Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MAKALAH ULUMUL HADIS

“Teknik Periwayatan Hadis”

OLEH :

ARDIANSYAH
NIM : 80100221145

JURUSAN DIRASAH ISLAMIYAH


KONSENTRASI PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI ISLAM
PASCSARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2022
Kata Pengantar

Penulis memanjadkan puji dan syukur kepada Allah SWT, Tuhan yang
maha kuasa, karna atas segala rahmat dan hidayahnyalah sehingga sebuah karya
sederhana ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam tak lupa pula penulis
curahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, sebagai Nabi yang diutus
oleh Allah SWT sebagai pembawa risalah yang tak pernah salah dan pengemban
amanat yang tak pernah hianat.

Perubahan dan perbaikan merupakan dua fase yang menjadi core values
bagi siapa saja yang ingin mendapatkan hasil terbaik. Itulah sebebnya ketika ada
seseorang yang menjalani hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia adalah orang
yang merugi.

Penulis sangat menyadari ada banyak kekurangan dan keterbatasan yang


nampak dalam makalah ini, olehnya itu dengan penuh kerendahan hati penulis
sangat menerima segala bentuk masukan dari para pembaca mengenai makalah ini.
Sehingga akan lahir kembali karya-karya yang lebih baik lagi.

Jumat, 08 April 2022

Ardiansyah

ii
Daftar Isi

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang ................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................. 3

C. Tujuan Makalah................................................................................. 3

BAB II : PEMBAHASAN ............................................................................. 4

A. Hadis Sebagai Sumber Tuntunan Dalam Islam .............................. 4

B. Cara Nabi Muhammad SAW Menyampaikan Hadis..................... 7

C. Periwayatan Hadis ............................................................................. 8

BAB III : PENUTUP ..................................................................................... 13

A. Kesimpulan ......................................................................................... 13

B. Saran ................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi kaum muslimin, hadist diyakini sebagai sumber hukum pokok

setelah al-Qur’an. Ia adalah salah satu sumber tasyri’ penting dalam islam.

Urgensinya semakin nyata melalui fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai

penjelas dan penafsir al-Qur’an, bahkan juga sebagai penetap hukum yang

independen sebagaimana al- Qur’an sendiri. Ini terkait dengan tugas Rasulullah

SAW, sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang

terkandung di dalamya. Berdasarkan hal ini umat islam meyakini bahwa al-

Qur’an dan hadist merupakan sumber hukum islam yang tidak bisa dipisahkan

dalam kepentingan istidlal dan dipandang sebagai sumber pokok yang satu,

yaitu nash. Keduanya saling menopang secara sempurna dalam menjelaskan

syari’ah.

Dalam konteks ini Imam Syatibi berkata berkata: “Di dalam istinbath

hukum, tidak seyogyanya hanya membatasi dengan memakai dalil al-Qur’an

saja, tanpa memperhatikan penjabaran (syarah) dan penjelasan (bayan), yaitu

al- Hadist. Sebab di dalam al- Qur’an terdapat banyak hal-hal yang masih

global seperti keterangan tentang shalat, zakat, haji, puasa dan lain sebagainya,

sehingga tidak ada jalan lain kecuali menengok keterangan hadist,”. Kendati

demikian, keberadaan hadist dalam proses kodifikasinya sangat berbeda

dengan al- Qur’an yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus, baik dari

1
2

Rasulullah SAW, maupun para sahabat, berkaitan dengan penulisannya.

Bahkan secara resmi kodifikasi itu kemudian dilakukan sejak masa khalifah

Abu Bakar as-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang

waktunya relatif dekat dengan masa Rasulullah SAW.

Posisi hadist sebagai sumber hukum. Tidak lain karena adanya

kesesuaian antara hadist dengan teks suci yang ditransmisikan kepada Nabi

Muhammad SAW, bisa juga dikatakan bahwa hadist merupakan wahyu Tuhan

yang tidak dikodifisikan dalam bentuk kitab sebab lebih banyak hasil dari

proses berfikirnya Nabi dan hasil karya Nabi.

Hadis adalah sumber ajaran Islam yang kedua disamping Alqur’an.

Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan

perbuatan manusia. Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya

mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya

sedangkan Hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya

berasal dari Nabi atau tidak. Namun demikian Hadis memiliki peranan dalam

menjelaskan setiap ayat Alqur’an yang turun tang bersifat Muhkamat maupun

Mutasabiat. Sehingga Hadis ini sangan perlu untuk dijadikan sebagai sandaran

umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.

Tetapi dalam kondisi faktualnya kadang manusia terbentur dengan

adanya hadis- hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-

kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah Hadis-Hadis lemah atau

tertolak, baik dari segi Sanad maupun Matannya. Padahal kedua aspak tersebut
3

sangat menentukan apakah Hadis itu dapat diterima atau tidak. Hal ini terjadi

disebabkan keragaman orang yang menerima maupun periwayatkan Hadis

Rasulullah. Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraveri dari semua

kalangan, kritik dan protes terus bermunculan karena berbagai analisis atas

kesahihan sebuah Hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya

makna dari Matan. Dari uraian diatas maka perlu diketahui Tahnik Periwayatan

Hadis dari Nabi terhadap sahabat serta cara sahabat meriwayatkan Hadis,

sehingga kita dapat membedakan mana hadis Sahih dan mana yang tertolak.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana posisi hadis sebagai sumber tuntunan dalam Islam?

2. Bagaimana cara Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan hadis?

3. Bagaimana cara sahabat menerima dan meriwayatkan hadis?

C. Tujuan Makalah

1. Mengetahui bagaimana posisi hadis sebagai sumber tuntunan dalam Islam.

2. Mengetahui bagaimana cara Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan

hadis.

3. Mengetahui bagaimana cara sahabat menerima dan meriwayatkan hadis.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadis Sebagai Sumber Tuntunan Dalam Islam

Islam sebagai salah satu agama samawi tentu memiliki sumber-sumber

ajaran yang diakui oleh seluruh penganutnya. Sumber-sumber ajaran tersebut

adalah Al-Qur’an dan juga Hadis secara berurutan. Penetapan kedua hal tersebut

berikut dengan urutannya tentu dinisbatkan kepada apa yang disampaikan oleh

Rasulullah SAW sendiri.

Sebagai contoh, dapat kita temukan hadis mengenai peristiwa saat

Rasulullah hendak mengutus sahabat Muadz bin Jabal sebagai hakim atau qodi di

Mesir. Dalam peristiwa tersebut Rasulullah menanyakan pada Muaz mengenai apa

yang ia jadikan sebagai dasar dalam menghukumi sesuatu yang kemudian

dijawabnya Al-Qur’an, dan Hadis serta ia akan ber-ijtihad jika tidak

menemukannya di dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Peristiwa tersebut pada

dasarnya menunjukkan afirmasi dari Rasulullah saw. dalam penggunaan Al-Qur’an

dan kemudian Hadis sebagai sumber ajaran. Peristiwa ini juga diperkuat dengan

wasiat nabi kepada umat islam untuk tidak melepaskan diri dari Al-Qur’an dan

Hadis.

Kedua sumber ajaran utama agama islam terdiri dalam sebuah urutan yang

menunjukkan kekuatan posisi dari satu sumber atas sumber lainnya. Al-Qur’an

memiliki kekuatan atau tingkatan yang lebih tinggi atas Hadis sebagai sumber

ajaran. Pembahasan dan persepsi mengenai Al-Qur’an dalam konteks sumber

4
5

ajaranpun sudah lengkap dan mungkin hampir tidak terdapat lagi perdebatan

mengenai topik ini.

Berbeda dengan Al-Qur’an, Hadis sebagai sumber hukum dipandang

dengan persepsi dan pemahaman yang berbeda-beda. Secara etimologis Hadis

memiliki makna berupa berita dan baru (khabar dan jadiid). Sedangkan secara

terminologis, ahli hadis mendefinisikan hadis sebagai sesuatu yang disandarkan

pada Rasulullah saw. baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir (ketetapan).

Namun, di sisi lain ulama fikih memberi batasan tersendiri hanya pada hal-hal yang

bersangkutan hukum.

Pembatasan yang demikian memiliki implikasi yang cukup besarm. Dengan

demikian, maka hadis-hadis atau berita-berita mengenai perkataan dan perbuatan

Rasulullah yang tidak berkaitan dengan hukum bukanlah Hadis. Pemahaman

mengenai perbedaan persepsi yang demikian jika tidak disampaikan dengan baik

tentu dapat menimbulkan gesekan-gesekan tertentu bagi orang awam.

Kemudian, terdapat persepsi-persepsi dan pemahaman yang beririsan pula

mengenai Hadis, Sunnah, Atsar, dan Khabar. Perbedaan persepsi antara empat hal

berikut merupakan sesuatu yang cukup menarik untuk dibahas, dan juga merupakan

bukti mengenai kayanya khazanah keilmuan agama islam. Antara Hadis dan

Sunnah, terdapat perbedaan signifikan di antara keduanya, walaupun seringkali dua

istilah tersebut dianggap sama. Pertama ialah secara etimologis Sunnah berarti jalan

yang dilalui, perilaku, dan juga dapat dimaknai sebagai tradisi. Kemudian Sunnah

memiliki ruang lingkup yang lebih luas, yaitu mencakup sifat-sifat nabi yang
6

mencakup sebelum masa kenabian hingga Nabi wafat. Pemahaman tersebut ialah

pemahaman jumhur ulama hadis.

Ulama ushul dan ulama fikih memiliki persepsi yang berlainan terkait

Sunnah. Ulama ushul mendefinisikan Sunnah dengan rumusan yang berkaitan

dengan fungsi Rasulullah sebagai penetap perundang-undangan terhadap manusia

di luar Al-Qur’an. Ulama Fikih di lain sisi mendefinisikan Sunnah sebagai segala

sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW. Berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir

berupa ketetapan dalam bentuk hukum taklif yang bukan wajib. Ulama Fikih

mendefinisikan Sunnah sebagai bentuk hukum dalam ibadah.

Selain persepsi antara Hadis dan Sunnah, terdapat juga beberapa bentuk

pemahaman terkait Hadis, Khabar dan juga Atsar. Terdapat ulama yang

menyamakan antara Hadis, Sunnah, dan Khabar serta Hadis, Sunnah, dan Atsar.

Namun kemudian terdapat pula ulama yang membedakan, bahwa Khabar itu

terbagi menjadi 2 (dua), yaitu Khabar yang datang dari Nabi dan Khabar yang

datang dari selain Nabi. Sama halnya dengan Khabar, Atsar dipahami sebagian

ulama sebagai sesuatu yang disandarkan pada Sahabat dan Tabi’in saja.

Perbedaan-perbedaan yang demikian tentu dapat menimbulkan

kebingungan dan perbedaan persepsi. Satu hal penting yang dapat disadari dari

hadirnya perbedaan-perbedaan tersebut ialah bahwa semangat untuk menimba ilmu

harus terus diperbarui guna meningkatkan pemahaman dan memperluas persepsi

untuk mencapai lingkar pandang dalam memahami agama islam sebagai sebuah

agama yang utuh.


7

B. Cara Nabi Muhammad SAW Menyampaikan Hadis

Muhammad sebagai seorang Nabi dan Rasul, telah berhasil membinbing

umat kepada ajaran Agama yang dibawanya. Walaupun ia sukses dalam

membimbing umatnya, tetapi kehidupan sehari-harinya tetap sederhana, tidak

jarang ia terlihat menjahit senidiri pakaiannya yang robek. Dalam pada itu ia juga

berstatus sebagai kepala rumah tangga yang hidup ditengah-tengah masyarakat.

Menurut Sulaemang (Jurnal Informasi. Vol. 6 No.2.) cara Nabi

menyampaikan Hadisnya melalui :

1. Cara lisan dimuka orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki.

2. Pengajian rutin dikalangan kaum laki-laki.

3. Pengajian diadakan juga dikalangan wanita setelah kaum wanita

memintanya.

Disamping itu pula ada riwayat-riwayat lain yang menyatakan cara-cara

Nabi menyampaikan Hadisnya yaitu :

1. Dengan lisan dan perbuatan dihadapan orang banyak, dimesjid pada waktu

malam dan subuh.

2. Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang melakukan

“korupsi” berupa penerimaan hadiah dari masyarakat.

3. Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak dihadapan orang banyak,

berisi jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu

berupa tuntunan tehnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan Agama.


8

4. Cara Nabi menyampaikan Hadisnya selain berupa lisan, juga berupa

permintaan penjelasan terhadap sahabat, juga berupa Taqrir atas amalan

ibadah sahabat yang belum pernah dicontohkan langsung oleh Nabi.

5. Riwayat lain juga mengatakan cara Nabi menyampaikan Hadis berupa

dalam bentuk tulisan.

6. Cara lain juga yaitu dalam menyampaikan Hadisnya tidak dalam bentuk

kegiatan melainkan berupa keadaan.

Dari beberapa cara Nabi menyampaikan Hadisnya, tidaklah terikat hanya

dengan satu macam cara saja. Dari keragaman cara penyampaian Hadis oleh Nabi

tersebut membawa beberapa akibat diantaranya ialah :

1. Hadis yang berkembang dalam masyarakat jumlahnya banyak.

2. Perbendaharaan dan pengatahuan para sahabat tentang Hadis Nabi tidak

sama. Dalam arti ada sahabat yang mengetahui langsung terjadisnya Hadis

dan ada yang sebaliknya.

C. Priwayatan Hadis

Muhammad & Rahmawati (2013 : 35) mengatakan untuk Menelaah sekitar

permasalahan hadis, tentunya tidak terlepas dari masalah periwayatan yang

merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam menentukan kedudukan suatu

hadis dalam perspektif Ulum al-Hadis. Pentingnya masalah periwayatan ini juga

tampak dari aspek yang dicakupnya, yang secara singkat terhimpun dalam suatu

defenisi tentang periwayatan yaitu: “Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis,


9

serta penyadaran hadis itu kepada serangkaian periwayat dengan bentuk-bentuk

tertentu”.

Dari defenisi tersebut paling tidak terdapat tiga unsur yang mendasar yaitu :

1. Adanya unsur penerimaan.

2. Unsur penyampaian.

3. Unsur penyandaran hadis kepada para periwayat hadis.

Masalah periwayatan hadis jika dilihat dari sisi utuh atau tidaknya redaksi

atau matan suatu hadis, maka periwayatan dapat dibedakan dalam dua kelompok

yaitu periwayatan dengan lafaz dan makna serta kedua kelompok pembagian

riwayat ini masih dalam pembagian hadis qauliyah yakni hadis yang berdasarkan

sabda Nabi yang didengar oleh para sahabat, yang kemudian mereka meriwayatkan

hadis-hadis qauliyah baik secara lafaz maupun ma’na.

Ada dua unsur penting dalam periwayatan hadis yang tidak boleh diabaikan

yaitu penerimaan dan penyampaian. Unsur ini dikenal dengan istilah Tahammhul

al-hadis wa al-ada’. dalam masalah tahamul dan ada’ ini, para ulama pada

umumnya membagi menjadi delapan bentuk penerimaan sekaligus merupakan

bentuk penyampaian. Ini dilakukan karena setiap penerimaan suatu hadis berarti

pada saat itupun berlangsung peristiwa penyampaian.seorang murid menerima

suatu hadis dari gurunya dan disisi lain gurunya tersebut telah melakukan

penyampaian suatu hadis yang dimilikinya kepada muridnya.

Dalam bahasa Indonesia kata Riwayat yang berasal dari bahasa Arab

tersebut mempunya arti antara lain: cerita, sejarah, dan tambo.


10

Sedangkan menurut Tutok Jumantoro (2002:44) Ilmu Hadis yang dimeksud

priwayat kegiatan penerimaan dan penyampaian Hadis, serta penyandaran Hadis

itu kepada rangkaian para periwayatan dengan bentuk-bentuk tertentu, orang yang

telah menerima Hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan Hadis

itu itu pada orang lain maka dia disebut periwayat, sekiranya orang tersebut

menyampaikan Hadis yang telah diterimanya oleh orang lain, tetapi ketika

menyampaikan Hadis itu dia tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya maka

orang tersebut juga tidak dapat dikatakan aebagai orang yang telah melakukan

periwayatan Hadis.

Jadi ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan Hadis yakni :

1. Kegiatan menerima Hadis dari periwayat Hadis.

2. Kegiatan menyampaikan hadis itu kepada orang lain.

3. Ketika hadis itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya disebutkan.

Cara periwayatan memperoleh dan menyampaikan Hadis pada zaman Nabi

tidaklah sama dengan zaman sahabat Nabi. Demikian pula periwayatan pada zaman

sahabat tidak sama dengan periwayatan pada zaman sesudahnya. Cara periwayatan

Hadis-Hadis pada zaman Nabi lebih terbatas dari syarat-syarat tertentu bila

dibandingkan dengan periwayatan pada zaman sesudahnya.

Hal ini disebabkan karena pada zaman Nabi selain tidak ada bukti yang pasti

tentang telah terjadinya pemalsuan Hadis, juga karena pada zaman itu seseorang

akan lebih mudah melakukan pemeriksaan. Sekiranya ada Hadis yang diragukan
11

kesahihannya, makin jauh jarak waktu dan Masa hidup Nabi, makin sulit pengujian

kebenaran suatu Hadis.

Pada umumnya para Ulama dalam Sulaemang (2018:53) membagi tata cara

atau sistem penerimaan dan penyampaian hadis kepada delapan macam yaitu :

1. “Sama Min Lafadz al-Syaikh”, yakni mendengan sendiri dari perkataan

gurunya, baik secara dikte atau bukan, baik dari hafalannya maupun dibaca

dari tulisannya, maupun mendengan dari balik hijab, asal berkeyakinan

bahwa suara yang didengar adalah suara gurunya, kemudian dia sampaikan

kepada orang lain.

Cara “sama” oleh mayoritas ulama dinilai tinggi kualitasnya, sebab lebih

mayakinkan tentang terjadinya pengungkapan riwayah. Lafazh-lafazh yang

digunakan oleh rawi dalam menyampaikan Hadis atas dasar “sama” adalah:

a. Seorang telah mengabarkan kepadaku/kami.

b. Seorang telah bercerita kepadaku/kami.

c. Saya telah mendengar, kami telah mendengar.

2. Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh (‘aradh) yakni murid membaca Hadis didepan

gurunya, baik ia sendiri yang menyampaikan atau yang mendengar dan

yang meriwayatkan.

a. Saya membacakan dihadapannya.

b. Dibacakan oleh seseorang dihadapannya (guru) sedang saya

mendengarkannya.

c. Secara padaku menceritakan / mengabarka Telah pembacaan

dihadapannya.
12

3. Ijazah yaitu pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk

meriwayatkan Hadis darinya atau dari kitab-kitabnya. Hal ini dibagi dalam

tiga kategori yakni :

a. Izin untuk meriwayatkan suatu yang tertentu kepada orang tertentu.

b. Izin untuk meriwayatkan suatu yang tidak tertentu kepada orang

tertentu.

c. Izin untuk meriwayatkan suatu yang tidak tertentu kepada orang

yang tidak tertentu.

4. Munawalah yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada

muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkannya.

5. Mukhtabah yaitu seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang

lain untuk menulis beberapa Hadis kepada orang ditempat lain atau yang

ada dihadapannya.

6. Wijadah yaitu memperoleh tulisan Hadis orang lain yang tidak diriwayatkan

dengan sama qira’ah maupun selainnya, dari pemilik Hadis atau pemilik

tulisan tersebut.

7. Washilah yaitu pesan seseorang dikala akan meninggal atau bepergian

dengan sebuah kitab atau tulisan supaya diriwayatkan.

8. I’lam yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa Hadis yang

diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru

dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar simurid meriwayatkannya.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Periwayatan hadits adalah proses penerimaan (naql dan tahammul) hadits

oleh seorang rawi dari gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati,

diamalkan, ditulis dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid dengan

menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.

Ada delapan Tata cara dalam periwayatan Hadits yaitu :

1. Sama Min Lafadz al-Syaikh

2. Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh (‘aradh)

3. Ijazah

4. Munawalah

5. Mukhtabah

6. Wijada

7. Washilah

8. I’lam

B. Saran

Tentunya penulis penulis menyadari bahwa apa yang ada dalam makalah ini

masih sangat jauh dari kata sempurna. oleh sebab itu, penulis sangat berharap

kepada para pembaca atau penyimak makalah ini untuk bersedia memberikan

keritik ataupun saran yang sifatnya konstruktif, yang kemudian bisa bahan rujukan

untuk lebih memperbaiki penyusunan makalah serupa yang akan datang.

13
Daftar Pustaka

https://www.asilha.com/2021/01/19/hadis-sebagai-sumber-ajaran-islam/
Muhammad Gufron, Rahmawati. 2013 “Ulumul Hadist Praktis dan Mudah”.
Yogyakarta : Teras.
Sulaemang. 2018. “Teknik Periwayatan Hadis (Cara Menerima Dan
Meriwayatkan Hadis)”. Jurnal Informasi. Vol. 6 No.2.
Tutok Jumantoro. 2002. “Kamus Ilmu Hadist”. Jakarta : PT Bumi Aksara.

14

Anda mungkin juga menyukai