Ulumul Quran terdiri atas dua suku kata bahasa Arab yaitu, Ulum dan al-quran. Kata ulum
merupakan jamak dari ilmu yang berarti ilmu. Sedangkan al-Quran Menurut ulama ushul fiqh, dan
pakar bahasa Arab adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad, yang lafazh-lafazhnya
mengandung mukjizat, membaca mengandung nilai ibadah, diturunkan secara tawatur, dan ditulis pada
mushaf, mulai dari awal surat Al-Fatihah sampai akhir surat An-Nas.[1]
Pengertian Ulumul Quran secara istilah adalah Ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan
yang berkaitan dengan al-Quran dari sisi informasi tentang sebab-sebab turunnya, kodifikasi
pengumpulan dan pembukuannya, sistematika penulisannya, ayat-ayat makkiyahnya dan madaniyahnya,
nasikh-mansukhya, muhkam dan mutasyabihnya serta hal-hal lain yang memiliki kaitan dengan al-Quran.
Ruang Lingkup Ulumul Quran
Aspek-aspek pembahasan Ulumul Quran sangatlah banyak dan selalu berkembang. Terdiri dari
enam pembahasan, yaitu[2] :
1. Nuzulul Quran, mencakup tiga hal pembahasan, yakni : Auqot wa mawatin an-nuzul ( waktu dan tempat
turunnya al-Quran), Asbab an- Nuzul (sebab-sebab turunnya al-quran), dan Tarikh an-Nuzul (sejarah
turunnya al-quran).
2. Sanad (rangkaian para periwayat), mencakup enam hal pembahasan, yakni : Riwayat mutawatir, Riwayat
ahad, Riwayat syadz, Macam-macam qiraat nabi, Para perawi dan penghafal al-quran, Cara-cara
penyebaran riwayat (tahammul).
3. Qiraat ( cara pembacaan al-quran), antara lain : Wakaf (cara berhenti), Ibtida (cara memulai), Imalah,
Madd, Idghom, Meringankan bacaan hamzah, dan lain-lain.
4. Persoalan kata-kata al-Quran. Membahas tentang Ghorib (kata-kata yang asing dalam al-quran), Murob,
Istiaroh, Tasbih (penyerupaan), Murodif (padanan kata-kata al-Quran), Musytarok (kata-kata al-Quran
yang mempunyai makna serupa).
5. Makna-makna al-quran yang berkaitan dengan hukum. Membahas tentang makna umum (am), khash,
makna dhohir, mujmal (makna global), makna yang diperinci (mufashol), manthuq (makna yang
ditunjukkan oleh konteks pembicaraan), mafhum (makna yang dapat dipahami dari konteks pembicaraan,
muhkam (nash yang petunjuknya tidak melahirkan keraguan), mutasyabih (nash yang musykil ditafsirkan
karena terdapat kesamaran di dalamnya, nasikh mansukh, muqaddam, muahhor.
6. Makna-makna al-quran yang berpautan dengan kata-kata al-Quran. Membahas tentang fashl (pemisah),
washl ( bersambung), uraian singkat (ijaz), uraian panjang (itnab), uraian seimbang (musawah), qoshr
(pendek).
Relevansi Ulumul Quran terhadap Tafsir
Persamaan antara Ilmu Tafsir dengan Ulumul Quran terletak pada objek pembahasannya, yaitu
kedua disiplin ilmu tersebut secara bersama-sama berusaha menggali ilmu-ilmu yang terkandung di dalam
al-Quran dari berbagai aspek tertentu. Ilmu Tafsir bertujuan mengungkap atau menjelaskan makna kata-
kata al-Quran yang samar atau rumit, sedangkan Ulumul Quran juga sebuah ilmu yang bermaksud
mengkaji al-Quran dari berbagai aspeknya secara universal. Pada intinya Ulumul Quran dan Ilmu Tafsir
adalah dua disiplin ilmu yang berpadu dalam rangka memahami al-Quran[3].
Sejarah Perkembangan Ulumul Quran
Sejarah perkembangan Ulum al-Quran dimulai dari beberapa fase dan selalu berkembang dari
fase awal menuju fase selanjutnya. Berikut beberapa fase perkembangan Ulum al-Quran:
1) Fase Sebelum Kodifikasi ( Qabl ashr at-Tadwin )
Fase ini terjadi pada masa Rasulullah SAW. dan pada masa Khulafa ar-Rasyidin,
2) Fase Kodifikasi
Hal ini bermula ketika sahabat Ali bin Abi Thalib memerintah Abu al-Aswad ad-Dauli untuk
menulis ilmu nahwu. Perintah sahabat Ali inilah yang membuka gerbang pengkodifikasian ilmu-ilmu
agama dan bahasa Arab. Pengkodifikasian ini semakin marak dan meluas ketika Islam berada pada
pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasyiah pada periode-periode awal pemerintahannya.
Urgensi Latar Belakang Mempelajari Ulumul Quran
Pentingnya kita untuk mempelajari Ulum al-Quran di antaranya adalah:
1. Untuk menafsirkan Al-Quran dan memahaminya dengan sempurna.
2. Untuk menerjemahkan Al-Quran.
3. Supaya kita mempunyai senjata yang ampuh yang dapat kita gunakan untuk membela kesucian Al-Quran
al-Karim.
4. Untuk memahami segala ikhwal yang berkaitan dengan al-Quran, baik pemahaman bacaan maupun
kandungannya.
5. Dapat mengetahui asbabun nuzul dari ayat-ayat Al-Quran.
6. Mengetahui nasikh mansukh yang terdapat dalam Al-Quran.
7. Mengetahui keterkaitan serta keserasian dari ayat-ayat yang ada dalam Al-Quran ( munasabah ).
... ( ayat ini turun mengenai ini dan itu ). Ungkapan seperti ini tidak
secara tegas ( ghairu sharih ) menunjukkan sebab turunnya suatu ayat. Akan tetapi masih dimungkinkan
mengandung pengertian lain.
Manfaat Asbabun Nuzul
Adapun manfaat dari asbabun nuzul di antaranya adalah[7]:
1. Mengetahui hikmah di balik penentuan hukum yang di syariatkan Allah SWT. melalui Al-Quran. Sehingga
iman seseorang akan bertambah dan berupaya untuk merealisasikan hukum-hukum Allah SWT. serta
mengamalkannya.
2. Menolak salah persepsi pembatasan sebuah hukum (al-hasr) dari lafaz yang secara jelas terdapat al-hasr.
3. Menentukan sebuah hukum melalui sebab turunnya ayat menurut pandangan relatif bukan
berpandangan secara umum yang dipakai.
4. Dengan mengetahui asbabun nuzul, dapat diketahui dan di tentukan obyek atau sasaran (nama orang)
dari turunnya suatu ayat sehingga tidak menimbulkan kekeliruan.
5. Memudahkan hafalan dan pemahaman tentang asbabun nuzul dengan beberapa sebab di antaranya
peristiwa-peristiwa, hubungan peristiwa kepada individu serta beberapa hukum agar memudahkan untuk
mengingatnya.
Ragam Asbabun Nuzul[8]
Setiap ayat yang turun ada yang memiliki beragam riwayat berbeda yang menceritakan asbabun
nuzulnya, dan ada pula yang lebih dari satu ayat namun memiliki satu latar belakang sebab turunnya.
4. AYAT-AYAT MAKKIYAH DAN MADANIYAH
Makiyyah ialah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun
tidak turun di Makkah. Sedangkan,
Madaniyyah ialah ayat-ayat yang diturunkan sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun
tidak turun di Madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah disebut Madaniyya walaupun turun
di Makkah atau Arafah[9].
a. Tanda- tanda Makiyyah
1. Setiap surat yang di dalamnya mengandung ayat-ayat sajdah adalah Makiyyah.
2. Setiap surat yang mengandung lafadz Kalla adalah Makiyyah. Lafadz ini hanya terdapat dalam separo
terakhir dari Al-Quran. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surat.
3. Setiap surat yang mengandung lafadz Yaa Ayyuhan-naasu dan tidak mengandung Yaa Ayyuhal-
ladzina Aamanu adalah Makiyyah. Kecuali surat Al-Hajj yang pada akhir suratnya[16] terdapat kalimat
Yaa Ayyuhal-ladzina Aamanur-kauu wasjuduu . namun demikian, sebagian besarr Ulama berpendapat
bahwa ayat tersebut adalah ayat Makiyyah.
4. Setiap surat yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah Makiyyah. Kecuali surat Al-
Baqarah.
5. Setiap surat yang mengandung kisan nabi Adam dan Iblis adalah Makiyyah. Kecuali surat Al-Baqarah.
6. Setiap surat yang dibuka dengan huruf-huruf muqathaah atau hijaI, seperti Alif Lam Mim, Alif Lam
Ra, Ha Mim dan lainnya, adalah Makiyyah. Kecuali surat Al-Baqarah dan Al-Imran. Adpun surat Ar-Radul
masih diperselisihkan.
b. Tanda-tanda Madaniyyah
1. Setiap surat yang berisi hukum pidana, hukum warisan, hak-hak perdata dan peraturan-peraturan yang
berhubungan dengan perdata serta kemasyarakatan dan kenegaraan, termasuk Madaniyyah.
2. Setiap surat yang mengandung izin untuk berjihad, urusan-urusan perang, hukum-hukumnya,
perdamaian dan perjanjian, termasuk Madaniyyah.
3. Setiap surat yang menjelaskan hal ihwal orang-orang munafik termasuk Madaniyyah, kecual surat Al-
Ankabut yang di nuzulkan di Makkah. Hanya sebelas ayat pertama dari surat tersebut yang termasuk
Madaniyyah dan ayat-ayat tersebut menjelaskan perihal orang-orang munafik[10].
4. Menjelaskan hukum-hukum amaliyyah dalam masalah ibadah dan muamalah, seperti shalat, zakat,
puasa, haji, qisas, talak, jual beli, riba, dan lain-lain.
5. Sebagian surat-suratnya panjang-panjang, sebagian ayat-ayatnya panjang-panjang dan gaya bahasanya
cukup jelas dalam menerangkan hukum-hukum agama.
c. Cara-cara menentukan Makki dan Madani
Untuk mengetahui dan menentukan Makiyyah dan Madaniyyah, para Ulama bersandar pada dua
cara utama :
1. SimaI naqli (pendengaran seperti apa adanya) dan
2. Qiyasi ijtihadi (bersifat ijtihad).
5. MUNASABAH AL-QURAN
Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antara ayat atau antara surat, baik korelasi itu
bersifat umum atau khusus, rasional ('aqli), persepsi (hassiyl), atau imajinatif (khayali), atau korelasi
berupa sebab-akibat,'illat dan ma'lul, perbandingan, dan perlawanan.
Macam-macam munasabah yaitu munasabah antar surat dengan surat sebelumnya, munasabah
antar nama surat dan tujuan turunnya, munasabah antar bagian suatu ayat, munasabah antar ayat yang
terletak berdampingan, munasabah antar suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat di sampingnya,
munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat, munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang
sama, munasabah antar penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya.
Urgensi mempelajari munasabah Al-Quran yaitu dapat mengembangkan sementara anggapan
orang yang menganggap bahwa tema-tema Al-Quran kehilangan relevansi antara satu bagian dengan
bagian yang lainnya, mengetahui persambungan atau hubungan antara bagian al-Quran, baik antara
kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya.
6. PENGUMPULAN AL-QURAN (JAMU AL-QURAN)
Pengertian Pengumpulan Al-Quran
Dalam penulisan Al-Quran kita mengenal istilah Jamu Al-Quran (pengumpulan Al-quran) yang
mempunyai dua pengertian yaitu, al-hifdzu ( menghafal ) dan al-kitabah ( menulis ) yakni menulis al-
Quran pada benda-benda yang dapat ditulis[11].
Kata pengumpulan dalam arti penghafalannya adalah proses ketika Allah SWT. Menyemayamkan
wahyu yang diturunkan ke dalam lubuk hati Nabi Muhammad SAW. secara mantap, menghafal dan
menghayatinya, sehingga beliau dapat menguasai Al-Quran sebagaimana yang dimaksud Allah SWT.
kemudian beliau membacakannya kepada sejumlah sahabatnya, agar mereka dapat pula menghafal dan
memantapkannya di dalam lubuk hati mereka[12]. Allah SWT. berfirman dalam surat al-Jumuah ayat 2 :
Artinya : Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka,
yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab
dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesattan yang
nyata,.
Sedangkan pengumpulan Al-Quran yang berarti al-kitabah ( menulis ) yakni perhimpunan
seluruh Al-Quran dalam bentuk tulisan, yang memisahkan masing-masing ayat dan surah, atau hanya
mengatur susunan ayat-ayat Al-Quran saja dan mengatur susunan semua ayat dan surah di dalam
beberapa shahifah yang kemudian disatukan sehingga menjadi suatu koleksi yang merangkum semua
surah yang sebelumnya telah disusun satu demi satu. Penulisan sudah ada pada zaman Rasulullah SAW.
yaitu dalam bentuk lembaran-lembaran yang terpisah atau dalam bentuk ukiran pada beberapa jenis
benda yang dapat dijadikan sebagai alat tulis-menulis yaitu usub (pelepah kurma), likhaf (batu halus
berwarna putih), riqa (kulit), aktaf (tulang unta) dan aktab (bantalan kayu yang biasa dipasang di
punggung unta).
Pengumpulan Al-Quran Pada Masa Rasulullah SAW.
Seluruh al-Quran telah ditulis pada zaman Rasulullah SAW. masih hidup, hanya belum terhimpun
di dalam satu tempat. Terdapat beberapa sahabat yang ditunjuk Rasulullah untuk menuliskan Al Qur'an
yakni Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Kaab dan Tsabit bin qais dan
sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang
digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu,
pelana,potongan tulang belulang binatang dan banyak sahabat-sahabat yang langsung menghafalkan
ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
Pada Masa Pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran ( perang dalam memberantas
Nabi Palsu Musailamah alkadzab ) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam
jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut
lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar
di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksanaan
tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf,
hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya
kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf
dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
Pada Masa Pemerintahan Utsman Bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara
pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang
berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil
kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis
dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara
penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standardisasi ini, seluruh
mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar).
Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam
pada masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.
Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih: Suwaid
bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang
telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata,
'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka
mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami
berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf,
sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, Pendapatmu sangat baik'."
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini
menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah
selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada
padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin
Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar
menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish
tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka.
Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu
ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).
7. KEMUKJIZATAN AL-QURAN
a. Pengertian Mukjizat
Menurut bahasa kata Mujizat berasal dari kata ijaz diambil dari kata kerja ajaza-ijaza yang
berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mujiz. Bila
kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, ia
dinamai mujizat.
Menurut istilah Mukjizat adalah peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku
Nabi, sebagai bukti kenabiannya. Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai suatu
yang luar biasa yang diperlihatkan Allah SWT. Melalui para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas
kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya[13].
Kata Ijaz dalam bahasa Arab berarti menganggap lemah kepada orang lain. Sebagimana Allah
berfirman[14] :
) 31 :(
Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat
saudaraku ini (QS. Al Maidah (5): 31)
Maksud kumukjizatan Al-Quran bukan semata mata untuk melemahkan manusia atau
menyadarkan mereka atas kelemahanya untuk mendatangkan semisal Al-Quran akan tetapi tujuan yang
sebenarnya adalah untuk menjelaskan kebenaran Al-Quran dan Rasul yang membawanya dan sekaligus
menetapkan bahwa sesuatu yang dibawa oleh mereka hanya sekedar menyampaikan risalah Allah SWT,
mengkhabarkan dan menyerukan.
Unsur-unsur mukjizat :
1. Hal atau peristiwa yang luar biasa
2. Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku Nabi.
3. Mendukung tantangan terhadap mereka yang meragukan kenabian.
4. Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani.
b. Macam-macam Mukjizat
Secara garis besar, mukjizat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat material
indrawi yang tidak kekal dan mukjizat immaterial, logis, dan dapat dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat
nabi-nabi terdahulu merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi dalam arti
keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan dan dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat
mereka menyampaikan risalahnya.Perahu Nabi Nuh yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu
bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat. Tidak terbakarnya Nabi Ibrahim a.s
dalam kobaran api yang sangat besar; berubah wujudnya tongkat Nabi Musa a.s. menjadi ular;
penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi Isa a.s. atas izin Allah, dan lain-lain, kesemuanya bersifat material
indrawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat mereka berada, dan berakhir dengan wafatnya mereka. Ini
berbeda dengan mukjizat Nabi Muhammad SAW, yang sifatnya bukan indrawi atau material, tetapi dapat
dipahami akal. Karena sifatnya yang demikian, ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau masa tertentu.
Mukjizat Al-Quran dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya di mana dan kapanpun.
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok:
1. Para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu,
mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini
berbeda dengan mukjizat Nabi Muhammad yang diutus seluruh umat manusia sampai akhir zaman
sehingga bukti ajarannya harus selalu ada di mana dan kapanpun berada.
2. Manusia mengalami perkembangan dalam pemikiranya. Umat para Nabi khususnya sebelum Nabi
Muhammad membutuhkan bukti kebenaran yang sesuai dengan tingkat pemikiran mereka. Bukti tersebut
harus demikian jelas dan langsung terjangkau oleh indra mereka. Akan tetapi, setelah manusia mulai
menanjak ke tahap kedewasaan berpikir, bukti yang bersifat indrawi tidak dibutuhkan lagi.
c. Segi-segi Kemukjizat Al-Qur'an
1. Gaya Bahasa
2. Susunan Kalimat
3. Hukum Illahi yang Sempurna
4. Ketelitian Redaksinya
5. Berita tentang Hal-hal yang Gaib
6. Isyarat-isyarat Ilmiah
Artinya: istrimu adalah ladang bagimu,maka datangilah ladangmu sesukamu
2. Kategori benar dan tidaknya, contoh:
Kisah yang benar ( shahih ) seperti apa yang dikemukakan oleh ibnu katsir dalam tafsirannya dari
ibnu jarir tentang sifat-sifat Rasulullah SAW sebagai keterangan dari surat al ahzab ayat 45-46
,
Artinya: Wahai nabi! Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar
gembira dan pemberi peringatan.
3. Kategori temanya, contoh:
Israiliyyat yang berhubungan dengan nasehat, hikmah, dan sejarah. Seperti kisah Raja Thalut,
pembuatan kapal Nabi Nuh, kisah anjing ashabul kahfi.
DAFTAR PUSTAKA
Rosihon Anwar, Ulumul Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
El-Masni A.R,. Pengantar Studi Ilmu Al-quran, Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Badr, Ad-Din Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Quran.
Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Quran, Jakarta: Media Islamic Center, 2012.
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Quran.
Al-Itqan fi ulum Al-Quran oleh As-Suyuthi, Al-Halabi.
Anwar, Rosihan, Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Departemen Agama. 2002. Surabaya. CV. Ramsa Putra.
Rosihun Anwar, Ulum Al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Kadar M. Yusuf, study Al-Quran, Amzah, Jakarta: Study Islamic, 2010.
Rosihon, Anwar, Ulum Al-Quran, Semarang: Pustaka Setia, 2010.
Hanafi, Segi-Segi Kesusesteraan pada Kisah-Kisah Al-Quran, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1984.
Al-Qattan, Manna Khalil. Studi-studi Islam Al-Quran. Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 1996.
Didin, Hafiuddin, Israiliyyat Dalam Tafsir dan Hadist, Jakarta: Dana Bhakti Primayasa, 1998.
[1] Rosihon Anwar, Ulumul Quran(Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 37.
[4] El-Masni A.R,. Pengantar Studi Ilmu Al-quran, (Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar, 2006), Hal.
54.
[5] Badr, Ad-Din Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Quran, jilid I, Hal.187.
[6] Ibid,. Hal. 64.
[7] Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Quran, Cet. II, (Jakarta: Media Islamic Center, 2012), Hal. 22.
[13] Anwar, Rosihan, Ulumul Quran. (Bandung: Pustaka Setia, 2004), Hal. 23.
[15] Rosihun Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), Hal. 209.
[16] Kadar M. Yusuf, study Al-Quran, Amzah, (Jakarta: Study Islamic, 2010), Hal. 133.
[17] Rosihon, Anwar, Ulum Al-Quran, (Semarang: Pustaka Setia, 2010), Hal.140-141.
[18] Hanafi, Segi-Segi Kesusesteraan pada Kisah-Kisah Al-Quran, Cet. II, (Jakarta: Pustaka Al-
Husna, 1984), Hal. 32.
[20] Al-Qattan, Manna Khalil. Studi-studi Islam Al-Quran. Cet. III; (Bogor : Pustaka Litera Antar
Nusa, 1996) Hal. 61.
[22] Didin, Hafiuddin, Israiliyyat Dalam Tafsir dan Hadist, Cet. I; (Jakarta:Dana Bhakti Primayasa,
1998), Hal. 86.