Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH KODIFIKASI HADIS

(SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA)

Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadis

DOSEN PENGAMPU : Muklis, MA

DISUSUN OLEH :

Afrina Almufidah
Fristiwa Ariska
Faisal Muchlis
Sri Rahayu

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

STAI TEBING TINGGI DELI

T.A 2023/2024
KATA PENGANTAR

Penulis mengawali pembuatan makalah ini dengan segala kelapangan


hati dan keikhlasan. ”Alhamdulillah” atas berkat rahmat Allah SWT, Tuhan
semesta alam yang selalu memberikan limpahan karunia kepada hambanya.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Baginda


Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya yang selalu kita nanti-
nantikan syafa‟atnya di Yaumil Akhir. Pemakalah berterima kasih kepada
bapak/ibu dosen yang telah membersamai dan mengamanahkan kami dalam
membuat sebuah makalah yang berjudul “Sejarah Kodifikasi Hadis {Sejarah
Dan Perkembangannya}”. Pemakalah sadar bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna, maka sedari itu pemakalah memohon maaf dan bimbingannya dalam
proses belajar.

Tebing Tinggi, 22 April 2024

Penyusun

Kelompok 4

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1

A. Latar Belakang............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 2
C. Tujuan........................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................... 3

A. Defenisi kodifikasi hadis...............................................................3


B. Sejarah kodifikasi hadis................................................................5
1. Kodifikasi hadis abad II hijriah.............................................5
2. Kodifikasi hadis abad III Hijriah...........................................7
3. Kodifikasi hadis abad IV-VII Hijriah....................................7
4. Kodifikasi hadis abad ketujuh sampai sekarang.................10
C. Faktor-faktor pendorong kodifikasi hadis ................................10

BAB III PENUTUP .............................................................................. 13

A. Kesimpulan .................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 14

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis merupakan salah satu pedeman umat islam dalam menjalankan


agama Islam disamping Al-Qur’an. Maka dari itu, menjaga kemurnian hadis
agar tetap menjadi sumber ajaran Islam yang mampu membawa pada
kemaslahatan menjadi tanggung jawab umat Islam, terutama dari kalangan
intelektual Islam. Salah satu persoalan dalam studi hadis yang senantiasa
menjadi perdebatan adalah masalah kodifikasi hadis. Masalah ini selalu
menjadi perdebatan yang cukup hangat dan menyita banyak energi di
kalangan para sarjana keislaman, khususnya bagi mereka yang menaruh
minat yang sangat tinggi pada bidang kelimuan hadis. Masalah kodifikasi
apabila ditinjau dari sejarahnya cukup memiliki berbagai macam persoalan
didalamnya, mulai dari munculnya kepentingan aliran, wafatnya para
penghafal hadis, hingga banyaknya hadis yang tercampur dengan pendapat
para sahabat serta tabi’in, serta hal yang tak kalah pentingnya dibicarakan
adalah kerangka metodologis kodifikasi (tadwin) hadis itu sendiri. Kajian
seputar metodologis dalam kodifikasi tersebut tentunya akan mengungkap
data penting tentang bagaimana proses historis tadwin hadis dibangun di atas
landasan dan dasar-dasar metodologis yang kokoh. Berbagai macam
persoalan kodifikasi tersebut tentunya perlu diluruskan untuk kepentingan
kemaslahatan berama, khususnya umat islam.

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Sejarah Kodifikasi Hadis Serta Dinamika Yang Ada Didalamnya ?


2. Faktor-Faktor Apa Sajakah Yang Mendorong Dilakukannya Kodifikasi Hadis ?
3. Kebijakan-Kebijakan Apa Sajakah Yang Memiliki Peranan Cukup Penting
Dalam Proses Kodifikasi Hadis ?
4. Bagaimana Metodologis Yang Dikembangkan Oleh Ulama Hadis Dalam Proses
Koddifikasi Hadis ?

C. Tujuan

1. Medeskripsikan Sejarah Kodifikasi Hadis Serta Dinamika-Dinamika Yang Ada


Didalamnya
2. Mengetahui Faktor-Fakto Apa Saja Yang Mendorong Dilakukannya Kodifikasi
Hadis Dimasa Lampau
3. Mengetahui Kebijakan-Kebijakan Apa Sajakah Yang Memiliki Peranan Cukup
Penting Dalam Proses Kodifikasi Hadis
4. Mengetahui Metodologis Yag Dikembangkan Oleh Para Uama Hadis Dalam
Proses Kodifikasi Hadis

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Kodifikasi Hadis

Kata kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang berarti
codification, yaitu mengumpulkan dan menyusun. Secara istilah, kodifikasi
adalah penulisan dan pembukuan hadis Nabi secara resmi berdasar perintah
khalifah dengan melibatkan beberapa personel yang ahli dalam masalah ini,
bukan yang dilakukan secara perorangan ataupun untuk kepentingan pribadi. 1
Kodifikasi hadis yang dimaksudkan disini adalah penulisan, penghimpunan,
dan pembukuan hadis-hadis Nabi yang dilakukan berdasar perintah resmi khalifah
‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (99-101 H/ 717-720 M), khalifah kedelepan Bani
Umayah, yang kemudian kebijakannya itu ditindak lanjuti oleh para ulama di
berbagai daerah hingga pada masa-masa berikutnya hadis-hadis terbukukan dalam
kitab-kitab hadis.2
Namun al-tadwin juga dapat didefiniskan luas yang diartikan dengan al-
jam’u (mengumpulkan). Al-Zahrani merumuskan pengertian tadwin sebagai
upaya mengikat yang berserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi satu
diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran.3

B. Sejarah kodifikasi Hadis


Pada abad pertama hijriah, mulai dari masa Rasul, masa khulafa Rasyidin,
dan sebagian besar Zaman Muawiyah, yakni hingga akhir abad pertama Hijriah,
hadis-hadis itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi
meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hafalannya.4

1
Idri, Studi Hadis (Jakarta : Kencana, 2013),93
2
ibid
3
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 89
4
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 78

3
Pada masa Rasulullah, hadis melekat dalam memori para sahabat dan belum
banyak ditulis, bahkan di awal-awal wahyu, hadis dilarang untuk dicatat karena
khawatir bercampur dengan al-Qur’an. Para sahabat merupakan penyambung
lidah Rasulullah. Banyak diantara mereka yang mendengar berbagai hal secara
langsung dari Rasulullah. Bahkan Umar bin Khattab secara bergantian dengan
tetangganya menghadiri majlis nabi Saw.
Namun banyak diantara sahabat yang tidak menulisnya karena disamping
ada larangan, alat-alat pendukung tulis menulis pada saat itu masih belum banyak,
dan yang paling utama adalah bahwa pada umumnya masyarakat masih belum
melek tulisan serta kuatnya tradisi hafalan mereka. Pada masa khulafaur Rasyidin,
sebenarnya sudah mulai tampak kebutuhan akan hadis, terutama pada masalah-
masalah yang khalifah sendiri tidak tahu dan belum mendapatkannya secara
langsung dari Rasulullah.
Namun hal itu masih sangat minim sekali, dan hanya terbatas pada
ketidaktahuan sahabat pada satu kasus yang pernah ada di masa Rasulullah, tapi
kemudian diselesaikan oleh sahabat yang lain yang menyaksikannya secara
langsung pada masa Rasul. Perkembangan Islam yang semakin pesat pada masa
Umar bin Khattab membuat perkembangan meniscayakan perlunya tenaga
pengajar agama, penyambung lidah Rasulullah serta penyampai petuah-petuah
Rasulullah mengenai berbagai hal yang terkait dengan kehidupan manusia.
Bahkan setelah terbunuhnya khalifah ketiga, Utsman bin Affan, kebutuhan akan
hadis semakin meningkat. Para sahabat semakin berhatihati dalam menerima
hadis karena telah muncul benih-benih hadis palsu pada masa Ali bin Abi Thalib
dan semakin kuat ketika masa Muawiyah bin Abu Sufyan .5
Misalnya hadis “Ali sebaik-baik manusia, barang siapa meragukannya maka
dia kafir.” Hadis digunakan oleh kelompok pembela Ali (Syi’ah). Kemudian salah
satu contoh lai adalah “Sosok yang berkarakter jujur ada tiga: aku, Jibril, dan
Muawiyyah” yang digunakan sebagai legitimasi kekuasaan dinasti baru setelah
khalifah Ali, yakni dinasti Umayyah dengan Muawiyah sebagai khalifahnya.

5
Idri, Studi Hadis (Jakarta : Kencana, 2013), 46

4
Kaum Rafidhah Syi’ah yang merupakan pendukung sayyidina Ali merupakan
golongan yang banyak memalsukan hadis. Al-Kholili dalam kitab Irsyad
mengatakan bahwa kaum Rafidhi talah memalsukan lebih dari 13.000 hadis yang
isinya sanjungan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib dan kecaman terhadap dua
Khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab.6
Kodifikasi Hadis secara resmi terjadi pada khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-
‘Aziz, salah seorang khalifah Bani Umayah. Proses kodifikasi hadis yang baru
dilakukan pada masa ini dimulai dengan khalifah mengirim surat ke seluruh
pejabat dan ulama di berbagai daerah pada akhir tahun 100 H yang berisi perintah
agar seluruh hadis Nabi di masing-masing daerah segera dihimpun, ‘Umar yang
didampingi Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri (w.124 H/ 742 M),
seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam, menggalang agar para ulama hadis
mengumpulkan hadis di masing-masing daerah mereka. al-Zuhri berhasil
menghimpun hadis dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal dunia yang
kemudian dikirimkan oleh khalifah ke berbagai daerah, untuk bahan
penghimpunan hadis selanjutnya. ‘Umar juga memerintah Abu Bakar Muhammad
ibn ‘Amr ibn Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan hadis yang terdapat pada
Amrah binti ‘Abd al -Rahman (murid kepercayaan ‘Asiyah) dan Qosim ibn
Muhammad ibn Abi Bakar al -Shiddiq.7

1. Kodifikasi Hadis Abad II Hijriah


Pada abad kedua, para ulama dalam aktivitas kodifikasi hadis, tidak
melakukan penyaringan dan pemisahan, mereka tidak membukukan hadis-
hadis saja, tetapi fatwa sahabat dan tabi’in juga dimasukkan ke dalam kitab-
kitab mereka. Dengan kata lain, seleksi hadis pada abad kedua ini disamping
memasukkan hadis-hadis Nabi juga perkataan para sahabat dan para tabi’in
juga dibukukan, sehingga dalam kitab-kitab itu terdapat hadis-hadis marfu,
hadis-hadis mawquf, dan hadis-hadis maqthu.

6
Saifuddin Zuhri Qudsy, “Umar Bin Abdul Aziz Dan Semangat Penulisan Hadis”, ESENSIA Vol.XIV
No. 2 Oktober 2013, 26
7
Idri, Studi Hadis (Jakarta : Kencana, 2013), 95

5
Pada abad kedua ini ulama yang berhasil menyusun kitab tadwin dan
sampai pada kita adalah Malik ibn Anas (93 – 179) yang menyusun kitab al-
Muwaththa’. Kitab ini disusun sejak tahun 143 H. Pada masa khalifah al-
Manshur, salah seorang khalifah Bani ‘Abbasiyah. Kitab ini tidak hanya
memuat hadis Rasul saja, tetapi juga ucapan sahabat dan tabi’in bahkan tidak
sedikit yang berupa pendapat Malik sendiri atau praktik ulama dan masyarakat
Madinah. Imam al-Syafi’i, muridnya, memberikan pujian terhadap karya
Imam Malik ini dengan sebutan: kitab paling sahih setelah al-Qur’an adalah
Muwaththa’ Malik.8
Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, diantara kitab-kitab abad kedua ini yang
mendapat perhatian umum ulama adalah al-muwaththa’ karya Imam Malik, al-
Musnad, Muskhtalif al-Hadis susunan Imam al-Syafi’ie, dan al-Maghazie wa
al- Siyar yang terkenal dengan al-Sirah al-Nabawiyyah karya Muhammad ibn
Ishaq. Kitab-kitab tersebut banyak menjadi perhatian dan rujukan dalam
kajian-kajian hadis dan sirah. Meskipun pada abad kedua hadis tidak
dipisahkan dari fatwa sahabat dan pendapat tabi’in, pada abad ini sudah ada
pemisahan antara hadis-hadis umum dengan hadis-hadis tafsir, sirah dan
maghazi.
Disamping itu, pada abad kedua ini juga diwarnai dengan meluasnya
pemalsuan hadis yang telah ada semenjak masa khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib
dan menyebabkan sebagian ulama pada abad ini tergugah untuk mempelajari
keadaan para periwayat hadis, disamping pada waktu itu memang banyak
periwayat yang lemah, meskipun tidak berarti pada abad pertama tidaka da
perhatian sama sekali terhadap keberadaan para periwayat hadis. Pada abad
kedua, kegiatan telaah terhadap ahwal al-ruwah (keberadaan para periawayat
hadis) semakin diintensifkan, meskipun saat itu belum terbentuk ilmu al-Jarh
wa al-Ta’dil dalam bentuk disiplin ilmu yang mandiri .9

8
ibid
9
Ibid, 96

6
2. Kodifikasi Hadis Abad III Hijriah
Pada abad ketiga Hijriah merupakan masa penyaringan dan pemisahan
antara sabda Rasulullah dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Masa penyeleksian
ini terjadi pada zaman Bani ‘Abbasyiyah, yakni masa al -Ma’mun sampai al-
muktadir (sekitar tahun 201-300 H). Periode penyeleksian ini terjadi karena
pada masa tadwin belum bisa dipisahkan antara hadis marfu’, mawquf, dan
maqthu, hadis yang dha’if dari yang sahih ataupun hadis yang mawdhu’ masih
tercampur dengan yang sahih. Pada saat itu pula mulai dibuat kaidah-kaidah
dan syarat-syarat untuk menentukan apakah suatu hadis itu sahih atau dha’if.
Para periwayat pun tidak luput dari sasaran penelitian mereka untuk diteliti
kejujuran, kekuatan hafalan dan lain sebagainya. Materi kodifikasi yang
dibukukan pada abad ini dipisahkan antara hadis Nabi, pendapat sahabat dan
tabi’in, meskipun hadis-hadis yang dihimpun tidak diterangkan antara yang
sahih, hasan, dan dhaif. Para ulama mengkodifikasikan hadis-hadis dalam
kitab-kitab mereka dalam keadaan masih tercampur antara ketiga macam hadis
tersebut. Mereka hanya menulis dan mengumpulkan hadis-hadis Nabi lengkap
dengan sanadnya, yang kemudian kitab-kitab hadis hasil karya mereka disebut
dengan istilah musnad.10

3. Kodifikasi Hadis Abad IV-VII Hijriah


Jika pada abad pertama, kedua dan ketiga, Hadis berturut-turut
mengalami masa periwayatan, penulisan (pendewanan) dan penyaringan dari
fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, dan hadis yang telah didewankan oleh
ulama Mutaqqadimin (ulama abad kesatu sampai ketiga) tersebut mengalami
sasaran baru, yakni dihafal dan diselidiki sanadnya oleh ulama Muta-akhkhirin
(ulama abad keempat dan seterusnya). 11
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadis-
hadis yang telah terdewan itu, hingga tidak mustahil sebagian dari mereka
sanggup menghafal beratus-ratus ribu hadis. Sejak periode inilah timbul

10
Ibid, 97
11
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis (Bandung: Alma’arif, 1974), 58

7
bermacam macam gelar keahlian dalam ilmu hadis, seperti gelar keahlian Al-
Hakim, Al-Hafidh, dan lain sebagainya.
Pada abad keempat merupakan abad pemisah antara ulama
Mutaqaddimin, yang dalam menyusun kitab hadis mereka berusaha sendiri
menemui para sahabat atau tabi’in penghafadh hadis dan kemudian menelitinya
sendiri, dengan ulama Muthakkhirin yang dalam usahanya menyusun kitab-
kitab hadis, mereka hanya menukil dari kitab-kitab yang telah disusun oleh
Mutaqaddimin.12
Hadis-hadis yang dikumpulkan oleh ulama hadis pada abad keempat dan
seterusnya kebanyakan dikutip atau dinukil dari kitab-kitab karya ulama
mutaqaddimun, sedikit sekali yang mengumpulkan hadis dari usaha mencari
sendiri kepada para penghafalnya. Dengan kata lain, kebanyakan mereka
meriwayatkan hadis dengan berpegang pada kitab-kitab yang sudah ada.
Periwayatan hadis langsung dari para periawayat sebagaimana abad pertama
sampai ketifa hijriah jarang dilakukan para ulama hadis, disamping karena
hampir semua hadis sudah ditulis dalam beberapa kitab yang sudah ada juga
tradisi periwayatan mulai berkurang
Pada periode keempat, yakni hadis pada masa Intisyar riwayah il
alamshar (penyampaian hadis ke berbagai wilayah) semakin banyak sahabat
kecil dan tabiin yang menjadi pengajar agama Islam dan penyambung lidah
Rasulullah, sehingga para pencari hadis dan cerita-cerita yang berkait dengan
Rasulullah dicari dan dikumpulkan. Hanya saja pengumpulannya baru sebatas
dilakukan oleh para individu, dan belum ada kordinasi dengan pihak para
khalifah Umayyah.
Pembukuan hadis pada periode ini lebih mengarah pada usaha
mengembangkan variasi pen-tadwin-an terhadap kitab-kitab hadis yangsudah
ada. Maka, setelah beberapa tahun dari kemunculan al-Kutub al-Sittah, al-
Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, dan al-Musnad Ahmad ibn Hanbal, para
ulama mengalihkan perhatian untuk menyusun kitab-kitab yang berbentuk

12
Ibid

8
jawami’, takhrij, athraf, syarah, dan mukhtashar, dan menyusun hadis untuk
topik-topi tertentu.
Dengan demikian, usaha-usaha ulama hadis pada abad-abad ini meliputi
beberapa hal berikut :
1) Mengumpulkan hadis-hadis al-Bukhari dan Muslim dalam sebuah kitab
sebagaimana dilakukan oleh Ismail ibn Ahmad yang dikenal dengan
sebutan Ibn al-Furrat (w. 414 H) dan Muhammad ibn ‘Abd Allah al -
Jawzaqa dengan kitabnya al- Jami’ bayn al-Shahihayn.
2) Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab yang enam dalam sebuah
kitab, sebagaimana dilakukan oleh ‘Abd al-Haqq ibn ‘Abd al-Rahman
al-Syibli yang dikenal dengan ibn al-Khurrath dengan kitabnya al-
Jami’.
3) Mengumpulkan hadis-hadis dari berbagai kitab kedalam satu kitab
sebagaimana dikumpulkan oleh al-Imam.
4) Mengumpulkan hadis-hadis hukum dalam satu kitab, sebagaimana yang
dilakukan oleh Ibn Taymiyah dengan kitabnya Muntaqa al-Akhbar
yang kemudian disyarah oleh al-Syawkani dengan kitabnya Mayl al-
Awthar.
5) Menyusun pokok-pokok (pangkal-pangkal) hadis yang terdapat dalam
kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim sebagai petunjuk kepada
materi hadis secara keseluruhan, seperti Ibrahim al-Damasyqi (w. 400
H) yang menyusun kitab Athraf al-Shahiayn, hadis-hadis yang terdapat
dalam kitab enam sebagaimana dilakukan oleh Muhammad ibn Thahir
al-Maqdisi (w. 507 H) dengan kitabnya Athraf al-Kutub al-Sittah, dan
hadis-hadis dalam kitab sunan yangempat seperti dilakukan Ibn ‘Asakri
al-Dimasyqi (w. 517 H) dengan karyanya Atharaf al-Sunan al-Arba’ah
yang diberi judul al-Isyraf ‘ala Ma’rifah al-Athraf.
6) Men-takhrij dari kitab0kitab hadis tertentu, kemudian meriwayatkan
dengan sanad sendiri yang lain sanad yang sudah ada dalam kitab-kitab
tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh al-hafizh Abu ‘Awanah
(w.316) dengan kitabnya Mustakhraj Shahih Muslim dan oleh al-Hafizh

9
ibn Mardawayh (w.416) dengan kitabnya Mustakhraj Shahioh al-
Bukhari.13

4. Kodifikasi Hadis Abad ketujuh Sampai Sekarang


Kodifikasi hadis yang dilakukan pada abad ketujuh dilakukan dengan
cara menertibkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun kitab-
kitab takhrij, membuat kitab-kitab jami’ yang umum, kitab-kitab yang
mengumpulkan hadis- hadis hukum, men-takhrij hadis-hadis yang terdapat
dalam beberapa kitab, mentakhrij hadis-hadis yang terkenal di masyarakat,
menyusun kitab takhraf, mengumpulkan hadis-hadis disertai dengan
menerangkan derajatnya, mengumpulkan hadis-hadis dalam Shahih al-bukhari
dan Shahih Muslim, men-tashhih sejumlah hadis yang belum di-tashhih oleh
ulama sebelumnya, mengumpulkan hadis-hadis tertentu sesuai topik, dan
mengumpulkan hadis dalam jumlah tertentu.
Periode ini memang tidak jauh berbeda dengan abad sebelumnya ketika
muncul kitab-kitab hadis yang model penyusunannya hampir sama seperti
penyusunan kitab-kitab jami’, kitab-kitab takhrij, athraf, kecuali penulisan dan
pembukuan hadis-hadis yang tidak terdapat dalam kitab hadis sebelumnya
dalam sebuah kitab yang dikenal dengan istilah kitab zawaid.14

C. Faktor-Faktor Pendorong Kodifikasi Hadis


Faktor-faktor penyebab dilakukannya kodifikasi hadis tersebut dapat
diklasifikasi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal berupa: Pertama, pentingnya menjaga autentisitas dan eksistensi hadis,
karena hadis di samping sebagai sumber agama Islam yang kedua setelah al-
Qur’an, juga merupakan panduan bagi umat Islam dalam menjalankan kehidupan
sehari-hari. Hadis Nabi sangat berarti dalam rangka untuk memberikan petunjuk
bagi umat Islam untuk keselamatan dalam menempuh kehidupan dunia dan
akherat. Kedua, semangat untuk menjaga hadis, sebagai salah satu warisan Nabi

13
Idri, Studi Hadis (Jakarta : Kencana, 2013), 101
14
ibid

10
yang sangat berharga karena Nabi memang pernah bersabda bahwa beliau
meinggalkan dua hal yang jika umat Islam berpegang pada keduanya mereka
tidak akan tersesat selamanya, yaitu al-Qur’an dan hadis Nabi (HR. al-Hakim al-
Naysaburi). Ketiga, semangat kelimuan yang tertanam di kalangan umat Islam
saat itu termasuk didalamnya aktivitas tulis-menulis dan periawayatan hadis.
Keempat, adanya kebolehan dan izin untuk menulis hadis pada saat itu. Kelima,
para penghafal dan periawayat hadis semakin berkurang karena meninggal dunia
baik disebabkan adanya peperangan maupun yang lainnya. Keenam, rasa bangga
dan puas ketika mampu menjaga hadis Nabi dengan menghafal dan kemudian
meriwayatkannya. 15
Faktor penyebab dilakukannya kodifikasi yang bersifat eksternal antara lain
adalah: Pertama, penyebaran Islam dan semakin meluasnya daerah kekuasaan
Islam, sehingga banyak periawayat hadis yang tersebar ke berbagai daerah.
Dengan tersebarnya para sahabat di berbagai daerah, hadis-hadis dikhawatirkan
lama- kelamaan hilang bersamaan dengan meninggalnya para penghafal hadis di
berbagai daerah itu.
Kedua, kemunculan dan meluasnya pemalsuan hadis yang disebabkan
antara lain oleh perbedaan politik dan aliran. Kemunculan hadis-hadis palsu dapat
mengancam keberadaan hadis-hadis Nabi. Hadis mawdhu’ dapat pula
memalingkan umat islam dari jalan yang lurus dan membawa pada kesesatan.
Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, para pembuat hadis palsu telah
melakukan kejahatan terhadap agama, dengan kedutaan, mereka mencoreng
harkat dan martabat islam. Ini terutama terlihat pada ulah kaum Zindik yang
sengaja membuat hadis palsu dengan motivasi merusak Islam dari dalam. 16
Semenjak wafatnya Rasulullah SAW, memang terjadi beberapa kelompok
politik: Muhajir, Anshar, dan pengikut Ali (sebagian besar dari Bani Hasyim).
Masing-masing kelompok mengutip hadis Nabi SAW untuk membenarkan
kepemimpinan mereka. Pada waktu itu lah muncul hadis-hadis fadha-il
(keutamaan-keutamaan sahabat tertentu). Hadis-hadis itu sebagian (besar)

15
Ibid, 104
16
Ibid, 105

11
memang berasal dari Rasulullah SAW.17 Terpecahnya umat Islam kepada
golongan-golongan tersebut, membawa masing-masing mereka, didorong oleh
keperluan dan kepentingan golongan, untuk mendatangkan keterangan-
keterangan yang diperlukan golongan. Maka bertindaklah mereka membuat hadis-
hadis “palsu” dan menyebarkannya ke dalam masyarakat. Mulai saat itu
terdapatlah di antara riwayat-riwayat yang shahih, riwayat-riwayat yang palsu.
Dan kian bertambah banyaknya dan beraneka rupa. Mula-mula mereka
memalsukan hadis mengenai pribadi pribadi orang yang mereka agung-
agungkan. Dan yang mula-mula melakukan pekerjaan sesat ini ialah: golongan
Syi’ah sebagai yang diakui sendiri oleh Ibn Abil Hadid, seorang ulama Syi’ah
dalam kitabnya Nahyu’l – Balaghah, dia menulis: “ketahuilah bahwa asal-
asalnya timbul hadis yang menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah
golongan Syi’ah sendiri”18
Sejak masa-masa yang lama sekali, umat islam telah memelihara
peninggalan Nabi Muhammad SAW, menjaganya dari segala persangkaan negatif
dan menganggap kebohongan yang dilakukan oleh siapa saja berkaitan dengan
beliau sebagai jalan menuju azab kekal di neraka. Hal tersebut mengingat bahwa
yang demikian itu adalah bagian dari pemalsuan terhadap agama serta pendustaan
keji terhadap Allah dan Rasulnya. Sabda Nabi SAW: “Kebohongan yang
dilakukan berkaitan dengan aku (yakni tentang ucapan dan perbuatan beliau)
tidaklah sama dengan kebohongan yang berkaitan dengan siapa pun selain aku.
Barangsiapa berbohong tentang aku secara sengaja, hendaknya ia bersiap-siap
menduduki tempatnya di neraka.”19

17
LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis,
(Yogyakarta: LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1996), 145
18
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 77
19
Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Studi kritis Atas Hadis: Antara Pemahaman Tekstual Dan
Kontekstual (Bandung: Mizan, 1989), 25

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik


beberapa kesimpulan mengenai kodifikasi hadis dengan berbagai macam
dinamikanya, yang antara lain adalah:
 Sejarah Kodifikasi hadis dengen pembabakan waktunya masing-
masing memiliki karakteristiknya masing-masing. Pada abad kedua,
para ulama dalam aktivitas kodifikasi hadis, tidak melakukan
penyaringan dan pemisahan, mereka tidak membukukan hadis-hadis
saja, tetapi fatwa sahabat dan tabi’in juga dimasukkan ke dalam kitab-
kitab mereka. Pada abad ketiga Hijriah merupakan masa penyaringan
dan pemisahan antara sabda Rasulullah dengan fatwa sahabat dan
tabi’in. Hadis-hadis yang dikumpulkan pada abad keempat dan
seterusnya kebanyakan dikutip atau dinukil dari kitab-kitab karya
ulama mutaqaddimun, sedikit sekali yang mengumpulkan hadis dari
usaha mencari sendiri kepada para penghafalnya. Kodifikasi hadis
yang dilakukan pada abad ketujuh dilakukan dengan cara menertibkan
isi kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun dari kitab-kitab.
 Faktor-faktor pendorong dilakukannya kodifikasi cukup beragam,
mulai dari faktor internal maupun eksternal. Faktor internal mulai dari
menjaga autentisitas dan eksistensi hadis, semangat menjaga
autentisitas dan eksistensi hadis hingga banyaknya, hingga wafatnya
penghafal hadis. Faktor eksternal lebih mengarah pada banyaknya
pemalsuan hadis.
 Kebijakan-kebijakan dari pemerintah atau khalifah senagat
menentukan proses kodifikasi hadis, utamanya ‘Umar ibn Abd Al-
‘Aziz, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm serta Syihab Al-Zuhri.

13
 Metodologis dalam kodifikasi antara lain adalah pada bagaimana
sama-sama mengakui 3 unsur kaidah kesahihan hadis: (1) sanad
bersambung; (2) periwayat bersifat adil; dan (3) periwayat bersifat
dabit. Menurut ulama Sunni, kriteria sanad bersambung, adalah tiap-
tiap periwayat dalam sanad bersambung dari awal hingga akhir
(muttashil) dan sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

14
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Syaikh Muhammad. Studi kritis Atas Hadis: Antara Pemahaman


Tekstual Dan Kontekstual. Bandung: Mizan, 1989.

Ash Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar ilmu Hadis. Jakarta: Bulan
Bintang, 1987.

At Tahhan, Mahmud. Metode Tahrij Dan Penelitian Sanad Hadis. Surabaya: Bina
ilmu, 1995

A. Hasjmy. Sejarah kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.


Idri. Studi Hadis. Jakarta : Kencana, 2013.

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2013.

LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pengembangan Pemikiran


Terhadap Hadis.Yogyakarta: LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1996.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadis. Bandung: Alma’arif, 1974.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Saifuddin. Arus Tadwin Hadis dan Historiografi Islam. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2011..

Qudsy, Saifuddin Zuhri.“Umar Bin Abdul Aziz Dan Semangat Penulisan Hadis”.
ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013.

Saifuddin. Tadwin Hadis Dan Kontribusinya Dalam Perkembangan Historiografi


Islam. Ilmu Ushuluddin Vol 12, No1, Januari 2013.

15

Anda mungkin juga menyukai