬ ُ ‫ع ْن ُح ْم َرانَ َم َْولَى‬ َ ،
٧‫ ص‬١ ‫اختالف الحْديث – ج‬.‫ثَالَثًا‬
Artinya: Imam Asy-Syafi’i telah memberi kabar kepada kami, dia berkata
Sufyan ibn ‘Uyainah telah memberi kabar kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah
dari ayahnya, dari Hamran maula “Utsman ibn ‘Affan bahwa Nabi Saw.
berwudhu dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap). (HR
Asy-Syafi’i).

Kedua riwayat tersebut tampak bertentangan namun keduanya sama-sama


shahih dan akhirnya diselesaikan dengan metode al-Jam’u wa at-Taufîq dengan
komentar Imam asy-Syafi’i dalam kitab Ikhtilaf al- Hadits :
‫ َْولَ ِك َّن ْال ِف ْع َُل فُِي ََها‬،‫طلَقًا‬
ْ ‫ ُم ْخت َ ِلف ُم‬:ِ‫ش ْيءٍ ِم ْن َه ِذ ِه األ َ َحا ِديث‬ َ ‫ َْوالَ يُقَا ُل ِل‬:‫شافِ ِعي‬َّ ‫قَا َل ال‬
‫ َْولَ ِك ْن‬،ِ‫ َْواأل َ ْم ِر َْوالنَّ َْهي‬، ‫ف ْال َحالَ ِل َْو ْال َح َر ِام‬ ِ َ‫ف ِم ْن َْو ْج ِه َأَنَّهُ ُمبَاح ِال ْخ ِتال‬ ُ ‫يَ ْخت َ ِل‬
.‫َوء ثَالَث‬ ِ ‫َض‬ ُ ‫َون ِمنَ ْال َُو‬ ُ ‫ َْوَأ َ ْك َم ُُل َما َي ُك‬،‫َوء َم َّرة‬
ِ ‫َض‬ُ ‫ َأَقَُل َما َي ْج ِِزي ِمنَ ْال َُو‬:‫يُقَا ُل‬
٧‫ ص‬١ ‫اختالف الحْديث – ج‬
Imam asy-Syafi’i berkata: “hadits-hadits itu tidak bisa dikatakan sebagai
hadits yang benar–benar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa
berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap
kepala satu kali, sudah mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam
berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan
mengusap tangan serta mengusap kepala)10“.

2). Metode Naskh. Kata Naskh menurut bahasa diartikan: ‫( النَّ ْقل‬memindah atau
menyalin), bisa juga diartikan: ‫(اْ ِال َزالَة‬menghilangkan). Sedangkan menurut
istilah ushuliyin adalah: “Dalil (hadis) yang menunjukan terhapusnya hukum
yang ditetapkan oleh dalil (hadis) terdahulu, dengan gambaran seandainya tidak
ada dalil (hadis) kedua niscaya hukum tersebut akan tetap berlaku sebagaimana
semula, dan diisyaratkan khitob kedua lebih akhir dari pada dalil (hadis)
pertama.7 Atau penghapusan yang dilakukan oleh Syari’ (pembuat syari’at;
yakni Allah dan Rasulullah Saw.) terhadap ketentuan hukum syari’at yang
datang terlebih dahulu dengan dalil syar’i yang datang kemudian. Dengan
definisi tersebut, berarti bahwa hadits-hadits yang sifatnya hanya sebagai
penjelasnya (bayan) dari hadits yang bersifat global atau hadits-hadits yang
memberikan ketentuan khusus (takhsish) dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak
dapat dikatakan sebagai hadits nasikh (yang menghapus).

Metode ini dilaksanakan jika ternyata hadits tersebut tidak mungkin


dikompromikan, maka para ulama menempuh metode nasikh-mansukh
(pembatalan). Maka akan dicari makna hadits yang lebih datang terlebih dahulu

7
M. Ridlwan Qoyyum sai’id, Terjemah Tashil Ath-Thuruqot Ushul Fiqih, (Kediri: Mitra
Gayatri), 73
dan makna hadits yang datang kemudian. Otomatis yang datang lebih awal di-
naskh dengan yang datang kemudian.

Namun perlu diingat bahwa proses naskh dalam hadits hanya terjadi di
saat nabi Muhammad Saw. masih hidup. Sebab yang berhak menghapus
ketentuan hukum syara’, sesungguhnya hanyalah Syari’, yakni Allah dan
Rasulullah s.a.w.. Naskh hanya terjadi ketika pembentukan syari’at sedang
berproses. Artinya, tidak akan terjadi setelah ada ketentuan hukum yang tetap
(ba’da istiqrar al-hukm).

Salah satu contoh dua hadits yang saling bertentangan dan bisa
diselesaikan dengan metode nasikh-mansukh adalah hadits tentang hukum
makan daging kuda:

َ ‫ع ْن‬
‫صا ِلحِ ب ِْن يَ ْح َُيى ب ِْن‬ َ َ‫ع ْن ث َ َْو ِِر ب ِْن َي ِِزيْد‬َ ُ‫ع َب ُْي ٍْد قَا َل َحْدَّثَنَا بَ ِقُيَّة‬ ُ ِ‫َأ َ ْخبَ َرنَا َكث‬
ُ ‫ُير ب ُْن‬
‫صلَّى‬َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سَو َل‬ُ ‫ع ْن خَا ِل ِْد ب ِْن ْال ََو ِلُي ِْد َأ َ َّن َِر‬
َ ‫ع ْن َج ِْد ِه‬ َ ‫ب َع ْن َأ َ ِبُي ِه‬َ ‫ْال ِم ْقْدَ ِام ب ِْن َم ْعْدِي َك ِر‬
ٍ ‫ُير َْو ُك ُِل ذِي نَا‬
‫ب ِم ْن‬ ِ ‫َوم ْال َخ ُْي ُِل َْو ْال ِبغَا ِل َْو ْال َح ِم‬ِ ‫ع ْن َأ َ ْك ُِل لُ ُح‬َ ‫سلَّ َم نَ ََهى‬ َ ‫علَ ُْي ِه َْو‬ َّ
َ ُ‫َّللا‬
ِ‫ال ِس َباع‬
‫ع ْن َجا ِب ٍر قَا َل‬َ ‫َاِر‬
ٍ ‫ع ْم ِرْو ب ِْن دِين‬ َ ‫ع ْن‬ َ ‫ان‬ ُ ‫س ْف َُي‬
ُ ‫ع ِلي ٍ قَ َاال َحْدَّثَنَا‬
َ ‫َص ُر ب ُْن‬ْ َ‫َحْدَّثَنَا قُتَ ُْي َبةُ َْون‬
.‫َوم ْال ُح ُم ِر‬ َ ‫َوم ْال َخ ُْي ُِل َْو َن ََهانَا‬
ِ ‫ع ْن لُ ُح‬ َ ‫سلَّ َم لُ ُح‬
َ ‫علَ ُْي ِه َْو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سَو ُل‬ ُ ‫ط َع َمنَا َِر‬ ْ َ ‫َأ‬

Dua hadits di atas terlihat saling bertentangan, hadits pertama berisi tentang
larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadîts kedua
menunjukkan kebolehan memakan daging kuda. Pertentangan ini tidak boleh
tidah hatus dihilangkan dengan cara naskh. Hukum keharaman makan daging
kuda pada hadîts pertama telah di-naskh-kan oleh hukum kobolehan makan
daging kuda pada hadîts Jâbir ibn ‘Abdillah yang datang setelahnya.

. Hadits di atas, yang datang kemudian (nasikh)yaitu memakan daging kuda


diamalkan, sedangkan hadis yang datang lebih dulu (mansukh) untuk tidak
diamalkan, karena hukumnya sudah dihapus.
3) Metode Tarjih. Tarjih secara terminologi, ada dua definisi yang dikemukakan
oleh ahli ushul, yaitu yang pertama adalah menurut Ulama’ Hanafiyah, yaitu
“Membuktikan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang
bersamaan (sederajat), yang dalil tambahan itu ridak berdiri sendiri”.8
Sedangkan Jumhur Ulama mendefinisikan: “Menguatkan salah satu indikator
dalil yang zhanni atas yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan).9

Metode ini dilakukan setelah upaya metode nasakh tidak dapat


dilaksanakan dikarenakan mana hadis yang datang terdahulu dan yang
kemudian tidak bisa diketahui. Maka seorang peneliti perlu memilih dan
mengunggulkan mana di antara hadis-hadis yang tampak bertentangan yang
kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang
dijadikan dalil.

Harus diakui bahwa ada beberapa matan (teks) hadits yang saling
bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan al-Quran.
Antara lain adalah hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-
hidup akan berada di neraka. Sebagai contoh adalah hadits berikut ini:

ِ َّ‫ْال ََوا ِئْدَة ُ َْو ْال َم َْوؤُْودَة ُ ِفي الن‬


‫اِر‬
Artinya: Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan
masuk neraka (HR Abu Dawud).

Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud
dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (Sabab Wurudnya)
adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap
Rasulullah Saw,. Seraya bertanya: “Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya
Malikah itu dahulu orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan
tamu, tetapi ia meninggal dalam keadaan jahiliyah. Apakah amal kebaikannya
itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab: tidak. Kami berkata: dahulu ia pernah

8
Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islamy Jilid 2, (Dimashqa: Darul Riqr, 1996), 185.
9
Ibid, 196.
mengubur saudaranya perempuanku hidup-hidup di zaman Jahiliyah. Apakah
amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab: orang yang
mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada
di neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu
Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dan an- Nasa’i, dan dinilai sebagai hadits hasan secara sanad oleh Imam Ibnu
Katsir10[10].

Hadits tersebut dinilai musykil dari sisi matan dan mukhtalif dengan al-
Quran surat at-Takwir/81: 8-9 :

ٍ ‫ت بِأَي ِ ذَ ْن‬
ْ َ‫ب قُتِل‬
‫ت‬ ُ ُ ‫َْوإِذَا ْال َم َْو ُءْودَة‬
ْ َ‫سئِل‬
Artinya: Dan apabila bayi–bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup
ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?

Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka


dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga
masuk ke neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadits
tersebut harus ditolak meskipun sanadnya hasan, dan juga karena adanya
pertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan
al- Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga? Beliau menjawab:
Nabi Muhammad Saw. akan masuk surga, orang yang mati syahid juga akan
masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur
hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR. Ahmad.)

4). Di-tawaqquf-kan. Jika terhadap kedua hadits itu tidak bisa dilakukan proses
tarjih –dan hal ini merupakan kebuntuan- maka kita tawaqufkan (bekukan)
mengamalkan kedua hadits tersebut, hingga tampak bagi kita mana hadits yang
lebih rajih.

10
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 88-90
5). Metode Ta’wil.11 Metode ini bisa menjadi salah satu alternatif baru dalam
menyelesaikan hadits-hadits yang bertentangan. Sebagai contoh hadits tentang lalat.
Hadits tersebut dinilai kontradiktif dengan akal dan teori kesehatan. Sebab lalat
merupakan serangga yang sangat berbahaya dan bisa menyebarkan penyakit. Lalu
bagaimana mungkin Nabi s.a.w. menyuruh supaya menenggelamkan lalat yang
hinggap di minuman? Demikian kurang lebih keraguan dan penolakan Taufiq Shidqi
terhadap kebenaran hadits tentang lalat sebagaimana dikutip G.H.A. Juynboll12[12].
Hadits tersebut :

‫عتْبَةُ ب ُْن ُم ْس ِل ٍم قَا َل َأ َ ْخبَ َرنِي‬ ُ ‫ان ب ُْن ِب َال ٍل قَا َل َحْدَّث َ ِني‬ ُ ‫سلَ ُْي َم‬
ُ ‫َحْدَّثَنَا خَا ِلْد ُ ب ُْن َم ْخلَ ٍْد َحْدَّثَنَا‬
َّ ‫صلَّى‬
ُ‫َّللا‬ َ ‫ قَا َل النَّبِي‬:ُ‫ع ْنهُ يَقَُول‬ َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫ي‬ َ ‫َض‬ ِ ‫س ِم ْعتُ َأَبَا ُه َري َْرة َ َِر‬ َ ‫عبَ ُْيْد ُ ب ُْن ُح َنُي ٍْن قَا َل‬ ُ
ُ ْ َ
‫ب َأ َح ِْد ُك ْم فَلُيَ ْغ ِم ْسهُ ث َّم ِل َُي ْن ِِز ْعهُ فَإ ِ َّن فِي ِإ ْحْدَى‬
ِ ‫اب فِي ْش ََرا‬ ُ َ‫سل َم ِإذَا َْوقَ َُع الذب‬ َّ َ ‫علَ ُْي ِه َْو‬ َ
ْ ُ ْ
‫َجنَا َح ُْي ِه دَا ًء َْواألخ َرى ِْش َفا ًء‬
“Khalid Ibn Makhlad bercerita kepada kami, Sulaiman ibn Bilal bercerita
kepada kami, dia berkata: Uthbah ibn Muslim telah bercerita kepadaku, dia
berkata, Ubaidah ibn Hunain berkata: saya mendengar Abu Hurairah berkata:
Rasulullah s.a.w. bersabda: apabila ada lalat jatuh dalam minuman salah
seorang kalian, maka hendaklah ia membenamkannya sekalian, lalau
buanglah lalat tersebut. Sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat
penyakit, sedang pada sayap yang lain terdapat penawar (obat) (HR al-
Bukhari).”

Selintas hadits tersebut memang tidak masuk akal dan kontradiksi dengan
teori kesehatan. Namun ternyata hasil penelitian dari sejumlah peneliti muslim
di Mesir dan Saudi Arabia terhadap masalah ini, justeru membuktikan lain.
Mereka membuat minuman yang dimasukkan kedalam beberapa bejana yang
terdiri dari air, madu dan juice, kemudian dibiarkan terbuka agar dimasuki lalat.

11
Arti ta’wil, 1. Menurut Al-Jurzani adalah memalingkan satu lafazh dari makna lahirnya terhadap makna
yang dikandungnya, apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan ketentuan Al-kitab dan As-
sunnah; 2).Menuurut ulama khalaf takwil adalah mengalihkan suatu lafazh dari makna yang rajih pada makna
yang marjuh karena ada indikasi untuk itu. Dalam Rosihun Anwar, Ulum Al-Qur’an (Bandung:Pustaka Setia,
2012), 211; 3).Menurut sebagian ulama lain takwil ialah menerangkan salah satu makna yang dapat diterima
oleh lafazh.Dalam Hasbi Muhammad, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1987, hlm.
172
12
G.H.A Juynboll, The Authenticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt (Leiden: E.J
Brill, 1969) hal. 141-142 dikutip dari Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008).
hal. 100-101.
Setelah lalat masuk kedalam beberapa minuman tersebut, mereka melakukan
komparasi penelitian, antara minuman yang ke dalamnya dibenamkan lalat dan
tidak dibenamkan. Ternyata melalui pengamatan mikroskop diperoleh hasil
bahwa minuman yang dihinggapi lalat dan yang tidak dibenamkan dipenuhi
dengan banyak kuman dan mikroba, sementara minuman yang dihinggapi lalat
justeru tidak dijumpai sedikitpun minuman dan mikroba. Ini adalah sebuah
penelitian ilmiah dan semakin membuktikan kebenaran hadits tersebut secara
ilmiah meskipun pada awalnya dari zhahir hadits terlihat mempunyai
pertentangan dengan ilmu kesehatan13[13].

Sebenarnya masih terdapat metode dalam penyelesaian hadits mukhtalif


yang mana biasa disebut metode tawaqquf. Namun ditengarai ketika orang
menggunakan metode ini terkesan hanya membiarkan saja tanpa ada usaha
untuk melakukan komparasi dengan penelitian lebih lanjut. Oleh karenanya
lebih cenderung menggunakan metode ta’wîl daripada menggunakan metode
tawaqquf. Karena setiap sumber perkataan Nabi pasti mengandung sebuah
makna dan tujuan sehingga bagaimanapun juga kita harus mengungkap makna
yang tersirat di dalamnya.

2). Hadits Maqbul Ghairu Ma’mul bih

a. Hadits Mutasyabih. yakni hadits yang sukar dipahami maksudnya lantaran tidak
dapat diketahui takwilnya. Ketentuan hadits mutasyabih ini ialah harus diimankan
adanya, tetapi tidak boleh diamalkan.

b. Hadits Mutawaqqaf fihi. Yakni dua buah hadits maqbul yang saling berlawanan
yang tidak dapat di kompromikan, ditarjihkan dan dinasakhkan. Kedua hadits ini
hendaklah dibekukan sementara.

13
G.H.A Juynboll, The Authenticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt (Leiden: E.J
Brill, 1969) hal. 141-142 dikutip dari Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008).
hal. 100-101.
c. Hadits Mansukh. Secara bahasa mansukh artinya yang dihapus, Yakni maqbul yang
telah dihapuskan (nasakh) oleh hadits maqbul yang datang kemudian.

d. Hadits Marjuh. Yakni sebuah hadits maqbul yang ditenggang oleh oleh hadits
Maqbul lain yang lebih kuat. Kalau yang ditenggang itu bukan hadits maqbul,
bukan disebut hadits marjuh,

e. Hadits Maqbul yang maknanya berlawanan dengan Alquran, Mutawatir, akal yang
sehat dan ijma’ ulama.

Contoh dari hadits Maqbul ghairu ma’mul bih ini salah satunya ialah tentang hadits
yang bertentangan dengan akal sehat yakni berikut ini :

”Konon termasuk yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Wahyu yang
diturunkan di malam hari dan nabi melupakannya disiang hari” (HR. Ibnu Abi
Hatim dari Riwayat Ibnu Abbas r.a)14[6]

Hadits tersebut secara akal sehat, sebab menerima anggapan bahwa nabi pernah
lupa sedangkan menurut akal sehat dan putusan ijma’ nabi ialah terpelihara dari
dosa dan kelupaan (ma’shum) dalam menyampaikan syariat dan wahyu.

B. Hadits Mardud dan Permasalahannya

1. Pengertian Hadits Mardud. Secara bahasa mardud artinya ialah yang ditolak, yang
tidak diterima. Secara istilah Hadits Mardud ialah hadis yang tidak menunjuki
keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas
ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan. Dalam definisi
yang ekstrim disebutkan bahwa hadis mardud adalah semua hadis yang telah
dihukumi dhoif15[9]

2. Klasifikasi Hadits Mardud :

a. Adanya Kekurangan pada Perawinya. Dalam hal ini, kekurangan pada


perawinya dapat disebabkan oleh ketidakadilannya maupun kehafalannya. Yakni

Drs. Fatchurrahman.. Ikhtishar Mushthalahu’l hadits. Bandung: PT Alma’arif, 1974. h. 150


14
15
M. Yusron, S.PdI. Pohon Ilmu Hadits. http//: www.darussholah.com
terbagi menjadi : (1) Dusta (hadits maudlu); (2) Tertuduh dusta (hadits matruk); (3)
Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafa; (4) Banyak waham (prasangka)
disebut hadits mu’allal; (5) Menyalahi riwayat orang kepercayaan; (6) Tidak
diketahui identitasnya (hadits Mubham); (7) Penganut Bid’ah (hadits mardud);
(8) Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)

b. Karena sanadnya tidak bersambung.

1) Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq

2) Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal

3) Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits
mu’dlal

4) Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’

c. Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah

Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada
matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan
Maqthu’.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mustaqim. 2008. Ilmu Ma’anil Hadits. Yogyakarta : Idea Press.

G.H.A Juynboll. 1969. The Authenticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern
Egypt. Leiden: E.J Brill. Dikutip dari Abdul Mustaqim. 2008. Ilmu Ma’ânil Hadîts.
Yogyakarta : Idea Press.

Munzier Suparta. 2008. Ilmu Hadits. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

M. Ajaj al-Khathib. 2000. Ushul al-Hadits (Terjemahan). Jakarta : Gaya Media Pratama.

Nuruddin ‘Itr. “Ulûm al-Hadîts”. diterjemahkan oleh Mujiyo. 1994. Manhaj al-Naqd fî
Ulûm al-Hadîts Cet. ke-1, Jilid 2. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Syaikh Manna’ al-Qaththan. 2005. Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

http://faizinlathif.wordpress.com/2009/04/27/metode-pemahaman-hadits-mukhtalif/

http://www.darulkautsar.netarticle.php?ArticleID=811

H. Mahmud Aziz dan Mahmud Yunus. 1984. Ilmu Mustholah Hadis. Jakarta: PT Hadikarya Agung.

Saeful Hadi. 2013. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Sabda Media.

Alawy Syihab. 2013. Hadits Maqbul dan Mardud. (onlen). (http:// Hadist maqbul dan mardud -
Education Blog.htm). Diakses 29 juli 2013.

Anda mungkin juga menyukai