Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HADIST MENURUT ISLAM


Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam


Dosen Pengampu : Adam Sugiarto S.Pd.I.,M.Pd.I.

Disusun Oleh :

1. Alifi Rahmawati Durachim


2. Azid Bustomi
3. Khalilah Fairuz
4. Linda Aryani
5. Novita Karlina
6. Yulia Pitri Rahmadani

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM STUDI AKUNTANSI S1
UNIVERSITAS PAMULANG
2023
KATA PENGANTAR

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, kami mengucapakan puji syukur

ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan Rahmat dan karunia-Nya sehingga

penulisan makalah ini dapat rampung walaupun tekniknya penyajiannya masih jauh dari

kesempurnaan sebagai suatu makalah yang bersifat membangun.

Adapun pembuatan makalah ini disusun untuk memenuhi nilai Mata Kuliah

Pendidikan Agama Islam. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Adam sugiarto yang

telah memberikan tugas untuk membuat makalah ini sehingga membantu kami selaku penulis

dapat belajar kembali tentang “Hadist Menurut Islam”.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karenanya, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk perbaikan

makalah ini di kemudian hari. Akhir kata, semoga makalah sederhana ini dapat menambah

wawasan yang lebih luas kepada pembaca.

07 Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG...................................................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH...............................................................................................................2
1.3 TUJUAN........................................................................................................................................2
BAB II......................................................................................................................................................3
2.1 PENGERTIAN HADIST...............................................................................................................3
2.2 AWAL MUNCUL HADIST.........................................................................................................3
2.3 FUNGSI HADIST.........................................................................................................................4
2.4 JENIS – JENIS HADIST...............................................................................................................8
2.5 HADIST MENURUT ISLAM.......................................................................................................8
2.6 HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM.......................................................................9
BAB III..................................................................................................................................................11
3.1 KESIMPULAN............................................................................................................................11
3.2 SARAN........................................................................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Hadis merupakan salah satu dasar pengambilan hukum Islam setelah alQuran. Sebab hadis
mempunyai posisi sebagai penjelas terhadap makna yang dikandung oleh teks suci tersebut.
Apalagi, banyak terdapat ayat-ayat yang masih global dan tidak jelas Maknanya sehingga
seringkali seorang mufassir memakai hadis untuk mempermudah pemahamannya.

Seiring dengan perkembangan ulumul hadis, maka terdapat beberapa kalangan yang serius
sebagai pemerhati hadis. Hal ini tidak lain bertujuan untuk mengklasifikasikan hadis dari aspek
kualitas hadis baik ditinjau dari segi matan hadis maupun sanad hadis. Sehingga dapat
ditemukan hadis-hadis yang layak sebagai hujjah dan hadis yang tidak layak sebagai hujjah.

Posisi hadis sebagai sumber hukum. Tidak lain karena adanya kesesuaian antara hadis
dengan teks suci yang ditranmisikan kepada Nabi Muhammad. Bisa juga dikatakan bahwa hadis
merupakan wahyu Tuhan yang tidak dikodifikasikan dalam bentuk kitab sebab lebih banyak
hasil dari proses berpikirnya Nabi dan hasil karya Nabi. Akan tetapi bukan berarti hadis adalah
al-Quran.

Dengan alasan itu maka selayaknya hadis mendapat perhatian yang khusus bagi tokoh
cendekiawan Muslim selain studi al-Quran. Agar khazanah ajaran islam benar-benar mengakar
dengan melakukan kontektualisasi terhadap realitas dimana hadis itu hadir. Dalam memahami
hadis Nabi, realitas mempunyai posisi yang sangat penting. Agar hadis Nabi mampu
mengakomodir segala realitas yang komplek dan beragam. Dengan itu, maka hadis Nabi tidak
akan pernah mati dan terus hidup sampai penutupan zaman.

iv
1.2 RUMUSAN MASALAH
a. Pengertian hadist
b. Awal munculnya hadist
c. Fungsi hadist
d. Jenis atau macam – macam hadist
e. Hadist menurut islam
f. Hadist sebagai sumber hokum islam

1.3 TUJUAN
a. Menjelaskan pengertian dari hadist
b. Menjelaskan awal kemunculan hadist
c. Menjelaskan fungsi dari hadist
d. Mendeskripsikan apa saja jenis – jenis hadist
e. Menjelaskan hadist menurut islam
f. Menjelaskan hadist sebagai sumber hukum islam
g. Agar pembaca memahami apa itu hadist menurut islam

v
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN HADIST MENURUT ISLAM

Sebagai sumber hukum kedua setelah Alquran, hadits mengandung banyak


ketentuan dan pembelajaran bagi umat Islam. Namun, sebelum membahas hal itu, perlu
diketahui dulu pengertian hadits menurut bahasa dan istilah
Secara bahasa, hadits artinya sesuatu yang baru, dekat, atau singkat. Mengutip buku
Pengantar Studi Ilmu Hadits karya Syaikh Manna al-Qaththan, hadits juga bisa berarti
sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
Secara istilah, hadits adalah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik berupa
ucapan, perbuatan, ataupun pengakuan. Hadits dapat menjadi penjelas bagi ayat Alquran
yang bersifat global.
Hadits merupakan sunah rasul yang dituliskan kembali, maka dari itu hadits
memiliki fungsi dalam pemahaman Al-Qur’an. Hadits tidak boleh ditafsirkan secara
sembarangan, hanya orang ahli hadits yang memiliki ilmu pengetahuan tentang hadits yang
bisa melakukannya.

2.2 AWAL MUNCULNYA HADIST


Sejarah dan perkembangan hadis dapat dilihat dari dua aspek penting, yaitu
periwayatan dan pen-dewan-annya. Dari keduanya dapat diketahui proses dan
transformasi yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan, hal ihwal, sifat dan taqrir
dari Nabi SAW kepada para sahabat dan seterusnya hingga munculnya kitab-kitab
himpunan hadis untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan ini. Terkait dengan masa
pertumbuhan dan perkembangan hadis, para ulama berbeda dalam menyusunnya.
M.M.Azamiy dan Ajjaj al-khatib membaginya dalam dua periode, dan Muhammad
Abd al-Ra’uf membaginya ke dalam lima periode, sedangkan Hasbi Ash-Shiddieqy
membaginya dalam tujuh periode.

Kelahiran hadis sebagaimana dimaksud terkait langsung dengan pribadi Nabi


Muhammad SAW, sebagai sumber hadis, dimana beliau telah membina umatnya
selama kurang lebih 23 tahun, dan masa tersebut merupakan kurun waktu turunnya
wahyu (al-Qur’an), berbarengan dengan itu keluar pula hadis. Lahirnya hadis pada
masa Nabi adalah adanya interaksi Rasullah sebagai mubayyin (pemberi penjelasan)
terhadap ayat-ayat al-Qur’an kepada sahabat atau umat lainnya, dalam rangka
penyampaian risalah, dan juga karena adanya berbagai persoalan hidup yang dihadapi
oleh umat dan dibutuhkan solusi atau jalan pemecahannya dari Nabi SAW, lalu para
sahabat memahami dan menghafal apa yang telah diterimanya dari Nabi SAW.

vi
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, kalangan sahabat sangat berhati-hati
dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya
menjaga kemurnian al-Qur’an agar tidak tercampur dengan hadis, selain itu juga
untuk menjaga keorisinalitas hadis tersebut. Keadaan di era tabi’in sedikit berbeda
dengan apa yang terjadi di era sahabat. Karena al-Qur’an ketika itu telah
disebarluaskan ke seluruh negeri Islam, sehingga tabi’in bisa mulai menfokuskan diri
dalam mempelajari hadis dari para sahabat yang mulai bersebaran ke suluruh penjuru
dunia Islam. Dengan demikian, pada masa Tabi’in sudah mulai berkembang
penghimpunan hadis (al-jam’u wa al-tadwin), meskipun masih ada percampuran
antara hadis Nabi dengan fatwa sahabat. Barulah di era tabi’ al-tabi’in hadis telah
dibukukan, bahkan era ini menjadi masa kejayaan kodifikasi hadis. Kodifikasi
dilakukan berdasar perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan Bani
Umayyah yang kebijakannya ditindaklanjuti oleh ulama diberbagai daerah hingga
pada masa berikutnya hadis terbukukan dalam kitab hadis.
Setelah era tabi’ al-tabi’in, yaitu masa abad II, III, IV-VII dan seterusnya yang
terjadi pada hadis adalah penghimpunan dan penerbitan secara sistematik (al-jam’u
wa at-tartib wa at-tanzhim). Dengan demikian, bagaimana perkembangan tradisi
periwayatan hadis dari masa ke masa itulah yang akan menjadi sorotan dalam artikel
ini.

2.3 FUNGSI HADIST


Imam Malik bin Anas menyebutkan lima fungsi hadits, yaitu bayan al- taqrir,
bayan al Tafsir, bayan al tafsil, bayan al ba'ts, bayan al tasyri'. Imam Syafi’i
menyebutkan bayan al-tafsil, bayan at takhshih, bayan al ta'yin, bayan al tasyri',
bayan al nasakh. Dalam ar risalah ia menambahkan dengan bayan al Isyarah. Imam
Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi hadits yaitu: bayan al ta'kid, bayan al
tafsir, bayan al tasyri' dan bayan al takhshish.7

Dr. Muthafa As Siba’iy menjelaskan, bahwa fungsi hadits terhadap al


Qur’an, ada 3(tiga) macam, yakni: (1) Memperkuat hukum yang terkandung dalam
al Qur’an, baik yang global maupun yang detail; (2) Menjelaskan hukum-hukum
yang terkandung dalam al Qur’an yakni mentaqyidkan yang mutlak quran,
mentafsilkan yang mujmal dan mentakhsishkan yang ‘am; (3) Menetapkan hukum
yang tidak disebutkan oleh al Qur’an.

Adapun fungsi hadist terhadap al Qur’an yang dikemukaan berfungsi sebagai


dikemukakan Muhammad Abu Zahw antara lain: (1) hadist sebagai bayan at Tafsil;
(2) hadist berfungsi sebagai bayan at ta'kid; (3) hadist berfungsi sebagai bayan al
muthlaq atau bayan at taqyid; (4) Hadist berfungsi sebagai bayan at takhsis; (5)

vii
Hadist berfungsi sebagai bayan at tasyri; (6) hadist berfungsi sebagai bayan an
nasakh.

Fungsi hadist terhadap al-Qur’an secara umum adalah menjelaskan makna


kandungan al Al-Qur’an atau lil bayan (menjelaskan). Hanya saja
penjelasan tersebut diperinci oleh para ulama ke berbagai bentuk penjelasan.Secara
garis besar ada empat makna fungsi penjelasan (bayan) hadist terhadap al-Qur’an,
yaitu sebagai berikut:
1. Bayan at-Taqrir

Bayan at Taqrir disebut dengan bayan at-ta'kid dan bayan al- itsbat, yang
dimaksud dengan bayan ini ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah
diterangkan di dalam al Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi
kandungan al Qur’an. Sehingga dalam hal ini, hadist hanya seperti mengulangi apa yang
disebutkan dalam al-Qur’an. Sebagai contoh adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim dan Ibnu Umar, sebagai berikut:
“Apabila kalian melihat (ru'yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru'yah)
itu maka berbukalah”.(H.R Muslim)

Hadist ini men-taqrir Q.S al Baqarah (2): 185:


‫َفَم ْن َش ِهَد ِم ْنُك ُم الَّشْهَر َفْلَيُص ْم ُه‬

“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaknya ia berpuasa pada bulan itu.”

Menurut sebagian ulama, bayan ta'kid atau bayan taqrir ini disebut juga dengan
bayan al muwafiq li an-nashl al Kitab. Hal ini dikarenakan munculnnya hadits-hadits itu
sesuai dengan nash al-Quran.

2. Bayan At-Tafsir

Bayan al Tafsir adalah bahwa kehadiran hadits berfungsi untuk memberikan


rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al Qur’an yang masih bersifat global(mujmal),
memberikan persyaratan/batasan(taqyid) ayat-ayat al Qur’an yang bersifat mutlak,
dan mengkhususkan (takhsish) terhadap al Qur’an yang masih bersifat umum.
Diantara contoh tentang ayat-ayat al Qur’an yang masih mujmal, baik adalah perintah
mengerjakan shalat, puasa, zakat, disyariatkan jual beli, nikah, qhisas, hudud, dan
sebagainya. Ayat- ayat al Qur’an tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik

viii
mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syaratnya, atau halangan-
halangannya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw, melalui hadistnya menafsirkan dan
menjelaskan seperti disebutkan dalam hadist-hadist berikut :

“Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku melakukan shalat.” (H.R al- Bukhari)

Hadits ini menerangkan tata cara menjalankan shalat, sebagaimana

Q.S al Baqarah (2): 43:


‫َو َأِقيُم وا الَّص اَل َة َو آُتوا الَّز َكاَة َو اْر َك ُعوا َم َع الَّراِكِع يَن‬
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang- orang yang
ruku'.”

3. Bayan at Tasyri'

Bayan at tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang


dapat tidak didapati dalam al-Qur’an atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-
pokonya saja. Dalam hal ini seolah-olah Nabi menetapkan hukum sendiri. Namun
sebenarnya bila diperhatikan apa yang ditetapkan oleh Nabi hakikatnya adalah
penjelasan apa yang ditetapkan atau disinggung dalam al-Qur’an atau memperluas
apa yang disebutkan Allah secara terbatas.
Dalam hal ini sebagai contoh adalah sebuah hadits yang menyatakan
melarang seorang suami memadu istrinya dengan dua wanita bersaudara. Hadist ini
secara dhahir berbeda dengan Q.S an-Nisa’ (4): 24, maka pada hakikatnya hadist
tersebut adalah penambahan atau penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah
dalam firman tersebut. Contoh lain yang adalah menghukum yang tidak
bersandar kepada saksi dan sumpah apabila tidak mempunyai dua orang saksi dan
seperti radha'ah (saudara sepersusuan) mengharamkan pernikahan keduanya,
mengingat ada hadist yang menyatakan :

“Haram karena radha' apa yang haram lantaran nasab (keturunan)”.( H. R Ahmad
dan Abu Dawud)
Hadist Rasulullah Saw yang termasuk bayan at-tasyri', wajib diamalkan.
Sebagaimana kewajiban mengamalkan hadist-hadist lainnya. Ibnul al Qayyim

ix
berkata, bahwa hadist-hadist Rasul SAW yang berupa tambahan terhadap al Qur’an,
merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau
mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasul Saw) mendahului al-Qur’an
melainkan semata-mata karena perintah- Nya.

4. Bayan al Nasakh

Ketiga bayan yang pertama yang telah diuraikan di atas disepakati oleh para
ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga ada sedikit perbedaan yang terutama
menyangkut definisi (pengertian) nya saja.
Untuk bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat
tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadist hadist sebagai nasikh
terhadap sebagian hukum al Quran dan ada juga yang menolaknya.
Kata an-Nasakh dari segi bahasa memiliki beberapa arti, yaitu al- ibdthal
(membatalkan), al ijalah (menghilangkan), at tahwil (memindahkan), atau at-
taqyir(mengubah). Menurut Abu Hanifah bayan tabdil (nasakh) adalah mengganti
sesuatu hukum atau me-nasakh-kannya.Sedangkan Imam Syafii member definisi
bayan nasakh ialah menentukan mana yang di-nasakh-kan dan mana yang keliatan
yang di-mansukh- dari ayat-ayat al-Qur’an yang keliatan berlawanan.

Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama adalah
Hadits:

‫الوصيةلوارث‬

“Tidak ada ahli waris bagi ahli waris”


Hadist ini menurut mereka me-nasakh isi al Qur’an surat al Baqarah ayat 180:
‫ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِاَذ ا َح َضَر َاَح َد ُك ُم اْلَم ْو ُت ِاْن َتَر َك َخْيًراۖ ۨ اْلَو ِص َّيُة ِلْلَو اِلَد ْيِن َو اَاْلْقَر ِبْيَن ِباْلَم ْع ُرْو ِۚف َح ًّقا َع َلى‬
‫ۗ اْلُم َّتِقْيَن‬

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu-ibu dan karib kerabatya secara
ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

Kelompok yang membolehkan yang membolehkan adanya fungsi nasakh


dalam hadits adalah golongan mu’tazilah, Hanafiyah, dan Mazhab Ibn Hazm Adh-

x
Dhahiri. Dalam kelompok ini berpendapat bahwa terjadinya nasakh ini karena
adanya dalil syara’ yang datang dan mengubah suatu hukum ketentuan yang
terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan
nuasanya. Dalam hal ini tentunya ketidakberlakuan suatu hukum harus memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan, terutama syarat ketentuan nasakhi dan mansukh.
Sementara yang menolak naskh jenis ini adalah Imam Syafi’I dan sebagian
besar pengikutnya, meskipun naskh tersebut dengan hadist yang mutawatir.
Kelompok lain yang menolak adalah sebagian besar pengikut mazhab Zhahiriyah
dan kelompok Khawarij.
2.4 JENIS – JENIS HADIST
1. Dari aspek kuantitasnya ada 2, yaitu :
a) Hadis Mutawatir, dalam segi bahasa memiliki arti yang sama
dengan kata “mutataabi”
artinya beruntun atau beriring-iringan, sedang menurut istilah ialah :
“Hadis mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
yang
menurut adat, mustahil mereka bersepakat lebih dahulu untuk berdusta”
b) Hadis Ahad, adalah bahasa arab yang berasal dari kata dasar ahad (‫)احد‬
artinya satu,
atau wahid (‫ )واحد‬artinya khabar wahid, jadi artinya suatu kabar yang
diriwayatkan
oleh satu orang. Sedangkan yang dimaksud dengan hadis ahad menurut istilah
yaitu ”Hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih, yang jumlahnya
tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur dan hadis mutawatir”.

2. Dari Aspek Kualitasnya


a) Hadis Shahih, Kata shahih (‫ ) ح ي˸ح ˶الص‬dalam bahasa diartikan orang sehat
antonim dari (‫ ) م ي˶ ˸َقالس‬orang yang sakit, jadi maksudnya hadis shahih adalah
hadis yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
b) Hadis Hasan, Dari segi bahasa hasan berasal dari kata al-husnu (‫)ن س ˸ح˸ال‬
bermakna al-jamal˸ (‫ َ )ال ال مَ ج‬yang artinya keindahan. Menurut istilah para
Ulama memberikan definisi hadis hasan secara beragam.
c) Hadis dho‟if, Hadits dha‟if bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dha‟if (
‫)الضعيف‬

xi
berarti lemah lawan dari al-Qawi (‫)القوي‬yang berarti kuat.
2.5 HADIST MENURUT ISLAM
Istilah hadits berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti berita atau cerita,
atau wacana. Hal ini bisa diartikan bahwa hadits merupakan sebuah berita atau
catatan. Dari hadits ini datanglah sunnah atau arahan yang mana umat Islam
mengimani dan menyesuaikan diri dalam perintah yang tertulis dalam hadits
berdasarkan catatan atau perilaku Nabi Muhammad.

Hadits ini diterima oleh umat muslim sebagai sumber hukum agama dan
pedoman moral setelah Al-Quran. Hadits ini bisa didefinisikan sebagai biografi Nabi
Muhammad yang diabadikan oleh ingatan para sahabat-sahabatnya. Perkembangan
hadits adalah elemen paling penting selama tiga abad pertama dalam sejarah islam.
Hadits juga disebut sebagai tulang punggung dalam peradaban islam dan di dalam
agama islam otoritas hadits sebagai sumber hukum agama dan pedoman hidup
menempati urutan kedua setelah kitab suci Al-Quran

Hadits adalah catatan tradisi atau ucapan-ucapan Nabi Muhammad. Umat


muslim meyakini bahwa hadits merupakan kata-kata, dan juga perbuatan serta
persetujuan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Hadits memberikan arahan
tentang segala hal mulai dari rincian kewajiban ritual seperti mandi, wudhu, dan tata
cara sholat, sampai bentuk salam yang benar hingga pentingnya berbuat baik kepada
para budak. Jadi, sebagian besar aturan syariah atau hukum islam berasal dari hadits.
2.6 HADIST SEBAGAI SUMBER HUMUM ISLAM
Pada penerapanya, para ulama’ sepakat bahwa al-Qur’an merupakan sumber
hukum yang pertama, dan hadis yang kedua. Kesepakatan ini berdasarkan al-Qur’an
sebagai firman Allah, sedangkan hadis bersumber dari nabi yang merupakan makhluk
atau hamba Allah meskipun dikaruniai beberapa kelebihan istimewa lain. Di sisi lain
kesepakatan tersebut juga mengacu kepada perkataan Nabi kepada Muadz bin Jabal
sebagaimana berikut;
“Rasulullah SAW bersabda kepada Mu’adz bin Jabal: Bagaimana kamu akan memutuskan
perkara jika dihadapkan pada suatu persoalan hukum? Mu’adz menjawab: saya akan
memutuskannya berdasarkan kitab Allah (al-Qur’an).
Rasulullah bersabda: jika kamu tidak menjumpainya dalam al-Qur’an?. Mu’adz
menjawab: maka berdasarkan pada sunnah Rasul. Rasulullah bersabda: jika tidak
menjumpainya juga dalam sunnah Rasul? Muadz menjawab: saya akan berijtihad
berdasarkan akal pikiran saya.” (HR Imam Abu Dawud)

xii
Melihat percakapan di atas antara Nabi kepada Muadz, maka dapat dipahami
bahwa utamanya adalah al-Qur’an baru kemudian hadis. Percakapan tersebut juga
diperuntukan bagi para mujtahid apabila merujuk sebuah hukum haruslah
berpedoman pada al-Qur’an sebelum mengambil pedoman dari Sunnah nabi, jika
tidak ditemukan maka
diperbolehkan mengambil dari Sunnah-sunnah Nabi.

Sebagai sumber hukum utama, al-Qur’an tentunya mengandung ayat-ayat


yang berkaitan dengan hukum, ayat-ayat tersebut mayoritas diturunkan di kota
Madinah. Abdul Wahab Khlalaf berpendapat bahwa, ayat-ayat hukum yang
terkandung dalam al-Qur’an hanya 5,8 persen dari 6360 ayat al-Qur’an, sebagaimana
berikut ini;
1) Ibadah (shalat, puasa, haji, dll) sebanyak 140 ayat
2) Hidup Kekeluargaan (perkawinan, perceraian, hak waris, dsb) sebanyak 70 ayat
3) Perdagangan atau Perekonomian (jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam,
gadai, perseroan, kontrak, dsb) sebanyak 70 ayat
4) Kriminal sebanyak 30 ayat
5) Hubungan Islam dengan selain Islam sebanyak 25 ayat

Adapun macam-macam dari hukum yang terkandung dalam al-Qur’an yang


sekaligus dilengkapi pejelasannya dalam hadis ada lima;
1) Wajib, perbuatan jika dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan berdosa.
Contohnya, shalat, puasa, haji bagi yang mampu, dll.
2) Sunnah, perbuatan jika dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan tidak
berdosa.
Contoh, membaca shalawat, sedekah, dll.
3) Haram, perbuatan jika dikerjakan berdosa dan jika ditinggalkan berpahala,
atau
kebalikan dari wajib.
Contohnya, zina, mabuk, mencuri, dll.
4) Makruh, perbuatan jika ditinggalkan lebih utama dari pada dikerjakan.
Contoh, merokok, berkumur disiang hari saat puasa.
5) Mubah, perbuatan yang diperbolehkan oleh agama antara mengerjakan atau
meninggalkannya.

xiii
Contoh, olahraga, berdagang, dll.

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Hadis dalam hukum Islam sebagai mashdarun tsanin (sumber kedua) setelah
Al-Quran. Ia berfungsi sebagai penjelas dan penyempurna ajaran-ajaran Islam yang
disebutkan secara global dalam Al-Quran. Bisa dikatakan bahwa kebutuhan Al-Quran
terhadap hadis sebenarnya jauh lebih besar ketimbang kebutuhan hadis terhadap Al-
Quran.
Kendati demikian, seorang Muslim tidak dibenarkan untuk mengambil salah
satu dan membuang yang lainnya karena keduanya ibarat dua sisi mata uang yang
tidak bisa dipisahkan.
Untuk mengeluarkan hukum Islam, pertama kali para ulama harus menelitinya
di dalam Al-Quran. Kemudian setelah itu, baru mencari bandingan dan penjelasannya
di dalam hadis-hadis Nabi karena pada dasarnya Karna pada dasarnya hadis
merupakan penjelas dan penguat bagi alquran.

3.2 SARAN

xiv
Adapun saran yang ingin penulis sampaikan adalah keinginan penulis atas partisipasi
para pembaca, agar sekiranya mau memberikan pendapat yang sehat dan bersifat
membangun demi kemajuan penulisan makalah ini.

Daftar Pustaka

Aji Fitra Jaya, Septi. "Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum islam."
Jurnal Indo-Islamika 9 (2), 204-216, 2019
Abd al-Majid, Al-Hasani Hasyim, Ushul al-Hadis al-Nabawi, Kairo: al-
Hadisah li al Thaba’ah, t.t
Ismail, Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadist. Bandung: Angkasa. 1987
Kholis, Nur. Pengantar Al-Qur'an dan Al-Hadits. Yogyakarta: Teras. 2008
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: AMZAH. 2009
Soetari, Endang. Ilmu Hadist. Bandung: Amal Bakti Press. 1997
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010
Suparta, Munzier. Ilmu Hadist. Jakarta:RajaGrafindo Persada. 2010
Pengantar Studi Ilmu Hadits karya Syaikh Manna al-Qaththan

xv
xvi

Anda mungkin juga menyukai