Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

KITABAH WA MUHADATSAH ARABIYAH


“PERIWAYATAN AS SABIQ- AL LAHIQ, AL-ABA’AN AL ABNA,
DAN AL ABNA ‘AN ALABA”

Disusun oleh :

1. Ahmad Lailurrahman 1221060009


2. Farizka Syaharani 1221060034

ILMU HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Macam-macam
periwayatan” ini dengan lancar. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Terutama kepada
bapak Dr. Badri Khaeruman, M. Ag
Penulis berusaha dalam pembuatan makalah ini sebaik dan seoptimal mungkin, akan
tetapi jika terdapat kekurangan dan kesalahan, dengan segala kerendahan hati penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini. Namun demikian,
penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat serta menjadi sumbangan yang berarti
bagi kemajuan pendidikan.

Bandung, 17 Desember 2023

Kelompok 4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5
A. Pengertian Riwayat Bi Al-Lafzh Wa Bi Al Ma’na......................................................................5
B. Pengertian Riwayat Bi Al-Lafzh dan Contohnya.........................................................................5
C. Pengertian Riwayah bil ma’na......................................................................................................7
BAB III.......................................................................................................................................................9
PENUTUP..................................................................................................................................................9
Kesimpulan............................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................10
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan bukti histories ini menggambarkan bahwa periwayatan dan
perkembangan hadist sejalan seiring dengan perkembangan lainnya menatap persektif
keilmuan hadits bergambar jelas bahwa ajaran hadits ternyata mempunyai andil besar
dalam mendorong kemajuan umat islam. Sebab hadist nabi sebagaimana Al Qur’an telah
memerintahkan orang-orang beriman menuntut pengetahuan dengan demikian disiplin
ilmu hadits justru menybabkan kemajuan umat islam.
Dengan demikian menempatkan posisi yang perlu pengkajian secara komfrehensif
untuk menjamin keasliannya. Periwayatan hadits telah menempuh rentang waktu yang
amat panjang. Bahkan menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam bukunya yang berjudul
al-sunnah Qabl al-Tadwin sebagaimana yang dikutip oleh Buchari dalam Kaidah
Keshahihan Matan hadits mengungkapkan bahwa kodifikasi hadits (tadwin) hadits secara
resmi dan massal dalam arti sebagai kebijakan pemerintah, barulah terjadi atas perintah
Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz dengan tenggang waktu sekitar 90 tahun sesudah Nabi
SAW wafat.
Untuk dapat menentukan apakah sebuah Hadits layak untuk menjadi rujukan
dalam hukum islam , tentu memerlukan suatu cabang Ilmu yang lazim disebut Ilmu
Ushulul Hadits atau Ilmu Hadits, Dengan Ilmu tersebut kita dapat menggali sumber-
sumber Hukum Islam yang banyak terkandung dalam Hadits. Disamping sebagai sumber
kedua dalam hukum Islam Hadits juga sebagai media dalam memahami Al Qur’an karena
tidak sedikit ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat Global dijelaskan dalam Hadits Nabi.
Dengan demikian periwayatan hadis menjadi problematic dan banyak mengundang
kritik dari para orientalis yang cukup tajam dan bahkan memandang apriori terhadap
otentisitasnya. sebab studi periwayatan hadis, persoalan bentuk periwayatan juga menjadi
isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap
keautentikan suatu hadis. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadis harus dengan
lafadz (riwayat bi al-lafzh) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan
maknanya (riwayat bi al-ma’na), menjadi isu penting dikalangan ulama hadis.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Riwayat Bi Al-Lafzh dan Contohnya
2. Pengertian Riwayah bil ma’na dan Contohnya
3. Pandangan Para Ahli tentang Riwayat bil al lafdzi dan bi al ma’na
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Riwayat Bi Al-Lafzh Wa Bi Al Ma’na


Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah
melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayah, yang
dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan. Kata al-riwayah adalah
masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr (penyebutan),
al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’ (pemberian minum sampai puas).
Sementara secara istilah ilmu hadis, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud
dengan al-riwayah adalah “Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta
penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk
tertentu.
Perawi hadis adalah orang yang menerima hadis dari guru dan kemudian
menyampaikan atau mengajarkannya kepada orang lain (murid). Dengan demikian ada
dua fungsi perawi, yaitu menerima dan menyampaikan. Seorang sahabat yang menerima
hadis dari Rasul, misalnya, tetapi dia tidak menyampaikannya kepada yang lain, maka ia
tidak disebut perawi. Adapun proses penerimaan dan penyampaian hadis kepada yang
lain disebut periwayatan.
Seorang perawi hadis dituntut menyampaikan hadis yang diterimanya dari rasul
atau sahabat kepada yang lain seperti apa yang didengarnya tanpa disertai komentar.
Perawi bukan pensyarah atau penjelas hadis yang disampaikan. Apabila ia memberi
tambahan penjelasan atau komentar, maka tidak disebut materi hadis. Oleh sebab itu dia
bukan perawi yang dipercaya dan diterima riwayatnya.
Beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis adalah sebagai
berikut:
1. Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal
dengan rawi (periwayat).
2. Apa yang diriwayatkan.
3. Susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad).
4. Kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan.
5. Kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul
wa ada al-hadis).

B. Pengertian Riwayat Bi Al-Lafzh dan Contohnya


riwayat bi al-lafzh dimaksudkan adalah periwayatan hadist dengan menggunakan
lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan
pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. riwayat bi al-lafzh sering juga
disebut dengan periwayatan secara lafzhi.Munzier Suparta memberikan terminologi
periwayatan lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya sama persis
seperti yang diwurudkan Rasul SAW dan hanya bisa dilakukan apabila di hafal benar apa
yang disabdakan Rasul SAW.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa
pengertian tentang riwayat bi al-lafzh yaitu redaki suatu hadits yang
diriwayatkan tersebut sama persis seperti yang disampaikan rasulullah. Contoh hadis
yang diriwayatkan dengan lafaz (riwayat bi al-lafz)
 Riwayat Abu Daud
‫ّل‬
‫حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة حدثنا أبو خالد وأبن نمير عن األجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رس==ول هللا ص = ى هللا‬
‫عليه وسّلم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان ااّل غفر لهما قبل أن يفترق‬
“ Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Saibah, menceritakan kepada
kami Abu Khalid dan Ibnu Numair dari al-Ajlah dari Abu Ishaq dari al-Bara’, ia berkata
Rasulullah SAW. bersabda : Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan
kecuali Allah akan memberi ampunan kepada keduanya sebelum mereka berpisah” (HR.
Abu Daud).
 Riwayat Ahmad
‫حدثنا أبن نمير أخبرنا األجلح عن أبي اسحق عن البراء قال ق==ال رس==ول هللا ص=ّلى هللا علي==ه وس=ّلم م==ا من مس==لمين‬
‫يلتقيان فيتصافحان ااّل غفر لهما قبل أن يفترقا‬
 Riwayat Ibnu Majah
‫حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة حدثنا أبو خالد األحمر و عبدهللا بن نمير عن األجلح عن أبي اسحق عن ال==براء ق==ال ق==ال‬
‫رسول هللا صّلى هللا عليه وسّلم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان ااّل غفر لهما قبل أن يفترقا‬
 Riwayat al-Tirmidhi
‫حدثنا سفيان بن وكي=ع و أس=حق بن منص=ور ق=ال ح=دثنا عبدهللا بن نم=ير عن األجلح عن أبي اس=حق عن ال=براء بن‬
‫عازيب قال قال رسول هللا صّلى هللا عليه وسّلم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان ااّل غفر لهما قبل أن يفترقا‬
Dari lima buah hadis tersebut, bisa dilihat sahabat Rasulullah yang menjadi
perawi pertama untuk seluruh sanad hadis tersebut adalah al-Barra’bin ‘Azib. Dimuka
telah diketahui bahwa karena perbedaan cara-cara perawi menerima hadits dari guru yang
memberikan, maka berbeda pula lafadh-lafadh yang dipakai untuk menyampaikan hadits.
Secara garis besar Lafadh-lafadh untuk menyampaikan hadits, itu dapat
dikelompokan kepada dua kelompok yakni :
1. Pertama : lafadh meriwayatkan hadits bagi para rawi yang mendengar lansung
dari gurunya. lafadh-lafadh itu tersusun sebagai berikut :
 ‫سمعت سمعنا‬
Lafadh ini menjadikan nilai hadits yang diriwayatkan tinggi martabatnya. Kemudian
 ‫حدثنا حدثني‬
Dibawah Tahdits
 ‫ اخبرنا‬,‫اخبرني‬
 ‫ نبعنا‬, ‫انبعنا‬
Kedua lafadh ini jarang sekali pemakaiannya terakhir
 ‫ ذكر لنا فالن‬,‫ذكر لي فالن‬
Disamping lafadh-lafadh diatas kadang kita jumpai
 ‫ قال حدثنا‬berarti ‫فثنا‬
 ‫ قال حدثني‬berarti ‫فثني‬
2. Kedua : lafadh riwayat bagi rawi yang mungkin mendengar sendiri atau tidak
mendengar sendiri yaitu :
 ‫ أن‬,‫ عن‬,‫ حكي‬,‫روي‬.....

C. Pengertian Riwayah bil ma’na


Pengertian riwayah bil ma’na adalah suatu hadis yang redaksinya disusun sendiri
oleh perawi tanpa merubah makna.
 Hukum periwayatan bil ma’na
Sebagian ulama’ hadis menolak periwatan bil ma’na tetapi ada yang
membolehkannya dengan syarat yaitu jika perawinya ahli dalam bidang bahasa
dan sering memberikan fatwa. Dalam buku yang berjudul kaedah kesahihan sanad
hadis memberikan ketentuan yang telah disepakati dalam meriwayatkan hadis
bilma’na diantaranya :
a. Yang boleh meriwayatkan hadis secara makna hanyalah mereka yang
benar-benarmemiliki pengetahuan b.arabyang mendalam
b. Periwayatan dilakukan karena sangat terpaksa
c. Yang diriwayatkan dengan makna bukanlah sabda nabi dalam
bentukbacaan yang sifatnya ta’abudi, misalnya dikir, do’a , azan, takbir,
dan syahadat,, seta bukan sabda nabi dalam bentuk jawami’ul kalam.
d. Periwayat yang meriwayatkan hadis secara makna atau yang mengalami
keraguan akan susunan matan hadis yang diriwayatkan agar
menambahkan kata-kata ‫ أوكما قال‬atau ‫ أو نحو هذا‬.
Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum
dibukukannya hadis-hadis Nabi secara resmi. Para sahabat nabi umumnya
memperbolehkan periwayatan hadisdengan makna. Diantara mereka itu ialah Ali bin
abi thalib, Abdullah bin abban, abdullah bin masud, anas bin malik, abu darda’, abu
hurairah dan aisyah. Sebagian kecil sajadari kalangan sahabatcukup ketat berpegang
pada periwayatan dan lafal.di antaranya adalah umar bin khatab, abdullah bin umar
bin kkhatab, dan zaid arqam. Walaupun demikian, mereka yang ketat berpegang pada
periwayatan secara lafal itu tidaklah melarang secara tegas sahabat lain meriwayatkan
hadis secara makna.tampaknya mereka memahami bahwa bagaimanapun juga
memang sangat sulit seluruh apa yag disabdakan nabi diriwayatkan secara llangsung
secara lafal. Ulama mempersoalkan boleh tidaknya selain sahabat nabi meriwayatkan
hadis secara makna. Abu bakar arabi (wafat 573 H= 1148 M) berpendapat, selain
sahabat nabi tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara ma’na. Menurut ianu
alarabi, sahabat nabi diperbolehkan meriwayatkan hadis secara makna, karena mereka
itu ;1. Memiliki pengetahuan b.arab yang tinggi ( alqashashah wal balaghah) dan 2.
Menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan nabi.
 Contoh periwayatan hadis bi ma’na
Hadis tentang niat beramalal- bukhari, muslim, abu dawud, at-turmudzi, al-nasa’i,
ibnu majjah, dan lain-lain. , telah meriwayatkan hadis tersebut. Nama sahabat Nabi
berstatus sebagai saksi pertama untuk seluruh sanad hadis itu adlah umar bin
khotob. Dalam shahih bukhari hadis dimaksud termuat tujuh tempat. Nama-nama
periwayatnya untuk tujuh sanad sama dithobaqotnya (tingkatan) pertama sampai
dengan thobaqot keempat. Yakni : umar bin khotob, alaqamah bin waqashal-laysiy;
nuhammad bin ibrahimbin alharis al-taymiy dan yahya bin sa’id alsahriy. Kemudian
di tabhaqat kelima telah terjadi perbedaan nama periwayat. Yakni sofyan, dalam hal
ini bin ‘uyaynah malik bin anas, abdul wahab dan hammad bin zayd dithabaqat
keenam yakni sebelum albukhari, nama-nama periwayatnya diketujuh sanad tersebut
berbeda juga. Yakni alhumaydiy ‘abd allah bin azzubair, ‘abda Allah bin maslamah,
muhammad bin katsir musaddad, yahya bin qaz’ah, qutaibah bin sa’id dan abual-
nu’man. Ternyata, matan hadis dari tujuh sanad al-bukhori tersebut terdapat
perbedaan redaksi. Di awal matannya saja, telah ada perbedaan-perbedaan susunan
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Dari kajian di atas maka dapat diperoleh poin-poin sebagai berikut :
1. Dengan ucapan dan tutur bahasa sebagaimana yang didengar dari Nabi SAW, dengan
tidak mengurangi atau menambahnya. Inilah yang kemudian dikenal dengan
periwayatan hadis secara lafdzi. Hadis yang diterima dengan cara ini ditetapkan oleh
para ulama sebagai hujjah dengan tidak ada khilaf.
2. Dengan pengertian atau maksudnya, sedangkan lafaz dan ucapan (susunan bahasa)
disusun sendiri. Hal inilah yang kemudian disebut dengan periwayatan hadis secara
makna.
3. Periwayatan hadis dengan makna diperlukan syarat-syarat tertentu yang akan
memelihara kemurnian dan keotentikan hadis.
4. Meskipun pendapat yang populer membolehkan periwayatan dengan
makna, namun menuntut persyaratan berat bagi perawinya dan periwayatan hadis
dengan lafaz lebih diprioritaskan dan diutamakan.
5. Penulisan periwayatan hadis secara makna hanya boleh dilakukan oleh mereka yang
benar-benar memenuhi syarat. Sehingga bagi mereka yang syaratnya belum
mencukupi sebaiknya tidak usah melakukan periwayatan secara makna. Hal ini untuk
menjaga supaya hadis tetap menjadi acuan yang otentik tanpa campur tangan manusia
yang mau merubah (memalingkan) isi hadis tersebut.
6. Harus memperhatikan pedoman dan ilmu-ilmu yang baku bagi mereka yang akan
melakukan periwayatan secara makna.
DAFTAR PUSTAKA

Ajjaj Al Khatib, M. (1963). Ushul Hadits Ulumuhu wa Mustalahu. Beirut: Darul Fikr.

Buchari, M. (2004). Kaidah Keshahihan Matn Hadits. Padang: Penerbit Azka.

Ismail, M. S. (1988). Kaedah Keshahihan Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang.

Ma'luf, L. (1973). al Munjid fi al Lughah. Beirut: Dar al Masyriq.

Munzier, S. (2006). Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ritonga, A. R. (2011). Studi Ilmu-Ilmu Hadis. Yogyakarta: Interpena.

Anda mungkin juga menyukai