PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui
oleh hadits dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan
pengamalan umat dari generasi ke generasi. Dengan memerhatikan masa yang telah
dilalui hadis sejak masa lahirnya di masa Rasulullah SAW meneliti dan membin hadits,
serta segala hal yang memengaruhi hadits tersebut.1
Tahap perkembangan ilmu hadis banyak mengalami problematika baik karena
faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal disebabkan oleh para perawi
hadis itu sendiri yang dianggap sebagai pemicu utama dalam pembagian macam-macam
hadis dan faktor eksternal baik berupa keadaan politik, keadaan sosial ataupun keadaan
kebudayaan. Pada tahap keempat dan kelima menjadi tahap yang sangat menentukan
karena pada tahap ini proses penyususan kitab-kitab induk ulumul hadis serta
penyebarannya dan sekaligus penyempurnaan kitab hadis berlangsung.
Sejarah peradaban Islam berkaitan dengan sejarah tulis menulis itu pula terjadi
dalam ilmu hadis. Penulisan ilmu hadis pada masa keempat dianggap penting supaya
tidak hilang hafalan-hafalan yang dimiliki oleh para ulama pada masa itu. Nuruddin Itr
mengganggap masa ini dianggap menjadi masa yang penting karena masa ini akan
dijadikan rujukan oleh para ulama dalam menysusun kitab-kitab hadis pada masa
berikutnya.2 Begitu juga dengan Hasbi Ash Shiddieqy yang menganggap bahwa pada
periode keempat ini menjadi begitu penting sebab ada kekhawatiran muncul dari para
ulama ketika hadis tidak dibukukan apakah masa yang akan datang tetap ada karena para
pengahafal hadis telah meninggal dunia.3
Sebagai penyempurna masa keempat, masa kelima dianggap hal yang lebih
penting karena pada fase ini sebagai penyempurna dari semua masa pengkodifikasian
atau pembukuan ilmu hadis. Pada masa ini pengumpulan hadis lebih spesifikasi lagi,
mereka memisahkan mana yang asli dari perkataan Nabi dan mana yang perkataan
1
Agus Solahudin, Ulumul Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 33.
2
Nur Al-Din Ítr and Mujiyo, Úlum al-hadits (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 50.
3
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 50.
1
sahabat, mana yang shahih dan dhaif dan juga pada periode ini muncul tunas Ilmu
Diroyah yang banyak macamnya seperti Ilmu Riwayah.4 Secara pasti pada periode ini
dilakukan penelitian yang sangat mendetail terkait problematika yang ada di dalam hadis
yang nantinya akan memunculkan kitab-kitab baru mengenai ilmu hadis.
Masa keempat dan kelima tentunya melahirkan banyak tokoh yang ahli dalam
bidang hadis dan kitabnya dijadikan sebagai rujukan utama terkait ilmu hadis. Abdullah
ibn Musa Al-Abasy Al-Kuyf, Asad ibn Musa al-Amawy, Ahmad Ibn Hanbal, Ishaq ibn
Rahawaih, Abu Nuáim Ahmad bin Abdullah al-Isfahani dan Jalal al-Din Abd al-Rahman
ibn Kamal al-Din al-Suyuthi. Tokoh-tokoh tersebut sebagai pembaharu dalam ilmu hadis
dengan tokohnya Abu Nuáim Ahmad bin Abdullah al-Isfahani dan Jalal al-Din Abd al-
Rahman ibn Kamal al-Din al-Suyuthi. Sejauh mana masa keempat dan kelima bisa
menjadi tolak ukur puncak keilmuan hadis. Ketika masa keempat dan kelima menjadi
puncak kejayaan ilmu hadis lantas mengapa masa ke enam ilmu hadis berhenti dan
terjumudkan tanpa adanya generasi penerus.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kodifikasi hadits?
2. Bagaimana sejarah dan perkembangan kodifikasi hadits?
3. Bagaimana perkembangan pembukuan hadits?
4. Apa yang dimaksud dengan kodifikasi hadits secara resmi?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian kodifikasi hadits.
2. Untuk mendeskripsikan sejarah dan perkembangan kodifikasi hadits.
3. Untuk mendeskripsikan perkembangan pembukuan hadits.
4. Untuk mengetahui kodifikasi hadits secara resmi.
4
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 65.
2
BAB II
PEMBAHASAN
5
Idri, Studi Hadits (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 93
3
tetapi tidak menyaringnya sehingga semuanya baik perkataan sahabat dan para
tabiin dimasukkan di dalamnya. Sehingga muncullah hadis-hadis marfu, mawquf
dan maqthu.6 Pengumpulan hadits ini yang menyebabkan kebingungan diantara
umat muslim karena tidak adanya pemisah mana yang menjadi perkataan Nabi
dan mana yang menjadi perkataan para sahabat dan tabi’in.
Nampaknya periode ini menjadi problem yang begitu besar dalam model
pembukuan hadis karena tidak ada saringan atau sortiran dalam hadits. Karena
hadits pada dasarnya adalah segala sseuatu yang disandarkan kepada Nabi, bukan
pada sahabat ataupun pada tabiín. alaupun pada periode kedua banyak kitab-kitab
hadits yang dijadikan rujukan utama dalam ilmu hadits diantaranya al-Muwatha,
al-Musnad, Mukhtaliful Hadist dan As-Siratun Nabawiyah.
Dengan lahirnya kitab-kitab yang dijadikan rujukan pada periode
sebelumnya tidak bisa kita pungkiri banyak muncul hadits-hadits palsu dan
penyebarannya begitu cepat dan luas. Seperti yang kita pahami banyak
propaganda-propaganda untuk menggulingkan rezim Awawiyah dengan
menggunkan hadits-hadits palsu. Dengan adanya propaganda ini maka masyarakat
mudah percaya dan mereka menarik diri mendukung ke pemerintah Abbasiyah.
Disamping sebagai politik banyak juga muncul golongan zindiq, tukang
pembuat kisah-kisah palsu dengan hadits-hadits palsu agar mereka tertarik pada
mereka.7 Oleh sebab itu maka Imam Malik selaku tokoh besar pada abad ini
mengatakan “jangan diambil ilmu dari orang yang kurang akal, mengikuti hawa
nafsu, berdusta dan orang yang tidak mengetahui ilmu hadits”. Hal ini yang
menyebabkan sebagian ulama terdorong untuk mempelajari keadaan perawi-
perawi hadis dan memang pada masa ini telah banyak perawi yang lemah di
antara perawi-perawi yang ada.
2. Historis pada abad kelima
Pada periode sebelumnya dilakukan pembukuan tanpa adanya penyaringan.
Hal itu yang menyebabkan banyak munculnya hadits-hadits palsu. Maka pada
6
Ash-Shiddiqie dan Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1992), hal. 62.
7
Ash-Shiddiqie dan Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1992), hal. 66.
4
periode ini para ulama lebih berhati-hati lagi dalam membukukan hadits yang
nanti akan muncul ilmu baru yakni berupa isnad hadis. Ilmu ini dianggap begitu
penting agar ada sistem verifikasi di dalam hadis agar tidak ada lagi kepalsuan-
kepalsuan hadits paling tidak bisa menghentikan propaganda-propaganda politik
yang mengatasnamakan agama melalui hadits.
Para ulama dalam mentashihkan hadits dibutuhkan pengetahuan yang luas
tentang Rijalil Hadits, tanggal lahir dan wafat para perawi, supaya dapat
diketahui, apakah ia bertemu dengan orang yang ia riwayatkan hadisnya atau
tidak.8 Kalau tidak demikian maka seseorang itu tidak bisa dipercaya sebagai
perawi atau karena terputus dengan sanadnya atau bisa dikatakan sebagai
periwayat palsu yang tidak bisa dipercaya akan kebenaran dan keberadaanya
sebagai perawi hadis.
Pada peridoe ini para ulama sangat teliti dalam membukukan hadis seperti
contohnya Imam al-Bukhary yang mempunyai dua keistimewaan yakni berupa
hafalan yang nyaris tidak ada tandingannya dalam ilmu hadis dan kepiawaiannya
dalam meneliti keadaan perawi-perawi yang nampak dalam kitab tarihnya yang
disusun untuk menerangkan keadaan perawi hadis. Disamping itu juga al-Bukhary
sangat santun dan sopan dalam menghadapi perawi yang lemah.
Dengan ini berarti ada usaha untuk mengkritik perawi hadis yang dianggap
lemah. Mereka juga tidak main-main akan adanya perawi yang dianggap lemah
dalam meriwayatkan hadis sehingga dibuatlah undang-undang untuk menetapkan
orang-orang yang boleh diterima atau ditolak dalam meriwayatkan hadis. 9 Mereka
juga membuat undang-undang terkait dengan hadis dengan melihat derajat
keberadaan hadis dengan membagi hadis menjadi dua yakni shahih dan dhaif dan
mereka juga membuat kaidah-kaidah bagi menshahihkan hadis dan mendhaifkan
hadis.
8
Ash-Shiddiqie dan Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1992), hal. 71.
9
Ash-Shiddiqie dan Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1992), hal. 79.
5
3. Kitab-kitab yang tersusun dalam abad IV-VII H
a) Kitab Syarah ialah kitab hadis yang memperjelas dan mengomentari hadits-
hadits tertentu yang sudah tersusun dalam beberapa kitab hadits sebelumnya.
b) Kitab Mustakhrij ialah kitab hadits yang metode pengumpulan haditsnya
dengan cara mengambil hadits dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya
dengan sanad sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadits tersebut.
c) Kitab Athraf ialah kitab hadis yang hanya memuat sebagian matan hadits,
tetapi sanadnya ditulis lengkap.
d) Kitab Mustadrak ialah kitab yang memuat hadits-hadits yang memenuhi
syaratsyarat Bukhari dan Muslim atau syarat salah satu dari keduanya.
e) Kitab Jami’ ialah kitab yang memuat hadits-hadits yang telah termuat dalam
kitab-kitab yang telah ada.
4. Tokoh-tokoh hadits abad IV-VII H
Di antara ulama hadits yang terkenal dalam masa ini adalah Sulaiman bin
Ahmad al-Thabari, Abd al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquhni, Abu
Awanah Ya’kub al-Safrayani, Ibnu Khuzaimah Muhammad bin Ishaq, Abu Bakr
Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi, Majuddin al-Harrani, Al-Syaukani, Al-
Munziri, Al-Shiddiqi, Muhyiddin Abi Zakaria al-Nawawi.
10
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, hal. 88-93.
7
C. Perkembangan Pembukuan Hadits
Perkembangan penulisan hadits pada abad adalah menyusun kembali kitab-kitab
hadis terdahulu secara tematik, baik dari segi matan dan sanadnya untuk memudahkan
bagi umat Islam untuk mempelajarinya. Dengan demikian, mulai abad terakhir ini sampai
sekarang dapat dikatakan tidak ada kegiatan yang berarti dari para ulama dalam bidang
hadis, kecuali hanya membaca, memahami, takhrij, dan memberikan syarah hadis yang
telah terhimpun sebelumnya.
Jadi, dari beberapa faktor tersebut, dapat disimpulkan bahwa adanya penulisan
hadis karena kekhawatiran hilangnya hadis dan kemurnian hadis. Kodifikasi hadis secara
resmi dilanjutkan dengan pembukuan hadis yang dilakukan para penguasa Bani Umayyah
dan para ulama.12
BAB III
PENUTUP
11
Idri, Studi Hadits, hal. 104-105
12
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Medan: Citapustaka Media Perintis, 2011), hal. 67-76.
13
Agus Solahudin, Ulumul Hadits, hal. 62-63.
9
A. Kesimpulan
B. Saran
Berkaitan dengan sejarah perkembangan hadis, kami menyadari bahwa dari berbagai
referensi yang ada masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam segi penulisan, sehingga
terjadi kesalahpahamman dalam konsep sejarah perkembangan hadis. Dan kami berharap dari
refisian makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dan berkah. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
As-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009.
10
‘Itr, Nur al-Din, Mujiyo. ‘Ulum al-Hadits. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Wahid, Ramli Abdul. Studi Ilmu Hadis. Medan: Citapustaka Media Perintis, 2011.
11