Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
   Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan
perantara malaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin
yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal.
           
Artinya :
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl :
89).1
         Mempelajari isi Al-Qur’an akan menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan
dan pengetahuan, meningkatkan perspektif baru dan selalu menemui hal-hal yang selalu baru.
Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan isinya yang menunjukkan Maha Besarnya
Allah sebagai penciptanya.
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Namun tidak semua orang yang paham bahasa
Arab otomatis bisa memahami dan menafsirkan Al-Qur’an. Maka dari itu, untuk dapat mengetahui/
memahami isi kandungan Al-Qur’an diperlukanlah ilmu yang mempelajari bagaimana tata cara
menafsiri Al-Qur’an yaitu ‘Ulumul Qur’an .

B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Pengertian studi Alquran/Ulumul Qur’an ?
2. Apa tujuan dan ruang lingkup mempelajari studi Alquran/Ulumul Quran ?
3. Apa saja nama-nama Al-Qur’an dan contoh dalam ayat atau al-Hadits ?
4. Apa ma’na Munasabatul Ayat /Surat ?
5. Apa saja Ayat-ayat/ Surat yang bermunasabah ?
6. Apa hikmah memahami munasabatul antar ayat dan antar surat ?
7. Bagaimana pengaplikasian antar ayat / antar surat yang bermunasabah ?
8. Apa ma’na Nasakh Wa Mansukh ?
9. Sebutkan contoh peristiwa terjadinya proses Nasakh wa mansukh ayat-ayat Al-Qur’an atau al-
Hadits!
10. Bagaimana pandangan para ahli tentang masalah Nasakh Wa Mansukh Alquran (ayat dengan ayat,
ayat dengan Hadis, Hadits dengan ayat) ?
11. Apa ma’na Tafsir Al-Qur’an ?
12. Bagaimana tata cara penafsiran Ayat-ayat Al-Qur’an ?
13. Ilmu-ilmu apa saja yang digunakan sebagai alat penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an ?

B. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan yang dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Mengetahui definisi studi Alquran/Ulumul Qur’an
2. Mengetahui dan ruang lingkup mempelajari studi Alquran/Ulumul Quran
3. Mengetahui nama-nama Al-Qur’an dan contoh dalam ayat atau al-Hadits
4. Mengetahui ma’na Munasabatul Ayat /Surat
5. Mengetahui saja Ayat-ayat/ Surat yang bermunasabah
6. Mengetahui hikmah memahami munasabatul antar ayat dan antar surat
7. Mengetahui pengaplikasian antar ayat / antar surat yang bermunasabah
8. Mengetahui ma’na Nasakh Wa Mansukh
9. Mengetahui contoh peristiwa terjadinya proses Nasakh wa mansukh ayat-ayat Al-Qur’an atau al-
Hadits
10. Mengetahui pandangan para ahli tentang masalah Nasakh Wa Mansukh Alquran (ayat dengan ayat,
ayat dengan Hadis, Hadits dengan ayat)
11. Mengetahui ma’na Tafsir Al-Qur’an
12. Mengetahui tata cara penafsiran Ayat-ayat Al-Qur’an
13. Mengetahui Ilmu-ilmu apa saja yang digunakan sebagai alat penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mengenal ‘Ulumul Qur’an
1. Pengertian Ulumul Qur’an
          Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata penyusun, yaitu ‘Ulum dan
al-Qur’an. Kata ‘Ulum sendiri merupakan bentuk jamak dari kata ‘ilm. ‘Ulum berarti al-fahmu wa
al-ma’rifat (pemahaman dan pengetahuan). Sedangkan, ‘Ilm yang berarti al-fahmu wa al-idrak
(paham dan menguasai).1 Kata al-Qur'an berasal dari bahasa Arab merupakan akar kata dari qara’a
(membaca). Pendapat lain bahwa lafal al-Quran yang berasal dari akar kata qara'a juga memiliki
arti al-jam'u (mengumpulkan dan menghimpun). Jadi lafal qur’an dan qira'ah memiliki arti
menghimpun dan mengumpulkan sebagian huruf-huruf dan kata-kata yang satu dengan yang
lainnya.2 Adapun secara terminologi, al-Qur’an didefinisikan menurut Muhammad ‘Abd al-Azim al-
Zarqani sebagai berikut:

Artinya: al-Qur’an adalah firman Allah Swt, yang mengandung mukjizat, yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw, yang tertulis dalam mushaf, diriwayatkan secara mutawatir yang
merupakan ibadah bagi yang membacanya3

Ulumul Qur’an secara terminologi oleh ulama didefinisikan sebagai berikut:


1. Imam al-Zarqani

Artinya: Sejumlah pembahasan yang berkaitan dengan al-Qur’an al karim dari segi turunnya,
urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, tafsirnya, kemukjizatannya, nasikh-
mansukhnya, dan penolakan hal-hal yang meragukannya dan selainnya.
1
Achmad Abubakar, La Ode Ismail Ahmad, and Yusuf Assagaf, ‘Ulumul Qur’an : Pisau Analisis Dalam Menafsirkan
Al-Qur’an - Repositori UIN Alauddin Makassar’, Semesta Aksara, 2019. h. 1.
2
Abubakar, Ahmad, and Assagaf. ‘Ulumul Qur’an.., h. 4
3
Mardan, Al-Qur’an: Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an, Cet. I (Jakarta: Mapan, 2009). h. 29.
2. Manna’ al-Qaththan

Artinya: Ilmu yang membicarakan bahasan-bahasan yang berkaitan dengan al-Qur’an dari sisi
pengetahuan asbab an-nuzul, pengumpulan al-Qur’an, urutannya, pengetahuan tentang surat Makkiy
dan Madaniy, nasikh-mansukh, muhkam dan mutasyabih dan bahasan lain yang berhubungan
dengan al-Qur’an.4

2. Tujuan Dan Ruang Lingkup Ulumul Qur’an


a. Tujuan Ulumul Qur’an
Ulumul quran sebagai dari ilmu yang memiliki koelasi positif dengan al-Quran memiliki
urgensi yang sangat penting untuk mempelajarinya, diantaranya adalah :
1. Untuk memahami kandungan kalamullah yaitu al-Quran.
2. Untuk mengetahui cara dan gaya serta methode yang digunakan oleh para mufasir dalam
menafsirkan al-Quran disertai dengan penjelasan tentang tokoh-tokoh ahli tafsir kenamaan dan
kelebihan-kelebihan yang dimilikinya.
3. Untuk mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan al-Quran.
b. Ruang Lingkup Ulumul Qur’an
Ruang lingkup pembahasan Ulumul Qur’an pada dasarnya luas dan sangat banyak karena
segala aspek yang berhubungan dengan al-Qur’an, baik berupa ilmu agama seperti tafsir, ijaz, dan
qira'ah, maupun ilmu-ilmu bahasa Arab seperti ilmu balaghah dan ilmu irab al-Qur’an. Namun,
menurut Hasbi ash-Shidiqie (1904-1975 M), berbagai macam pembahasan Ulumul Qur'an tersebut
pada dasarnya dapat dikembalikan kepada beberapa pokok bahasan saja, antara lain:
1. Nuzul. Aspek ini membahas tentang tempat dan waktu turunnya ayat atau surah al-Qur’an.
Misalnya: makkiyah, madaniyah, safariyah, hadhariah, nahariyah, syita'iyah, lailiyah,
shaifiyah, dan firasyiah. Pembahasan ini juga meliputi hal yang menyangkut asbab an-nuzul
dan sebagainya.

4
Rusydi Khalid, Mengkaji Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Makassar: Alauddin University Press, 2011). h. 2
2. Sanad. Aspek ini meliputi hal-hal yang membahas sanad yang mutawatir,syadz, ahad,
bentuk-bentuk qira'at (bacaan) Nabi, para penghapal dan periwayat al-Qur’an, serta cara
tahammul (penerimaan riwayat).
3. Ada’ al-Qira'ah. Aspek ini menyangkut tata cara membaca al-Qur'an seperti waqaf,
ibtida', madd, imalah, hamzah, takhfif, dan idgham.
4. Aspek pembahasan yang berhubungan dengan lafazh al-Qur’an, yaitu tentang gharib, mu'rab,
musytarak, majaz, muradif, isti'arah, dan tasybih.
5. Aspek pembahasan makna al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum, misalnya ayat yang
bermakna 'amm dan tetap dalam keumumannya, ‘amm yang dimaksudkan khusus, 'amm yang
dikhususkan oleh sunnah, nash, zhahir, mujmal, mufashshal, mafhum, manthuq, muthlaq,
muqayyad, muhkam, mutasyabih, musykil, nasikh mansukh, mu'akhar, muqaddam, ma'mul
pada waktu tertentu, dan ma'mul oleh seorang saja.
6. Aspek Pembahasan makna al-Qur’an yang berhubungan dengan lafazh, yaitu fashl, washl,
ithnab, ijaz, musawah, dan gashr.5

3. Nama-Nama Al-Qur’an Dan Contoh Dalam Ayat Atau Al-Hadits


Iman As-Suythi menuturkan dalam kitabnya, Al-Itqan fi Ulimil Qur’an : Al-Jahid berkata :
“Allah telah menamai kitab-Nya dengan nama yang berbeda sekali dengan nama yang diistilahkan
oleh bangsa arab terhadap kalimat dan tafshil. Allah menamai jumlah kalimat-kalimat-Nya
dengan Qur’an, sedang bangsa Arab menamai jumlah kalimat-kalimatnya dengan Diwan. Allah
menamai bagian-bagian kitab-Nya dengan Surat, sedang bangsa arab menamainya dengan Qasidah.
Allah menamai bagian-bagian surat dengan Ayat, sedang bangsa arab menamainya dengan Bait.
Allah menamai akhir Al-Qur’an dengan Fashilah, sedang bangsa arab menamainya
dengan Qafiyah.6
Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa Abul Ma’ali Syaizalah, yaitu pengarang kitab Al-
Burhan Fi Musykilatil Qur’an, menyebutkan nama-nama Al-Qur’an dengan 55 nama, yaitu
sebagaimana di terangkan Allah dalam berbagai ayat. Yaitu : Al-Kitab, Al-Mubin, Al-Qur’an, Al-
Karim, Al-Kalam, An-Nur, Al-Huda, Ar-Rahman, Alfurqan, Asy-Syifa, Al-Mau’izhah, Adz-Dzikru,
Al-Mubaarak, Al-‘Liyy, Al-Hikmah, Al-Muhaimin, Al-Hablu, Ash-Shirothol Mustaqim, Al-
Muqayyim, Al-Qaul, Al-Fashlu, An-Nabaul ‘Adhim, Ahsanul Hadits, Al-Matsani, Al-Mutasyabih,
At-Tanzil, Ar-Ruh, Al-Wahyu, Al-‘Rabiy, Al-Bashair, Al-Bayan, Al-‘Ilmu, Al-Haq, Al-Haadi,

5
Anshori Lal, ‘Ulumul Qur’an “Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan”’, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2016. h. 4
6
Mashur Sirojuddin Iqbal, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung : Angkasa, 1987), Hal.5
‘Ajaba, At-Tadzkirah, Al-‘Urwatul Wutsqa, Ash-Shidqu, Al-‘Adl, Al-Amru, Al-Munadi, Al-Busyro,
Al-Majid, Al-Zabur, Al-‘Aziz, Al-Balagh Al-Qashash, Al-Mukarromah, Al-Marfu’ah, Dan Ash-
Shuhuf.7
Di antara nama-nama tersebut ialah :
1.      Al-Qur’an, berdasarkan firman Allah dalam suroh al-Isra’ : 9 :
...‫إِ َّن هَـ َذا ْالقُرْ آنَ يِ ْه ِدي لِلَّتِي ِه َي أَ ْق َو ُم‬
“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberi petunjuk pada jalan yang amat lurus...”
2.      Al-Furqon, berdasarkan firman Allah dalam suroh al-Furqon : 1 :
ً‫ك الَّ ِذي نَ َّز َل ْالفُرْ قَانَ َعلَى َع ْب ِد ِه لِيَ ُكونَ لِ ْل َعالَ ِمينَ نَ ِذيرا‬ َ َ‫تَب‬
َ ‫ار‬
                 “Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqan kepada hamba-Nya, agar dia
menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.”
3.      At-Tanzil, berdaasarkan firman Allah dalam suroh Asy-Syu’aro : 192-193 :
ُ‫ نَ َز َل بِ ِه الرُّو ُح اأْل َ ِمين‬- َ‫َنزي ُل َربِّ ْال َعالَ ِمين‬
ِ ‫َوإِنَّهُ لَت‬
                 “Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Ia
dibawa turun oleh Ar-ruh Al-Amin (Jibril as)”
4.      Adz-Dzikr, berdasarkan firman Allah dalam suroh Al-Hijr : 9 :
َ‫إِنَّا نَحْ نُ نَ َّز ْلنَا ال ِّذ ْك َر َوإِنَّا لَهُ لَ َحافِظُون‬
            “Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya.”
5.      Al-Kitab, berdasarkan firman Allah dalam suroh Ad-Dukhan : 2 :
‫ب ْال ُمبِي ِن‬
ِ ‫َو ْال ِكتَا‬
                 “Demi kitab (al-Qur’an)  yang menjelaskan.”

B. Munasabatul Ayat /Surat


1. Ma’na Munasabatul Ayat /Surat
Kata munasabah secara etimologi merupakan bentuk masdar dari kata nasaba yang berarti
dekat. Menurut As-Suyuthi munasabah berarti al- musyakalah (keserupaan) dan al-muqarabah
(kedekatan).8
Sedangkan pengertian munasabah secara terminologi, menurut Manna’ Al-Qaththan9:

7
Ibid. Hal.-515
8
Jalal al-Din al-Suyuti, ‘Asrar Tartib Al-Qur’an’, Cairo: Dar Al-Ictisam, 1976. h.68-69
9
Manna’ Al-Qaththan, ‘Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’An’, Riyadh: Mansyurat Al-‘Ashr Al- Hadits, 1973. h. 97.
Artinya:
Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antar ayat
pada beberapa ayat, atau antara surah (di dalam Al- Qur’an).
Munasabah dalam konteks Ulum Al-Qur’an menjelaskan korelasi makna antar-ayat atau
antar-surah, baik korelasi itu bersifat umum maupun bersifat khusus: ‘aqli (rasional), hassiy
(persepsi), atau khayali (imajinatif), atau korelasi berupa sebab-akibat, ‘illat dan ma'lul, perlawanan

dan perbandingan.10

2. Ayat-Ayat/ Surat Yang Bermunasabah


Bentuk-bentuk munasabah menurut Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsirnya al-Wasith
memiliki patokan dalam dua hal yaitu, hubungan ayat dengan ayat lainnya dan hubungan surat
dengan surat lainnya. Dua pokok hubungan tersebut di rinci sebagai berikut:
1. Hubungan ayat dengan ayat meliputi:
a. Hubungan antara kalimat dengan kalimat dalam ayat
b. Hubungan ayat dengan ayat dalam satu surat
c. Hubungan penutup (fasilah) dengan kandungan ayat
2. Hubungan surat dengan surat meliputi:
a. Hubungan awal uraian dengan akhir uraian surat
b. Hubungan nama surat dengan tujuan turunnya
c. Hubungan antara satu surat dengan surat sebelumnya
d. Hubungan penutup surat dengan awal surat berikutnya11
Setelah mengetahui bentuk-bentuk munasabah di atas yang digunakan oleh Wahbah Zuhaili
dalam kitab tafsirnya al-Wasith Bahwa digunakannya kaidah tata bahasa yang sederhana,
penjabaran dalam sebab-sebab turunnya ayat dan menghindari cerita dan riwayat israiliyyat, juga

10
Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Husni, Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Quran, terj. Rosihon
Anwar, Pustaka Setia, Bandung, 1999, h. 305.

Faudzul Adlim, “tentang Teori munasabah dan aplikasinya dalam Alquran”, jurnal Ilmu Alquran dan Tafsir (Gresik :
11

Al-Furqan, 2018), 29
menjaga kuat prinsip-prinsip tafsir bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi serta berpegang teguh pada kitab-
kitab terdahulu yang menghasilkan tafsir al-Wasith .

3. Hikmah Memahami Munasabatul Antar Ayat Dan Antar Surat


Kajian tentang munasabah sangat penting dalam penafsiran al-Qur’an yang berfungsi
untuk menunjukkan keserasian antara satu surah dengan surah berikutnya, keserasian antara kalimat
dengan kalimat dalam satu ayat, dan juga keserasian antara satu ayat dengan ayat berikutnya.
Ketika kita menemukan ayat- ayat yang nampaknya tidak punya kaitan sama sekali, sebagian orang
yang tidak memahami munasabah akan langsung mempertanyakan kenapa penyajian al- Qur'an
melompat-lompat dari satu tema ke tema yang lain atau dari satu masalah ke masalah lain secara
tidak sistematis. Setelah mengetahui munasabah, orang menyadari betapa al-Qur'an tersusun
dengan sangat serasi dan sistematis.

4. Pengaplikasian Antar Ayat / Antar Surat Yang Bermunasabah


a. Munasabah antar surah dengan surah sebelumnya
Menurut As-Suyuthi, munasabah antar-satu surah dengan surah sebelumnya berfungsi
menyempurnakan atau menerangkan ungkapan pada surah sebelumnya Nasr Abu Zaid menjelaskan
bahwa terdapat hubungan stilistika- kebahasaan antara surah Al-Fatihah dengan surah Al-Baqarah.
Dalam Surah Fatihah ayat 1 sampai 7 yang berbunyi :
          
          

Artinya :
4. Pemilik hari pembalasan.
5. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami
mohon pertolongan.
6. Tunjukilah kami jalan yang lurus.
7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Ayat tersebut memiliki hubungan stilistika-kebahasaan yang tercermin dalam kenyataan


pada ayat-ayat terakhir surah Al-Fatihah. Kemudian mendapatkan jawaban pada permulaan surah
Al-Baqarah ayat 1 sampai 2 yaitu :
           
: Artinya
1. Alif Lam Mim
2. Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.

Atas dasar ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa teks tersebut adalah berkesinambungan:
“Seolah-olah ketika mereka memohon hidayah (petunjuk) ke jalan yang lurus, dikatakanlah kepada
mereka: Petunjuk yang lurus yang Engkau minta itu adalah Al-Kitabin”.

b. Munasabah antar ayat


Munasabah antar-ayat yang menggunakan pola penguat (ta’kid) yaitu apabila salah satu
ayat atau bagian dari ayat tersebut memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak di
sampingnya. Contoh firman Allah QS. Al-Fatihah/1:1-2:
         
: Artinya
“(1) Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (2). Segala puji
bagi Allah, Tuhan semesta alam”12.
Ungkapan rabb al-‘alamin pada ayat kedua berfungsi memperkuat kata al- rahman dan kata
Ar-rahim pada ayat pertama surah Al-Fatihah.
Munasabah antarayat menggunakan pola penjelas (tafsir), yakni apabila
satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat yang berada di
sampingnya. Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 2-3:
              
     
Artinya
“(2) Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa (3)
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”

Makna dari muttaqin pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan demikian, dapat
dimaknai bahwa orang yang bertakwa adalah orang yang meyakini hal-hal yang gaib, mengerjakan
perintah shalat, dan seterusnya.

C. Nasakh Wa Mansukh

12
Republik Indonesia. Bukhara: Al-Qur’an..,h. 1
1. Ma’na Nasakh Wa Mansukh
Kata nasikh dan mansukh merupakan bentuk ubahan dari kata naskh, kata tersebut adalah
berbentuk masdar, dari kata kerja masa lampau (fi’il madli) nasakha, dari sisi bahasa kata nasakh
sendiri memiliki banyak makna, yaitu: membatalkan, menghilangkan, menghapus, mengalihkan
dan sebagainya. Namun dari sekian banyak definisi itu, menurut tarjih ahli bahasa,
pengertian naskh yang mendekati kebenaran adalah nasakh dalam pengertian al-izalah
(mengangkat sesuatu dan menempatkan yang lain pada tempatnya).13
naskh secara terminologi adalah ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan
atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu,
sehingga ketentuan yang berlaku adalah yang ditetapkan belakangan.
Sedangkan, Mansuhk menurut bahasa ialah sesuatu yang di hapus atau dihilangkan atau
dipindah atau disalin atau dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama’ ialah hukum syara’
yang diambil dari dalil syara’ yang sama, yang belum diubah dengan di batalkan dan diganti
dengan hukum syara’ yang baru yang datang kemudian.
Adapun hukum yang dibatalkan disebut mansukh, sedangkan hukum yang membatalkan disebut
nasikh. Al-nasikh dapat bermakna pembatalan terhadap sesuatu yang telah terjadi sebelumnya,
sementara al-mansukh bermakna sesuatu yang telah terjadi dibatalkan karena adanya yang
dibatalkan (al-nasikh).14

2. Contoh Peristiwa Terjadinya Proses Nasakh Wa Mansukh Ayat-Ayat Al-Qur’an Atau Al-
Hadits
Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian dinasakh dengan
dalil Al-Qur’an. Seperti shalat yang semula menghadap Baitul Maqdis kemudian menjadi
menghadap Ka’bah di Masjidil Haram setelah turun ayat Al-Qur’an surah Al Baqarah ayat 144:
            
             
           
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami
akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil
Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya
orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui,

Musthafa Zaid, Al-Naskh Fi Al-Qur’an Al-Karim (Beirut: Dar al-FIkr, 1991), h. 67.
13

14
Achmad Abu Bakar, La Ode Ismail Ahmad, and Yusuf Assagaf, Ulumul Qur’an : Pisau Analisis
Dalam Menafsirkan Al-Qur’an, ed. by Budiman (Yogyakarta: Semesta Aksara, 2019), h. 101
bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak
lengah dari apa yang mereka kerjakan” QS. Albaqarah 144)

Suatu hukum syara’ yang dasarnya sunnah kemudian dinasakh atau dihapus dengan dalil
syara’ dari sunnah juga. Contohnya adalah larangan ziarah kubur yang dinasakh menjadi boleh.
Hadisnya seperti yang diriwayatkan At-Tirmidzi hadisRiwayat Turmudziy
ِ ‫ت نَهَ ْيتُ ُك ْم ع َْن ِزيَا َر ِة ْالقُبُوْ ِر فَقَ ْد اُ ِذنَ لِ ُم َح َّم ٍد فِى ِزيَا َر ِة قَب ِْر اُ ِّم ِه فَ ُزوْ رُوْ هَا فَاِنَّهَا تُ َذ ِّكر ُْا‬
َ‫آلخ َرة‬ ُ ‫ قَ ْد ُك ْن‬: ‫ال َرسُوْ ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬
َ َ‫ق‬
“Dari Buraidah ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, saya pernah melarang kamu berziarah kubur. Tapi
sekarang, Muhammad telah diberi izin ke makam ibunya, maka sekarang berziarahlah! Karena perbuatan
itu dapat mengingatkan kamu kepada akhirat.”
Hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil ayat Al-Qur’an kemudian dinasakh dengan
dalil ayat Al-Qur’an pula. Tentang hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Mereka yang berpendapat bahwa nasikh dan mansukh ada terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Seperti Misalnya QS. al-Mujadilah ayat 12
         
              
"Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul
hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang
demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang
akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Ayat ini di-nasakh hukumnya pada ayat selanjutnya, yaitu ayat 13.
            
           
 
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah
memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan."

3. Pandangan Para Ahli Tentang Masalah Nasakh Wa Mansukh Alquran (Ayat Dengan Ayat
Ayat Dengan Hadis, Hadits Dengan Ayat
a. Menerima Adanya Nasakh
Ulama-ulama yang menerima adanya nasakh berpendapat, nasakh adalah suatu hal yang
dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’. Berdasarkan dalil-dalil
sebagai berikut;
(1) Perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Allah bisa saja memerintahkan sesuatu
pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang lebih
mengetahui kepentingan hamba-hamba- Nya
(2) Nash-nash kitab dan sunnah menunjukkan kebolehan nasakh dan terjadinya, antara lain
Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/2:106

Ayat mana saja[81] yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami
datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu
mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
b. Menolak Adanya Nasakh
Diantara yang menolak adanya nasakh adalah Abu Muslim al Isfahani. Kemudian diikuti
oleh para ulama mutaakhirin. Diantara alasan mereka adalah;
1) Sekiranya dalam Al-Qur’an ada nasakh, maka berarti dalam Al-Qur’an ada yang salah atau
batal. Sedang dalam Al-Qur’an dinyatakan tidak ada kebatalan
2) Tidak ada kesepakatan para ulama berapa jumlah ayat yang telah dinasakh.
3) Tidak ada penegasan dari Nabi tentang ada atau tidaknya nasakh.
4) Adanya ayat yang nampaknya bertentangan dan yang mungkin belum dapat dikompromikan,
belum bisa menjadi jaminan adanya nasakh. Ternyata banyak ayat yang semula diduga telah
dinasikh-kan, dapat dikompromikan dengan jalan takhsikh, atau taqyid atau ta’wil atau dengan
cara lain.

D. Tafsir Al-Qur’an
1. Ma’na Tafsir Al-Qur’an
Secara etimologi kata tafsir berarti al-ibanah wa kasyfu al-mughattha (menjelaskan dan
menyingkap yang tertutup). Dalam kamus Lisan al-‘Arab, tafsir berarti menyingkap maksud kata
yang samar.
Sedangkan secara terminologi penulis akan mengungkapkan pendapat para pakar. Al-
Zarqoni menjelaskan tafsir adalah ilmu untuk memahami al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad dengan menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmah-
hikmahnya.
Menurut Abû Hayyân sebagaimana dikutip Manna al-Qaththân, mendefinisikan tafsir sebagai
ilmu yang membahas cara pengucapan lafaz al-Qur’an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya
baik ketika berdiri sendiri maupun tersusun, dan makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun
serta hal lain yang melengkapinya.

ٌ
Ditinjau dari segi bahasa, secara umum diketahui bahwa kata al-qur’an (‫)القران‬ berasal dari
kata ‫قرا‬ yang berarti mengumpul atau menghimpun. Qira’ah berarti merangkai huruf-huruf dan kata-
kata satu dengan lainnya dalam satu ungkapan kata yang teratur. Al-qur’an asalnya sama dengan
qira’ah, yaitu akar kata (mashdar-infinitif) dari qara’a, qira’atan wa qur’anan. Allah menjelaskan :
         
“Sesungguhnya Kami-lah yang bertanggung jawab mengumpulkan (dalam dadamu) dan
membacakannya (pada lidahmu). Maka apabila kami telah menyempurnakan bacaannya
(kepadamu, dengan perantara Jibril), maka bacalah menurut bacaannya itu.” (Al-Qiyamah : 17-
18).15

Disamping itu masih ada lagi bentuk mashdar dari lafadh qara’a yaitu qur’ (‫ )قُرْ ء‬tanpa alif
dan nun yang mengikuti wazan fu’l (‫)فُ ْع ٌل‬. Dengan demikian kata qara’a mempunyai tiga wazan
(bentuk/sighat) mashdar, yakni qur’an (‫)قرآن‬, qira’ah, dan qur’ (‫)قُرْ ء‬. Ketiga wazan tersebut tetap
memiliki satu makna yaitu bacaan. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa kata al-Qur’an
merupakan bentuk mashdar yang mengandung fungsi makna isim maf’ul, sehingga maknanya
menjadi yang dibaca atau bacaan.16
Para Ahli ushul fiqih menetapkan bahwa al-Qur’an adalah nama bagi keseluruhan al-Qur’an
dan nama untuk bagian-bagiannya yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Maka jadilah ia
sebagai identitas diri.
Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan dengan kebenaran mutlak yang menjadi sumber ajaran
Islam. Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar.
Ia berfungsi untuk  memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi
maupun kelompok.17 Ia juga menjadi tempat pengaduan dan pencurahan hati bagi yang membacanya
2. Tata Cara Penafsiran Ayat-Ayat Al-Qur’an
Para Ulama Tafsir terkemuka dari zaman ke zaman telah menjelaskan kepada kita cara yang
dibenarkan dalam menafsirkan Al-Qur’an, seperti penjelasan Syaikh Manna’ Al-

15
Syaikh Manna’ Al-qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 16

16
M. Syakur, Ulum al-Qur’an, (Semarang: PKPI2 – Universitas Wahid Hasyim, 2001), hlm. 2
17
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995), h. 172
Qhaththan rahimahullah dalam kitab beliau Mabahits fii Uluumil Qur’an bahwa metode yang dalam
menafsirkan Al-Qur’an ada 2, yaitu :
a. Tafsir bil Ma’tsur (Atsar) : Yaitu tafsir yang disandarkan pada riwayat yang shahih, dengan
tingkatan-tingkatan yang telah disebutkan sebelumnya dalam syarat-syarat Tafsir yaitu : 1). Tafsir
Al-Qur’an dengan menggunakan Al-Qur’an itu sendiri, 2). Tafsir Al-Qur’an dengan As-Sunnah
(Hadits) karena As-Sunnah itu datang sebagai penjelas untuk Kitabullah, 3). Tafsir Al-Qur’an
dengan riwayat dari para Sahabat Rasulullah ‫ ﷺ‬karena mereka adalah orang-orang yang lebih tau

tentang Kitabullah, 4). Tafsir Al-Qur’an dengan perkataan kibar (Pembesar) Tabi’in karena mereka
adalah orang-orang yang mengambil ilmu dari para Sahabat secara umumnya. (Mabahits fii Ulumil
Qur’an : 1/358) Syaikh Ibrahim Muhammad al-Jaromiy menyebutkan dalam kitab beliau Mu’jamu
Ulumil Qur-an contoh Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an yaitu:
13 :‫ َّن الرِّش ْ كَ لَ ُظمْل ٌ َع ِظ ٌمي [لقامن‬:‫] فرّس ه قوهل تعاىل‬82 :‫ َولَ ْم يَلْب ُِسوا مياهَن ُ ْم ب ُِظمْل ٍ [األنعام‬:‫قول هللا‬.
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
“Firman Allah : Dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezhaliman (QS. Al-An’am:
82), makna ‘kezholiman’ di sini ditafsirkan oleh firman Allah : Sesunggguhnya kesyirikan adalah
kezholiman yang besar (QS. Luqman: 13)”
b. Tafsir Al-Qur’an dengan sebatas pendapat dan ijtihad tanpa dasar adalah perkara yang diharamkan,
dan tidak boleh dilakukan, Allah ‫ ﷻ‬berfirman: “dan Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak

kamu miliki ilmunya” (QS. Al-Isra’: 36), dan Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: Barangsiapa yang berkata

tentang Al-Qur’an berdasarkan pendapatnya atau tanpa ilmu maka hendaklah ia mengambil tempat
di neraka, dan dalam lafazh yang lain : “Barangsiapa yang berbicara tentang Al-Qur’an dengan
pendapatnya walaupun ia benar maka sesungguhnya ia telah salah”18
Adapaun Tafsir dengan sebatas pendapat pribadi, maka ini harus dilakukan pengujian, jika sesuai
dengan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Bahasa Arab maka ia bisa diterima, namun jika tidak sesuai
maka ditolak, karena pendapat dalam masalah ini adalah serupa dengan hawa nafsu”. (Fatawa Asy-
Syabakah Al-Islamiyyah: 2/1544)

3. Ilmu-Ilmu Sebagai Alat Penafsiran Ayat-Ayat Al-Qur’an


1. Ilmu Lughat.
Yaitu ilmu untuk mengetahui arti setiap kata Al-Qur'an. Mujahid RA berkata: "Barang siapa
beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka tidak layak baginya berkomentar tentang tentang
https://konsultasisyariah.com/36000-cara-menafsirkan-al-quran-dengan-benar-dan-fenomena-otak-atik-gatuk-
18

menafsirkan-al-quran.html
ayat-ayat Al-Qur'an tanpa mengetahui ilmu lugat. Sedikit pengetahuan tentang lughat tidaklah
cukup karena kadang kala satu kata mengandung berbagai arti. Jika hanya mengetahui satu atau dua
arti, tidaklah cukup. Bisa jadi kata itu mempunyai arti dan maksud yang berbeda.

2. Ilmu Nahwu (tata bahasa).


Sangat penting mengetahui ilmu Nahwu, karena sedikit saja i'rab hanya didapat dalam ilmu
Nahwu.  Ilmu ini mempelajari tentang jabatan kata dalam kalimat dan harakat akhirnya, baik
berubah (i'rab) atau tetap (bina). kaidah-kaidah yang dengannya diketahui hukum-hukum akhir-
akhir kata bahasa arab dalam keadaan tersusun.

3. Ilmu Sharaf (perubahan bentuk kata).


Mengetahui ilmu Sharaf sangat penting, karena perubahan sedikit bentuk suatu kata akan
mengubah maknanya. Ibnu Faris berkata, "jika seseorang tidak mempunyai ilmu sharaf, berarti ia
telah kehilangan banyak hal." Dalam Ujubatut Tafsir, Syeikh Zamakhsyari menulis bahwa ada
ٍ ‫(" }يَوْ َم نَ ْد ُعوْ ا ُك َّل أُنَا‬ingatlah)
seseorang yang menerjemahkan ayat Al-Qur'an yang berbunyi: {‫س بِا َما ِم ِهم‬
pada suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya." (Surah Al
Isra [17]: 71). Karena ketidaktahuannya tentang ilmu Sharaf, ia menerjemahkan ayat itu seperti ini:
"Pada hari ketika manusia dipanggil dengan ibu-ibu mereka." Ia mengira bahwa kata 'imaam
(pemimpin) yang merupakan bentuk mufrad (tunggal) adalah bentuk memahami ilmu sharaf, tidak
mungkin akan mengartikan 'imaam sebagai ibu-ibu.

4. Ilmu Isytiqaq (akar kata).


Mengetahui ilmu isytiqaq akan dapat diketahui asal-usul kata. Ada beberapa kata yang berasal dari
dua kata yang berbeda, sehingga berbeda makna. Seperti kata 'masih' berasal dari kata 'masah' yang
artinya menyentuh atau menggerakkan tangan yang basah ke atas suatu benda, atau juga berasal
dari kata 'masahat' yang berarti ukuran.

5. Ilmu Ma'ani.
Ilmu ini sangat penting diketahui, karena dengan ilmu ini susunan kalimat dapat diketahui
dengan melihat maknanya. Ilmu ini mempelajari hal ihwal lafazh atau kata bahasa arab yang
sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi.

6. Ilmu Bayaan.
Yaitu ilmu yang mempelajari makna kata yang zahir dan yang tersembunyi, juga mempelajari
kiasan serta permisalan kata.

7. Ilmu Badi'.
Ilmu yang mempelajari keindahan bahasa. Ketiga bidang ilmu di atas juga disebut sebagai
cabang ilmu Balaghah yang sangat penting dimiliki oleh para ahli tafsir. Al-Qur'an adalah mukjizat
yang agung, maka dengan ilmu-ilmu di atas, kemukjizatan Al-Qur'an dapat diketahui.

8. Ilmu Qira'at.
Ilmu ini sangat penting dipelajari, karena perbedaan bacaan dapat mengubah makna ayat. Ilmu
ini membantu menentukan makna paling tepat di antara makna-makna suatu kata.

9. Ilmu Aqa’id.
Ilmu yang mempelajari dasar-dasar keimanan. Kadangkala ada satu ayat yang arti zahirnya
tidak mungkin diperuntukkan bagi Allah. Untuk memahaminya diperlukan takwil ayat itu, seperti
ayat yang berbunyi: {‫" }يدق هللا فوق إيديهم‬Tangan Allah di atas tangan mereka." (Surah Al Fath [48]:
10)

10. Ushul Fiqih.


Mempelajari ilmu ushul fiqih sangat penting, karena dengan ilmu ini kita dapat mengambil
dalil dan menggali hukum dari suatu ayat.

11. Ilmu Asbabun-Nuzul.


Yaitu ilmu untuk mengetahui sebab-musabab turunnya ayat, sehingga suatu ayat mudah
dipahami. Kadangkala maksud suatu ayat itu bergantung pada asbabun nuzul-nya.

12. Ilmu Nasikh Mansukh.


Ilmu ini mempelajari suatu hukum yang sudah dihapus dan hukum yang masih tetap berlaku.

13. Ilmu Fiqih.


Ilmu ini mengkaji hukum-hukum syariat secara rinci dan akan mudah mengetahui hukum
secara global.
14. Ilmu Hadits.
Ilmu ini perlu dikuasai untuk mengetahui hadits-hadits yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an.

15. Ilmu Wahbi.


Ilmu wahbi/ Ilmu ladunni adalah ilmu yang muncul di dalam rahasia hati hamba Allah dengan
tanpa sebab-sebab usaha belajar, seseorang akan sangat berpotensi meraih ilmu wahbi apabila
seseorang tersebut. Hamba Allah yang shaleh, yang taqwa kepada-Nya Ilmu khusus yang diberikan
kepada Allah kepada hamba-Nya yang istimewa, sebagaimana sabda Nabi SAW: "Barangsiapa
mengamalkan apa yang ia ketahui, maka Allah Ta'ala akan memberikan kepadanya ilmu yang tidak
ia ketahui".
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa ‘Ulumul Qur’an
memiliki kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an yang mempunyai
ruang lingkup pembahasan yang luas. Pertumbuhan dan perkembangan ‘Ulumul Qur’an
menjelma menjadi suatu disiplin ilmu melalui proses secara bertahap dan sesuai dengan
Kebutuhan untuk membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaan danpemahamannya. Jadi, Al-
Qur’an adalah pedoman hidup bagi manusia yang disajikan dengan status sastra yang tinggi.
Kitab suci ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia semenjak Al-Qur’an
diturunkan, terutama terhadap ilmu pengetahuan, peradaban serta akhlak manusia.
B. Saran
Demikianlah tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan. Harapan kami
dengan adanya tulisan ini bisa menjadikan kita untuk lebih menyadari bahwa agama islam
memiliki khazanah keilmuan yang sangat dalam untuk mengembangkan potensi yang ada di
alam ini dan merupakan langkah awal untuk membuka cakrawala keilmuan kita, agar kita
menjadi seorang muslim yang bijak sekaligus intelek. Serta dengan harapan dapat
bermanfaat dan bisa difahami oleh para pembaca. Kritik dan saran sangat kami harapkan
dari para pembaca, khususnya dari Dewan Guru yang telah membimbing kami dan para
Mahasiswa demi kesempurnaan makalah ini. Apabila ada kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, kami mohon maaf yang sebesar- besarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abubakar dkk, Achmad .2019. ‘Ulumul Qur’an : Pisau Analisis Dalam Menafsirkan Al-Qur’an -
Repositori UIN Alauddin. Makassar: Semesta Aksara.

Adlim, Faudzul .2018 “Teori Munasabah Dan Aplikasinya Dalam Alquran”, Jurnal Ilmu Alquran
dan Tafsir. Gresik : Al-Furqan.

Al-Husni, Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki .1999.Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Quran, terj. Rosihon
Anwar. Bandung: Pustaka Setia.

Al-Qaththan, Manna’. 1973. ‘Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’An’, Riyadh: Mansyurat Al-‘Ashr Al-
Hadits.

Al-qaththan, Syaikh Manna’. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Al-Suyuti, Jalal al-Din .‘Asrar 1976Tartib Al-Qur’an’.Cairo: Dar Al-Ictisam.

Budiman (ed), 2019,Dalam Menafsirkan Al-Qur’an. Yogyakarta: Semesta Aksara.

https://konsultasisyariah.com/36000-cara-menafsirkan-al-quran-dengan-benar-dan-fenomena-otak-
atik-gatuk-menafsirkan-al-quran.html

Khalid ,Rusydi. 2011. Mengkaji Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Makassar: Alauddin University Press.

Lal, Anshori.2016 ‘Ulumul Qur’an “Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan. Jakarta: PT Raja
Grafindo.

Mardan,.2009.Al-Qur’an: Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an, Cet. I .Jakarta: Mapan.

Quraish Shihab, M. .1995. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan,

Sirojuddin Iqbal, Mashur. 198.7 Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung : Angkasa.

Syakur,M. 2001. Ulum al-Qur’an, Semarang: PKPI2 – Universitas Wahid Hasyim.

Zaid, Musthafa.1991, Al-Naskh Fi Al-Qur’an Al-Karim .Beirut: Dar al-FIkr.


MAKALAH
ULUMUL QUR’AN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Qur’an Hadits

Disusun Oleh :
JAINAL ABIDIN, S,Pd.I
NIM : 20160223

Dosen Pengampu :
Dr. M. Zainal Arif, M.A

FAKULTAS AGAMA ISLAM


JURUSAN PAI PASCA SARJANA (S2) SEMESTER PERTAMA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
TAHUN AKADEMIK : 2020 / 2021

Anda mungkin juga menyukai