Anda di halaman 1dari 12

RESUME ULUMUL QUR'AN-Muhammad Sunjaya | STAIN SORONG (Syariah)

ULUMUL QUR’AN
Oleh Muhammad Sunjaya
1. PENGERTIAN, RUANG LINGKUP, SEJARAH, DAN LATAR BELAKANG

Ulumul Qur’an terdiri atas dua suku kata bahasa Arab yaitu, ‘Ulum dan al-qur’an. Kata
ulum merupakan jamak dari ilmu yang berarti “ilmu”. Sedangkan al-Qur’an Menurut ulama’
ushul fiqh, dan pakar bahasa Arab adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad, yang lafazh-lafazhnya mengandung mukjizat, membaca mengandung nilai
ibadah, diturunkan secara tawatur, dan ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat Al-Fatihah
sampai akhir surat An-Nas.[1]
Pengertian Ulumul Qur’an secara istilah adalah Ilmu yang mencakup pembahasan-
pembahasan yang berkaitan dengan al-Qur’an dari sisi informasi tentang sebab-sebab
turunnya, kodifikasi pengumpulan dan pembukuannya, sistematika penulisannya, ayat-ayat
makkiyahnya dan madaniyahnya, nasikh-mansukhya, muhkam dan mutasyabihnya serta hal-
hal lain yang memiliki kaitan dengan al-Qur’an.
Ruang Lingkup ‘Ulumul Qur’an
Aspek-aspek pembahasan ‘Ulumul Qur’an sangatlah banyak dan selalu berkembang.
Terdiri dari enam pembahasan, yaitu[2] :
1. Nuzulul Qur’an, mencakup tiga hal pembahasan, yakni : Auqot wa mawatin an-nuzul ( waktu
dan tempat turunnya al-Qur’an), Asbab an- Nuzul (sebab-sebab turunnya al-qur’an), dan
Tarikh an-Nuzul (sejarah turunnya al-qur’an).
2. Sanad (rangkaian para periwayat), mencakup enam hal pembahasan, yakni : Riwayat
mutawatir, Riwayat ahad, Riwayat syadz, Macam-macam qira’at nabi, Para perawi dan
penghafal al-qur’an, Cara-cara penyebaran riwayat (tahammul).
3. Qira’at ( cara pembacaan al-qur’an), antara lain : Wakaf (cara berhenti), Ibtida’ (cara
memulai), Imalah, Madd, Idghom, Meringankan bacaan hamzah, dan lain-lain.
4. Persoalan kata-kata al-Qur’an. Membahas tentang Ghorib (kata-kata yang asing dalam al-
qur’an), Mu’rob, Istiaroh, Tasbih (penyerupaan), Murodif (padanan kata-kata al-Qur’an),
Musytarok (kata-kata al-Qur’an yang mempunyai makna serupa).
5. Makna-makna al-quran yang berkaitan dengan hukum. Membahas tentang makna umum
(‘am), khash, makna dhohir, mujmal (makna global), makna yang diperinci (mufashol),
manthuq (makna yang ditunjukkan oleh konteks pembicaraan), mafhum (makna yang dapat
dipahami dari konteks pembicaraan, muhkam (nash yang petunjuknya tidak melahirkan
keraguan), mutasyabih (nash yang musykil ditafsirkan karena terdapat kesamaran di
dalamnya, nasikh mansukh, muqaddam, muahhor.
6. Makna-makna al-qur’an yang berpautan dengan kata-kata al-Qur’an. Membahas tentang
fashl (pemisah), washl ( bersambung), uraian singkat (i’jaz), uraian panjang (itnab), uraian
seimbang (musawah), qoshr (pendek).
Relevansi ‘Ulumul Qur’an terhadap Tafsir
Persamaan antara Ilmu Tafsir dengan ‘Ulumul Qur’an terletak pada objek
pembahasannya, yaitu kedua disiplin ilmu tersebut secara bersama-sama berusaha menggali
ilmu-ilmu yang terkandung di dalam al-Qur’an dari berbagai aspek tertentu. Ilmu Tafsir
bertujuan mengungkap atau menjelaskan makna kata-kata al-Qur’an yang samar atau rumit,
sedangkan Ulumul Qur’an juga sebuah ilmu yang bermaksud mengkaji al-Qur’an dari
berbagai aspeknya secara universal. Pada intinya Ulumul Qur’an dan Ilmu Tafsir adalah dua
disiplin ilmu yang berpadu dalam rangka memahami al-Qur’an[3].
Sejarah Perkembangan ‘Ulumul Qur’an
Sejarah perkembangan ‘Ulum al-Qur’an dimulai dari beberapa fase dan selalu
berkembang dari fase awal menuju fase selanjutnya. Berikut beberapa fase perkembangan
‘Ulum al-Qur’an:
1) Fase Sebelum Kodifikasi ( Qabl ‘ashr at-Tadwin )
Fase ini terjadi pada masa Rasulullah SAW. dan pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin,
2) Fase Kodifikasi
Hal ini bermula ketika sahabat ‘Ali bin Abi Thalib memerintah Abu al-Aswad ad-
Dauli untuk menulis ilmu nahwu. Perintah sahabat ‘Ali inilah yang membuka gerbang
pengkodifikasian ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Pengkodifikasian ini semakin marak
dan meluas ketika Islam berada pada pemerintahan Bani Umayyah dan Bani ‘Abbasyiah pada
periode-periode awal pemerintahannya.
Urgensi Latar Belakang Mempelajari ‘Ulumul Qur’an
Pentingnya kita untuk mempelajari ‘Ulum al-Qur’an di antaranya adalah:
1. Untuk menafsirkan Al-Qur’an dan memahaminya dengan sempurna.
2. Untuk menerjemahkan Al-Qur’an.
3. Supaya kita mempunyai senjata yang ampuh yang dapat kita gunakan untuk membela
kesucian Al-Qur’an al-Karim.
4. Untuk memahami segala ikhwal yang berkaitan dengan al-Qur’an, baik pemahaman bacaan
maupun kandungannya.
5. Dapat mengetahui asbabun nuzul dari ayat-ayat Al-Qur’an.
6. Mengetahui nasikh mansukh yang terdapat dalam Al-Qur’an.
7. Mengetahui keterkaitan serta keserasian dari ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur’an (
munasabah ).
2. AL-QUR’AN DAN WAHYU
a. Pengertian Al-Qur’an
Pengertian Etimologi (Bahasa).
Al-Qur’an merupakan kata jadian dari kata dasar (membaca). Kata ini kemudian
dijadikan sebagai nama bagi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
mereka merujuk firman Allah:
Artinya : “Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah : 17-18)
Pengertian Terminologi (Istilah).
Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan orang yang
membacanya akan memperoleh pahala.
b. Nama-nama Al-Qur’an
Di antara nama-nama kitab suci umat Islam yang sangat terkenal:
1. Al-Qur’an, di antaranya terdapat di surat Al-Baqarah : 185,
2. Al-Furqan, di antaranya terdapat di surat Al-Furqan :1,
3. Al-Kitab, di antara lain dapat ditemukan di surat An-Nahl : 89,
4. Adz-Dzikr, dapat kita jumpai dalam surat Al-Hijr,
c. Garis Besar Kandungan Al-Qur’an
1. Aqidah / Akidah, adalah ilmu yang mengajarkan manusia mengenai kepercayaan yang pasti
wajib dimiliki oleh setiap orang di dunia. Al-Qur’an mengajarkan akidah tauhid kepada kita
yaitu menanamkan keyakinan terhadap Allah SWT yang satu yang tidak pernah tidur dan
tidak beranak-pinak. Percaya kepada Allah SWT adalah salah satu butir rukun iman yang
pertama. Orang yang tidak percaya terhadap rukun iman disebut sebagai orang-orang
kafir[4].
2. Ibadah adalah taat, tunduk, ikut, atau nurut dari segi bahasa. Dari pengertian “Fuqaha”,
ibadah adalah segala bentuk ketaatan yang dijalankan atau dikerjakan untuk mendapat Ridha
dari Allah SWT. Bentuk ibadah dasar dalam ajaran agama Islam yakni seperti yang tercantum
dalam lima butir rukun Islam. Mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat lima waktu,
membayar zakat, puasa di bulan suci Ramadhan dan haji bagi yang mampu.
3. Akhlak adalah perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang terpuji atau akhlakul
karimah maupun yang tercela atau akhlakul madzmumah. Allah SWT mengutus Nabi
Muhammad SAW tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki akhlaq. Setiap
manusia harus mengikuti apa yang diperintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
4. Hukum-hukum, Hukum yang ada di Al-Qur’an adalah memberi suruhan atau perintah
kepada orang yang beriman untuk mengadili dan memberikan penjatuhan hukuman hukum
pada sesama jenis yang terbukti bersalah. Hukum dalam Islam berdasarkan Al-Qur’an ada
beberapa jenis atau macam seperti junayat, mu’amalat, munakahat, faraidh, dan jihad.
5. Tadzkir atau peringatan adalah sesuatu yang memberi peringatan kepada manusia
akan Allah SWT berupa siksa neraka atau waa’id. Tadzkir juga bisa berupa kabar gembira
bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya dengan balasan berupa nikmat surga jannah atau
waa’ad. Di samping itu ada pula gambaran yang menyenangkan di dalam Al-Qur;an atau
disebut juga targhib dan kebalikannya ngambaran yang menakutkan dengan istilah lainnya
tarhib.
6. Sejarah atau kisah adalah cerita mengenai orang-orang yang terdahulu baik yang
mendapatkan kejayaan akibat taat kepada Allah SWT serta ada juga yang mengalami
kebinasaan akibat tidak taat atau ingkar terhadap Allah SWT.
7. Dorongan untuk Berpikir., Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang mengulas suatu
bahasan yang memerlukan pemikiran manusia untuk mendapatkan manfaat dan juga
membuktikan kebenarannya, terutama mengenai alam semesta.
d. Pengertian Wahyu
Wahyu, secara bahasa artinya adalah, pemberitahuan secara rahasia nan cepat. Secara
syar'i, wahyu berarti pemberitahuan dari Allah kepada para nabiNya dan para rasulNya
tentang syari'at atau kitab yang hendak disampaikan kepada mereka, baik dengan perantara
atau tanpa perantara. Wahyu secara syar'i ini jelas lebih khusus, dibandingkan dengan makna
wahyu secara bahasa, baik ditinjau dari sumbernya, sasarannya maupun isinya.
e. Macam-macam wahyu
Pertama : Taklimullah (Allah Azza wa Jalla berbicara langsung) kepada Nabi-Nya
dari belakang hijab. Yaitu Allah SWT menyampaikan apa yang hendak Dia sampaikan, baik
dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan tidur.
Sebagai contoh dalam keadaan terjaga, yaitu seperti ketika Allah Azza wa Jalla
berbicara langsung dengan Musa Alaihissallam, dan juga dengan Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam pada peristiwa isra' dan mi'raj. Allah berfirman tentang nabi
Musa :
" …Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung" [an Nisaa`/4 : 164].
Kedua : Allah Azza wa Jalla menyampaikan risalahNya melalui perantaraan Malaikat
Jibril, dan ini meliputi beberapa cara, yaitu :
1). Malaikat Jibril menampakkan diri dalam wujud aslinya.
2). Malaikat Jibril Alaihissallam terkadang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam wujud seorang lelaki.
3). Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun ia tidak
terlihat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui kedatangan Malaikat Jibril dengan
suara yang mengirinya.
Keempat : Wahyu diberikan Allah Azza wa Jalla dalam bentuk ilham. Yaitu Allah
memberikan ilmu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, saat beliau berijtihad pada suatu
masalah.
Kelima : Wahyu diturunkan melalui mimpi.
3. ASBAB AL-NUZUL/ASBABUN NUZUL
Pengertian Asbabun Nuzul
Kata Asbabun Nuzul ( ‫ ) اسبا ب النزول‬merupakan bentuk frase ( Idhofah ). Kata
Asbab (‫ب‬ ‫ )اسبا‬adalah bentuk jama’ dari (‫ سبب‬/sebab). Sedangkan kata Al-Nuzul ( ‫) النزول‬
pengertiannya sama dengan ‫ نزول القرأن‬, sehingga kalau disebutkan : ‫اسبا ب‬
‫ النزول‬mengandung arti sama dengan : ‫ ( اسبا ب النزول القرأن‬sebab-sebab turunnya Al-
Qur’an ), maka pengertian asbabun-nuzul adalah “ Sebab-sebab yang melatarbelakangi
turunnya Al-Qur’an”.
Adapun pengertian secara terminologis menurut Dr. Shubhi As-shalih adalah :
‫ما نزلت األيت بسببه متضمة له او مجيبة عنه او مبينة لحكمه زمن وقوعه‬
Artinya : “ Sesuatu berupa peristiwa atau pertanyaan yang melatarbelakangi turunnya
suatu ayat atau beberapa ayat, di mana ayat tersebut mengandung informasi mengenai
peristiwa itu, atau memberikan jawaban terhadap pertanyaan, atau menjelaskan hukum yang
terkandung dalam peristiwa itu, pada saat terjadinya peristiwa atau pertanyaan tersebut”.
Macam-macam Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul terbagi menjadi dua macam yaitu :
1. Asbabun nuzul dalam bentuk peristiwa, yaitu kejadian-kejadian/peristiwa-peristiwa yang
menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an.
2. Asbabul Nuzul dalam bentuk pertanyaan, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang menyebabkan
turunnya ayat al-Qur’an.
Redaksi Asbabun Nuzul
Peristiwa atau pertanyaan yang disebut sebagai asbabun nuzul itu terjadi pada masa
Rasulullah (pada masa turunnya ayat-ayat Al-Qur’an). Sehingga, asbabun nuzul hanya dapat
diketahui melalui penuturan para sahabat Nabi yang secara langsung menyaksikan terjadinya
peristiwa atau munculnya pertanyaan sebab nuzul. Para sahabat menggunakan redaksi atau
ungkapan yang berbeda dalam penyampaiannya antara suatu peristiwa dengan peristiwa
lainnya. Perbedaan ungkapan atau redaksi tersebut juga mengandung arti implikasi yang
berbeda pada status sebab nuzulnya[5].
Macam-macam ungkapan atau redaksi yang digunakan sahabat dalam
mendeskripsikan sebab nuzul antara lain[6]:
1. Kata ‫( سبب‬sebab). Contohnya seperti:
‫سبب نزول هذه االية كذا‬... ( sebab turunnya ayat ini demikian …)
Ungkapan ini disebut juga redaksi yang sharih (jelas/tegas). Maksudnya, sebab nuzul
yang menggunakan redaksi seperti ini menunjukkan betul-betul sebagai latar belakang
turunnya ayat, tidak mengandung makna lain.
2. Kata ‫ ( ف‬maka ). Contohnya seperti:
‫ ( حد ثت كذا و كذا فنزلت االية‬telah terjadi peristiwa ini dan itu, maka turunlah ayat
).
Ungkapan ini mengandung pengertian yang sama dengan penggunaan kata sababu,
yakni sama-sama sharih (jelas/tegas).
3. Kata ‫ ( في‬mengenai/tentang ). Contohnya seperti:
‫نزلت هذه االية في كذا وكذا‬... ( ayat ini turun mengenai ini dan itu ). Ungkapan
seperti ini tidak secara tegas ( ghairu sharih ) menunjukkan sebab turunnya suatu ayat. Akan
tetapi masih dimungkinkan mengandung pengertian lain.
Manfaat Asbabun Nuzul
Adapun manfaat dari asbabun nuzul di antaranya adalah[7]:
1. Mengetahui hikmah di balik penentuan hukum yang di syari’atkan Allah SWT. melalui Al-
Qur’an. Sehingga iman seseorang akan bertambah dan berupaya untuk merealisasikan
hukum-hukum Allah SWT. serta mengamalkannya.
2. Menolak salah persepsi pembatasan sebuah hukum (al-hasr) dari lafaz yang secara jelas
terdapat al-hasr.
3. Menentukan sebuah hukum melalui sebab turunnya ayat menurut pandangan relatif bukan
berpandangan secara umum yang dipakai.
4. Dengan mengetahui asbabun nuzul, dapat diketahui dan di tentukan obyek atau sasaran
(nama orang) dari turunnya suatu ayat sehingga tidak menimbulkan kekeliruan.
5. Memudahkan hafalan dan pemahaman tentang asbabun nuzul dengan beberapa sebab di
antaranya peristiwa-peristiwa, hubungan peristiwa kepada individu serta beberapa hukum
agar memudahkan untuk mengingatnya.
Ragam Asbabun Nuzul[8]
Setiap ayat yang turun ada yang memiliki beragam riwayat berbeda yang
menceritakan asbabun nuzulnya, dan ada pula yang lebih dari satu ayat namun memiliki satu
latar belakang sebab turunnya.
4. AYAT-AYAT MAKKIYAH DAN MADANIYAH
Makiyyah ialah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah,
kendatipun tidak turun di Makkah. Sedangkan,
Madaniyyah ialah ayat-ayat yang diturunkan sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah,
kendatipun tidak turun di Madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah disebut
Madaniyya walaupun turun di Makkah atau Arafah[9].
a. Tanda- tanda Makiyyah
1. Setiap surat yang di dalamnya mengandung “ayat-ayat sajdah” adalah Makiyyah.
2. Setiap surat yang mengandung lafadz “Kalla” adalah Makiyyah. Lafadz ini hanya terdapat
dalam separo terakhir dari Al-Qur’an. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam
lima belas surat.
3. Setiap surat yang mengandung lafadz ”Yaa Ayyuhan-naasu” dan tidak mengandung “Yaa
Ayyuhal-ladzina Aamanu” adalah Makiyyah. Kecuali surat Al-Hajj yang pada akhir
suratnya[16] terdapat kalimat “Yaa Ayyuhal-ladzina Aamanur-ka’uu wasjuduu” . namun
demikian, sebagian besarr Ulama’ berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makiyyah.
4. Setiap surat yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah Makiyyah.
Kecuali surat Al-Baqarah.
5. Setiap surat yang mengandung kisan nabi Adam dan Iblis adalah Makiyyah. Kecuali surat
Al-Baqarah.
6. Setiap surat yang dibuka dengan huruf-huruf muqatha’ah atau hija’I, seperti Alif Lam
Mim, Alif Lam Ra’, Ha Mim dan lainnya, adalah Makiyyah. Kecuali surat Al-Baqarah dan
Al-Imran. Adpun surat Ar-Ra’dul masih diperselisihkan.
b. Tanda-tanda Madaniyyah
1. Setiap surat yang berisi hukum pidana, hukum warisan, hak-hak perdata dan peraturan-
peraturan yang berhubungan dengan perdata serta kemasyarakatan dan kenegaraan, termasuk
Madaniyyah.
2. Setiap surat yang mengandung izin untuk berjihad, urusan-urusan perang, hukum-
hukumnya, perdamaian dan perjanjian, termasuk Madaniyyah.
3. Setiap surat yang menjelaskan hal ihwal orang-orang munafik termasuk Madaniyyah,
kecual surat Al-Ankabut yang di nuzulkan di Makkah. Hanya sebelas ayat pertama dari surat
tersebut yang termasuk Madaniyyah dan ayat-ayat tersebut menjelaskan perihal orang-orang
munafik[10].
4. Menjelaskan hukum-hukum amaliyyah dalam masalah ibadah dan muamalah, seperti
shalat, zakat, puasa, haji, qisas, talak, jual beli, riba, dan lain-lain.
5. Sebagian surat-suratnya panjang-panjang, sebagian ayat-ayatnya panjang-panjang dan gaya
bahasanya cukup jelas dalam menerangkan hukum-hukum agama.
c. Cara-cara menentukan Makki dan Madani
Untuk mengetahui dan menentukan Makiyyah dan Madaniyyah, para Ulama’
bersandar pada dua cara utama :
1. Sima’I naqli (pendengaran seperti apa adanya) dan
2. Qiyasi ijtihadi (bersifat ijtihad).
5. MUNASABAH AL-QUR’AN
Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antara ayat atau antara surat, baik
korelasi itu bersifat umum atau khusus, rasional ('aqli), persepsi (hassiyl), atau imajinatif
(khayali), atau korelasi berupa sebab-akibat,'illat dan ma'lul, perbandingan, dan perlawanan.
Macam-macam munasabah yaitu munasabah antar surat dengan surat sebelumnya,
munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya, munasabah antar bagian suatu ayat,
munasabah antar ayat yang terletak berdampingan, munasabah antar suatu kelompok ayat
dengan kelompok ayat di sampingnya, munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat,
munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama, munasabah antar penutup suatu
surat dengan awal surat berikutnya.
Urgensi mempelajari munasabah Al-Qur’an yaitu dapat mengembangkan sementara
anggapan orang yang menganggap bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan relevansi antara
satu bagian dengan bagian yang lainnya, mengetahui persambungan atau hubungan antara
bagian al-Qur’an, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya.
6. PENGUMPULAN AL-QUR’AN (JAM’U AL-QUR’AN)
Pengertian Pengumpulan Al-Qur’an
Dalam penulisan Al-Qur’an kita mengenal istilah Jam’u Al-Qur’an (pengumpulan Al-
qur’an) yang mempunyai dua pengertian yaitu, al-hifdzu ( menghafal ) dan al-kitabah (
menulis ) yakni menulis al-Qur’an pada benda-benda yang dapat ditulis[11].
Kata pengumpulan dalam arti penghafalannya adalah proses ketika Allah SWT.
Menyemayamkan wahyu yang diturunkan ke dalam lubuk hati Nabi Muhammad SAW.
secara mantap, menghafal dan menghayatinya, sehingga beliau dapat menguasai Al-Qur’an
sebagaimana yang dimaksud Allah SWT. kemudian beliau membacakannya kepada
sejumlah sahabatnya, agar mereka dapat pula menghafal dan memantapkannya di dalam
lubuk hati mereka[12]. Allah SWT. berfirman dalam surat al-Jumu’ah ayat 2 :
Artinya : “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan
mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesattan yang nyata,”.
Sedangkan pengumpulan Al-Qur’an yang berarti al-kitabah ( menulis ) yakni
perhimpunan seluruh Al-Qur’an dalam bentuk tulisan, yang memisahkan masing-masing ayat
dan surah, atau hanya mengatur susunan ayat-ayat Al-Qur’an saja dan mengatur susunan
semua ayat dan surah di dalam beberapa shahifah yang kemudian disatukan sehingga menjadi
suatu koleksi yang merangkum semua surah yang sebelumnya telah disusun satu demi satu.
Penulisan sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. yaitu dalam bentuk lembaran-lembaran
yang terpisah atau dalam bentuk ukiran pada beberapa jenis benda yang dapat dijadikan
sebagai alat tulis-menulis yaitu ‘usub (pelepah kurma), likhaf (batu halus berwarna putih),
riqa’ (kulit), aktaf (tulang unta) dan aktab (bantalan kayu yang biasa dipasang di punggung
unta).
Pengumpulan Al-Quran Pada Masa Rasulullah SAW.
Seluruh al-Qur’an telah ditulis pada zaman Rasulullah SAW. masih hidup, hanya
belum terhimpun di dalam satu tempat. Terdapat beberapa sahabat yang ditunjuk Rasulullah
untuk menuliskan Al Qur'an yakni Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin
Tsabit, Ubay bin Kaab dan Tsabit bin qais dan sahabat yang lain juga kerap menuliskan
wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa
pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana,potongan tulang
belulang binatang dan banyak sahabat-sahabat yang langsung menghafalkan ayat-ayat Al-
Qur'an setelah wahyu diturunkan.
Pada Masa Pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran ( perang dalam
memberantas Nabi Palsu Musailamah alkadzab ) yang mengakibatkan tewasnya beberapa
penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa
sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk
mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu
Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksanaan tugas tersebut.
Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf,
hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga
wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya,
selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad
SAW.
Pada Masa Pemerintahan Utsman Bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman
dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek
(lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf
standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan
yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam)
Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standardisasi ini, seluruh mushaf
yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar).
Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara
umat Islam pada masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.
Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang
shahih: Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang
Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah
atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya
mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at
orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia
menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi
perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, ‘Pendapatmu sangat baik'."
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan
ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat.
Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf
Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga
orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-
Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan
jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam
bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan
lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah,
Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).
7. KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN
a. Pengertian Mukjizat
Menurut bahasa kata Mu’jizat berasal dari kata i’jaz diambil dari kata kerja a’jaza-
i’jaza yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pelakunya (yang
melemahkan) dinamai mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol
sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai mu’jizat.
Menurut istilah Mukjizat adalah peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang
yang mengaku Nabi, sebagai bukti kenabiannya. Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat
didefinisikan pula sebagai suatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah SWT. Melalui para
Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan
kerasulannya[13].
Kata I’jaz dalam bahasa Arab berarti menganggap lemah kepada orang lain.
Sebagimana Allah berfirman[14] :
‫س ْو َءة َ أ َ ِخ ْي‬ َ ‫ب فَأ ُ َو ِار‬
َ ‫ي‬ ْ َ‫)أ َ ْع َجزَ تُ أ َ ْن أ َ ُك ْونَ ِمثْ َل َهذ‬31 :‫(المائدة‬
ِ ‫االغُ َرا‬
“…Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan
mayat saudaraku ini” (QS. Al Maidah (5): 31)
Maksud kumukjizatan Al-Qur’an bukan semata mata untuk melemahkan manusia atau
menyadarkan mereka atas kelemahanya untuk mendatangkan semisal Al-Qur’an akan tetapi
tujuan yang sebenarnya adalah untuk menjelaskan kebenaran Al-Qur’an dan Rasul yang
membawanya dan sekaligus menetapkan bahwa sesuatu yang dibawa oleh mereka hanya
sekedar menyampaikan risalah Allah SWT, mengkhabarkan dan menyerukan.
Unsur-unsur mukjizat :
1. Hal atau peristiwa yang luar biasa
2. Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku Nabi.
3. Mendukung tantangan terhadap mereka yang meragukan kenabian.
4. Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani.
b. Macam-macam Mukjizat
Secara garis besar, mukjizat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang
bersifat material indrawi yang tidak kekal dan mukjizat immaterial, logis, dan dapat
dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat nabi-nabi terdahulu merupakan jenis pertama. Mukjizat
mereka bersifat material dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan dan
dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat mereka menyampaikan
risalahnya. Perahu Nabi Nuh yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan
dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat. Tidak terbakarnya Nabi Ibrahim
a.s dalam kobaran api yang sangat besar; berubah wujudnya tongkat Nabi Musa a.s. menjadi
ular; penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi Isa a.s. atas izin Allah, dan lain-lain,
kesemuanya bersifat material indrawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat mereka berada,
dan berakhir dengan wafatnya mereka. Ini berbeda dengan mukjizat Nabi Muhammad SAW,
yang sifatnya bukan indrawi atau material, tetapi dapat dipahami akal. Karena sifatnya yang
demikian, ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat Al-Qur’an dapat
dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya di mana dan kapanpun.
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok:
1. Para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu.
Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk
sesudah mereka. Ini berbeda dengan mukjizat Nabi Muhammad yang diutus seluruh umat
manusia sampai akhir zaman sehingga bukti ajarannya harus selalu ada di mana dan
kapanpun berada.
2. Manusia mengalami perkembangan dalam pemikiranya. Umat para Nabi khususnya sebelum
Nabi Muhammad membutuhkan bukti kebenaran yang sesuai dengan tingkat pemikiran
mereka. Bukti tersebut harus demikian jelas dan langsung terjangkau oleh indra mereka.
Akan tetapi, setelah manusia mulai menanjak ke tahap kedewasaan berpikir, bukti yang
bersifat indrawi tidak dibutuhkan lagi.
c. Segi-segi Kemukjizat Al-Qur'an
1. Gaya Bahasa
2. Susunan Kalimat
3. Hukum Illahi yang Sempurna
4. Ketelitian Redaksinya
5. Berita tentang Hal-hal yang Gaib
6. Isyarat-isyarat Ilmiah
8. TAFSIR, TA’WIL DAN TERJEMAH
a. Pengertian Tafsir, takwil dan Terjemah
“Tafsir” adalah suatu usaha tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk
menyikapi nilai-nilai samawi yang terdapat di dalam Al-Qur’an[15].
“Takwil” adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an
melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari lafazh itu.
“Terjemah” adalah memindahkan bahasa Al-Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa
‘Arab dan mencetak terjemah ini ke beberapa naskah agar dibaca orang yang tidak mengerti
bahasa ‘Arab, sehingga dapat memahami kitab Allah SWt, dengan perantaraan terjemahan.
b. Perbedaan Tafsir, Takwil dan Terjemah
1. Tafsir itu lebih umum dari takwil karena dipakai dalam kitab Allah dan lainnya, sedangkan
takwil itu lebih banyak digunakan dalam kitab Allah.
2. Tafsir pada umumnya digunakan pada lafazh dan mufradat (kosakata), sedangkan takwil pda
umumnya digunakan untuk menunjukan makna dan kalimat.
3. Takwil diartikan juga sebagai memalingkan makna suatu lafazh dari makna yang kuat (ar-
rajih) ke makna yang kurang kuat (al-marjuh), karena disertai dalilyang menunjukan
demikian. Sedangkan tafsir menjelaskan makna suatu ayat berdasarkan makna yang kuat.
4. Para ulama ada juga yang berpendapat bahwa tafsir adalah penjelasan yang berdasarkan
riwayah, dan takwilberdasarkan dirayah[16].
Bentuk penafsiran: Al-Ma’tsur, Al-Ra’y.
Metode penafsiran: Tahlili (analisis), Muqarran (perbandingan), Ijmali (global), Mawdhu’i
(tematik)
Corak penafsiran: Tafsir shufy, Tafsir falsafah, Tafsir fiqhi, Tafsir ‘ilmi, Al-Adabi wa al-
Ijtima’i
9. QIRA’AH WAL QUR’AH
a. Qira’at adalah cara membaca ayat-ayat yang dipilih oleh salah seorang imam ahli qira’atyang
berbeda yang berbeda dengan cara ulama’ lain sertadi dasarkan atas riwayat yang mutawatir
sanadnya yang selaras dengan kaidah-kaidah bahasa arab yang terdapat dalam salah satu
mushaf Utsmani[17].
b. Macam-Macam Qira’at:
a) Di tinjau dari segi membcanya (qori’): Qira’at sab’ah (tujuh), Qira’at asyrah (sepuluh),
Qira’at arba’asyarata (empat belas)
b) Di tinjau dari perawi: Mutawatir, Masyhurah, Ahad, Syadz, Qira’at maudlu’, Qira’at
mudraj
c) Di tinjau dari segi nama jenis: Qira’at, Riwayah, Thariq, Wajah.
c. Syarat Diterimanya Qira’at: Harus sesuai denga kaidah bahasa Arab, Harus sahih,
Bacaannya harus sesuai dengan mushaf Utsnami.
d. Metode Penyampaian Qira’at: Mendengar dari guru, Membaca di depan guru, Melalui ijazah,
Melalui naskah dari guru, Melalui tulisan, Wasiat, Melalui pemberitahuan, Hasil temuan.
e. Manfaat Dari Keberagaman Qira’at: Menunjukkan kemurnian al qur’an, Mempermudah
mempelajari al-qur’an, Menunjukkan keagungan dan kemukjisatan al-qur’an, Dapat
membaca al-qur’an dengan metode qira’ah yang berbeda.
10. KISAH-KISAH DALAM AL-QUR’AN
Yang dimaksud dengan Kisah-kisah dalam al-Qur’an (Qaṣaṣ al-Qur’ān) adalah kisah-
kisah dalam Al-qur’an tentang kejadian di masa lampau yang bersisi pesan-pesan kepada
umat manusia untuk senantiasa bertakwa kepada Allah swt.
Macam-macam kisah dalam Al-qur’an dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu[18]:
a. Dilihat dari segi pelaku, terdiri dari ; 1) kisah para Nabi; 2) kisah-kisah yang berhubungan
dengan kejadian masa lalu dan orang-orang yang tidak disebutkan kenabiannya; 3) kisah-
kisah tentang kejadian pada masa Rasulullah Saw.
b. Dilihat dari panjang pendeknya, terbagi menjadi ; 1) Panjang; 2) Sedang; 3) Pendek.
c. Dilihat dari segi jenisnya, dibagi menjadi ; 1) kisah sejarah (al-Qiṣaṣ al-Tarikhiyyah); 2)
kisah perumpamaan (al-Qiṣaṣ al-Amṡaliyyah); 3) kisah Asatir
Karakteristik kisah-kisah dalam al-Qur’an (Qaṣaṣ al-Qur’ān) yaitu dengan cara
pengulangan kisah di beberapa tempat, ada pula sebuah kisah disebutkan dalam Al-qur’an
dikemukakan dalam bentuk yang berbeda, di suatu tempat ada bagian yang didahulukan dan
di tempat lain diakhirkan. Kadang-kadang pula disajikan secara ringkas dan kadang secara
panjang lebar. Penyajian kisah-kisah dalam Alquran seperti itu mengandung hikmah dan
faedah yang sangat tinggi[19].
Tujuan dan hikmah dari kisah-kisah Al-qur’an adalah supaya umat manusia bisa
mengambil pelajaran berharga dari kisah tersebut dan membuktikan kebenaran Alquran.
11. AMZALUL AL-QUR’AN (PERUMPAMAAN-PERUMPAMAAN DALAM AL-
QUR’AN)
a. Pengertian Amzalul Al-Qur’an
Amsal Al-Qur’an terdiri dari dua kata yakni amsal dan Al-Qur’an. Amsal berasal dari
(masa-yamsilu-amsal) yang berarti sama, serupa, atau perumpamaan. Amsal juga
berarti artinya contoh atau teladan, dan amsal juga bermakna yang berarti kesamaan atau
penyempurnaan[20].
Adapun definisi amsal adalah : menonjolkan sesuatu makna yang abstrak dalam
bentuk indrawi agar menjadi indah dan menarik
Amsal Al-Qur’an suatu perumpamaan dalam arti ungkapan-ungkapan dengan gaya
bahasa yang indah yang diberikan oleh Allah Swt. Melalui Al-Qur’an berupa ungkapan
singkat, jelas dan padat untuk dijadikan sebagai ibarat tauladan yang baik agar supaya dapat
ditingkatkan iman kepada Allah Swt.
Amsal Al-Qur’an akan ditemukan suatu kesan yang amat mendalam bagi
pemanfaatan akal manusia untuk lebih aktif dalam memahami ayat-ayat Allah, yang pada
gilirannya akan melahirkan keseimbangan antar piker dan zikir yang didasari pada
kekaguman terhadap kekuasaan-Nya.
b. Amsal ada tiga macam :
c. Amsal Musarrahah, ialah Amsal yang didalammya dijelaskan dengan lafaz Masal atau
sesuatu yang menunjukkan tasybih,
d. Amsal Kaminah, yaitu Amsal yang didalamnya tidak disebutkan dengan lafaz tamsil
(pemisalan),
e. Amsal Mursalah, yaitu Kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafaz tasybih secara
jelas.
c. Faedah Amsal dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang bisa dijadikan petunjuk mengenai apa
faedah dan kegunaan amsal itu, diantaranya al Hasyr (59) : 21, supaya manusia berpikir, al
Ankabut (29) : 43, orang-orang yang berilmu menggunakan akal untuk menganalisisnya, dan
az Zumar (39) : 27, supaya manusia berzikir. Ada kesamaan yang bisa terlihat dalam ketiga
ayat tersebut, yaitu bahwa amsal itu untuk manusia. Kemudian terlihat pula tiga fungsi jiwa
manusia yang terkait dengan amsal itu, yatafakkar, ya’kil, dan yatadzakkar. Ini menunjukkan
saat tertentu. Manusia berpikir, amsal yang terdapat dalam Al-Qur’an bisa menjadi sasaran
pemikirannya. Di saat lain amsal bisa menjadi sasaran analisis atau bahan untuk analisis. Dan
juga membimbing seseorang berzikir.[14] Sedang dari As Sunnah terdapat riwayat yang
ditakhrij oleh al Baihaki dari Abu Huraerah Rasulullah saw mensabdakan bahwa Al-Qur’an
diturunkan dalam lima rupa: halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amsal, maka
diperintahkan untuk mengamalkan yang halal, meninggalkan yang haram, mengikuti yang
muhkam, mengimani yang mutasyabih dan beri’tibar (mengambil pelajaran) pada amsal[21].
12. IZRAILLIAH
Isra’iliyyat secara terminologis adalah seluruh riwayat yang bersumber dari Yahudi
dan Nasrani dan lainnya yang masuk dalam tafsir dan hadist. Asal-usul mereka sendiri
berasal dari kaum Yahudi dan Nasrani yang masuk islam namun mereka masih membawa
sejarah tentang agama mereka dan memasukkannya ke dalam tafsir dan hadist. Para ulama
pun berpendapat bahwa Isra’iliyyat dibagi menjadi 4 kelompok yaitu[22] :
1. Kelompok yang sengaja memanfaatkan berita Isra’iliyyat dengan menyebutkan sanadnya,
seperti Ibnu Jarir Al-Thobari.
2. Kelompok yang sengaja memperbanyak tetapi tanpa menyertakan sanad-sanadnya, seperti
Al-Baghawi.
3. Kelompok yang menyantumkan kisah-kisah Isra’iliyyat dengan memberikan penilaian-
penilaiannya, seperti Ibnu Katsir.
4. Yang tidak menerima sama sekali kisah Isra’iliyyat, bahkan tidak menganggapnya sebagai
bagian dari tafsiran Al-Qur’an, seperti Muhammad Rasyid Ridlo.
Isra’iliyyat juga terbagi menjadi 3 macam berdasarkan kategorinya yaitu :
1. Kategori kesesuaiannya dengan syari’at, contoh:
Diriwayatkan oleh bukhori dari jabir ra, beliau mengatakan,”seorang wanita yahudi
mengatakan bila digauli dari belakangnya niscaya akan mendapatkan anak yang juling
matanya. “lalu turunlah ayat;
‫نساؤكم حرث لكم فاْتوا حرثكم اني شئتم‬
Artinya: istrimu adalah ladang bagimu,maka datangilah ladangmu sesukamu
2. Kategori benar dan tidaknya, contoh:
Kisah yang benar ( shahih ) seperti apa yang dikemukakan oleh ibnu katsir dalam
tafsirannya dari ibnu jarir tentang sifat-sifat Rasulullah SAW sebagai keterangan dari surat al
ahzab ayat 45-46
‫ و داعيا إلى هللا بإذنه و سراجا منيرا‬,‫ياآيهالنبي إنا أرسلناك شاهدا و مبشرا و نذيرا‬
Artinya: Wahai nabi! Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi,
pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.
3. Kategori temanya, contoh:
Isra’iliyyat yang berhubungan dengan nasehat, hikmah, dan sejarah. Seperti kisah
Raja Thalut, pembuatan kapal Nabi Nuh, kisah anjing ashabul kahfi.

DAFTAR PUSTAKA
Rosihon Anwar, Ulumul Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
El-Masni A.R,. Pengantar Studi Ilmu Al-qur’an, Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Badr, Ad-Din Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an.
Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an, Jakarta: Media Islamic Center, 2012.
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an.
Al-Itqan fi “ulum Al-Qur’an oleh As-Suyuthi, Al-Halabi.
Anwar, Rosihan, Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Departemen Agama. 2002. Surabaya. CV. Ramsa Putra.
Rosihun Anwar, Ulum Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Kadar M. Yusuf, study Al-Qur’an, Amzah, Jakarta: Study Islamic, 2010.
Rosihon, Anwar, Ulum Al-Quran, Semarang: Pustaka Setia, 2010.
Hanafi, Segi-Segi Kesusesteraan pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1984.
Al-Qattan, Manna Khalil. Studi-studi Islam Al-Qur’an. Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 1996.
Didin, Hafiuddin, Isra’iliyyat Dalam Tafsir dan Hadist, Jakarta: Dana Bhakti Primayasa, 1998.

[1] Rosihon Anwar, Ulumul Quran (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 37.
[2] Ibid., hal. 38.
[3] Ibid,. Hal. 41.
[4] El-Masni A.R,. Pengantar Studi Ilmu Al-qur’an, (Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar, 2006), Hal. 54.
[5] Badr, Ad-Din Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an, jilid I, Hal.187.
[6] Ibid,. Hal. 64.
[7] Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an, Cet. II, (Jakarta: Media Islamic Center, 2012), Hal. 22.
[8] Ibid,. Hal. 44.
[9] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an. Penerjemah H.Aunur El-Mazni,Lc.MA.
[10] Ibid,. Hal. 8.
[11] Lihat Al-Itqan fi “ulum Al-Qur’an oleh As-Suyuthi, c et. Ke 3, Al-Halabi,1/8.
[12] Ibid,. Hal. 234
[13] Anwar, Rosihan, Ulumul Qur’an. (Bandung: Pustaka Setia, 2004), Hal. 23.
[14] Departemen Agama. 2002. Surabaya. CV. Ramsa Putra.
[15] Rosihun Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), Hal. 209.
[16] Kadar M. Yusuf, study Al-Qur’an, Amzah, (Jakarta: Study Islamic, 2010), Hal. 133.
[17] Rosihon, Anwar, Ulum Al-Quran, (Semarang: Pustaka Setia, 2010), Hal.140-141.
[18] Hanafi, Segi-Segi Kesusesteraan pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, Cet. II, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1984), Hal. 32.
[19] Ibid., Hal. 43.
[20] Al-Qattan, Manna Khalil. Studi-studi Islam Al-Qur’an. Cet. III; (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 1996) Hal. 61.
[21] Ibid., Hal. 69.
[22] Didin, Hafiuddin, Isra’iliyyat Dalam Tafsir dan Hadist, Cet. I; (Jakarta: Dana Bhakti Primayasa, 1998), Hal. 86.

Anda mungkin juga menyukai