Disusun Oleh:
c. Batasan dengan definisi hanya `kepada Muhammad saw` tidak termasuk yang
diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya seperti taurat, injil dan yang lain.
d. Sedangkan batasan (al-muta'abbad bi tilawatihi) `yang pembacanya merupakan
suatu ibadah` mengecualikan hadis ahad dan hadis-hadis qudsi .
Di antara sekian banyak cabang dari ulum al- Qur’an tersebut, menurut T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy (1990), ada 17 cabang di antaranya yang paling utama,
yaitu:
1. Ilm Mawatin al-Nuzul , yaitu ilmu yang menerangkan tempat-tempat
turunnya ayat.
2. Ilm Tawarikh al-Nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan dan
menjelaskan masa turunnya ayat dan tertib turunnya.
3. Ilm Asbab al-Nuzul, yaitu ilnu yang menerangkan sebab-sebab yang
melatar belakangi turunya ayat.
4. Ilm Qira’ah, yaitu yang menerangkan tentang macam-macam bacaan
AlQur’an, mana yang sahih dan mana yang tidak sahih.
5. Ilm al-Tajwid, yaitu ilmu tentang cara membaca Al-Qur’an, tempat
memulai dan pemberhentiannya, dan lain-lain.
6. Ilm Garib al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang makna kata-
kata (lafal) yang ganjil, yang tidak lazim digunakan dalam bahasa sehari-hari.
7. Ilm I’rab al-Qur’ani, yaitu ilmu yang membahas tentang kedudukan
suatu lafal dalam kalimat (ayat), begitu pula tentang harakatnya.
8. Ilm Wujud wa al-Nazarir, yaitu ilmu yang menjelaskan tentang lafal-
lafal dala Al-Qur’an yang meiliki banyak arti, dan menerangkan makna yang
dimaksud pada suatu tempat.
9. Ilm Ma’rifah al-Muhkam wa al-Mutasyabih, yaitu ilmu yang
membahas tentang ayat-ayat yang dipandang muhkam dan ayat-ayat yang
dianggap mutasyibah.
10. Ilm Nasikh wa al-Mansukh, yaitu imu yang menerangkan tentang ayat-
ayat yang dianggap mansukh oleh sebagian ulama.
11. Ilm Bada’ii al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang keindahan
susunan ayat-ayat Al-Qur’an, menerangkan aspek-aspek kesusasteraan Al-
Qur’an, serta ketinggi balagahnya.
12. Ilm I’jaz al-Qur’an, yaitu ilmu yang secara khusu membahas tentang
segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an.
13. Ilm Tanasub Ayat al-Quran, yaitu ilmu yang membahas tentang
kesesuaian suatu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
14. Ilm Aqsam al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang arti dan
tujuan sumpah Tuhan dalam Al-Qur’an.
15. Ilm Amsal al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang
perumpamaanperumpamaan yang terdapat dalam Al-Qur’an.
16. Ilm Jidal al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang bentuk-bentuk
debatan yang dikemukakan dalam Al-Qur’an, yang ditujukan kepada segenap
kaum musyrikin, dan lain-lain.
17. Ilm Adab Tilawah al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas segala aturan
yang harus dipakai dan dilaksanakan dalam membaca Al-Qur’an.
Sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, ulum al-Qur’an tidak lahir
sekaligus, melainkan melalui proses pertumbuhan dan perkembangan. Istilah
ulum al-Qur’an itu sendiri tidak dikenal pada masa awal pertumbuhan Isam.
Istilah ini baru muncul pada abad ke 3, tapi sebagaian ulama berpandangan bahwa
istilah ini lahir sebagai ilmu yang berdiri sendiri pada abad ke 5. Karena ulumul
Qur’an dalam arti, sejumlah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an, baru
muncul dalam karya Ali bin Ibrahim al-Hufiy (w.340), yang berjudul al-Burhan
fiy Ulum al-Quran (Al Zarqaniy: 35).
Pada masa Rasulullah saw, hingga masa kekhalifahan Abu Bakar (12 H–
13 H) dan Umar (12 H-23H) ilmu Al-Qur’an masih diriwayatkan secara lisan.†
Ketika zaman kekhalifaan Usman (23H-35H) dimana orang Arab mulai bergaul
dengan orang-orang non Arab, pada saat itu Usman memerintahkan supaya kaum
muslimin berpegangan pada mushaf induk, dan membakar mushaf lainnya yang
mengirimkan mushaf kepada beberapa daerah sebagai pegangan. Dengan
demikian, usaha yang dilakukan oleh Usman dalam mereproduksikan naskah Al-
Qur’an berarti beliau telah meletakkan dasar ilm rasm al-Qur’an (Subhiy Salih:
1977).
Selanjutnya, pada masa kekhalifaan Ali bin Abi Thalib, (35H-40H) beliau
telah memerintahkan Abu al-Aswad al-Duwali (w.69 H) untuk meletakkan
kaedahkaedah bahasa Arab. Usaha yang dilakukan oleh Ali tersebut, dipandang
sebagai peletakan dasar ilmu I’rab al-Qur’an.
Adapun tokoh-tokoh yang berjasa dalam menyebarkan ulum al- Qur’an
melalui periwayatan, adalah :
1. Khulafa al-Rasyidin, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin
Ka’ab, Abu Musa al-Asya’ariy, dan Abdullah bin Zubair. Mereka itu dari
golongan sahabat.
2. Mujahid, Ata, Tkrimah, Qatadah, Hasan Basri, Said bin Jubair, dan Zaid bin
Aslam. Mereka golongan tabi’in di Madinah.
3. Malik bin Anas, dari golongan tabi’I tabi’in, beliau memperoleh ilmunya dari
Zaid bin Aslam.
Mereka inilah yang dianggap orang-orang yang meletakkan apa yang
sekarng ini dikenal dengan ilmu tafsir, ilmu asbab al-Nuzul, ilmu nasikh dan
mansukh, ilmu garib al-Qur’an, dan lain-lain. (Al Zarqaniy : 30 – 31).
Pada masa selanjutnya, abad ke 3 H, muncullah Muhammad ibn Jarir
alTabariy (w.310 H) yang menyusun kitab tafsir yang bermutu karena banyak
memuat hadis-hadis sahih, ditulis dengan rumusan yang baik. Pada abad ke 4 H,
lahir beberapa kitab ulum al-Qur’an, seperti: Aja’ib ulum al-Qur’an karya Abu
Bakar Muhammad ibn al-Qasim al-Anbary (w.328 H), dalam kitab ini dibahas
tentang kelebihan dan kemuliaan Al-Qur’an, turunnya Al-Qur’andalam tujuh
huruf, penulisan mushaf, jumlah surah, ayat dan kata dalam Al-Qur’an. pada pada
abad ke 5 muncullah Ali bin Ibrahim ibn Sa’id al Hufiy (w.430 H) yang
menghimpun bagianbagian dari ulum al Qur’an dalam karyanya al-Burhan fiy
Ulum al-Qur’an. Dalam kitabnya ini, beliau membahas Al-Qur’anmenurut suruh
dalam mushaf.
Selanjutnya, pada abad ke-6, Ibn al-Jauziy (w.597 H) menyusun kitab
Funun al-Afinan fiy Ulum al-Qur’an, dan kitab al-Mujtaba fiy Ulum Tata’allaq bi
alQur’an. Selanjutnya disusul oleh Alamuddin al-Sakhawiy (w.641 H) pada abad
ke 7 H dengan kitabnya yang berjudul Jamal al-Qurra wa Kamal al-Iqara,
kemudian Abu Syamah (w.665 H) menyusun kitab al-Mursyid al-Wajid fiy Ma
Yata’allahq bi al-Qur’an al-Aziz. Pada abad ke 8 al-Zarkasyi (w.794 H) menyusun
kitab alBurhan fiy Ulum al-Qur’an. Lalu pada abad 9, Jalal al-Din al-Bulqniy
(w.824 H) menyusun kitab Mawaqi’ al-Ulum fiy Mawaqi al-Nujum. Pada masa
ini pula Jalal al-Din alSayoty (w.911 H) menyusun kitab al-Tahbir fiy Ulum al-
Tafsir dan kitab al-itqan fiy Ulum al-Qur’an.
MATERI 2
a. Menjadikan Mushaf Abu Bakar yang telah dibukukan oleh Zaid bin
Tsabit sebagai acuan pokok dan dumber utama dalam penulisan
alQur’an.
b. Mengacu pada Mushaf Abu Bakar tersebu dalam hal penulisan dan
urutannya, dan apabila terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
anggota panitia, maka mengacu berdasarkan dialek Quraisy karena
alQur’an diturunkan dengan dialek Quraisy.
c. Dan al-Qur’an tidak ditulis kecuali berdasarkan persetujuan antara para
panitia, dan para sahabat bersepakat bahwa al-Qur’an yang telah
dibukukan tersebut sebagai al-Qur’an sebagaimana yang diturunkan
kepada Rasulullah.
MATERI 3
AL-QUR’AN SEBAGAI WAHYU DAN MUKJIZAT A. Pengertian Wahyu
Wahyu terambil dari asal kata waha-yuhi-wahyan ( )وحىا ىحىى وحىyang
secara harfiah berarti suara, api, kecepatan, bisikan, rahasia, isyarat, tulisan
dan kitab. Alquran sendiri yang tersebut didalamnya wahyu sebanyak 77 kali
kebanyakan dalam bentuk kata kerja (fi’il) menggunakan kata wahyu untuk
beberapa pengertian.
Arti kata wahyu sebagaimana dikatakan wahailatu ilaihi dan auhaitu,
bila kita berbicara kepadanya agar tidak dketahui orang lain. Wahyu
merupakan isyyarat yang cepat. Itu terjadi melalui pembicaraan yang berupa
rumus dan lambang, dan terkadang melalui suara semata, da terkadang melalui
isyarat anggota badan.
Sementara itu, menurut pandangan lai yang mendefinisikan wahyu dari
segi bahasa ( etimologi ) maupun secara istilah (terminologi ) merupakan
sebagai berikut : Bahwa wahyu secara semantik diartikan sebagai isyarat yang
cepat (termasuk bisikan dalam hati dan ilham ), surat, tulisan, dan segala
sesuatu yang disampaikan kepada orag lain untuk diketahui. Sedangkan
menurut istilah adalah merupakan pengetahuan seseorang di dalam dirinya
serta diyakini bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, baik dari perantaraan
atau tanpa suara maupun tanpa perantaraan.
B. Pengertian Mukjizat
Secara bahasa, mu’jizat juga berasal dari kata a’jaza yu’jizui’jazan,
yang artinya melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Sedangkan secara
istilah, mu,jizat dapat didefinisikan oleh beberapa ulama yaitu:
1. Manna al-Qathan, dalam tulisan Rosihan sebagai “suatu kejadian yang
keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan dan tidak akan
dapat ditandingi dari definisi ini, mukjizat mengandung arti menantang
dan mengalahkan orang-orang yang meragukan dan mengingkari sabda
Tuhan. Tantangan ini tidak bisa ditandingi oleh siapapun, karena Allah
berkehendak untuk memenangkan semua “pertempuran” sementara
orangorang ragu dan para pengingkar tersebut tidak mampu melawan
Tuhan.
2. Ali al-Shabuny, mendefinisikan mukjizat sebagai “ bukti yang datangnya
dari Allah Swt. Yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya untuk
memperkuat kebenaran misi kerasulan dan kenabiannya” Definisi ini
menegaskan bahwa fungsi mukjizat memperkuat posisi nabi dan rasul,
sehingga tidak seorang pun mampu menghancurkan posisi tersebut.
C. Al-Qur’an sebagai Wahyu
Al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT merupakan rujukan utama dari
segala rujukan, dan dasar dari sains dan ilmu pengetahuan. Al-qur’an
merupakan sumber inspirasi yang menjadi buku induk ilmu pengetahuan,
dimana tidak ada satu perkara apapun yang terlewatkan, semuanya telah diatur
didlamnyabai yang berhubungan dengan eagamaan, baik sesame manusia,
alam, lingkungan, ilmu akidah, ilmu social, ilmu alam, empiris, agama, umum
dan sebagainya.
Dalam Al-Qur’an, ilmu sudah disampaikan sejak wahyu pertama
diturunkan oleh AllahSWT melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad
SAW. Wahyu tersebut merupakan wahyu pertama yang diterima Nabi pada
saat berusia 40 tahun di Gua Hiro. Wahyu tersebutadalah surat AlAlaq. Bagian
pertama surat Al-Alaq ini mengarahkan Nabi Muhammad SAW kepada Allah
SWT agar beliau berkomunikasi dengan Allah dan beliau dengan nama Allah
membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang diterima melalui malaikat Jibril. Sebab
dari Allah-lah asal mula segala makhluk dan kepadanya pulalah semua akan
kembali.
Wahyu pertama ini mengingat kan bahwa Allah telah memuliakan
martabat manusia melalui membaca. Artinya dengan proses belajar mengajar
itu manusia dapat menguasai ilmu pengetahuan dan denganilmu-ilmu
pengetahuan ini manusia dapat mengetahui rahasia alam semesta yang sangat
bermanfaat bagi kesejahteraan hidupnya. Surat Al-Alaq ayat 1 sampai 5
menjelaskan bahwa untuk memahami segala macam ilmu pengetahuan,
MATERI 4
NUZULUL QUR’AN
A. Pengertain Nuzul Qur’an
B. 1. Pengertian Al-Qur‟an Kata Qur‟an
C. menurut bahasa adalah bentuk masdar dari qara‟a ( قرأyang berarti bacaan.)
Selanjutnya
D. kata ini berarti kitab suci yang diturunkan Allah Swt kepada RasulNya
Muhammad Saw yang ditulis dalam Mushaf, berdasarkan firman Allah dalam
Q.S. al-Qiyama Artinya:“Apabila Kami telah selesai membacanya, maka
ikutilah bacaannya”. Ulama berbeda pendapat tentang kata al-
E. Qur‟an dari segi isytiqaqnya sebagai berikut : a) Qur‟an adalah bentuk masdar
dari qara‟a, dengan demikian, kata Qur‟an berarti “bacaan”. Kemudian kata
ini selanjutnya berarti kitab suci yang diturunkan Allah.
F. Imam Syafi‟i berpendapat bahwa kata al-Qur‟an yang digunakan di dalam
bentuk ma‟rifah (menggunakan alif dan lam), bukanlah berasal dari qara‟a,
melainkan merupakan nama dari suatu kitab suci yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw. Kata itu tidak berasal dari qara‟a dan sekiranya berasal
dari qara‟a, maka setiap yang kita baca adalah al-Qur‟an. 8 Menurut Abu
Syuhbah, dari ketiga pendapat di atas, yang paling tepat adalah pendapat yang
pertama,9 yakni bahwa al-Qur‟an dari isytiqaqnya, adalah bentuk masdar dari
kata qara‟a. Sedangkan al-Qur‟an menurut istilah, antara lain adalah “firman
Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang memiliki
kemukjizatan lafal, membacanya bernilai ibadah, diriwayatkan secara
mutawatir, yang tertulis dalam mushaf, dimulai dengan surat al Fatihah dan
diakhiri dengan surah al-Nas”
G. Dari definisi al-Qur‟an yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa al-
Qur‟an itu adalah merupakan salah satu mukjizat di antara mukjizat-mukjizat
yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw dan sebagai mukjizat terbesar
yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw, karena mukjizat-mukjizatnya
semua sudah tidak kelihatan lagi fisiknya, kecuali kisah dan riwayatnya saja,
tetapi al-Qur‟an sebagai kitab suci yang menjadi pedoman utama umat Islam
itu tetap ada dilihat, dibaca, dihafal dan dijadikan pedoman dalam hidup dan
kehidupan, yang mendatangkan kebahagiaan dunia dan akhirat, sebagai wahyu
Allah Swt yang akan selalu terjaga keasliannya hingga akhir zaman tidak akan
berubah sedikitpun walaupun banyak usaha dari musuh-musuh al-Qur‟an
untuk mengubahnya .
H. ~ Nuzulul Qur’an ~
.....انvvدى والفرقvvات الھvvاس وبینvvشھر رمضان الذي انزل فیھ القران ھدى للن
االیةArtinya: “Ramadhan yang padanya diturunkan al-Qur’an, menjadi petunjuk
bagi sekalian manusia, dan menjadi keterangan yang menjelaskan petunjuk
dan menjelaskan perbedaan antara yang benar dan yang salah”
(Surah al-Baqarah, ayat 185)
B. Wahyu Pertama dan Terakhir Nabi
1. Wahtu Pertama
a. Jumhur (Pendapat yang paling rajih atau sahih) setuju yaitu yang
pertama diturunkan ialah lima ayat pertama surah al-‘Alaq
berdasarkan riwayat ‘Aisyah yang dicatat oleh Imam Bukhari, Muslim
dan al-Hakim dalam kitab-kitab hadis mereka.
b. Pendapat lain mengatakan Surah al-Muddatstsir yang pertama kali
diturunkan berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin
‘Abdullah seorang sahabat. Daripada Abu Salamah bin Abdul
Rahman, dia berkata: “Aku telah bertanya kepada Jabir bin ‘Abdullah:
Yang manakah di antara al-Qur ,an mula-mula diturunkan? Jabir
نv َما بقَِ َي ِمنَ الرِّباَِإ ْن ُك ْنت ُْم ُمْؤ ِمنِیvات ق ُواَّ َ َوذ َُروا َُّ یا َ أ
َّ ی ھَا ا َّل ِذینَ آ َمن ُوا
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan
tinggalkanlah sisa riba - yang belum dipungut -.” (Al-
Baqarah:278).
ب َّ ُ َع ْلَ ْی ِھ ِ لھَُ عَذاَبًا َع ِظی ًما َو َم ْن ی ْقَتلُْ ُمْؤ ِمنا ً ُمت َع َِّمداً ف َجَزَ اُؤ هُ َجھَ َّن ُم خَالِداً فِیھَا َوغ
َ َض
َّ َول َعنَھَُ َوأ َعد
“Dan sesiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya ialah Neraka Jahanam, kekal dia di dalamnya dan Allah
murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan baginya azab siksa
yang besar.” (An-nisa’:93). Saya menemui Ibn ‘Abbas dan
mempertanyakan ayat ini dan beliau berkata: “Ayat ini adalah ayat
terakhir diturunkan dan selepas itu tidak ada ayat yang menasakhkan ayat
ini.”
c. Pendapat ‘Aisyah. Jubayr bin Nufayl berkata, “Aku pergi menemui
‘Aisyah, yang bertanya kepadaku: Adakah kamu membaca Surah al-
Ma’idah? Aku katakan Ya. Dia berkata: Inilah Surah terakhir yang
diturunkan……”
d. Pendapat ‘Umar bin-Khattab. Abu Sa’id al- Khudry meriwayatkan
kepada ‘Umar bin-Khatab yang memberitahu ayat terakhir diturunkan
ialah pengharaman riba’ (al-Baqarah:275) dan Rasulullah SAW. wafat
beberapa hari selepas itu dan perkara riba’ tersebut tidak tertinggal tanpa
penjelasan.
C. Proses Penurunan Qur’an
Allah menurunkan al-Qur’an kepada manusia melalui 3 kali tahap
penurunan
1. Di lauhil mahfudz
2. Dari lauhil mahfudz ke baitul ‘izzah (langit bumi)
3. Dari baitul ‘izzah ke Rasulallah.
MATERI 5
ASBABUN NUZUL AL-QUR’AN
atau pendapat, iaitu Bi al-Ra’yi ()بالرأى, tetapi mestilah dengan riwayat yang
sahih dan pendengaran, juga hendaklah mereka itu menyaksikan sendiri ayat
itu diturunkan atau pun mereka yang mengetahui sebab-sebabnya dan
mengkaji tentangnya terdiri daripada sahabat, tabi’in dan mereka yang
bertukus-lumus mengkaji ilmu ini yang terdiri daripada kalangan ulama yang
dipercayai.
Untuk itu, ulama Salaf dan ahli Tafsir begitu teliti dan sangat
berhatihati dalam perkara ini, di mana ulama mengetahui Asbab Nuzul dan
perkara yang berkaitan dengan sebab penurunan al-Quran dengan melalui
riwayat para Tabi’in dan para sahabat atau juga melalui riwayat yang secara
sah berasal daripada Nabi.
Apa yang jelas dan pastinya, walaupun dalam setengah keadaan, ulama
mengetahui Asbab Nuzul dengan berdasarkan riwayat daripada tabi’in dan
sahabat, namun riwayat yang diterima itu bukanlah sebagai pendapat biasa,
tetapi ia merupakan riwayat yang marfu’, iaitu riwayat yang berdasarkan
kepada Nabi, maka ia dapat diterima sebagai riwayat yang sahih.
MATERI 6
MATERI 7
MUNASABAH AL-QUR’AN
A. Pengertian Munasabah
Ilmu munasabah disebut juga Ilmu Tanasub Al Ayat. Ilmu Tanasub Al
Ayat adalah ilmu yang menerangkan persesuaian antara suatu ayat dengan
ayat yang sebelumnya dan dengan ayat yang sesudahnya. Secara harfiyah, kata
munasabah berarti perhubungan, pertalian, pertautan, persesuaian, kecocokan
dan kepantasan. Kata al-munasabah, adalah sinonim (muradif) dengan kata
almuqarabah dan almusyakalah, yang masing-masing berarti berdekatan dan
persamaan. Secara istilah, munasabah berarti hubungan atau keterkaitan dan
keserasian antara ayat-ayat AlQur’an. Ibnu Arabi, sebagaimana dikutip oleh
Imam As-Sayuti, mendefinisikan munasabah itu kepada ‘keterkaitan ayat-ayat
Al-Qur’an antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia terlihat
sebagai suatu ungkapan yang rapih dan sistematis.
Berdasarkan kajian munasabah, ayat –ayat Al-Qur’an dianggap tidak
terasing antara satu dari yang lain. Ia mempunyai keterkaitan, hubungan, dan
keserasian. Hubungan itu terletak antara ayat dengan ayat, antara nama surat
dengan isi surat, awal surat dengan akhir surat, antara kalimat-kalimat yang
terdapat dalam setiap ayat dan lain sebagainya.
B. Cara Mengetahui dan Mencari Munasabah
Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah
bersifat ijtihad. Artinya, pengetahuan tentangnya ditetapkan berdasarkan
ijtihad karena tidak ditemukan riwayat, baik dari nabi maupun para
sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada keharusan mencari munasabah pada
setiap ayat. Alasannya, Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur
mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada. Oleh karena itu,
terkadang seorang mufasir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang
lainnya dan terkadang tidak. Ketika tidak menemukan keterkaitan itu ia tidak
diperkenankan memaksakan diri. Dalam hal ini, Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abd As-
Salam berkata: “Munasabah adalah sebuah ilmu yang baik, tetapi kaitan antar
kalam mensyaratkan adanya kesatuan dan keterkaitan bagian awal dengan
bagian akhirnya. Dengan demikian, apabila terjadi pada berbagai sebab yang
berbeda, keterkaitan salah satunya dengan lainya tidak menjadi syarat. Orang
yang mengaitkan tersebut berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya.
Kalaupun itu terjadi, ia mengaitkannya hanya dengan ikatan-ikatan lemah
yang pembicaraan yang baik saja pasti terhindar darinya, apalagi kalam yang
terbaik.”
Untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam
Alquran diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Sayuti
menjelaskan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menemukan
munasabah yaitu:
1. Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek
pencarian.
2. Memerhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas
dalam surat.
3. Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau
tidak.
4. Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memerhatikan
ungkapanungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.
C. Munasabah dalam Al-Qur’an
Membicarakan masalah munasabah dalam Al-Qur’an, sangat berkaitan
erat dengan sistem penertiban ayat dan surat dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini
Manna’ Khalil al-Qattan menyatakan bahwa “Al-Qur’an terdiri atas surat-surat
dan ayatayat, baik yang pendek maupun yang panjang. Ayat adalah sejumlah
kalam Allah yang terdapat dalam sebuah surat dalam Al-Qur’an, dan surat
adalah sejumlah ayat Al-Qur’an yang mempunyai permulaan dan kesudahan.
Tertib dan urutan ayat-ayat Al-Qur’an adalah taufiqi, ketentuan dari
Rasulullah saw dan atas perintahnya”.
Diantara ulama yang mendukung munasabah ini adalah al-Biqai’. Ia,
sebagai dikutip mustofa muslim, mengatakan bahwa ilmu munasabah sangat
penting, ia merupakan ilmu yang agung, sehingga hubungannya dengan ilmu
tafsir bagaikan ilmu nahwu dan ilmu bayan. Menurut al-Zarkasyi ilmu
munasabah menjadikan bagianbagian kalam saling menguatkan satu dengan
lainnya. Ilmu ini, menurut al-Raziy, sangat bernilai tinggi selama dapat
diterima akal.
Penguasaan seseorang dalam munasabah akan mengetahui mutu dan
tingkat kebalaghahan Al-quran dan konteks kalimatnya antara yang satu
dengan yang lain. Bagaimana tidak, korelasi antar ayat akan menjadikan
keutuhan yang indah dalam tata bahasa Al-quran, yang jika dipenggal
keindahan tersebut akan hilang. Ini bukti bahwa Al-Qur’an betul-betul
mukjizat dari Allah bukan kreasi Muhammad. Sebagai dikatakan al-Razi
bahwa kebanyakan keindahankeindahan Al-Qur’an terletak pada susunan dan
hubungannya, sedangkan susunan kalimat yang paling indah (baligh) adalah
yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Di sini jelas bahwa
pengetahuan tentang munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami
makna ayat atau surat Al-Qur’an secara utuh.
D. Macam-Macam Munasabah
Ditinjau dari sifatnya, munasabah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu:
Pertama, zhahirul irtibath, yang artinya munasabah ini terjadi karena bagian
AlQur’an yang satu dengan yang lain nampak jelas dan kuat disebabkan
kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan yang lain. Deretan beberapa ayat
yang menerangkan sesuatu materi itu terkadang, ayat yang satu berupa
penguat, penafsir, penyambung, penjelas, pengecualian, atau pembatas dengan
ayat yang lain. Sehingga semua ayat menjadi satu kesatuan yang utuh dan
tidak terpisahkan.
Dan kedua, khafiyul irtibath, artinya munasabah ini terjadi karena
antara bagian-bagian Al-Qur’an tidak ada kesesuaian, sehingga tidak tampak
adanya hubungan di antara keduanya, bahkan tampak masing-masing ayat
berdiri sendiri, baik karena ayat yang dihubungkan dengan ayat lain maupun
karena yang satu bertentangan dengan yang lain
Adapun munasabah dari segi materinya, dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
Pertama, munasabah antar ayat dalam Al-Qur’an, yaitu hubungan atau
persesuaian antara ayat yang satu dengan yang lain. Dengan penjelasan dan
contoh yang telah penulis kemukakan di atas. Kedua, munasabah antar surat.
Dalam hal ini muhasabah antar surat dalam AlQur’an memiliki rahasia
tersendiri. Ini berarti susunan surat dalam Al-Qur’an disusun dengan berbagai
pertimbangan logis dan filosofis
Adapun cakupan korelasi antar surat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Hubungan antara nama-nama surat.
2. Hubungan antara permulaan surat dan penutupan surat sebelumnya.
3. Hubungan antar awal surat dan akhir surat.
4. Hubungan antara dua surat dalam soal materi dan isinya.
MATERI 8
MATERI 9
Makkiyah diambil dari nama kota makkah tempat islam lahir dan tumbuh.
Kata makkiyah merupakan kata sifat yang disandarkan kepada kota tersebut. Dan
sesuatu yang disebut makkiyah apabila ia mengandung kriteria yang berasal dari
mekah atau yang berkenaan dengannya. Begitu pula dengan madaniyah, ia
diambil dari nama kota madinah, tempat rasululloh berhijrah dan membangun
masyarakat islam serta mengembangkan islam ke segala penjuru dunia. Sekalipun
kemudian dakwah Rasululloh melewati batas-batas wilayah kedua kota tersebut,
namun mekaha dan madinah tetap mempunyai peran yang siginifikan dalam
setiap proses pengembangan islam.
A. Perbedaan Makkiyah dan Madaniyah
1. Dari segi tata bahasa
a. Surat makkiyah secara umum gaya bahasanya kuat dan keras
pembicaraanya, sebab kebanyakan yang diajak bicara orang-orang
yang berpaling dari kebenaran dan sombong. . Dan adapun madaniyah
secara umum gaya bahasanya lembut dan pembicaraanya halus, sebab
yang menerima kebenaran secara terbuka.
b. Umunya surat-surat makkiyah ayatnya pendek-pendek dan kuat
pendalilannya. Sedangkan madaniyah ayatnya panjang-panjangdan
menyebutkan hukum-hukum secara khusus.
2. Dari segi isinya
a. Umumnya surat-surat makkiyah menetapkan tentang tauhid dan akidah
yang selamat secara khusus yang berkaitan dengan tauhid uluhiya dan
percaya dengan hari kebangkitan, sedangkan madaniyah secara umum
menerangkan tentang perician ibadah dan mu’amalah karena yang
diajak bicara orang-orang telah terikrar dalam jiwa mereka tauhid dan
aqidah yang selamat.
B. Ciri-Ciri Spesifik Makkiyah dan Madaniyah
1. Makkiyah
a. Di dalamnya terdapat ayat sajdah
b. Ayat-ayatnya dimulai dengan kata “kalla”
c. Dimulai dengan ungkapan “ya ayyuhan nas” dan tidak ada ayat
dimulai dengan ungkapan “ya ayyuahl ladzina”, kecuali dalam surat al-
hajj karena di penghujung surat itu terdapat sebuah ayat yang dimulai
dengan ungkapan “ya ayyyuhal ladzina”.
d. Ayat-ayatnya mengandung tema kisah para nabi dan umat-umat
terdahulu
e. Ayat-ayatnya berbicara tentang kisah nabi Adam dan iblis, kecuali
surat al-baqarah
f. Ayat-ayatnya dimulai dengan huruf-huruf terpotong-potong seperti alif
lam mim dan sebagainya, kecuali surat al-baqarah dan ali-imran.
2. Madaniyah
a. Mengandung ketentuan-ketentuan faraid dan had
b. Mengandung sindiran-sindiran terhadap kaum muanafik, kecualai surat
alankabut
c. Mengandung uraian tentang perdebatan dengan ahli kitabin.
C. Klasifikasi Ayat-Ayat dan Surah-Surah Al-Qur’an
Untuk mengetahui dan menentukan makkiyah dan madaniyah, para
ulama bersandar pada dua cara utama: sima’i naqli (pendengaran seperti apa
adanya) dan qiyashi ijtihad (bersifat ijtihad). Cara pertama berdasarkan pada
riwayat shahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan
turunnya wahyu, atau dari para tabi’in yang menerima dan mendengar dari
para sahabat bagaimana, dimana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan
turunnya wahyu itu.
Untuk membedakan makkiyah dana madaniyah, para ulama
mempunyai tiga macam pandangan yangmasing-masing mempunyai dasar-
dasarnya sendiri.
1. Dari segi waktu turunnya. 2.
Dari segi tempat turunnya.
3. Dari segi sasarannya.
Ada tiga tahap dalam masa turunnya al-qur’an di mekah menurut abu
qasim yaitu tahap permulaan, tahap pertengahan dan tahap penghabisan.
1. Tahap permulaan di Mekah ( marhala ibtidaiyyah)
a. Surat al-alaq [96]
b. Surat almudatsir [74]
c. Surat at-takwir [81]
d. Surat al-a’la [87]
e. Surat al-lail [92]
f. Surat al-insyirah[94]
g. Surat al-‘adiyat [100]
h. Surat at-takwir [102
i. Surat an-najm [53]
2. Tahap pertengahan di Mekah (marhalah mutawassithah)
a. Surat ‘abasa [80]
b. Surat ath-thin [95]
c. Surat al-qori’ah [101]
d. Surat al-qiyamah [75]
e. Surat al-mursalat [77]
f. Surat al-balad [90]
g. Surat al-hijr [15]
3. Tahap penghabisan di Mekah (marhala khataniyah)
a. Surat ash-shaffat [37]
b. Surat al-dzuhkruf [43]
c. Surat ad-dukhon [44]
d. Surat adz-dzariyat [51]
e. Surat al-kahfi [18]
f. Surat Ibrahim [14]
g. Surat as-sajdah [32]
Adapun madaniyah ada dua puluh surat, yaitu:
a. Al-baqarah k. Al-Hujurat
b. Ali-imran l. Al-Hadid
c. An-nisa m. Al-Mujadilah
d. Al-maidah n. Al-Hasyr
e. Al-anfal o. Al-Mumtahanah
f. At-taubah p. Al-Jumu’ah
g. An-nur q. Al-Munafiqun
h. Al-ahzab r. At-Thalaq
i. Muhammad s. At-Thahrim
j. Al-fath t. An-Nasr
Sedangkan yang diperselisihkan ada dua belas surat, yaitu:
a. Al-Fatihah g. Al-Qadr
b. Ar-Ra’d h. Al-Bayyinah
c. Ar-Rahman i. Az-Zalzalah
d. Ash-Shafh j. Al-Ikhlas
e. Ath-Thagabun k. Al-Falaq
f. Al-Mutaffifin l. An-Nas
D. Tujuan mempelajari Makkiyah dan Madaniyah
1. Untuk menambah keyakinan bahwa al-qur’an adalah kalam Allah yang
diturunkan di bawah otoritas Allah semata bukan berdasarkan keinginan
nabi
2. Untuk mempermudah memahami al-Qur’an
3. Agar bisa memahami nasikh (hukum yang menghapus) dan mansukh
(hukum yang dihapus) jika terdapat dua ayat yaitu madaniyah dan
makkiyah yang keduanya memenuhi syarat nasakh maka ayat mmadaniyah
tersebut menjadi nasakh bagi ayat makkiyah karena ayat madaniyah datang
belakangan setelah ayat makkiyah
4. Untuk mengetahui kronologis penurunan syari’ah yang berangsur-angsur
5. Untuk mengetahui perjalanan Rasulullah
6. Untuk mengetahui kesungguhan para sahabat dan generasinya dalam
menjaga otensitas al-qur’an.
MATERI 10
QASHASHUL QUR’AN
MATERI 11
AMSALUL QUR’AN
Secara bahasa amtsal adalah bentuk jamak dari matsal. Kata matsal,
mitsal, dan matsil adalah sama dengan kata syabah, syibh, dan syabih, baik lafadz
maupun maknanya, yang berarti perumpamaan, ibarat, tamsil, contoh, ‘ibrah, dan
lain sebagainya. Menurut terminologinya ada tiga pengertian1:
1. Menurut ulama ahli adab, amtsal berarti “Ucapan yang banyak
mengumpamakan keadaan sesuatu, diceritakan dengan sesuatu yang
dituju”.
2. Menurut ulama ahli bayan, amtsal adalah “Ungkapan majaz yang
disamakan dengan asalnya karena adanya persamaan (daam ilmu balaghah
disebut tasybih).”
3. Menurut ulama ahli tafsir, amtsal adalah “Menampakkan pengertian yang
abstrak dalam ungkapan yang indah, singkat dan menarik, yang mengena
dalam jiwa, baik dengan bentuk tasybih maupun majaz mursal.”
A. Macam-Macam Amtsal
Menurut ahli Balaghah, tamsil harus memenuhi beberapa ketentuan
yaitu: bentuk kalimatnya ringkas, isi maknanya mengena dan tepat,
perumpamaannya baik dan kinayahnya harus indah. Adapun rukun tamsil ada
empat macam, yaitu
1. Wajah syabah yaitu pengertian yang dapat dipahami dari perumpamaan
tersebut, yang sama-sama ada pada musyabbah dan musyabbah bih.
2. Adat tasybih, yaitu terdiri dari kaf, mitsl, kaana, dan semua lafadz yang
menunjukkan perumpamaan.
3. Musyabbah, yaitu subyek sasaran perumpamaan.
4.
1 Muhammad Shalahuddin Hamid, Study Ulumul Qur’an, (Jakarta: Intimedia, 2002), hlm. 316.
Musyabbah bih, yaitu obyek yang dijadikan perumpamaan.
Syekh Jalaluddin As-Suyuthi membagi amtsal dalam Alqur’an menjadi
dua macam, yaitu amtsal dzahir (jelas), dan amtsal khafiy (tersembunyi).
Sedangkan Manna’ Al-Qathan membaginya menjadi tiga macam, yaitu amtsal
musharrahah, amtsal kaminah, dan amtsal mursalah.
1. Amtsal musharrahah, yaitu lafadznya jelas menggunakan kalimat mitsal
atau sesuatu yang menunjukkan perumpamaan/ penyerupaan (tasybih).
Amtsal seperti ini banyak ditemukan dalam Alqur’an.
2. Amtsal kaminah, yaitu perumpamaan yang tidak disebutkan dengan jelas
(samar), atau yang didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafadz tamsil,
tetapi ia menunjukkan makna yang indah, menarik, dalam redaksinya
singkat padat, dan mempunyai pengarh tersendiri bila dipindahkan kepada
yang serupa dengannya.
3. Amtsal mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan
lafadz tasybih secara jelas, tetapi kalimat-kalimat tersebut berlaku sebagai
matsal.
B. Faedah-Faedah Amtsal dalam Al-Qur’an
Ada beberapa faedah-faedah mempelajari Amtsal dalam Alqur’an,
antara lain:
1. Menonjolkan/ menampilkan sesuatu yang ma’qul (yang hanya bsa
dijangkau akal, abstrak) dalam bentuk konkrit yang dapat dirasakan indera
manusia, sehingga akal mudah menerimanya, sebab pengertian-pengertian
abstrak tidak akan tertanam dalam benak kecuali jika ia dituangkan dalam
bentuk inderawi yang dekat dengan pemahaman.
2. Dapat mengungkapkan kenyataan dan mengkonkritkan hal-hal yang
abstrak.
3. Mengumpulkan/ menghimpun makna yang menarik lagi indah dalam satu
ungkapan yang singkat dan padat, seperti amtsal kaminah dan amtsal
mursalah dalam ayat-ayat diatas.
5.
4. Mendorong orang yang diberi matsal untuk berbuat sesuai isi matsal, jika
ia merupakan sesuatu yang disenangi jiwa.
Menjauhkan dan menghindarkan dari perbuatan tercela, jika isi matsal
berupa sesuatu yang dibenci jiwa.
6. Untuk memuji orang yang diberi matsal.
7. Dengan matsal tersebut, untuk menggambarkan sesuatu yang mempunyai
sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak.
8. Untuk memberikan rasa berkesan dan membekas dalam jiwa, karena
amtsal lebih efektif dalam memberikan nasehat, lebih kuat dalam
memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati.
MATERI 12
‘IJAZUL QUR’AN
Kata i’jaz diambil dari akar kata a’jaza-yu’jizu yang secara bahasa berarti
lemah,tidak mampu,tidak berdaya.Yang dimaksud i’jaz dalam pembicaraan ini
ialah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul
dengan menampakkan kelemahan orang Arab pengakuannya untuk menghadapi
mukjizat yang abadi,yaitu Al-Qur'an dan kelemahan generasi-generasi sesudah
mereka. Adapun Manna Al Qatthan mendefinisikan dengan hal serupa yaitu
“amrun khariqun lil’addah maqrunun bit tahaddiy salimun anil mu’aradhah”yaitu
suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan,disertai dengan unsur tantangan,dan
tidak dapat ditandingi.
Pengertian mu’jizat menurut Dr.Tantowi ialah ilmu yang membahas
tentang keunggulan Al-Qur’an dan menyikap ilmu yang ada di dalamya yang
dapat diungkap oleh ilmu pengetahuan di era modern. Sedangkan kalimat I’jazul
Qur’an itu seniri merupakan bentuk idhafah,menurut Imam Zarqani ‘Ijazul Qur’an
secara bahasa berarti di tetapkannya Al Qur’an itu melemahkan bagi yang akan
menandinginya. Adapun pengertian mu’jizat menurut theology (mutakallimin)
adalah munculnya sesuatu hal yang berbeda dengan kebiasaan yang terjadi di
6.
dunia (khariqun adah) untuk menunjukkan kebenaran kenabian (nubuwwah) para
ulama.
A. Sejarah ‘Ijazul Qur’an
Ada ulama yang berpendapat, orang yang pertama kali menulis I’jazul
Quran ialah Abu Ubaidah (wafat 208 H) dalam kitab Majazul Quran. Lalu
disusul oleh Al-farra (wafat 207 H) yang menulis kitab Ma’anil Quran.
Kemudian disusul Ibnu Quthaibah yang mengarang kitab Ta’wilu Musykikil
Qur’an.
Pernyataan terebut dibantah Abdul Qohir Al-Jurjany dalam kitabnya
Dalailul I’jaz, bahwa semua kitab tersebut di atas bukan ilmu I’jazul Qur’an,
melainkan sesuai dengan nama judul-judulnya itu.
Menurut Dr. Subhi Ash-sholeh dalam kitabnya Mabahis fi Ulumil
Qur’an, bahwa orang yang pertama kali membicarakan ijazul Qur’an adalah
imam Al-jahidh (wafat 255 H), ditulis dalam kitab Nuzhumul Qur’an, hal ini
seperti diisyaratkan dlam kitabnya yang lain, Al Hayyam. Lalu disusul
muhammad bin Zaid Al-wasithy (wafat 306 H) dalam kitab I’jazul Qur’an
yang banyak mengutip isi kitab Al-jahidh tersebut di atas. Kmudian
dilanjutkan Imam Arrumany (wafat 384 H).
B. Tujuan dan Fungsi ‘Ijazul Qur’an
1. Tujuan
a. Membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW yang membawa
mukjizat kitab Al-Qur’an itu adalah benar-benar seorang Nabi atau
Rasul Allah.
b. Membuktikan bahwa kitab Al-Qur’an adalah benar-benar wahyu
Allah SWT, bukan buatan malaikat Jibril dan bukan tulisan Nabi
Muhammad SAW.
c. Menunjukkan kelemahan mutu sastra dan balaghah bahasan
manusia,karena terbukti pakar-pakar pujangga sastra dan seni bahasa
Arab tidak ada yang mempu mendatangkan kitab tandingan yang sama
seperti Al-Qur’an,yang telah ditantangkan kepada mereka
dalamberbagai tingkat dan bagian Al-Qur’an.
d. Menunjukkan kelemahan daya upaya dan rekayasa umat manusia
yang tidak sebanding dengan keangkuhan dan kesombongannya.
2. Fungsi
mengalami perubahan.
MATERI 13
KISAH-KISAH ISRAILIYAT
Kata Israiliyat adalah bentuk jamak dari kata Israiliyah, yakni segala
riwayat-riwayat yang bersumber dari kebudayaan Yahudi dan Nasrani baik itu
yang termaktub dalam kitab taurat dan injil, penafsiran-penafsirannya, maupun
pendaptpendapat orang yahudi dan nasrani tentang ajaran agama mereka. Namun
sebagian ulama tafsir telah memperluas makna atau muatan dari kata tersebut.
Mencakup segala riwayat kisah, ajaran yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Baik kisah lama yang bersumber dari yahudi maupun Nasrani, ataupun yang tidak
sengaja dimasukkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan Hadis untuk
merusak aqidah Islam
Secara leksikal, Israilyat adalah Masdar Shinai’y dari kata Israil yang
merupakan gelar Nabi Ya’kub ibn Ishaq ibn Ibrahim a.s. Nabi ya’kub adalah
nenek moyang bangsa yahudi, karena kedua belah suku bangsa yahudi yang
terkenal itu berinduk kepadanya.
Menurut Adz-Dzahabi dalam bukunya yang berjudul At Tafsir wal
AlMufassirun, Secara singkat Israiliyat mengandung pengertian pengaruh
kebudayaan yahudi dalam penafsiran Al-Quran. Sedangkan pengertian budaya
Yahudi dan budaya Nasrani itu: Kebudayaan Yahudi dalam pandangannya
berpangkal pada kitab taurat yang diberitakan Al-Quran sebagai kitab yang berisi
hukum syari’at yang diturunkan tuhan kepada Nabi Musa a.s. kemudian kitab
taurat itu sendiri dikenal sebagai kitab suci agama Yahudi, yang termasuk
didalamnya kitab jabur dan lain-lainnya yang kemudian dikenal dengan kitab
perjanjian lama. Kitab Taurat yang tertulis mereka juga menerima ajaran dan
keterangan yang diterima dari lisan nabi Musa a.s., dan mulut ke mulut.
A. Latar Belakang Sejarah Penggunaan Israiliyat
Cara masuknya cerita-cerita israiliyat kedalam tafsir dan hadis di
dahului oleh masuknya kebudayaan Arab zaman jahiliyah. Pada waktu itu
hidup ditengah – tengah orang Arab segolongan Ahli Kita, yaitu kaum Yahudi
yang pindah ke Jazirah Arab sejak dahulu. Perpindahan itu terjai secara besar-
besaran pada tahun 70 M.
Mereka hijrah ke jazirah Arab dengan membawa kebudayaan yang
mereka ambil dari kitab-kitab agama mereka. Dan uraian cerita yang terdapat
dalam kitab itu mereka terima sebagai warisan dari Nabi atau Ulama mereka,
dan mereka wariskan dari generasi ke generasi. Adapun tempat yang dijadikan
oleh mereka sebagai tempat untuk mengkaji kebudayaan mereka tersebut
dinamakan dengan Midras.
Diantara kaum Muslimin dengan orang Yahudi sering mengadakan
pertemuan untuk melakukan perdebatan dan diskusi. Lebih pentingnya lagi
adalah masuknya Islam ke beberapa golongan Yahudi, seperti Abdullah bin
Salam, Abdullah bin Suraya, Ka’ab Al-Ahbar dann lain-lain yang pada
umumnya mempunyai pengetahuan yang luas mengenai kebudayaan Yahudi.
Yang layak untuk disesali adalah Pertumbuhan tafsir merupakan sikap
sebagian tabi’in yang sangat besar perhatiannya kepada isroiliyat dan
nashroniyyat.
Pemuka riwayat yang israiliyat dan nashraniyat ialah Wahab ibn
Munabbih seorang Yahudi dari Yaman yang memeluk Islam. dia banyak
meriwayatkan israiliyat seperti yang kita jumpai dalam tafsir Ibnu Jarir
aththabari. Oleh karena itu sebagian para tabi’an banyak menerima israiliyat
dan nashraniyyat dan memasukkannta kedalam bidang tafsir, maka Malik Ibn
Anas menolak riwayat Qatadah banyak meriwayatkan israiliyat.
Jadi, dapat kita pahami bahwasannya adanya tafsir israiliyat ini di
sebabkan karena para mufassir pada masa itu sangat berbaik sangka kepada
segala pemberita yang mereka anggap bahwa orang yang sudah masuk Islam
tentu tidak mau berdusta. Itulah sebabnya para mufasir tidak mengoreksi dan
memeriksa kembali kabar-kabar yang mereka terima.
B. Macam-Macam Israiliyat
Israiliyat memiliki beberapa macam yang didasarkan pada dua
tinjauan. Israiliyat apabila ditinjau dari syariat Islamiyah, dibagi menjadi tiga
macam, yaitu:
1. Kisah yang dibenarkan oleh Islam atau Khabariyah al Shidqu.
2. Kisah yang diingkari oleh Islam dan dipersaksikan bahwa kisah tersebut
adalah dusta atau Khabar al Kidzbu.
3. Kisah yang Islam tidak membenarkan tidak pula mengingkarinya atau
Khabar al Shidqu wal Kidzbu.
C. Contoh-Contoh Israiliyat
Dari beberapa kitab tafsir, yang memuat banyak kisah-kisah isroiliyat
adalah kitab Tafsira Ath-Thabari dan Ibnu Katsir. Dalam kitab Tafir
AthThabari, memuat kisah tidak kurang dari 20 tema isroiliyat, dan diantara
sekian banyak kisah, hanya satu kisah yang dapat diterima kebenarannya,
yaitu riwayat yang menceritakan sifat Nabi yang tidak kasar, tidak keras,
pemurah, dan penyayang. Sementara dalam Tafsir Ibnu Katsir terdapat tidak
kurang 40 kisah isroiliyat. Diantara contoh isroiliyat yang dikemukakan antara
lain:
1. Kisah Nabi Sulaiman a.s.
2. Kisah Nabi Ismail a.s.
3. Kisah Surah Qaf.
4. Kisah Harut dan Marut.
D. Sikap Para Ulama Terhadap Israiliyat
1. Pendapat Ibnu Taimiyah
Mukoddimah kitabnya pokok-pokok ilmu tafsir, Ibnu Taimuyah,
setelah mengemukakan bahwa Abdullah bin Amr bin As pada perang
Yarmuk mendapatkan 2 orang teman ahli kitab lalu menerima hadist dari
keduanya karena mamahami hadistnya.“sampaikanlah oleh kamu sekalian
dariku walaupun satu ayat dan ceritakanlah dari bani Israil yang demikian
itu kalian tidak berdosa”
Seolah-olah hadist itu mengizinkan periwayatan cerita Israiliyat
kemudian (Ibnu Taimiyah) menyatakan “akan tetapi hadist-hadist Israiliyat
tersebut dikemukakan untuk menjadi saksi dan bukan untuk di yakini”.
Cerita Israiliyat terbagi menjadi 3, yaitu:
a. Kita ketahui kesahihhannya dan dibenarkan dengan ajaran yang ada
pada diri kita. Cerita Israiliyat itu adalah Sahih (benar)
b. Kita ketahui kedustaannya, karna bertentangan dengan apa yang ada
pada diri kita.
c. Didiamkan, dibenarkan tidak, didustakan pun tidak. Jangan
mengimaninya dan jangan pula membohongkannya. Cerita tersebut
boleh diriwayatkan berdasarkan alasan yang telah diriwayatkan.
2. Pendapat Imam Baga’i
Imam Baga’i telah berpendapat di dalam kitabnya “Al-Aqwal
AlQawimah Fi Mukmin-Naqi (pendapat-pendapat yang lurus di dalam
menukil kitab-kitab terdahulu.
Hukum penukilkan cerita dari bani Israil yng tidak dibenarkan dan
juga tidak didustakan oleh kitab kita. Adalah di perkenankan walaupun apa
yang dinuklikan tidak tetap. Demikian pula Nukilan dari selain ahli kitab,
yaitu dari pemeluk agama-agama yang batil karena tujuannya hanyalah
ingin mengetahui bukan untuk dijadikan pegangan. Berbeda dengan apa
yang dijadikan dalil di dalam Syariat kita, karena syari’at merupakan tiang
utama di dalam berhujjah dan beragama, harus jelas keterangannya
(keabsahannya). Dalil-dalil tersebut menurut pendapat kami terbagi dalam
3 bagian :
a. Dalil-dalil maudu’ bukan pula daif.
b. Dalil yang mutlak daif tidak bisa di jadikan Hujjah.
c. Daif yang dipegang yaitu untuk menumbuhkan kegemaran beramal
(targib) maudu’ dikemukakan untuk mengingatkan bahwa masalah
tersebut dusta.
3. Pendapat Ibnu Katsir
a. Cerita-cerita yang sesuai dengan kebenarannya dengan Al-Qur’an.
Berarti cerita itu benar.
b. Cerita yang terang-terangan dusta, karena menyalahi ajaran Islam.
Harus ditinggalkan karena merusak Akidah.
c. Cerita yang didiamkan. Tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an ,
tetapi juga tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
MATERI 14
A. Pengertian
Kata “tafsir” diambil dari kata “fassara-yufassiru-tafsira” yang bearti
keterangan atau uraian. Al-jurani berpendapat bahwa kata “tafsir” menurut
pengertian bahasa adalah “Al-kasf wa Al-izhar” yang artinya menyikap
(membuka) dan melahirkan. Pada dasarnya, pengertian “tafsir” berdasarkan
bahasa tidak akan lepas dari kandungan makna Al-idhah (menjelaskan),
Albayan (menerangkan), Al-kasf (mengungkapkan), Al-izhar (menampakkan),
dan Al-ibanah (menjelaskan).
Adapun pengertian “tafsir” berdasarkan istilah, para ulama banyak
memberikan komentar, antara lain sebagai berikut:
1. Menurut Al-Kilabi dalam At-Tashil :Tafsir adalah menjelaskan Al-quran,
menerangkan maknanya dan menjelaskan dikehendakai dengan nasbnya
atau dengan isyaratnya atau tujuannya.
2. Menurut Syekh Al-Jazairi dalam Shahib At-Taujih :Tafsir pada hakikatnya
adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahamioleh pendengar dengan
mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau
dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lafdz tersebut.
Ta’wil menurut bahasa berasal dari kata “aul”, yang berarti kembali ke
asal artinya, memikirkan, memperkirakan dan menafsirkannya. Atas dasar ini
maka ta’wil kalam dalam istilah mempunyai dua makna:
Pertama, ta’wil kalam dengan pengertian sesuatu makna yang
kepadanya mutakallim (pembicara, orang pertama) mengembalikan
perkataanya, atau sesuatu makna yang kepadanya suatu makna yang kepadanya
1. Menurut Al-Jurzani
Memalingkan suatu lafadz dari makna lahirnya terhadap makna yang
dikandungnya, apabila makna alternatif uyang dipandnagnya sesuai
diberikan. Atas dasar ini maka perbedaan antara tafsir dengan ta’wil cukup
besar; sebab tafsir merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan
dan penjelasan ini berada dalam pikiran dengan cara memahaminya dan
dalam lisan dengan ungkapan yang menunjukkannya. Sedang ta’wil ialah
esensi sesuatu yang berada dalam realita (bukan dalam pikiran).
3. Dikatakan, tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam Kitabullah
atau tertentu (pasti) dalam sunnah yang shahih karnanya maknanya telah
jelas dan gamblang. Sedang ta’wil adalah apa yang telah disimpulkan para
ulama. Karena itu sebagian ulama mengatakan, “Tafsir adalah apa yang
berhubungan dengan riwayat sedang Ta’wil adalah apa yang berhubungan
dengan dirayah.
4. Dikatakan pula, tafsir lebih banyak digunakan dalam
(menerangkan) lafaz dan mufrodat (kosa kata), sedang ta’wil lebih banyak
dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan kalimat. Dan masih
banyak lagi pendapat-pendapat yang lain.
C. Keutamaan Tafsir
Tafsir adalah ilmu syariat paling agung dan paling tinggi
kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia obyek pembahasan dan
tujuannya serta dibutuhkan. Obyek pembahassannya adalah Kamullah yang
merupakan sumber segala hikmah dan “tambang” segala keutamaan. Tujuan
utamanya untuk dapat berpegang pada tali yang kokoh dan mencapai
kebahagiaan hakiki. Dan kebutuhan terhadapnya sangat mendesak karena
segala kesempurnaan agamawi dan duniawi haruslah sejalan dengan syara’
sedang kesejalanan ini sangat bergantung pada pengetahuan tentang Kitab
Allah.
D. Urgensi Tafsir dan Ta’wil dalam Memahami Al Quran
Urgensi tafsir dan ta’wil dalam memahami Al-Qur’an untuk ayat
muhkamat dan ayat mutasyabihat adalah sebagai berikut:
1. Ayat Mukhamat
a. Dengan adanya ayat mukhamat yang sudah jelas arti maksudnya, maka
menjadi rahmat bagi umat Islam, khususnya orang yang kemampuan
bahasa Arabnya lemah. Dengan mempelajari bahasa arab akan
2. Ayat Mutasyabihat
Urgensi tafsir dan ta’wil al-Qur’an dalam
kelemahannya.
d. Untuk mengetahui kemukjizatan yang terdapat dalam al Quran agar
manusia sadar bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa,
MATERI 15
tua, guru, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan sebagainya.
Bisa juga diartikan pendidikan keluarga adalah bimbimgan atau
pembelajaran yang diberikan terhadap anggota kumpulan suatu keturunan atau
suatu tempat tinggal, yang terdiri dari suami atau ayah, istri atau ibu, anak-anak
dan lain sebagainya. dengan demikian keluarga tidak hanya istri dan anak-anak
tetapi juga mencakup kaum kerabat lainnya yang satu nasab, terutama yang
Ayat 6 itu juga menggambarkan keadaan api neraka. Ada dua kondisi
neraka yang digambarkan ayat diatas; pertama, bahan bakarnya yang terdiri
dari manusia dan batu. Manusia yang akan menjadi bahan bakar neraka itu
adalah orang-orang kafir. Dan menurut sebagian mufassir, batu yang dijadikan
sebagai bahan bakar neraka itu adalah berhala yang mereka sembah. Kedua,
neraka itu dijaga oleh malaikat yang amat kasar dan keras terhadap penghuni
neraka, tetapi mereka makhluk yang sangat patuh kepada Allah serta tidak
pernah melanggar perintah-Nya.
(AsySyu’ara, 26 :24).
B. Tujuan Objek Pendidikan
Tujuan berarti arah atau sasaran yang ingin dicapai. Dalam
pembahasan ini, keluarga adalah sebagai objek pendidikan bukan hanya
seorang anak. Itu berarti semua anggota keluarga menjadi sasaran dalam
pendidikan.
Dari beberapa Hadits tentang tujuan pendidikan, diperoleh informasi
bahwa objek pendidikan dalam Islam mengandung 3 tujuan pokok, yaitu
sebagai berikut:
3. Pengembangan potensi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat empat
hal yang mesti perhatikan oleh setiap anggota keluarga, yaitu sebagai
berikut :
1. Menyadari bahwa manusia secara individu adalah makhluk Allah yang
dimana ia berada.
3. Menyadari bahwa alam ini ciptaan Tuhan dan berusaha memahami hikmah