Anda di halaman 1dari 56

RESUME SEMUA MATERI ULUMUL QUR'AN

(Untuk Memenuhi Tugas Akhir Perkuliahan Mata Kuliah Ulumur Qur’an )

Dosen Pengampuh : Faozan, M.A.

Disusun Oleh:

Muhammad Ali Ridwan Tanjung


(2020100133)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PADANGSIDIMPUAN


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
T.A. 2021/2022
MATERI 1

ULUMUL QUR’AN DAN PERKEMBANGANNYA


Kata ulum Qur’an tersusun dari dua kata secara idhofi, yaitu terdiri dari mudhof
dan mudhof ilaih, kata ulum diidhofahkan pada al-Qur’an. Dari dua unsur kata
tersebut maka didapat makna ulum dan al-Qur’an dan menjadi kalimat ulumul-
Qur’an.[1]

1. Arti kata ulum


Kata ulum secara etimologi adalah merupakan jamak dari ilmu, kata ilmu
itu sendiri adalah mashdar yang mempunyai arti pengetahuan atau pemahaman.

2. Arti kata al-Qur’an


Secara etimologi kata al-Qur’an merupakan mashdar dari kata qaraa yang
maknanya sama dengan kata qiraah yang berarti bacaan, kemudian diberi makna
sebagai isim maful yaitu maqru yang artinya ‘yang dibaca’. Pemaknaan ini
sebagaimana diisyaratkan dari QS.
al-‘Alaq yang merupakan perintah kepada umat manusia untuk membaca (iqra),
penamaannya termasuk katagori ‘tasmiyah al-maful bil mashdar’ (penamaan isim
maful dengan mashdar). Penamaan ini merujuk pada QS al-Qiyamah (75) ayat 17-
18 :

Artinya : 17. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di


dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. 18. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.[2]
Dari segi terminologinya al-Qur’an di definisikan para pakar ushul fiqih,
fiqih dan bahasa Arab adalah sebagai : ‘Kalam Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW. Yang lapazhlafazhnya mengandung mukjijat,
membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan
yang ditulis pada mushaf, mulai dari surat al-Fatihah (1) sampai akhir surat
anNas (114)
Definisi al-Quran yang dikemukakan para ulama yang maknanya mampu
membedakan dengan definisi yang lain adalah : ‫القرآن هو كالم هللا المنزل على محمد‬
‫عليه السالم المتعبد بتالوته‬
Artinya : Quran adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada
Muhamad saw. Yang pembacanya merupakan suatu ibadah`.
Untuk mendapatkan penjelasan Arti Quran secara istilah (etimologi), maka
dikemukakan pengertian-pengertian sebagai berikut :[3]
a. Definisi `kalam` (ucapan) merupakan kelompok jenis yang meliputi segala kalam.
Dan dengan menghubungkannya dengan Allah ( kalamullah ) berarti tidak semua
masuk dalam kalam manusia, jin dan malaikat.
b. Batasan dengan kata-kata (almunazzal) `yang diturunkan` maka tidak termasuk
kalam Allah yang sudah khusus menjadi milik-Nya. Sebagaimana disebutkan
dalam Firman Allah :

Artinya : Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk kalimat-kalimat


Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan
tambahan sebanyak itu `.(al-Kahfi: 109).

c. Batasan dengan definisi hanya `kepada Muhammad saw` tidak termasuk yang
diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya seperti taurat, injil dan yang lain.
d. Sedangkan batasan (al-muta'abbad bi tilawatihi) `yang pembacanya merupakan
suatu ibadah` mengecualikan hadis ahad dan hadis-hadis qudsi .

3. Arti Ulumul Qur’an


Kata u`lum jamak dari kata i`lmu. i`lmu berarti al-fahmu wal idraak (faham
dan menguasai). Kemudian arti kata ini berubah menjadi permasalahan yang
beraneka ragam yang disusun secara ilmiah.
Ulumul Qur’an secara etimologi adalah ilmu-ilmu tentang al-Qur’an, ilmu
dengan pengertian pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan al-Quran,
adapun definisi al-Qur’an secara terminologi menurut Abu Syahbah, adalah :
‘Sebuah ilmu yang memiliki banyak objek pembahasan yang berhubungan
dengan al-Qur’an, mulai proses penurunan, urutan penulisan, penulisan,
kodifikasi, cara membaca, penafsiran, kemukjizatan, nasikh-mansukh,
muhkammutayabih, sampai pembahasan-pembahasan lain’.[4]
Jadi, yang dimaksud dengan u`lumul-Qu`ran ialah ilmu yang membahas
masalah-masalah yang berhubungan dengan Al-Quran dari segi asbaabu
nuzuul."sebab-sebab turunnya al-Qur`an", pengumpulan dan penertiban Qur`an,
pengetahuan tentang surah-surah Mekah dan Madinah, AnNasikh wal mansukh,
Al-Muhkam wal Mutasyaabih dan lain sebagainya yang berhubungan dengan
Qur`an.
Terkadang ilmu ini dinamakan juga ushuulu tafsir (dasar-dasar tafsir)
karena yang dibahas berkaitan dengan beberapa masalah yang harus diketahui
oleh seorang Mufassir sebagai sandaran dalam menafsirkan Qur`an.

Di antara sekian banyak cabang dari ulum al- Qur’an tersebut, menurut T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy (1990), ada 17 cabang di antaranya yang paling utama,
yaitu:
1. Ilm Mawatin al-Nuzul , yaitu ilmu yang menerangkan tempat-tempat
turunnya ayat.
2. Ilm Tawarikh al-Nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan dan
menjelaskan masa turunnya ayat dan tertib turunnya.
3. Ilm Asbab al-Nuzul, yaitu ilnu yang menerangkan sebab-sebab yang
melatar belakangi turunya ayat.
4. Ilm Qira’ah, yaitu yang menerangkan tentang macam-macam bacaan
AlQur’an, mana yang sahih dan mana yang tidak sahih.
5. Ilm al-Tajwid, yaitu ilmu tentang cara membaca Al-Qur’an, tempat
memulai dan pemberhentiannya, dan lain-lain.
6. Ilm Garib al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang makna kata-
kata (lafal) yang ganjil, yang tidak lazim digunakan dalam bahasa sehari-hari.
7. Ilm I’rab al-Qur’ani, yaitu ilmu yang membahas tentang kedudukan
suatu lafal dalam kalimat (ayat), begitu pula tentang harakatnya.
8. Ilm Wujud wa al-Nazarir, yaitu ilmu yang menjelaskan tentang lafal-
lafal dala Al-Qur’an yang meiliki banyak arti, dan menerangkan makna yang
dimaksud pada suatu tempat.
9. Ilm Ma’rifah al-Muhkam wa al-Mutasyabih, yaitu ilmu yang
membahas tentang ayat-ayat yang dipandang muhkam dan ayat-ayat yang
dianggap mutasyibah.
10. Ilm Nasikh wa al-Mansukh, yaitu imu yang menerangkan tentang ayat-
ayat yang dianggap mansukh oleh sebagian ulama.
11. Ilm Bada’ii al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang keindahan
susunan ayat-ayat Al-Qur’an, menerangkan aspek-aspek kesusasteraan Al-
Qur’an, serta ketinggi balagahnya.
12. Ilm I’jaz al-Qur’an, yaitu ilmu yang secara khusu membahas tentang
segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an.
13. Ilm Tanasub Ayat al-Quran, yaitu ilmu yang membahas tentang
kesesuaian suatu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
14. Ilm Aqsam al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang arti dan
tujuan sumpah Tuhan dalam Al-Qur’an.
15. Ilm Amsal al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang
perumpamaanperumpamaan yang terdapat dalam Al-Qur’an.
16. Ilm Jidal al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang bentuk-bentuk
debatan yang dikemukakan dalam Al-Qur’an, yang ditujukan kepada segenap
kaum musyrikin, dan lain-lain.
17. Ilm Adab Tilawah al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas segala aturan
yang harus dipakai dan dilaksanakan dalam membaca Al-Qur’an.
Sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, ulum al-Qur’an tidak lahir
sekaligus, melainkan melalui proses pertumbuhan dan perkembangan. Istilah
ulum al-Qur’an itu sendiri tidak dikenal pada masa awal pertumbuhan Isam.
Istilah ini baru muncul pada abad ke 3, tapi sebagaian ulama berpandangan bahwa
istilah ini lahir sebagai ilmu yang berdiri sendiri pada abad ke 5. Karena ulumul
Qur’an dalam arti, sejumlah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an, baru
muncul dalam karya Ali bin Ibrahim al-Hufiy (w.340), yang berjudul al-Burhan
fiy Ulum al-Quran (Al Zarqaniy: 35).
Pada masa Rasulullah saw, hingga masa kekhalifahan Abu Bakar (12 H–
13 H) dan Umar (12 H-23H) ilmu Al-Qur’an masih diriwayatkan secara lisan.†
Ketika zaman kekhalifaan Usman (23H-35H) dimana orang Arab mulai bergaul
dengan orang-orang non Arab, pada saat itu Usman memerintahkan supaya kaum
muslimin berpegangan pada mushaf induk, dan membakar mushaf lainnya yang
mengirimkan mushaf kepada beberapa daerah sebagai pegangan. Dengan
demikian, usaha yang dilakukan oleh Usman dalam mereproduksikan naskah Al-
Qur’an berarti beliau telah meletakkan dasar ilm rasm al-Qur’an (Subhiy Salih:
1977).
Selanjutnya, pada masa kekhalifaan Ali bin Abi Thalib, (35H-40H) beliau
telah memerintahkan Abu al-Aswad al-Duwali (w.69 H) untuk meletakkan
kaedahkaedah bahasa Arab. Usaha yang dilakukan oleh Ali tersebut, dipandang
sebagai peletakan dasar ilmu I’rab al-Qur’an.
Adapun tokoh-tokoh yang berjasa dalam menyebarkan ulum al- Qur’an
melalui periwayatan, adalah :
1. Khulafa al-Rasyidin, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin
Ka’ab, Abu Musa al-Asya’ariy, dan Abdullah bin Zubair. Mereka itu dari
golongan sahabat.
2. Mujahid, Ata, Tkrimah, Qatadah, Hasan Basri, Said bin Jubair, dan Zaid bin
Aslam. Mereka golongan tabi’in di Madinah.
3. Malik bin Anas, dari golongan tabi’I tabi’in, beliau memperoleh ilmunya dari
Zaid bin Aslam.
Mereka inilah yang dianggap orang-orang yang meletakkan apa yang
sekarng ini dikenal dengan ilmu tafsir, ilmu asbab al-Nuzul, ilmu nasikh dan
mansukh, ilmu garib al-Qur’an, dan lain-lain. (Al Zarqaniy : 30 – 31).
Pada masa selanjutnya, abad ke 3 H, muncullah Muhammad ibn Jarir
alTabariy (w.310 H) yang menyusun kitab tafsir yang bermutu karena banyak
memuat hadis-hadis sahih, ditulis dengan rumusan yang baik. Pada abad ke 4 H,
lahir beberapa kitab ulum al-Qur’an, seperti: Aja’ib ulum al-Qur’an karya Abu
Bakar Muhammad ibn al-Qasim al-Anbary (w.328 H), dalam kitab ini dibahas
tentang kelebihan dan kemuliaan Al-Qur’an, turunnya Al-Qur’andalam tujuh
huruf, penulisan mushaf, jumlah surah, ayat dan kata dalam Al-Qur’an. pada pada
abad ke 5 muncullah Ali bin Ibrahim ibn Sa’id al Hufiy (w.430 H) yang
menghimpun bagianbagian dari ulum al Qur’an dalam karyanya al-Burhan fiy
Ulum al-Qur’an. Dalam kitabnya ini, beliau membahas Al-Qur’anmenurut suruh
dalam mushaf.
Selanjutnya, pada abad ke-6, Ibn al-Jauziy (w.597 H) menyusun kitab
Funun al-Afinan fiy Ulum al-Qur’an, dan kitab al-Mujtaba fiy Ulum Tata’allaq bi
alQur’an. Selanjutnya disusul oleh Alamuddin al-Sakhawiy (w.641 H) pada abad
ke 7 H dengan kitabnya yang berjudul Jamal al-Qurra wa Kamal al-Iqara,
kemudian Abu Syamah (w.665 H) menyusun kitab al-Mursyid al-Wajid fiy Ma
Yata’allahq bi al-Qur’an al-Aziz. Pada abad ke 8 al-Zarkasyi (w.794 H) menyusun
kitab alBurhan fiy Ulum al-Qur’an. Lalu pada abad 9, Jalal al-Din al-Bulqniy
(w.824 H) menyusun kitab Mawaqi’ al-Ulum fiy Mawaqi al-Nujum. Pada masa
ini pula Jalal al-Din alSayoty (w.911 H) menyusun kitab al-Tahbir fiy Ulum al-
Tafsir dan kitab al-itqan fiy Ulum al-Qur’an.
MATERI 2

AL-QUR’AN DAN SEJARAH PENGUMPULAN DAN PENERTIBANNYA

Al-quran menurut bahasa ialah himpunan, bagian dari kalam Allah


(perkataan allah/firman allah). Sebenarnya sebelum diturunkan ke muka bumi,
AlQuran adalah kitab yang sudah jadi dan eksis sebelumnya. Para ulama
menjelaskan bahwa paling tidak Al-Quran mengalami dua kali masa turun.
Pertama, turun dari Lauh al-Mahfudz ke langit dunia. Ini terjadi pada Lailatul
Qadar, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al-Qadar: 1-5. Dalam proses
turun yang pertama ini, Al-Quran turun sekaligus, tidak sepotong-sepotong.
Kedua, turun dari langit dunia kepada Rasulullah SAW dengan berangsur-angsur.
Selama masa 23 tahun lebih beliau SAW secara rutin menerima turunnya ayat Al-
Quran.
Berbeda dengan proses pertama yang turun sekaligus, pada kali yang
kedua ini, Al-Quran diturunkan secara acak dan sepotong-sepotong. Tidak urut
dari AlFatihah, Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa' dan seterusnya hingga An-Naas,
tetapi diturunkan berdasarkan kebutuhan. Hanya yang perlu dicatat, pada setiap
potongan ayat turun, Rasulullah SAW selalu memberikan penjelasan bahwa posisi
ayat itu di dalam Al-Quran adalah para surat tertentu, bahkan sampai keterangan
urutannya pada sebelum ayat apa dan sesudah ayat apa.
Ayat-ayat yang turun ke bumi disusun sesuai dengan Al-Quran yang asli
di Lauhil Mahfuz dan di langit pertama. Jibril menurunkannya satu per satu sesuai
dengan perintah Allah, namun sambil membawa juga kode-kode alamat tiap ayat
itu. Sehingga ketika dikumpulkan, otomatis dengan mudah bisa tersusun lagi
seperti versi yang masih ada di langit.
Yang dimaksud dengan pengumpulan Al-Quran menurut pendapat Ulama,
ada dua pengertian . Arti Pertama, mengumpulkan dengan arti menghafal.
Pengertian in yang terdapat pada firman Tuhan dalam Al-Quran dalam khitabnya
kepada Nabi. Dialah yang menggerakkan bibir dan lidah Nabi SAW untuk
membaca Al-Quran apabila ada ayat yang diturunkan kepada nabi belum lagi
selesai Jibril membacakan wahyu, maka nabi sudah ingin sekali hendak
menghafalnya.
Kata Ibnu Abbas di waktu Rasulullah menerima wahyu, dia
menggerakgerakkan lidah dan bibirnya karena takut akan lupa. Maksud
menggerakkan bibir ialah menghafalnya. Maka turunlah QS Qiyamah ayat 16-19
tersebut. Pada lafadz lain dikatakan bahwa Kami akan membacakan padanya
apabila Al-quran itu dibacakan oleh Jibril kepada nabi, maka nabi berdiam diri
tidak berbicara.
Arti Kedua, mengumpulkan Al-quran berarti menuliskannya Al-quran itu
secara keseluruhannya.
A. Pengumpulan Al-Qur’an
Pengertian pengumpulan Al-Qur’an menurut para ‘ulama terbagi
menjadi 2 macam yaitu: Pertama, pengumpulan dalam arti hifzhuhu
(menghafalnya dalam hati). Kedua, pengumpulan dalam arti Kitabatuhu
kulluhu (penulisan qur’an semuanya) baik dengan memisahkan ayat-ayat dan
surat-suratnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surat ditulis
dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan
suratsuratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul, yang menghimpun
semua surat sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.
Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf,
telah melalui proses panjang. Mulai dari Ayat yang pertama turun sampai ayat
yang terakhir turun, benar-benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk menjaga
dan memelihara ayat-ayat agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan
terusmenerus dilakukan. Upaya-upaya tersebut dengan cara yang sederhana
yaitu Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para
sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan
Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan Al-
Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan Nabi
Pada mulanya, bagian-bagian al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad dipelihara dalam ingatan Nabi dan para sahabatnya. Tradisi
hafalan yang kuat di kalangan masyarakat Arab telah memungkinkan
terpeliharanya alQuran dalam cara semacam itu. Jadi, setelah menerima suatu
wahyu, Nabi Lalu menyampaikannya kepada para pengikutnya, yang
kemudian menghafalkannya. Sejumlah hadits menjelaskan berbagai upaya
Nabi dalam merangsang penghafalan wahyu-wahyu yang telah diterimanya.
Salah satu di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Utsman ibn Affan
bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Yang terbaik di antara kamu adalah
mereka yang mempelajari al-Quran dan kemudian mengajarkannya.”
Semasa hidup Nabi Muhammad dikenal beberapa orang yang dijuluki
sebagai Qari’ yaitu seorang yang menghafal al-Qur’an, adapun para Qari’ pada
masa Nabi Muhammad adalah sebagai berikut : Keempat Khulafa’ur
Rasyidin, Tholhah, Said, Ibn Mas’ud, Hudaifa, Abu Hurairah, Ibn ‘Umar, Ibn
Abbas, ‘Amr bin ‘Ash, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Mu’awiyah bin Abu
Sufyan, Ibn Jabir, Abdullah bin Sa’ib, ‘Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah.
Sedangkan untuk penulisan wahyu yang turun, dikenal beberapa
sahabat yang bertugas untuk menuliskan wahyu yang turun atas perintah
Rasulullah sendiri. Para penulis wahyu tersebut kemudian mendapat julukan
sebagai Kutabul Wahyu. Adapun para penulis wahyu pada masa nabi
muhammad yaitu Khulafaur Rasyidin, Muawiyah, Zaid bin Sabit, ‘Ubai bin
Ka’ab, Khalid bin AlWalid dan Tsabit bin Qays.
Al-Qur’an tidak turun sekaligus, melainkan dengan jalan sedikit demi
sedikit (Munajaman) selama rentang duapuluh tahun atau lebih. Urutan ayat
turun kepada Nabi berdasarkan Asbabun Nuzul, sedangkan urutan ayat dalam
al-Qur’an tidak disusun berdasakan hal tersebut.
1. Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar
Ketika Rasulullah telah Wafat, al-Qur’an memang telah terkumpul
di dada para sahabat berupa hafalan serta telah dituliskan dalam
lembaranlembaran. Namun al-Qur’an yang ditulis para sahabat tersebut
masih berupa lembaran-lembaran yang tercecer ditangan para sahabat atau
dengan kata lain al-Qur’an pada saat itu masih belum sepenuhnya
terbukukan. Sehingga ketia terjadi perang Yamamah yang terjadi setahun
setelah wafatnya Nabi yang menewaskan 70 Qari’ menimbulkan
kegelisahan dihati ‘Umar bin Khattab hingga kemudian mendesak Abu
Bakar untuk segera membukukan al-Qur’an mengingat para Qari’ telah
banyak yang meninggal sedangkan alQur’an yang tertulis masih berupa
lembaran-lembaran yang tercecer.
Atas desakan ‘Umar tersebut kemudian Abu Bakar berkenan untuk
memerintahkan pengumpulan tersebut walaupun pada awalnya beliau
menolaknya dengan alasan bahwa hal tersebut bukanlah perbuatan yang
dilakukan oleh Nabi, namun ‘Umar meyakinkannya dengan alasan bahwa
pembukuan tersebut adalah hal yang baik dan sangat penting. Setelah Abu
Bakar merasa yakin dengan keputusannya tersebut, maka diutuslah Zaid
bin Tsabit untuk mulai mengumpulkan al-Qur’an.

Pemilihan Zaid sebagai orang yang ditugasi untuk mengumpulkan


al-Qur’an menurut beberapa Ahli Ilmu Qur’an didasarkan oleh beberapa
alasan diantaranya adalah Zaid adalah seorang yang cerdas, masih muda,
dan tidak memiliki sifat tercela, selain itu peranannya sebagai penulis
wahyu dimasa Rasulullah menjadi alasan yang mendsari pemilihannya.
Dalam mengumpulkan al-Qur’an Zaid menggunakan metode yang
sangat teliti berdasarkan arahan yang diberikan oleh abu Bakar dan ‘Umar.
Selama pengumpulan tersebut, Zaid tidak serta-merta mengandalkan
hafalan yang dimilikinya, tidak juga dengan apa yang telah ditulisnya
maupun yang telah didengarkannya. Dalam pengumpulan tersebut, zaid
menggunakan dua rujukan utama, yaitu :
a. Berdasarkan ayat yang telah ditulis dihadapan Rasulullah dan telah
disaksikan langsung oleh beliau.
b. Ayat yang dihafal dan ditulis dalam lembaran dengan menyertakan dua
saksi yang adil yang menyaksikan bahwa ayat tersebut telah benar-
benar ditulis dihadapan Rasulullah.

2. Pengumpulan al-Qur’an Pada Masa ‘Ustsman bin ‘Affan


Pengumpulan al-Qur’an pada masa ‘Utsman bin ‘Affan punya
motif berbeda dengan pengumpulan al-Qur’an dimasa Abu Bakar, Jika
motif Abû Bakar mengumpulkan al-Qur’an karena khawatir akan
hilangnya materi yang tertulis tadi sebagai akibat dari banyaknya para
penghafal dan pembaca yang telah meninggal dunia, maka motif ‘Utsmân
adalah karena takut akan terjadinya perbedaan yang meruncing mengenai
ragam bacaan.
Pada masa ‘Utsman ini Islam telah tersebar luas dan kaum
Muslimin telah hidup berpencar ke berbagai pelosok. Di berbagai daerah
telah terkenal Qira’at sahabat yang mengajarkan al-Qur’an kepada
penduduk setempat. Penduduk Syam memakai Qira’at Ubay bin Kaab,
penduduk Kuffah memakai Qira’at Abullah bin Mas’ud, penduduk di
wilayah lainnya menggunakan Qira’at Abu Musa al-Asy’ary. Tidak jarang
terjadi pertentangan mengenai masalah bacaan dikalangan pengikut
sahabatsahabat tersebut, hingga kemudian pertentangan tersebut
memuncak menjadi perpecahan dikalangan Muslimin sendiri.

Kondisi semacam ini kemudian didengar oleh Hudaifah bin


Yaman. Ketika Hudaifah mengetaui hal tersebut, maka dengan sesegera
mungkin beliau melaporkannya kepada Khalifah ‘Utsman agas segera
ditindak lanjuti. Setelah mendapatkan laporan tersebut, ‘Utsman segerah
mengirim surat kepada Hafshah yang berisikan perintah untuk
memberikan al-Qur’an yang telah dibukukan Zaid sebelumnya untuk
kemudian diperbanyak dan disebarluaskan ke seluruh penjuru. Untuk
membukukan al-Qur’an tersebut, ‘Ustman mengutus empat orang sahabat
untuk membukukan al-Qur’an, dari keempat orang tersebut tiga
diantaranya adalah muhajirin dan satu orang lainnya adalah kaum anshar,
empat orang tersebut adalah : Zaid bin Tsabit, ‘Abdullâh bin Zubayr, Sa’id
bin al-‘Ash, ‘Abdurrahmân bin al-Harits bin Hisyam.

Dalam melakukan pembukuan tersebut, keempat orang tersebut


berpegang pada arahan dari ‘Utsman, yaitu :

a. Menjadikan Mushaf Abu Bakar yang telah dibukukan oleh Zaid bin
Tsabit sebagai acuan pokok dan dumber utama dalam penulisan
alQur’an.

b. Mengacu pada Mushaf Abu Bakar tersebu dalam hal penulisan dan
urutannya, dan apabila terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
anggota panitia, maka mengacu berdasarkan dialek Quraisy karena
alQur’an diturunkan dengan dialek Quraisy.
c. Dan al-Qur’an tidak ditulis kecuali berdasarkan persetujuan antara para
panitia, dan para sahabat bersepakat bahwa al-Qur’an yang telah
dibukukan tersebut sebagai al-Qur’an sebagaimana yang diturunkan
kepada Rasulullah.

B. Tertib Ayat Dan Surat Dalam Al-Qur’an


Umumnya para Ulama’ sependapat bahwa tertib ayat dalam al-Qur’an
sebagaimana yang kita kenal saat ini menganut pedoman ‘Utsman dan
penetapan tersebut bersifat Tauqifi atau ketetapan dari Nabi, riwayat yang
masyhur dikalangan para Ulama’ menyebutkan bahwa Nabi Muhammad
ketika turun sebuah ayat akan memerintahkan para sahabat untuk menulis.
Ketika memerintahkan untuk menulis tersebut Nabi berkata : “ Telah datang
Jibril kepadaku, dan dia memerintahkanku untuk meletakan ayat kedalam
tempat ini dalam surat ini”.
Berdasarkan kisah tersebut maka dapat diketahui bahwa ketetapan
posisi ayat dalam al-Qur’an bukan hanya dari Nabi sendiri, bahkan sebenarnya
ketetapan tersebut berdasarkan perintah Allah yang disampaikan lewat
perantara Jibril.
Jika susunan Ayat dalam al-Qur’an yang bersifat Tauqifi dan itu telah
disepakati oleh jumhur ‘Ulama, maka hal berbada dialami oleh susunan Surat
dalam al-Qur’an. Ketika membahas susunan suat dalam al-Qur’an para
‘Ulama berbeda pendapat.
Sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh as-Suyuthi bahwa para
‘Ulama terpagi menjadi dua golongan dalam menentukan tertib Surat dalam
alQur’an. Pendapat yang Pertama menyatakan bahwa tertib surat dalam
alQur’an sebagian bersifat Tauqifi sama seperti tertib Ayat yang bersifat
Tauqifi, dan sebagian yang lainnya berdasarkan ijtihad sahabat. Pendapat ini
didukung oleh salah satunya Ibn Faris yang berargumen bahwa sebagian
memang bersifat Tauqifi sebagai mana perintah Allah kepada Nabi
Muhammad, namun sebagian lainnya berdasarkan bacaan para sahabat.
Argumen semacam itu didasari oleh kenyataan bahwa Mushaf para sahabat
memiliki Urutan Surat yang berbedabeda seperti Mushaf Ali yang disusun
berdasarkan kronologi turunnya ayat.
Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa susunan surat dalam
alQur’an bersifat Tauqifi sepenuhnya. Pendapat ini didukung oleh beberapa
tokoh salah satunya al-Kirmani yang menyatakan bahwa urutan surat dan ayat
sudah seperti itu sejak dari Lauhil Mahfudz. Argumen tersebut didasari oleh
riwayat yang mengisahkan bahwa setiap setahun sekali Jibril mendatangi
Rasulullah untuk memeriksa hafalannya, dan pada tahun wafatnya Rasulullah,
Jibril mendangi beliau setahun dua kali. Sedangkan mengenai perbedaan
mushaf dikalangan para sahabat, berkomentar bahwa perbedaan tersebut
terjadi karena beberapa sahabat menyusun al-Qur’an berdasarkan apa yang
diketahui berdasarkan Asbabun Nuzul (seperti kasus Mushaf yang ditulis oleh
Ali misalnya).

MATERI 3
AL-QUR’AN SEBAGAI WAHYU DAN MUKJIZAT A. Pengertian Wahyu
Wahyu terambil dari asal kata waha-yuhi-wahyan (‫ )وحىا ىحىى وحى‬yang
secara harfiah berarti suara, api, kecepatan, bisikan, rahasia, isyarat, tulisan
dan kitab. Alquran sendiri yang tersebut didalamnya wahyu sebanyak 77 kali
kebanyakan dalam bentuk kata kerja (fi’il) menggunakan kata wahyu untuk
beberapa pengertian.
Arti kata wahyu sebagaimana dikatakan wahailatu ilaihi dan auhaitu,
bila kita berbicara kepadanya agar tidak dketahui orang lain. Wahyu
merupakan isyyarat yang cepat. Itu terjadi melalui pembicaraan yang berupa
rumus dan lambang, dan terkadang melalui suara semata, da terkadang melalui
isyarat anggota badan.
Sementara itu, menurut pandangan lai yang mendefinisikan wahyu dari
segi bahasa ( etimologi ) maupun secara istilah (terminologi ) merupakan
sebagai berikut : Bahwa wahyu secara semantik diartikan sebagai isyarat yang
cepat (termasuk bisikan dalam hati dan ilham ), surat, tulisan, dan segala
sesuatu yang disampaikan kepada orag lain untuk diketahui. Sedangkan
menurut istilah adalah merupakan pengetahuan seseorang di dalam dirinya
serta diyakini bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, baik dari perantaraan
atau tanpa suara maupun tanpa perantaraan.
B. Pengertian Mukjizat
Secara bahasa, mu’jizat juga berasal dari kata a’jaza yu’jizui’jazan,
yang artinya melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Sedangkan secara
istilah, mu,jizat dapat didefinisikan oleh beberapa ulama yaitu:
1. Manna al-Qathan, dalam tulisan Rosihan sebagai “suatu kejadian yang
keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan dan tidak akan
dapat ditandingi dari definisi ini, mukjizat mengandung arti menantang
dan mengalahkan orang-orang yang meragukan dan mengingkari sabda
Tuhan. Tantangan ini tidak bisa ditandingi oleh siapapun, karena Allah
berkehendak untuk memenangkan semua “pertempuran” sementara
orangorang ragu dan para pengingkar tersebut tidak mampu melawan
Tuhan.
2. Ali al-Shabuny, mendefinisikan mukjizat sebagai “ bukti yang datangnya
dari Allah Swt. Yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya untuk
memperkuat kebenaran misi kerasulan dan kenabiannya” Definisi ini
menegaskan bahwa fungsi mukjizat memperkuat posisi nabi dan rasul,
sehingga tidak seorang pun mampu menghancurkan posisi tersebut.
C. Al-Qur’an sebagai Wahyu
Al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT merupakan rujukan utama dari
segala rujukan, dan dasar dari sains dan ilmu pengetahuan. Al-qur’an
merupakan sumber inspirasi yang menjadi buku induk ilmu pengetahuan,
dimana tidak ada satu perkara apapun yang terlewatkan, semuanya telah diatur
didlamnyabai yang berhubungan dengan eagamaan, baik sesame manusia,
alam, lingkungan, ilmu akidah, ilmu social, ilmu alam, empiris, agama, umum
dan sebagainya.
Dalam Al-Qur’an, ilmu sudah disampaikan sejak wahyu pertama
diturunkan oleh AllahSWT melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad
SAW. Wahyu tersebut merupakan wahyu pertama yang diterima Nabi pada
saat berusia 40 tahun di Gua Hiro. Wahyu tersebutadalah surat AlAlaq. Bagian
pertama surat Al-Alaq ini mengarahkan Nabi Muhammad SAW kepada Allah
SWT agar beliau berkomunikasi dengan Allah dan beliau dengan nama Allah
membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang diterima melalui malaikat Jibril. Sebab
dari Allah-lah asal mula segala makhluk dan kepadanya pulalah semua akan
kembali.
Wahyu pertama ini mengingat kan bahwa Allah telah memuliakan
martabat manusia melalui membaca. Artinya dengan proses belajar mengajar
itu manusia dapat menguasai ilmu pengetahuan dan denganilmu-ilmu
pengetahuan ini manusia dapat mengetahui rahasia alam semesta yang sangat
bermanfaat bagi kesejahteraan hidupnya. Surat Al-Alaq ayat 1 sampai 5
menjelaskan bahwa untuk memahami segala macam ilmu pengetahuan,

seseoang harus pandai dalam membaca.


Dalam membaca tersebut harus didahului dengan menyebut nama
tuhan atau yakni dengan melapaskan “Basmalah” terlebih dahulu dan ingat
akan kekuasaan yang dimiliki-Nya, sehingga ilmu yang diperoleh dari
membaca itu, akan menambah dekatnya hubungan manusia dengan khaliq-
nya.
D. Al-Qur’an sebagai Mukjizat
Al-Quran sebagai mukjizat ini berkenaan dengan kehebatan al-Quran
dalam menantang dan mengalahkan berbagai upaya orang-orang yang mencari
atau mencari-cari kekurangan atau kelemahan al-Quran. Tantangan al-Quran
dan kemampuan mengalahkan “musuh-musuhnya” itu ini dinamakan mukjizat
al-Quran.
Mukjizat al-Quran adalah studi tentang bagaimana al-Quran mampu
melindungi dirinya dari beragam “serangan”, baik yang berbentuk
ketidakpercayaan, maupun keragu-raguan sampai pengingkaran terhadapnya.
Pada saat yang sama , al-Quran juga mampu melakukan counter attack yang
mampu mementahkan dan mengalahkan serangan-serangan tersebut.
Syeikh Muhammad Ali al-Shabuniy dalam tulisan Usman
menyebutkan segi-segi kemukjizatan al-Quran, yaitu:
1. Keindahan sastranya yang sama sekali berbeda dengan keindahan sastra
yang dimiliki oleh orang-orang Arab.
2. Gaya bahasanya yang unik yang sama sekali berbeda dengan semua gaya
bahasa yang dimiliki oleh bangsa Arab.
3. Kefasihan bahasanya yang tidak mungkin dapat ditandingi dan dilakukan
oleh semua makhluk termasuk jenis manusia.
4. Kesempurnaan syariat yang dibawanya yang mengungguli semua syariat
dan aturan-aturan lainnya.
5. Menampilkan berita-berita yang bersifat eskatologis yang tidak mungkin
dapat dijangkau oleh otak manusia kecuali melalui pemberitaan wahyu
alQuran itu sendiri.
6. Tidak adanya pertentangan antara konsep-konsep yang dibawakannya
dengan kenyataan kebenaran hasil penemuan dan penyelidikan ilmu
pengetahuan.
7. Terpenuhinya setiap janji dan ancaman yang diberitakan al-Quran. 8.
8. Ilmu pengetahuan yang dibawanya mencakup ilmu pengetahuan syariat
dan ilmu pengetahaun alam (tentang jagat raya).
9. Dapat memenuhi kebutuhan manusia.
10. Dapat memberikan pengaruh yang mendalam dan besar pada hati para
pengikut dan musuh-musuhnya.
11. Susunan kalimat dan gaya bahasanya terpelihara dari paradoksi dan
kerancuan.

MATERI 4

NUZULUL QUR’AN
A. Pengertain Nuzul Qur’an
B. 1. Pengertian Al-Qur‟an Kata Qur‟an
C. menurut bahasa adalah bentuk masdar dari qara‟a ‫( قرأ‬yang berarti bacaan.)
Selanjutnya
D. kata ini berarti kitab suci yang diturunkan Allah Swt kepada RasulNya
Muhammad Saw yang ditulis dalam Mushaf, berdasarkan firman Allah dalam
Q.S. al-Qiyama Artinya:“Apabila Kami telah selesai membacanya, maka
ikutilah bacaannya”. Ulama berbeda pendapat tentang kata al-
E. Qur‟an dari segi isytiqaqnya sebagai berikut : a) Qur‟an adalah bentuk masdar
dari qara‟a, dengan demikian, kata Qur‟an berarti “bacaan”. Kemudian kata
ini selanjutnya berarti kitab suci yang diturunkan Allah.
F. Imam Syafi‟i berpendapat bahwa kata al-Qur‟an yang digunakan di dalam
bentuk ma‟rifah (menggunakan alif dan lam), bukanlah berasal dari qara‟a,
melainkan merupakan nama dari suatu kitab suci yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw. Kata itu tidak berasal dari qara‟a dan sekiranya berasal
dari qara‟a, maka setiap yang kita baca adalah al-Qur‟an. 8 Menurut Abu
Syuhbah, dari ketiga pendapat di atas, yang paling tepat adalah pendapat yang
pertama,9 yakni bahwa al-Qur‟an dari isytiqaqnya, adalah bentuk masdar dari
kata qara‟a. Sedangkan al-Qur‟an menurut istilah, antara lain adalah “firman
Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang memiliki
kemukjizatan lafal, membacanya bernilai ibadah, diriwayatkan secara
mutawatir, yang tertulis dalam mushaf, dimulai dengan surat al Fatihah dan
diakhiri dengan surah al-Nas”
G. Dari definisi al-Qur‟an yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa al-
Qur‟an itu adalah merupakan salah satu mukjizat di antara mukjizat-mukjizat
yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw dan sebagai mukjizat terbesar
yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw, karena mukjizat-mukjizatnya
semua sudah tidak kelihatan lagi fisiknya, kecuali kisah dan riwayatnya saja,
tetapi al-Qur‟an sebagai kitab suci yang menjadi pedoman utama umat Islam
itu tetap ada dilihat, dibaca, dihafal dan dijadikan pedoman dalam hidup dan
kehidupan, yang mendatangkan kebahagiaan dunia dan akhirat, sebagai wahyu
Allah Swt yang akan selalu terjaga keasliannya hingga akhir zaman tidak akan
berubah sedikitpun walaupun banyak usaha dari musuh-musuh al-Qur‟an
untuk mengubahnya .
H. ~ Nuzulul Qur’an ~

I. A. sejarah nuzulul qur’an

J. Peristiwa Nuzulul Quran menjadi proses turunnya ayat Al-Quran dalam


menyempurnakan ajaran Islam sebagai petunjuk kepada umat manusia.
Sebagaimana yang sudah diketahui, dalam surat Al-Alaq ayat 1-5 adalah surat
yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah SAW saat berada di Gua
Hiro pada tahun 610 M. Ada 2 tahapan proses diturunkannya Al-Quran.
Proses pertama, Al-Quran diturunkan dari Lauh Mahfuz ke langit dunia dalam
kitab yang utuh. Disebutkan, pada pada tahap ini Al-Quran diturunkan pada
malam lailatul qadar. Dari Ibnu Abbas berkata,“Alquran itu diturunkan pada
Lalilatul Qadar secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi berdasarkan
masa turunnya sebagian demi sebagian secara berangsur pada beberapa
bulan dan hari.”
K. Proses kedua, Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur melalui Malaikat
Jibril kepada Rasulullah SAW. Peristiwa turunnya Al-Quran ke bumi yang
terjadi secara berangsur-angsur ini pun diperingati pada malam 17 Ramadhan
yang ditandai dengan wahyu pertama Surat Al-Alaq ayat 1-5.“Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan
mansuia dari segumpal darah. Bacalah, da Tuhanmulah Yang Mahamulia.
Yang mengajar
L. (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya.” (QS. AL-Alaq
M. : 1-5).Pada wahyu pertama turun, Rasulullah SAW masihlah tidak bisa
membaca. Sehingga, ketika Malaikat Jibril mengucapkan firman Allah ini
menyerukan Nabi Muhammad Saw untuk membacanya. Rasulullah SAW pun
tidak bisa mengikutinya.
N. Peristiwa ini pun membuat Rasulullah pulang dalam keadaan gelisah. Bahkan,
membuat badannya menjadi menggigil hingga demam. Hingga Rasulullah
meminta Khadijah untuk menyelimuti dan menemani Rasulullah hingga beliau
tenang.Waktu yang dibutuhkan diturunkannya Al-Quran dari Malaikat Jibril
kepada Rasulullah Saw kurang lebih 23 tahun di mana turunnya ayat per ayat
ini menyesuaikan problematika sosial, krisis moral, keagamaan, kisah-kisah
para Nabi terdahulu hingga hikmah. Ayat terakhir yang diturunkakn Malaikat
Jibril kepada Rasulullah ada pada surat Al-Maidah ayat 3. Disebutkan, ayat ini
turun sesudah waktu ashar pada hari Jumat di Padang Arafah saat musim haji
terakhir (wada).
O. Ketika ayat ini turun, Rasulullah berada di atas untanya sehingga agak
kesulitas menangkap isi dan makna terkandung di dalam ayat 3 surat Al-
Maidah. Sehingga, Rasulullah pun memutuskan untuk turun dari untanya dan
bersandar pada binatang tersebut. dan Malaikat Jibril pun membacakan firman
Allah Swt,“...Pada hari ini telah aku sempurnakan agamamu untukmu, dan
telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai
agamamu...” (QS. AlMaidah: 3). Setelah ayat ini turun pun Rasulullah pergi
dari Makkah ke Madinah untuk mengumpulkan para sahabat. Rasulullah SAW
pun mengabarkan kabar bahagia ini. Ketika para sahabat semua
mendengarnya, mereka pun bergembira seraya berkata, “Agama kita telah
sempurna. Agama kita telah sempurna.”

Lafadz ‘Nuzul’ secara bahasa berarti “menetap di suatu tempat” atau


“turun dari tempat yang tinggi”. Kata kerjanya adalah nazala yang artinya “dia
telah turun” atau “dia menjadi tetamu”. Pengertian Nuzulul Qur’an secara istilah
adalah “Peristiwa diturunkannya wahyu Allah Swt (al-Qur’an) kepada Nabi
Muhammad
Saw melalui perantara Malaikat Jibril As secara bertahap”. Secara etimologi
(bahasa) Al-Qur’an berarti bacaan karena makna tersebut diambil dari kata
qaraah, yaitu bentuk masdar dari kata qara. Sedangkan secara terminology Al-
Qur’an sudah banyak diberikan pengertian oleh mufassir.
Ali Ash-Shobuni menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang
mu’jiz, diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril yang
tertulis dalam mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, menjadi ibadah bagi yang
membacanya, diawali dari surah Al-Fatihah dan di akhiri dengan surah An-Nas.
Nuzulul Qur’an yang secara harfiah berarti turunnya Al Qur’an adalah
istilah yang merujuk kepada peristiwa penting penurunan wahyu Allah pertama
kepada nabi dan rasul terakhir agama Islam yakni Nabi Muhammad Saw.
Peristiwa Nuzul al-Qur’an terjadi pada malam Jum’at, 17 Ramadhan, di
Gua Hira tahun ke-41 dari kelahiran Nabi Muhammad Saw. Peristiwa tersebut
dikisahkan dalam sebuah firman Allah :

.....‫ان‬vv‫دى والفرق‬vv‫ات الھ‬vv‫اس وبین‬vv‫شھر رمضان الذي انزل فیھ القران ھدى للن‬
‫ االیة‬Artinya: “Ramadhan yang padanya diturunkan al-Qur’an, menjadi petunjuk
bagi sekalian manusia, dan menjadi keterangan yang menjelaskan petunjuk
dan menjelaskan perbedaan antara yang benar dan yang salah”
(Surah al-Baqarah, ayat 185)
B. Wahyu Pertama dan Terakhir Nabi
1. Wahtu Pertama
a. Jumhur (Pendapat yang paling rajih atau sahih) setuju yaitu yang
pertama diturunkan ialah lima ayat pertama surah al-‘Alaq
berdasarkan riwayat ‘Aisyah yang dicatat oleh Imam Bukhari, Muslim
dan al-Hakim dalam kitab-kitab hadis mereka.
b. Pendapat lain mengatakan Surah al-Muddatstsir yang pertama kali
diturunkan berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin
‘Abdullah seorang sahabat. Daripada Abu Salamah bin Abdul
Rahman, dia berkata: “Aku telah bertanya kepada Jabir bin ‘Abdullah:
Yang manakah di antara al-Qur ,an mula-mula diturunkan? Jabir

menjawab,” ُّ‫یُّ ھَا ْال ُم َّد ثِر‬


َ ‫“ یَا أ‬. Aku berkata, “Atau iqra bismirabbikal ladzi
Khalak“. Dia Jabir berkata,”Aku katakan kepada-mu apa yang
dikatakan Rasulullah SAW kepada kami: “Sesungguhnya aku berdiam
diri di gua Hira’. Maka ketika habis masa diam-ku, aku turun lalu aku
susuri lembah. Aku lihat ke depan, ke belakang, ke kanan dan ke kiri.
Lalu aku lihat ke langit, tiba-tiba aku melihat Jibril yang amat
menakutkan. Maka aku pulang ke Khadijah. Khadijah memerintahkan
mereka untuk menyelimuti aku. Mereka pun menyelimuti aku.
2. Wahyu Terakhir
Berbagai pendapat mengenai yang terakhir diturunkan tetapi semua
pendapat ini tidak mengandung sesuatu yang dapat disandarkan kepada
Rasulullah SAW., malah masing-masing merupakan ijtihad atau dugaan.
alQadhi Abu Bakar mengatakan mungkin mereka memberitahu apa yang
terakhir kali didengar oleh mereka kepada Rasulullah SAW ketika beliau
hampir wafat. Antara pendapat tersebut ialah:
a. Amir al-Sha’bi meriwayatkan bahawa ‘Abdullah bin ‘Abbas pernah
berkata: “Ayat terakhir diturunkan kepada Rasulullah SAW adalah ayat
mengenai riba.” Firman Allah,

‫ ن‬v‫ َما بقَِ َي ِمنَ الرِّباَِإ ْن ُك ْنت ُْم ُمْؤ ِمنِی‬v‫ات ق ُواَّ َ َوذ َُروا‬ َُّ ‫یا َ أ‬
َّ ‫ی ھَا ا َّل ِذینَ آ َمن ُوا‬
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan
tinggalkanlah sisa riba - yang belum dipungut -.” (Al-
Baqarah:278).

b. Said bin Jubayr mengatakan orang-orang Kufah berselisih tentang ayat,

‫ب َّ ُ َع ْلَ ْی ِھ‬ ِ ‫لھَُ عَذاَبًا َع ِظی ًما َو َم ْن ی ْقَتلُْ ُمْؤ ِمنا ً ُمت َع َِّمداً ف َجَزَ اُؤ هُ َجھَ َّن ُم خَالِداً فِیھَا َوغ‬
َ ‫َض‬
َّ ‫َول َعنَھَُ َوأ َعد‬
“Dan sesiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya ialah Neraka Jahanam, kekal dia di dalamnya dan Allah
murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan baginya azab siksa
yang besar.” (An-nisa’:93). Saya menemui Ibn ‘Abbas dan
mempertanyakan ayat ini dan beliau berkata: “Ayat ini adalah ayat
terakhir diturunkan dan selepas itu tidak ada ayat yang menasakhkan ayat
ini.”
c. Pendapat ‘Aisyah. Jubayr bin Nufayl berkata, “Aku pergi menemui
‘Aisyah, yang bertanya kepadaku: Adakah kamu membaca Surah al-
Ma’idah? Aku katakan Ya. Dia berkata: Inilah Surah terakhir yang
diturunkan……”
d. Pendapat ‘Umar bin-Khattab. Abu Sa’id al- Khudry meriwayatkan
kepada ‘Umar bin-Khatab yang memberitahu ayat terakhir diturunkan
ialah pengharaman riba’ (al-Baqarah:275) dan Rasulullah SAW. wafat
beberapa hari selepas itu dan perkara riba’ tersebut tidak tertinggal tanpa
penjelasan.
C. Proses Penurunan Qur’an
Allah menurunkan al-Qur’an kepada manusia melalui 3 kali tahap
penurunan
1. Di lauhil mahfudz
2. Dari lauhil mahfudz ke baitul ‘izzah (langit bumi)
3. Dari baitul ‘izzah ke Rasulallah.

MATERI 5
ASBABUN NUZUL AL-QUR’AN

A. Pengertian Asbabun Nuzul


Terkait definisi, kalimat asbabun nuzul terdiri dari dua kata, yaitu
asbabun dan nuzul. Asbabun (‫ )اسباب‬berasal dari bahasa Arab yang merupakan
bentuk jamak dari kata ‘sababun ‘yang berarti sebab-sebab atau alasan,
sedangkan nuzul (‫ )النزول‬berarti turun. Jadi secara bahasa, asbabun nuzul adalah
sebab-sebab (alasan) turunnya ayat Al-Qur’an. Menurut istilah, asbabun nuzul
adalah ilmu Al-Qur’an yang mempelajari dan membahas tentang latar

belakang atau sebab-sebab suatu atau beberapa ayat al-Qur'an diturunkan.

Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya


sesuatudapat disebut asbab an-nuzul, dalam pemakaiannya, ungkapan asbab
annuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang
melatarbelakangi turunnya Alquran, seperti halnya asbab alwurud secara
khusus digunakan bagi sebab terjadinya hadist.
Banyak pengertiannya terminologi yang di rumuskan oleh para ulama,
di antaranya:
1. Asbab an-nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan
dengan turunnya ayat al-qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum
pada saat peristiwa itu terjadi”.
2. Asbab an-nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan
turunnya satu ayat atau beberapa ayat mulai yang berhubungan dengan
peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan
kepada nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama”.
3. Asbab an-nuzul adalah suatu yang menjadi sebab turunnya satu atau
beberapa ayat al-qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa,
sebagai respon atasnya atau penjelas terhadap hukum-hukum ketika
peristiwa itu terjadi”.
4. Asbab an-nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya
alqur’an, berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa
kejadian atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.
B. Urgensi dan Kegunaan Asbabun Nuzul
Asbab an-nuzul mempunyai arti penting dalan menafsirkan al-qur’an.
Seseorang tidak akan mencapai pengertian yang baik jika tidak memahami
riwayat asbab an-nuzul suatu ayat. Al-Wahidi (W.468H/1075M.)seorang
ulama klasik dalam bidang ini mengemukakan; “pengetahuan tentang tafsir
dan ayatayat tidak mungkin, jika tidak dilengkapi dengan pengetahuan tentang
peristiwa dan penjelasan dengan turunnya suatu ayat. Sementara ibnu daqiq al-
id menyatakan bahwa penjelasan asbab an-nuzul merupakan salah satu jalan
yang baik dalam rangka memahami al-qur’an. Pendapat senada di ungkapkan
oieh ibnu taimiyah bahwa mengetahui asbab annuzul akan menolomg seorang
dalam upaya memahami ayat, karena pengetahuan tentang sebab akan
melahirkan pengetahuan tentang akibat.
Pemahaman asbab an-nuzul akan sangat membantu dalam memahami
konteks turunnya ayat. Ini sangat penting untuk menerapkan ayat-ayat pada
kasus dan kesempatan yang berbeda. Peluang terjadinya kekeliruan akan
semakin besar jika mengabaikan riwayat asbab an-nuzul.
Muhammad chirzin dalam bukunya: al-qur’an dan ulum al-qur’an
menjelaskan, dengan ilmu asbab an-nuzul. Pertama, seorang dapat mengetahui
hikmah di balik syariat yang di turunkan melalui sebab tertentu.Kedua,
seorang dapat mengetahui pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa
yang mendahului turunnya suatu ayat.Ketiga, seorang dapat dapat menentukan
apakah ayat mengandung pesan khusus atau umumdan dalam keadaan
bagaimana ayat itu mesti di terapkan. Keempat, seorang dapat menyimpulkan
bahwa Allah selalu memberi perhatian penuh pada rasulullah dan selalu
bersama para hamba-Nya.
C. Macam-Macam Asbabun Nuzul
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbab an-nuzul dapat
dibagi kepada :
1. Ta’addud Al-Asbab Wa Al-Nazil Wahid : Beberapa sebab yang hanya
melatarbelakangi turunnya satu ayat/ wahyu. Terkadang wahyu turun
untuk menanggapi beberapa peristiwa atau sebab.
2. Ta’adud an-nazil wa al-asbab wahid : Satu sebab yang melatarbelakangi
turunnya beberapa ayat.
D. Cara Mengetahui Asbabun Nuzul dalam Sebuah Ayat Al-Qur’an
Untuk mengetahui Sebab Nuzul tidak boleh hanya dengan melalui akal

atau pendapat, iaitu Bi al-Ra’yi (‫)بالرأى‬, tetapi mestilah dengan riwayat yang
sahih dan pendengaran, juga hendaklah mereka itu menyaksikan sendiri ayat
itu diturunkan atau pun mereka yang mengetahui sebab-sebabnya dan
mengkaji tentangnya terdiri daripada sahabat, tabi’in dan mereka yang
bertukus-lumus mengkaji ilmu ini yang terdiri daripada kalangan ulama yang
dipercayai.
Untuk itu, ulama Salaf dan ahli Tafsir begitu teliti dan sangat
berhatihati dalam perkara ini, di mana ulama mengetahui Asbab Nuzul dan
perkara yang berkaitan dengan sebab penurunan al-Quran dengan melalui
riwayat para Tabi’in dan para sahabat atau juga melalui riwayat yang secara
sah berasal daripada Nabi.
Apa yang jelas dan pastinya, walaupun dalam setengah keadaan, ulama
mengetahui Asbab Nuzul dengan berdasarkan riwayat daripada tabi’in dan
sahabat, namun riwayat yang diterima itu bukanlah sebagai pendapat biasa,
tetapi ia merupakan riwayat yang marfu’, iaitu riwayat yang berdasarkan
kepada Nabi, maka ia dapat diterima sebagai riwayat yang sahih.

MATERI 6

NASIKH DAN MANSUKH

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh


Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan, menghapuskan,
memindahkan, menulis. Adapun secara istilah, maka ada dua macam: Pertama.
Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki
ta’rif yang berbeda-beda.
Al-Baidhowi rahimahullah (wafat 685 H) mendefinisikan dengan,
“Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang
datang setelahnya.”
Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi
naskh dengan menyatakan, “Menghilangkan hukum yang ada dengan
perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya.”
Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, yaitu, “Menghapuskan hukum
dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah.”
Nasikh artinya yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau
AsSunnah yang menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada
hakikatnya nasikh (yang menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.
Mansukh artinya yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau
lafazhnya yang dihapuskan.
B. Penunjukkan Adanya Naskh dalam Syari’at
1. Dalil Naqli
Firman Allah SWT: "Apa saja ayat yang kami nasakhkan
(hapuskan)..." (QS Al Baqarah: 106). Makna kata “ayat” di dalam firman
Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran Salafush Shalih,
Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud,
Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’,
As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir. Firman Allah:
"Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain." (QS
An Nahl: 101).
Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat
AlQur’an yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang
Allah jadikan pengganti adalah nasikh, ayat yang digantikan adalah ayat
mansukh.
2. Dalil Aqli
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Naskh boleh
terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya
terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum
(keputusan) milik-Nya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa)
AlMalik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi
hambahamba-Nya apa yang dituntut oleh hikmah-Nya dan rahmat-Nya.
Apakah akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang
Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki?"
3. Dalil Ijma’
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya
naskh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Baji berkata, “Seluruh umat
Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at menurut akal dan
syara’.” Al-Kamal Ibnul Humam berkata, “Pengikut syari’at-syari’at telah
sepakat atas bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara
syari’at).”
C. Macam-Macam Naskh
Pertama, macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh
(dihapus) ada tiga bagian:
1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap.
2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap.
3. Nash Yang Mansukh Hukumnya dan Lafazhnya.
Kedua, macam-macam naskh dilihat dari nash yang nasikh
(menghapus) secara ringkas ada empat bagian:
1. Al-Qur’an Dimansukh dengan Al-Qur’an. 2.
Al-Qur’an Dimansukh dengan As-Sunnah.
3. As-Sunnah Dimansukh dengan Al-Qur’an.
4. As-Sunnah Dimansukh dengan As-Sunnah.

MATERI 7

MUNASABAH AL-QUR’AN
A. Pengertian Munasabah
Ilmu munasabah disebut juga Ilmu Tanasub Al Ayat. Ilmu Tanasub Al
Ayat adalah ilmu yang menerangkan persesuaian antara suatu ayat dengan
ayat yang sebelumnya dan dengan ayat yang sesudahnya. Secara harfiyah, kata
munasabah berarti perhubungan, pertalian, pertautan, persesuaian, kecocokan
dan kepantasan. Kata al-munasabah, adalah sinonim (muradif) dengan kata
almuqarabah dan almusyakalah, yang masing-masing berarti berdekatan dan
persamaan. Secara istilah, munasabah berarti hubungan atau keterkaitan dan
keserasian antara ayat-ayat AlQur’an. Ibnu Arabi, sebagaimana dikutip oleh
Imam As-Sayuti, mendefinisikan munasabah itu kepada ‘keterkaitan ayat-ayat
Al-Qur’an antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia terlihat
sebagai suatu ungkapan yang rapih dan sistematis.
Berdasarkan kajian munasabah, ayat –ayat Al-Qur’an dianggap tidak
terasing antara satu dari yang lain. Ia mempunyai keterkaitan, hubungan, dan
keserasian. Hubungan itu terletak antara ayat dengan ayat, antara nama surat
dengan isi surat, awal surat dengan akhir surat, antara kalimat-kalimat yang
terdapat dalam setiap ayat dan lain sebagainya.
B. Cara Mengetahui dan Mencari Munasabah
Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah
bersifat ijtihad. Artinya, pengetahuan tentangnya ditetapkan berdasarkan
ijtihad karena tidak ditemukan riwayat, baik dari nabi maupun para
sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada keharusan mencari munasabah pada
setiap ayat. Alasannya, Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur
mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada. Oleh karena itu,
terkadang seorang mufasir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang
lainnya dan terkadang tidak. Ketika tidak menemukan keterkaitan itu ia tidak
diperkenankan memaksakan diri. Dalam hal ini, Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abd As-
Salam berkata: “Munasabah adalah sebuah ilmu yang baik, tetapi kaitan antar
kalam mensyaratkan adanya kesatuan dan keterkaitan bagian awal dengan
bagian akhirnya. Dengan demikian, apabila terjadi pada berbagai sebab yang
berbeda, keterkaitan salah satunya dengan lainya tidak menjadi syarat. Orang
yang mengaitkan tersebut berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya.
Kalaupun itu terjadi, ia mengaitkannya hanya dengan ikatan-ikatan lemah
yang pembicaraan yang baik saja pasti terhindar darinya, apalagi kalam yang
terbaik.”
Untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam
Alquran diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Sayuti
menjelaskan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menemukan
munasabah yaitu:
1. Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek
pencarian.
2. Memerhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas
dalam surat.
3. Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau
tidak.
4. Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memerhatikan
ungkapanungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.
C. Munasabah dalam Al-Qur’an
Membicarakan masalah munasabah dalam Al-Qur’an, sangat berkaitan
erat dengan sistem penertiban ayat dan surat dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini
Manna’ Khalil al-Qattan menyatakan bahwa “Al-Qur’an terdiri atas surat-surat
dan ayatayat, baik yang pendek maupun yang panjang. Ayat adalah sejumlah
kalam Allah yang terdapat dalam sebuah surat dalam Al-Qur’an, dan surat
adalah sejumlah ayat Al-Qur’an yang mempunyai permulaan dan kesudahan.
Tertib dan urutan ayat-ayat Al-Qur’an adalah taufiqi, ketentuan dari
Rasulullah saw dan atas perintahnya”.
Diantara ulama yang mendukung munasabah ini adalah al-Biqai’. Ia,
sebagai dikutip mustofa muslim, mengatakan bahwa ilmu munasabah sangat
penting, ia merupakan ilmu yang agung, sehingga hubungannya dengan ilmu
tafsir bagaikan ilmu nahwu dan ilmu bayan. Menurut al-Zarkasyi ilmu
munasabah menjadikan bagianbagian kalam saling menguatkan satu dengan
lainnya. Ilmu ini, menurut al-Raziy, sangat bernilai tinggi selama dapat
diterima akal.
Penguasaan seseorang dalam munasabah akan mengetahui mutu dan
tingkat kebalaghahan Al-quran dan konteks kalimatnya antara yang satu
dengan yang lain. Bagaimana tidak, korelasi antar ayat akan menjadikan
keutuhan yang indah dalam tata bahasa Al-quran, yang jika dipenggal
keindahan tersebut akan hilang. Ini bukti bahwa Al-Qur’an betul-betul
mukjizat dari Allah bukan kreasi Muhammad. Sebagai dikatakan al-Razi
bahwa kebanyakan keindahankeindahan Al-Qur’an terletak pada susunan dan
hubungannya, sedangkan susunan kalimat yang paling indah (baligh) adalah
yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Di sini jelas bahwa
pengetahuan tentang munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami
makna ayat atau surat Al-Qur’an secara utuh.
D. Macam-Macam Munasabah
Ditinjau dari sifatnya, munasabah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu:
Pertama, zhahirul irtibath, yang artinya munasabah ini terjadi karena bagian
AlQur’an yang satu dengan yang lain nampak jelas dan kuat disebabkan
kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan yang lain. Deretan beberapa ayat
yang menerangkan sesuatu materi itu terkadang, ayat yang satu berupa
penguat, penafsir, penyambung, penjelas, pengecualian, atau pembatas dengan
ayat yang lain. Sehingga semua ayat menjadi satu kesatuan yang utuh dan
tidak terpisahkan.
Dan kedua, khafiyul irtibath, artinya munasabah ini terjadi karena
antara bagian-bagian Al-Qur’an tidak ada kesesuaian, sehingga tidak tampak
adanya hubungan di antara keduanya, bahkan tampak masing-masing ayat
berdiri sendiri, baik karena ayat yang dihubungkan dengan ayat lain maupun
karena yang satu bertentangan dengan yang lain
Adapun munasabah dari segi materinya, dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
Pertama, munasabah antar ayat dalam Al-Qur’an, yaitu hubungan atau
persesuaian antara ayat yang satu dengan yang lain. Dengan penjelasan dan
contoh yang telah penulis kemukakan di atas. Kedua, munasabah antar surat.
Dalam hal ini muhasabah antar surat dalam AlQur’an memiliki rahasia
tersendiri. Ini berarti susunan surat dalam Al-Qur’an disusun dengan berbagai
pertimbangan logis dan filosofis
Adapun cakupan korelasi antar surat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Hubungan antara nama-nama surat.
2. Hubungan antara permulaan surat dan penutupan surat sebelumnya.
3. Hubungan antar awal surat dan akhir surat.
4. Hubungan antara dua surat dalam soal materi dan isinya.

MATERI 8

AL-MUHKAM DAN MUTASYABIH

A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih


Muhkam adalah isim maf’ul dari fi’il ahkama-yuhkimu yang menurut
bahasa diartikan dengan menahan dari goncangan. Kata al-hukm berarti
memutuskan antara dua hal atau perkara. “wa ihkam al-syai” artinya
menguatkan, dan muhkam berarti yang dikokohkan. Ihkam al-kalam berati
menguatkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari berita yang
salah.
Adapun menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam
mengartikan muhkam. Diantara pendapat-pendapat itu adalah: Dalil yang jelas
dan tidak mengandung adanya penasakhan (penghapusan). Ayat yang hanya
mengandung satu tafsir saja. Ayat yang bisa dipahami tanpa membutuhkan
rujukan kepada ayat lain. Ulama yang berpendapat dengan pendapat pertama
diantaranya adalah al-Jarjani. Diantara perbedaan pendapat tersebut, Ibnu
Hazm mengatakan bahwa ada dua pendapat yang paling benar. Yang pertama
yaitu ayat yang maknanya sudah jelas, dapat menghilangkan musykilah dan
kemungkinan-kemungkinan yang ada. Yang kedua adalah ayat yang sudah
tersusun dengan susunan yang bisa dipahami baik itu dengan ditafsirkan
ataupun tidak tanpa adanya perselisihan.
Mutasyabihat (tunggal, mutasyabihat) berasal dari kata syubbiha yang
artinya meragukan, dalam verbal noun berbentuk jamak artinya adalah tidak
tentu atau hal yang meragukan. Dalam pengertian praktis adalah ayat-ayat
alQur‟an yang artinya tidak jelas atau belum sepenuhnya disetujui, sehingga
terbuka bagi adanya dua atau lebih penafsiran.
Mutasyabuh menurut bahasa terambil dari tasyabuh yaitu yang satu
diserupakan dengan yang satu lagi. Syubhah yang berarti keadaan dimana
salah satu dari dua hal tidak dapat dibedakan karena adanya kesamaan antara
keduanya. Sebagaimana para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan
muhkam menurut istilah, mereka juga berbeda pendapat dalam mengartikan
mutasyabih menurut istilah, yaitu: Ayat-ayat yang tidak diketahui makna yang
sebenarnya oleh siapapun kecuali Allah saja. Ayat yang memiliki banyak
tafsiran. Ayat yang tidak bisa dipahami menurut zhahir lafal sehingga
membutuhkan keterangan lain.
Dapat dikatakan bahwa ayat mutasyabih menurut istilah adalah ayat
yang masih diperselisihkan tentang penafsirannya dan penafsiran ayat yang
sesungguhnya hanya Allah Yang Tahu.
B. Sebab-Sebab Adanya Ayat Mutasyabihat
Dikatakan dengan tegas, bahwa sebab adanya ayat Muhkam dan
Mutasyabih ialah karena Allah swt menjadikan demikian. Allah membedakan
antara ayat-ayat yang Muhkam dari yang Mutasyabih, dan menjadikan ayat
Muhkam sebagai bandingan ayat yang Mutasyabih.

Adapun adanya ayat Mutasyabihat dalam al-Qur‟an desebabkan 4


(empat) hal:
1. Kesamaran Lafal Mufrad, dibagi menjadi 2 (dua) :
a. Pertama, Kesamaran lafal Mufrad Gharib (asing)
b. Kesamaran Lafal Mufrad yang bermakna Ganda. Kata al-Yamin bisa
bermakna tangan kanan, keleluasan atau sumpah.
2. Kesamaran dalam Lafal Murakkab
3. Kesamaran pada Makna Ayat
4. Kesamaran pada Lafal dan Makna Ayat.
C. Macam Macam Ayat Mutasyabihat
Menurut Abdul Jalal, macam-macam ayat Mutasyabihat ada tiga
macam, yaitu:
1. Ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat
manusia, kecuali Allah SWT.
2. Ayat-ayat yang Mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang
dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Contoh:
pencirian mujmal, menentukan mutasyarak, mengqayyidkan yang mutlak,
menertibkan yang kurang tertib.
3. Ayat-ayat Mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu
dan sains, bukan oleh semua orang, apa lagi orang awam. Hal ini termasuk
urusan-urusan yang hanya diketahui Allah SWT dan orang-orang yang
rosikh (mendalam) ilmu pengetahuan.
D. Hikmah dan nilai-nilai pendidikan dalam ayat-ayat Muhkam dan
Mutasyabihat
1. Andai seluruh ayat Al-Quran terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka akan
sirnalah ujian keimanan dan amal karena pengertian ayat yang jelas.
2. Apabila seluruh ayat Al-Quran Mutasyabihat, nisaya akan padamlah
kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi, manusia orang yang
benar keimanannya yakin bahwa Al-Quran seluruhnya dari sisi Allah,
segala yang datang dari sisi Allah pasti hak dan tidak mungkin bercampur
dengan kebatilan.
3. Memperhatikan kelemahan akal manusia. Teguran bagi orang-orang yang
ngotak-ngatik ayat Mutasyabih.
4. Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia.
5. Mendorong kegian mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang
bermacammacam.

MATERI 9

MAKKIYAH DAN MADANIYAH

Makkiyah diambil dari nama kota makkah tempat islam lahir dan tumbuh.
Kata makkiyah merupakan kata sifat yang disandarkan kepada kota tersebut. Dan
sesuatu yang disebut makkiyah apabila ia mengandung kriteria yang berasal dari
mekah atau yang berkenaan dengannya. Begitu pula dengan madaniyah, ia
diambil dari nama kota madinah, tempat rasululloh berhijrah dan membangun
masyarakat islam serta mengembangkan islam ke segala penjuru dunia. Sekalipun
kemudian dakwah Rasululloh melewati batas-batas wilayah kedua kota tersebut,
namun mekaha dan madinah tetap mempunyai peran yang siginifikan dalam
setiap proses pengembangan islam.
A. Perbedaan Makkiyah dan Madaniyah
1. Dari segi tata bahasa
a. Surat makkiyah secara umum gaya bahasanya kuat dan keras
pembicaraanya, sebab kebanyakan yang diajak bicara orang-orang
yang berpaling dari kebenaran dan sombong. . Dan adapun madaniyah
secara umum gaya bahasanya lembut dan pembicaraanya halus, sebab
yang menerima kebenaran secara terbuka.
b. Umunya surat-surat makkiyah ayatnya pendek-pendek dan kuat
pendalilannya. Sedangkan madaniyah ayatnya panjang-panjangdan
menyebutkan hukum-hukum secara khusus.
2. Dari segi isinya
a. Umumnya surat-surat makkiyah menetapkan tentang tauhid dan akidah
yang selamat secara khusus yang berkaitan dengan tauhid uluhiya dan
percaya dengan hari kebangkitan, sedangkan madaniyah secara umum
menerangkan tentang perician ibadah dan mu’amalah karena yang
diajak bicara orang-orang telah terikrar dalam jiwa mereka tauhid dan
aqidah yang selamat.
B. Ciri-Ciri Spesifik Makkiyah dan Madaniyah
1. Makkiyah
a. Di dalamnya terdapat ayat sajdah
b. Ayat-ayatnya dimulai dengan kata “kalla”
c. Dimulai dengan ungkapan “ya ayyuhan nas” dan tidak ada ayat
dimulai dengan ungkapan “ya ayyuahl ladzina”, kecuali dalam surat al-
hajj karena di penghujung surat itu terdapat sebuah ayat yang dimulai
dengan ungkapan “ya ayyyuhal ladzina”.
d. Ayat-ayatnya mengandung tema kisah para nabi dan umat-umat
terdahulu
e. Ayat-ayatnya berbicara tentang kisah nabi Adam dan iblis, kecuali
surat al-baqarah
f. Ayat-ayatnya dimulai dengan huruf-huruf terpotong-potong seperti alif
lam mim dan sebagainya, kecuali surat al-baqarah dan ali-imran.
2. Madaniyah
a. Mengandung ketentuan-ketentuan faraid dan had
b. Mengandung sindiran-sindiran terhadap kaum muanafik, kecualai surat
alankabut
c. Mengandung uraian tentang perdebatan dengan ahli kitabin.
C. Klasifikasi Ayat-Ayat dan Surah-Surah Al-Qur’an
Untuk mengetahui dan menentukan makkiyah dan madaniyah, para
ulama bersandar pada dua cara utama: sima’i naqli (pendengaran seperti apa
adanya) dan qiyashi ijtihad (bersifat ijtihad). Cara pertama berdasarkan pada
riwayat shahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan
turunnya wahyu, atau dari para tabi’in yang menerima dan mendengar dari
para sahabat bagaimana, dimana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan
turunnya wahyu itu.
Untuk membedakan makkiyah dana madaniyah, para ulama
mempunyai tiga macam pandangan yangmasing-masing mempunyai dasar-
dasarnya sendiri.
1. Dari segi waktu turunnya. 2.
Dari segi tempat turunnya.
3. Dari segi sasarannya.
Ada tiga tahap dalam masa turunnya al-qur’an di mekah menurut abu
qasim yaitu tahap permulaan, tahap pertengahan dan tahap penghabisan.
1. Tahap permulaan di Mekah ( marhala ibtidaiyyah)
a. Surat al-alaq [96]
b. Surat almudatsir [74]
c. Surat at-takwir [81]
d. Surat al-a’la [87]
e. Surat al-lail [92]
f. Surat al-insyirah[94]
g. Surat al-‘adiyat [100]
h. Surat at-takwir [102
i. Surat an-najm [53]
2. Tahap pertengahan di Mekah (marhalah mutawassithah)
a. Surat ‘abasa [80]
b. Surat ath-thin [95]
c. Surat al-qori’ah [101]
d. Surat al-qiyamah [75]
e. Surat al-mursalat [77]
f. Surat al-balad [90]
g. Surat al-hijr [15]
3. Tahap penghabisan di Mekah (marhala khataniyah)
a. Surat ash-shaffat [37]
b. Surat al-dzuhkruf [43]
c. Surat ad-dukhon [44]
d. Surat adz-dzariyat [51]
e. Surat al-kahfi [18]
f. Surat Ibrahim [14]
g. Surat as-sajdah [32]
Adapun madaniyah ada dua puluh surat, yaitu:
a. Al-baqarah k. Al-Hujurat
b. Ali-imran l. Al-Hadid
c. An-nisa m. Al-Mujadilah
d. Al-maidah n. Al-Hasyr
e. Al-anfal o. Al-Mumtahanah
f. At-taubah p. Al-Jumu’ah
g. An-nur q. Al-Munafiqun
h. Al-ahzab r. At-Thalaq
i. Muhammad s. At-Thahrim
j. Al-fath t. An-Nasr
Sedangkan yang diperselisihkan ada dua belas surat, yaitu:
a. Al-Fatihah g. Al-Qadr
b. Ar-Ra’d h. Al-Bayyinah
c. Ar-Rahman i. Az-Zalzalah
d. Ash-Shafh j. Al-Ikhlas
e. Ath-Thagabun k. Al-Falaq
f. Al-Mutaffifin l. An-Nas
D. Tujuan mempelajari Makkiyah dan Madaniyah
1. Untuk menambah keyakinan bahwa al-qur’an adalah kalam Allah yang
diturunkan di bawah otoritas Allah semata bukan berdasarkan keinginan
nabi
2. Untuk mempermudah memahami al-Qur’an
3. Agar bisa memahami nasikh (hukum yang menghapus) dan mansukh
(hukum yang dihapus) jika terdapat dua ayat yaitu madaniyah dan
makkiyah yang keduanya memenuhi syarat nasakh maka ayat mmadaniyah
tersebut menjadi nasakh bagi ayat makkiyah karena ayat madaniyah datang
belakangan setelah ayat makkiyah
4. Untuk mengetahui kronologis penurunan syari’ah yang berangsur-angsur
5. Untuk mengetahui perjalanan Rasulullah
6. Untuk mengetahui kesungguhan para sahabat dan generasinya dalam
menjaga otensitas al-qur’an.

MATERI 10

QASHASHUL QUR’AN

Secara bahasa kata al-qashshu berarti mengikuti jejak atau


mengungkapkan masa lalu. Al-Qashash adalah bentuk mashdar dari qashsha-
yaqushshu-qashshan, sebagaimana yang diungkapkan dalam Al-Qur'an:
Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari'. Lalu keduanya kembali,
mengikuti jejak mereka semula. (QS Al-Kahfi [18]: 64)
Al-Qashash dalam Al-Qur'an sudah pasti dan tidak fiktif, sebagaimana
yang ditegaskan dalam Al-Qur'an:
Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, dialah yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs Ali-Imran [3]: 62)
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orangorang yang mempunyai akal. Al-Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-
buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan
segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS
Yusuf [12]: 111) Al-Qur'an selalu menggunakan terminologi qashash untuk
menunjukkan bahwa kisah yang disampaikan itu benar dan tidak mengandung
kemungkinan salah atau dusta. Sementara cerita-cerita lain yang mengandung
kemungkinan salah dan benar biasanya bentuk jamaknya diungkapkan dengan
istilah qishash.
A. Macam-Macam Qashash Al-Qur’an
Adapun macam-macam qashash Al-Qur'an ada tiga, yaitu:
1. Kisah para Nabi terdahulu. Cerita ini mencakup dakwah mereka pada
kaumnya, mu'jizat mereka, sikap penentang para Nabi, fase dakwah dan
perkembangannya, balasan terhadap orang-orang kafir dan para pendusta,
seperti cerita Nabi Nuh , Ibrahim, Musa, Harun, Isa, Muhammad Saw., dan
lainnya.
2. Kisah Al-Qur'an yang berkaitan dengan kejadian masa lalu, cerita tentang
seseorang yang belum ditetapkan kenabiannya seperti Thalut, Jalut, dua
putra Nabi Adam, Ahlul Kahfi, Dzul Qarnain, Qarun, Ashab as-Sabti,
Maryam, Ashabul Uhdud, Ashabul Fil, dan lainnya.
3. Kisah yang berkaitan dengan kejadian yang terjadi pada masa Rasulullah
seperti Perang Badar, Uhud, dalam surah Ali Imran, Perang Hunain, Tabuk
dalam surah At-Taubah, perang Al-Ahzab dalam surah Al-Ahzab, Hijrah,
Al-Isra', dan semacamnya.
B. Manfaat Qashashul Qur’an
1. Untuk menjelaskan prinsip-prinsip ajaran para Rasul
2. Mengokohkan hati Rasulullah dan hati umatnya terhadap agama Allah dan
menguatkan kepercayaan orang-orang yang beriman terhadap
kemenangan, kebenaran, dan pertolongan-Nya, serta menghancurkan
kebatilan dan para pendukungnya.
3. .Membenarkan ajaran para Nabi terdahulu, menghidupkan ajaran mereka,
dan mengabdikan peninggalan mereka
4. Menunjukkan kebenaran Muhammad Saw. dalam risalah dakwahnya
dengan memberitakan tentang keadaaan orang-orang terdahulu dalam
berbagai macam level generasi yang berbeda.
5. Membongkar kebohongan Ahli Kitab dengan menjelaskan hal-hal yang
mereka sembunyikan, dan menentang apa-apa yang terdapat pada kitab
mereka setelah mengalami perubahan dan penggantian.
6. Kisah atau cerita merupakan salah satu metode yang cukup baik dalam
berdakwah dan ungkapannya lebih cepat menancap dalam jiwa.
C. Hikmah Pengulangan Qashash dalam Al-Qur'an
1. Menjelaskan segi ke-balaghah-an Al-Qur'an pada tingkat yang lebih tinggi.
2. Meneguhkan sisi kemukjizatan Al-Qur'an. Ketika suatu makna
diungkapkan dalam bentuk yang berbeda maka seseorang akan semakin
terkesima dan takjub dengannya.
3.
3..Mengundang perhatian yang besar terhadap kisah tersebut agar
pesanpesannya lebih mantap dan melekat dalam jiwa
4. Penyajian seperti itu menunjukkan perbedaan tujuan yang karenanya kisah
itu diungkapkan.

MATERI 11

AMSALUL QUR’AN

Secara bahasa amtsal adalah bentuk jamak dari matsal. Kata matsal,
mitsal, dan matsil adalah sama dengan kata syabah, syibh, dan syabih, baik lafadz
maupun maknanya, yang berarti perumpamaan, ibarat, tamsil, contoh, ‘ibrah, dan
lain sebagainya. Menurut terminologinya ada tiga pengertian1:
1. Menurut ulama ahli adab, amtsal berarti “Ucapan yang banyak
mengumpamakan keadaan sesuatu, diceritakan dengan sesuatu yang
dituju”.
2. Menurut ulama ahli bayan, amtsal adalah “Ungkapan majaz yang
disamakan dengan asalnya karena adanya persamaan (daam ilmu balaghah
disebut tasybih).”
3. Menurut ulama ahli tafsir, amtsal adalah “Menampakkan pengertian yang
abstrak dalam ungkapan yang indah, singkat dan menarik, yang mengena
dalam jiwa, baik dengan bentuk tasybih maupun majaz mursal.”
A. Macam-Macam Amtsal
Menurut ahli Balaghah, tamsil harus memenuhi beberapa ketentuan
yaitu: bentuk kalimatnya ringkas, isi maknanya mengena dan tepat,
perumpamaannya baik dan kinayahnya harus indah. Adapun rukun tamsil ada
empat macam, yaitu
1. Wajah syabah yaitu pengertian yang dapat dipahami dari perumpamaan
tersebut, yang sama-sama ada pada musyabbah dan musyabbah bih.
2. Adat tasybih, yaitu terdiri dari kaf, mitsl, kaana, dan semua lafadz yang
menunjukkan perumpamaan.
3. Musyabbah, yaitu subyek sasaran perumpamaan.
4.

1 Muhammad Shalahuddin Hamid, Study Ulumul Qur’an, (Jakarta: Intimedia, 2002), hlm. 316.
Musyabbah bih, yaitu obyek yang dijadikan perumpamaan.
Syekh Jalaluddin As-Suyuthi membagi amtsal dalam Alqur’an menjadi
dua macam, yaitu amtsal dzahir (jelas), dan amtsal khafiy (tersembunyi).
Sedangkan Manna’ Al-Qathan membaginya menjadi tiga macam, yaitu amtsal
musharrahah, amtsal kaminah, dan amtsal mursalah.
1. Amtsal musharrahah, yaitu lafadznya jelas menggunakan kalimat mitsal
atau sesuatu yang menunjukkan perumpamaan/ penyerupaan (tasybih).
Amtsal seperti ini banyak ditemukan dalam Alqur’an.
2. Amtsal kaminah, yaitu perumpamaan yang tidak disebutkan dengan jelas
(samar), atau yang didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafadz tamsil,
tetapi ia menunjukkan makna yang indah, menarik, dalam redaksinya
singkat padat, dan mempunyai pengarh tersendiri bila dipindahkan kepada
yang serupa dengannya.
3. Amtsal mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan
lafadz tasybih secara jelas, tetapi kalimat-kalimat tersebut berlaku sebagai
matsal.
B. Faedah-Faedah Amtsal dalam Al-Qur’an
Ada beberapa faedah-faedah mempelajari Amtsal dalam Alqur’an,
antara lain:
1. Menonjolkan/ menampilkan sesuatu yang ma’qul (yang hanya bsa
dijangkau akal, abstrak) dalam bentuk konkrit yang dapat dirasakan indera
manusia, sehingga akal mudah menerimanya, sebab pengertian-pengertian
abstrak tidak akan tertanam dalam benak kecuali jika ia dituangkan dalam
bentuk inderawi yang dekat dengan pemahaman.
2. Dapat mengungkapkan kenyataan dan mengkonkritkan hal-hal yang
abstrak.
3. Mengumpulkan/ menghimpun makna yang menarik lagi indah dalam satu
ungkapan yang singkat dan padat, seperti amtsal kaminah dan amtsal
mursalah dalam ayat-ayat diatas.
5.
4. Mendorong orang yang diberi matsal untuk berbuat sesuai isi matsal, jika
ia merupakan sesuatu yang disenangi jiwa.
Menjauhkan dan menghindarkan dari perbuatan tercela, jika isi matsal
berupa sesuatu yang dibenci jiwa.
6. Untuk memuji orang yang diberi matsal.
7. Dengan matsal tersebut, untuk menggambarkan sesuatu yang mempunyai
sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak.
8. Untuk memberikan rasa berkesan dan membekas dalam jiwa, karena
amtsal lebih efektif dalam memberikan nasehat, lebih kuat dalam
memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati.

MATERI 12

‘IJAZUL QUR’AN

Kata i’jaz diambil dari akar kata a’jaza-yu’jizu yang secara bahasa berarti
lemah,tidak mampu,tidak berdaya.Yang dimaksud i’jaz dalam pembicaraan ini
ialah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul
dengan menampakkan kelemahan orang Arab pengakuannya untuk menghadapi
mukjizat yang abadi,yaitu Al-Qur'an dan kelemahan generasi-generasi sesudah
mereka. Adapun Manna Al Qatthan mendefinisikan dengan hal serupa yaitu
“amrun khariqun lil’addah maqrunun bit tahaddiy salimun anil mu’aradhah”yaitu
suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan,disertai dengan unsur tantangan,dan
tidak dapat ditandingi.
Pengertian mu’jizat menurut Dr.Tantowi ialah ilmu yang membahas
tentang keunggulan Al-Qur’an dan menyikap ilmu yang ada di dalamya yang
dapat diungkap oleh ilmu pengetahuan di era modern. Sedangkan kalimat I’jazul
Qur’an itu seniri merupakan bentuk idhafah,menurut Imam Zarqani ‘Ijazul Qur’an
secara bahasa berarti di tetapkannya Al Qur’an itu melemahkan bagi yang akan
menandinginya. Adapun pengertian mu’jizat menurut theology (mutakallimin)
adalah munculnya sesuatu hal yang berbeda dengan kebiasaan yang terjadi di
6.
dunia (khariqun adah) untuk menunjukkan kebenaran kenabian (nubuwwah) para
ulama.
A. Sejarah ‘Ijazul Qur’an

Ada ulama yang berpendapat, orang yang pertama kali menulis I’jazul
Quran ialah Abu Ubaidah (wafat 208 H) dalam kitab Majazul Quran. Lalu
disusul oleh Al-farra (wafat 207 H) yang menulis kitab Ma’anil Quran.
Kemudian disusul Ibnu Quthaibah yang mengarang kitab Ta’wilu Musykikil
Qur’an.
Pernyataan terebut dibantah Abdul Qohir Al-Jurjany dalam kitabnya
Dalailul I’jaz, bahwa semua kitab tersebut di atas bukan ilmu I’jazul Qur’an,
melainkan sesuai dengan nama judul-judulnya itu.
Menurut Dr. Subhi Ash-sholeh dalam kitabnya Mabahis fi Ulumil
Qur’an, bahwa orang yang pertama kali membicarakan ijazul Qur’an adalah
imam Al-jahidh (wafat 255 H), ditulis dalam kitab Nuzhumul Qur’an, hal ini
seperti diisyaratkan dlam kitabnya yang lain, Al Hayyam. Lalu disusul
muhammad bin Zaid Al-wasithy (wafat 306 H) dalam kitab I’jazul Qur’an
yang banyak mengutip isi kitab Al-jahidh tersebut di atas. Kmudian
dilanjutkan Imam Arrumany (wafat 384 H).
B. Tujuan dan Fungsi ‘Ijazul Qur’an
1. Tujuan
a. Membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW yang membawa
mukjizat kitab Al-Qur’an itu adalah benar-benar seorang Nabi atau
Rasul Allah.
b. Membuktikan bahwa kitab Al-Qur’an adalah benar-benar wahyu
Allah SWT, bukan buatan malaikat Jibril dan bukan tulisan Nabi
Muhammad SAW.
c. Menunjukkan kelemahan mutu sastra dan balaghah bahasan
manusia,karena terbukti pakar-pakar pujangga sastra dan seni bahasa
Arab tidak ada yang mempu mendatangkan kitab tandingan yang sama
seperti Al-Qur’an,yang telah ditantangkan kepada mereka
dalamberbagai tingkat dan bagian Al-Qur’an.
d. Menunjukkan kelemahan daya upaya dan rekayasa umat manusia
yang tidak sebanding dengan keangkuhan dan kesombongannya.
2. Fungsi

a. Mu'jizat bagi Rasulullah Muhammad SAW


b. Pedoman hidup bagi setiap Muslim
c. Korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab

Allah yang sebelumnya.


C. Macam-Macam ‘Ijazul Qur’an

1. ‘Ijazul Balaghi yaitu kemukjizatan segi sastra balaghahnya.

2. ‘Ijazut Tasyri’i yaitu kemukjizatan segi pensyariatan ajarannya.

3. ‘Ijazul Ilmi yaitu kemukjizatan dalam segi ilmu pengetahuan.

4. ‘Ijaz di bidang pemberitaannya tentang hal-hal yang ghaib.


5. ‘Ijaz dari segala perubahan, segala sesuatu yang ada di dunia ini mesti

mengalami perubahan.

6. ‘Ijazul Adadi, yaitu kemukjizatan bilangan-bilangan dalam Al-Qur’an.

MATERI 13

KISAH-KISAH ISRAILIYAT

Kata Israiliyat adalah bentuk jamak dari kata Israiliyah, yakni segala
riwayat-riwayat yang bersumber dari kebudayaan Yahudi dan Nasrani baik itu
yang termaktub dalam kitab taurat dan injil, penafsiran-penafsirannya, maupun
pendaptpendapat orang yahudi dan nasrani tentang ajaran agama mereka. Namun
sebagian ulama tafsir telah memperluas makna atau muatan dari kata tersebut.
Mencakup segala riwayat kisah, ajaran yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Baik kisah lama yang bersumber dari yahudi maupun Nasrani, ataupun yang tidak
sengaja dimasukkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan Hadis untuk
merusak aqidah Islam
Secara leksikal, Israilyat adalah Masdar Shinai’y dari kata Israil yang
merupakan gelar Nabi Ya’kub ibn Ishaq ibn Ibrahim a.s. Nabi ya’kub adalah
nenek moyang bangsa yahudi, karena kedua belah suku bangsa yahudi yang
terkenal itu berinduk kepadanya.
Menurut Adz-Dzahabi dalam bukunya yang berjudul At Tafsir wal
AlMufassirun, Secara singkat Israiliyat mengandung pengertian pengaruh
kebudayaan yahudi dalam penafsiran Al-Quran. Sedangkan pengertian budaya
Yahudi dan budaya Nasrani itu: Kebudayaan Yahudi dalam pandangannya
berpangkal pada kitab taurat yang diberitakan Al-Quran sebagai kitab yang berisi
hukum syari’at yang diturunkan tuhan kepada Nabi Musa a.s. kemudian kitab
taurat itu sendiri dikenal sebagai kitab suci agama Yahudi, yang termasuk
didalamnya kitab jabur dan lain-lainnya yang kemudian dikenal dengan kitab
perjanjian lama. Kitab Taurat yang tertulis mereka juga menerima ajaran dan
keterangan yang diterima dari lisan nabi Musa a.s., dan mulut ke mulut.
A. Latar Belakang Sejarah Penggunaan Israiliyat
Cara masuknya cerita-cerita israiliyat kedalam tafsir dan hadis di
dahului oleh masuknya kebudayaan Arab zaman jahiliyah. Pada waktu itu
hidup ditengah – tengah orang Arab segolongan Ahli Kita, yaitu kaum Yahudi
yang pindah ke Jazirah Arab sejak dahulu. Perpindahan itu terjai secara besar-
besaran pada tahun 70 M.
Mereka hijrah ke jazirah Arab dengan membawa kebudayaan yang
mereka ambil dari kitab-kitab agama mereka. Dan uraian cerita yang terdapat
dalam kitab itu mereka terima sebagai warisan dari Nabi atau Ulama mereka,
dan mereka wariskan dari generasi ke generasi. Adapun tempat yang dijadikan
oleh mereka sebagai tempat untuk mengkaji kebudayaan mereka tersebut
dinamakan dengan Midras.
Diantara kaum Muslimin dengan orang Yahudi sering mengadakan
pertemuan untuk melakukan perdebatan dan diskusi. Lebih pentingnya lagi
adalah masuknya Islam ke beberapa golongan Yahudi, seperti Abdullah bin
Salam, Abdullah bin Suraya, Ka’ab Al-Ahbar dann lain-lain yang pada
umumnya mempunyai pengetahuan yang luas mengenai kebudayaan Yahudi.
Yang layak untuk disesali adalah Pertumbuhan tafsir merupakan sikap
sebagian tabi’in yang sangat besar perhatiannya kepada isroiliyat dan
nashroniyyat.
Pemuka riwayat yang israiliyat dan nashraniyat ialah Wahab ibn
Munabbih seorang Yahudi dari Yaman yang memeluk Islam. dia banyak
meriwayatkan israiliyat seperti yang kita jumpai dalam tafsir Ibnu Jarir
aththabari. Oleh karena itu sebagian para tabi’an banyak menerima israiliyat
dan nashraniyyat dan memasukkannta kedalam bidang tafsir, maka Malik Ibn
Anas menolak riwayat Qatadah banyak meriwayatkan israiliyat.
Jadi, dapat kita pahami bahwasannya adanya tafsir israiliyat ini di
sebabkan karena para mufassir pada masa itu sangat berbaik sangka kepada
segala pemberita yang mereka anggap bahwa orang yang sudah masuk Islam
tentu tidak mau berdusta. Itulah sebabnya para mufasir tidak mengoreksi dan
memeriksa kembali kabar-kabar yang mereka terima.
B. Macam-Macam Israiliyat
Israiliyat memiliki beberapa macam yang didasarkan pada dua
tinjauan. Israiliyat apabila ditinjau dari syariat Islamiyah, dibagi menjadi tiga
macam, yaitu:
1. Kisah yang dibenarkan oleh Islam atau Khabariyah al Shidqu.
2. Kisah yang diingkari oleh Islam dan dipersaksikan bahwa kisah tersebut
adalah dusta atau Khabar al Kidzbu.
3. Kisah yang Islam tidak membenarkan tidak pula mengingkarinya atau
Khabar al Shidqu wal Kidzbu.
C. Contoh-Contoh Israiliyat
Dari beberapa kitab tafsir, yang memuat banyak kisah-kisah isroiliyat
adalah kitab Tafsira Ath-Thabari dan Ibnu Katsir. Dalam kitab Tafir
AthThabari, memuat kisah tidak kurang dari 20 tema isroiliyat, dan diantara
sekian banyak kisah, hanya satu kisah yang dapat diterima kebenarannya,
yaitu riwayat yang menceritakan sifat Nabi yang tidak kasar, tidak keras,
pemurah, dan penyayang. Sementara dalam Tafsir Ibnu Katsir terdapat tidak
kurang 40 kisah isroiliyat. Diantara contoh isroiliyat yang dikemukakan antara
lain:
1. Kisah Nabi Sulaiman a.s.
2. Kisah Nabi Ismail a.s.
3. Kisah Surah Qaf.
4. Kisah Harut dan Marut.
D. Sikap Para Ulama Terhadap Israiliyat
1. Pendapat Ibnu Taimiyah
Mukoddimah kitabnya pokok-pokok ilmu tafsir, Ibnu Taimuyah,
setelah mengemukakan bahwa Abdullah bin Amr bin As pada perang
Yarmuk mendapatkan 2 orang teman ahli kitab lalu menerima hadist dari
keduanya karena mamahami hadistnya.“sampaikanlah oleh kamu sekalian
dariku walaupun satu ayat dan ceritakanlah dari bani Israil yang demikian
itu kalian tidak berdosa”
Seolah-olah hadist itu mengizinkan periwayatan cerita Israiliyat
kemudian (Ibnu Taimiyah) menyatakan “akan tetapi hadist-hadist Israiliyat
tersebut dikemukakan untuk menjadi saksi dan bukan untuk di yakini”.
Cerita Israiliyat terbagi menjadi 3, yaitu:
a. Kita ketahui kesahihhannya dan dibenarkan dengan ajaran yang ada
pada diri kita. Cerita Israiliyat itu adalah Sahih (benar)
b. Kita ketahui kedustaannya, karna bertentangan dengan apa yang ada
pada diri kita.
c. Didiamkan, dibenarkan tidak, didustakan pun tidak. Jangan
mengimaninya dan jangan pula membohongkannya. Cerita tersebut
boleh diriwayatkan berdasarkan alasan yang telah diriwayatkan.
2. Pendapat Imam Baga’i
Imam Baga’i telah berpendapat di dalam kitabnya “Al-Aqwal
AlQawimah Fi Mukmin-Naqi (pendapat-pendapat yang lurus di dalam
menukil kitab-kitab terdahulu.
Hukum penukilkan cerita dari bani Israil yng tidak dibenarkan dan
juga tidak didustakan oleh kitab kita. Adalah di perkenankan walaupun apa
yang dinuklikan tidak tetap. Demikian pula Nukilan dari selain ahli kitab,
yaitu dari pemeluk agama-agama yang batil karena tujuannya hanyalah
ingin mengetahui bukan untuk dijadikan pegangan. Berbeda dengan apa
yang dijadikan dalil di dalam Syariat kita, karena syari’at merupakan tiang
utama di dalam berhujjah dan beragama, harus jelas keterangannya
(keabsahannya). Dalil-dalil tersebut menurut pendapat kami terbagi dalam
3 bagian :
a. Dalil-dalil maudu’ bukan pula daif.
b. Dalil yang mutlak daif tidak bisa di jadikan Hujjah.
c. Daif yang dipegang yaitu untuk menumbuhkan kegemaran beramal
(targib) maudu’ dikemukakan untuk mengingatkan bahwa masalah
tersebut dusta.
3. Pendapat Ibnu Katsir
a. Cerita-cerita yang sesuai dengan kebenarannya dengan Al-Qur’an.
Berarti cerita itu benar.
b. Cerita yang terang-terangan dusta, karena menyalahi ajaran Islam.
Harus ditinggalkan karena merusak Akidah.
c. Cerita yang didiamkan. Tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an ,
tetapi juga tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.

MATERI 14

ILMU TAFSIR, TAKWIL DAN TAFSIR

A. Pengertian
Kata “tafsir” diambil dari kata “fassara-yufassiru-tafsira” yang bearti
keterangan atau uraian. Al-jurani berpendapat bahwa kata “tafsir” menurut
pengertian bahasa adalah “Al-kasf wa Al-izhar” yang artinya menyikap
(membuka) dan melahirkan. Pada dasarnya, pengertian “tafsir” berdasarkan
bahasa tidak akan lepas dari kandungan makna Al-idhah (menjelaskan),
Albayan (menerangkan), Al-kasf (mengungkapkan), Al-izhar (menampakkan),
dan Al-ibanah (menjelaskan).
Adapun pengertian “tafsir” berdasarkan istilah, para ulama banyak
memberikan komentar, antara lain sebagai berikut:
1. Menurut Al-Kilabi dalam At-Tashil :Tafsir adalah menjelaskan Al-quran,
menerangkan maknanya dan menjelaskan dikehendakai dengan nasbnya
atau dengan isyaratnya atau tujuannya.
2. Menurut Syekh Al-Jazairi dalam Shahib At-Taujih :Tafsir pada hakikatnya
adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahamioleh pendengar dengan
mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau
dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lafdz tersebut.
Ta’wil menurut bahasa berasal dari kata “aul”, yang berarti kembali ke
asal artinya, memikirkan, memperkirakan dan menafsirkannya. Atas dasar ini
maka ta’wil kalam dalam istilah mempunyai dua makna:
Pertama, ta’wil kalam dengan pengertian sesuatu makna yang
kepadanya mutakallim (pembicara, orang pertama) mengembalikan
perkataanya, atau sesuatu makna yang kepadanya suatu makna yang kepadanya

suatu kalam dikembalikan


Kedua, ta’wilun kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan
maknanya. Perkataan mereka, “apa ta’wil perkataan ini? Artinya ialah “sampai
kemanakah akibat yang dimaksud oleh perkataan itu?”
Sedangkan arti ta’wil menurut lughat adalah menerangkan,
menjelaskan. Adapun ta’wil mtenurut istilah, dalam hal ini banyak para ulama

memberikan pendapatnya, antara lain:

1. Menurut Al-Jurzani
Memalingkan suatu lafadz dari makna lahirnya terhadap makna yang
dikandungnya, apabila makna alternatif uyang dipandnagnya sesuai

dengan ketentuan Al-kitab dan As-Sunnah.

2. Menurut definisi lain:


Ta’wil ialah mengembalikan sesuatu pada ghayahnya (tujuannya), yakni

menerangkan apa yang dimaksud.


B. Perbedaan Antara Tafsir dan Takwil
Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua kata
tersebut. Berdasarkan pada pembahasan diatas tentang makna tafsir dan ta’wil,
kita dapat menyimpulkan pendapat terpenting diantaranya sebagai berikut:
1. Apabila berpendapat, ta’wil adalah menafsirkan perkataan dan
menjelaskan maknanya, maka “ta’wil” dan “tafsir” adalah dua kata yang
berdekatan atau sama maknanya. Termasuk pengertian ini ialah doa
Rasululloh untuk Ibn Abbas: “Ya Allah, berikanlah kepadanya

kemampuan untuk memahami agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil.


2. Apabila kita berpendapat, ta’wil adalah esensi yang dimaksud dari
suatu perkataan, maka ta’wil dari talab (tuntutan) adalah esensi perbuatan
yang dituntut itu sendiri dan ta’wil dari khabar adalah esensi sesuatu yang

diberikan. Atas dasar ini maka perbedaan antara tafsir dengan ta’wil cukup
besar; sebab tafsir merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan
dan penjelasan ini berada dalam pikiran dengan cara memahaminya dan
dalam lisan dengan ungkapan yang menunjukkannya. Sedang ta’wil ialah
esensi sesuatu yang berada dalam realita (bukan dalam pikiran).
3. Dikatakan, tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam Kitabullah
atau tertentu (pasti) dalam sunnah yang shahih karnanya maknanya telah
jelas dan gamblang. Sedang ta’wil adalah apa yang telah disimpulkan para
ulama. Karena itu sebagian ulama mengatakan, “Tafsir adalah apa yang
berhubungan dengan riwayat sedang Ta’wil adalah apa yang berhubungan
dengan dirayah.
4. Dikatakan pula, tafsir lebih banyak digunakan dalam
(menerangkan) lafaz dan mufrodat (kosa kata), sedang ta’wil lebih banyak
dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan kalimat. Dan masih
banyak lagi pendapat-pendapat yang lain.
C. Keutamaan Tafsir
Tafsir adalah ilmu syariat paling agung dan paling tinggi
kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia obyek pembahasan dan
tujuannya serta dibutuhkan. Obyek pembahassannya adalah Kamullah yang
merupakan sumber segala hikmah dan “tambang” segala keutamaan. Tujuan
utamanya untuk dapat berpegang pada tali yang kokoh dan mencapai
kebahagiaan hakiki. Dan kebutuhan terhadapnya sangat mendesak karena
segala kesempurnaan agamawi dan duniawi haruslah sejalan dengan syara’
sedang kesejalanan ini sangat bergantung pada pengetahuan tentang Kitab
Allah.
D. Urgensi Tafsir dan Ta’wil dalam Memahami Al Quran
Urgensi tafsir dan ta’wil dalam memahami Al-Qur’an untuk ayat
muhkamat dan ayat mutasyabihat adalah sebagai berikut:

1. Ayat Mukhamat
a. Dengan adanya ayat mukhamat yang sudah jelas arti maksudnya, maka
menjadi rahmat bagi umat Islam, khususnya orang yang kemampuan
bahasa Arabnya lemah. Dengan mempelajari bahasa arab akan

menambah kosa kata yang bersumber dari al Quran.


b. Untuk mempermudah dalam memahami isi kandungan al Quran
supaya umat Islam mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya

karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui dan dipahami.


c. Untuk membantu dalam menghafal al Quran, karena salah satu metode
menghafal yang paling efektif adalah dengan memahami terlebih

dahulu arti ayat yang akan dihafal.


d. Untuk menghilangan kebingungan dan kesulitan umat Islam dalam
mempelajari isi ajarannya karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya
sudah dapat menjelaskan arti maksudnya.

2. Ayat Mutasyabihat
Urgensi tafsir dan ta’wil al-Qur’an dalam

memahami ayat mutasyabihat diantaranya adalah:


a. Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk
meyakini keberadaan ayat-ayat al Quran sebagaimana Allah memberi
cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan
anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang
berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehinnga

enggan tunduk kepada naluri kehambaannya.


b. Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat al Quran.
Sebagaimana Allah menyebutkan bahwa cercaan terhadap orang-orang
yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabihat itu. Sebaiknya Allah

memberikan pujian bagi orang-orang yang mendalami ilmunya.


c. Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun
usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan

kelemahannya.
d. Untuk mengetahui kemukjizatan yang terdapat dalam al Quran agar
manusia sadar bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa,

melainkan wahyu ciptaan Allah SWT.

MATERI 15

PENDIDIKAN KELUARGA MENURUT AL-QUR’AN

Dalam kamus besar bahasa Indonesia diterangkan bahwa pendidik adalah


orang yang mendidik. Dari arti leksikal, kata pendidik secara fungsional
menunjukan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan
pengetahuan, keterampilan, pengalaman, pendidikan dan sebagainya. orang yang
melakukan kegiatan seperti ini bisa dijumpai dimana dan kapan saja. Dirumah,
yang melakukan kegiatan dan tugas ini adalah kedua orang tua. Disekolah, tugas
tersebut dilakukan oleh guru, dan di masyarakat dilakukan oleh
organisasiorganisasi pendidikan. Atas dasar ini, pendidikan itu bisa kedua orang

tua, guru, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan sebagainya.
Bisa juga diartikan pendidikan keluarga adalah bimbimgan atau
pembelajaran yang diberikan terhadap anggota kumpulan suatu keturunan atau
suatu tempat tinggal, yang terdiri dari suami atau ayah, istri atau ibu, anak-anak
dan lain sebagainya. dengan demikian keluarga tidak hanya istri dan anak-anak
tetapi juga mencakup kaum kerabat lainnya yang satu nasab, terutama yang

tinggal dalam satu rumah.


A. Keluarga Sebagai Objek Pendidikan.
Secara tegas ayat 6 surah At-Tahrim diatas mengingatkan semua orang-
orang mukmin agar mendidik diri dan keluarganya kejalan yang benar agar
terhindar dari neraka. Ayat tersebut mengandung perintah menjaga, yaitu “qu’”
(jagalah). Perintah menjaga diri dan keluarga dari neraka berkonotasi terhadap
perintah mendidik atau membimbing. Sebab didikan dan bimbingan yang dapat
membuat diri dan keluarga konsisten dalam kebenaran, dimana konsisiten
dalam kebenaran itu membuat orang terhindar dari siksa neraka. Oleh karena
itu, para orang tua berkewajiban mengajarkan kebaikan dan ajaran agama
kepada anak-anak, menyuruh mereka berbuat kebaikan dan menjauhkan
kemungkaran dengan membiasakan mereka dalam kebenaran atau kebaikan
tersebut, serta memberikan contoh teladan.

Ayat 6 itu juga menggambarkan keadaan api neraka. Ada dua kondisi
neraka yang digambarkan ayat diatas; pertama, bahan bakarnya yang terdiri
dari manusia dan batu. Manusia yang akan menjadi bahan bakar neraka itu
adalah orang-orang kafir. Dan menurut sebagian mufassir, batu yang dijadikan
sebagai bahan bakar neraka itu adalah berhala yang mereka sembah. Kedua,
neraka itu dijaga oleh malaikat yang amat kasar dan keras terhadap penghuni
neraka, tetapi mereka makhluk yang sangat patuh kepada Allah serta tidak
pernah melanggar perintah-Nya.

Kedua orang tua sebagai guru dijelaskan dalam Al-Qur’an:

1. Al-Qur’an Surat At-Tahrim Ayat 6


“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadapapa yang diperintahkannya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim:6).

2. Qs. Asy-Syu’ara, 26 :24


“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”

(AsySyu’ara, 26 :24).
B. Tujuan Objek Pendidikan
Tujuan berarti arah atau sasaran yang ingin dicapai. Dalam
pembahasan ini, keluarga adalah sebagai objek pendidikan bukan hanya
seorang anak. Itu berarti semua anggota keluarga menjadi sasaran dalam

pendidikan.
Dari beberapa Hadits tentang tujuan pendidikan, diperoleh informasi
bahwa objek pendidikan dalam Islam mengandung 3 tujuan pokok, yaitu
sebagai berikut:

1. Kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.

2. Beribadah kepada Allah.

3. Pengembangan potensi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat empat
hal yang mesti perhatikan oleh setiap anggota keluarga, yaitu sebagai
berikut :
1. Menyadari bahwa manusia secara individu adalah makhluk Allah yang

mempunyai tanggung jawab dalam kehidupan ini.


2. Menyadari bahwa manusia sebagai makhluk sosial adalah anggota
masyarakat dan mempunyai tanggung jawab dalam sistem kemasyarakatan

dimana ia berada.
3. Menyadari bahwa alam ini ciptaan Tuhan dan berusaha memahami hikmah

Tuhan menciptakannya. Kemudian berusaha untuk melestarikannya.

4. Meyakini adanya pencipta alam dan beribadah kepada-Nya.

~Sekian dan Terima Kasih~


~Barakallahufik~

Anda mungkin juga menyukai