Anda di halaman 1dari 16

AL-QURAN DAN ILMU PENGETAHUAN

OLEH:

Masnur Tilawah Hasibuan 1920100073

Sangkot Rumadani Lubis 2020100207

Puspita Sari 2020100010

DOSEN PENGAMPUH

Dr. Anhar,S,Ag,M.A

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM


NEGERI PADANGSIDIMPUAN T.A 2022

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat, Inayah, taufik dan
hinayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya
yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca dalam memahami akhir periode dakwah Rasulullah di kota Mekkah.

Penulis mengakui masih banyak kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu diharapkan kepada
pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah
ini.

Padang Sidimpuan, 27 Maret 2022

Penulis

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR .................................................................................................. 2 DAFTAR
ISI ................................................................................................................. 3
PENDAHULUAN ......................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 4
PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 5
A. Pradigma Keilmuan Arab Pra Islam......................................................................... 5
B. Prespektif Al Qu’an Tentang Ilmu ........................................................................... 6
C. Prespektif Epistimologo Tentang Imu………………………………........................10
PENUTUP ..................................................................................................................... 14
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan sebuah agama yang dapat dikategorikan sebagai agama terbesar dan terbanyak
dianut oleh masyarakat global sekarang ini. Al-Qur’an yang merupakan sebuah kitab suci agama Islam
yang langsung diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW menjadi bahan acuan dan juga
pengantar hidup kaum muslim di dunia. Tetapi tanpa kita sadari bahwa pada ayat-ayat yang terkandung di
dalam Al-Qur’an terdapat ilmu-ilmu duniawi.

Selain dapat difungsikan sebagai pedoman hidup kaum muslim, Al-Qur’an juga banyak mengandung
ayat-ayat yang mengharuskan kita sebagai kaum muslim untuk menuntut ilmu pengetahuan semasa
hidupnya karena Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Kita
sebagai umat muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu agar derajatnya dinaikkan oleh Allah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu paradigma keilmuan arab pra islam ?
2. Apa itu ayat qouniyah wa al-Insaniyah wa al-Kauniyah?
3. Apa’ulum ad diniyah wa al-Insaniyah wa al-Kauniyah?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Paradigma Keilmuan Arab Pra_Islam


Bangsa Arab pra-Islam biasanya disebut Arab jahilyah. Bangsa yang belum berperadaban,
bodoh dan tidak mengenal aksara. Namun, bukan berarti tidak seorang pun dari penduduk
masyarakat Arab yang tidak mampu membaca dan menulis, karena beberapa orang sahabat Nabi
diketahui sudah mampu membaca dan menulis sebelum mereka masuk Islam. Ibnu Saad
mengatakan, “Bangsa Arab jahiliyah dan permulaan Islam menilai bahwa orang yang sempurna
adalah yang dapat menulis, berenang, dan melempar panah”. Bahkan Ibnu Habib al-Baghdadi
sempat menulis nama-nama bangsawan pada masa jahiliyah dan permulaan Islam. Hanya saja baca
tulis ketika itu belum menjadi tradisi, tidak dinilai penting, tidak pula menjadi tolak ukur
kepintaran dan kecendikiaan seseorang.1
Secara asal-muasalnya masyarakat keturunan Arab terbagi menjadi dua golongan besar.
Pertama, berasal dari keturunan Qathan yaitu golongan Qathaniyun yang berada bewilayah di
bagian Selatan. Kedua, dari keturunan Ismail bin Ibrahim yaitu golongan Adnaniyun yang berada
di wilayah bagian Utara. Tetapi, dalam perjalanannya, kedua golongan ini saling berbaur akibat
dari perpindahan penduduk Jauh sebelum kedatangan Islam, jazirah Arab bagian Utara telah
ditemukan tradisi baca tulis. Tradisi tulis menulis di jazirah Arab terus berlanjut sampai datangnya
Islam. Berdasarkan kabar dari sebagian sejarawan bahwa pada saat datangnya Islam di Mekah
hanya terdapat tujuh belas orang yang dapat menulis. Namun kabar itu menurut Azami belum
lengkap mengingat Mekah merupakan kota kosmopolitan, pasar barter, dan persimpangan jalan
yang dilalui para kafilah. Lagi pula, data yang dikemukakan ternyata belum memasukkan sejumlah
nama yang juga dikenal memiliki kemampuan tulis menulis. Meskipun sumbernya benar. Shubhiy

1 . Abdul Aziz, Fuad. 2013. Begini Seharusnya Menjadi Guru. Saudi Arabia. Darul Haqq

4
al- Shalih berpendapat bahwa kabar ini pasti bukan berdasarkan hasil penelitian yang
komprehensif, melainkan hanya perkiraan yangmasih samar-samar. 2
Apalagi jika mau menengok kembali sejarah peradaban dan sastra Arab pra Islam, maka
dapat diperkirakan bahwa jumlah orang Arab yang melek huruf, tentu lebih banyak lagi. Bangsa
Arab, terutama Arab bagian Utara, dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi
dalam menggubah sebuah syair. Syair-syair itu diperlombakan kemudian yang unggul ditulis dan
digantungkan di dinding Ka’bah. Melalui tradisi sastra tersebut, diketahui bahwa
peristiwaperistiwa besar dan penting secara faktual ikut memberi pengaruh serta mengarahkan
perjalanan sejarah mereka. Nilai-3 nilai yang terkandung dalam peristiwa-peristiwa penting itu,
mereka abadikan dengan berbagai cara, seperti kisah, dongeng, nasab, nyanyian dan syair. Orang

Arab pra-Islam dan awal kebangkitan Islam, tidak atau belum menulis sejarah. Peristiwa-peristiwa
sejarah disimpan dalam ingatan mereka. Bukan hanya karena mereka buta aksara, tetapi juga
karena mereka beranggapan bahwa kemampuan mereka lebih terhormat. Semua peristiwa sejarah
itu diingat dan diceritakan berulagulang secara turun-temurun. Demikian pula dengan hadishadis
Nabi.
Dalam tradisi keilmuwan Islam, ilmu sejarah dianggap sebagai ilmu- ilmu keagamaan
karena pada awalnya terkait erat dengan ilmu hadis. Seperti pada masa pra Islam dan awal Islam
Bangsa Arab tidak mencatat sejarah mereka. Mereka menyimpan catatan itu dalam bentuk hafalan,
hal ini dikarenakan mereka tidak mengenal tulisan, tapi tradisi lisan lebih dihargai dan diutamakan
ketimbang tradisi tulisan. Karena itu sejarah awal Bangsa Arab hanya berupa ungkapan mengenai
berbagai peristiwa dan perperangan yang disimpan dalam bentuk hafalan dan ditransfer ke pihak
lain melalui tradisi lisan. Jika dilihat pada konteks lain, sosialpolitik pra-Islam sangat rendah dan
tidak berkembang. Apalagi dalam konteks ini, masyarakat Arab pra-Islam telah terbentuk kabilah.
Kemudian dari beberapa kabilah terbentuknya suku. Jadi, sebetulnya pada masa Arab pra-Islam
sudah terbentuk identitas masyarakat Arab itu sendiri. Namun, karena penekanannya pada
hubungan kesukuan yang kuat, kesetian terhadap suku harus dijaga dan solidaritas yang tinggi,
maka sering terjadi kekacauan dan peperangan diantara suku-suku yang ada.4
Masyarakat Arab pra-Islam merupakan kancah peperangan terus menerus. Sehingga
kebudayaan mereka tidak berkembang. Itulah salah-satu penyebab bahanbahan sejarah Arab
praIslam sangat langkah untuk ditemukan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Pengetahuan
tentang Arab pra-Islam diperoleh melalui syairsyair yang beredar di kalangan para perawi syair.
Contohnya, pada masa pra-Islam selalu diadakan perlombaan syair di pasar Ukaz, kemudian
syairsyair yang dinyatakan menang langsung digantung di dinding Ka’bah oleh panitianya.

2 Triwiyanto, Teguh. 2012. Pengantar Pendidikan. Jakarta. Bumi Aksara

3 Ammar, Abu. 2013. Menjadi Ahli Tauhid. Jakarta. Granada Mediatama

4 Sanjaya, Wina, Prof. 2014. Strategi Pembelajaran. Yogyakarta. Kencana Prenada Media Group

5
Walaupun syair-syair yang melalui tradisi lisan, tetapi tetap menekankan pada unsur fakta.
Terlepas dari kondisi lingkungannya, sedapat-dapatnya tidak mengalami perubahan dalam proses
berfikir manusia. Jadi, masyarakat Arab pra-Islam memiliki tradisi atau kebiasaan tersendiri untuk
mengukir semua sejarah yang ada pada zamannya. Mereka tidak menggunakan tulisan untuk
mengabadikan sejarah, melainkan dengan tradisi lisan yang mereka anggap lebih dihargai dan
horma5ti.

B. Perspektif Ontologis Al Qur’an Tentang Objek Ilmu


1. Ayat qauliyah
Ayat-ayat Qauliyyât Kedudukan Alquran sebagai ayat-ayat qauliyyah (words of God)
menempati posisi yang sangat strategis, bahkan sering kali diposisikan lebih tinggi
dibandingkan sumber epistemologi lain yang lazim dipergunakan semisal alam raya yang
dikenal dengan ayat-ayat kauniyyah (worlds of God) ataupun ayat-ayat insâniyyah. Bahkan,

tingkat kesahihannya dipandang lebih dapat diandalkan, karena ia merupakan firman Tuhan
Sang Maha Pencipta, yang menciptakan alam raya dan diri manusia.
Keberadaannya juga sekaligus menjadi sumber inspirasi dalam memandang sumbersumber
ilmu lainnya, karena dalam Alquran juga dibicarakan mengenai alam raya beserta proses
penciptaannya serta banyak aspek dari kemanusiaan. Terkait dengan dimensi keilmuan
Alquran ini, ada dua pandangan umum yang mengemuka, yaitu: pandangan yang menyatakan
bahwa Alquran merupakan sumber pengetahuan ilmiah dan pandangan yang menyatakan
bahwa Alquran merupakan kitab petunjuk. Pertama, pandangan Alquran sebagai sumber
pengetahuan ilmiah. Pandangan ini merupakan pandangan yang umum diyakini oleh mayoritas
umat Islam.
Pandangan yang menganggap Alquran sebagai sebuah sumber segala pengetahuan
sejatinya bukanlah sesuatu yang khusus atau baru marak belakangan sebagaimana bisa
disaksikan pada banyak karya intelektual muslim masa kini. Sebelum itu para ilmuwan
terdahulu juga banyak yang memiliki pandangan yang serupa. Kedua, pandangan bahwa
Alquran adalah kitab petunjuk. Pandangan ini merupakan reaksi atas pandangan pertama yang
menyatakan bahwa Alquran memiliki dimensi keilmuan yang komprehensif. Al-Syathibi
menolak argumentasi al-Ghazali, dan berpendapat bahwa para sahabat tentu lebih mengetahui
Alquran dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun dari mereka yang
menyatakan bahwa Alquran mencakup seluruh cabang ilmu. Sementara itu, M. Quraish Shihab
berpendapat bahwa hubungan antara Alquran dan ilmu bukan dengan melihat adakah teori
relativitas atau bahasan tentang angkasa luar atau ilmu komputer yang tercantum dalam
Alquran, tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayatayatnya menghalangi
kemajuan ilmu atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Alquran yang bertentangan dengan hasil
penemuan ilmiah yang telah mapan.

5 Mubarakfury, 2018 terbitan baru, Sirah Nabawiyah. Jakarta ,Cordova

6
Dengan kata lain, meletakkannya pada sisi psikologi sosial, bukan pada sisi sejarah
perkembangan ilmu. Lebih lanjut M. Quraish Shihab kemudian menyimpulkan mengenai
hubungan Alquran dan ilmu dengan beberapa pernyataan, yakni: (1) Alquran adalah kitab
hidayah yang memberikan petunjuk kepada manusia seluruhnya dalam persoalan-persoalan
akidah, tasyri’, dan akhlak demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat; (2) Tiada
pertentangan antara Alquran dengan ilmu; (3) Memahami hubungan Alquran dengan ilmu
bukan dengan melihat adakah teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru tersimpul di
dalamnya, tetapi dengan melihat adakah Alquran atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi
kemajuan ilmu atau mendorong lebih maju; (4) Membenarkan atau menyalahkan teori-teori
ilmiah berdasarkan Alquran bertentangan dengan tujuan pokok atau sifat Alquran dan
bertentangan pula dengan ciri khas ilmu; (5) Sebab-sebab meluasnya penafsiran ilmiah
(pembenaran teori-teori ilmiah berdasarkan Alquran) adalah akibat perasaan rendah diri dari
masyarakat Islam dan akibat pertentangan antara golongan Gereja (agama) dengan ilmuwan
yang diragukan akan terjadi pula dalam lingkungan Islam, sehingga cendekiawan Islam
berusaha menampakkan hubungan antara Alquran dengan ilmu; dan (6) Memahami ayat-ayat
Alquran sesuai dengan penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama paham
tersebut tidak dipercayai sebagai akidah Qur’âniyyah dan tidak bertentangan dengan
prinsipprinsip atau ketentuan bahasa.
2. Ayat Nafsiyah/Insaniah
Manusia merupakan bagian dari alam, namun mengingat kompleksitas fungsi atau tugas
yang harus dilaksanakannya serta keberadaannya yang menjadi subjek istimewa sekaligus juga
objek kajian yang menarik dan melahirkan berbagai ragam keilmuan, membuatnya
ditempatkan pada posisi tersendiri sebagai bagian dari sumber ilmu.
Sebagai sumber ilmu, manusia dapat dikelompokkan kepada beberapa bagian. Pertama,
berkaitan dengan tabiat atau internal dirinya, yang menjadi lahan kajian psikologi dan filsafat.
Kedua, berkenaan dengan perbuatan manusia dalam kurun rentang perjalanan waktu yang
kemudian menjadi lahan garapan sejarah. Ketiga, berhubungan dengan interaksi manusia
dengan yang lainnya, baik dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitar, yang menjadi
perhatian bidang antropologi, sosiologi dan arkeologi, politik, hukum, dan lain sebagainya.
Keberadaan manusia secara ontologi menempati kedudukan dan posisi yang sangat strategis
dalam kajian keislaman tradisional. Manusia dalam tradisi sufi sering dinyatakan dengan tiga
sebutan: (1) sebagai tujuan akhir dari penciptaan; (2) sebagai miniatur dari alam semesta
(mikrokosmos); dan (3) sebagai cermin atau bayangan Tuhan. Manusia sebagai tujuan akhir
dari penciptaan ini secara implisit dinyatakan dalam berbagai ayat Alquran yang menjelaskan
bahwa alam dan semua yang terdapat di dalamnya diperuntukkan bagi manusia. Ibnu ‘Arabi
ketika mengomentari suatu hadis qudsi yang berbunyi: “Kalau bukan karenamu, tidak akan
Kuciptakan alam semesta ini”, menyatakan bahwa meski hadis ini ditujukan kepada Nabi
Muhammad saw., namun ia juga dapat diterapkan pada manusia secara umum. Nabi
Muhammad saw. dalam hal ini merupakan simbol dari kesempurnaan pencapaian yang
berhasil diraih oleh seorang anak manusia.
7
Bagi Ibnu Arabi, insan kamil adalah bentuk yang paling sempurna di antara ciptaan-Nya.
Insan kamil merupakan miniatur alam (mikrokosmos) yang dapat mengenali diri dan
Tuhannya. Karena alasan inilah maka manusia ditunjuk sebagai khalifah di muka bumi. Jadi,
kemunculan insan kamil adalah esensi kecemerlangan dari cermin alam, yang merupakan
tajallî (penampakkan diri) Tuhan sebagai al-Haqq pada manusia yang tinggi citra wujudnya.
Dan sosok Nabi Muhammad saw. adalah prototipe untuk mencapai kualitas paripurna sebagai
manusia atau biasa disebut dengan insan kamil. Hakikat proses perjalanan dari perjuangan dan
dakwah Nabi Muhammad saw. adalah proses pembelajaran dan pendidikan dari Allah swt.
tentang tugas dan tanggung jawab manajerial diri, makhluk, dan alam semesta di hadapanNya.
Tugas dan tanggung jawab sebagai ’Abd Allâh (hamba Allah) secara vertikal serta tugas dan
tanggung jawab diri sebagai khalifatullâh (pengganti Allah) secara horizontal.
Sementara itu, Jalaluddin Rumi membandingkan keberadaan manusia seperti halnya buah
pada pohon. Buah senantiasa muncul di akhir, tetapi ia merupakan tujuan utama sebuah pohon.
Manusia adalah buah alam. Meskipun dia tumbuh belakangan, namun karena buah itulah maka
pohon itu ada. Manusia disebut sebagai mikrokosmos karena padanya melekat berbagai unsur
yang ada pada kosmos. Seperti halnya buah yang padanya terkadang terdapat semua unsur
pohon yang melahirkannya seperti akar batang, cabang, dahan, dan ranting, demikian juga
pada diri manusia terdapat seluruh unsur kosmos seperti mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan,
dan bahkan juga mencakup unsur malaikat dan Tuhan. Manusia sebagai cermin Tuhan sangat
terkait ketika manusia telah dapat memanfaatkan secara maksimal potensi jiwa mereka.
Manusia yang telah membersihkan hatinya sampai pada tingkat kehalusan yang sempurna,
dia dapat memantulkan sifat-sifat Ilahi yang inheren dalam dirinya. Menurut al-Jilli, ketika
seseorang telah mampu memantulkan sifat-sifat Ilahi di dalam dirinya, maka ia berhasil
menghapus sifat keakuannya, dan akan menjadi tempat manifestasi bukan saja sifat-sifat Ilahi,
tetapi juga asma (nama-nama), af’al (perbuatan), dan bahkan dzat (esensi). Posisi manusia
sendiri dalam konteks pengembangan ilmu dapat dilihat dari dua segi. Pada posisi sebagai
objek ilmu, yakni menjadi sumber ilmu atau dapat disebut sebagai ayat-ayat insâniyyah. Ada
banyak aspek yang dapat dilihat dari diri manusia, baik sebagai individu yang mandiri;
interaksi dengan individu lain atau dengan alam sekitar; kehidupan dalam komunitas; maupun
dalam rentang perjalanan waktu (sejarah) serta lain sebagainya.
Dalam konteks keilmuan, kajian yang membahas tentang persoalan kemanusiaannya ini
lazim disebut dengan ilmu sosial humaniora. Ada beragam disiplin ilmu yang membahas
tentang persoalan manusia dengan segala dinamika yang meliputinya seperti sosiologi,
antropologi, psikologi, sejarah, ekonomi dan lain sebagainya. Selanjutnya pada posisi sebagai
subjek, manusia dalam hal ini berposisi sebagai pelaku atau pencari ilmu, yakni subjek yang
melakukan berbagai kajian atau penelitian dalam upaya pembangunan ilmu. Posisi manusia
sebagai sentral menjadikan keberadaannya dinilai lebih dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Pada kondisi ini, yakni ketika manusia memiliki penguasaan terhadap ilmu, maka janji Tuhan
untuk mengangkatnya pada status derajat yang lebih tinggi menjadi suatu keniscayaan. Sebagai
fasilitas dalam kedudukan sebagai ‘pencari’ ilmu, manusia diberikan karunia berupa alat-alat
8
epistemologi yang dapat dipergunakan, yakni indra, akal dan hati. Alat-alat inilah yang
kemudian dimanfaatkan dalam upaya mengggali sumber-sumber ilmu, baik dalam bentuk
ayatayat qauliyyah, kauniyyah, maupun insâniyyah.
3. Kauniyah
Pandangan bahwa kosmos atau alam raya sebagai sebuah sumber ilmu (sumber
epistemologi) sudah hampir menjadi kesepakatan dari mayoritas para ilmuwan. Segenap
aktivitas ilmiah di dunia sekarang ini ditujukan dalam upaya menyingkap berbagai rahasia
yang melekat pada alam semesta ini, yang kemudian melahirkan berbagai teori dan hukum
alam semisal teori tentang gravitasi, hukum berat jenis dan lain sebagainya. Dalam kaitannya
posisi alam sebagai salah satu sumber ilmu ini, Alquran banyak menyebutkan dalam berbagai
ayat, yang memerintahkan kepada manusia untuk mempelajari sistem dan skema penciptaan,
keajaiban-keajaiban alam, sebab-sebab dan akibat-akibat seluruh benda yang ada,
kondisikondisi organisme hidup dan lain sebagainya serta mengambil pelajaran darinya.
Sebagaimana bisa dilihat pada banyak ungkapan ayat Alquran, Allah telah menjadikan
seluruh benda-benda yang ada di alam semesta sebagai tanda-tanda penciptaan-Nya, dan
sistem alam sebagai rekaman perancang dan pemrogram yang Mahatahu. Kajian tentang alam
dan apa-apa yang ada di dalamnya, sebagaimana disitir oleh Mahdi Ghulsyani, merupakan
alatalat atau cara yang sangat penting bagi manusia untuk mengetahui Allah dan mengenal
keagungan penciptaannya. Keniscayaan alam sebagai sumber ilmu juga dapat dilihat dari
banyak ayat dalam Alquran yang menjelaskan bahwa dengan mempelajari berbagai fenomena
alam akan dapat menghasilkan hukum-hukum alam dan berbagai karakteristik benda serta
organisme yang bermanfaat besar dalam upaya perbaikan kondisi hidup manusia. Karenanya,
alam merupakan salah satu sumber ilmu yang penting bagi manusia sehingga berbagai
“rahasia” yang masih kabur bisa tersingkap lebih jelas. Alquran sendiri secara lugas telah
menyatakan bahwa segala apa yang terdapat di langit dan bumi ini diperuntukkan bagi
kepentingan manusia, agar dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, ia harus
dikaji secara mendalam untuk memahami berbagai jejak Ilahi dan melahirkan kesadaran
kebertuhanan bagi manusia. Manusia sendiri telah ditetapkan menjadi khalifah Allah
dipermukaan bumi.
Khalifah ini selain bermakna wakil atau utusan Tuhan, juga sekaligus dapat dimaknai
sebagai penguasa dengan berbagai tanggung jawab yang harus dimiliki. Dalam upaya
mengenal alam semesta dan hakikat benda ada beberapa cara yang lazim dikenalkan dalam
kajian epistemologi Islam, yakni: indra, khususnya pada indra pendengaran dan penglihatan;
akal serta pemikiran, yang dalam ruang lingkup yang terbatas dan sesuai dengan
landasanlandasan serta dasar-dasarnya yang khusus, ia dapat menyingkap hakikat dengan pasti
dan yakin; hati atau intuisi yang berkaitan dengan pengetahuan yang sifatnya pemberian
(knowledge by presence); wahyu, yakni dengan perantara manusia pilihan (nabi dan rasul) dan
memiliki kedudukan yang tinggi dapat menjembatani hubungan manusia dengan alam gaib.
C. Prespektif efisrimologi al qur’an tentang ilmu
1. ‘Ulim ad diniyah
9
Mengenai pengetahuan tentang konsep Ketuhanan (ilahiyah ) ini merupakan segala sesuatu
pengetahuan yang bersumber dari al-quran dan hadits nabawiyah yang merangkup tentang
konsep-konsep pengetahuan tentang Allah. Manusia secara fitrahnya merupakan makhluk
ciptaan Allah yang diberikan karunia berupa akal dan fikiran yang berfungsi sebagai alat untuj
berfikir dan belajar tentang apa saja yang ia tidak mengetahuinya sehingga dengan alat tersebut
ia dapat berfikir dan belajar tentang kekuasaan Allah.6
Fitrah manusia adalah menemukan jati dirinya dengan melakukan ibadah kepada
penciptaNya, dengan fitrah tersebut manusia akan selalu mencari siapa yang menciptakannya,
hal ini sesuai dengan apa yang Nabi Ibrahim alami ketika usianya masih kanak-kanak. Dalam,
alquran disebutkan bahwa Nabi Ibrahim tidak percaya terhadap berhala-berhala yang disembah
dan berhala-berhala itu buatan manusia, oleh karena itu Ibrahim mencari Tuhannya melalui
dimensi alam yang memilki ketarkaitan dengan kauniyah atau alam semesta sebagai dimensi
baginya untuk mencari RabbNya. Allah berfirman dalam surah Al-An’am ayat 76 disebutkan
ketika Ibrahim melihat sebuah bintang lalu ia berkata “ inilah Tuhanku, kemudian setelah

bintang itu tidak muncul baru ia sadar bahwa tuhan itu akan selalu ada, kemudian setelah ia
melihat matahari baru ia kemudian berkata bahwa inilah Tuhanku yang lebih besar, baru
setelah matahari terbenam barulah ia sadar bahwa Tuhan itu tidak terbenam. 7 Inilah yang
disebut fitah manusia yang selalu menemukan dan mencari keeradaan tuhannya, baru
kemudian ia meresapi secara dalam bahwa keberadaan Allah itu sangat dekat ketika manusia
itu menyembah Allah dalam bentuk ibadah, terutama ketika ia berdoa ia rasakan bahwa
keberadaan Allah itu sungguh sangat dekat lebih dekat dari urat nadi. Ketika Ibrahim mulai
menggunakan akal rasionya untuk melihat keberadaan kaumnya yang menganut paganisme
penyembahan berhala ia mulai merasakan kebobrokan kaumnya. Ia kemudian mulai mencoba
memengaruhi pemikiran kaumnya lewat apa yang ia alami ketika ia mencari Tuhannya.
Ibrahim kemudian menyeru kepada kaumnya akan pengetahuan tentang Allah sebagai ilah
yang disembah tiada Ilah yang disembah dan diibadahi dengan benar selain Allah. Ibrahim
kemudian memulai sebuah keberanian dengan mengajak ayahnya Azar yang sebagai pembuat
patung untuk berhenti dari pekerjaannya yang banyak menyesatkan kaumnya. Ibrahim tidak
henti mendakwahi ayahnya yang tersesat dari jalan Allah, Ibrahim juga tidak putus asa
mengingatkan ayahnya yang semakin hari semakin berani menentang dakwahnya dan berani
menentang Allah hingga Allah abadikan kisah ini dalam surah Anbiya ayat 52-53
“ Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya “ Patung-patung
apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya apakah ini yang kamu beribadat kepadanya ?
Mereka menjawab “ Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya “…..

Kemudian Ibrahim mencoba membuka cakrawala berfikir kaumnya dengan tindakan yang
sangat memberanikan bahkan mengancam nyawanya sekalipun. Tindakan ini merupakan cara
6 Andirja, Firanda, 2018, masjid akur umat makmur, penerti Arrisalah
7 . Saifuddin (2011). Arus Tradisi Tadwin Hadits dan Historiografi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 245
10
ampuh Ibrahim menyadarkan kaumnya dengan cara ia hancurkan patung-patung sesembahan
mereka ini dan menyisakan satu patung yang besar dengan mengalungkan kapak dileher patung
tersebut. Inilah analogi berfikir Ibrahim yang sangat cerdas bahkan cukup membuat kaum paganis
itu tercengang dan tanpa sadar mereka sudah menyatakan bahwa patung itu tidak mungkin
melakukannya, barulah Ibrahim menampar mereka dengan kalimat yang cukup membuat mereka
takluk seaakan tidak berdaya. Ibrahim kemudian berkata kepada mereka jika mereka sudah
mengetahui bahwa patung itu tidak dapat melakukan apa-apa lantas mengapa mereka
menyembahnya ?
Pun demikian dengan misi para Nabi dan Rasul yang tujuan pengutusan mereka ini adalah
membawa misi yang sama membumikan Tiada Ilah Selain Allah. Seluruh Nabi mengajak pada
dakwah yang sama, semua Nabi ini mengajarkan konsep Ilahiyah kepada kaumnya termasuk
Rasulullah yang selama periode Makkah 13 tahun lamanya dakwah yang diembannya adalah
dakwah yang bersifat Ilahiyah, Kauniyan dan Insaniyah. Maka konsep tauhid sebenarnya adalah
konsep bagaimana hubungan manusia dengan Allah dalam bentuk ibadah dan hubungan manusia
dengan manusia lainnya dalam bentuk muamalah. Pun dengan konsep Ilahiyah dalam kehidupan

manusia, konsep ini sekaligus memberikan penjelasan dan pemahaman kepada manusia bahwa
keberadaan Allah sebagai pencipta, pemelihara dan pengatur urusan alam semesta tidak lepas dari
asma, dan sifatnya.
Al-quran begitu banyak menjelaskan keberadaan Allah dalam kehidupan alam semesta dimana
Allah lah yang memberikan rezeki kepada makhluknya yang dalam hadits Rasulullah disebutkan
bahwa ada seratus rahmat Allah yang dilimpahkan kepada makhluknya yang 99 lainnya Allah
berikan di akhirat bagi mereka yang beriman kepadaNya. Maka iman kepada Allah adalah iman
kepada konsep Ilahiyah, sebuah konsep yang menyeru kepada manusia untuk menyembah Allah
semata dengan tidak mempersekutukanNya dengan apapun dan sungguh manusia yang tidak mau
beriman kepada Allah sejatinya merupakan manusia yang sudah lari dari fitrahnya dengan
mengabaikan konsep ilahiyah ini.8
Ketika Rasulullah membawa misi untuk menyempurnakan misi para nabi dalam riwayat yang
shahih disebutkan perintah untuk membaca dalam wahyu pertama ini adalah sejatinya meliputi
konsep ilahiyah, kauniyah dan insaniyah. Perintah untuk menyeru kepada kaumnya untuk
membaca, membaca tentang bagaimana Allah menciptakan manusia dengan sesuatu yang ia tidak
ketahui. Ketika manusia dilanda syirik, maka manusia terjerambab kedalam kerendahan yang
paling rendah. Jika kita ambil contoh kehidupan masyarakat jahiliyah modern, kita akan
menemukan seberapa jauh tingkat kejatuhan mereka. Ketika masyarakat paganisme dengan
gambalngnya mencoba untuk menantang Allah disaat yang sama mereka kehilangan martabatnya
seperti contohnya kaum Nabi Hud dan kaum Nabi Nuh yang dengan kesombongan mereka

8 Hitti, Philip K. (2005). History of The Arabs, (R. Cecep L. Yasin dan Dedi S. Riyadi, Penerjemah). Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta. Hal. 211

11
berusaha menantang Allah, lantas Allah turunkan azab kepada mereka sekaligus menghancurkan
peradaban paganisme yang mereka bangun diatas kekufuran dan kesombongan kepada Allah.

2. ‘ulum Kauniyah dan Insaniyah


Sebagaimana halnya pengetahuan tentang ketuhanan, begitu pula dengan pegetahuan
kauniyah. Alquran sebagai sumber pengetahuan tentang alam semesta yang didalamnya
terdapat peranan Allah yang menjadikan alam semesta ini tunduk kepadaNya. Kauniyah atau
alam semesta ini terjadi bukan dengan begitu saja sebaimana anggapan kaum atheis yang tidak
beragam yang mereka meniadakan peranan Allah dalam kehidupan ini. 9
Alam semesta terjadi berkat kekuasaan Allah yang dalam perjalanannya terjadi dalam enam
masa. Menurut para ulama ketika Allah menjadikan alam semesta ini hanya dalam enam masa
yang menurut para ulama enam masa itu setara dengan enam hari menurut perhitungan hari di
akhirat sementara dalam perhitungan di dunia setara dengan enam ribu tahun. Alam semesta ini
bersifat tidak kekal. Dalam firman Allah

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan diri mereka
sendiri ? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi ? Sebenarnya mereka sendiri tidak
yakin dengan apa yang mereka katakan ( Q.s. At-Thur 35-36 )

Ketika alam semesta ini ada dengan sendirinya secara kebetulan, kehidupan dalam alam
semesta terjadi begitu saja, dan manusia muncul di muka bumi secara kebetulan… hal apakah yang
mengaitkan manusia dengan apapun unsur yang ada dalam kehidupan ini ? Maka dengan ini jelas
alquran sudah menyatakan secara gamblang bahwa kehidupan di dunia ini merupakan kekuasaan
Allah.
Adanya alam semesta ini adalah mahakarya dari Allah yang Maha Pencipta, Pencipta alam
semesta dan segala isinya yang tidak ada satupun ia ia ciptakan sia-sia. Alam semesta ini bersujud
kepada Allah dengan cara mereka masing-masing, bahkan dalam alquran sekalipun menyatakan
bahwa hewan-hewa yang ada di darat dan dilautan bertasbih memuji Allah bahkan menurut
peneliti alam kucing sekalipun dalam meongannya itu adalah salah satu tasbihnya memuji Allah.
Lantas bagaimana dengan manusia yang semakin hari semakin jelas penentangannya kepada Allah,
bahkan dengan kurang ajarnya mereka mengatakan alam semesta ini ada tanpa peranan Allah
sebagai yang menciptakan.
Ketika Rasulullah menerima wahyu pertama dengan perintah membaca yang terdapat
didalamnya adalah merupakan bagian dari ayat kauniyah, ayat yang memerintahkan kepada kita
untuk membaca kekuasaan Allah yang diterjemahkan dengan beriman kepada Allah dengan tidak
menyembah kepada selainNya. Selain meyakini alam semesta, kehidupan dan manusia adalah
makhluk yang diciptakan Allah dengan kehendakNya, seorang mukmin memiliki keyakinan
9 Abdullah,Yusri A., G. (2004) Historiografi Islam dari Klasik Hingga Modern. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hal. 66.

12
tentang lainnya. Seorang muslim meyakini bahwa kehidupan dan manusia - kecuali sebagian
manusia yang membangkang adalah makhluk yang beribadah kepada Allah dan
mengagungkanNya.10
Adapun dengan konsep insaniyah dalam alquran adalah bagian dari implikasi konsep ilahiyah
dan kauniyah. Konsep insaniyah dalam al-quran sebagai sumber ilmu pengetahuan adalah konsep
humanity atau konsep kemanusiaan. Adalah misi dakwah Nabi disamping menyeru kepada
penyembahan kepada Allah juga ia membawa misi insaniyah dimana beliau melakukan revolusi
besar, yaitu revolusi akhlak. Akhlak yang dijunjung rasulullah menghapus tradisi keji kaum
paganis Quraisy yang dimana melakukan kejahatan yang biadab, bayi-bayi perempuan yang
dikubur hidup-hidup, riba dan penindasan ekonomi oleh konglomerat Quraisy, ditambah lagi
dengan yang kaya semakin kaya dengan jurang kemiskinan yang menganga lebar. Untuk itu
kiranya benar dalam hadits Rasulullah menyetakan dalam sabdanya bahwa dibalik pengutusan
Rasulullah ini sejatinya adalah untuk memperbaiki akhlak.
Dalam hal ini menjadi catatan penting yang mesti kita perhatikan. Sebagaimana kondisi
umatumat terdahulu, bangsa Arab yang risalah terakhir diturunkan kepada mereka ini menghadapi
tida persoalan kemanusiaan ditambah dengan kesyirikan yang merajalela ditengah komunitas
mereka.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu pengetahuan merupakan seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan
meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Ilmu
memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu
diperoleh dari keterbatasannya. Hati nirani menjadi pengarah hidup dan pengendali tindakan
manusia. Dalam kehidupannya manusia dihadapkan pada beberapa keadaan dan pilihan. Hati
nurani juga mengarahkan manusia pada kebaikan. Apabila manusia mengikuti arahan hati
nuraninya maka ia akan menuju kebenaran yang ada dalam fitrah manusia, yaitu menuju allah swt.
Mengenai pengetahuan ilahiyah merupakan pengetahuan yang bersumber dari Al-quran dan
Hadis nabawiyah yang merangkup tentang konsep-konsep pengetahuan tentang Allah swt.
Sebagaimana halnya pengetahuan ketuhanan, begitu pula pengetahuan kauniyah. Al-quran
sebagai sumber pengetahuan tentang alam semesta yang didalamnya terdapat peranan allah yang
menjadikan alam semesta ini tunduk kepadanya. Kauniyah atau alam semesta ini terjadi bukan
dengan begitu saja sebagaimana anggapan kaum atheis yang tidak beragama dimana mereka tidak
menganggap keberadaan allah dalam kehidupan ini.
Adanya alam semesta ini adalah maha karya allah yang maha pencipta. Pencipta alam semsta
dan segala isinya yang tidak ada satupun ia ciptakan dengan sia-sia. Alam semesta bersujud pada

10 Wilael, (2016). Sejarah Islam Klasik. Riau: Fakultas Ushuluddin UIN Syaris Kasim. Hal. 78

13
allah dengan cara mereka masing-asing. Bahkan dalam al-quran sekalipun menyatakan
hewanhewan yang ada didarat dan dilautan bertasbih kepada allah bahkan menurut peneliti alam
kucing sekalipun dalam meongannya adalah salah satu tasbihnya dalam memuji allah swt.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz, Fuad. 2013. Begini Seharusnya Menjadi Guru. Saudi Arabia. Darul Haqq

Ammar, Abu. 2013. Menjadi Ahli Tauhid. Jakarta. Granada Mediatama

Abdurrahman, Dudung. (2011). Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ombak.


Asmuni, Yusran. (1996). Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada.
Azami. (1994). Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.

Arus Tradisi Tadwin Hadits dan Historiografi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Triwiyanto, Teguh. 2012. Pengantar Pendidikan. Jakarta. Bumi Aksara

Sanjaya, Wina, Prof. 2014. Strategi Pembelajaran. Yogyakarta. Kencana Prenada Media
Group

Abdullah,Yusri A., G. (2004) Historiografi Islam dari Klasik Hingga Modern. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.

Dafrita,Ivan endles,Ilmu Dan Hakikat Ilmu Pengetahuan Dalam Islam,

Hitti, Philip K. (2005). History of The Arabs, (R. Cecep L. Yasin dan Dedi S. Riyadi,
Penerjemah). Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Kuntowijoyo, (2013). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Nabawi

dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.

Mubarakfury, 2018 terbitan baru, Sirah Nabawiyah. Jakarta ,Cordova.

Su’ud, Abu. (2003). Islamiologi, Sejarah, Ajaran, dan perannya dalam peradaban umat
manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

Sanjaya, Wina, Prof. 2014. Strategi Pembelajaran. Yogyakarta. Kencana Prenada Media
Group

Triwiyanto, Teguh. 2012. Pengantar Pendidikan. Jakarta. Bumi Aksara

Wilael, (2016). Sejarah Islam Klasik Mubarakfury, 2018 terbitan baru, Sirah Nabawi.
15

Anda mungkin juga menyukai