Disusun Oleh :
Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, kami mengucapakan puji syukur
ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan Rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulisan makalah ini dapat rampung walaupun tekniknya penyajiannya masih jauh dari
Adapun pembuatan makalah ini disusun untuk memenuhi nilai Mata Kuliah
Pendidikan Agama Islam. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Adam sugiarto yang
telah memberikan tugas untuk membuat makalah ini sehingga membantu kami selaku penulis
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karenanya, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk perbaikan
makalah ini di kemudian hari. Akhir kata, semoga makalah sederhana ini dapat menambah
07 Oktober 2023
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG...................................................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH...............................................................................................................2
1.3 TUJUAN........................................................................................................................................2
BAB II......................................................................................................................................................3
2.1 PENGERTIAN HADIST...............................................................................................................3
2.2 AWAL MUNCUL HADIST.........................................................................................................3
2.3 FUNGSI HADIST.........................................................................................................................4
2.4 JENIS – JENIS HADIST...............................................................................................................8
2.5 HADIST MENURUT ISLAM.......................................................................................................8
2.6 HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM.......................................................................9
BAB III..................................................................................................................................................11
3.1 KESIMPULAN............................................................................................................................11
3.2 SARAN........................................................................................................................................11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan ulumul hadis, maka terdapat beberapa kalangan yang serius
sebagai pemerhati hadis. Hal ini tidak lain bertujuan untuk mengklasifikasikan hadis dari aspek
kualitas hadis baik ditinjau dari segi matan hadis maupun sanad hadis. Sehingga dapat
ditemukan hadis-hadis yang layak sebagai hujjah dan hadis yang tidak layak sebagai hujjah.
Posisi hadis sebagai sumber hukum. Tidak lain karena adanya kesesuaian antara hadis
dengan teks suci yang ditranmisikan kepada Nabi Muhammad. Bisa juga dikatakan bahwa hadis
merupakan wahyu Tuhan yang tidak dikodifikasikan dalam bentuk kitab sebab lebih banyak
hasil dari proses berpikirnya Nabi dan hasil karya Nabi. Akan tetapi bukan berarti hadis adalah
al-Quran.
Dengan alasan itu maka selayaknya hadis mendapat perhatian yang khusus bagi tokoh
cendekiawan Muslim selain studi al-Quran. Agar khazanah ajaran islam benar-benar mengakar
dengan melakukan kontektualisasi terhadap realitas dimana hadis itu hadir. Dalam memahami
hadis Nabi, realitas mempunyai posisi yang sangat penting. Agar hadis Nabi mampu
mengakomodir segala realitas yang komplek dan beragam. Dengan itu, maka hadis Nabi tidak
akan pernah mati dan terus hidup sampai penutupan zaman.
iv
1.2 RUMUSAN MASALAH
a. Pengertian hadist
b. Awal munculnya hadist
c. Fungsi hadist
d. Jenis atau macam – macam hadist
e. Hadist menurut islam
f. Hadist sebagai sumber hokum islam
1.3 TUJUAN
a. Menjelaskan pengertian dari hadist
b. Menjelaskan awal kemunculan hadist
c. Menjelaskan fungsi dari hadist
d. Mendeskripsikan apa saja jenis – jenis hadist
e. Menjelaskan hadist menurut islam
f. Menjelaskan hadist sebagai sumber hukum islam
g. Agar pembaca memahami apa itu hadist menurut islam
v
BAB II
PEMBAHASAN
vi
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, kalangan sahabat sangat berhati-hati
dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya
menjaga kemurnian al-Qur’an agar tidak tercampur dengan hadis, selain itu juga
untuk menjaga keorisinalitas hadis tersebut. Keadaan di era tabi’in sedikit berbeda
dengan apa yang terjadi di era sahabat. Karena al-Qur’an ketika itu telah
disebarluaskan ke seluruh negeri Islam, sehingga tabi’in bisa mulai menfokuskan diri
dalam mempelajari hadis dari para sahabat yang mulai bersebaran ke suluruh penjuru
dunia Islam. Dengan demikian, pada masa Tabi’in sudah mulai berkembang
penghimpunan hadis (al-jam’u wa al-tadwin), meskipun masih ada percampuran
antara hadis Nabi dengan fatwa sahabat. Barulah di era tabi’ al-tabi’in hadis telah
dibukukan, bahkan era ini menjadi masa kejayaan kodifikasi hadis. Kodifikasi
dilakukan berdasar perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan Bani
Umayyah yang kebijakannya ditindaklanjuti oleh ulama diberbagai daerah hingga
pada masa berikutnya hadis terbukukan dalam kitab hadis.
Setelah era tabi’ al-tabi’in, yaitu masa abad II, III, IV-VII dan seterusnya yang
terjadi pada hadis adalah penghimpunan dan penerbitan secara sistematik (al-jam’u
wa at-tartib wa at-tanzhim). Dengan demikian, bagaimana perkembangan tradisi
periwayatan hadis dari masa ke masa itulah yang akan menjadi sorotan dalam artikel
ini.
vii
Hadist berfungsi sebagai bayan at tasyri; (6) hadist berfungsi sebagai bayan an
nasakh.
Bayan at Taqrir disebut dengan bayan at-ta'kid dan bayan al- itsbat, yang
dimaksud dengan bayan ini ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah
diterangkan di dalam al Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi
kandungan al Qur’an. Sehingga dalam hal ini, hadist hanya seperti mengulangi apa yang
disebutkan dalam al-Qur’an. Sebagai contoh adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim dan Ibnu Umar, sebagai berikut:
“Apabila kalian melihat (ru'yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru'yah)
itu maka berbukalah”.(H.R Muslim)
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaknya ia berpuasa pada bulan itu.”
Menurut sebagian ulama, bayan ta'kid atau bayan taqrir ini disebut juga dengan
bayan al muwafiq li an-nashl al Kitab. Hal ini dikarenakan munculnnya hadits-hadits itu
sesuai dengan nash al-Quran.
2. Bayan At-Tafsir
viii
mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syaratnya, atau halangan-
halangannya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw, melalui hadistnya menafsirkan dan
menjelaskan seperti disebutkan dalam hadist-hadist berikut :
“Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku melakukan shalat.” (H.R al- Bukhari)
3. Bayan at Tasyri'
“Haram karena radha' apa yang haram lantaran nasab (keturunan)”.( H. R Ahmad
dan Abu Dawud)
Hadist Rasulullah Saw yang termasuk bayan at-tasyri', wajib diamalkan.
Sebagaimana kewajiban mengamalkan hadist-hadist lainnya. Ibnul al Qayyim
ix
berkata, bahwa hadist-hadist Rasul SAW yang berupa tambahan terhadap al Qur’an,
merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau
mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasul Saw) mendahului al-Qur’an
melainkan semata-mata karena perintah- Nya.
4. Bayan al Nasakh
Ketiga bayan yang pertama yang telah diuraikan di atas disepakati oleh para
ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga ada sedikit perbedaan yang terutama
menyangkut definisi (pengertian) nya saja.
Untuk bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat
tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadist hadist sebagai nasikh
terhadap sebagian hukum al Quran dan ada juga yang menolaknya.
Kata an-Nasakh dari segi bahasa memiliki beberapa arti, yaitu al- ibdthal
(membatalkan), al ijalah (menghilangkan), at tahwil (memindahkan), atau at-
taqyir(mengubah). Menurut Abu Hanifah bayan tabdil (nasakh) adalah mengganti
sesuatu hukum atau me-nasakh-kannya.Sedangkan Imam Syafii member definisi
bayan nasakh ialah menentukan mana yang di-nasakh-kan dan mana yang keliatan
yang di-mansukh- dari ayat-ayat al-Qur’an yang keliatan berlawanan.
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama adalah
Hadits:
الوصيةلوارث
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu-ibu dan karib kerabatya secara
ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
x
Dhahiri. Dalam kelompok ini berpendapat bahwa terjadinya nasakh ini karena
adanya dalil syara’ yang datang dan mengubah suatu hukum ketentuan yang
terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan
nuasanya. Dalam hal ini tentunya ketidakberlakuan suatu hukum harus memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan, terutama syarat ketentuan nasakhi dan mansukh.
Sementara yang menolak naskh jenis ini adalah Imam Syafi’I dan sebagian
besar pengikutnya, meskipun naskh tersebut dengan hadist yang mutawatir.
Kelompok lain yang menolak adalah sebagian besar pengikut mazhab Zhahiriyah
dan kelompok Khawarij.
2.4 JENIS – JENIS HADIST
1. Dari aspek kuantitasnya ada 2, yaitu :
a) Hadis Mutawatir, dalam segi bahasa memiliki arti yang sama
dengan kata “mutataabi”
artinya beruntun atau beriring-iringan, sedang menurut istilah ialah :
“Hadis mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
yang
menurut adat, mustahil mereka bersepakat lebih dahulu untuk berdusta”
b) Hadis Ahad, adalah bahasa arab yang berasal dari kata dasar ahad ()احد
artinya satu,
atau wahid ( )واحدartinya khabar wahid, jadi artinya suatu kabar yang
diriwayatkan
oleh satu orang. Sedangkan yang dimaksud dengan hadis ahad menurut istilah
yaitu ”Hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih, yang jumlahnya
tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur dan hadis mutawatir”.
xi
berarti lemah lawan dari al-Qawi ()القويyang berarti kuat.
2.5 HADIST MENURUT ISLAM
Istilah hadits berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti berita atau cerita,
atau wacana. Hal ini bisa diartikan bahwa hadits merupakan sebuah berita atau
catatan. Dari hadits ini datanglah sunnah atau arahan yang mana umat Islam
mengimani dan menyesuaikan diri dalam perintah yang tertulis dalam hadits
berdasarkan catatan atau perilaku Nabi Muhammad.
Hadits ini diterima oleh umat muslim sebagai sumber hukum agama dan
pedoman moral setelah Al-Quran. Hadits ini bisa didefinisikan sebagai biografi Nabi
Muhammad yang diabadikan oleh ingatan para sahabat-sahabatnya. Perkembangan
hadits adalah elemen paling penting selama tiga abad pertama dalam sejarah islam.
Hadits juga disebut sebagai tulang punggung dalam peradaban islam dan di dalam
agama islam otoritas hadits sebagai sumber hukum agama dan pedoman hidup
menempati urutan kedua setelah kitab suci Al-Quran
xii
Melihat percakapan di atas antara Nabi kepada Muadz, maka dapat dipahami
bahwa utamanya adalah al-Qur’an baru kemudian hadis. Percakapan tersebut juga
diperuntukan bagi para mujtahid apabila merujuk sebuah hukum haruslah
berpedoman pada al-Qur’an sebelum mengambil pedoman dari Sunnah nabi, jika
tidak ditemukan maka
diperbolehkan mengambil dari Sunnah-sunnah Nabi.
xiii
Contoh, olahraga, berdagang, dll.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Hadis dalam hukum Islam sebagai mashdarun tsanin (sumber kedua) setelah
Al-Quran. Ia berfungsi sebagai penjelas dan penyempurna ajaran-ajaran Islam yang
disebutkan secara global dalam Al-Quran. Bisa dikatakan bahwa kebutuhan Al-Quran
terhadap hadis sebenarnya jauh lebih besar ketimbang kebutuhan hadis terhadap Al-
Quran.
Kendati demikian, seorang Muslim tidak dibenarkan untuk mengambil salah
satu dan membuang yang lainnya karena keduanya ibarat dua sisi mata uang yang
tidak bisa dipisahkan.
Untuk mengeluarkan hukum Islam, pertama kali para ulama harus menelitinya
di dalam Al-Quran. Kemudian setelah itu, baru mencari bandingan dan penjelasannya
di dalam hadis-hadis Nabi karena pada dasarnya Karna pada dasarnya hadis
merupakan penjelas dan penguat bagi alquran.
3.2 SARAN
xiv
Adapun saran yang ingin penulis sampaikan adalah keinginan penulis atas partisipasi
para pembaca, agar sekiranya mau memberikan pendapat yang sehat dan bersifat
membangun demi kemajuan penulisan makalah ini.
Daftar Pustaka
Aji Fitra Jaya, Septi. "Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum islam."
Jurnal Indo-Islamika 9 (2), 204-216, 2019
Abd al-Majid, Al-Hasani Hasyim, Ushul al-Hadis al-Nabawi, Kairo: al-
Hadisah li al Thaba’ah, t.t
Ismail, Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadist. Bandung: Angkasa. 1987
Kholis, Nur. Pengantar Al-Qur'an dan Al-Hadits. Yogyakarta: Teras. 2008
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: AMZAH. 2009
Soetari, Endang. Ilmu Hadist. Bandung: Amal Bakti Press. 1997
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010
Suparta, Munzier. Ilmu Hadist. Jakarta:RajaGrafindo Persada. 2010
Pengantar Studi Ilmu Hadits karya Syaikh Manna al-Qaththan
xv
xvi