Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“KODIFIKASI HADIST”

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Studi Hadist

Dosen Pengampun

Ummi Lailiyah Maghfiroh M.Pd

Disusun oleh :

1. Anita Surya Wulandari (211210490055)


2. Safiyatil Kamilah (211210490069)

TADRIS MATEMATIKA

FAKULTAS TADRIS UMUM

UNIVERSITAS ISLAM ZAINUL HASAN (UNZAH)

GENGGONG, PROBOLINGGO

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KODIFIKASI
HADIST”

Selama proses pengerjaan makalah ini, penulis mendapat bantuan, motivasi,


dan masukan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan hal itu, penulis ingin
menyampaikan terimakasih kepada:

1. Dr. Abd. Aziz wahab, M. Ag selaku Rektor Universitas Islam Zainul


Hassan Genggong.
2. Ummi Lailiyah Maghfiroh M.Pd selaku Dosen Studi Hadist.
3. Orang tua yang senantiasa memberikan doa dan motivasi dalam
penyelesaian karya tulis ini.
4. Tema-teman yang membantu dalam pembuatan makalah ini
5. Semua yang terlibat dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
terima demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, penulis berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Probolinggo, 25 Desember 2021 Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... i

DAFTAR ISI......................................................................................................... i

BAB I.................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN................................................................................................ 1

A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah......................................................................................... 2
D. Manfaat masalah........................................................................................ 2

BAB II.................................................................................................................. 3

PEMBAHASAN.................................................................................................. 3

A. Pengertian.................................................................................................. 3
B. Tradisi Tulis Menulis................................................................................ 3
C. Periode Hadist Sahabat Nabi..................................................................... 4
D. Periode Hadist Masa Tabi’in..................................................................... 9

BAB III................................................................................................................. 12

PENUTUP............................................................................................................. 12

A. Kasimpulan................................................................................................ 12
B. Saran.......................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib. Yang berupa permusuhan diantara sebagian umat
Islam yang banyak memakan korban jiwa serta harta yang tidak sedikit
yang awalnya hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian
bergeser kepada bidang syariat dan aqidahdengan membuat al-
haditsmaudluyang banyak jumlah dan macamnya hanya untuk
kepentingan politik belaka.
Keadaan semakin memburuk dengan terbunuhnya khalifah Husein
bin Ali bin Abi Tholib di Karbala tahun (61 Hijriyah atau 681 Masehi).
Sahabat kecil yang masih hidup terutama para tabiin mendengar hal
tersebut lantas mengambil sikap tidak mau menerima hadis baru yang
sebelumnya tidak mereka miliki. Mereka meneliti hadis dengan secermat
cermatnya mengenai siapa yang menjadi sumber dan siapa yang
membawakannya, karena mereka tahu benar keadaan para perawi hadits.
Yang kemudian pengetahuan itu diwariskan kepada murid-muridnya yakni
para tabiuttabiin.
Salah salah satu khalifah dari bani Umayyah termasuk angkatan
tabiin yang telah memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan hadis
yakni Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mengutus tabiin terkemuka
untuk menghimpun hadis dari para tabiin terkenal yang memiliki banyak
hadis yakni Muhammad bin muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin
syihabaz-zuhri beliau menggunakan semboyannya yang terkenal yakni
alisnaaduminaddiin, lauLalisnadulaqaalamansyaa-a maasyaa-a (artinya
sanad itu bagian dari agama sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah
siapa saja tentang apa saja.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan kodifikasi hadist ialah
1. Apa itu kodifikasi ?

1
2. Bagaimana Kondisi tulis menulis di jazirah Arab sebelum
peradaban Islam.
3. Bagaimana hadist dalam periode sahabat dan tabi'in
C. Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah yang dipaparkan berikut tujuan penulisan
makalah:
1. Penjelasan kodifikasi hadist, latar belakang, dan prosesnya.
2. Menjelaskan kondisi tulis-menulis di jazirah Arab sebelum
peradaban Islam.
3. Memaparkan perjalanan hadits dalam periode sahabat dan tabiin.
D. Manfaatnya
Adapun manfaat dari pembuatan makalah kodifikasi hadis ini ialah :
1. Bagi penyusun sebagai bahan pembelajaran mengenai pengetahuan
sejarah hadist dan aksara Arab
2. Bagi masyarakat sebagai sumber wawasan mengenai hadist dan
aksara Arab dalam pembelajaran di sekolah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Pengertian kodifikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) adalah himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; hal
penyusunan kitab perundang-undangan; penggolongan hukum dan
undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu dalam buku undang-undang
yang baku; pencatatan norma yang telah dihasilkan oleh pembakuan dalam
bentuk buku tata bahasa, seperti pedoman lafal, pedoman ejaan, pedoman
pembentukan istilah, atau kamus; pemberian nomor atau lambang pada
perkiraan pos, jurnal, faktur, atau dokumen lain yang berfungsi sebagai
alat untuk membedakan pos yang satu dengan lainnya yang termasuk satu
golongan. Sedangkan untuk pengertian kodifikasi hadist adalah
penghimpun catatan – catatan hadist Nabi Muhammad SAW ke dalam
bentuk mushaf. Mushaf disini berupa kumpulan hadist yang dibukukan
yang berasal dari ucapan, perilaku, dan persetujuan Nabi Muhammad
semasa hidupnya. Hadist – hadist tersebut bisa berasal dari para sahabat
nabi yang mendengar nasihat, melihat perilaku, dan persetujuan yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
B. Tradisi Tulis Menulis
Pada masa sebelum adanya islam di Jazirah Arab terdapat dua
golongan. Yang pertama adlah golongan yang merupakan keturunan dari
Qathan yang biasa disebut dengan golongan Qothaniyun yang berada di
bagian selatan wilayah Jazirah Arab. Dan yang kedua adalah golongan
dari keturunan Ismail bin Ibrahim yang biasa disebut dengan golongan
Adhaniyun yang berada di bagian utara wilayah Jazirah Arab. Tetapi
meskipun perbedaan letak wilayah dua golongan tersebut saling
berinteraksi dari perpindahan yang dilakukan oleh penduduk yang
wilayahnya jauh sebelum kedatangan islam. Di Jazirah Arab bagian utara
telah ditemukannya tradisi baca tulis, tradisi tulis menulis ini terus
berlanjut hingga datangnya agama islam. menurut dari beberapa sejarawan

3
pada saat itu terdapat sebanyak tujuh belas orang yang dapat menulis pada
saat keadatangan islam di Makkah. Namun, menurut pendapat lain yaitu
Azami hal tersebut belum lengkap karena pada saat itu Makkah
merupakan kota yang kosmopolitan, pasar banter yang cukup ramai, dan
juga merupakan persimpangan jalan yang dialui olehpara khalifah. Dan
juga data tersebut belum terlalu akurat karena terdapat beberapa sejumlah
nama yang memiliki kemampuan tulis menulis yang belum tercatat.
Shubhiy al – Shalih juga berpendapat bahwa kabar tersebut masih belum
berdasarkan hasil penelitian melainkan hanya perkiraan yang masih
terlihat belum jelas.
Dan bila kita mengulik dari sejarah perradaban dan sastra arab
sebelum adanya islam, perkiraan orang arab yang tidak tau huruf pada saat
itu sangat banyak. Bangsa arab golongan utara dikenal sebagai bangsa
yang memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengubah syair. Syair –
syair tersebut diperlombakan kemudian syair yang paling bagus akan
ditulis dan digantung di dinding Ka’bah. Melalui tradisi tersebut peristiwa
besar dan penting memberikan pengaruh dan mengarahkan perjalanan dari
bangsa mereka. Nilai – nilai dari peristiwa tersebut terangkum dan
terabadikan dalam beberapa cara, mulai dari kisah, dongeng, nasab, syair
dan nyanyian. Orang – orang Arab sebelum masuknya islam mereka tidak
menuliskan sejarah – sejarah tersebut, melainkan mereka menyimpannya
dalam bentuk sebuah ingatan. Semua peristiwa sejarah itu akan dingat dan
diceritakan secara turun menurun. Demikian juga dengan hadist Nabi
Muhammad SAW. Mereka akan mengingatnya dan kemudian akan
menceritakannnya secara turun - termurun.
C. Periode Hadist Sahabat Nabi
Periode hadist dalam masa sebelum adanya islam terdapat, pada
masa ini disebut dengan zaman al Tathabbul Wa al Iqlal min al Riwayah
yang artinya periode pembatasan hadist dan menyedikitkan periwayatan,
sebagaimana yang terlihat dari kebijakan masing – masing para khalifah.
Khalifah besar yang terkenal pada zaman tersebut ada empat yaitu, Abu
Bakar as Shiddiq, Umar bin Khattab, Ustman bi Affan, dan Ali bin abi

4
Thalib. Berikut merupakan beberapa perkembangan hadist di bebergai
khalifah :
1. Masa Abu Bakar as Shiddiq
Dari sebuah kitab yang bernama Tadzkiratul Huffadz fi Tajmati
Abi Bakar al Shiddiqyang merupakan karya dari Muhamad bin Ahmad
al Dzahaby. Disana dijelaskan bahwa Abu Bakar as Shiddiq merupakan
sahabat pertama Nabi Muhammad Saw yang menunjukkan sifat kehati
– hatiannya dalam meriwayatkan sebuah hadist. Pengalaman
pertamanya yaitu ketika seorang nenek yang menghampirinya untuk
meminta hak waris terhadap harta cucunya yang meninggal. Abu Bakar
as Shiddiq tidak menemukan pembahasan tentang hak waris di Al
Qur’an. Namun, dia melihat perilaku Rasulullah yang memberikan
sebagian hartanya kepada nenek. Kemudian Abu Bakar bertanya
kepada sahabat lainnya, yaitu Al Mughirah bin Syubah dan menyatakan
bahwa Rasulullah memberikan seperenam hartanya kepada nenek. Al
Mughirah mengaku bahwa ia hadir ketika Rasulullah menyampaikan
hadist tersebut. Abu Bakar meminta kepada Al Mughirah untuk
mendatangkan seorang sasksi lain saat Rasulullah memberikan
riwayatnya, yaitu Muhammad bin Maslamah. Muhammad bin
Maslamah dijadikan saksi ats kebenaran riwayat tersebut sampai Abu
Bakar menetapkan seperenam untuk seorang nenek berdasarkan hadist
yang disampaikan oleh al Mughirah yang diperkuat dengan Muhammad
bin Maslamah.
Dari kasus tersebut dapat dijelaskan bahwasannya Abu Bakar As
Shiddiq memberikan riwayat dengan syarat adanya seorang saksi untuk
menguatkan atas riwayat yang disampaikan oleh Rasulullah sendiri.
Sehingga Abu Bakar tidak menerima periwayatan hadist tanpa adanya
saksi yang bisa menguatkan kebenaran hadist tersebut. Kasus lain yang
pernah dilakukan oleh Abu Bakar adalah ketika dia membakar lebih
dari lima ratus riwayat. Alasan Abu Bakar sendiri membakar riwayat
tersebut karena dia khawatir membuat kesalahan dalam periwayatan
yang dia lakukan. Abu Bakar juga memperketat periwayatan hadist agar

5
hadist – hadist tersebut tidak disalah gunakan oleh kaum munafik,
untuk menghindari kelalaian dan kesalahan yang diakibatkan karena
banyaknya periwayatan hadist sehingga menimbulkan kebohongan.
2. Masa Umar bin Khattab
Pada masa Umar bin Khattab periwayatan hadist tidaklah banyak
karena perhatiaan umat islam tertuju pada Al Qur’an. Karena pada masa
tersebut umat islam lebih membutuhkan Al Qur’an untuk dipelajari,
dihafalkan, dan diamalkan kendungannya. Sehingga periwayatan hadist
yang mereka lakukan sangat berhati –hati dan membatasi diri sendiri
untuk meriwayatkan suatu hadist.
Dalam suatu riwayat Abu Musa al Asy’ari bermaksud untuk
menemui Umar bin Khattab dirumahnya. Ketika ia mengucapkan salam
sebanyak tiga kali dan tidak ada yang memnjawabnya ia memutuskan
untuk kembali. Kemudian Umar bin Khattab memamnggil Abu Musa al
Asy’ari dan bertanya apa yang telah menghalangi untuk masuk ke
rumahku. Abu Musa al Asy’ari menjawab bahwa ia pernah mendengar
Rasulullah berkata “jika salah satu diantara kalian mengucapkan
salam sebanyak tiga kali dan tidak dijawab, kembalilah”. Kemudian
Umar bin Khattab memintanya untuk mendatangkan seorang saksi
untuk kebenaran riwayat tersebut. Abu Musa al Asy’ari menceritakan
kejadian tersebut yang dialami oleh Said dan sahabat lain, sebab itulah
ia mengutus sahabat lain untuk menjadi saksi yaitu Abu Musa al
Asy’ari.
Dalam riwayat yang lain diceritakan oleh Imam Muslim dalam
kitabnya yang berjudul al Jami’ al Shahih Umar bin Khattab mendengar
suatu riwayat yang disampaikan oleh Fatimah binti Qais bahwa
Rasulullah menceraikan semua istri beliau. Mendengar informasi
tersebut Umar bin Khattab pergi menemui Rasulullah untuk mengetahui
kebenarannya, ternyata penyebab kejadian tersebut adalah Rasulullah
melakukan sumpah zihar untuk tidak mengumpuli istri – istri beliau.
Hal ini merupakan bentuk kritik Sanad yang dilakukan oleh Umar bin
Khattab meskipun berbentuk sederhana.

6
Kebijakan Umar bin Khattab untuk membatasi periwayatan hadist,
tidak berarti ia melarang para sahabat untuk meriwayatkan sebuah
hadist. Larangan tersebut tidak tertuju pada periwayatan hadist namun
mengajarkan masyarakat untuk lebih berhati – hati dalam meriwayatkan
hadist. Dan agar perhatian masyarakat pada Al Qur=an agar tidak
terganggu. Dasar pernyataan ini diperkuat dengan adanya bukti – bukti
sebagai berikut :
a. Umar bin Khattab pernah menyuruh para umat islam untuk
mempelajari hadist nabi dan ahlinya, karena mereka telah banyak
mengetahu tentang kandungan Al Qur’an/
b. Umar bin Khattab yang cukup banyak meriwayatkan hadist.
Ahmad bin Hambal yang telah meriwayatkan sebanyak tiga ratus
hadist dari riwayat Umar bin Khattab. Ibnu Hajar al Asqalani telah
menyebutkan nama – nama sahabat dan tabi’in terkenal yang
menerima riwayat hadist Nabi dari Umar bin Khattab, yang
ternyata jumlahnya cuku banyak.
c. Umar bin Khattab meminta persetujuan dari sahabat lainnya untuk
membukukan hadist – hadist tersebut. Para sahabatnya
menyetujuinya kemudian ia meminta petunjuk dari Allah SWT.
Namun selang satu bulan pembukuan hadist tersebut dibatalkan
karena dia khawatir himpunan hadist tersebut akan memalingkan
umat islam dari Al Qur’an.
3. Masa Ustman bin Affan
Ustman bin Affan juga menerapkan kebijakan yang sama seperti
masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab yaitu menyedikitkan
periwayatan hadist. Dalam khutbahnya Ustman bin Affan meminta
untuk para sahabat agar tidak benyak meriwayatkan hadist yang tidak
pernah mereka dengar disaat masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Ustman sendiri juga tidak banyak meriwayatkan hadist. Ahmad bi
Hambal hanya meriwayatkan sebanyak empat puluh hadist saja, itupun
banyak matan hadist yang terulang adalah hadist tentang wudlu’.

7
Dari pernyataan diatas bahwa Ustman bin Affan bersikap agar
longgar dalam meriyawatkan hadist sehingga banyak periwayatan
hadist yang terjadi. Meskipun ia pernah menyerukan keada umat islam
untuk berhati – hati dalam meriwayatkan sebuah hadist. Akan tetapi
seruan tersebut tidak berpengaruh besar karena pribadi Ustman bin
Affan yang tidak sekeras pribadi Umar bin Khattab. Ustman juga tidak
mengharuskan adanya seorang saksi sabagi syarat penerimaan hadist.
Selain itu semakin meluasnya wilayah islam tidak dapat mengendalikan
periwayatan hadist.
4. Masa Ali bin Abi Thalib
Sikap Ali bin Abi Thalib tidak jauh berbeda dengan sikap para
khalifah terdahulu. Ali bin Abi Thalib siap menerima periwayatan
hadist dengan orang yang melakukan periwayatan untuk bersumpah
bahwa hadist tersebut benar – benar berasal dari Rasulullah. Hanyalah
periwayat yang dipercaya saja yang tidak melakukan sumah , seperti
ketika menerima riwayat hadist dari Abu Bakar as Shiddiq. Dengan
begitu, dapat dinyatakan bahwa fungsi sumpah hadist bukanlah syarat
mutlak keabsahan periwayat hadist.
Ali bin Abi Thalib juga agak banyak meriwayatkan hadist. Hadist
yang diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk
tulisan. Hadist yang berupa tulisan, isinya berkisar tentang hukum
denda, pembebasan orang islam yang ditawan orang kafir, dan larangan
hukum qisas terhadap orang islam yang membunuh orang kafir. Ahmad
bin Hambal pada zaman Ali bin Abi Thalib telah meriwayatkan
sebanyak lebih dari 780 hadist.
Dalam masa akhir khalifah Ali bin Abi Thalib situasi umat islam
sangat berbeda dengan situasi masa khalifat terdahulu. Pada masa ini
terjadi banyak perpecahan yang disebabkan oleh persengketaan antara
umat islam. Persengketaan terjadi diantara pendukung Ali bin Abi
Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Persengketaan tersebut pada
akhirnya melahirkan sekte – sekte baru dalam agam islam yang menjadi
cikal bakal munculnya hadist palsu. (Mu'awanah, 2019)

8
D. Periode Hadist Masa Tabi’in
Tabi’in adalah seorang yang bertemu dengan para sahabat
rasulullah dalam keadaan beriman dan meninggal dalam kedaan beriman.
Wilayah kekuasaan islam yang meluas ini membuat beberapa para sahabat
melakukan hijrah ke wilayah tersebut demi menjalankan sebuah tugas
yang sangat mulia.
Pada masa ini hingga berakhirnya abad pertama, banyak ara tabi’in
yang menolak untuk menuliskan hadist. Diantaranya, Ubaydah bi Amr al
Salmani al Muradi (72 Hijriah), Ibrahim bin Yazid al Taymi (92 Hijriah),
dan Ibrahim binYazid al Nakha (96 Hijriah). Alasan dari penulisan dari
hadist tersebut yaitu :
1. Khawatir pendapatnya ditulis bersisian dengan hadist sehingga
tercampur.
2. Larangan tersebut hanya pribadi, sementara murid – muridnya
diabiarkan untuk mencatat.

Sementara itu metode para Tabi’in untuk menjaga sunnah


Rasulullah adalah sebagi berikut :

1. Menempuh metode yang sudah dilakukan oleh para sahabat.


2. Menerima riwayat dari orang yang kapasitasnya thiqah dan dabit.
3. Meminta sumpah dari periwayatnya saat mencari dukungan dari
perawi lain.
4. Melakukan rihlah untuk mengecek hadith dari pembawa aslinya.

a. Kodifikasi Hadist Secara Resmi


Kodifikasi hadith secara resmi dipelopori Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz (Khalifah kedelapan pada masa Bani Umayyah yang
memerintah tahun 99-101 H.). Dia menginstruksikan kepada para
Gubernur di semua wilayah Islam untuk menghimpun. Dan menulis
hadith-hadith Nabi. Selain itu khalifah juga memerintah Ibn Hazm dan
Ibn Shihab al-Zuhri (50-124 H) untuk menghimpun hadith Nabi
SAW.7 Semboyan al-Zuhri yang terkenal al-Isnadu min al-din, lalu al-

9
isnadu Laqala man Shaa ma Shaa (artinya : Sanad itu bagian dari
agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang
apa saja). Motif ‘Umar bin ‘Abdul Aziz dalam pengkodifikasian hadith
adalah sebagai berikut:
1. Kekhawatiran akan hilang hadith dari perbendaharaan masyarakat,
sebab belum dibukukan.
2. Untuk membersihkan dan memelihara hadith dari hadith-hadith
maudu' (palsu) yang dibuat orang-orang untuk mempertahankan
ideologi golongan dan madhhab.
3. Tidak adanya kekhawatiran lagi akan tercampurnya al-Qur’an dan
hadith, keduanya sudah bisa dibedakan. al-Qur’an telah
dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh umat
Islam.
4. Ada kekhawatiran akan hilangnya hadith karena banyak ‘ulama’
hadith yang gugur dalam medan perang.
b. Kodifikasi Hadith Pada Abad Kedua
Kitab hadith yang ada, masih bercampur aduk antara hadis-hadis
Rasulullah dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in, belum dipisahkan
antara hadith-hadith yang marfu', mauquf dan maqtu’, dan antara
hadith yang sahih, hasan dan da'if.8 Kitab Hadith yang mashhur :
1. al-Muwatta’ - Imam Malik pada 144 H - atas anjuran khalifah al-
Mansur. Jumlah hadith yang terkandung dalam kitab ini kurang
lebih1.720 hadith.
2. Musnad al-Shafi'i - mencantumkan seluruh hadith dala kitab "al-
Umm".
3. Mukhtalif al-Hadith - karya Imam Shafi'i - menjelaskan cara-cara
menerima hadith sebagai hujjah, menjelaskan cara-cara
mengkompromikan hadith-hadith yang kontradiksi satu sama lain.
c. Kodifikasi Hadith Pada Abad Ketiga Pada abad ke-3,
yang berperan adalah generasi setelah tabi’in. Telah diusahakan
untuk memisahkan hadith yang shahih dari al-Hadith yang tidak sahih
sehingga tersusun 3 macam kitab hadith, yaitu :

10
1. Kitab Sahih - (Sahih Bukhai, Sahih Muslim)
2. Kitab Sunan - (Ibnu Majah, Abu Dawud, al-Tirmizi, al-Nasai, Al-
Darimi), berisi hadith sahih dan hadith da'if yang tidak munkar.
3. Kitab Musnad - (Abu Ya'la, al-Humaydi, Ali Madayni, al-Bazar,
Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawayh) - berisi berbagai macam
hadith tanpa penelitian dan penyaringan dan hanya digunakan para
ahli hadith untuk bahan perbandingan. (Dainori, 2020)

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkembangan hadist pada zaman sahabat dilakukan secara berhati
– hati agar tidak terjadi sebuah kebohongan. Pada zaman Ali bin Abi
Thalib banyak periwayat yang melakukan banyak periwayatan hadist
kareana pada saat itu terjadi pelonggaran peraturan. Sedangkan pada
zaman Abu Bakar dan Umar bin Khattab periwayatan hadist dilakukan
secara berhati – hati dengan syarat saat seorang melakukan periwayatan
hadist memiliki seorang saksi yang melihat ketika riwayat yang
disampaikan oleh Rasulullah. Dan periwayatan hadist pada zaman Ustman
bin Affan terjadi banyak perpecahan sehingga menimbulkan munculnya
bebrbagai hadist palsu. Pada masa ini hingga berakhirnya abad pertama,
banyak ara tabi’in yang menolak untuk menuliskan hadist. Diantaranya,
Ubaydah bi Amr al Salmani al Muradi (72 Hijriah), Ibrahim bin Yazid al
Taymi (92 Hijriah), dan Ibrahim binYazid al Nakha (96 Hijriah).
B. Saran
Dalam memepelajari hadist hendaklah melakukan pengecekan
terlebih dahulu apakah hadist tersebut sudah terjamin kebenarannya atau
apakah hadist tersebut palsu. Oleh karena itu saat mempelajari hadist kita
harus berhati – hati seperti yang telah dilakukan oleh para khalifat
terdahulu. Agar kita mejadi pribadi yang selalu menjunjung sebuah arti
kebenaran.

12
DAFTAR PUSTAKA

Dainori. (2020). Kodifikasi Hadist Secara Resmi. Jurnal Keislaman Terateks , 4-


6.

Mu'awanah, A. (2019). Perkembangan Hadist Pada Masa Sahabat. STAI Al Yasini


Pasuruan , 11-22.

13

Anda mungkin juga menyukai