Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADIS: MASA

NABI HINGGA MASA PEMBUKUAN HADIS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Studi Hadis
Jurusan Dirasah Islamiyah Prodi Sejarah Peradaban Islam
Pada Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

Oleh:
Andi Wandi Hairuddin
NIM: 80100222020

Dosen Pemandu:
Dr. Tasbih, M.Ag.
Dr. Muh. Sabir Maidin, M.Ag.

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2022
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN

DAFTAR ISI i

KATA PENGANTAR ii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH 1

B. RUMUSAN MASALAH 2

BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADIS


3

B. PERIODISASI PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADIS


4

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN 14

DAFTAR PUSTAKA 15

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah swt. Tuhan semesta alam yang Maha memberi
kenikmatan berupa kesempatan, kesehatan, dan nikmat lainnya yang bisa dirasakan
hingga saat ini. Shalawat dan salam kepada junjungan kita baginda Nabi Muhammad
saw. Nabi yang menjadi tauladan untuk kita semua didunia maupun di akhirat.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini ada banyak hambatan
dan tantangan. Namun berkat ridha dari Allah swt sehingga penulisan makalah ini
bisa selesai. Terima kasih kepada seluruh pihak yang teah membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Tentunya makalah ini, masih jauh dari kesempurnaan.
Olehnya itu penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin Yaa Rabbal’Aalamiin.

Parepare, 03 Oktober 2022

Penulis

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah kajian hadits dari masa ke masa mengalamai perkembangan yang sangat
signifikan, mulanya kajian hadits dari lisan ke lisan berkembang menjadi tulisan,perubahan
tersebut tak lain sebagai bentuk kekhawatiran akan hilangnya hadits-hadits Nabi saw.,
perkembangan hadits mencapai puncaknya ketika memasuki periode tabiin tepatnya
pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, dimana hadits pada masa ini resmi dikodifikasi
guna menanggulangi tersebarnya hadits-hadits palsu yang di pelopori oleh para pelaku
bid’ah.

Lebih lanjut, setelah hadits dikodifikasi perkembanganya menjadi sangat pesat,


dengan lahirnya kitab-kitab kanonik hadits hingga muncul term-term keilmuwan hadits yang
berorientasi sebagai penyeleksi hadits (kritik sanad hadits) serta muncul pula kitab-kitab
syarah hadits sebagai penjelas hadits-hadits Nabi SAW. Hingga periode selanjutnya kajian
hadits beralih tidak hanya berkutat pada kritik sanad melainkan sudah memasuki kritik
terhadap matan. Bahkan seiring dengan perkembangan zaman yang sudah memasuki era
digital, hadits mulai di kemas di dalamnya guna menghadirkan pengkajian hadits dengan
lebih muda.

Sejarah perkembangan studi hadits dari fase ke fase menarik untuk diperbincangkan,
mengingat peran hadits sangat begitu sentral bagi umat Islam, sebagaimana peranya sebagai
sumber primer ajaran Islam, bahkan pelengkap keberadaan al-Quran. Sehingga keberadaan
hadits menjadi sangat urgen sekali untuk mengungkap ajaran al- Quran yang masih bersifat
global. Sebagaimana kita ketahui, pada awal perkembangannya, studi hadits mengalami
perkembangan yang sangat begitu pesat, sehingga studi hadits menjadi bahasan populer kala
itu, sebab di masa-masa sebelumnya para sahabat lebih fokus dalam mengkaji al-Quran.

Hadis pada masa Nabi saw., tidak ditulis sama sekali, karena ternyata bahwa
diantara sahabat ada juga yang menulis atas inisiatifnya sendiri, dan ada pula yang menulis
karena disuruh oleh Nabi saw. untuk kepentingan sahabat lainnya. Dengan demikian dapat
dipahami bahwasanya pada masa- masa awal, periwayatan hadis umumnya berlangsung
secara lisan, dan hampir tidak ada yang berlangsung secara tulisan kecuali dalam kondisi-
kondisi tertentu.

1
Disamping upaya periwayatan hadis yang minim lewat tulisan, para khalifah yang
empat sangat berhati-hati atau bahkan dapat dikatakan membatasi diri dan umat Islam dalam
periwayatan hadis sebagai upaya menghindarkan adanya percampur adukan antara ayat-ayat
al-Qur’an dengan hadis-hadis Nabi saw.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, perlu adanya rumusan masalah agar
makalah ini terarah dan sistematis dalam pembahasan. Maka pemakalah membatasi
permasalahan dalam penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana Pengertian Pertumbuhan Dan Perkembangan Hadis?
2. Bagaimana Periodisasi Pertumbuhan Dan Perkembangan Hadis?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan Hadis

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa “pertumbuhan yaitu


timbul, kemudian bertambah besar atau sempurna. Sementara yang dimaksud dengan
perkembangan yang berasal dari kata kembang, berarti mekar, terbuka, atau membentang,
sehingga dengan demikian, perkembangan dimaksudkan sebagai bertambah dengan
sempurna dan meluas. 1 Adapun (Hadits, secara bahasa adalah bermakna baru atau ‘lawannya
dahulu’. Lawannya dahulu maksudnya adalah lawannya al-Qur’an karena al-Qur’an adalah
kalamullah yang memiliki sifat Qadiim (Maha Dahulu). Hadits adalah yang datang dari Nabi
Muhammad saw selain al-Qur’an, dengan demikian, untuk membedakan Firman Allah dan
sabda Nabi, maka sabda Nabi dinamakan hadits (yang baru). Dan secara istilah adalah
“segala yang disandarkan kepada Nabi saw yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan,
atau sifat fisik dan etik”. Menurut definisi ini maka hadits Mawquf (sahabat) dan Maqthu’
(tabi’i) tidak dapat dikategorikan hadits karena bukan termasuk yang bersumber dari Nabi
saw.2

Mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis baik dari aspek


periwayatan maupun pendewanannya sangat dipentingkan, karena dengannya dapat diketahui
proses dan transformasi berkaitan dengan perkataan, perbuatan, hal ihwal, sifat, dan taqrīr
dari Nabi saw. kepada para sahabat dan seterusnya hingga munculnya kitab- kitab himpunan
hadis untuk dijadikan pedoman dan bahan kajian selanjutnya. 3 Al-Qur’an dan hadits adalah
sumber rujukan yang utama bagi umat islam, kedua sumber hukum tersebut awalnya berupa
lisan atau amalan saja, kemudian secara bertahap dalam alur perjalanan sejarah yang cukup
kompleks akhirnya menjadi sebuah teks yang tertulis dan disucikan. 4

Selain itu dapat diketahui kesungguhan yang ditunjukkan oleh para ulama baik yang
datang lebih awal (salaf), maupun yang datang belakangan (khalaf) serta pihak- pihak yang
terlibat dalam periwayatan dalam rangka menyebarluaskan hadis atau sunnah, serta
menjaganya dari upaya-upaya pemalsuan, sehingga dapat memberikan apresiasi yang layak
dan agar kecintaan kepadanya semakin bertambah dengan senantiasa mengamalkan petunjuk-
petunjuk yang ada di dalamnya, kemudian disosialisasikan kepada yang lain.
1
Departeman Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. XII; Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal. 1745.
2
Atho’illah Umar, Ilmu Hadis Dasar, (Jombang, UNWAHA Press, 2020) hal. 3
3
Leni Andariati, Hadis dan Sejarah Perkembangan, Vol. 4 (Diroyah: Jurnal Ilmu Hadis, 2020), hal. 154
4
Riska Yunitasari, Masa Kodifikasi Hadist, Vol. 18 (Ar-Risalah: Jurnal Media Keislaman, Pendidikan dan Hukum Islam,
2020), hal. 101

3
Pada masa kehidupan Rasul, orang-orang tidak perlu buka kamus, buka referensi,
bertanya kesana dan kemari, untuk mendapatkan pemahaman terhadap teks Alquran. Berbeda
dengan sekarang, jauhnya jarak antara dua masa, menjadi kendala tersendiri dalam
memahami teks-teks agama, yang tertuang dalam Alquran dan Hadis. Selain krisis ekonomi,
krisis moral dan krisis keyakinan, krisis pemahaman Hadis juga menjadi problem tersendiri,
hari ini. 5

B. Periodisasi Pertumbuhan dan Perkembangan Hadis

Sebelum hadis tercatat dan terbukukan seperti yang dapat di temui saat ini, tentu hadis
telah melewati sekian banyak fase mulai dari fase dimana pertama kali disabdakan oleh nabi
Muhammad saw. Atau di contohkan lewat perbuatannya sampai pada fase dimana hadis
mulai ditulis lalu dibukukan dan menjadi objek pembahasan sebagai sebuah rujukan utama
dalam kajian tentang sumber utama ajaran islam setelah al-Qur’an.6

Sehubungan dengan hal ini, untuk memudahkan dalam mengenali dan memahami
sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis dari masa ke masa, akan dipetakan penjelasan
tentang sejarah hadis dalam bentuk beberapa fase atau periode sebagai berikut:

1. Masa Kelahiran Hadis

Kelahiran hadis yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah dilahirkan atau
disabdakannya hadis itu oleh Rasulullah saw. sejak awal masa kenabian, masa sahabat,
hingga pada penghujung abad pertama Hijriah. Uraian mengenai masa kelahiran hadis
sebagaimana dimaksud terkait langsung dengan pribadi Nabi saw. sebagai sumber hadis,
dimana beliau telah membina umatnya selama + 23 tahun. 7 Posisi Nabi saw. yang bertugas
menyampaikan risalah islamiyyah kepada umat manusia, kataatan dan kepatuhan para
sahabat semakin bertambah kuat, sebab mereka sadar bahwa mengikuti Rasul dan Sunnah-
nya adalah suatu keharusan sebagai bahagian tak terpisahkan dari kepatuhan kepada Allah
swt.

5
Fakhrurrozi, Metode Pemahaman Hadis Kontemporer, Vol. 1, (Jurnal Waraqat, 2016), hal. 2
6
Muhammad Ismail, Dasar-Dasar Ilmu Hadis, (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Pers, 2020), hal. 35
7
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), hal. 70

4
Dalam rangka penyampaian risalah, Rasulullah menanamkan kepada para
sahabatnya akan pentingnya ilmu dan menuntut ilmu sekaligus menyampaikannya kepada
orang lain yang tidak hadir dalam mengikuti setiap perjalanan atau majelis Nabi saw.,
karena halangan atau kesibukan tertentu.

Antusiasme dan kesungguhan para sahabat dalam menerima segala yang


diajarkan Nabi saw., baik berupa wahyu al-Qur’an maupun hadis Nabi sendiri, menjadikan
mereka benar-benar terbentuk sebagai pribadi muslim yang berkualitas, dan dengan
pemahanan yang baik terhadap ajaran Islam yang mereka terima. Selain karena
dorongan keagamaan, kekuatan hafalan dan ingatan juga sangat menunjang untuk
menghafal dan memahami apa yang mereka terima dari Nabi saw.

Seiring dengan turunnya ayat-ayat al-Qur’an secara berangsur angsur dalam


rangka menghilangkan akidah-akidah yang rusak serta kebiasaan kebiasan yang merusak
dan dalam rangka memerangi kemungkaran yang terjadi pada masa jahiliyah, turun pula
secara berangsur angsur akidah yang benar, ibadah ibadah dan hukum hukum dan ajakan
kepada budi pekerti luhur, dan perintah untuk senantiasa konsisten dan bersabar dalam
perjuangan dan dalam menghadapi berbagai cobaan dan rintangan.

Tugas Rasulullah saw. berkaitan dengan ayat ayat yang turun itu adalah
menjelaskannya kepada para sahabat tentang maksudnya, memberikan fatwa, memisahkan
pihak-pihak yang bermusuhan sambil menegakkan berbagai aturan yang ada, serta juga
menerapakan pengajaran al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, dan itu semu adalah
sunnah Nabi saw. yang sejatinya senantiasa dijadikan pedoman.

Dari keterangan ini dapat dipahami, bahwa lahirnya hadis adalah dari adanya
interaksi Rasulullah sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) terhadap ayat ayat al-Qur’an
dengan para sahabat atau umat lainnya, atau dengan kata lain dalam rangka penyampaian
risalah, dan juga karena adanya berbagai persoalan hidup yang dihadapi oleh umat dan
dibutuhkan solusi atau jalan pemecahannya dari Nabi saw.

Sepeninggal Nabi saw., kalangan sahabat sangat berhati hati dalam menerima dan
meriwayatkan hadis. Hal itu dimaksudkan sebagai upaya menjaga kemurnian al-Qur’an
agar tidak dicampur baurkan dengan hadis, dan juga untuk menjaga orisinalitas hadis itu
sendiri. Pada masa nabi, hadis diterima oleh sahabat dengan beberapa metode, antara lain
adalah;

5
1. Mengikuti majlis-majlis ilmu yang diisi langsung oleh Rasulullah saw.
2. Terjadinya sebuah peristiwa yang dialami oleh Rasulullah dan kemudian Rasulullah
menjelaskan hukumnya kepada para sahabat.
3. Sahabat nabi terkadang mengalami sebuah peristiwa yang mereka tidak mengetahui
bagaimana hukumnya sehingga mereka akan langsung bertanya sendiri kepada
Rasulullah atau meminta kepada sahabat lain.
4. Peristiwa dimana para sahabat menyaksikan langsung bagaimana Rasulullah
melakukan sesuatu.8
Tapi cara dimana para sahabat paling banyak menerima hadis adalah peristiwa
dimana para sahabat menyaksikan langsung bagaimana Rasulullah melakukan sesuatu
dan dari sinilah kemudian banyak hadis yang tentang bagaimana nabi melakukan
ibadah-ibadah, seperti puasa, shalat, dan lain-lain.

Abū Bakr sebagai khalifah kedua melakukan upaya seleksi dan penyaringan
terhadap suatu riwayat yang disampaikan oleh seseorang kepadanya dengan meminta
persaksian (syahādah) orang lain yang (pernah) mendengar riwayat yang sama seperti
terkait seorang nenek perempuan yang datang kepadanya menanyakan hak warisan
untuknya lalu ‘Umar mengaku tidak menemukannya di dalam al-Qur’an dan juga dari
penjelasan Rasulullah saw., lalu beliau bertanya kepada halayak, lalu al-Mugīrah
menyebutkan seperlima sesuai riwayat. Ia pun meminta persaksian sahabat lain yaitu
dari Muhammad bin Maslamah. Demikian pula yang dilakukan oleh ‘Umar ibn al-
Khaṭṭāb di saat Abū Mūsā datang ke rumahnya dan meminta izin tiga kali, tetapi karena
tidak ada jawaban, ia kemudian pulang. ‘Umar meminta persaksian dari sahabat yang
lain, lalu Ubay bin Ka’ab memperkuat Abū Mūsā.

Uṡmān bin ‘Affān mengikuti jejak kedua pendahulunya, bahkan ia pernah


tidak membenarkan periwayatkan suatu hadis dari Nabi saw. bila ia tidak pernah
mendengarkannya pada zaman Abū Bakr dan ‘Umar. ‘Aliy bin Abī Ṭālib selain
melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh tiga khalifah sebelumnya, ia
menambahkannya dengan meminta periwayat bersangkutan untuk bersumpah sebagai
persyaratan baginya untuk menerima atau menolak suatu riwayat yang disampaikan
kepadanya.

8
Muhammad Ismail, Dasar-Dasar Ilmu Hadis, (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Pers, 2020), hal. 36

6
Metode Pengajaran Hadis Nabi Metode-Metode yang dipakai Nabi dalam
mengajarkan hadis dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok:

a) Pengajaran Secara Verbal/Lisan Nabi sendiri adalah guru terhadap sunah-


sunahnya. Untuk menghafal dan memahami Nabi biasanya
mengulangngulangi inti masalah sampai tiga kali. Setelah mengajar para
sahabat, Nabi biasanya mendengarkan apa yang telah mereka dapatkan dari
beliau.

b) Pengajaran Tertulis Semua surat-surat Nabi kepada para raja, penguasa,


komandan tentara dan gubernur muslim, dapat dimasukkan kedalam
pengajaran sunnah dengan media tulisan. Banyak di antara surat-surat tersebut
yang cukup panjang dan merangkum masalah-masalah hukum yang berkaitan
dengan zakat, pajak, bentukbentuk ibadah lainnya.

c) Demonstrasi Secara Praktis Metode ini sangat dibutuhkan sekali, Nabi


mengajarkan cara-cara berwudhuk, salat, puasa, haji dal lain sebagainya. Di
setiap perjalanan kehidupan, Nabi memberikan pelajaran praktis dengan
intruksi yang cukup jelas untuk mengikut segala tindakannya. Beliau bersabda,
“Salatlah kalian seperti kalian melihat shalatku.”9

2. Masa Penulisan Hadis

Pada fase ke-Nabian di Makkah Nabi Muhammad SAW hadir ditengah


komunitas buta huruf, jika dihitung hanya 17 orang yang mengenal budaya tulis-menulis.
Di madinah sendiri belum terkenal budaya menulis, kecuali pada kalangan yahudi,
Perhatian Nabi saw. terhadap baca tulis sangatlah besar, sebab ternyata bahwa beliau
senantiasa memberikan motivasi serta mensosialisasikan baca tulis di kalangan sahabat.
Sebagai bukti dari itu, adalah keputusan beliau untuk membebaskan tawanan dari
kalangan orang-orang kafir pada Perang Badar dengan syarat tiap tahanan mengajar
membaca dan menulis sepuluh orang dari putra-putra Islam Madinah sampai mahir.10

9
Nurul Husna, Sejarah Hadis dan Problematika Sahabat, Vol.1, (Al-Bukhari: Jurnal Hadis, 2018). hal. 269
10
Riska Yunitasari, Masa Kodifikasi Hadist, Vol. 18 (Ar-Risalah: Jurnal Media Keislaman, Pendidikan dan Hukum Islam,
2020), hal. 103

7
Sebagai hasil dari berbagai upaya yang dilakukan oleh Rasulullah, tercatat
sejumlah 40 orang penulis yang ditugasi oleh Rasulullah saw. untuk menulis wahyu, selain
dari penulis berbagai bidang lainnya sesuai dengan spesifikasi dan tugas masing- masing.

Selain itu, Nabi Muhammad saw. juga mengangkat juru tulis dari kalangan
sahabat untuk menulis ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepadanya, dan untuk menulis
surat-surat yang dikirim kepada raja-raja untuk kepentingan dakwah Islam. Adapun untuk
hadis, ternyata tidak ada perintah langsung dari Nabi saw. untuk menulisnya sehingga
tidak terjadi seperti halnya dengan al-Qur’an, dan bahkan yang populer adalah adanya
larangan beliau untuk menulisnya.

Pendapat yang populer adalah sahabat-sahabat tersebut penulis Alquran, dan


bukan hadis. Pendapat itu kemudian dikaitkan dengan diriwayatkan oleh Abū Sa‘īd al-
Khudrī, bahwa Rasullah saw bersabda: “Janganlah kamu sekalian menulis – apa yang
kamu dengar dariku – selain dari Alquran, barangsiapa yang telah menulis selain dari
Alquran, maka hapuskanlah”.

Padahal, dalam tuturan Muṣṭafā al-Sibā‘ī, beberapa sahabat telah menuliskan apa
yang mereka dengar dari Rasulullah saw., seperti ‘Abdullāh bin ‘Amrū bin ‘Aṣh yang
mempunyai ṣahīfah (lembaran yang tertulis) bernama ṣādiqah. Mengomentari itu, lanjut
Muṣṭafā al-Sibā‘ī, Abū Hurayrah diriwayatkan berkata, “Tidak ada seorangpun yang lebih
mengetahui hadis Rasulullah saw. dibanding aku, kecuali ‘Abdullāh bin ‘Amrū Ash. Hal
ini karena ia telah mencatatnya sedangkan aku tidak.” Bahkan, saat fathu makkah, Rasul
bersabda: “Tuliskanlah untuk Abū Syah ini!”, yaitu perihal penyelesaian suatu kasus.

Dua hadis di atas, perintah menulis dan larangannya, terlihat seakan kontradiktif.
Hal ini yang kemudian dibantah oleh Muh. Mustafa Azami lewat karyanya yang berjudul
Dirāsāt fī al-Ḥadīṡ alNabawī wa Tārīkh Tadwīnih. Ia membahasnya dalam 13 halaman
kitab tersebut dengan kesimpulan sebagai berikut:

1. Larangan menulis hadis adalah larangan yang tersemat (mubayyinan) pada kondisi
dan situasi khusus, seperti seseorang yang baru masuk Islam atau menuliskannya
dalam satu alat dengan Alquran.

2. Larangan menulis hadis adalah larangan menulisnya bersamaan dengan Alquran–


dalam lembaran yang sama atau waktu yang sama–dan hal itu agar tidak tercampur
antara redaksi firman Allah dengan tafsiran Nabi.

8
3. Larangan untuk menulis hadis tidak berlaku umum dan setiap saat (lam takun
‘āmmah wa lā dā’imah). Hal itu dikarenakan fakta bahwa ada sejumlah sahabat yang
menuliskan hadis di masa Nabi, dan Nabi mengizinkannya. perihal hadis larangan
menulis di atas adalah salah satu di antara penyebab sedikitnya penulisan hadis di
zaman Rasulullah.11

Dengan hadits yang saling bertentangan dalam hal penulisan hadits, ternyata
diantara para sahabat terdapat yang meiliki beberapa kumpulan hadits dalam bentuk
tulisan secara pribadi, misalnya Abdullah bin Amru bin Ash yang telah mengumpulkan
hadits yang dinamainya dengan al-Shahifah al-Anshari yang didalamnya memuat seribu
hadits Nabi, disusul juga oleh Saa ibn Ubadah al-Anshari, samrah bin Jundub, Jabir bin
Abdullah al-Anshari dan Anas bin Malik.12

Terkait penyebaran Hadis juga, Muh. Mustafa Azami membaginya kepada empat
periode, yaitu:

1. Periode penulisan pada generasi sahabat, di abad pertama hijriyah

2. Periode penulisan pada generasi senior (kibār) tābi’īn, di abad pertama hingga 105
hijriyah

3. Periode penulisan dan kodifikasi karya, di permulaan abad kedua.

4. Periode penulisan generasi junior (ṣigār) tābi‘īn dan atbā‘ al-tābi‘īn, di ¾ akhir
abad kedua.

3. Masa Kodifikasi/Pembukuan Hadis (Tadwin al-Hadis)


Kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang berarti codification,
yaitu mengumpulkan dan menyusun. Sedangkan menurut istilah, kodifikasi adalah
penulisan dan pembukuan hadis Nabi secara resmi yang berdasar pada perintah khalifah
dengan melibatkan beberapa personil yang ahli di bidang hadis, bukan di lakukan secara
individual ataupun demi kepentingan sendiri. Jadi, kodifikasi hadis adalah penulisan,
penghimpunan, dan pembukuan hadis Nabi Muhammad SAW yang dilakukan atas
perintah resmi dari khalifah Umar ibn Abd al-Aziz, khalifah kedelapan dari Bani
Umayyah yang kemudian kebijakannya ditindak lanjuti oleh para ulama di berbagai

11
Radinal Mukhtar Harahap, Hadis Pada Masa Nabi Muhammad saw dan Sahabat, Vol. 1 (Ar-Risalah: Jurnal Ilmu Hadis,
2018), hal. 41-42
12
Riska Yunitasari, Masa Kodifikasi Hadist, Vol. 18 (Ar-Risalah: Jurnal Media Keislaman, Pendidikan dan Hukum Islam,
2020), hal. 105

9
daerah sampai pada masa hadis terbukukan dalam kitab hadis. 13

Pembukuan hadis secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan khalifah
kedua dari Dinasti Umayyay yaitu ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz. Adapun dua hal pokok yang
mendorong khalifah dimaksud untuk membukukan hadis secara resmi yaitu sebagai
berikut:

a. Kekhawatiran akan lenyapnya hadis, Banyak sahabat yang terpencar dibeberapa


kota, dan banyak meninggal dalam peperangan.

b. Munculnya hadis palsu akibat perbedaan politik dan mazhab, sehingga khawatir
akan bercampurnya hadis-hadis yang sahih dengan hadis-hadis palsu. 14

Khalifah ketika itu Umar bin Abdul Azis menyurat kepada Abū Bakar
Muḥammad bin Ḥazm sebagai (gubernur sekaligus sebagai hakim di Madinah) untuk
menuliskan hadis yang ada padanya dan pada ‘Amrah binti ‘Abd al-Raḥmān dan al-Qāsim
bin Muḥammad, dan demikian pula yang ada pada Ibn Syihāb al-Zuhriy. Ia juga berkirim
surat ke berbagai penjuru negeri untuk mendorong pihak-pihak yang bertanggungjawab di
sana agar menggiatkan ahli ilmu untuk studi sunnah dan menghidupkannya, karena
menurutnya sunnah telah mati.

Namun sangat disayangkan, bahwa apa yang telah dihasilkan oleh Ibn Hazm, dan
Ibn Syihāb al-Zuhriy tidak diketahui keberadaannya hingga kini, dan ada hanyalah hasil
karya Mālik bin Anas yang dapat dijumpai hingga saat ini, walaupun di dalamnya masih
bercampur antara perkataan Nabi saw., maupun perkataan sahabat.

Yang melatarbelakangi kebijakan Umar ibn Abdul Aziz untuk membukukan


hadis secara resmi, adalah:

a. Sebelumnya hadis tersebar dalam lembaran dan catatan masing-masing sahabat,


misalnya sahifah yang dimiliki Abdullah ibn Umar, Jabir dan Hammam ibn
Munabbih. Ahli hadis menyerahkan semua yang berurusan tentang penulisan hadis
kepada hafalan para sahabat yang lafadznya mereka terima dari Nabi, namun ada
juga sahabat yang hanya tahu maknanya dan tidak pada lafadznya, hal itulah yang
kemudian menjadikan adanya perselisihan riwayat penukilan sekaligus rawinya.
Dari situ ada kekhawatiran dari Umar ibn Abdul Aziz kalau nantinya hadis Nabi
disia-siakan oleh umatnya.

13
Leni Andariati, Hadis dan Sejarah Perkembangan, Vol. 4 (Diroyah: Jurnal Ilmu Hadis, 2020), hal. 160
14
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), hal. 90

10
b. Penulisan dan penyebaran hadis yang terjadi dari masa Nabi sampai masa sahabat
masih bersifat kolektif individual, dan juga ada perbedaan para sahabat dalam
menerima hadis. Dengan kondisi yang seperti itu dikhawatirkan akan terjadi
penambahan dan pengurangan pada lafadz hadis yang diriwayatkan.

c. Semakin meluasnya kekuasaan Islam ke berbagai negara yang kemudian memiliki


pengaruh besar pada tiga benua, yaitu Asia, Afrika dan sebagian benua Eropa.
Dengan demikian juga menjadikan para sahabat tersebar ke negara-negara tersebut.
Dari sana muncul berbagai masalah yang berbeda yang dihadapi para sahabat, yang
berefek pada melemahnya hafalan mereka. Belum lagi banyak sahabat yang
meninggal di medan perang demi membela panji-panji keislaman, untuk itulah
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz merasa cemas dan khawatir kalau hafalan para
sahabat hilang begitu saja.

d. Banyak bermunculan hadis-hadis palsu, terutama setelah wafatnya khalifah Ali ibn
Abi Thalib sampai pada masa dinasti Umayyah, yang membuat umat Islam terpecah
menjadi beberapa golongan yang membawa mereka untuk mendatangkan keterangan
hadis yang diperlukan untuk mengabsahkan sebagai golongan yang paling benar.15

4. Masa Pen-Tashihan/ Seleksi dan Penyaringan Hadis


Masa pen-taṣḥīḥ-an yang dikenal pula dengan masa seleksi dan penyaringan
hadis, terjadi pada masa pemerintahan bani ‘Abbās utamanya pada masa khalifah al-
Makmūn sampai al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H.). Periode seleksi ini muncul,
karena pada masa sebelumnya yaitu tadwīn (pembukuan hadis secara resmi) terhadap
hadis Nabi saw., para ulama belum berhasil memisahkan antara hadis Marfu’:
(penisbatannya pada Nabi shollallahu alaihi wasallam), dan Mauquf: (penisbatannya pada
Sahabat Rasulullah saw). dan Maqthu’: (penisbatannya pada Tabi’i atau orang-orang
setelahnya). Pembukuan hadis pada abad ke II hijriah belum tersusun secara sistematis
dalam bab-bab tertentu. Dalam penyusunannya, mereka masih memasukkan perkataan
sahabat dan fatwa tabi’in di samping hadis dari Nabi Muhammad SAW. Kesemuanya
dibukukan secara bersamaan, dari situlah kemudian terdapat kitab hadis yang marfu’,
mauquf dan maqthu’.16 Antara hadis sahih dan ḍa’īf, dan antara nāsikh (yang menganulir
atau menghapus) dan mansūkh (dianulir atau dihapus).

15
Leni Andariati, Hadis dan Sejarah Perkembangan, Vol. 4 (Diroyah: Jurnal Ilmu Hadis, 2020), hal. 161
16
Leni Andariati, Hadis dan Sejarah Perkembangan, Vol. 4 (Diroyah: Jurnal Ilmu Hadis, 2020), hal. 160

11
Kitab hadis yang marfu’, mauquf dan maqthu’. Di antara kitab-kitab hadis abad
ke II H yang mendapat perhatian ulama secara umum adalah kitab al-Muwatha’ yang
disusun oleh Imam Malik, al-Musnad dan Mukhtalif al-Hadis yang disusun Imam asy-
Syafi’i serta as-Sirah an-Nabawiyah atau al-Maghazi wa as-Siyar susunan Ibnu Ishaq. Dari
kesemuanya, al-Muwatha’ lah yang paling terkenal dan mendapat sambutan yang paling
meriah dari para ulama, karena banyak para ahli yang membuat penjelasan (syarah) dan
ringkasannya (mukhtashar). Dalam kitab ini mengandung 1.726 rangkaian khabar dari
Nabi, sahabat, dan tabi’in. Khabar yang musnad (disamakan) sejumlah 600, yang mursal
sejumlah 228, yang mauquf sejumlah 613 dan 285 yang maqthu’.

Beberapa kitab-kitab hadits yang telah dibukukan dan dikumpulkan pada abad ke-
II H ini banyak sekali, akan tetapi yang masyhur dikalangan ahli hadits adalah sebagai
berikut :

1. “Al-Muwattha’”, karya Imam Malik ibn Anas (95-179H)

2. “Al- Maghazi” wa al-Siyar, karya Muhammad ibn Ishaq (150 H)

3. “Al-Jami’”, karya Abd al-Razak al-San’ani (211 H)

4. “Al-Musannaf”, karya Syu’bah ibn Hajjaj (160 H)

5. “Al-Musannaf”, karya Sufyan ibn Uyainah (198 H)

6. “Al-Musannaf”, karya al-Lais ibn Saad (175 H)

7. “Al-Musannaf”, karya al-Auza’I (150 H)

8. “Al-Musannaf”, karya al-Humaidi (219 H)

9. “Al-Maghazi al-Nabawiyah”, karya Muhammad ibn Wagid al-Aslami (130-


207 H)

10. “Al-Musnad”, karya Abu Hanifah (150 H)

11. “Al-Musnad”, karya Imam Syafi’I (204 H)

12. “Mukhtalif al-Hadits”, karya Imam al-Syafi’I (204 H)

Sedangkan pada abad ke-III Hijriyah kitab-kitab hadits yang saat itu dibukukan
yang termasyhur diantara nya adalah :

1. “Al-Jami’ al-Shahih”, karya Imam al-Bukhari (256 H)

2. “Al-Jami’ al-Sahih”, karya Imam Muslim (261 H)

12
3. “Al-Sunan”, karya Ibnu Majah (273)

4. “Al-Sunan”, karya Abu Daud (275 H)

5. “Al-Sunan”, karya al-Tirmidzi

6. “Al-Sunan”, karya al-Nasa’I (303 H)

7. “Al-Musnad”, karya Ahmad ibn Hanbal

8. “Al-Musnad”, karya al-Darimi

9. “Al-Musnad”, karya Abu Daud al-Tayalisi. 17

Ulama pada masa ini bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan terhadap


hadis yang diterimanya, dan berkat keuletan mereka, telah lahir kitab pokok yang enam
(al-Kutub al-Sittah), yaitu: “Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan At-
Tirmidzi, Sunan An-Nasa’I, Sunan Ibnu Majah.18 Dengan demikian pada abad ke-III ini
tersusunlah tiga macam kitab hadits, yaitu : kitab-kitab hadits shahih, kitab-kitab hadits
Sunan dan kitab-kitab hadits Musnad (disamakan), hingga saat ini atau di masa
kontemporer ini, kitab-kitab Hadis tersebut masih tetap di pakai sebagai rujukan atau
referensi.

17
Riska Yunitasari, Masa Kodifikasi Hadist, Vol. 18 (Ar-Risalah: Jurnal Media Keislaman, Pendidikan dan Hukum Islam,
2020), hal. 111
18
Mudatsir, Ilmu Hadis (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h. 109-110.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perjalanan Hadis telah mengalami masa yang panjang dimana proses

periwayatannya pada awalnya lebih banyak berlangsung secara lisan dibandingkan dengan

tulisan sebagai akibat dari upaya menghindari bercampur baurnya ayat-ayat al-Qur’an dan

hadis.

Upaya pembukuan hadis secara resmi dilakukan oleh ‘Umar bin ‘Abd al-Azīs

setelah wilayah kekuasaan Islam semakin meluas dan upaya pemalsuan hadis telah muncul,

ditambah dengan banyaknya penghafal hadis yang meninggal dunia. Selain itu, umat Islam
membutuhkan tuntunan selain al-Qur’an dalam bentuk kitab-kitab hadis standar sebagaimana

yang kita dapat saksikan hingga kini Berdasarkan periodisasi yang ada, tergambar betapa

perhatian para ulama hadis baik salaf maupun khalaf hingga zaman kontemporer sampai

sekarang ini begitu besar dalam upaya penyebarluasan hadis serta upaya pemurniannya yang

patut untuk diapresiasi dan ditindaklanjuti dengan berbagai penilitian dan pengkajian.

14
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Ismail, Dasar-Dasar Ilmu Hadis, Parepare: IAIN Parepare Nusantara Pers, 2020.

Leni Andariati, Hadis dan Sejarah Perkembangan, Vol. 4, Diroyah: Jurnal Ilmu Hadis, 2020.

Radinal Mukhtar Harahap, Hadis Pada Masa Nabi Muhammad saw dan Sahabat, Vol. 1, Ar-
Risalah: Jurnal Ilmu Hadis, 2018.

Nurul Husna, Sejarah Hadis dan Problematika Sahabat, Vol.1, Al-Bukhari: Jurnal Hadis,
2018.

Riska Yunitasari, Masa Kodifikasi Hadist, Vol. 18, Ar-Risalah: Jurnal Media Keislaman,
Pendidikan dan Hukum Islam, 2020.

Mudatsir, Ilmu Hadis, Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.

Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016.

Departeman Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. XII; Jakarta: Balai
Pustaka, 2008.

Fakhrurrozi, Metode Pemahaman Hadis Kontemporer, Vol. 1, Jurnal Waraqat, 2016.

Atho’illah Umar, Ilmu Hadis Dasar, Jombang, UNWAHA Press, 2020.

15

Anda mungkin juga menyukai