Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Studi Hadis
Jurusan Dirasah Islamiyah Prodi Sejarah Peradaban Islam
Pada Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
Oleh:
Andi Wandi Hairuddin
NIM: 80100222020
Dosen Pemandu:
Dr. Tasbih, M.Ag.
Dr. Muh. Sabir Maidin, M.Ag.
HALAMAN DEPAN
DAFTAR ISI i
KATA PENGANTAR ii
BAB I PENDAHULUAN
B. RUMUSAN MASALAH 2
BAB II PEMBAHASAN
A. KESIMPULAN 14
DAFTAR PUSTAKA 15
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt. Tuhan semesta alam yang Maha memberi
kenikmatan berupa kesempatan, kesehatan, dan nikmat lainnya yang bisa dirasakan
hingga saat ini. Shalawat dan salam kepada junjungan kita baginda Nabi Muhammad
saw. Nabi yang menjadi tauladan untuk kita semua didunia maupun di akhirat.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini ada banyak hambatan
dan tantangan. Namun berkat ridha dari Allah swt sehingga penulisan makalah ini
bisa selesai. Terima kasih kepada seluruh pihak yang teah membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Tentunya makalah ini, masih jauh dari kesempurnaan.
Olehnya itu penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin Yaa Rabbal’Aalamiin.
Penulis
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah kajian hadits dari masa ke masa mengalamai perkembangan yang sangat
signifikan, mulanya kajian hadits dari lisan ke lisan berkembang menjadi tulisan,perubahan
tersebut tak lain sebagai bentuk kekhawatiran akan hilangnya hadits-hadits Nabi saw.,
perkembangan hadits mencapai puncaknya ketika memasuki periode tabiin tepatnya
pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, dimana hadits pada masa ini resmi dikodifikasi
guna menanggulangi tersebarnya hadits-hadits palsu yang di pelopori oleh para pelaku
bid’ah.
Sejarah perkembangan studi hadits dari fase ke fase menarik untuk diperbincangkan,
mengingat peran hadits sangat begitu sentral bagi umat Islam, sebagaimana peranya sebagai
sumber primer ajaran Islam, bahkan pelengkap keberadaan al-Quran. Sehingga keberadaan
hadits menjadi sangat urgen sekali untuk mengungkap ajaran al- Quran yang masih bersifat
global. Sebagaimana kita ketahui, pada awal perkembangannya, studi hadits mengalami
perkembangan yang sangat begitu pesat, sehingga studi hadits menjadi bahasan populer kala
itu, sebab di masa-masa sebelumnya para sahabat lebih fokus dalam mengkaji al-Quran.
Hadis pada masa Nabi saw., tidak ditulis sama sekali, karena ternyata bahwa
diantara sahabat ada juga yang menulis atas inisiatifnya sendiri, dan ada pula yang menulis
karena disuruh oleh Nabi saw. untuk kepentingan sahabat lainnya. Dengan demikian dapat
dipahami bahwasanya pada masa- masa awal, periwayatan hadis umumnya berlangsung
secara lisan, dan hampir tidak ada yang berlangsung secara tulisan kecuali dalam kondisi-
kondisi tertentu.
1
Disamping upaya periwayatan hadis yang minim lewat tulisan, para khalifah yang
empat sangat berhati-hati atau bahkan dapat dikatakan membatasi diri dan umat Islam dalam
periwayatan hadis sebagai upaya menghindarkan adanya percampur adukan antara ayat-ayat
al-Qur’an dengan hadis-hadis Nabi saw.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, perlu adanya rumusan masalah agar
makalah ini terarah dan sistematis dalam pembahasan. Maka pemakalah membatasi
permasalahan dalam penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana Pengertian Pertumbuhan Dan Perkembangan Hadis?
2. Bagaimana Periodisasi Pertumbuhan Dan Perkembangan Hadis?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan Hadis
Selain itu dapat diketahui kesungguhan yang ditunjukkan oleh para ulama baik yang
datang lebih awal (salaf), maupun yang datang belakangan (khalaf) serta pihak- pihak yang
terlibat dalam periwayatan dalam rangka menyebarluaskan hadis atau sunnah, serta
menjaganya dari upaya-upaya pemalsuan, sehingga dapat memberikan apresiasi yang layak
dan agar kecintaan kepadanya semakin bertambah dengan senantiasa mengamalkan petunjuk-
petunjuk yang ada di dalamnya, kemudian disosialisasikan kepada yang lain.
1
Departeman Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. XII; Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal. 1745.
2
Atho’illah Umar, Ilmu Hadis Dasar, (Jombang, UNWAHA Press, 2020) hal. 3
3
Leni Andariati, Hadis dan Sejarah Perkembangan, Vol. 4 (Diroyah: Jurnal Ilmu Hadis, 2020), hal. 154
4
Riska Yunitasari, Masa Kodifikasi Hadist, Vol. 18 (Ar-Risalah: Jurnal Media Keislaman, Pendidikan dan Hukum Islam,
2020), hal. 101
3
Pada masa kehidupan Rasul, orang-orang tidak perlu buka kamus, buka referensi,
bertanya kesana dan kemari, untuk mendapatkan pemahaman terhadap teks Alquran. Berbeda
dengan sekarang, jauhnya jarak antara dua masa, menjadi kendala tersendiri dalam
memahami teks-teks agama, yang tertuang dalam Alquran dan Hadis. Selain krisis ekonomi,
krisis moral dan krisis keyakinan, krisis pemahaman Hadis juga menjadi problem tersendiri,
hari ini. 5
Sebelum hadis tercatat dan terbukukan seperti yang dapat di temui saat ini, tentu hadis
telah melewati sekian banyak fase mulai dari fase dimana pertama kali disabdakan oleh nabi
Muhammad saw. Atau di contohkan lewat perbuatannya sampai pada fase dimana hadis
mulai ditulis lalu dibukukan dan menjadi objek pembahasan sebagai sebuah rujukan utama
dalam kajian tentang sumber utama ajaran islam setelah al-Qur’an.6
Sehubungan dengan hal ini, untuk memudahkan dalam mengenali dan memahami
sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis dari masa ke masa, akan dipetakan penjelasan
tentang sejarah hadis dalam bentuk beberapa fase atau periode sebagai berikut:
Kelahiran hadis yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah dilahirkan atau
disabdakannya hadis itu oleh Rasulullah saw. sejak awal masa kenabian, masa sahabat,
hingga pada penghujung abad pertama Hijriah. Uraian mengenai masa kelahiran hadis
sebagaimana dimaksud terkait langsung dengan pribadi Nabi saw. sebagai sumber hadis,
dimana beliau telah membina umatnya selama + 23 tahun. 7 Posisi Nabi saw. yang bertugas
menyampaikan risalah islamiyyah kepada umat manusia, kataatan dan kepatuhan para
sahabat semakin bertambah kuat, sebab mereka sadar bahwa mengikuti Rasul dan Sunnah-
nya adalah suatu keharusan sebagai bahagian tak terpisahkan dari kepatuhan kepada Allah
swt.
5
Fakhrurrozi, Metode Pemahaman Hadis Kontemporer, Vol. 1, (Jurnal Waraqat, 2016), hal. 2
6
Muhammad Ismail, Dasar-Dasar Ilmu Hadis, (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Pers, 2020), hal. 35
7
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), hal. 70
4
Dalam rangka penyampaian risalah, Rasulullah menanamkan kepada para
sahabatnya akan pentingnya ilmu dan menuntut ilmu sekaligus menyampaikannya kepada
orang lain yang tidak hadir dalam mengikuti setiap perjalanan atau majelis Nabi saw.,
karena halangan atau kesibukan tertentu.
Tugas Rasulullah saw. berkaitan dengan ayat ayat yang turun itu adalah
menjelaskannya kepada para sahabat tentang maksudnya, memberikan fatwa, memisahkan
pihak-pihak yang bermusuhan sambil menegakkan berbagai aturan yang ada, serta juga
menerapakan pengajaran al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, dan itu semu adalah
sunnah Nabi saw. yang sejatinya senantiasa dijadikan pedoman.
Dari keterangan ini dapat dipahami, bahwa lahirnya hadis adalah dari adanya
interaksi Rasulullah sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) terhadap ayat ayat al-Qur’an
dengan para sahabat atau umat lainnya, atau dengan kata lain dalam rangka penyampaian
risalah, dan juga karena adanya berbagai persoalan hidup yang dihadapi oleh umat dan
dibutuhkan solusi atau jalan pemecahannya dari Nabi saw.
Sepeninggal Nabi saw., kalangan sahabat sangat berhati hati dalam menerima dan
meriwayatkan hadis. Hal itu dimaksudkan sebagai upaya menjaga kemurnian al-Qur’an
agar tidak dicampur baurkan dengan hadis, dan juga untuk menjaga orisinalitas hadis itu
sendiri. Pada masa nabi, hadis diterima oleh sahabat dengan beberapa metode, antara lain
adalah;
5
1. Mengikuti majlis-majlis ilmu yang diisi langsung oleh Rasulullah saw.
2. Terjadinya sebuah peristiwa yang dialami oleh Rasulullah dan kemudian Rasulullah
menjelaskan hukumnya kepada para sahabat.
3. Sahabat nabi terkadang mengalami sebuah peristiwa yang mereka tidak mengetahui
bagaimana hukumnya sehingga mereka akan langsung bertanya sendiri kepada
Rasulullah atau meminta kepada sahabat lain.
4. Peristiwa dimana para sahabat menyaksikan langsung bagaimana Rasulullah
melakukan sesuatu.8
Tapi cara dimana para sahabat paling banyak menerima hadis adalah peristiwa
dimana para sahabat menyaksikan langsung bagaimana Rasulullah melakukan sesuatu
dan dari sinilah kemudian banyak hadis yang tentang bagaimana nabi melakukan
ibadah-ibadah, seperti puasa, shalat, dan lain-lain.
Abū Bakr sebagai khalifah kedua melakukan upaya seleksi dan penyaringan
terhadap suatu riwayat yang disampaikan oleh seseorang kepadanya dengan meminta
persaksian (syahādah) orang lain yang (pernah) mendengar riwayat yang sama seperti
terkait seorang nenek perempuan yang datang kepadanya menanyakan hak warisan
untuknya lalu ‘Umar mengaku tidak menemukannya di dalam al-Qur’an dan juga dari
penjelasan Rasulullah saw., lalu beliau bertanya kepada halayak, lalu al-Mugīrah
menyebutkan seperlima sesuai riwayat. Ia pun meminta persaksian sahabat lain yaitu
dari Muhammad bin Maslamah. Demikian pula yang dilakukan oleh ‘Umar ibn al-
Khaṭṭāb di saat Abū Mūsā datang ke rumahnya dan meminta izin tiga kali, tetapi karena
tidak ada jawaban, ia kemudian pulang. ‘Umar meminta persaksian dari sahabat yang
lain, lalu Ubay bin Ka’ab memperkuat Abū Mūsā.
8
Muhammad Ismail, Dasar-Dasar Ilmu Hadis, (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Pers, 2020), hal. 36
6
Metode Pengajaran Hadis Nabi Metode-Metode yang dipakai Nabi dalam
mengajarkan hadis dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok:
9
Nurul Husna, Sejarah Hadis dan Problematika Sahabat, Vol.1, (Al-Bukhari: Jurnal Hadis, 2018). hal. 269
10
Riska Yunitasari, Masa Kodifikasi Hadist, Vol. 18 (Ar-Risalah: Jurnal Media Keislaman, Pendidikan dan Hukum Islam,
2020), hal. 103
7
Sebagai hasil dari berbagai upaya yang dilakukan oleh Rasulullah, tercatat
sejumlah 40 orang penulis yang ditugasi oleh Rasulullah saw. untuk menulis wahyu, selain
dari penulis berbagai bidang lainnya sesuai dengan spesifikasi dan tugas masing- masing.
Selain itu, Nabi Muhammad saw. juga mengangkat juru tulis dari kalangan
sahabat untuk menulis ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepadanya, dan untuk menulis
surat-surat yang dikirim kepada raja-raja untuk kepentingan dakwah Islam. Adapun untuk
hadis, ternyata tidak ada perintah langsung dari Nabi saw. untuk menulisnya sehingga
tidak terjadi seperti halnya dengan al-Qur’an, dan bahkan yang populer adalah adanya
larangan beliau untuk menulisnya.
Padahal, dalam tuturan Muṣṭafā al-Sibā‘ī, beberapa sahabat telah menuliskan apa
yang mereka dengar dari Rasulullah saw., seperti ‘Abdullāh bin ‘Amrū bin ‘Aṣh yang
mempunyai ṣahīfah (lembaran yang tertulis) bernama ṣādiqah. Mengomentari itu, lanjut
Muṣṭafā al-Sibā‘ī, Abū Hurayrah diriwayatkan berkata, “Tidak ada seorangpun yang lebih
mengetahui hadis Rasulullah saw. dibanding aku, kecuali ‘Abdullāh bin ‘Amrū Ash. Hal
ini karena ia telah mencatatnya sedangkan aku tidak.” Bahkan, saat fathu makkah, Rasul
bersabda: “Tuliskanlah untuk Abū Syah ini!”, yaitu perihal penyelesaian suatu kasus.
Dua hadis di atas, perintah menulis dan larangannya, terlihat seakan kontradiktif.
Hal ini yang kemudian dibantah oleh Muh. Mustafa Azami lewat karyanya yang berjudul
Dirāsāt fī al-Ḥadīṡ alNabawī wa Tārīkh Tadwīnih. Ia membahasnya dalam 13 halaman
kitab tersebut dengan kesimpulan sebagai berikut:
1. Larangan menulis hadis adalah larangan yang tersemat (mubayyinan) pada kondisi
dan situasi khusus, seperti seseorang yang baru masuk Islam atau menuliskannya
dalam satu alat dengan Alquran.
8
3. Larangan untuk menulis hadis tidak berlaku umum dan setiap saat (lam takun
‘āmmah wa lā dā’imah). Hal itu dikarenakan fakta bahwa ada sejumlah sahabat yang
menuliskan hadis di masa Nabi, dan Nabi mengizinkannya. perihal hadis larangan
menulis di atas adalah salah satu di antara penyebab sedikitnya penulisan hadis di
zaman Rasulullah.11
Dengan hadits yang saling bertentangan dalam hal penulisan hadits, ternyata
diantara para sahabat terdapat yang meiliki beberapa kumpulan hadits dalam bentuk
tulisan secara pribadi, misalnya Abdullah bin Amru bin Ash yang telah mengumpulkan
hadits yang dinamainya dengan al-Shahifah al-Anshari yang didalamnya memuat seribu
hadits Nabi, disusul juga oleh Saa ibn Ubadah al-Anshari, samrah bin Jundub, Jabir bin
Abdullah al-Anshari dan Anas bin Malik.12
Terkait penyebaran Hadis juga, Muh. Mustafa Azami membaginya kepada empat
periode, yaitu:
2. Periode penulisan pada generasi senior (kibār) tābi’īn, di abad pertama hingga 105
hijriyah
4. Periode penulisan generasi junior (ṣigār) tābi‘īn dan atbā‘ al-tābi‘īn, di ¾ akhir
abad kedua.
11
Radinal Mukhtar Harahap, Hadis Pada Masa Nabi Muhammad saw dan Sahabat, Vol. 1 (Ar-Risalah: Jurnal Ilmu Hadis,
2018), hal. 41-42
12
Riska Yunitasari, Masa Kodifikasi Hadist, Vol. 18 (Ar-Risalah: Jurnal Media Keislaman, Pendidikan dan Hukum Islam,
2020), hal. 105
9
daerah sampai pada masa hadis terbukukan dalam kitab hadis. 13
Pembukuan hadis secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan khalifah
kedua dari Dinasti Umayyay yaitu ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz. Adapun dua hal pokok yang
mendorong khalifah dimaksud untuk membukukan hadis secara resmi yaitu sebagai
berikut:
b. Munculnya hadis palsu akibat perbedaan politik dan mazhab, sehingga khawatir
akan bercampurnya hadis-hadis yang sahih dengan hadis-hadis palsu. 14
Khalifah ketika itu Umar bin Abdul Azis menyurat kepada Abū Bakar
Muḥammad bin Ḥazm sebagai (gubernur sekaligus sebagai hakim di Madinah) untuk
menuliskan hadis yang ada padanya dan pada ‘Amrah binti ‘Abd al-Raḥmān dan al-Qāsim
bin Muḥammad, dan demikian pula yang ada pada Ibn Syihāb al-Zuhriy. Ia juga berkirim
surat ke berbagai penjuru negeri untuk mendorong pihak-pihak yang bertanggungjawab di
sana agar menggiatkan ahli ilmu untuk studi sunnah dan menghidupkannya, karena
menurutnya sunnah telah mati.
Namun sangat disayangkan, bahwa apa yang telah dihasilkan oleh Ibn Hazm, dan
Ibn Syihāb al-Zuhriy tidak diketahui keberadaannya hingga kini, dan ada hanyalah hasil
karya Mālik bin Anas yang dapat dijumpai hingga saat ini, walaupun di dalamnya masih
bercampur antara perkataan Nabi saw., maupun perkataan sahabat.
13
Leni Andariati, Hadis dan Sejarah Perkembangan, Vol. 4 (Diroyah: Jurnal Ilmu Hadis, 2020), hal. 160
14
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), hal. 90
10
b. Penulisan dan penyebaran hadis yang terjadi dari masa Nabi sampai masa sahabat
masih bersifat kolektif individual, dan juga ada perbedaan para sahabat dalam
menerima hadis. Dengan kondisi yang seperti itu dikhawatirkan akan terjadi
penambahan dan pengurangan pada lafadz hadis yang diriwayatkan.
d. Banyak bermunculan hadis-hadis palsu, terutama setelah wafatnya khalifah Ali ibn
Abi Thalib sampai pada masa dinasti Umayyah, yang membuat umat Islam terpecah
menjadi beberapa golongan yang membawa mereka untuk mendatangkan keterangan
hadis yang diperlukan untuk mengabsahkan sebagai golongan yang paling benar.15
15
Leni Andariati, Hadis dan Sejarah Perkembangan, Vol. 4 (Diroyah: Jurnal Ilmu Hadis, 2020), hal. 161
16
Leni Andariati, Hadis dan Sejarah Perkembangan, Vol. 4 (Diroyah: Jurnal Ilmu Hadis, 2020), hal. 160
11
Kitab hadis yang marfu’, mauquf dan maqthu’. Di antara kitab-kitab hadis abad
ke II H yang mendapat perhatian ulama secara umum adalah kitab al-Muwatha’ yang
disusun oleh Imam Malik, al-Musnad dan Mukhtalif al-Hadis yang disusun Imam asy-
Syafi’i serta as-Sirah an-Nabawiyah atau al-Maghazi wa as-Siyar susunan Ibnu Ishaq. Dari
kesemuanya, al-Muwatha’ lah yang paling terkenal dan mendapat sambutan yang paling
meriah dari para ulama, karena banyak para ahli yang membuat penjelasan (syarah) dan
ringkasannya (mukhtashar). Dalam kitab ini mengandung 1.726 rangkaian khabar dari
Nabi, sahabat, dan tabi’in. Khabar yang musnad (disamakan) sejumlah 600, yang mursal
sejumlah 228, yang mauquf sejumlah 613 dan 285 yang maqthu’.
Beberapa kitab-kitab hadits yang telah dibukukan dan dikumpulkan pada abad ke-
II H ini banyak sekali, akan tetapi yang masyhur dikalangan ahli hadits adalah sebagai
berikut :
Sedangkan pada abad ke-III Hijriyah kitab-kitab hadits yang saat itu dibukukan
yang termasyhur diantara nya adalah :
12
3. “Al-Sunan”, karya Ibnu Majah (273)
17
Riska Yunitasari, Masa Kodifikasi Hadist, Vol. 18 (Ar-Risalah: Jurnal Media Keislaman, Pendidikan dan Hukum Islam,
2020), hal. 111
18
Mudatsir, Ilmu Hadis (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h. 109-110.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
periwayatannya pada awalnya lebih banyak berlangsung secara lisan dibandingkan dengan
tulisan sebagai akibat dari upaya menghindari bercampur baurnya ayat-ayat al-Qur’an dan
hadis.
Upaya pembukuan hadis secara resmi dilakukan oleh ‘Umar bin ‘Abd al-Azīs
setelah wilayah kekuasaan Islam semakin meluas dan upaya pemalsuan hadis telah muncul,
ditambah dengan banyaknya penghafal hadis yang meninggal dunia. Selain itu, umat Islam
membutuhkan tuntunan selain al-Qur’an dalam bentuk kitab-kitab hadis standar sebagaimana
yang kita dapat saksikan hingga kini Berdasarkan periodisasi yang ada, tergambar betapa
perhatian para ulama hadis baik salaf maupun khalaf hingga zaman kontemporer sampai
sekarang ini begitu besar dalam upaya penyebarluasan hadis serta upaya pemurniannya yang
patut untuk diapresiasi dan ditindaklanjuti dengan berbagai penilitian dan pengkajian.
14
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Ismail, Dasar-Dasar Ilmu Hadis, Parepare: IAIN Parepare Nusantara Pers, 2020.
Leni Andariati, Hadis dan Sejarah Perkembangan, Vol. 4, Diroyah: Jurnal Ilmu Hadis, 2020.
Radinal Mukhtar Harahap, Hadis Pada Masa Nabi Muhammad saw dan Sahabat, Vol. 1, Ar-
Risalah: Jurnal Ilmu Hadis, 2018.
Nurul Husna, Sejarah Hadis dan Problematika Sahabat, Vol.1, Al-Bukhari: Jurnal Hadis,
2018.
Riska Yunitasari, Masa Kodifikasi Hadist, Vol. 18, Ar-Risalah: Jurnal Media Keislaman,
Pendidikan dan Hukum Islam, 2020.
Departeman Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. XII; Jakarta: Balai
Pustaka, 2008.
15