Anda di halaman 1dari 59

BAB II

PEMBAHASAN

A. STRATEGI DAN MODEL PENDIDIKAN NABI IBRAHIM AS.

1. Ash-Shaaffat(S. 37): 99-108


          
       
        
          
        
       
         
       
    
a. Tarjamah
99. Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan
memberi petunjuk kepadaku.
100. Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.
101. Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.
102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar”
103.Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya),
(nyatalah kesabaran keduanya).
104. Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim,
105. sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.”
107. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar
108. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian
b. Tafsir
Ayat 99.
ٌ ‫وقَا َل إِنِّى َذا ِه‬ (Dan
Tafsir Jalalain: ‫ب إِلَ ٰى َر ِّب‬ َ Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menghadap
kepada Rabbku) artinya berhijrah demi karena-Nya meninggalkan negeri orang-orang
ِ ‫سيَ ۡه ِد‬
kafir ‫ين‬ َ  (dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku) ke tempat yang aku diperintahkan-Nya
berangkat ke sana, yaitu negeri Syam. Tatkala ia sampai di tanah suci yaitu Baitulmakdis,
berkatalah ia dalam doanya,.
Tafsir Ibnu Katsir: Allah berfirman seraya mengabarkan tentang kekasi-Nya, Ibrahim as. dimana
setelah memenangkannya atas kaumnya serta berputus asa dari keimanan mereka setelah mereka
menyaksikan kekuasaan yang sangat besar, Ibrahim pun pergi meninggalkan mereka seraya
ِ ‫سيَ ۡه ِد‬
berkata: ‫ين‬ ٌ ‫ َوقَا َل إِنِّى َذا ِه‬ (“Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabb-ku, dan Dia
َ ‫ب إِلَ ٰى َربِّى‬
akan memberi petunjuk kepadaku.)
Tafsir Qurasy Sihab: Setelah putus harapan untuk membawa mereka beriman, Ibrâhîm berkata,
"Sesungguhnya aku akan pergi ke tempat yang diperintahkan oleh Allah. Tuhanku akan
memberikan petunjuk ke sebuah tempat yang aman dan negeri yang baik.Ayat100
Tafsir Jalalain: ‫ر ِّب ه َۡب لِى‬ (‘Ya
َ َّ ٰ ‫ ِمنَ ٱل‬ (yang
Rabbku! Anugerahkanlah kepadaku) seorang anak  َ‫صلِ ِحين‬
termasuk orang-orang yang saleh.’).
Ayat 101
َّ ٰ ‫ر ِّب ه َۡب لِى ِمنَ ٱل‬ (“Sesungguhnya
Tafsir Ibnu Katsir:  َ‫صلِ ِحين‬ َ aku pergi menghadap kepada Rabb-ku,
dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Rabb-ku, anugerahkanlah kepadaku [seorang anak]
yang termasuk orang-orang yang shalih.”) yakni anak-anak yang taat, yang menjadi pengganti kaum
dan keluarga yang dia tinggalkan.
Tafsir Qurasy Shihab: Ya Tuhan, berikanlah aku keturunan yang saleh yang akan melanjutkan
misi dakwah setelah aku
Ayat 101
ٰ
ٍ ِ‫فَبَش َّۡر ٰنَهُ ِب ُغلَ ٍم َحل‬ (Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat
Tafsir Jalalain: ‫يم‬
sabar) yakni yang banyak memiliki kesabaran.
ٰ
ٍ ِ‫فَبَش َّۡر ٰنَهُ بِ ُغلَ ٍم َحل‬ (“Maka Kami beri dia kabar gembira dengan
Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: ‫يم‬
seorang anak yang amat sabar.”) ia adalah Isma’il as. Dia adalah anak pertama yang dengannya
Ibrahim diberi kabar gembira, dan ia lebih besar/lebih tua dari Ishaq, menurut kesepakatan kaum
Muslimin dan ahlul kitab.Bahkan di dalam nash kitab mereka disebutkan bahwa Isma’il dilahirkan
ketika Ibrahim berusia 86 tahun. Sedangkan Ishaq dilahirkan ketika Ibrahim berusia 99 tahun.
Tafsir Quraish Shihab: Kemudian malaikat memberinya kabar gembira berupa anak yang cerdas
dan sabar.
Ayat 102
َّ ‫فَلَ َّما بَلَ َغ َم َعهُ ٱل‬ (Maka tatkala anak itu sampai pada umur sanggup berusaha
Tafsir Jalalain: ‫س ۡع َى‬
bersama-sama Ibrahim) yaitu telah mencapai usia sehingga dapat membantunya bekerja; menurut
suatu pendapat bahwa umur anak itu telah mencapai tujuh tahun. Menurut pendapat yang lain
bahwa pada saat itu anak Nabi Ibrahim berusia tiga belas tahun,
‫قَا َل ٰيَبُنَ َّى إِنِّ ٓى أَ َر ٰى‬ (Ibrahim berkata, “Hai anakku! Sesungguhnya aku melihat) maksudnya, telah
melihat  َ‫فِى ۡٱل َمنَ ِام أَنِّ ٓى أَ ۡذبَ ُحك‬ (dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu!) mimpi para nabi adalah mimpi
yang benar, dan semua pekerjaan mereka berdasarkan perintah dari Allah swt.
‫فَٱنظُ ۡر َما َذا تَ َر ٰى‬ (maka pikirkanlah apa pendapatmu!”) tentang impianku itu; Nabi Ibrahim
bermusyawarah dengannya supaya ia menurut, mau disembelih, dan taat kepada perintah-Nya.
ِ َ‫قَا َل ٰيَٓأَب‬ (Ia menjawab, “Hai bapakku) huruf Ta pada lafal Abati ini merupakan pergantian dari Ya
‫ت‬
ۡ
Idhafah ‫ٱف َعلۡ َما ت ُۡؤ َم ُر‬ (kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu) untuk melakukannya  ‫ستَ ِج ُدنِ ٓى إِن‬
َ
َّ ٰ ‫شَٓا َء ٱهَّلل ُ ِمنَ ٱل‬ (Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”)
َ‫صبِ ِرين‬
menghadapi hal tersebut.
َّ ‫فَلَ َّما بَلَ َغ َم َعهُ ٱل‬ (“Maka, tatkala anak itu sampai [pada umur
Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: ‫س ۡع َى‬
sanggup] berusaha bersama-sama Ibrahim.”) yakni menginjak dewasa dan tumbuh besar serta dapat
bepergian bersama ayahnya dan berjalan bersamanya. Dan Ibrahim as. bepergian setiap saat untuk
mencari anak dan istrinya di negeri Faran dan melihat keadaan keduanya. wallaaHu a’lam.
Dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, ‘Atha’ al-Khurasani, Zaid bin Aslam, dan
َّ ‫فَلَ َّما بَلَ َغ َم َعهُ ٱل‬ (“Maka, tatkala anak itu sampai [pada umur sanggup]
lain-lain bahwa makna ayat: ‫س ۡع َى‬
berusaha bersama-sama Ibrahim.”) yakni menginjak dewasa, dewasa dan mampu mengerjakan
pekerjaan Ibrahim, berupa usaha dan pekerjaan.
‫س ۡع َى قَا َل ٰيَبُنَ َّى إِنِّ ٓى أَ َر ٰى فِى ۡٱل َمنَ ِام أَنِّ ٓى أَ ۡذبَ ُحكَ فَٱنظُ ۡر َما َذا تَ َر ٰى‬
َّ ‫فَلَ َّما بَلَ َغ َم َعهُ ٱل‬ (“Maka, tatkala anak itu sampai [pada
umur sanggup] berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku, sesungguhnya aku
bermimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendaptmu?”) ‘Ubaid bin ‘Umair
mengatakan bahwa mimpi para Nabi adalah wahyu. Kemudian, dia membacakan ayat ini.
Ibrahim memberitahukan mimpi itu kepada anaknya agar hal itu menjadi ringan baginya sekaligus
untuk menguji kesabaran, ketangguhan, dan kemauan kerasnya ketika masih kecil untuk taat kepada
Allah Ta’ala sekaligus taat kepada ayahnya.
‫ت ۡٱف َعلۡ َما ت ُۡؤ َم ُر‬
ِ َ‫قَا َل ٰ َيٓأَب‬ (“Ia menjawab: ‘Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.”)
maksudnya, kerjakanlah apa yang telah diperintahkan Allah Ta’ala untuk menyembelihku. ‫ستَ ِج ُدنِ ٓى إِن‬ َ
َّ ٰ ‫شَٓا َء ٱهَّلل ُ ِمنَ ٱل‬ (“Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”) yakni
َ‫صبِ ِرين‬
aku akan sabar dan mengharapkan pahala dari sisi Allah swt. Dan dia menepati apa yang beliau
janjikan untuk bersabar. Oleh karena itu Allah berfirman:
“Dan ceritakanlah [hai Muhammad kepada mereka] kisah Isma’il [yang tersebut] di dalam al-
Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang Rasul dan
Nabi. Dan ia menyuruh ahlinya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang
diridlai di sisi Rabbnya.” (Maryam: 54-55)
Tafsir Quraish Shihab: Anak itu pun lahir dan tumbuh. Ketika anak itu menginjak dewasa dan
telah pantas mencari nafkah, Ibrâhîm diuji dengan sebuah mimpi. Ia berkata, “Wahai anakku, dalam
tidur aku bermimpi berupa wahyu dari Allah yang meminta aku untuk menyembelihmu. Bagaimana
pendapat kamu?” Anak yang saleh itu menjawab, “Wahai bapakku, laksanakanlah perintah
Tuhanmu. Insya Allah kamu akan dapati aku termasuk orang-orang yang sabar.”
Ayat 103
Tafsir Jalalain: ‫فَلَ َّمٓا أَ ۡسلَ َما‬ (Tatkala keduanya telah berserah diri) artinya, tunduk dan patuh kepada
perintah Allah swt. ‫ َوتَلَّهۥُ لِ ۡل َجبِي ِن‬ (dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya) Nabi Ismail
dibaringkan pada salah satu pelipisnya; setiap manusia memiliki dua pelipis dan di antara keduanya
terdapat jidat. Kejadian ini di Mina; kemudian Nabi Ibrahim menggorokkan pisau besarnya ke leher
Nabi Ismail, akan tetapi berkat kekuasaan Allah pisau itu tidak mempan sedikit pun.
Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: ‫فَلَ َّمٓا أَ ۡسلَ َما َوتَلَّهۥُ لِ ۡل َجبِي ِن‬ (“Tatkala keduanya telah berserah diri dan
Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipis[nya], [nyatalah kesabaran keduanya].”) setelah
keduanya mengucapkan syahadat dan menyebut Allah Ta’ala. Ada juga pendapat yang menyatakan,
kata “aslamaa” berarti berserah diri dan pasrah.
Ibrahim siap menyembelih dan anaknya siap mentaati orang tuanya. Demikian yang dikatakan oleh
Mujahid, ‘Ikrimah, Qatadah, as-Suddi, Ibnu Ishaq, dan lain-lain. Kalimat “‫ ”تَلَّهۥُ لِ ۡل َجبِي ِن‬berarti
membaringkannya di atas wajahnya untuk ia sembelih pada tengkuknya. Dan saat menyembelihnya
Ibrahim tidak menatap wajah Isma’il agar hal itu lebih meringankannya.
Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, adh-Dhahhak, dan Qatadah berkata: “Bahwa [watallaHu
liljabiini: Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya], yakni membaringkannya pada bagian
wajahnya.” Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari keduanya mengenai firman Allah: fadainaaHu
bidzibhin ‘adhiim (“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”) dia
mengatakan:
“Keluar darinya domba dari surga.” Dengan demikian, manasik dan tempat menyembelih binatang
qurban adalah di Mina, bagian dari tanah Makkah, dimana yang disembelih adalah Isma’il, bukan
Ishaq, karena ia berada di negeri Kan’an, bagian dari wilayah Syam.
Tafsir Quraish Shihab: Tatkala sang bapak dan anak pasrah kepada ketentuan Allah, Ibrâhîm pun
membawa anaknya ke suatu tumpukan pasir. Kemudian Ibrâhîm membaringkannya dengan posisi
pelipis di atas tanah sehingga siap disembelih.
Ayat 104
Tafsir Jalalain: ‫ َونَا َد ْينَاهُ أَنْ يَا إِ ْب َرا ِهي ُم‬ (Dan Kami panggil dia, “Hai Ibrahim!)
Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: ‫ َو ٰنَد َۡي ٰنَهُ أَن ٰيَٓإ ِ ۡب ٰ َر ِهي ُم‬ (“Dan Kami panggil dia: ‘Hai Ibrahim.) yakni apa
yang dimaksudkan dari mimpimu telah tercapai dengan tindakanmu membaringkan anakmu untuk
disembelih. As-Suddi dan juga yang lainnya menyebutkan bahwa Ibrahim telah meletakkan pisau
dan menjalankannya pada leher Isma’il, tetapi pisau itu tidak sedikitpun memotongnya, antara
keduanya [pisau dan leher itu] terdapat tembaga yang menghalanginya.
Tafsir Quraish Shihab: Allah mengetahui kebenaran Ibrâhîm dan anaknya dalam melaksanakan
cobaan tersebut. Kemudian Allah memanggilnya dengan panggilan kekasih, “Wahai Ibrâhîm,
sesungguhnya engkau telah memenuhi panggilan wahyu melalui mimpi dengan tenang, dan engkau
tidak ragu-ragu dalam melaksanakannya.
Cukuplah bagimu itu semua. Sesungguhnya Kami akan meringankan cobaan Kami untukmu sebagai
balasan atas kebaikanmu, seperti halnya Kami membalas orang-orang yang berbuat baik karena
kebaikan mereka.”

Ayat 105
ُّ َ‫ص َّد ْقت‬
Tafsir Jalalain: ‫الرؤْ يَا‬ َ ‫قَ ْد‬ ۚ (Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpimu itu”) melalui apa
yang telah kamu kerjakan, yaitu melaksanakan penyembelihan yang diperintahkan itu atau dengan
kata lain, cukuplah bagimu hal itu. Jumlah kalimat Naadainaahu merupakan jawab dari lafal
Lammaa, hanya ditambahi Wau.
َ‫إِنَّا َك ٰ َذلِك‬ (sesungguhnya demikianlah) maksudnya, sebagaimana Kami memberikan pahala
kepadamu  َ‫سنِين‬ ِ ‫ َن ْج ِزي ا ْل ُم ْح‬ (Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik) terhadap
diri mereka sendiri dengan melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka, yaitu Kami akan
melepaskan mereka dari kesulitan.
ُّ َ‫ص َّد ْقت‬
Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: ‫الرؤْ يَا‬ َ ‫قَ ْد‬ (sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu.)
yakni apa yang dimaksudkan dari mimpimu telah tercapai dengan tindakanmu membaringkan
anakmu untuk disembelih.
As-Suddi dan juga yang lainnya menyebutkan bahwa Ibrahim telah meletakkan pisau dan
menjalankannya pada leher Isma’il, tetapi pisau itu tidak sedikitpun memotongnya, antara keduanya
[pisau dan leher itu] terdapat tembaga yang menghalanginya. Pada saat itu, Ibrahim diseru, qad
shaddaqtar ru’yaa (“Sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi itu.”)
ٰ
ِ ‫إِنَّا َك َذلِكَ نَ ْج ِزي ا ْل ُم ْح‬ (“Sesungguhnya, demikianlah Kami memberi balasan kepada
Firman-Nya:  َ‫سنِين‬
orang-orang yang berbuat baik.”) maksudnya, demikian Kami [Allah] menghindarkan orang-orang
yang mentaati Kami dari berbagai macam hal yang tidak disukai dan dari kesusahan. Dan Kami
jadikan bagi mereka kelapangan dan jalan keluar urusan mereka. Penggalan ayat tersebut sama
dengan firman-Nya:
“2…Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. 3. dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu.” (ath-Thalaq: 2-3)
Sekelompok ulama ushul menjadikan ayat dan kisah tersebut di atas sebagai landasan mengenai
dibolehkannya menasakh [menghapus] hukum sebelum hukum tersebut diterapkan. Hal ini berbeda
dengan kalangan ulama Mu’tazilah. Aspek penunjukan ayat dan kisah ini sangat jelas, karena Allah
Ta’ala telah telah menetapkan kepada Ibrahim as. agar ia menyembelih anaknya.
Kemudian perintah-Nya itu dihapus [mansukh] dan ditukar dengan tebusan. Adapun maksud
penetapan-Nya yang pertama, yakni untuk memberikan pahala yang besar atas kesabaran Ibrahim
untuk menyembelih anaknya, dan keteguhan hatinya untuk melakukan hal itu.
Tafsir Quraish Shihab: Allah mengetahui kebenaran Ibrâhîm dan anaknya dalam melaksanakan
cobaan tersebut. Kemudian Allah memanggilnya dengan panggilan kekasih, “Wahai Ibrâhîm,
sesungguhnya engkau telah memenuhi panggilan wahyu melalui mimpi dengan tenang, dan engkau
tidak ragu-ragu dalam melaksanakannya.
Cukuplah bagimu itu semua. Sesungguhnya Kami akan meringankan cobaan Kami untukmu sebagai
balasan atas kebaikanmu, seperti halnya Kami membalas orang-orang yang berbuat baik karena
kebaikan mereka.”
Ayat 106
Tafsir Jalalain: ‫إِنَّ ٰ َه َذا‬ (Sesungguhnya ini) penyembelihan yang diperintahkan ini  ‫لَ ُه َو ۡٱلبَ ٰلَٓ ُؤ ْا‬
ۡ
ُ‫ٱل ُمبِين‬ (benar-benar suatu ujian yang nyata) atau cobaan yang jelas.
Tafsir Ibnu Katsir: Allah Ta’ala berfirman:  ُ‫إِنَّ ٰ َه َذا لَ ُه َو ۡٱلبَ ٰلَٓ ُؤ ْا ۡٱل ُمبِين‬ (“Sesungguhnya ini benar-benar
suatu ujian yang nyata.”) yakni ujian yang sangat jelas, dimana Allah swt. memerintahkan Ibrahim
supaya menyembelih anaknya, lalu ia bersegera melaksanakan hal tersebut dengan berserah diri dan
pasrah kepada-Nya serta tunduk patuh di dalam mentaati-Nya. oleh karena itu, Dia berfirman: wa
ibraaHiimal ladzii waffaa (“Dan Ibrahim yang telah menyempurnakan [ujiannya].”)
Tafsir Kemenag: Pada ayat ini ditegaskan bahwa apa yang dialami Ibrahim dan putranya itu
merupakan batu ujian yang amat berat. Memang hak Allah untuk menguji hamba yang dikehendaki-
Nya dengan bentuk ujian yang dipilih-Nya berupa beban dan kewajiban yang berat. Bila ujian itu
telah ditetapkan, tidak seorang pun yang dapat menolak dan menghindarinya. Di balik cobaan-
cobaan yang berat itu, tentu terdapat hikmah dan rahasia yang tidak terjangkau oleh pikiran
manusia.
Ismail yang semula dijadikan kurban untuk menguji ketaatan Ibrahim, diganti Allah dengan seekor
domba besar yang putih bersih dan tidak ada cacatnya. Peristiwa penyembelihan kambing oleh Nabi
Ibrahim ini yang menjadi dasar ibadah kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah, dilanjutkan
oleh syariat Nabi Muhammad. Ibadah kurban ini dilaksanakan pada hari raya haji/raya kurban atau
pada hari-hari tasyriq, yakni tiga hari berturut-turut sesudah hari raya kurban, tanggal 11, 12, 13
Zulhijah.
Hewan kurban terdiri dari binatang-binatang ternak seperti unta, sapi, kerbau, dan kambing.
Diisyaratkan binatang kurban itu tidak cacat badannya, tidak sakit, dan cukup umur. Menyembelih
binatang untuk kurban ini hukumnya sunnah muakkadah(sunah yang ditekankan).
Firman Allah: Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan
mendekatkan diri kepada Allah). (al-Kautsar/108: 2)
Dengan disyariatkannya ibadah kurban dalam agama Islam, maka peristiwa Ibrahim menyembelih
anaknya akan tetap dikenang selama-lamanya dan diikuti oleh umatnya. Ibadah kurban juga
menyemarakkan agama Islam karena daging-daging kurban itu dibagi-bagikan kepada masyarakat
terutama kepada fakir miskin.
Tafsir Quraish Shihab: Sesungguhnya cobaan yang Kami berikan kepada Ibrâhîm dan anaknya
adalah bentuk cobaan yang menjelaskan inti keimanan dan keyakinan mereka kepada Tuhan
semesta alam.
Ayat 107
afsir Jalalain: ُ‫وفَد َۡي ٰنَه‬ (Dan
َ Kami tebus anak itu) maksudnya, anak yang diperintahkan untuk
disembelih (Nabi Ismail). Menurut suatu pendapat bahwa anak yang disembelih itu adalah Nabi
ٍ ‫ ِب ِذ ۡب‬ (dengan seekor sembelihan) yakni dengan domba ‫يم‬
Ishak ‫ح‬ ٍ ‫ َع ِظ‬ (yang besar) dari surga, yaitu
domba yang sama dengan domba yang dijadikan kurban oleh Habil. Domba itu dibawa oleh
malaikat Jibril, lalu Nabi Ibrahim menyembelihnya seraya membaca takbir.
Tafsir Ibnu Katsir: Allah Swt. telah berfirman di dalam Kitab-Nya: Dan Kami tebus anak itu
dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 107) Menurut pendapat yang sahih, tebusan
tersebut berupa seekor kambing gibasy.
As-Sauri telah meriwayatkan dari seorang lelaki, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya: Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-
Shaffat: 107) Ibnu Abbas mengatakan bahwa sembelihan itu adalah seekor kambing gunung.
Tafsir Quraish Shihab: Kami menebus anak itu dengan sembelihan yang besar, sebab datangnya
atas perintah Allah.
Tafsir Jalalain: ‫ َوتَ َر ْكنَا‬ (Kami abadikan) Kami lestarikan  َ‫ َعلَ ْي ِه فِي اآْل ِخ ِرين‬ (untuk Ibrahim itu di
kalangan orang-orang yang datang kemudian) pujian yang baik.
Tafsir Kemenag: Ayat-ayat ini menerangkan bahwa umat manusia dari berbagai agama (samawi)
dan golongan mencintai Nabi Ibrahim sepanjang masa. Penganut agama Yahudi, Nasrani, dan Islam
menghormatinya dan memuji namanya, bahkan kaum musyrik Arab mengakui bahwa agama
mereka juga mengikuti agama Islam (Ibrahim).
Demikianlah Allah memenuhi permohonan Nabi Ibrahim ketika berdoa: Dan jadikanlah aku buah
tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang yang
mewarisi surga yang penuh kenikmatan. (asy-Syu’ara’/26: 84-85)
Kemudian Allah memberikan penghargaan kepada Ibrahim bahwa Dia memberikan salam sejahtera
kepadanya. Salam sejahtera untuk Ibrahim ini terus hidup di tengah-tengah umat manusia bahkan
juga di kalangan malaikat.
Dengan demikian, ada tiga pahala yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, yaitu seekor kambing
besar yang didatangkan kepadanya sebagai ganti dari anaknya, pengabadian yang memberi
keharuman namanya sepanjang masa, dan ucapan salam sejahtera dari Tuhan dan manusia.
Begitulah Allah memberikan ganjaran kepada hamba-hamba-Nya yang berbuat kebaikan. Semua
ganjaran itu sebagai imbalan ketaatannya melaksanakan perintah Allah.
Ibrahim mencapai prestasi yang tinggi itu karena dorongan iman yang kuat dan keikhlasan
ibadahnya kepada Allah sehingga dia termasuk hamba-hamba-Nya yang beriman.
Tafsir Quraish Shihab: Kami abadikan Ibrâhîm dengan pujian yang baik di kalangan orang-orang
yang datang setelahnya.
c. Analisa
Dalam QS Ash-Shaffat :99-108 mengandung nilai-nilai pendidikan yang sangat luar biasa
diantaranya:
1. Dalam usia yang sudah lanjut nabi Ibrahim AS, memohon kepada Allah SWT, akhirnya Allah
SWT mengabulkan, meski hal ini terasa mustahil seorang suami istri dalam usia tua bisa
dikaruniai anak.
2. Ketika nabi Ibrahim AS meomohon agar dikarunia seorang anak yang saleh namun Allah
SWT mengabulkannya dengan mengaruniai seorang anak yang sangat sabar.
3. Sehingga nabi Ismail AS tumbuh menjadi anak yang sangat sabar. Kesabaran nabi Ismail AS
terbukti saat mendapat ujian dari Allah SWT diantaranya :
a. Ismail dan ibunya ( Hajar) diajak oleh nabi Ibrahim AS ke tempat yang tandus ( Makkah)
b. Keduanya ditinggal oleh nabi Ibrahim AS tanpa ada orang lain di sekitarnya dan tanpa
bekal yang memadai.
c. Beberapa tahun nabi Ibrahim menemuinya, kemudian menyampaikan mimpinya untuk
menyembelih Ismail. Ismail menerima dengan lapang dada.
4. Berkat kesabaran nabi Ibrahim As dan Ismail ini, Allah SWT memberi reward dengan seekor
domba untuk disembelih.
5. Selain kesabaran, ada beberapa nilai yang terkandung dalam ayat di atas , diantaranya :
a. Nilai demokratis, yaitu saat nabi Ibrahim diperintah Allah untuk menyembelih Ismail AS,
maka nabi Ibrahim As mengutarakan dan minta pemdapat kepada Ismail As .
b. Nilai keimanan, nilai ini tercermin saat proses penyembelihan Ismail oleh Ibrahim As, hal
ini tidak akan terjadi jika tidak memiliki keimanan yang tinggi.
c. Nilai ketaatan, hal ini tercermin saat perintah Allah SWT menyampaikan perintah
penyembelihan. Nabi Ibrahim dan Ismail, keduanya seorang hamba Allah yang sangat
taat.

2. Ash-Shaaffat(S. 37): 109-113


        
       
        
    
a. Tarjamah
109. (yaitu)”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”.
110. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
111. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.
112. Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk
orang-orang yang saleh.
113. Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan diantara anak cucunya ada yang
berbuat baik dan ada (pula) yang Zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata.

b. Tafsir
Ayat 109
Tafsir Jalalain: ‫س ٰلَ ٌم‬
َ  (“Kesejahteraan) dari Kami ‫ َعلَ ٰ ٓى إِ ۡب ٰ َر ِهي َم‬ (dilimpahkan atas Ibrahim.”).
Tafsir Ibnu Katsir: ‫س ٰلَ ٌم‬ َ  (“Kesejahteraan) dari Kami ‫ َعلَ ٰ ٓى إِ ۡب ٰ َر ِهي َم‬ (dilimpahkan atas Ibrahim.”).
Tafsir Kemenag: Ayat-ayat ini menerangkan bahwa umat manusia dari berbagai agama (samawi)
dan golongan mencintai Nabi Ibrahim sepanjang masa. Penganut agama Yahudi, Nasrani, dan Islam
menghormatinya dan memuji namanya, bahkan kaum musyrik Arab mengakui bahwa agama
mereka juga mengikuti agama Islam (Ibrahim).
Tafsir Quraish Shihab: Salam kesejahteraan dilimpahkan kepada Ibrâhîm
Ayat 110
Tafsir Jalalain:  َ‫ َك ٰ َذلِك‬ (Demikianlah) sebagaimana Kami memberikan imbalan pahala kepada
ِ ‫نَ ۡج ِزى ۡٱل ُم ۡح‬ (kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik) terhadap diri
Ibrahim  َ‫سنِين‬
mereka sendiri.
Tafsir Kemenag:
Dengan demikian, ada tiga pahala yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, yaitu seekor kambing
besar yang didatangkan kepadanya sebagai ganti dari anaknya, pengabadian yang memberi
keharuman namanya sepanjang masa, dan ucapan salam sejahtera dari Tuhan dan manusia.
Begitulah Allah memberikan ganjaran kepada hamba-hamba-Nya yang berbuat kebaikan.
Tafsir Quraish Shihab: Seperti balasan yang menolak bencana itu, Kami akan memberi balasan
orang-orang yang berbuat baik dengan melaksanakan semua perintah Allah
Ayat 111
Tafsir Jalalain:  َ‫إِنَّهۥُ ِم ۡن ِعبَا ِدنَا ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِين‬ (Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang
beriman.).
Tafsir Ibnu Katsir:  َ‫إِنَّهۥُ ِم ۡن ِعبَا ِدنَا ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِين‬ (Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang
beriman.).
Tafsir Quraish Shihab: Sesungguhnya Ibrâhîm termasuk hamba-hamba Kami yang tunduk pada
kebenaran.

Ayat 112
ْ ِ ‫ َوبَش َّْرنَاهُ بِإ‬ (Dan Kami beri dia kabar gembira dengan kelahiran Ishak) dengan
Tafsir Jalalain: َ‫س َحاق‬
adanya ayat ini dapat disimpulkan, bahwa anak yang disembelih itu bukanlah Nabi Ishak tetapi anak
Nabi Ibrahim yang lainnya, yaitu Nabi Ismail ‫نَبِيًّا‬ (seorang nabi) menjadi Hal dari lafal yang
diperkirakan keberadaannya, artinya kelak ia akan menjadi seorang nabi  َ‫صالِ ِحين‬
َّ ‫ ِمنَ ال‬ (yang termasuk
orang-orang yang saleh.)
َّ ‫ق نَبِيًّا ِمنَ ال‬
Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah:  َ‫صالِ ِحين‬ ْ ِ ‫ َوبَش َّْرنَاهُ ِبإ‬ (“Dan Kami beri dia kabar gembira
َ ‫س َحا‬
dengan [kelahiran] Ishaq, seorang Nabi yang termasuk orang-orang yang shalih.”) sebagaimana
yang telah dijelaskan terdahulu mengenai kabar gembira dengan anaknya yang disembelih, yaitu
Isma’il, maka Allah pun menyebutkan kabar gembira dengan kedatangan saudaranya, Ishaq as. Dan
masalah ini telah diuraikan dalam dua surah, yaitu surah Huud dan surah al-Hijr.
Firman Allah: ‫نَبِيًّا‬ [“Seorang Nabi”] dengan pengertian bahwa dia akan menjadi seorang Nabi yang
shalih.
Tafsir Kemenag: Ayat ini menjelaskan bahwa Allah telah menyampaikan berita gembira kepada
Ibrahim tentang akan lahirnya seorang putra dari istrinya yang pertama, Sarah. Berita ini
disampaikan oleh malaikat, yang menyamar sebagai manusia, ketika bertamu ke rumahnya padahal
ketika itu Sarah sudah tua. Firman Allah:
Maka dia (Ibrahim) merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, “Janganlah kamu takut,” dan
mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).
Kemudian istrinya datang memekik (tercengang) lalu menepuk wajahnya sendiri seraya berkata,
“(Aku ini) seorang perempuan tua yang mandul.” Mereka berkata, “Demikianlah Tuhanmu
berfirman. Sungguh, Dialah Yang Mahabijaksana, Maha
Tafsir Quraish Shihab: Dengan perintah Kami, malaikat memberi kabar gembira kepadanya
berupa kedatangan seorang anak, yaitu Ishâq, meskipun istrinya mandul dan sudah putus asa untuk
mendapatkan anak. Anak itu nantinya akan menjadi seorang nabi yang termasuk orang-orang saleh
Ayat 113
Tafsir Jalalain: ‫ َو ٰبَ َر ۡكنَا َعلَ ۡي ِه‬ (Kami limpahkan keberkatan atasnya) dengan diperbanyak anak
cucunya َ‫و َعلَ ٰ ٓى إِ ۡس ٰ َحق‬ (dan
َ atas Ishak) anak Nabi Ibrahim, yaitu Kami menjadikan kebanyakan para
nabi dari keturunannya.
ِ ‫ َو ِمن ُذ ِّريَّتِ ِه َما ُم ۡح‬ (Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik) maksudnya, yang
ٌ‫سن‬
beriman ‫س ِه‬ ِ ‫ َوظَالِ ٌم لِّنَ ۡف‬ (dan ada pula yang lalim terhadap dirinya sendiri) yang kafir  ٌ‫ ُمبِين‬ (dengan nyata)
nyata kekafirannya.
Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah Swt.: Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan di
antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri
dengan nyata. (Ash-Shaffat: 113) Ayat ini semakna dengan ayat lain yang disebutkan melalui
firman-Nya: Difirmankan, “Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari
Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu.
Dan ada (pula) umat-umat yang Kami beri kesenangan pada mereka (dalam kehidupan dunia),
kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami. (Hud: 48)”
Tafsir Kemenag: Ayat ini menjelaskan bahwa keberkahan dan kesejahteraan hidup dunia dan
akhirat dilimpahkan Allah kepada Ibrahim dan Ishak. Dari keduanya lahir keturunan yang tersebar
luas dan dari keturunan mereka banyak muncul para nabi dan rasul. Orang Islam disuruh agar selalu
memohon kepada Tuhan setiap kali salat kiranya Ibrahim dan
Tafsir Quraish Shihab: Ibrâhîm dan anaknya Kami berikan keberkahan dan kebaikan di dunia dan
akhirat. Di antara anak keturunannya ada yang berbuat baik dengan keimanan dan ketaatan, dan ada
pula yang menzalimi diri sendiri dan jelas-jelas tersesat karena kekafiran dan kemaksiatan yang
dilakukannya.
c. Analisa
1. Allah memberikan penghargaan kepada Ibrahim dengan memberikan salam sejahtera
kepadanya. Karena seluruh agama samawi ( Yahudi, Nasrani dan Islam) bermuara
silsilahnya kepada nabi Ibrahim.
2. Allah mengkaruniai nabi Ibrahim seorang anak yaitu Ishaq ( dari Istri pertama Sarah) ,
disamping menjadi anak sholeh ( seperti yang dimohon nabi Ibrahim) juga akan menjadi
seorang nabi. Dan dari keturunan nabi Ishaq-lah akan lahir nabi-nabi sampai kepada nabi
Isa AS.
3. Meskipun Ishaq seorang nabi, namun tidak semua keturunannya menjadi shaleh. Diantara
keturunannya ada yang berbuat zalim. Seperti Ish ( kakak nabi Ya’kub), 10 saudara nabi
Yusuf serta orang-orang dari Bani Israil sampai sekarang.

3. Ibrahim ( S. 14) : 35-41

       


        
          
         
        
       
        
            
         
         
         
      
a. Tarjamah
35. Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang
aman[1], dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala[2].
36. Ya Tuhanku, berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak dari manusia[3]. Barang siapa
mengikutiku[4], maka orang itu termasuk golonganku[5], dan barang siapa mendurhakaiku, maka
Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[6].
37. Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan[7] sebagian keturunanku[8] di lembah yang
tidak mempunyai tanam-tanaman[9] di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan
kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat[10], maka jadikanlah hati sebagian manusia
cenderung[11] kepada mereka[12] dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan[13], mudah-
mudahan mereka bersyukur.
38. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami
tampakkan; [14]dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi
maupun yang ada di langit.
39. Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku) Ismail dan Ishaq[15].
Sungguh, Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa.
40. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap mendirikan shalat[16], ya Tuhan kami,
perkenankanlah doaku (itu).
41. Ya Tuhan kami, ampunlah aku dan kedua ibu bapakku[17] dan semua orang yang beriman pada hari
diadakan hisab (hari kiamat).”

b. Tafsir
Ayat 35
Tafsir Jalalain :
(Dan) ingatlah (ketika Ibrahim berkata, "Ya Rabbku! Jadikanlah negeri ini) yakni kota Mekah
(negeri yang aman) memiliki keamanan dan ternyata Allah telah memperkenankan doanya, maka
Dia menjadikan Mekah sebagai kota yang suci; dilarang di dalamnya mengalirkan darah manusia,
menganiaya seseorang, berburu binatang buruannya dan menebang pepohonannya (dan jauhkanlah
aku) hindarkanlah aku (beserta anak cucuku) daripada (menyembah berhala-berhala.")
Tafsir Ibnu Katsir :
Allah Swt. —dalam bantahan-Nya terhadap orang-orang musyrik Arab— menyebutkan bahwa
negeri Mekah ini sejak semula dibangun hanyalah sebagai tempat untuk menyembah Allah semata,
tiada sekutu bagi-Nya. Dan Ibrahim yang meramaikannya karena pembangunan yang dilakukannya
berlepas diri dari orang-orang yang menyembah selain Allah. Dia (Ibrahim) mendoakan buat kota
Mekah agar menjadi kota yang aman. Dalam doanya yang disitir oleh firman-Nya dia mengatakan:
...Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah) negeri yang aman
Dan Allah mengabulkan permintaannya, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-
Nya:
Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri
mereka) tanah suci yang aman. (Al 'Ankabut:67), hingga akhir surat.
Sesungguhnya rumah yang mula-mula di bangun untuk (tempat beribadat) manusia ialah Baitullah
yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim, barang siapa memasukinya
(Baitullah itu), menjadi amanlah dia. (Ali Imran:96-97)
Dan dalam ayat berikut ini disebutkan oleh firman-Nya:
...Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah) negeri yang aman.
Dalam ayat ini lafaz balad disebutkan dengan memakai at-ta'rif, yakni al-balad, karena Nabi Ibrahim
mendoakannya sesudah membangunnya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
...Segala puji bagi Allah, yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku) Ismail dan Ishaq.
Telah diketahui bahwa Ismail tiga belas tahun lebih tua daripada Ishaq. Ketika Ismail dibawa oleh
Nabi Ibrahim bersama ibunya ke Mekah, ia masih menyusu, dan sesungguhnya Nabi Ibrahim pada
saat itu berdoa pula yang bunyinya seperti berikut: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah)
negeri yang aman. (Ibrahim:35) Seperti yang telah kami sebutkan dalam tafsir surat Al-Baqarah
secara panjang lebar.
TafsirQuraish Shihab :
Sebutkan kepada kaummu doa bapak mereka, Ibrâhîm, setelah ia membangun Kakbah, agar mereka
dapat mengambil pelajaran dan meninggalkan kesyirikan, "Tuhanku, jadikanlah negeri tempat
Ka'bah ini terbebas dari orang-orang zalim, dan jauhkan diriku dan anak cucuku dari penyembahan
berhala.
Ayat 36
Tafsir Jalalain :
("Ya Rabbku! Sesungguhnya mereka itu) yakni berhala-berhala itu (telah menyesatkan
kebanyakan daripada manusia) karena mereka menyembahnya (maka barang siapa yang
mengikutiku) berpegang pada ajaran tauhid (maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku)
termasuk pemeluk agamaku (dan barang siapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.) pernyataan ini sebelum Nabi Ibrahim mengetahui, bahwa
Allah swt. tidak mengampuni dosa syirik.
Tafsir Ibnu Katsir :
Tafsir ayat ini tidak diterangkan secara terpisah pada kitab aslinya.
TafsirQuraish Shihab :
Penyembahan berhala-berhala itu telah menyebabkan kesesatan bagi banyak orang. Maka siapa saja
di antara keturunanku yang mengikuti jejakku dan ikhlas beribadah kepada-Mu, adalah benar-benar
pengikut agamaku. Tetapi, siapa saja yang tidak menaatiku dan berbuat syirik, maka Engkau
Mahakuasa untuk memberinya petunjuk, karena ampunan dan kasih sayang-Mu amat banyak.
Ayat 37
Tafsir Jalalain :
(Ya Rabb kami! Sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku) sebagian
daripada mereka, yaitu Nabi Ismail dan Siti Hajar ibunya (di lembah yang tidak mempunyai tanam-
tanaman) yaitu Mekah (di dekat rumah Engkau yang suci) sebelum banjir besar terjadi (ya Rabb
agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati) kalbu-kalbu (sebagian manusia cenderung)
condong dan merindukan (kepada mereka) Sahabat Ibnu Abbas mengatakan, seandainya Nabi
Ibrahim mengatakan di dalam doanya, yaitu af-idatan naasi yang artinya semua hati manusia, maka
orang-orang Persia, Romawi dan semua manusia niscaya akan cenderung ke Baitullah (dan beri
rezekilah mereka dari buah-buahan; mudah-mudahan mereka bersyukur.") dan memang doanya
diperkenankan, yaitu dengan disuplaikannya buah-buahan dari Thaif ke Mekah.
Tafsir Ibnu Katsir :
Hal ini menunjukkan bahwa doa ini adalah doa yang berikutnya sesudah doa yang pertama
yang dipanjatkannya ketika ia pergi meninggalkan Hajar dan putranya (Nabi Ismail), hal ini terjadi
sebelum Baitullah dibangun. Sedangkan doa yang kedua ini dipanjatkannya sesudah ia membangun
Baitullah sebagai pengukuhannya dan ungkapan keinginannya yang sangat akan rida Allah Swt.
Untuk itulah di dalam doanya disebutkan:
...di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati.

Firman Allah Swt.:


Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat.
Menurut Ibnu Jarir, ayat ini berkaitan dengan firman-Nya, "al-muharram." Dengan kata lain,
sesungguhnya saya menjadikannya sebagai tanah yang haram (suci) agar penduduknya dapat
mendirikan salat di dekatnya.
...maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka.
Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, dan lain-lainnya mengatakan bahwa seandainya Nabi
Ibrahim dalam doanya mengatakan, "Af-idatan nasi," (yakni tanpa min) yang artinya 'hati seluruh
umat manusia', maka tentulah orang-orang Romawi, Persia, Yahudi, dan Nasrani serta manusia
lainnya akan berdesak-desakan memenuhinya. Akan tetapi, Nabi Ibrahim mengatakan, "Minan nas,"
yakni sebagian manusia. Dengan demikian, maka hal ini khusus bagi kaum muslim saja.
Firman Allah Swt.:
...dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan.
Agar hal itu dapat dijadikan sebagai pembantu bagi mereka untuk mengerjakan ketaatan kepada-
Mu, dan mengingat Mekah adalah sebuah lembah yang tidak memiliki tumbuh-tumbuhan, maka
dimohonkan agar mereka beroleh buah-buahan untuk makan mereka. Allah Swt. mengabulkan
permohonan Nabi Ibrahim ini, seperti yang dinyatakan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram yang aman, yang
didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) untuk menjadi
rezeki (bagi kalian), dari sisi Kami? (Al Qashash:57)
Ini merupakan sebagian dari kebaikan Allah, kemuliaan, rahmat, dan berkah-Nya, Mengingat di
Tanah Suci Mekah tidak terdapat pepohonan yang berbuah, untuk itulah maka didatangkan
kepadanya segala macam buah-buahan dari daerah-daerah yang ada di sekitarnya sebagai perkenan
dari Allah atas doa Nabi Ibrahim a.s.
TafsirQuraish Shihab :
"Ya Tuhan kami," kata Ibrâhîm melanjutkan doanya, "aku telah menempatkan sebagian
keturunanku di lembah Mekah yang tidak ditumbuhi pepohonan, di rumah-Mu yang Engkau
lindungi dari tangan-tangan jahat dan Engkau jadikan daerah sekitarnya aman. Ya Tuhan kami,
berilah mereka kehormatan mengerjakan salat di rumah ini. Jadikanlah orang-orang yang berhati
mulia mencintai keturunanku itu dengan mengunjungi rumah-Mu. Berilah rezeki berupa buah-
buahan yang Engkau kirimkan melalui para pendatang, agar mereka mensyukuri nikmat-Mu dengan
mengerjakan salat dan berdoa.
Ayat 38
Tafsir Jalalain :
(Ya Rabb kami! Sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan) apa yang
kami tidak lahirkan (dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada yang tersembunyi bagi Allah) huruf
min di sini adalah zaidah (sesuatu pun, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit) ayat ini
dapat diartikan kalam Rabb dan dapat pula dianggap sebagai doa Nabi Ibrahim.
Tafsir Ibnu Katsir :
Ibnu Jarir mengatakan bahwa Allah Swt. menceritakan perihal kekasihNya, yaitu Nabi
Ibrahim, bahwa ia pernah berkata dalam doanya:
Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami
lahirkan.
Artinya Engkau mengetahui maksudku dalam doaku dan apa yang aku kehendaki dalam doaku
untuk penduduk kota suci ini. Sesungguhnya hal itu tiada lain menuju kepada rida-Mu dan
mengikhlaskan diri kepada-Mu. Sesungguhnya Engkau mengetahui segala sesuatu yang lahir dan
yang batin (tidak tampak), tiada sesuatu pun di bumi ini —tiada pula di langit—yang tersembunyi
dari pengetahuan-Mu.
TafsirQuraish Shihab :
Ya Tuhan kami, rahasia dan keterusterangan kami adalah sama dalam ilmu-Mu. Engkau Maha
Mengetahui kepentingan-kepentingan kami, dan lebih menyayangi diri kami daripada kami sendiri.
Tidak ada sesuatu pun yang ada di langit dan di bumi--sekecil apa pun--yang tersembunyi dari
pengetahuan-Mu. Oleh karena itu, sebetulnya kami tidak perlu berdoa. Doa yang kami panjatkan
kepada-Mu ini adalah untuk menunjukkan sikap penghambaan, sikap tunduk, dan sikap selalu
membutuhkan kami kepada diri-Mu.
Ayat 39
Tafsir Jalalain :
(Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepada diriku) memberiku (sekalipun)
walaupun (sudah tua, Ismail) Nabi Ismail dilahirkan sewaktu Nabi Ibrahim berumur sembilan puluh
sembilan tahun (dan Ishak.) dilahirkan sewaktu Nabi Ibrahim berumur seratus dua belas tahun
(Sesungguhnya Rabbku benar-benar Maha Mendengar doa).
Tafsir Ibnu Katsir :
Nabi Ibrahim dalam doanya mengucapkan pujian kepada Tuhannya atas anak yang
dianugerahkan kepadanya di saat ia telah berusia lanjut, seperti yang disitir oleh firman berikut:
Segala puji bagi Allah, yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku) Ismail dan Ishaq.
Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa.
Yakni Dia memperkenankan (mengabulkan) doa orang yang memohon kepada-Nya,.dan
sesunggguhnya Dia telah mengabulkan permintaanku, yaitu mempunyai anak.
TafsirQuraish Shihab :
Segala puji bagi Allah yang, dengan umurku yang tua renta dan tidak ada harapan mempunyai
anak lagi ini, telah mengaruniakanku Ismâ'îl dan Ishâq. Tuhanku benar-benar Maha Mendengarkan
dan mengabulkan doaku."
Ayat 40
Tafsir Jalalain :
(Ya Rabbku! Jadikanlah aku orang-orang yang tetap mendirikan salat dan) jadikan pula (anak
cucuku) orang-orang yang tetap mendirikannya. Nabi Ibrahim sengaja di dalam doanya ini memakai
ungkapan min yang menunjukkan makna sebagian karena Allah swt. telah memberitahukan
kepadanya bahwa di antara anak cucunya itu terdapat orang yang kafir (Ya Rabb kami! Kabulkanlah
doaku) semua doa yang telah disebutkan tadi.
Tafsir Ibnu Katsir :
Nabi Ibrahim a.s. mengatakan dalam doanya:
Ya Tuhanku, jadikanlah aku orang yang tetap mendirikan salat
Yaitu memeliharanya dan mendirikan batasan-batasannya.
...dan begitu pula anak cucuku.
Maksudnya, jadikanlah pula anak cucuku sebagai orang-orang yang mendirikan salat.
Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.
Yakni kabulkanlah semua apa yang aku mohonkan kepada-Mu.
TafsirQuraish Shihab :
Ibrâhîm kemudian melanjutkan, "Ya Tuhanku, bimbinglah aku untuk mengerjakan salat
dengan cara yang benar, juga anak keturunanku yang baik-baik. Ya Tuhanku, kabulkanlah doaku!
Ayat 41
Tafsir Jalalain :
(Ya Rabb kami! Beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku) doa ini diucapkan sebelum jelas
bagi Nabi Ibrahim bahwa kedua orang tuanya memusuhi Allah swt. Akan tetapi menurut suatu
pendapat dikatakan bahwa ibu Nabi Ibrahim masuk Islam. Lafal waalidayya menurut qiraat yang
lain dapat dibaca mufrad sehingga bacaannya menjadi waalidiy (dan sekalian orang-orang mukmin
pada hari terjadinya) ditegakkannya (hisab) selanjutnya Allah berfirman:
Tafsir Ibnu Katsir :
a Tuhan kami, beri ampunlah aku dan ibu bapakku.
Sebagian ulama tafsir membacanya waliwalidi dalam bentuk tunggal, yakni bukan waliwalidayya.
Hal ini dilakukan oleh Nabi Ibrahim sebelum ia berlepas diri dari ayahnya, setelah ia mengetahui
dengan jelas bahwa ayahnya adalah musuh Allah Swt.
...dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab.
Maksudnya, ampunilah pula semua orang mukmin pada hari Engkau menghisab hamba-hamba-Mu,
lalu Engkau balas mereka sesuai dengan amal perbuatannya masing-masing, jika amalnya baik,
maka balasannya baik, dan jika amalnya buruk, maka balasannya buruk pula.
Tafsir Quraish Shihab :
Ya Tuhan kami, ampunilah aku atas dosa-dosa yang telah aku lakukan. Ampuni juga kedua
orangtuaku dan orang-orang Mukmin pada hari dilaksanakannya perhitungan, yang diikuti dengan
pembalasan.
c. Analisa
B. STRATEGI DAN MODEL PENDIDIKAN LUQMAN HAKIM

Luqman ( S. 13) : 12-19


           
            
            
          
            
            
           
             
             
         
              
             
         
a. Tarjamah
12. Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah!
Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk
dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Maha
Kaya, Maha Terpuji".
13. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran
kepadanya, "Wahai anakku! Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
14. Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam
usia dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku
kembalimu.
15. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau
tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah
keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian
hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan.
16. (Luqman berkata): "Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan
berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan).
Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha teliti.
17. Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah
(mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya
yang demikian itu termasuk perkara yang penting.
18. Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah
berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
lagi membanggakan diri.
19. Dan sederhanalah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara
ialah suara keledai.

b. Tafsir
Ayat 12
Tafsir Jalalain :
(Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Luqman hikmah) antara lain ilmu, agama dan tepat
pembicaraannya, dan kata-kata mutiara yang diucapkannya cukup banyak serta diriwayatkan secara
turun-temurun. Sebelum Nabi Daud diangkat menjadi rasul dia selalu memberikan fatwa, dan dia
sempat mengalami zaman kenabian Nabi Daud, lalu ia meninggalkan fatwa dan belajar menimba
ilmu dari Nabi Daud. Sehubungan dengan hal ini Luqman pernah mengatakan, "Aku tidak pernah
merasa cukup apabila aku telah dicukupkan." Pada suatu hari pernah ditanyakan oleh orang
kepadanya, "Siapakah manusia yang paling buruk itu?" Luqman menjawab, "Dia adalah orang yang
tidak mempedulikan orang lain yang melihatnya sewaktu dia mengerjakan kejahatan." (Yaitu) dan
Kami katakan kepadanya, hendaklah (bersyukurlah kamu kepada Allah) atas hikmah yang telah
dilimpahkan-Nya kepadamu. (Dan barang siapa yang bersyukur kepada Allah, maka sesungguhnya
ia bersyukur untuk dirinya sendiri) karena pahala bersyukurnya itu kembali kepada dirinya sendiri
(dan barang siapa yang tidak bersyukur) atas nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepadanya (maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya) tidak membutuhkan makhluk-Nya (lagi Maha Terpuji) Maha
Terpuji di dalam ciptaan-Nya
Tafsir Ibnu Katsir :
Ulama Salaf berselisih pendapat tentang Luqman, apakah dia seorang nabi ataukah seorang hamba
yang saleh saja tanpa predikat nabi? Ada dua pendapat mengenainya, kebanyakan ulama
mengatakan bahwa dia adalah seorang hamba yang saleh, bukan seorang nabi.
Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Al-Asy'as, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa Luqman adalah seorang budak dari negeri Habsyah (Abesenia) dan seorang
tukang kayu.
Qatadah telah meriwayatkan dari Abdullah ibnuz Zubair yang mengatakan bahwa ia pernah
bertanya kepada Jabir ibnu Abdullah, "Sampai seberapakah pengetahuanmu tentang Luqman?" Jabir
ibnu Abdullah menjawab, bahwa Luqman adalah seorang yang berperawakan pendek, berhidung
lebar (tidak mancung) berasal dari Nubian.
Yahya ibnu Sa'id Al-Ansari telah meriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa
Luqman berasal dari daerah pedalaman Mesir (berkulit hitam) dan berbibir tebal. Allah telah
memberinya hikmah, tetapi tidak diberi kenabian.
Al-Auza'i mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Harmalah yang
menceritakan bahwa pernah ada seorang lelaki berkulit hitam datang kepada Sa'id ibnul Musayyab
meminta-minta kepadanya. Maka Sa'id ibnul Musayyab menghiburnya, "Jangan kamu bersedih hati
karena kamu berkulit hitam, karena sesungguhnya ada tiga orang manusia yang terbaik berasal dari
bangsa kulit hitam, yaitu Bilal, Mahja' maula Umar ibnul Khattab, dan Luqmanul Hakim yang
berkulit hitam, berasal dari Nubian dan berbibir tebal."

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki', telah menceritakan kepada
kami ayahku, dari Abul Asy-hab, dari Khalid Ar-Rab'i yang mengatakan bahwa Luqman adalah
seorang budak Habsyah, seorang tukang kayu. Majikannya berkata kepadanya, "Sembelihkanlah
kambing ini buat kami!" Maka Luqman menyembelih kambing itu. Lalu si majikan berkata,
"Keluarkanlah dua anggota jeroannya yang paling baik." Maka Luqman mengeluarkan lidah dan
hati kambing itu, sesudah itu Luqman tinggal selama masa yang dikehendaki oleh Allah. Kemudian
majikannya kembali memerintahkannya, "Sembelihkanlah kambing ini buat kami!" Maka Luqman
menyembelihnya, dan si majikan berkata kepadanya, "Keluarkanlah dua anggota jeroannya yang
paling buruk," maka Luqman mengeluarkan lidah dan hati kambing itu. Si majikan bertanya
kepadanya, "Aku telah memerintahkan kepadamu untuk mengeluarkan dua anggota jeroannya yang
terbaik, dan kamu mengeluarkan keduanya. Lalu aku perintahkan lagi kepadamu untuk
mengeluarkan dua anggotanya yang paling buruk, ternyata kamu masih tetap mengeluarkan yang itu
juga, sama dengan yang tadi." Maka Luqman menjawab, "Sesungguhnya tiada sesuatu anggota pun
yang lebih baik daripada keduanya jika keduanya baik, dan tiada pula yang lebih buruk daripada
keduanya bila keduanya buruk."
Syu'bah telah meriwayatkan dari Al-Hakam, dari Mujahid, bahwa Luqman adalah seorang hamba
yang saleh, bukan seorang nabi.
Al-A'masy mengatakan, Mujahid telah mengatakan bahwa Luqman adalah seorang budak berkulit
hitam dari Habsyah, berbibir tebal, dan berkaki besar. Dia seorang qadi di kalangan kaum Bani
Israil.
Selain Mujahid menyebutkan bahwa Luqman adalah seorang qadi di kalangan kaum Bani Israil di
masa Nabi Daud a.s.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada
kami Al-Hakam, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Qais yang mengatakan bahwa Luqman
adalah seorang budak berkulit hitam, berbibir tebal, dan bertelapak kaki lebar. Lalu ia kedatangan
seorang lelaki saat ia berada di majelis sedang berbincang-bincang dengan orang banyak. Maka
lelaki itu bertanya kepadanya, "Bukankah kamu yang pernah menggembalakan kambing bersamaku
di tempat anu dan anu?" Luqman menjawab, "Benar." Lelaki itu bertanya, "Lalu apakah yang
membuatmu menjadi seorang yang terhormat seperti yang kulihat sekarang?" Luqman menjawab,
"Jujur dalam berkata, dan diam tidak ikut campur terhadap apa yang bukan urusanku."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan
kepada kami Safwan, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan kepada kami
Abdur Rahman ibnu Yazid, dari Jabir yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah mengangkat
Luqmanul Hakim (ke kedudukan yang tinggi) berkat hikmah (yang dianugerahkan-Nya). Pernah ada
seorang lelaki yang mengenalnya di masa lalu bertanya, "Bukankah kamu budak si Fulan yang
dahulu menggembalakan ternak kambingnya?" Luqman menjawab, "Benar." Lelaki itu bertanya,
"Lalu apakah yang menghantarkanmu dapat mencapai kedudukan seperti yang kulihat sekarang?"
Luqman menjawab, "Takdir Allah, menunaikan amanat, berkata jujur, dan tidak ikut campur
terhadap apa yang bukan urusanku."
Semua asar ini antara lain menjelaskan bahwa Luqman bukanlah seorang nabi, dan sebagian lainnya
mengisyaratkan ke arah itu (seorang nabi). Dikatakan bahwa dia bukan seorang nabi karena dia
adalah seorang budak, hal ini bertentangan dengan sifat seorang nabi, mengingat semua rasul
dilahirkan dari kalangan terpandang kaumnya. Karena itulah maka jumhur ulama Salaf menyatakan
bahwa Luqman bukanlah seorang nabi.
Sesungguhnya pendapat yang mengatakan bahwa dia adalah seorang nabi hanyalah menurut riwayat
yang bersumber dari Ikrimah jika memang sanadnya sahih bersumber darinya. Riwayat tersebut
dikemukakan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim melalui Waki', dari Israil, dari Jabir, dari Ikrimah
yang mengatakan bahwa Luqman adalah seorang nabi. Jabir yang disebutkan dalam sanad riwayat
ini adalah Ibnu Yazid Al-Ju'fi, seorang yang berpredikat daif, hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
Abdullah ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Ayyasy Al-Qatbani,
dari Umar maula Gafrah yang menceritakan bahwa pernah ada seorang lelaki berdiri di hadapan
Luqmanul Hakim, lalu bertanya, "Bukankah engkau adalah Luqman budak Banil Has-sas?" Luqman
menjawab, "Ya." Lelaki itu bertanya lagi, "Bukankah engkau pernah menggembalakan kambing?"
Luqman menjawab, "Ya." Lelaki itu bertanya lagi, "Bukankah kamu berkulit hitam?" Luqman
menjawab, "Adapun warna hitam kulitku ini jelas, lalu apakah yang mengherankanmu tentang
diriku?" Lelaki itu menjawab, "Orang-orang banyak yang duduk di hamparanmu, dan berdesakan
memasuki pintumu, serta mereka rida dengan ucapanmu." Luqman berkata, "Hai Saudaraku, jika
engkau mau mendengarkan apa yang akan kukatakan kepadamu, tentu kamu pun dapat seperti
diriku." Luqman melanjutkan perkataannya, "Aku selalu menundukkan pandangan mataku (dari hal-
hal yang diharamkan), lisanku selalu kujaga, makananku selalu bersih (halal), kemaluanku aku jaga
(tidak melakukan zina), aku selalu jujur dalam perkataanku, semua janjiku selalu kutepati, tamu-
tamuku selalu kumuliakan, para tetanggaku selalu kuhormati, dan aku tidak pernah melakukan hal
yang tidak perlu bagiku. Itulah kiat yang menghantarkan diriku kepada kedudukanku sekarang
seperti yang kamu lihat."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Fudail, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Waqid, dari Abdah ibnu Rabah, dari
Rabi'ah, dari Abu Darda, bahwa ia pernah bercerita di suatu hari yang antara lain mengisahkan
perihal Luqmanul Hakim. Lalu ia mengatakan bahwa apa yang diberikan kepada Luqman bukan
berasal dari keluarga, harta, kedudukan, bukan pula dari jasanya, melainkan dia adalah seorang yang
pendiam, suka bertafakkur, dan tajam pandangannya. Dia tidak pernah tidur di siang hari, dan belum
pernah ada seseorang melihatnya meludah, tidak pernah mengeluarkan ingus, tidak pernah kelihatan
kencing, buang air besar dan mandi, juga tidak pernah bercengkrama serta tidak pernah tertawa. Dia
tidak pernah mengulangi perkataan yang telah diucapkannya, melainkan hanya kata-kata bijak yang
diminta oleh seseorang agar ia mengulanginya. Dia pernah kawin dan mempunyai banyak anak,
tetapi mereka mati semuanya dan dia tidak menangisi kematian mereka (bersabar). Dia sering
mendekati penguasa dan hakim-hakim untuk menimba pengalaman dan memikirkannya serta
mengambil pelajaran darinya. Karena itulah maka ia berhasil meraih kedudukan yang diperolehnya.
Disebutkan dalam suatu asar yang garib bersumber dari Qatadah diriwayatkan oleh Ibnu Abu
Hatim, disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami
Al-Abbas ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnu Yahya ibnu Ubaid Al-Khuza'i,
telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Basyir, dari Qatadah yang mengatakan bahwa Allah
menyuruh Luqman memilih antara hikmah dan kenabian. Maka Luqmanul Hakim memilih hikmah,
tidak mau memilih kenabian.
Qatadah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Jibril mendatanginya saat ia sedang tidur. Jibril
menaburkan kepadanya atau mencipratkan kepadanya hikmah itu. Pada pagi harinya Luqman dapat
mengucapkan kata-kata hikmah.
Sa'id mengatakan, Qatadah pernah berkata bahwa dikatakan kepada Luqman, "Mengapa engkau
memilih hikmah atau ditaburi hikmah, padahal Tuhanmu menyuruhmu memilih?" Maka Luqman
menjawab, "Seandainya aku diharuskan menjadi nabi, tentulah aku berharap beroleh keberhasilan
dan tentu pula aku berharap dapat menunaikan tugas risalahku sebaik-baiknya. Tetapi ternyata Dia
menyuruhku memilih, maka aku merasa khawatir bila tidak mampu menjalankan tugas kenabian.
Karena itulah maka hikmah lebih aku sukai."
Ini merupakan riwayat melalui jalur Sa’id ibnu Basyir, dia berpredikat agak daif dan para ulama
hadis banyak yang membicarakan kelemahannya. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
Menurut riwayat Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan
sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman. (Luqman:12) Bahwa yang dimaksud
dengan hikmah ialah pengetahuan tentang agama Islam, dan dia bukanlah seorang nabi yang diberi
wahyu.
Firman Allah Swt.:
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman. (Luqman:12)
Yakni pemahaman, ilmu, dan ungkapan.
yaitu, "Bersyukurlah kepada Allah.” (Luqman:12)
Kami perintahkan kepadanya untuk bersyukur kepada Allah atas apa yang telah Dia anugerahkan
kepadanya berupa keutamaan yang secara khusus hanya diberikan kepadanya, bukan kepada orang
lain yang sezaman dengannya.
Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya
sendiri. (Luqman:12)
Artinya, sesungguhnya manfaat dan pahala dari bersyukur itu kembali kepada para pelakunya,
karena ada firman Allah Swt. yang menyebutkan:
dan barang siapa yang beramal saleh, maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan
(tempat yang menyenangkan). (Ar Ruum:44)
Adapun firman Allah Swt.:
dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.
(Luqman:12)

Yaitu Mahakaya, tidak memerlukan hamba-hamba-Nya. Dia tidak kekurangan, walaupun mereka
tidak mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Seandainya semua penduduk bumi ingkar kepada nikmat-
Nya, maka sesungguhnya Dia Mahakaya dari selain-Nya, tidak ada Tuhan selain Dia, dan kami
tidak menyembah selain hanya kepada-Nya.
TafsirQuraish Shihab
Sesungguhnya Kami telah memberikan Luqmân hikmah, ilmu dan kebenaran dalam berkata. Dan
Kami katakan kepadanya, "Bersyukurlah kepada Allah atas nikmat yang telah Dia berikan
kepadamu. Barangsiapa yang bersyukur kepada Allah, maka sesungguhnya ia mencari kebaikan
untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang mengingkari nikmat dan tidak mensyukurinya, maka
sesungguhnya Allah tidak membutuhkan rasa syukurnya. Dialah yang berhak dipuji, walau tak ada
seorang pun yang memuji-Nya."
Ayat 13
Tafsir Jalalain :
(Dan) ingatlah (ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia menasihatinya, "Hai anakku)
lafal bunayya adalah bentuk tashghir yang dimaksud adalah memanggil anak dengan nama
kesayangannya (janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan) Allah
itu (adalah benar-benar kelaliman yang besar.") Maka anaknya itu bertobat kepada Allah dan masuk
Islam
Tafsir Ibnu Katsir :
Allah Swt. menceritakan tentang nasihat Luqman kepada anaknya. Luqman adalah anak Anqa ibnu
Sadun, dan nama anaknya ialah Saran, menurut suatu pendapat yang diriwayatkan oleh Imam
Baihaqi.
Allah Swt. menyebutkan kisah Luqman dengan sebutan yang baik, bahwa Dia telah
menganugerahinya hikmah, dan Luqman menasihati anaknya yang merupakan buah hatinya, maka
wajarlah bila ia memberikan kepada orang yang paling dikasihinya sesuatu yang paling utama dari
pengetahuannya. Karena itulah hal pertama yang dia pesankan kepada anaknya ialah hendaknya ia
menyembah Allah semata, jangan mempersekutukannya dengan sesuatu pun. Kemudian Luqman
memperingatkan anaknya, bahwa:
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (Luqman:13)
Yakni perbuatan mempersekutukan Allah adalah perbuatan aniaya yang paling besar.

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada
kami Jarir, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah yang menceritakan bahwa
ketika diturunkan firman-Nya: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan kezaliman (syirik). (Al An'am:82) Hal itu terasa berat bagi para sahabat Nabi Saw.
Karenanya mereka berkata, "Siapakah di antara kita yang tidak mencampuri imannya dengan
perbuatan zalim (dosa)." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Bukan demikian yang dimaksud dengan
zalim. Tidakkah kamu mendengar ucapan Luqman: 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.'
(Luqman:13)
Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis Al-A'masy dengan sanad yang sama.
Kemudian sesudah menasihati anaknya agar menyembah Allah semata. Luqman menasihati pula
anaknya agar berbakti kepada dua orang ibu dan bapak. Perihalnya sama dengan apa yang
disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah
kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (Al Israa':23)
TafsirQuraish Shihab
Dan ingatlah ketika ia berkata kepada anaknya untuk menasihatinya, "Wahai anakku, janganlah
kamu menyekutukan Allah dengan yang lain, karena sesungguhnya menyekutukan Allah adalah
suatu kezaliman yang besar. Sebab, dalam hal ini terdapat penyamaan antara yang berhak dan yang
tidak berhak untuk disembah. "(1). (1) Orang Arab mengenal dua tokoh yang bernama Luqmân.
Pertama, Luqmân bin 'Ad. Tokoh ini begitu diagungkan karena wibawa, kepemimpinan, ilmu,
kefasihan dan kepandaiannya. Ia kerap kali dijadikan sebagai permisalan dan perumpamaan,
sebagaimana dapat dilihat pada banyak buku Arab klasik. Tokoh kedua adalah Luqmân al-Hakîm
yang terkenal dengan kata-kata bijak dan Namanya kemudian menjadi nama surat ini. Ibn Hisyâm
menceritkan bahwa Suwayd ibn al-Shâmit suatu ketika datang ke Mekkah. Ia adalah seorang yang
cukup terhormat di kalangan mayarakatnya. Lalu Rasulullah mengajaknya untuk memeluk agama
Islam. Suwayd berkata kepada Rasulullah, "Mungkin apa yang ada padamu itu sama dengan apa
yang ada padaku." Rasulullah berkata, "Apa yang ada padamu?" Ia menjawab, "Kumpulan Hikmah
Luqmân." Kemudian Rasulullah berkata, "Tunjukkanlah padaku." Suwayd pun menunjukkannya,
lalu Rasulullah berkata, "Sungguh perkataan yang amat baik! Tetapi apa yang ada padaku lebih baik
dari itu. Itulah al-Qur'ân yang diturunkan Allah kepadaku untuk menjadi petunjuk dan cahaya."
Rasulullah lalu membacakan al-Qur'ân kepadanya dan mengajaknya memeluk Islam. Imam Mâlik
juga sering menyitir kata-kata mutiara Luqmân dalam al-Muwaththa'-nya. Dalam beberapa buku
tafsir dan kesusasteraan, kata mutiara Luqmân sering pula ditemukan. Selain itu, tamsil ibarat
Luqmân dalam bentuk cerita dikumpulkan menjadi satu buku dengan judul Amtsâl Luqmân. Tetapi,
sayang, buku itu mempunyai kelemahan dari segi diksi dan gaya bahasanya di samping banyak
mengandung kesalahan-kesalahan tata bahasa dan morfologis. Tidak adanya buku dengan judul itu
dalam literatur Arab klasik, memperkuat dugaan bahwa buku ini disusun pada masa yang belum
terlalu lama. Banyak pendapat mengenai siapa Luqmân al-Hakîm sebenarnya. Ada yang
mengatakan bahwa ia berasal dari Nûba, dari keluarga Aylah. Ada juga yang menyebutnya dari
Etiopia. Pendapat lain mengatakan bahwa ia berasal dari Mesir selatan yang berkulit hitam. Juga ada
pendapat lain menyebutkan bahwa ia seorang Ibrani. Hampir semua orang yang menceritakan
riwayatnya sepakat bahwa Luqmân bukan seorang nabi. Hanya sedikit yang berpendapat bahwa ia
termasuk salah seorang nabi. Kesimpulan yang dapat kita ambil dari riwayat-riwayat yang
menyebutkannnya adalah bahwa ia bukan orang Arab. Para periwayat itu bersepakat untuk
mengatakan demikian. Ia adalah seorang yang bijak, bukan seorang nabi. Dan ia telah memasukkan
banyak kata bijak baru ke dalam literatur Arab yang kemudian mereka pakai, sebagaimana dapat
ditemukan dalam banyak buku.
Ayat 14
Tafsir Jalalain :
(Dan Kami wasiatkan kepada manusia terhadap kedua orang ibu bapaknya) maksudnya Kami
perintahkan manusia untuk berbakti kepada kedua orang ibu bapaknya (ibunya telah
mengandungnya) dengan susah payah (dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah) ia lemah
karena mengandung, lemah sewaktu mengeluarkan bayinya, dan lemah sewaktu mengurus anaknya
di kala bayi (dan menyapihnya) tidak menyusuinya lagi (dalam dua tahun. Hendaknya) Kami
katakan kepadanya (bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu bapakmu, hanya kepada
Akulah kembalimu) yakni kamu akan kembali.
Tafsir Ibnu Katsir :
Di dalam Al-Qur'an sering sekali disebutkan secara bergandengan antara perintah menyembah Allah
semata dan berbakti kepada kedua orang tua. Dan dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah. (Luqman:14)
Mujahid mengatakan, yang dimaksud dengan al-wahn ialah penderitaan mengandung anak. Menurut
Qatadah, maksudnya ialah kepayahan yang berlebih-lebihan. Sedangkan menurut Ata Al-
Khurrasani ialah lemah yang bertambah-tambah.
Firman Allah Swt.:
dan menyapihnya dalam dua tahun. (Luqman:14)
Yakni mengasuh dan menyusuinya setelah melahirkan selama dua tahun, seperti yang disebutkan
dalam ayat lain melalui firman-Nya:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. (Al Baqarah:233), hingga akhir ayat.
Berangkat dari pengertian ayat ini Ibnu Abbas dan para imam lainnya menyimpulkan bahwa masa
penyusuan yang paling minim ialah enam bulan, karena dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. (Al Ahqaaf:15)
Dan sesungguhnya Allah Swt. menyebutkan jerih payah ibu dan penderitaannya dalam mendidik
dan mengasuh anaknya, yang karenanya ia selalu berjaga sepanjang siang dan malamnya. Hal itu
tiada lain untuk mengingatkan anak akan kebaikan ibunya terhadap dia, sebagaimana yang
disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
Dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku waktu kecil.” (Al Israa':24)
Karena itulah dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:

Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
(Luqman:14)
Yakni sesungguhnya Aku akan membalasmu bila kamu bersyukur dengan pahala yang berlimpah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan
kepada kami Abdullah ibnu Abu Syaibah dan Mahmud ibnu Gailan. Keduanya mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari
Sa'id ibnu Wahb yang menceritakan bahwa Mu'az ibnu Jabal datang kepada kami sebagai utusan
Nabi Saw. Lalu ia berdiri dan memuji kepada Allah, selanjutnya ia mengatakan: Sesungguhnya aku
adalah utusan Rasulullah Saw. kepada kalian (untuk menyampaikan), "Hendaklah kalian
menyembah Allah dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Hendaklah kalian taat
kepadaku, aku tidak akan henti-hentinya menganjurkan kalian berbuat kebaikan. Dan sesungguhnya
kembali (kita) hanya kepada Allah, lalu adakalanya ke surga atau ke neraka sebagai tempat tinggal
yang tidak akan beranjak lagi darinya, lagi kekal tiada kematian lagi.
TafsirQuraish Shihab
Dan telah Kami perintahkan kepada manusia untuk berbakti kepada orangtuanya, dengan
menjadikan ibunya lebih dihormati. Karena ia telah mengandungnya sehingga menjadi semakin
bertambah lemah. Lalu kandungan itu sedikit demi sedikit membesar. Ibu kemudian menyapihnya
dalam dua tahun. Dan telah Kami wasiatkan kepadanya, "Bersyukurlah kepada Allah dan kedua
orangtuamu. Kepada-Nyalah tempat kembali untuk perhitungan dan pembalasan.

Ayat 15
Tafsir Jalalain :
(Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu) yakni pengetahuan yang sesuai dengan kenyataannya (maka janganlah
kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang makruf) yaitu
dengan berbakti kepada keduanya dan menghubungkan silaturahmi dengan keduanya (dan ikutilah
jalan) tuntunan (orang yang kembali) orang yang bertobat (kepada-Ku) dengan melakukan ketaatan
(kemudian hanya kepada Akulah kembali kalian, maka Kuberitakan kepada kalian apa yang telah
kalian kerjakan) Aku akan membalasnya kepada kalian. Jumlah kalimat mulai dari ayat 14 sampai
dengan akhir ayat 15 yaitu mulai dari lafal wa washshainal insaana dan seterusnya merupakan
jumlah i'tiradh, atau kalimat sisipan
Tafsir Ibnu Katsir :
Firman Allah Swt.:
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. (Luqman:15)
Jika keduanya menginginkan dirimu dengan sangat agar kamu mengikuti agama keduanya (selain
Islam), janganlah kamu mau menerima ajakannya, tetapi janganlah sikapmu yang menentang dalam
hal tersebut menghambatmu untuk berbuat baik kepada kedua orang tuamu selama di dunia.

dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. (Luqman:15)


Yaitu jalannya orang-orang yang beriman.
kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan. (Luqman:15)
Imam Tabrani mengatakan di dalam Kitabul 'Isyarh-nya, telah menceritakan kepada kami Abu
Abdur Rahman Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu
Ayyub ibnu Rasyid, telah menceritakan kepada kami Maslamah ibnu Alqamah, dari Daud ibnu Abu
Hindun, bahwa Sa'd ibnu Malik pernah mengatakan bahwa ayat berikut diturunkan berkenaan
dengannya, yaitu firman-Nya: Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan
Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.
(Luqman:15), hingga akhir ayat. Bahwa ia adalah seorang yang berbakti kepada ibunya. Ketika ia
masuk Islam, ibunya berkata kepadanya, "Hai Sa'd, mengapa engkau berubah pendirian? Kamu
harus tinggalkan agama barumu itu (Islam) atau aku tidak akan makan dan minum hingga mati,
maka kamu akan dicela karena apa yang telah kulakukan itu, dan orang-orang akan menyerumu
dengan panggilan, 'Hai pembunuh ibunya!'." Maka aku menjawab, "Jangan engkau lakukan itu, Ibu,
karena sesungguhnya aku tidak bakal meninggalkan agamaku karena sesuatu." Maka ibuku tinggal
selama sehari semalam tanpa mau makan, dan pada pagi harinya ia kelihatan lemas. Lalu ibuku
tinggal sehari semalam lagi tanpa makan, kemudian pada pagi harinya kelihatan bertambah lemas
lagi. Dan ibuku tinggal sehari semalam lagi tanpa makan, lalu pada pagi harinya ia kelihatan sangat
lemah. Setelah kulihat keadaan demikian, maka aku berkata, "Hai ibu, perlu engkau ketahui, demi
Allah, seandainya engkau mempunyai seratus jiwa, lalu satu persatu keluar dari tubuhmu, niscaya
aku tidak akan meninggalkan agamaku karena sesuatu. Dan jika engkau tidak ingin makan, silakan
tidak usah makan, dan jika engkau ingin makan silakan makan saja," Akhirnya ibuku mau makan.
Tafsir Quraish Shihab
Dan apabila kedua orangtuamu memaksamu untuk menyekutukan Allah dengan sesuatu yang kamu
ketahui bahwa dia tidak pantas untuk disembah, maka janganlah kalian menaati mereka. Pergaulilah
mereka berdua di dunia dengan baik. Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada ketauhidan dan
keikhlasan. Kemudian kepada-Kulah tempat kembali kalian semua, kemudian Aku akan
memberitahukan kepada kalian kebaikan dan keburukan yang telah kalian lakukan, agar Aku
memberikan balasan atasnya."
Ayat 16
Tafsir Jalalain :
("Hai anakku, sesungguhnya) perbuatan yang buruk-buruk itu (jika ada sekalipun hanya sebesar biji
sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi) atau di suatu tempat yang paling
tersembunyi pada tempat-tempat tersebut (niscaya Allah akan mendatangkannya) maksudnya Dia
kelak akan menghisabnya. (Sesungguhnya Allah Maha Halus) untuk mengeluarkannya (lagi Maha
Waspada) tentang tempatnya
Tafsir Ibnu Katsir :
Inilah nasihat-nasihat yang besar manfaatnya, dikisahkan oleh Allah Swt. dari apa yang diwasiatkan
oleh Luqman, agar manusia mencontohinya dan mengikuti jejaknya. Untuk itu Allah Swt. menyitir
perkataan Luqman:
Hai Anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi. (Luqman:16)
Yakni sesungguhnya perbuatan aniaya atau dosa sekecil apa pun, misalnya sebesar biji sawi.
Menurut sebagian ulama, damir yang terdapat di dalam firman-Nya, "Innaha," adalah damir sya'n
dan kisah (alkisah), berdasarkan pengertian ini diperbolehkan membaca rafa' lafaz misqal, tetapi
qiraat yang pertama membacanya nasab adalah lebih utama.
Firman Allah Swt.:
niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). (Luqman:16) '
Artinya, Allah pasti menghadirkannya pada hari kiamat di saat neraca amal perbuatan telah
dipasang dan pembalasan amal perbuatan ditunaikan. Jika amal perbuatan seseorang baik, maka
balasannya baik, dan jika amal perbuatan seseorang buruk, maka balasannya buruk pula,
sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:
Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang
barang sedikit pun. (Al Anbiyaa:47), hingga akhir ayat.
Dan firman Allah Swt.:
Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya pula. (Az-Zalzalah: 7-8)
Seandainya zarrah itu berada di dalam tempat yang terlindungi dan tertutup rapat—yaitu berada di
dalam sebuah batu besar, atau terbang melayang di angkasa, atau terpendam di dalam bumi—
sesungguhnya Allah pasti akan mendatangkannya dan membalasinya. Karena sesungguhnya bagi
Allah tiada sesuatu pun yang tersembunyi barang sebesar zarrah pun, baik yang ada di langit
maupun yang ada di bumi. Karena itulah disebutkan oleh firman berikutnya:
Sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Maha Mengetahui. (Luqman:16)
Yakni Mahahalus pengetahuannya. Maka tiada segala sesuatu yang tersembunyi bagi-Nya,
sekalipun sangat kecil dan sangat lembut.
lagi Maha Mengetahui. (Luqman:16)
Allah Maha Mengetahui langkah-langkah semut di malam yang gelap gulita.
Sebagian ulama berpendapat bahwa makna yang dimaksud dari firman-Nya:
dan berada dalam batu. (Luqman:16)
Yakni batu yang ada di bumi lapis ke tujuh.
Pendapat ini disebutkan oleh As-Saddi berikut sanadnya yang diduga bersumber dari Ibnu Mas'ud,
Ibnu Abbas dan sejumlah sahabat, jika memang sanadnya berpredikat sahih. Hal yang sama telah
diriwayatkan melalui Atiyyah Al-Aufi, Abu Malik, As-Sauri, Al-Minhal ibnu Amr, dan lain-
lainnya, hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Yang jelas seakan-akan riwayat ini dinukil dari kisah
Israiliyat yang tidak dapat dibenarkan dan tidak pula didustakan.
Menurut makna lahiriah ayat —hanya Allah Yang Maha Mengetahui— biji zarrah yang sangat kecil
ini seandainya berada di dalam sebuah batu besar, maka sesungguhnya Allah akan memperlihatkan
dan menampakkannya berkat pengetahuan-Nya Yang Mahahalus. Sebagaimana yang disebutkan
oleh Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya yang menyebutkan:
telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah,
telah menceritakan kepada kami Daraj, dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah
Saw. yang telah bersabda: Seandainya seseorang di antara kalian melakukan amal perbuatan di
dalam sebuah batu besar yang tidak ada pintu dan lubangnya, niscaya amal perbuatannya itu akan
ditampakkan kepada manusia seperti apa adanya
TafsirQuraish Shihab
Wahai anakku, sesungguhnya kebaikan dan keburukan manusia, meskipun sekecil biji sawi dan
berada pada tempat yang paling tersembunyi--seperti di balik karang, di langit, ataupun di bumi--
Allah pasti akan menampakkan dan memperhitungkannya. Sesungguhnya Allah Mahahalus, tak ada
sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya; Mahatahu yang mengetahui hakikat segala hal.
Ayat 17
Tafsir Jalalain :
(Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka
dari perbuatan mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu) disebabkan amar
makruf dan nahi mungkarmu itu. (Sesungguhnya yang demikian itu) hal yang telah disebutkan itu
(termasuk hal-hal yang ditekankan untuk diamalkan) karena mengingat hal-hal tersebut merupakan
hal-hal yang wajib.
Tafsir Ibnu Katsir :
Kemudian Luqman mengatakan lagi dalam nasihat berikutnya:
Hai Anakku, dirikanlah salat. (Luqman:17)
sesuai dengan batasan-batasannya, fardu-fardunya, dan waktu-waktunya.
dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar. (Luqman:17)
sesuai dengan kemampuanmu dan menurut kesanggupan kekuatanmu.
dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. (Luqman:17)
Perlu kamu ketahui bahwa dalam mengerjakan amar ma'ruf dan nahi munkar terhadap manusia,
pasti kamu akan beroleh gangguan dan perlakuan yang menyakitkan dari mereka. Karena itulah
kamu harus bersabar terhadap gangguan mereka. Luqman menasihati anaknya untuk bersabar dalam
menjalankan perintah amar ma'ruf dan nahi munkar itu.
Firman Allah Swt.:
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (Luqman:17)

Sesungguhnya bersikap sabar dalam menghadapi gangguan manusia benar-benar termasuk hal yang
diwajibkan oleh Allah.
TafsirQuraish Shihab
Wahai anakku, jagalah salat, perintahlah manusia untuk melakukan segala kebaikan dan laranglah
untuk melakukan segala kejahatan. Bersabarlah atas kesulitan yang menimpamu. Sesungguhnya apa
yang telah diwasiatkan oleh Allah adalah hal-hal yang harus selalu dilakukan dan dijaga
Ayat 18
Tafsir Jalalain :
(Dan janganlah kamu memalingkan) menurut qiraat yang lain dibaca wa laa tushaa`ir (mukamu dari
manusia) janganlah kamu memalingkannya dari mereka dengan rasa takabur (dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi dengan angkuh) dengan rasa sombong. (Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong) yakni orang-orang yang sombong di dalam berjalan (lagi
membanggakan diri) atas manusia
Tafsir Ibnu Katsir :
Firman Allah Swt.:
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia. (Luqman:18)
Janganlah kamu memalingkan mukamu saat berbicara dengan orang lain, atau saat mereka berbicara
kepadamu, kamu lakukan itu dengan maksud menganggap mereka remeh dan bersikap sombong
kepada mereka. Akan tetapi, bersikap lemah lembutlah kamu dan cerahkanlah wajahmu dalam
menghadapi mereka. Di dalam sebuah hadis disebutkan seperti berikut:
sekalipun berupa sikap yang ramah dan wajah yang cerah saat kamu menjumpai saudaramu. Dan
janganlah kamu memanjangkan kainmu, karena sesungguhnya cara berpakaian seperti itu termasuk
sikap sombong yang tidak disukai oleh Allah.
Ali ibnu AbuTalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia. (Luqman:18) Yakni janganlah kamu
bersikap sombong, menganggap remeh hamba-hamba Allah, dan kamu palingkan mukamu saat
mereka berbicara denganmu. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Al-Aufi dan Ikrimah bersumber
dari Ibnu Abbas.
Malik Ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan
janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia. (Luqman:18) Maksudnya, janganlah kamu
berbicara dengan memalingkan mukamu. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah,
Yazid ibnul Asam, Abul Jauza, Sa'id ibnu Jubair, Ad-Dahhak, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya.
Ibrahim An-Nakha'i mengatakan, makna yang dimaksud ialah membual. Akan tetapi, yang benar
adalah pendapat yang pertama.
Abu Talib telah mengatakan pula dalam salah satu bait syairnya:
Dan dahulu kami tidak pernah membiarkan suatu perbuatan aniaya pun. Bila mereka mendapat
pujian, lalu bersikap sombong, maka kami meluruskannya.

Firman Allah Swt.:


dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. (Luqman:18)
Yaitu dengan langkah yang angkuh, sombong, serta takabur. Janganlah kamu bersikap demikian,
karena Allah pasti akan membencimu. Dalam firman berikutnya disebutkan:
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
(Luqman:18)
Yakni orang yang sombong dan merasa bangga dengan dirinya terhadap orang lain. Dalam ayat
yang lain disebutkan oleh firman-Nya hal yang semakna, yaitu:
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. (Al
Israa':37)
Tafsir ayat ini telah dikemukakan pada pembahasannya.
Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Abdullah Al-Hadrami, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Imran ibnu Abu Laila,
dari Isa, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Sabit ibnu Qais Syammas yang menceritakan
bahwa pada suatu hari disebutkan masalah takabur di hadapan Rasulullah Saw. Maka beliau
memperingatkannya dengan keras dan bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang-sombong lagi membanggakan diri.” Maka seorang lelaki dari kaum yang hadir bertanya,
"Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya saya biasa mencuci pakaian saya karena saya suka
dengan warna putihnya. Saya juga suka dengan tali sandal saya serta tempat gantungan cemeti
saya.” Maka beliau Saw. menjawab, "Itu bukan takabur namanya, sesungguhnya yang dinamakan
takabur itu ialah bila kamu meremehkan perkara yang hak dan merendahkan orang lain.”
Imam Tabrani telah meriwayatkan hal yang semisal melalui jalur lain, yang mengandung kisah yang
cukup panjang, juga tentang gugurnya Sabit serta wasiatnya.
TafsirQuraish Shihab
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia dengan sikap sombong serta jangan pula
berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong
yang selalu membangga-banggakan perbuatan baiknya

Ayat 19
Tafsir Jalalain :
(Dan sederhanalah kamu dalam berjalan) ambillah sikap pertengahan dalam berjalan, yaitu antara
pelan-pelan dan berjalan cepat, kamu harus tenang dan anggun (dan lunakkanlah) rendahkanlah
(suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara) suara yang paling jelek itu (ialah suara keledai.")
Yakni pada permulaannya adalah ringkikan kemudian disusul oleh lengkingan-lengkingan yang
sangat tidak enak didengar

Tafsir Ibnu Katsir :


Maksudnya, berjalanlah kamu dengan langkah yang biasa dan wajar, tidak terlalu lambat dan tidak
terlalu cepat, melainkan pertengahan di antara keduanya.
Firman Allah Swt.:
dan lunakkanlah suaramu. (Luqman:19)
Janganlah kamu berlebihan dalam bicaramu, jangan pula kamu keraskan suaramu terhadap hal yang
tidak ada faedahnya. Karena itulah disebut dalam firman berikutnya:
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Luqman:19)
Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan, sesungguhnya suara yang paling
buruk ialah suara keledai, yakni suara yang keras berlebihan itu diserupakan dengan suara keledai
dalam hal keras dan nada tingginya, selain itu suara tersebut tidak disukai oleh Allah Swt. Adanya
penyerupaan dengan suara keledai ini menunjukkan bahwa hal tersebut diharamkan dan sangat
dicela, karena Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Tiada pada kita suatu perumpamaan buruk terhadap orang yang mengambil kembali hibahnya
(melainkan) seperti anjing yang muntah, lalu ia memakan lagi muntahannya.
Imam Nasai dalam tafsir ayat ini mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibnu Sa'id,
telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Ja'far ibnu Rabi'ah, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah
r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Apabila kalian mendengar suara kokokan ayam jago, maka
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Dan apabila kalian mendengar suara lengkingan
keledai, maka mohonlah perlindungan kepada Allah dari gangguan setan, karena sesungguhnya
keledai itu sedang melihat setan.
Jamaah yang lainnya —kecuali Ibnu Majah— telah mengetengahkan hadis ini melalui berbagai
jalur dari Ja'far ibnu Rabi'ah dengan sanad yang sama. Dan di dalam sebagian teksnya disebutkan
kalimat 'di malam hari'. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
Itulah wasiat-wasiat yang sangat bermanfaat yang dikisahkan oleh Al-Qur'anul Karim mengenai
Luqmanul Hakim. Telah diriwayatkan pula dari Luqman hikmah-hikmah dan nasihat-nasihat
lainnya yang cukup banyak. Berikut ini akan dikemukakan sebagian darinya sebagai contoh dan
pelajaran.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ishaq, telah menceritakan
kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepadaku
Nahsyal ibnu Majma'ud Dabbi, dari Quza'ah, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bercerita tentang Luqman kepada para sahabatnya. Beliau Saw. bersabda:
Sesungguhnya Luqmanul Hakim pernah mengatakan bahwa sesungguhnya Allah itu apabila dititipi
sesuatu pasti Dia pelihara.
Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah
menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus, dari Al-Auza'i, dari Musa ibnu Sulaiman, dari Al-Qasim
ibnu Mukhaimirah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Luqmanul Hakim berkata kepada
putranya saat ia menasihatinya, "Hai Anakku, janganlah kamu meminta-minta karena sesungguhnya
perbuatan ini menjadikan ketakutan di malam hari dan kehinaan di siang hari.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepada kami Amr ibnu Usman ibnu Damrah, telah menceritakan kepada kami As-Sari ibnu Yahya
yang mengatakan bahwa Luqman pernah mengatakan kepada anaknya, "Hai Anakku, sesungguhnya
hikmah itu dapat menghantarkan orang-orang miskin kepada kedudukan para raja."
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepada kami Abdah ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah
menceritakan kepada kami Abdur Rahman Al-Mas'udi, dari Aun ibnu Abdullah yang mengatakan
bahwa Luqman berkata kepada anaknya, "Hai Anakku, apabila kamu mendatangi tempat
berkumpulnya suatu kaum, maka lemparkanlah kepada mereka anak panah Islam—yakni ucapan
salam—, kemudian duduklah di tempat mereka. Janganlah kamu berbicara sebelum kamu lihat
mereka telah berbicara semuanya. Dan apabila mereka membicarakan tentang zikrullah, maka
tangguhkanlah anak panahmu bersama mereka (yakni jangan kamu pergi meninggalkan mereka).
Dan jika ternyata mereka membicarakan hal selain zikrullah, maka beranjaklah kamu dari mereka
dan bergabunglah dengan kaum yang lain."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada
kami Amr ibnu Usman ibnu Sa'id ibnu Kasir ibnu Dinar, telah menceritakan kepada kami Damrah,
dari Hafs ibnu Umar yang menceritakan bahwa Luqman meletakkan sekantong biji sawi di sisinya,
lalu ia menasihati anaknya dengan suatu nasihat seraya mengeluarkan biji sawinya sebiji demi sebiji
hingga habislah semua biji sawi kantungnya dikeluarkan. Lalu Luqman berkata, "Hai Anakku,
sesungguhnya aku telah menasihatimu dengan suatu nasihat yang seandainya ditujukan kepada
sebuah bukit niscaya bukit itu akan terbelah." Maka saat itu juga terbelahlah anak Luqman.
Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Baqi Al-
Masisi, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman Al-Khuza'i, telah
menceritakan kepada kami Usman ibnu Abdur Rahman At-Taraifi, telah menceritakan kepada kami
Anas ibnu Sufyan Al-Maqdisi, dari Khalifah ibnu Salam, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Ibnu Abbas
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Pakailah oleh kalian orang-orang yang
berkulit hitam, karena sesungguhnya ada tiga orang dari kalangan mereka yang menjadi penghulu
ahli surga, yaitu Luqmanul Hakim, An-Najasyi, dan Bilal juru azan.
Imam Tabrani mengatakan, yang dimaksud dengan orang yang berkulit hitam dalam hadis ini ialah
orang-orang Abesenia.
#Sebuah Pasal tentang Rendah Diri dan Tidak Ingin Terkenal
Pembahasan ini berkaitan dengan wasiat Luqmanul Hakim kepada putranya. Al-Hafiz Abu Bakar
Ibnu Abud Dunia telah menghimpun sebuah kitab tersendiri yang membahas mengenainya. Berikut
ini akan diketengahkan sebagian dari kandungan intinya.
Ibnu Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Munzir, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Musa Al-Madani, dari Usamah ibnu Zaid ibnu Hafs ibnu
Abdullah ibnu Anas, dari kakeknya (yaitu Anas ibnu Malik), yang menceritakan bahwa ia pernah
mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Banyak dijumpai orang yang rambutnya berdebu, berpakaian
tambal sulam yang terusir dari pintu rumah orang-orang. Apabila ia memohon kepada Allah,
niscaya Allah mengabulkannya.
Kemudian Ibnu Abud Dunia meriwayatkannya melalui Ja'far ibnu Sulaiman, dari Sabit dan Ali ibnu
Zaid, dari Anas, dari Nabi Saw., lalu disebutkan hadis yang semisal, dan di akhirnya ada tambahan,
yaitu:
di antara mereka adalah Al-Barra ibnu Malik.
Dia telah meriwayatkan pula melalui Anas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
Beruntunglah orang-orang yang bertakwa lagi kaya, yaitu mereka yang apabila hadir tidak dikenal
dan bila tidak hadir tidak ada yang mencarinya. Mereka bagaikan pelita-pelita (yang bersinar
cemerlang) lagi terbebas dari semua fitnah yang kotor lagi kacau.
Abu Bakar ibnu Sahl At-Tamimi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam,
telah menceritakan kepada kami Nafi' ibnu Yazid, dari Iyasy Ibnu Abbas, dari Isa ibnu Abdur
Rahman, dari Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Umar r.a. yang menceritakan bahwa saat
memasuki masjid ia bersua dengan Mu'az ibnu Jabal r.a. yang sedang menangis di sisi kuburan
Rasulullah Saw. Maka Umar bertanya, "Apakah yang menyebabkan kamu menangis, hai Mu'az?"
Mu'az menjawab, bahwa ia teringat akan hadis Rasulullah Saw. yang ia dengar langsung darinya,
yaitu: Sesungguhnya sedikit ria (pamer) merupakan perbuatan musyrik, dan sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertakwa, tidak dikenal lagi kaya, yaitu mereka yang apabila tidak
hadir tiada orang yang mencarinya, dan apabila hadir tidak dikenal. Hati mereka bagaikan pelita
pemberi petunjuk, mereka selamat dari semua fitnah yang kotor lagi gelap.
Telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Syuja', telah menceritakan kepada kami Ganam
ibnu Ali, dari Humaid ibnu Ata Al-A'raj, dari Abdullah ibnul Haris, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a.,
dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Banyak dijumpai orang yang berpakaian tambal sulam tidak
diindahkan. Seandainya dia berdoa kepada Allah, niscaya Allah mengabulkannya. Seandainya dia
berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya saya memohon kepada-Mu surga, "niscaya Allah akan
memberinya surga, tetapi Allah tidak memberinya bagian dari duniawi barang sedikit pun.
Abu Bakar ibnu Sahl At-Tamimi mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu
Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy,dari Salim ibnu Abul
Ja'd yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya di antara umatku
terdapat seseorang yang seandainya dia mendatangi pintu rumah seseorang dari kalian untuk
meminta dinar atau dirham atau uang recehan, pastilah dia tidak diberi. Dan seandainya dia meminta
surga kepada Allah, tentulah Allah akan memberinya surga. Dan seandainya dia meminta bagian
duniawi kepada-Nya, Allah tidak akan memberinya, dan tiadalah Allah menolaknya meminta dunia,
melainkan karena duniawi itu tiada arti baginya. Dia berpakaian tambal sulam lagi tidak diindahkan
(tidak dikenal), seandainya dia bersumpah atas nama Allah, tentulah dia menunaikannya.

Ditinjau dari segi sanadnya hadis ini berpredikat mursal.


Dia mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan
kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Auf yang mengatakan bahwa
Abu Hurairah r.a. pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya di
antara raja-raja surga terdapat (dari kalangan) orang (yang sewaktu di dunia) rambutnya awut-
awutan lagi berdebu, berpakaian tambal sulam, lagi tidak dikenal. Yaitu mereka yang apabila
meminta izin untuk menemui amir pasti tidak diberi izin masuk, dan apabila melamar wanita pasti
tidak diterima, dan apabila berbicara ucapannya tidak didengar, kebutuhan seseorang dari mereka
bertumpang tindih tersimpan dalam hatinya. Seandainya cahaya dia kelak di hari kiamat dibagikan
kepada semua manusia, niscaya dapat memuat mereka.
#Bab Hadis-Hadis yang Membahas tentang Syuhrah (ketenaran)
Abu Bakar ibnu Sahl At-Tamimi telah meriwayatkan pula melalui hadis Ubaidillah Ibnu Zahr, dari
Ali ibnu Zaid, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah secara marfu': Allah SWT berfirman, "Di antara
kekasih-kekasih-Ku yang paling disukai di sisi-Ku ialah orang mukmin yang rendah diri, banyak
mengerjakan salat, beribadah kepada Tuhannya dengan baik dan taat kepada-Nya secara sembunyi-
sembunyi, dan tidak dikenal di kalangan manusia, bukan termasuk orang yang menjadi perhatian
orang banyak," jika dia sabar dalam melakukan hal tersebut. Kemudian Rasulullah Saw. berisyarat
dengan tangannya dan bersabda: Maut datang cepat menjemputnya, ahli warisnya sedikit dan sedikit
pula orang yang menangisi kepergiannya.
Diriwayatkan dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa hamba yang paling disukai oleh
Allah ialah orang-orang yang terasing. Ketika ditanyakan, "Siapakah yang dimaksud dengan orang-
orang yang terasing itu?" Abdullah ibnu Amr menjawab, "Orang-orang yang lari menyelamatkan
agamanya, kelak mereka dihimpunkan di hari kiamat bersama Isa putra Maryam."
Al-Fudail ibnu Iyad mengatakan, "Telah sampai kepadaku suatu berita yang mengatakan bahwa
kelak di hari kiamat Allah Swt. berfirman kepada hamba-Nya, 'Bukankah Aku telah
menyenangkanmu, bukankah Aku telah memberimu, bukankah Aku telah menutupimu, dan
bukankah Aku telah menjadikan baik sehutanmu?'." Kemudian Al-Fudail mengatakan, "Jika engkau
mampu untuk tidak dikenal, lakukanlah. Tidaklah membahayakan dirimu bila dirimu tidak dipuji,
dan tidaklah membahayakanmu bila kamu dicela di mata manusia, tetapi disukai di sisi Allah."
Ibnu Muhairiz sering mengatakan dalam doanya, "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-
Mu untuk tidak dikenal."
Khalil ibnu Ahmad sering mengucapkan doa berikut, "Ya Allah, jadikanlah diriku di sisi-Mu
termasuk orang yang paling tinggi di kalangan makhluk-Mu, dan jadikanlah aku menurut
pandangan diriku termasuk orang yang paling rendah di kalangan makhluk-Mu, dan menurut
pandangan orang lain termasuk orang yang paling pertengahan di kalangan makhluk-Mu."
Abu Bakar ibnu Sahl At-Tamimi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Isa Al-
Masri, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Umar ibnul Haris dan Ibnu Lahi'ah, dari
Yazid ibnu Abu Habib, dari Sinan ibnu Sa'd, dari Anas, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda:
Cukuplah keburukan bagi seseorang, terkecuali orang yang dipelihara oleh Allah, bila ia menjadi
seorang yang menjadi pusat perhatian orang-orang lain dalam hal agama dan dunianya. Dan
sesungguhnya Allah tidak akan memandang kepada rupa kalian, tetapi kepada hati dan amal
perbuatan kalian.
Dia telah meriwayatkan hal yang semisal dari Ishaq ibnu Bahlul, dari Ibnu Abu Fudaik, dari
Muhammad ibnu Abdul Wahid Al-Akhnasi, dari Abdul Wahid ibnu Abu Kasir, dari Jabir ibnu
Abdullah secara marfu' dengan lafaz yang semisal.
Ia meriwayatkan pula dari Al-Hasan hal yang semisal. Maka dikatakan kepada Al-Hasan,
"Bukankah engkau termasuk orang yang menjadi pusat perhatian orang banyak?" Maka Al-Hasan
menjawab, bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan ketenaran yang tercela dalam hadis ini
ialah orang yang tenar dengan bid'ahnya dalam agamanya dan fasik dalam masalah dunianya.
Diriwayatkan melalui Ali r.a., bahwa ia telah mengatakan, "Janganlah kamu berusaha untuk
menjadi orang yang tenar, dan janganlah kamu angkat dirimu untuk menjadi buah bibir dan
terkenal. Tetapi diamlah dan jangan banyak bicara, niscaya kamu selamat, maka kamu akan
membuat senang orang-orang yang bertakwa dan menjengkelkan orang-orang yang durhaka."
Ibrahim ibnu Adam telah mengatakan bahwa bukanlah termasuk orang yang percaya kepada Allah
seseorang yang menyukai ketenaran.
Ayyub mengatakan, tidaklah seorang hamba percaya kepada Allah, melainkan bila ia merasa senang
jika ia dijadikan orang yang tidak mengetahui kedudukan dirinya.
Muhammad ibnul Ala telah mengatakan bahwa barang siapa yang cinta kepada Allah, maka Allah
menjadikannya orang yang suka bila tidak dikenal oleh orang banyak.
Sammak ibnu Salamah telah mengatakan, janganlah engkau menjadi orang yang mempunyai
banyak teman dekat.
Aban ibnu Usman telah mengatakan bahwa jika kamu menginginkan agar selamat dalam memegang
agamamu, maka persedikitlah kenalan-kenalanmu.
Disebutkan bahwa Abul Aliyah apabila duduk di majelisnya sebanyak tiga orang lebih, maka ia
bangkit dan pergi meninggalkan mereka.
Telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Ja'd, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Auf,
dari Abu Raja yang menceritakan bahwa Talhah melihat suatu kaum berjalan bersamanya, maka ia
berkata, "Mereka adalah para pemburu ketamakan dan bagaikan kupu-kupu yang menjerumuskan
dirinya ke dalam api."
Ibnu Idris telah meriwayatkan dari Harun ibnu Abu Isa, dari Salim ibnu Hanzalah yang
menceritakan, "Ketika kami berada di sekeliling ayahku, tiba-tiba Umar ibnul Khattab memukulnya
dengan cambuk seraya berkata, 'Sesungguhnya keadaan seperti ini berakibat kehinaan bagi orang
yang diikuti dan menjadi fitnah bagi orang yang mengikutinya'."
Ibnu Aun telah meriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa Ibnu Mas'ud keluar dan diikuti oleh sejumlah
orang banyak. Maka Ibnu Mas'ud berkata, "Demi Allah, seandainya kalian mengetahui apa yang
tersimpan di balik pintu rumahku yang terkunci, pasti tidak akan ada dua orang pun dari kalian yang
mengikutiku."
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, bahwa Ayyub kelihatan memakai baju gamis yang
berlengan panjang, maka ditanyakan kepadanya mengenai hal tersebut, lalu ia menjawab,
"Sesungguhnya ketenaran di masa lalu terletak pada pakaian baju gamis yang berlengan panjang,
tetapi sekarang terletak pada pakaian yang berlengan pendek." Pada suatu waktu Ayyub membuat
sepasang terompah yang serupa dengan terompah milik Nabi Saw., lalu ia memakainya selama
beberapa hari, kemudian mencabutnya (menanggalkannya) dan mengatakan, "Aku tidak melihat ada
orang lain yang memakai terompah seperti ini."
Ibrahim An-Nakha'i telah mengatakan, "Janganlah kamu memakai pakaian yang membuat dirimu
disangka sebagai orang-orang yang terkemuka, dan jangan pula kamu berpakaian yang membuat
orang lain merendahkan dirimu."
As-Sauri mengatakan bahwa di masa lalu orang-orang tidak menyukai pakaian yang bagus-bagus
yang menyebabkan pemakainya terkenal dan menjadi pusat perhatian orang banyak, tidak pula
menyukai pakaian jelek yang menyebabkan pemakainya dipandang hina dan penghayatan agamanya
direndahkan.
Telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Khaddasy, telah menceritakan kepada kami Hammad,
dari Abu Hasanah (teman Az-Ziyadi) yang telah menceritakan, "Ketika kami berada di majelis Abu
Qilabah, tiba-tiba masuklah seorang lelaki yang berpakaian necis dan mewah, maka Abu Qilabah
berkata, 'Janganlah kalian meniru keledai yang banyak melengking ini'."
Al-Hasan mengatakan, sesungguhnya ada suatu kaum yang di dalam kalbu mereka penuh dengan
rasa takabur, dan pakaian mereka berpenampilan rendah diri (sederhana). Dalam keadaan seperti ini
orang yang berpakaian sederhana lebih takabur ketimbang orang yang berpakaian mewah, tetapi
tidak takabur hatinya.
Di dalam salah satu kisah terdahulu disebutkan bahwa Musa a.s. pernah berkata kepada kaum Bani
Israil, "Mengapa kalian datang kepadaku dengan berpakaian seperti rahib, padahal hati kalian
bagaikan hati serigala. Berpakaianlah seperti raja, tetapi lunakkanlah hati kalian dengan rasa takut
(kepada Tuhan)."
#Sebuah Pasal tentang Akhlak yang Baik
Abut Tayyah telah meriwayatkan dari Anas r.a. hadis berikut: Rasulullah Saw. adalah orang yang
paling baik akhlaknya.
Diriwayatkan pula dari Ata, dari Ibnu Umar, bahwa pernah ditanyakan kepada Rasulullah Saw.,
"Wahai Rasulullah, manakah orang mukmin yang paling utama?" Rasulullah Saw. menjawab:
Orang yang paling baik akhlaknya dari mereka.
Diriwayatkan dari Nuh ibnu Abbad, dari Sabit, dari Anas secara marfu': Sesungguhnya seorang
hamba benar-benar dapat mencapai tingkatan yang tinggi di akhirat dan kedudukan yang mulia
berkat akhlaknya yang baik, padahal sesungguhnya ia lemah dalam hal ibadah. Dan sesungguhnya
dia benar-benar dijerumuskan ke dalam dasar Jahanam karena keburukan akhlaknya, walaupun dia
adalah seorang ahli ibadah.
Diriwayatkan dari Sinnan ibnu Harun, dari Humaid, dari Anas secara marfu': Akhlak yang baik
memborong semua kebaikan dunia dan akhirat.
Diriwayatkan dari Siti Aisyah secara marfu': Sesungguhnya seorang hamba benar-benar dapat
mencapai derajat orang yang selalu salat di malam hari dan puasa di siang harinya berkat kebaikan
akhlaknya.
Ibnu Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Muslim Abdur Rahman ibnu
Yunus, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Idris, telah menceritakan kepadaku ayahku
dan pamanku, dari kakekku, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang
amal perbuatan yang banyak memasukkan orang ke dalam surga, maka beliau menjawab: Takwa
kepada Allah dan akhlak yang baik. Beliau Saw. pernah pula ditanya tentang amal perbuatan yang
paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka. Beliau Saw. menjawab: Dua lubang, yaitu
mulut dan kemaluan.
Usamah ibnu Syarik menceritakan bahwa ketika ia berada di sisi Rasulullah Saw., tiba-tiba
datanglah orang-orang Badui dari setiap daerah pedalaman, lalu mereka bertanya, "Wahai
Rasulullah, apakah anugerah terbaik yang diperoleh manusia?" Maka Rasulullah Saw. menjawab:
Akhlak yang baik.
Ya'la ibnu Samak telah meriwayatkan dari Ummu Darda, dari Abu Darda yang menyampaikan
hadis ini, bahwa tiada sesuatu amal pun yang lebih berat dalam neraca timbangan amal perbuatan
selain dari akhlak yang baik.
Telah diriwayatkan pula dari Masruq, dari Abdullah ibnu Amr secara marfu': Sesungguhnya orang
yang terbaik di antara kalian ialah orang yang paling baik akhlaknya.
Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abud Badr, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ubaid, dari Muhammad ibnu Abu Sarah, dari Al-Hasan ibnu Ali yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya Allah benar-benar memberi
seorang hamba pahala berkat kebaikan akhlaknya, sebagaimana Dia memberi pahala kepada
seorang mujahid di jalan Allah, pahala berlimpahan baginya di setiap pagi dan petang.
Diriwayatkan dari Mak-hul, dari Abu Sa'labah secara marfu': Sesungguhnya orang yang paling aku
sukai dari kalian dan paling dekat kedudukannya denganku adalah orang-orang yang paling baik
akhlaknya. Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dari kalian dan paling jauh
kedudukannya dariku di surga nanti adalah orang-orang yang paling buruk akhlaknya, yaitu orang-
orang yang banyak bicara, suka membual (menyakiti orang lain melalui lisannya), lagi angkuh.
Diriwayatkan dari Abu Uwais, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir secara marfu': Maukah
aku beri tahukan kepada kalian tentang orang yang paling sempurna imannya dari kalian? Yaitu
orang-orang yang paling baik akhlaknya, lagi rendah diri, yaitu orang-orang yang disukai dan
menyukai.
Al-Lais telah meriwayatkan dari Yazid ibnu Abdullah ibnu Usamah, dari Bakr ibnu Abul Furat yang
telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidaklah Allah menjadikan baik
bentuk dan akhlak seseorang, lalu membiarkannya dimakan api (neraka).
Diriwayatkan dari Abdullah ibnu Galib Al-Haddani, dari Abu Sa'id secara marfu': Ada dua pekerti
yang keduanya tidak dapat terhimpun di dalam diri seorang mukmin, yaitu kikir dan akhlak yang
buruk.
Maimun ibnu Mahran telah meriwayatkan dari Rasulullah Saw.: Tiada suatu dosapun yang lebih
besar di sisi Allah selain dari akhlak yang buruk. Dikatakan demikian karena pelakunya tidak
sekali-kali terlepas dari suatu dosa, melainkan terjerumus ke dalam dosa itu di lain waktu.
Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Jahd, telah menceritakan kepada kami
Abul Mugirah Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Ishaq, dari seorang
lelaki dari kalangan kabilah Quraisy yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Tiada Suatu Dosa yang besar disisi Allah selain dari akhlak yang buruk. Sesungguhnya
akhlak yang baik itu benar-benar dapat melebur dosa-dosa, sebagaimana sinar mentari mencairkan
salju. Dan sesungguhnya akhlak yang buruk itu benar-benar merusak amal (baik) sebagaimana cuka
merusak madu.
Abdullah ibnu Idris telah meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya, dari Abu Hurairah secara
marfu': Sesungguhnya kalian tidak akan dapat memikat hati manusia dengan harta kalian, tetapi
kalian dapat memikat mereka dengan sikap wajah yang berseri dan akhlak yang baik.
Muhammad ibnu Sirin telah mengatakan bahwa akhlak yang baik menunjang agama.
#Sebuah Pasal mengenai Celaan terhadap Takabur
Alqamah telah meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud yang me-rafa'-kan hadis berikut: Tidak dapat masuk
surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat sifat takabur seberat biji sawi, dan tidak dapat
masuk neraka seseorang yang di dalam hatinya terdapat iman seberat biji sawi.
Ibrahim ibnu Abu Ablah telah meriwayatkan dari Abu Salamah, dari Abdullah ibnu Amr secara
marfu': Barang siapa yang di dalam hatinya terdapat sifat takabur seberat biji sawi, Allah akan
menjungkalkannya dengan muka di bawah ke dalam neraka.
Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Abu
Mu'awiyah, dari Umar ibnu Rasyid, dari Iyas ibnu Salamah, dari ayahnya secara marfu': Seseorang
yang terus-menerus memperturutkan hawa nafsunya pada akhirnya ia akan dicatat di sisi Allah
termasuk ke dalam orang-orang yang sewenang-wenang, kemudian dia akan ditimpa azab seperti
azab yang menimpa mereka.
Malik ibnu Dinar telah menceritakan bahwa pada suatu hari Sulaiman ibnu Daud menaiki
permadani terbang bersama dua ratus ribu tentara manusianya dan dua ratus ribu tentara jinnya.
Lalu ia diangkat hingga mencapai ketinggian langit yang darinya ia dapat mendengar suara tasbih
para malaikat. Kemudian ia diturunkan hingga telapak kakinya menyentuh air laut, lalu mereka
mendengar suara (yang menyerukan), "Seandainya di dalam hati seseorang dari teman-teman kamu
terdapat sifat takabur sebesar biji sawi, pastilah ia akan dibenamkan lebih jauh dari jarak saat ia
diangkat tinggi."
Telah menceritakan kepada kami Abu Khaisamah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu
Harun, dari Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Anas yang menceritakan bahwa khalifah Abu
Bakar r.a. berkhotbah kepada kami, lalu ia menceritakan tentang permulaan kejadian manusia,
hingga seseorang dari kami benar-benar merasa jijik terhadap dirinya sendiri karena ia keluar dari
tempat keluarnya air seni sebanyak dua kali, kata Abu Bakar r.a.
Asy-Sya'bi mengatakan, "Barang siapa yang membunuh dua orang, maka dia termasuk orang yang
sewenang-wenang," lalu ia membacakan firman-Nya: Apakah kamu bermaksud hendak
membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia? Kamu tidak
bermaksud melainkan hendak menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri (ini). (Al-
Qasas: 19)
Al-Hasan telah mengatakan, bahwa sungguh mengherankan anak Adam itu, dia mencuci bekas
kotorannya dengan tangannya sebanyak dua kali sehari, kemudian ia bersikap takabur (sombong)
menyaingi Tuhan Yang Menguasai langit.
Telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Khaddasy, telah menceritakan kepada kami Hammad
ibnu Zaid, dari Ali ibnul Hasan, dari Ad-Dahhak ibnu Sufyan yang menceritakan hadis tentang
perumpamaan keduniawian yang diserupakan dengan kotoran yang keluar dari perut anak Adam.
Al-Hasan telah meriwayatkan dari Yahya, dari Ubay yang mengatakan bahwa sesungguhnya
makanan anak Adam sekalipun dibumbui dan digarami (keluarnya tetap menjadi kotoran).
Muhammad ibnul Husain ibnu Ali (salah seorang dari cucu Ali r.a.) pernah mengatakan bahwa
tidaklah merasuk ke dalam hati seseorang sesuatu dari perasaan takabur, melainkan akalnya
berkurang dalam kadar yang sama dengan takabur yang merasuk ke dalam hatinya itu.
Yunus ibnu Ubaid telah mengatakan, tiada takabur berbarengan dengan sujud, dan tiada nifaq
berbarengan dengan tauhid.
Tawus memandang Umar ibnu Abdul Aziz yang sedang berjalan dengan langkah-langkah yang
angkuh, demikian itu terjadi sebelum dia diangkat menjadi khalifah. Maka Tawus menotok
lambungnya dengan jari telunjuknya seraya berkata, "Ini bukan cara jalan orang yang di dalam
perutnya terdapat kotoran (tahi)." Maka Umar ibnu Abdul Aziz menjawab seraya meminta maaf
kepadanya, "Hai paman, sesungguhnya semua anggota tubuhku telah kena pukul untuk mempelajari
langkah ini hingga aku membiasakannya."
Abu Bakar ibnu Abud Dunia telah mengatakan bahwa orang-orang Bani Umayyah memukuli anak-
anak mereka sampai mereka biasa dengan langkah-langkah seperti itu.
#Sebuah Pasal tentang Sikap Angkuh
Diriwayatkan dari Ibnu Abu Laila, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya secara marfu': Barang siapa
yang menyeret kainnya dengan sikap sombong, maka Allah tidak mau melihatnya (kelak di hari
kiamat).
Ibnu Abu Laila telah meriwayatkan yang semisal melalui Ishaq ibnu Ismail, dari Sufyan, dari Zaid
ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara marfu'.

Telah menceritakan pula kepada kami Muhammad ibnu Bakkar, telah menceritakan kepada kami
Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari ayahnya, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah secara marfu':
Allah tidak akan memandang orang yang menyeret kainnya kelak di hari kiamat. Dan ketika
seorang lelaki sedang melangkah dengan angkuhnya memakai baju burdah dua lapis seraya merasa
besar diri, (tiba-tiba) Allah membenamkannya ke dalam tanah, dan dia terus terbenam ke dalam
bumi sampai hari kiamat nanti.
Az-Zuhri telah meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya, bahwa ketika seorang lelaki, hingga akhir
hadis.
TafsirQuraish Shihab
Berjalanlah kamu dengan wajar, antara cepat dan lambat, rendahkanlah suaramu, karena
sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai: awalnya siulan yang tidak menarik dan
akhnya tarikan nafas yang buruk.
c. Analisa
jk
C. STRATEGI DAN MODEL PENDIDIKAN NABI YA’KUB AS.

Qs. Al-Baqarah : 132-142


          
           
           
        
               
            
           
        
          
           
            
              
           
         
         
               
              
           
           
        
a. Terjamah
132. Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub.
(Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu,
maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".

133. Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada
anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan
menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan
Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.

134. Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah
kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah
mereka kerjakan

135. Dan mereka berkata: "Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya
kamu mendapat petunjuk". Katakanlah: "Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim
yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik".

136. Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan
kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak
cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-
nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami
hanya tunduk patuh kepada-Nya".

137. Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka
telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam
permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
138. Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya
kepada-Nya-lah kami menyembah.

139. Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah
Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu dan
hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati,

140. ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Isma'il,
Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?" Katakanlah:
"Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim dari pada
orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?" Dan Allah sekali-kali
tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan.

141. Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu
usahakan; dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka
kerjakan.

142. Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan
mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat
kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus".

b. Tafsir
Ayat 132
Tafsir Jalalain :
(Dan Ibrahim telah mewasiatkan) maksudnya agama itu. Menurut suatu qiraat 'aushaa', (kepada
anak-anaknya, demikian pula Yakub) kepada anak-anaknya, katanya, ("Hai anak-anakku!
Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu) yakni agama Islam, (maka janganlah kamu
mati kecuali dalam menganut agama Islam!") Artinya ia melarang mereka meninggalkan agama
Islam dan menyuruh mereka agar memegang teguh agama itu sampai nyawa berpisah dari badan
Tafsir Ibnu Katsir :
Yaitu Ibrahim mewasiatkan agama yang mengajarkan tunduk patuh kepada Allah ini kepada anak-
anaknya, atau damir yang terkandung di dalam lafaz biha kembali kepada ucapan Nabi Ibrahim
yang disebutkan oleh firman selanjutnya, yaitu: Ibrahim menjawab, "Aku tunduk patuh kepada
Tuhan semesta alam.” (Al Baqarah:131)
Demikian itu karena keteguhan mereka dan kecintaan mereka kepada agama ini. Mereka tetap
berpegang teguh kepadanya hingga mening-gal dunia, dan bahkan sebelum itu mereka mewasiatkan
kepada anak-anaknya agar berpegang teguh kepada agama ini sesudah mereka. Perihalnya sama
dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid ini kalimat yang kekal pada keturunannya. (Az
Zukhruf:28)
Sebagian ulama Salaf membaca lafaz Ya'qub dengan bacaan nasab —yakni Ya'quba— karena
di-'ataf-kan kepada lafaz banihi, seakan-akan Ibrahim mewasiatkannya kepada anak-anaknya, juga
kepada cucunya (yaitu Ya'qub ibnu Ishaq) yang pada saat itu memang Ya'qub menghadirinya.
Imam Qusyairi —menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Qurtubi darinya— menduga bahwa
Ya'qub hanya dilahirkan sesudah Nabi Ibrahim wafat. Akan tetapi, pendapat ini memerlukan dalil
yang sahih. Menurut pendapat yang kuat —hanya Allah yang mengetahuinya— Ishaq mempunyai
anak Ya'qub sewaktu Nabi Ibrahim dan Sarah masih hidup, karena berita gembira yang disebutkan
pada ayat berikut ditujukan kepada keduanya (Nabi Ibrahim dan Siti Sarah), yaitu firman-Nya:
Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan sesudah Ishaq (lahir
pula) Ya'qub. (Huud:71)
Ya'qub dapat pula dibaca nasab, yakni Ya'quba, atas dasar mencabut huruf khafad. Sekiranya
Ya'qub masih belum lahir di masa keduanya masih hidup, niscaya penyebutan Ya'qub di antara
anak-anak Ishaq tidak mempunyai faedah yang berarti. Lagi pula karena Allah Swt. telah berfirman
di dalam surat Al-'Ankabut, yaitu:
Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub, dan Kami jadikan kenabian dan Al-
Kitab pada keturunannya. (Al-'Ankabut: 27) hingga akhir ayat.
Allah Swt telah berfirman di dalam ayat yang lain, yaitu:
Dan kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Ya'qub sebagai suatu anugerah (dari
Kami). (Al Anbiyaa:72)
Hal ini semua menunjukkan bahwa Nabi Ya'qub memang telah ada semasa Nabi Ibrahim a.s. masih
hidup. Dan sesungguhnya Nabi Ibrahimlah yang mula-mula membangun Baitul Maqdis, seperti
yang disebutkan oleh kitab-kitab terdahulu. Di dalam kitab Sahihain telah disebutkan sebuah hadis
melalui Abu Zar r.a. yang menceritakannya:
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, masjid manakah yang mula-mula dibangun di muka bumi? Nabi
Saw. menjawab, "Masjidil Haram" Aku bertanya, "Kemudian masjid mana lagi?" Nabi Saw.
menjawab, "Baitul Maqdis." Aku bertanya, "Berapa lamakah jarak di antara keduanya? Nabi Saw.
menjawab, "Empat puluh tahun," hingga akhir hadis.
Ibnu Hibban menduga bahwa jarak masa antara Nabi Sulaiman —yang menurutnya dialah yang
membangun Baitul Maqdis, padahal kenyataannya dia hanya merenovasi dan memperbaharuinya
sesudah mengalami banyak kerusakan, lalu dia menghiasinya dengan berbagai macam hiasan—
dengan Nabi Ibrahim adalah empat puluh tahun. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat Ibnu
Hibban yang menjadi bumerang baginya, karena sesungguhnya jarak di antara Nabi Ibrahim dan
Nabi Sulaiman lebih dari ribuan tahun.
Lagi pula sesungguhnya wasiat Ya'qub kepada anak-anaknya akan disebutkan dalam ayat
berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa Ya'qub adalah termasuk orang yang berwasiat (bukan
orang yang menerima wasiat. Dengan kata lain, bacaan rafa'-lah yang lebih kuat, yaitu Ya'qubu).
Firman Allah Swt.:
Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kalian, maka janganlah kalian
mati kecuali dalam memeluk agama Islam.
Artinya, berbuat baiklah selama kalian hidup, dan berpegang teguhlah kalian kepada agama ini agar
kalian diberi rezeki wafat dengan berpegang teguh padanya, karena sesungguhnya manusia itu
biasanya meninggal dunia dalam keadaan memeluk agama yang dijalankannya, dan kelak
dibangkitkan berdasarkan agama yang ia bawa mati. Sesungguhnya Allah telah memberlakukan
kebiasaan-Nya, bahwa barang siapa yang mempunyai tujuan baik, maka Dia akan menuntunnya ke
arah kebalkan itu dan memudahkan jalan baginya ke arah kebaikan. Barang siapa yang berniat
melakukan kesalehan, maka Allah akan meneguhkannya dalam kesalehan itu. Hal ini tidaklah
bertentangan dengan sebuah hadis sahih yang mengatakan:
Sesungguhnya seseorang itu benar-benar mengerjakan amal perbuatan ahli surga, hingga jarak
antara dia dan surga hanya tinggal satu depa lagi atau satu hasta lagi, tetapi takdir menghendaki
yang lain, akhirnya dia melakukan amal perbuatan ahli neraka dan masuklah ia ke dalam neraka.
Dan sesungguhnya seseorang itu benar-benar mengerjakan amal perbuatan ahli neraka, hingga jarak
amara dia dan neraka hanya tinggal satu depa atau satu hasta lagi, tetapi takdir menghendaki yang
lain, maka akhirnya dia mengamalkan amalan ahli surga dan masuklah ia ke dalam surga.
Dikatakan tidak bertentangan karena di dalam riwayat yang lain dari hadis ini dijelaskan bahwa
amal perbuatan ahli surga itu menurut apa yang tampak di mata manusia, dan amal ahli neraka
tersebut menurut apa yang tampak di mata manusia. Karena sesungguhnya Allah Swt. telah
berfirman dalam ayat lainnya, yaitu:
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya
pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan
adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik,
maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. (Al-Lail: 5-10)
Tafsir Quraish Shihab
Tidak cukup dengan hanya melaksanakan perintah, Ibrâhîm bahkan berpesan pada anaknya agar
meniti jalan yang telah ia lalui dan berpesan pula kepada cucunya, Ya'qûb. Ya'qûb pun berpesan
demikian kepada anak-anaknya, menjelaskan kepada mereka bahwa Allah telah memilihkan agama
tauhid dan mengambil janji dari mereka agar tidak mati kecuali dalam keadaan berserah diri dan
berpegang teguh pada agama ini
Ayat 133
Tafsir Jalalain :
Tatkala orang-orang Yahudi mengatakan kepada Nabi saw., "Apakah kamu tidak tahu bahwa ketika
akan mati itu Yakub memesankan kepada putra-putranya supaya memegang teguh agama Yahudi,"
maka turunlah ayat, ("Apakah kalian menyaksikan) atau turut hadir (ketika tanda-tanda kematian
telah datang kepada Yakub, yakni ketika) menjadi 'bada' atau huruf pengganti bagi 'idz' yang
sebelumnya, (ia menanyakan kepada anak-anaknya, 'Apa yang kamu sembah sepeninggalku?")
yakni setelah aku meninggal? (Jawab mereka, "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan bapak-
bapakmu Ibrahim, Ismail dan Ishak). Ismail dianggap sebagai 'bapak' berdasarkan taghlib atau pukul
rata, karena kedudukan paman sama dengan bapak (yakni Tuhan Yang Maha Esa) merupakan
'badal' atau kata pengganti dari 'Tuhanmu', (dan kami tunduk serta berserah diri kepada-Nya.") Kata
'am' atau 'apakah' di atas berarti penolakan, artinya kalian tidak hadir ketika ia wafat, maka betapa
kalian berani menyatakan dan mengucapkan kepadanya perkataan yang tidak-tidak!
Tafsir Ibnu Katsir :
Melalui ayat-ayat ini Allah Swt. membantah orang-orang musyrik Arab dari kalangan anak-anak
Ismail dan orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil (yaitu Ya'qub ibnu Ishaq ibnu Ibrahim a.s.),
bahwa Ya'qub ketika menjelang kematiannya berwasiat kepada anak-anak-nya agar menyembah
kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Untuk itu ia berkata seperti yang disitir oleh firman-
Nya:
"Apa yang kalian sembah sesudahku?' Mereka menjawab, "Kami akan menyembah Tuhanmu dan
Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishaq."
Penyebutan Nabi Ismail yang dimasukkan ke dalam kategori ayah dari Nabi Ya'qub termasuk ke
dalam ungkapan taglib (prioritas), mengingat Nabi Ismail adalah paman Nabi Ya'qub. An-Nahhas
mengatakan, orang-orang Arab biasa menyebut paman dengan sebutan ayah. Demikianlah menurut
apa yang dinukil oleh Imam Qurtubi.
Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang menjadikan kakek sama kedudukannya dengan ayah, dan
kakek dapat menghalangi hak warisan saudara-saudara, seperti pendapat yang dikatakan oleh Abu
Bakar As-Siddiq. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari darinya melalui
jalur Ibnu Abbas dan Ibnuz Zubair. Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa pendapat ini tidak
diperselisihkan. Siti Aisyah Ummul Mu’minin sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu
Bakar As-Siddiq ini. Hal yang sama dikatakan pula oleh Al-Hasan Al-Basri, Tawus, dan Ata.
Pendapat inilah yang dianut oleh mazhab Hanafi dan bukan hanya seorang ulama dari kalangan
ulama Salaf dan Khalaf.
Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad menurut pendapat yang terkenal di kalangan
mazhabnya mengatakan bahwa kakek ber-muqasamah (berbagi-bagi warisan) dengan saudara-
saudara si mayat. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar, Usman, Ali, Ibnu Mas'ud, Zaid ibnu Sabit,
dan sejumlah ulama dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf. Pendapat inilah yang dipilih oleh dua
murid terkemuka Imam Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad ibnul Hasan. Penjelasan
dari masalah ini akan dikemukakan di lain pembahasan dalam ayat yang menyangkut pembagian
warisan.
Firman Allah Swt. yang mengatakan, "liahan wahidan," artinya kami mengesakan-Nya sebagai
Tuhan kami, dan kami tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya di samping Dia.
Firman Allah Swt. yang mengatakan, "Wanahnu lahu muslimun," artinya kami tunduk patuh
kepada-Nya. Pengertian ini sama dengan apa yang terkandung di dalam firman Allah Swt.:
Padahal kepada-Nyalah menyerahkan diri segala apa yang di Langit dan di bumi, baik dengan suka
maupun terpaksa, dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan. (Ali Imran:83)
Pada garis besamya Islam merupakan agama semua para nabi, sekalipun syariatnya bermacam-
macam dan tuntunannya berbeda-beda, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya,
"Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah oleh kamu sekalian akan Akur (Al
Anbiyaa:25)
Ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengutarakan makna ini banyak jumlahnya. Di antara hadis-hadis
tersebut ialah sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
Kami para nabi adalah anak-anak dari ibu yang berbeda-beda, agama kami satu (sama, yakni Islam).
Tafsir Quraish Shihab
Hai kaum Yahudi, kalian yang menyangka sebagai pengikut agama Ya'qûb, apakah kalian
menyaksikan saat-saat Ya'qûb mendekati ajalnya? Tahukah kalian apa agama yang
dipertahankannya sampai mati? Ketahuilah, bahwa Ya'qûb dan anak-anaknya adalah orang-orang
Muslim, penganut ajaran tauhid, bukan penganut agama Yahudi seperti kalian dan juga bukan
penganut agama Nasrani. Dia memanggil semua anaknya dan berpesan pada mereka, "Siapa yang
akan kalian sembah sesudahku?" Mereka menjawab, "Kami akan menyembah Tuhanmu, Tuhan
para leluhurmu Ibrâhîm, Ismâ'îl dan Ishâq, Tuhan Yang Mahaesa. Kami tunduk kepada-Nya."
Ayat 134
Tafsir Jalalain :
(Itu) isyarat kepada Ibrahim dan Yakub serta anak cucu mereka, menjadi 'mubtada' atau subyek dan
dipakai kata muannats/jenis wanita disebabkan predikatnya yang muannats pula, (adalah umat yang
telah lalu) (bagi mereka apa yang telah mereka usahakan) maksudnya balasan atau ganjaran amal
perbuatan mereka (dan bagi kamu) ditujukan kepada orang-orang Yahudi (apa yang kamu usahakan
dan kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa-apa yang mereka kerjakan)
sebagaimana mereka tidak pula akan diminta pertanggungjawaban tentang amal perbuatanmu.
Kalimat yang di belakang ini memperkuat maksud kalimat di muka.
Tafsir Ibnu Katsir :
Dengan kata lain, sesungguhnya orang-orang terdahulu dari kalangan kakek moyang kalian yang
menjadi nabi-nabi dan orang-orang saleh, tiada manfaatnya bagi kalian ikatan kalian dengan mereka
jika kalian sendiri tidak mengerjakan kebaikan yang manfaatnya justru kembali kepada kalian.
Karena sesungguhnya bagi mereka amalan mereka, dan bagi kalian amalan kalian sendiri. Dalam
ayat berikutnya disebutkan:
Dan kalian tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.
Abul Aliyah, Ar-Rabi', dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya:Itu adalah
umat yang lalu. (Al Baqarah:134) Bahwa yang dimaksud adalah Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi
Ishaq, Nabi Ya'qub, dan anak cucunya. Karena itu, di dalam sebuah asar disebutkan:
Barang siapa yang lamban amalnya karena mengandalkan kepada keturunan, maka keturunan (yang
dibangga-banggakannya) itu tidak akan cepat menyusulnya.
Akan tetapi, adakalanya suatu asar dikemukakan sebagai suatu bagian dari makna yang terkandung
di dalam hadis marfu', mengingat asar ini diriwayatkan oleh Imam Muslim secara marfu' melalui
hadis yang panjang dari Abu Hurairah r.a.
Tafsir Quraish Shihab
Lantas apa maksud kalian mempertentangkan mereka? Mereka adalah umat yang telah berlalu,
mereka yang akan mendapat balasan atas perbuatan mereka. Kalian tidak akan dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatan mereka sebagaimana perbuatan mereka itu tidak akan
mendatangkan pahala bagi kalian kecuali apa yang kalian kerjakan sendiri
Ayat 135
Tafsir Jalalain :
(Dan kata mereka, "Jadilah kamu sebagai penganut agama Yahudi atau Kristen, niscaya kamu
mendapat petunjuk.") 'Au' yang berarti 'atau' berfungsi sebagai pemisah. Yang pertama diucapkan
oleh orang-orang Yahudi Madinah, sedangkan yang kedua oleh kaum Kristen Najran. (Katakanlah)
kepada mereka (tidak, bahkan) kami akan mengikuti (agama Ibrahim yang lurus) yang bertentangan
dengan agama lain dan berpaling menjadi agama yang lurus dan benar. 'Hanifa' ini menjadi 'hal' dari
Ibrahim. (Dan bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik).
Tafsir Ibnu Katsir :
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu
Muhammad, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Jubair atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa Abdullah ibnu Suria Al-A'war pernah berkata kepada Rasulullah Saw.,
"Tiadalah petunjuk itu melainkan agama yang kami peluk. Maka ikutlah kami, hai Muhammad,
niscaya kamu mendapat petunjuk." Dan orang-orang Nasrani mengatakan hal yang serupa, maka
Allah menurunkan firman-Nya: Dan mereka berkata, "Hendaklah kamu menjadi penganut agama
Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk." (Al Baqarah:135)
Firman Allah Swt.:
Katakanlah, "Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus.”

Yakni kami tidak mau mengikuti agama Yahudi dan agama Nasrani yang kalian serukan kepada
kami agar kami mengikutinya, melainkan kami hanya mengikuti agama Nabi Ibrahim yang lurus.
Hanifah artinya lurus menurut Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dan Ais ibnu Jariyah, tetapi
menurut Khasif, dari Mujahid, artinya ikhlas.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa makna hanifan ialah hajjan (yang
berhaji). Hal yang sama diriwayatkan pula dari Al-Hasan, Ad-Dahhak, Atiyyah, dan As-Saddi.
Abul Aliyah mengatakan bahwa al-hanif artinya orang yang menghadap ke arah Baitullah dalam
salatnya, dan ia berpendapat bahwa melakukan haji ke Baitullah hanyalah diwajibkan bila orang
yang bersangkutan sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.
Mujahid dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa hanifan artinya orang yang diikuti
tuntunannya.
Abu Qilabah mengatakan bahwa al-hanif artinya orang yang beriman kepada semua rasul, dari rasul
yang pertama hingga rasul yang terakhir.
Qatadah mengatakan, al-hanifiyyah ialah suatu kesaksian yang menyatakan bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah, termasuk ke dalam ajaran ini ialah haram menikahi ibu, anak perempuan, bibi dari
pihak ibu maupun dari pihak ayah, dan semua hal lainnya yang diharamkan oleh Allah Swt.
Termasuk ajaran agama al-hanif ialah berkhitan
Tafsir Quraish Shihab
Akan tetapi mereka tetap mempertahankan sikap keras kepala mereka dan masing-masing kelompok
menganggap bahwa agamanyalah yang paling benar. Orang-orang Yahudi berkata kepadamu,
"Jadilah kamu penganut agama Yahudi agar kalian mendapat petunjuk." Sementara itu, orang-orang
Nasrani berkata, "Jadilah penganut agama Nasrani agar kalian mencapai kebenaran." Sanggahlah
pernyataan mereka dan katakan, "Kami tidak akan menjadi pengikut agama Yahudi atau Nasrani,
sebab kedua agama itu telah diubah, dan diselewengkan dari pokok-pokok ajaran yang
sesungguhnya dan dicemari oleh kesyirikan sehingga amat jauh dari agama Ibrâhîm. Kami hanya
akan menjadi pengikut agama Islam yang menghidupkan ajaran Ibrâhîm secara murni dan suci.
Ayat 136
Tafsir Jalalain :
(Katakanlah,) ucapan ini ditujukan kepada orang-orang beriman ("Kami beriman kepada Allah dan
pada apa yang diturunkan kepada kami) yakni Alquran (dan pada apa yang diturunkan kepada
Ibrahim) yakni shuhuf, yaitu lembaran-lembaran yang sepuluh (kepada Ismail, Ishak, Yakub dan
anak cucunya) (dan apa yang diberikan kepada Musa) berupa Taurat (dan Isa) yakni Injil (begitu
juga yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka) baik berupa kitab maupun ayat. (Tidaklah
kami beda-bedakan seorang pun di antara mereka) sehingga mengakibatkan kami beriman kepada
sebagian dan kafir kepada sebagian yang lain sebagaimana halnya orang-orang Yahudi dan Kristen,
(dan kami hanya tunduk kepada-Nya semata."
Tafsir Ibnu Katsir :
Melalui ayat ini Allah Swt. memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk
beriman kepada Al-Qur'an secara rinci yang diturunkan kepada mereka melalui Rasul-Nya (yaitu
Nabi Muhammad Saw.) dan beriman kepada semua kitab yang pernah diturunkan kepada para nabi
terdahulu secara ijmal (globalnya). Dalam ayat ini disebutkan orang-orang yang tertentu dari
kalangan para rasul, sedangkan yang lainnya disebutkan secara global. Hendaknya mereka tidak
membeda-bedakan seorang pun di antara para rasul itu, bahkan mereka beriman kepada semua
rasul. Janganlah mereka seperti orang-orang yang disebutkan di dalam firman-Nya:
Dan mereka bermaksud memperbedakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya dengan mengatakan,
"Kami beriman kepada yang sebagian (dari rasul-rasul itu), dan kami kafir terhadap sebagian (yang
lain)," serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (lain) di antara yang demikian
(iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. (An Nisaa:150-151), hingga
akhir ayat.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah
menceritakan kepada kami Usman ibnu Amrah, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Mubarak,
dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, dari Abu Hurairah r.a. yang
menceritakan bahwa orang-orang ahli kitab acapkali membacakan kitab Taurat dengan bahasa
Ibrani, lalu mereka menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab kepada orang-orang Islam. Maka
Rasulullah Saw. bersabda: Janganlah kalian percaya kepada ahli kitab, jangan pula kalian
mendustakannya, melainkan katakanlah, "Kami beriman kepada Allah dan kepada kitab yang
diturunkan Allah."
Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai meriwayatkan melalui hadis Usman ibnu Hakim,
dari Sa'id ibnu Yasar, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa kebanyakan bacaan yang
dilakukan oleh Rasulullah Saw. dalam dua rakaat sebelum salat Subuh ialah firman-Nya: Kami
beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami. (Al Baqarah:136), hingga akhir ayat.
Sedangkan dalam rakaat yang keduanya adalah firman-Nya: Kami beriman kepada Allah, dan
saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah).
(Ali Imran:52)
Abul Aliyah, Ar-Rabi', dan Qatadah mengatakan bahwa Asbat adalah anak-anak Nabi Ya'qub,
semuanya berjumlah dua belas orang, masing-masing orang menurunkan suatu umat, maka mereka
dinamakan Asbat.
Khalil ibnu Ahmad dan lain-lainnya mengatakan bahwa Asbat menurut istilah orang-orang Bani
Israil sama halnya dengan istilah kabilah menurut kalangan Bani Ismail (orang-orang Arab).
Az-Zamakhsyari di dalam tafsir Kasysyaf-nya mengatakan bahwa Asbat adalah cucu-cucu Nabi
Ya'qub alias keturunan dari anak-anaknya yang dua belas orang. Ar-Razi menukil pendapat ini
darinya, dan ia tidak menyangkalnya.
Imam Bukhari mengatakan bahwa Asbat adalah kabilah-kabilah Bani Israil. Hal ini menunjukkan
bahwa yang dimaksud dengan Asbat adalah suku-suku Bani Israil. Yang dimaksud dengan apa yang
diberikan kepada nabi-nabi dari kalangan mereka ialah kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada
mereka, seperti yang dikatakan oleh Musa a.s. kepada mereka (Bani Israil) melalui firman-Nya:
Ingatlah kalian nikmat Allah atas kalian ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dan
dijadikan-Nya kalian orang-orang merdeka. (Al Maidah:20), hingga akhir ayat.
Allah Swt. telah berfirman:
Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku. (Al A'raf:160)
Al-Qurtubi mengatakan, mereka dinamakan Asbat yang diambil dari kata sibt artinya berturut-turut
(bertumpuk-tumpuk), maka mereka merupakan sebuah jamaah yang besar.
Menurut pendapat yang lain, bentuk asalnya adalah sabat yang artinya pohon. Karena jumlah
mereka yang banyak, maka keadaan mereka diserupakan dengan pohon (yang banyak cabangnya),
bentuk tunggalnya adalah sabatah.
Az-Zujaj mengatakan, pengertian tersebut dijelaskan oleh sebuah asar yang diceritakan kepada kami
oleh Muhammad ibnu Ja'far Al-Anbari, telah menceritakan kepada kami Abu Najid Ad-Daqqaq,
telah menceritakan kepada kami Al-Aswad ibnu Amir, telah menceritakan kepada kami Israil, dari
Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa seluruh nabi dari kalangan Bani
Israil kecuali sepuluh orang nabi, yaitu Idris, Nuh, Hud, Saleh, Syu'aib, Ibrahim, Ishaq, Ya'qub,
Ismail, dan Muhammad, semoga salawat dan salam Allah terlimpahkan kepada mereka semua.
Al-Qurtubi mengatakan, as-sibt artinya jamaah dan kabilah yang berasal dari satu keturunan.
Qatadah mengatakan, Allah memerintahkan kaum mukmin untuk beriman kepada-Nya dan
membenarkan kitab-kitab-Nya serta seluruh rasul-Nya.
Sulaiman ibnu Habib mengatakan, sesungguhnya kita hanya di-perintahkan beriman kepada kitab
Taurat dan kitab Injil, tetapi tidak diperintahkan untuk mengamalkan apa yang ada di dalamnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muhammad ibnu
Mus'ab As-Suwari, telah menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami
Ubaidillah ibnu Abu Humaid, dari Abul Malih, dari Ma'qal ibnu Yasar yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Imanlah kepada Taurat, Zabur, dan Injil, dan amalkanlah Al-
Qur'an oleh kalian.
Tafsir Quraish Shihab
Katakan kepada mereka, "Kami beriman kepada Allah dan ajaran yang diturunkan kepada kami
dalam al-Qur'ân sebagaimana kami beriman pada apa yang diturunkan atas Ibrâhîm, Ismâ'îl, Ishâq,
Ya'qûb dan anak cucu mereka. Kami beriman pada Tawrât asli (yang belum mengalami perubahan)
yang diturunkan Allah kepada Mûsâ, dan beriman pada Injîl (yang belum mengalami perubahan)
yang diturunkan Allah kepada 'Isâ dan semua yang diwahyukan Allah kepada nabi-nabi-Nya. Kami
tidak membeda-bedakan mereka antara satu dengan yang lain sehingga kami mempercayai yang
satu dan ingkar pada yang lain. Dalam persoalan ini kami semua tunduk kepada Allah."
Ayat 137
Tafsir Jalalain :
(Maka jika mereka beriman) yakni orang-orang Yahudi dan Kristen tadi (dengan) 'mitsli' atau
'seperti' hanya sebagai tambahan (apa yang kamu imani, maka mereka telah memperoleh petunjuk
dan jika mereka berpaling) dari keimanan itu, (berarti mereka dalam permusuhan) denganmu.
(Maka Allah akan memeliharamu dari permusuhan mereka itu) hai Muhammad! (Dan Allah Maha
Mendengar) ucapan-ucapan mereka (lagi Maha Mengetahui) semua keadaan mereka. Misalnya
kamu telah ditolong-Nya dengan pembunuhan Bani Quraizhah, pengusiran Bani Nadhir dan
pembebanan upeti atas mereka.
Tafsir Ibnu Katsir :
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Yunus ibnu Abdul A’la telah membacakan kepada kami, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Ziad ibnu Yunus, telah
menceritakan kepada kami Nafi' ibnu Abu Na' im yang menceritakan bahwa mushaf Usman ibnu
Affan dikirimkan kepada sebagian khulafa untuk dikoreksi. Ziad melanjutkan kisahnya, "Maka aku
bertanya kepadanya (Nafi' ibnu Abu Na'im), 'Sesungguhnya orang-orang mengatakan bahwa
mushaf (kopi asli Usman ibnu Affan) berada di atas pangkuannya ketika ia dibunuh, lalu darahnya
menetesi mushaf yang ada tulisan firman-Nya: Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka.
Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al Baqarah:137)
Nafi' mengatakan, "Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri darah itu ada yang menetes pada ayat
ini, tetapi agak pudar karena berlalunya masa."
Tafsir Quraish Shihab
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Yunus ibnu Abdul A’la telah membacakan kepada kami, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Ziad ibnu Yunus, telah
menceritakan kepada kami Nafi' ibnu Abu Na' im yang menceritakan bahwa mushaf Usman ibnu
Affan dikirimkan kepada sebagian khulafa untuk dikoreksi. Ziad melanjutkan kisahnya, "Maka aku
bertanya kepadanya (Nafi' ibnu Abu Na'im), 'Sesungguhnya orang-orang mengatakan bahwa
mushaf (kopi asli Usman ibnu Affan) berada di atas pangkuannya ketika ia dibunuh, lalu darahnya
menetesi mushaf yang ada tulisan firman-Nya: Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka.
Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al Baqarah:137)
Nafi' mengatakan, "Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri darah itu ada yang menetes pada ayat
ini, tetapi agak pudar karena berlalunya masa."
Ayat 138
Tafsir Jalalain :
(Celupan Allah) 'mashdar' yang memperkuat 'kami beriman' tadi. Mendapat baris di atas sebagai
maf`ul muthlak dari fi`il yang tersembunyi yang diperkirakan berbunyi 'Shabaghanallaahu
shibghah', artinya "Allah mencelup kami suatu celupan". Sedang maksudnya ialah agama-Nya yang
telah difitrahkan-Nya atas manusia dengan pengaruh dan bekasnya yang menonjol, tak ubah bagai
celupan terhadap kain. (Dan siapakah) maksudnya tidak seorang pun (yang lebih baik celupannya
dari Allah) shibghah di sini menjadi 'tamyiz' (dan hanya kepada-Nya kami menyembah).
Tafsir Ibnu Katsir :
Menurut Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan sibgah ialah agama Allah. Hal yang
semakna telah diriwayatkan pula dari Mujahid, Abul Aliyah, Ikrimah, Ibrahim, Al-Hasan, Qatadah,
Ad-Dahhak, Abdullah ibnu Kasir, Atiyyah Al-Aufi, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi.
Lafaz sibgah dibaca nasab, yakni sibgatallahi, adakalanya karena sebagai igra' (anjuran), seperti
pengertian yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
(tetaplah atas) fitrah Allah. (Ar Ruum:30)
Dengan demikian, berarti makna sibgatallahi ialah tetaplah kalian pada sibgah (agama) Allah itu.
Ulama yang lain mengatakan bahwa lafaz sibgah dibaca nasab karena berkedudukan sebagai badal
dari firman-Nya: (kami mengikuti) agama Ibrahim. (Al Baqarah:135)
Menurut Imam Sibawaih, lafaz sibgah dibaca nasab karena menjadi masdar mu'akkid dari fi'il yang
terkandung di dalam firman-Nya: Kami beriman kepada Allah. (Al Baqarah:136), Perihalnya sama
dengan firman-Nya: Allah telah membuat suatu janji. (An Nisaa:122)
Telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu
Murdawaih melalui riwayat Asy'as ibnu Ishaq, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi
Saw. pernah bersabda:
Sesungguhnya orang-orang Bani Israil pernah bertanya, "Wahai utusan Allah, apakah Tuhanmu
melakukan celupan?" Musa a.s. menjawab, "Jangan kalian sembarangan, bertakwalah kepada Allah!
Maka Tuhannya menyerunya, "Hai Musa, apakah mereka menanyakan kepadamu bahwa benarkah
Tuhanmu melakukan celupan? Katakanlah, Benar, Aku mencelup berbagai warna, ada yang merah,
ada yang putih, dan ada yang hitam, semuanya adalah hasil celupan-Ku." Allah Swt menurunkan
kepada Nabi-Nya ayat berikut, yaitu firman-Nya:
Sibgah Allah. Dan siapakah yang lebih baik sibgah-nya daripada Allah!
Demikianlah menurut apa yang disebutkan di dalam riwayat Ibnu Murdawaih secara marfu’,
sedangkan sanad ini menurut riwayat Ibnu Abu Hatim berpredikat mauquf, tetapi sanad Ibnu Abu
Hatim lebih dekat kepada predikat marfu' jika sanadnya sahih.
Tafsir Quraish Shihab
Katakanlah, "Tuhan telah memberikan petunjuk-Nya kepada kami dan menuntun kami kepada
hujjah- Nya. Adakah yang lebih baik petunjuk dan hujjahnya daripada Allah? Sungguh kami tidak
akan tunduk kepada selain Allah dan tidak akan mengikuti kecuali petunjuk dan tuntunan-Nya."
Ayat 139
Tafsir Jalalain :
(Katakanlah) kepada mereka! ("Apakah kamu hendak memperbantahkan) dengan kami (tentang
Allah) karena Dia memilih seorang nabi dari kalangan Arab? (Padahal Dia adalah Tuhan kamu) dan
berhak memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya (dan bagi kamu
amalan kamu) dan kamu akan memperoleh balasannya pula dan tidak mustahil jika di antara amal-
amalan kami itu ada yang patut menerima ganjaran istimewa (dan hanya kepada-Nya kami
mengikhlaskan) agama dan amalan kami; berbeda halnya dengan kamu, sehingga sepatutnyalah
kami yang dipilih-Nya. 'Hamzah' atau 'apakah' di atas, maksudnya menolak, sedangkan ketiga
kalimat di belakang berarti 'hal'.
Tafsir Ibnu Katsir :
Melalui ayat ini Allah Swt. memberikan petunjuk kepada Nabi-Nya bagaimana cara menangkis
hujah orang-orang musyrik. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
Katakanlah, "Apakah kalian memperdebatkan dengan kami tentang Allah!"
Maksudnya, apakah kalian memperdebatkan dengan kami tentang mengesakan Allah, ikhlas
kepada-Nya, taat dan mengikuti semua perintah-Nya serta meninggalkan larangan-larangan-Nya?
padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kalian.
Yakni Dialah yang mengatur kami dan juga kalian, Dia pula yang berhak di sembah secara ikhlas
sebagai Tuhan yang tiada sekutu bagi-Nya.
Bagi kami amalan kami dan bagi kalian amalan kalian.
Dengan kata lain, kami berlepas diri dari kalian dan apa yang kalian sembah, dan kalian berlepas
diri dari kami. Makna ayat ini sama dengan apa yang terdapat di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah, "Bagiku pekerjaanku, dan bagi kalian pekerjaan
kalian. Kalian berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan, dan aku pun berlepas diri terhadap apa
yang kalian kerjakan." (Yunus:41)
Kemudian jika mereka mendebat kamu, maka katakanlah, "Aku menyerahkan diriku kepada Allah
dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku." (Ali Imran:20), hingga akhir ayat.
Allah Swt. menceritakan apa yang dialami oleh Nabi Ibrahim a.s. melalui firman-Nya:
Dan dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata, "Apakah kalian hendak membantahku tentang Allah!
(Al An'am:80), hingga akhir ayat.
Allah Swt. telah berfirman pula:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah).(Al
Baqarah:258), hingga akhir ayat.
Di dalam ayat berikut ini Allah Swt berfirman:
Bagi kami amalan kami, dan bagi kalian amalan kalian, dan hanya kepada-Nya kami
mengikhlaskan hati.
Yakni ikhlas dalam ibadah dan menghadap kepada-Nya.
Tafsir Quraish Shihab
Katakan kepada mereka, "Apakah kalian akan memperdebatkan kami tentang Allah karena Dia
tidak memilih seorang Nabi pun selain dari kaum kalian? Padahal Dia adalah Tuhan kalian, Tuhan
segala sesuatu, bukan hanya Tuhan sekelompok kaum. Allah akan melimpahkan rahmat-Nya
kepada siapa yang dikehendaki dan memberi balasan setiap manusia sesuai perbuatan masing-
masing tanpa memandang keturunan ataupun derajat mereka. Allah telah memberikan petunjuk bagi
amal perbuatan kami dan mengaruniai kami jiwa yang ikhlas."
Ayat 140
Tafsir Jalalain :
(Atau) apakah (kamu hendak mengatakan) ada pula yang membaca 'yaquuluuna', artinya mereka
hendak mengatakan (bahwa Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya adalah penganut
agama Yahudi dan Kristen?" Katakanlah) kepada mereka, ("Apakah kamu yang lebih tahu ataukah
Allah") artinya Allahlah yang lebih mengetahui dan Allah sendiri telah membebaskan Ibrahim dari
kedua agama itu, firman-Nya, "Ibrahim itu bukanlah seorang Yahudi atau Kristen." Demikian pula
nabi-nabi yang disebutkan bersamanya mereka itu adalah juga mengikuti agamanya. (Dan siapakah
lagi yang aniaya daripada orang yang menyembunyikan) atau merahasiakan kepada umat manusia
(kesaksian yang terdapat padanya) (dari Allah) maksudnya tidak ada lain yang lebih aniaya
daripadanya. Yang dituju adalah orang-orang Yahudi yang menyembunyikan kesaksian Allah dalam
Taurat bahwa Ibrahim itu menganut agama hanafiah, yaitu agama Islam yang lurus. (Dan Allah
sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan) merupakan ancaman dan peringatan terhadap
mereka
Tafsir Ibnu Katsir :
Allah Swt. membantah dakwaan mereka yang mengakui bahwa Nabi Ibrahim dan nabi-nabi serta
asbat yang disebutkan sesudahnya berada dalam agama mereka, yakni adakalanya agama Yahudi
atau agama Nasrani. Karena itulah disebutkan di dalam firman selanjutnya:
Katakanlah, "Apakah kalian yang lebih mengetahui ataukah Allah!
Dengan kata lain, bahkan Allahlah yang lebih mengetahui. Sesungguhnya Allah Swt. telah
memberitahukan bahwa mereka bukanlah Yahudi, bukan pula Nasrani. Seperti yang disebutkan oleh
firman-Nya:
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang
lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang
musyrik. (Ali Imran:67), dan ayat yang sesudahnya.
Firman Allah Swt.:
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang
ada padanya.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa mereka (orang-orang ahli kitab) selalu membaca Kitabullah
yang diturunkan kepada mereka, bahwa sesungguhnya agama yang diakui oleh Allah adalah agama
Islam, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, dan Ibrahim, Ismail, Ishaq dan Ya'qub
serta asbat, mereka semua berlepas diri dari Yahudi dan Nasrani. Lalu mereka mempersaksikan hal
tersebut kepada Allah dan mengakuinya kepada Allah atas diri mereka sendiri, tetapi mereka
menyembunyikan kesaksian Allah yang ada pada mereka menyangkut masalah ini.
Firman Allah Swt:
Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan.
Hal ini merupakan peringatan dan ancaman keras, yakni ilmu Allah meliputi semua amal perbuatan
kalian dan kelak Dia akan membalas-kannya terhadap kalian.
Tafsir Quraish Shihab
Katakan pada mereka, "Apakah kalian juga akan memperdebatkan dengan kami tentang Ibrâhîm,
Ismâ'îl, Ishâq, Ya'qûb beserta anak keturunannya dengan menganggap bahwa mereka itu penganut
agama Yahudi atau Nasrani seperti kalian? Padahal Tawrât dan Injîl keduanya diturunkan Allah
jauh sesudah masa mereka, sebagaimana Allah mengabarkannya kepada kami. Apakah kalian
merasa lebih tahu daripada-Nya? Bahkan Allah telah memberitahukan pula hal itu dalam kitab-kitab
kalian, maka janganlah lantas menyembunyikan kebenaran yang termuat dalam kitab-kitab kalian
sendiri. Tidak ada yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan kebenaran yang ia
ketahui dari kitabnya. Allah akan memberi balasan sebab keterpurukan kalian dalam kepalsuan dan
sesungguhnya Allah tiada akan lalai atas perbuatan kalian."(1) {(1) Hukum-hukum konvensional di
berbagai negara telah banyak menyinggung soal persaksian palsu sebagaimana disinggung oleh al-
Qur'ân. Akan tetapi ayat di atas menggolongkan hanya sekadar merahasiakan kesaksian sebagai
suatu dosa dan sebuah tindakan kriminal yang memiliki risiko hukum tanpa menentukan secara
baku bentuk hukumannya. Ini yang dikenal dengan istilah ta'zîr, yaitu hukuman yang model dan
bentuknya diserahkan pada kebijaksanaan pemimpin negara (waliy al-amr)
Ayat 141
Tafsir Jalalain :
(Mereka itu adalah umat yang telah lalu, bagi mereka apa yang telah mereka usahakan dan bagi
kamu apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang
telah mereka kerjakan). Ayat seperti ini telah kita temui di muka.
Tafsir Ibnu Katsir :
Laha ma kasabat, walakum ma kasabtum, bagi mereka amal mereka dan bagi kalian amal kalian.
Wata tus-aluna 'amma kanu ya' maluna, tiada gunanya bagi kalian (ahli kitab) nasab kalian yang
berkaitan dengan mereka bila kalian tidak mengikuti jejak mereka. Janganlah kalian teperdaya
(terlena) hanya karena kalian mempunyai kaitan nasab dengan mereka, sebelum kalian mengikuti
jejak mereka dalam menaati perintah-perintah Allah dan mengikuti rasul-rasul yang diutus sebagai
pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Karena sesungguhnya orang yang ingkar kepada
seorang nabi berarti ia ingkar terhadap seluruh rasul. Terlebih lagi jika ingkar kepada penghulu para
nabi dan penutup para rasul, yaitu utusan Tuhan semesta alam kepada semua makhluk manusia dan
jin dari kalangan kaum mukallaf. Semoga salawat Allah dan salam-Nya terlimpah kepadanya, juga
kepada semua Nabi Allah.
Tafsir Quraish Shihab
Lalu mengapa kalian, orang-orang Yahudi dan Nasrani, memperdebatkan mereka? Mereka adalah
umat yang telah berlalu. Mereka akan mendapatkan balasan atas amal perbuatan mereka sendiri dan
kalian tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan mereka sebagaimana perbuatan
mereka tidak akan mendatangkan pahala bagi kalian selain apa yang kalian perbuat sendiri.
Ayat 142
Tafsir Jalalain :
(Orang-orang yang bodoh, kurang akalnya, di antara manusia) yakni orang-orang Yahudi dan kaum
musyrikin akan mengatakan, (Apakah yang memalingkan mereka) yakni Nabi saw. dan kaum
mukminin (dari kiblat mereka yang mereka pakai selama ini) maksudnya yang mereka tuju di waktu
salat, yaitu Baitulmakdis. Menggunakan 'sin' yang menunjukkan masa depan, merupakan
pemberitaan tentang peristiwa gaib. (Katakanlah, "Milik Allahlah timur dan barat) maksudnya
semua arah atau mata angin adalah milik Allah belaka, sehingga jika Dia menyuruh kita menghadap
ke arah mana saja, maka tak ada yang akan menentang-Nya. (Dia memberi petunjuk kepada orang
yang dikehendaki-Nya) sesuai dengan petunjuk-Nya (ke jalan yang lurus") yakni agama Islam. 
Tafsir Ibnu Katsir :
Menurut Az-Zujaj, yang dimaksud dengan Sufaha dalam ayat ini ialah orang-orang musyrik Arab.
Menurut Mujahid adalah para rahib Yahudi. Sedangkan menurut As-Saddi, mereka adalah orang-
orang munafik. Akan tetapi, makna ayat bersifat umum mencakup mereka semua.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, ia pernah mendengar
Zubair menceritakan hadis berikut dari Abu Ishaq, dari Al-Barra r.a.,bahwa Rasulullah Saw. salat
menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, padahal dalam hatinya
beliau lebih suka bila kiblatnya menghadap ke arah Baitullah Ka'bah. Mula-mula salat yang beliau
lakukan (menghadap ke arah kiblat) adalah salat Asar, dan ikut salat bersamanya suatu kaum. Maka
keluarlah seorang lelaki dari kalangan orang-orang yang salat bersamanya, lalu lelaki itu berjumpa
dengan jamaah suatu masjid yang sedang mengerjakan salat (menghadap ke arah Baitul Maqdis),
maka ia berkata, "Aku bersaksi kepada Allah, sesungguhnya aku telah salat bersama Nabi Saw.
menghadap ke arah Mekah (Ka'bah)." Maka jamaah tersebut memutarkan tubuh mereka yang
sedang salat itu ke arah Baitullah. Tersebutlah bahwa banyak lelaki yang meninggal dunia selama
salat menghadap ke arah kiblat pertama sebelum dipindahkan ke arah Baitullah. Kami tidak
mengetahui apa yang harus kami katakan mengenai mereka. Maka Allah Swt. menurunkan firman-
Nya: Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada manusia. (Al Baqarah:143)

Imam Bukhari menyendiri dalam mengetengahkan hadis ini melalui sanad tersebut. Imam Muslim
meriwayatkannya pula, tetapi melalui jalur sanad yang lain.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Abu Khalid, dari Abu
Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan hadis berikut, bahwa pada mulanya Rasulullah Saw. salat
menghadap ke arah Baitul Maqdis dan sering menengadahkan pandangannya ke arah langit,
menunggu-nunggu perintah Allah. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sungguh Kami (sering)
melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat
yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al Baqarah:144) Lalu kaum laki-
laki dari kalangan kaum muslim mengatakan, "Kami ingin sekali mengetahui nasib yang dialami
oleh orang-orang yang telah mati dari kalangan kami sebelum kami dipalingkan ke arah kiblat
(Ka'bah), dan bagaimana dengan salat kami yang menghadap ke arah Baitul Maqdis." Maka Allah
Swt. menurunkan firman-Nya: Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah:143)
Kemudian berkatalah orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia, mereka adalah Ahli
Kitab, yang disitir oleh firman-Nya: Apakah yang memalingkan mereka (kaum muslim) dari
kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya? (Al Baqarah:142) Maka Allah
menurunkan firman-Nya: Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata. (Al
Baqarah:142), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan
kepada kami Al-Hasan ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari
Al-Barra yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah salat menghadap ke arah Baitul Maqdis
selama enam belas atau tujuh belas bulan, sedangkan hati beliau Saw. lebih suka bila diarahkan
menghadap ke Ka'bah, maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat
mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu
sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al Baqarah:144), Al-Barra melanjutkan
kisahnya, bahwa setelah itu Nabi Saw. menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Maka berkatalah
orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia, yaitu orang-orang Yahudi, yang disitir oleh
firman-Nya:
Apakah yang memalingkan mereka (kaum muslim) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu
mereka berkiblat kepadanya?
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Dia memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus."
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari lbnu Abbas, bahwa ketika Rasulullah Saw. hijrah ke
Madinah. Allah memerintahkannya agar menghadap ke arah Baitul Maqdis (dalam salatnya). Maka
orang-orang Yahudi gembira melihatnya. dan Rasulullah Saw. menghadap kepadanya selama
belasan bulan. padahal di dalam hati beliau Saw. sendiri lebih suka bila menghadap ke arah kiblat
Nabi Ibrahim. Untuk itu. beliau Saw. selalu berdoa kepada Allah serta sering menengadahkan
pandangannya ke langit. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Palingkanlah mukamu ke arahnya.
(Al Baqarah:144) Orang-orang Yahudi merasa curiga akan hal tersebut, lalu mereka mengatakan:
Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu
mereka telah berkiblat kepadanya?
Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Dia memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus."
Banyak hadis yang menerangkan masalah ini, yang pada garis besarnya menyatakan bahwa pada
mulanya Rasulullah Saw. menghadap ke arah Sakhrah di Baitul Maqdis. Beliau Saw. ketika di
Mekah selalu salat di antara dua rukun yang menghadap ke arah Baitul Maqdis. Dengan demikian,
di hadapannya ada Ka'bah, sedangkan ia menghadap ke arah Sakhrah di Baitul Maqdis
(Ycaissalem). Ketika beliau Saw. hijrah ke Madinah, beliau tidak dapat menghimpun kedua kiblat
itu, maka Allah memerintahkannya agar langsung menghadap ke arah Baitul Maqdis. Demikianlah
menurut Ibnu Abbas dan jumhur ulama.
Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat mengenai perintah Allah kepadanya untuk menghadap ke
arah Baitul Maqdis, apakah melalui Al-Qur'an atau lainnya? Ada dua pendapat mengenainya.
Imam Qurtubi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ikrimah Abul Aliyah dan Al-Hasan Al-
Basri, bahwa menghadap ke Baitul Maqdis adalah berdasarkan ijtihad Nabi Saw. sendiri. Yang
dimaksudkan dengan menghadap ke Baitul Maqdis ialah setelah beliau Saw. tiba di Madinah. Hal
tersebut dilakukan oleh Nabi Saw. selama belasan bulan, dan selama itu beliau memperbanyak doa
dan ibtihal kepada Allah serta memohon kepada-Nya agar dihadapkan ke arah Ka'bah yang
merupakan kiblat Nabi Ibrahim a.s. Hal tersebut diperkenankan oleh Allah, lalu Allah Swt.
memerintahkannya agar menghadap ke arah Baitul Atiq. Lalu Rasulullah Saw. berkhotbah kepada
orang-orang dan memberitahukan pemindahan tersebut kepada mereka. Salat pertama yang beliau
lakukan menghadap ke arah Ka'bah adalah salat Asar, seperti yang telah disebutkan di atas di dalam
kitab Sahihain melalui hadis Al-Barra r.a.
Akan tetapi, di dalam kitab Imam Nasai melalui riwayat Abu Sa'id ibnul Ma'la disebutkan bahwa
salat tersebut (yang pertama kali dilakukannya menghadap ke arah Ka'bah) adalah salat Lohor. Abu
Sa'id ibnul Ma'la mengatakan, dia dan kedua temannya termasuk orang-orang yang mula-mula salat
menghadap ke arah Ka'bah.
Bukan hanya seorang dari kalangan Mufassirin dan lain-lainnya menyebutkan bahwa pemindahan
kiblat diturunkan kepada Rasulullah Saw. ketika beliau Saw. salat dua rakaat dari salat Lohor,
turunnya wahyu ini terjadi ketika beliau sedang salat di masjid Bani Salimah, kemudian masjid itu
dinamakan Masjid Qiblatain.
Di dalam hadis Nuwailah binti Muslim disebutkan, telah datang kepada mereka berita pemindahan
kiblat itu ketika mereka dalam salat Lohor. Nuwailah binti Muslim melanjutkan kisahnya, "Setelah
ada berita itu, maka kaum laki-laki beralih menduduki tempat kaum wanita dan kaum wanita
menduduki tempat kaum laki-laki." Demikianlah menurut apa yang dituturkan oleh Syekh Abu
Umar ibnu Abdul Bar An-Namiri.
Mengenai ahli Quba, berita pemindahan itu baru sampai kepada mereka pada salat Subuh di hari
keduanya, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim) dari
Ibnu Umar r.a. yang menceritakan:
Ketika orang-orang sedang melakukan salat Subuh di Masjid Quba, tiba-tiba datanglah kepada
mereka seseorang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. telah menerima wahyu
tadi malam yang memerintahkan agar menghadap ke arah Ka'bah. Karena itu, menghadaplah kalian
ke Ka'bah. Saat itu wajah mereka menghadap ke arah negeri Syam, lalu mereka berputar ke arah
Ka'bah.
Di dalam hadis ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa hukum yang ditetapkan oleh nasikh
masih belum wajib diikuti kecuali setelah mengetahuinya, sekalipun turun dan penyampaiannya
telah berlalu. Karena ternyata mereka tidak diperintahkan untuk mengulangi salat Asar, Magrib, dan
Isya.
Setelah hal ini terjadi, maka sebagian orang dari kalangan kaum munafik, orang-orang yang ragu
dan Ahli Kitab merasa curiga, dan keraguan menguasai diri mereka terhadap hidayah. Lalu mereka
mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya:
Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu
mereka telah berkiblat kepadanya?"
Dengan kata lain, mereka bermaksud 'mengapa kaum muslim itu sesekali menghadap ke anu dan
sesekali yang lain menghadap ke anu'. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya sebagai jawaban
terhadap mereka:
Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat."
Yakni Dialah yang mengatur dan yang menentukan semuanya, dan semua perintah itu hanya di
tangan kekuasaan Allah belaka. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah.
(Al Baqarah:115)
Adapun firman-Nya:
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, tetapi sesungguhnya
kebaktian itu ialah kebaktian orang yang beriman kepada Allah. (Al Baqarah:177)
Dengan kata lain, semua perkara itu dinilai sebagai kebaktian bilamana didasari demi mengerjakan
perintah-perintah Allah. Untuk itu ke mana pun kita dihadapkan, maka kita harus menghadap. Taat
yang sesungguhnya hanyalah dalam mengerjakan perintah-Nya, sekalipun setiap hari kita
diperintahkan untuk menghadap ke berbagai arah. Kita adalah hamba-hamba-Nya dan berada dalam
pengaturan-Nya, kita adalah pelayan-pelayan-Nya, ke mana pun Dia mengarahkan kita, maka kita
harus menghadap ke arah yang diperintahkan-Nya.
Allah Swt. mempunyai perhatian yang besar kepada hamba dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad
Saw. dan umatnya. Hal ini ditunjukkan melalui petunjuk yang diberikan-Nya kepada dia untuk
menghadap ke arah kiblat Nabi Ibrahim kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah, yaitu menghadap ke
arah Ka'bah yang dibangun atas nama Allah Swt. semata, tiada sekutu bagi-Nya. Ka'bah merupakan
rumah Allah yang paling terhormat di muka bumi ini, mengingat ia dibangun oleh kekasih Allah
Swt., Nabi Ibrahim a.s. Karena itu, di dalam firman-Nya disebutkan:
Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus."
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ali ibnu Asim, dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Amr ibnu
Qais, dari Muhammad ibnul Asy'As, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda sehubungan dengan kaum Ahli Kitab: Sesungguhnya mereka belum pernah merasa
dengki terhadap sesuatu sebagaimana kedengkian mereka kepada kita atas hari Jumat yang
ditunjukkan oleh Allah kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya, dan atas kiblat yang telah
ditunjukkan oleh Allah kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya, serta atas ucapan kita amin di
belakang imam
Tafsir Quraish Shihab
Orang-orang lemah akal yang dipalingkan oleh kehendak hawa nafsu dari upaya berpikir dan
merenung (dari kalangan pengikut agama Yahudi, Nasrani dan orang-orang munafik) niscaya akan
mengingkari beralihnya kiblat orang-orang beriman dari Bayt al-Maqdis--sebagai kiblat paling
benar dalam anggapan mereka--ke arah kiblat yang baru yaitu Ka'bah. Oleh karena itu katakan pada
mereka, wahai Nabi, "Sesungguhnya seluruh arah mata angin itu adalah milik Allah. Tidak ada nilai
keutamaan yang melebihkan antara satu arah atas arah yang lain. Allah yang menentukan arah mana
yang akan dijadikan kiblat untuk salat. Dengan kehendak-Nya, Dia memberi petunjuk kepada suatu
umat menuju jalan yang lurus. Syariat Muhammad yang diturunkan bertugas menggantikan risalah
para nabi sebelumnya telah menetapkan kiblat yang benar, yaitu Ka'bah. (1) {(1) Sejarah mencatat
bahwa perpindahan kiblat dari Bayt al-Maqdis ke Ka'bah terjadi kurang lebih tujuh belas bulan
semenjak kedatangan Rasulullah di Madinah. }
c. Analisa

Anda mungkin juga menyukai