Anda di halaman 1dari 28

SEJARAH DAN KEDUDUKAN HADIS

(untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam)


Dosen Pengampu: Doni Arief
Oleh: Tria farera (21406054)

S-1 AKUNTANSI PAGI B SEMESTER II


FAKULTAS ILMU EKONOMI
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI
SULTAN AGUNG
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum,wr.wb
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah swt yang telah
melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga makalah “sejarah
kedudukan hadis’ dapat terselesaikan dengan baik. Tak lupa shalawat
serta salam kepada Nabi Muhammad saw. Semoga kita mendapatkan
syafaatnya dihari akhir kelak.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah
pendidikan agama islam Bapak Doni Arief, yang telah membimbing
penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu daan berbagi
ilmu pengetahuan sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan baik.
Terakir, penulis juga mengucapkan maaf kepada para pembaca
apabila dalam penulisan tugas ini terdapat kesalahan, karna penulis
mengetahui makalah ini masih perlu dikembangkan. Oleh karna itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca agar penulisan
makalah berikutnya dapat menjadi lebih baik.
Wassalamualaikum wr.wb

Pematangsiantar,06 April 2022

penulis
DAFTAR ISI
Kata pengantar……………………………………………………..i
Daftar isi…...………………………………………………………ii
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………….1
A. Latar belakang……………………………………………………………………..1
B. Rumusan masalah………………………………………………………………….2

BAB 2 PEMBAHASAN…………………………………………….3
1. Kedudukan hadis…………………………………………………………….4
2. Fungsi hadis…………………………………………………………………5
3. Hubungan hadis dengan alquran…………………………………………….6
4. Sejarah pembukuan hadis……………………………………………………8
5. Kriteria metode periwayatan hadis…………………………………………..11
6. Bentuk bentuk hadis…………………………………………………………..15
7. Kualitas hadis…………………………………………………………………19
8. Biografi para periwayat hadis………………………………………………….20

BAB 3 KESIMPULAN......................................................................25
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Hadits merupakan sumber ajaran Islam, yang kedua dari Al-Qur’an. Dilihat dari sudut
periwayatannya, jelas antara Hadits dan Al-Qur’an terdapat perbedaan. Untuk Al-Qur’an semua
periwayatannya berlangsung secara mutawatir. Sedangkan periwayatan Hadits sebagian
berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Sehingga mulai dari
sinilah timbul berbagai pendapat dalam menilai kualitas hadits. Sekaligus sumber perdebatan
dalam kancah ilmiah, atau bahkan dalam kancah-kancah non ilmiah. Akibatnya bukan
kesepakatan yang didapatkan, akan tetapi sebaliknya perpecahan yang terjadi.

Hadis juga termasuk salah satu dari 4 sumber hukum Islam yang disepakati para ulama. Hadits
menjadi rujukan bagi umat muslim untuk menjelaskan hukum-hukum yang terdapat dalam Al
Quran.
Dikutip dari buku Memahami Ilmu Hadits oleh Asep Herdi, secara etimologis hadits dimaknai
sebagai jadid, qarib, dan khabar. Jadid adalah lawan dari qadim yang artinya yang baru.
Sedangkan qarib artinya yang dekat, yang belum lama terjadi.
Sementara itu, khabar artinya warta yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari
seseorang kepada yang lainnya.

Secara terminologis, hadits dimaknai sebagai ucapan dan segala perbuatan yang dilakukan
Nabi Muhammad SAW. Sedangkan secara bahasa, hadits berarti perkataan, percakapan,
berbicara.
"Segala ucapan, segala perbuatan, dan segala keadaan atau perilaku Nabi Muhammad SAW,"
tulis Asep dalam bukunya seperti dikutip pada Senin (31/5/2021).
Definisi hadits dikategorikan menjadi tiga, yaitu perkataan nabi (qauliyah), perbuatan nabi
(fi'liyah), dan segala keadaan nabi (ahwaliyah). Sebagian ulama seperti at-Thiby berpendapat
bahwa hadits melengkapi sabda, perbuatan, dan taqrir nabi. Hadits juga melengkapi perkataan,
perbuatan, dan taqrir para sabahat dan Tabi'in.
Hadits memiliki makna yang relatif sama dengan sunnah, khabar, dan atsar. Hanya saja
penyebutannya bisa disamakan atau dibedakan.
Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan hadis?


2. Bagaimana kedudukan dari hadis?
3. Apakah fungsi dari hadis?
4. Hubungan hadis dengan Al quran
BAB 2

A. Pembahasan Teori

Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau
waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan,
dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan,
perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan,
dan perkataan.
Hadits Qauliyah ( ucapan) yaitu hadits hadits Rasulullah SAW, yang diucapkannya dalam
berbagai tujuan dan persuaian (situasi).
Hadits Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti  pekerjaan melakukan
shalat lima waktu dengan tatacaranya dan rukun-rukunnya, pekerjaan menunaikan ibadah
hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari pihak penuduh.
Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh Nabi
SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar itu adakalanya
dengan cara mendiamkannya, dan atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu,
sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan itu. Bila seseorang melakukan suatu perbuatan
atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan Nabi atau pada masa Nabi, Nabi mengetahui apa
yang dilakukan orang itu dan mampu menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak
menyanggahnya, maka hal itu merupakan pengakuan dari Nabi. Keadaan diamnya Nabi itu dapat
dilakukan pada dua bentuk :
Pertama, Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Dalam
hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa siapa pelaku berketerusan melakukan perbuatan
yag pernah dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah menunjukkan
bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya. Dalam bentuk lain, Nabi tidak mengetahui
berketerusannya si pelaku itu melakukan perbuatan yang di benci dan dilarang itu. Diamnya
Nabi dalam bentuk ini menunjukkan pencabutan larangan sebelumnya.
Kedua, Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula
haramnya. Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah meniadakan keberatan
untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi mendiamkannya padahal
ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesaahan ; sedangkan Nabi terhindar
bersifat terhindar dari kesalahan.
 

1. Kedudukan Hadits
Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas hukum dalam Al-
Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Quran.
Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Quran,
tidak diragukan lagi dan dapat di terima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi di
tugaskan Allah SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri dan
sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama.
Perbincangan ini muncul di sebabkan oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-
Quran atau ajaran Islam itu telah sempurna. Oleh karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh
sumber lain. umhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil
kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat
Islam. Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya :

1. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan kepada rasull
sering dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah ; seperti yang tersebut dalam surat
An-Nisa : 59 :

 artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
Bahkan dalam tempat lain Al-Quran mengatakan bahwa oang yang mentaati Rasul berarti
mentaati Allah, sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa : 80:
Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan
Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.
Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah mengikuti apa-apa yang
dilakukan atau dilakukan oleh Rasul sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya.
Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bla wahyu mempunyai kekuatan
sebagai dalil hukum, maka hadits pun mempunyai kekuatan hukum untuk dipatuhi. Kekuatan
hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi: pertama, dari segi kebenaran materinya
dan keduadari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya
kekuatan hadits mengikuti kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat,
yaitu: mutawatir, masyhur, danahad sebagaimana dijelaskan diatas.
Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang meiwayatkannya dari Nabi dan juga
kuantitas yang meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnya adalah qath i dalam arti diyakini
kebenarannya bahwa hadits itu benar dari Nabi. Meskipun jumlah hadits mutawatir ini tidak
banyak namun mempunyai kekuatan sebagai dalil sebagaimana kekuatan Al-Qur’an. Khabar
mutawatir mempunyai kekuatan tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran
tentang apa yang diberitakan secara mutawatir sebagaima kebenaran yang muncul dari hasil
pengamatan. Para ulama sepakat mengatakan bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu
yakin meskipun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan cara sampai kepada ilmu yakin itu
secara tanpa memerlukan pembuktian atau memerlukan pembuktian kebenarannya. Untuk
sampainya khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat tertentu. Di
antaranya syarat-syarat itu disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan. Syarat-
syarat yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita.
 
 
 

2. Fungsi Hadits

Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam
Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan
tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian fungsi hadits yang utama adalah untuk
menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat An-Nahl :64
Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu
dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka Hadits
disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani  dalam hubungannya dengan Al-
Qur’an, ia menjalankan fungsi senagai berikut :

1. Menguatkan dan mengaskan hukum-hukumyang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut


fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang
tersebut dalam Al-Qur’an. Umpanya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah :110 yang
artinya :

“ Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat “ ayat itu dikuatkan oleh sabda Nabi yang artinya
:
“ Islam itu didirikan dengan lima pondasi : kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan
muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat.

2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
3. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
4. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar.
5. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
6. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an

Contoh menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an umpamanya kata shalat yang masih samar
artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa dipahami secara umum
waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan dan
pebuatan secara jelas yang dimulai dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam. Sesudah itu
Nabi bersabda :inilah shalat itu, kerjakanlah shalat sebagimana kamu melihat saya mengerjakan
shalat.

3. Menetapkan suatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian kelihatan bahwa Hadits menetapkan sendiri hukumyang tidak
ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam bentuk ini disebut itsbat. Sebenarnya
bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan hadits itu pada
hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung Al-Qur’an atau memperluas
apa yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas. Umpamanya Allah SWT mengharamkan
memakan bangkai, darah, dan daging babi. Larangan Nabi ini menurut lahirnya dapat
dikatakan sebagai hhukum baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena memang apa yang
diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Tetapi kalau dipahami
lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan terhadap larangan Al-
Qur’anlah memakan sesuatu yang kotor.

3. Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an

Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena
pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala
bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an
adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan. Tetapi
pengalaman hukum Allah diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian bertujuan supaya
hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh
umat.
Sebagaimana dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat hukum
dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat
dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian keterkaitan hadits dengan Al-
Qur’an yang utama adalah berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an. Dengan demikian bila Al-
Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka hadits disebut sebagai bayani. Dalam
kedudukannya sebagai bayani maka dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, Hadits menjalankan
fungsi sebagai berikut :

1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut
fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang
tersebut dalam Al-Qur’an.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal
3. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
4. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar
5. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
6. Memperluas maksud dari suatu yang tersebut dalam Al-Qur’an

Contoh Hadits yang merinci ayat Al-Qur’an yang masih garis besar, umpamanya tentang waktu-
waktu shalat yang masih secara garis besar disebutkan dalam surat An-Nisa : 103
 

‫ْن ِك ٰتبًا‬Mَ ‫َت َعلَى ْال ُمْؤ ِمنِي‬ ْ ‫ض ْيتُ ُم الص َّٰلوةَ فَ ْاذ ُكرُوا هّٰللا َ قِيَا ًما َّوقُعُوْ دًا َّوع َٰلى ُجنُوْ بِ ُك ْم ۚ فَا ِ َذا‬
ْ ‫اط َمْأنَ ْنتُ ْم فَاَقِ ْي ُموا الص َّٰلوةَ ۚ اِ َّن الص َّٰلوةَ َكان‬ َ َ‫فَا ِ َذا ق‬

‫َّموْ قُوْ تًا‬

Terjemahan
Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah ketika kamu berdiri,
pada waktu duduk dan ketika berbaring. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka
laksanakanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, salat itu adalah kewajiban yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman
4. SEJARAH PEMBUKUAN HADIS
Pembukuan hadits adalah bagian dari penjagaan terhadap hadits Nabi Shalallahu ‘alaihiwassalam yang
berarti penjagaan terhadap kemurnian syariat Islam yang bersumber pada hadits-hadits.

Pembukuan hadits melewati 3 tahap secara umum:

1. Penulisan Hadits.
2. Pengumpulan hadits
3. Pembukuan hadits.

Berikut penjelasan lebih terperinci dari tiga hal diatas.

Penulisan hadits dimulai sejak zaman Nabi Shalallahu ‘alaihiwassalam pada masa turun wahyu, namun
penulisan Hadits di zaman Nabi hanya dalam jumlah yang terbatas, agar tidak terjadi percampuran antara
ayat-ayat al Quran dan hadist Nabawi. Sehingga terpisah dengan jelas wahyu al Quran dan ucapan
Nabi Shalallahu ‘alaihiwassalam yang kita kenal dengan hadits-hadits.

Kita dapatkan beberapa hadits yang menunjukkan pelarangan terhadap sebagian shahabat untuk menulis
ucapan atau hadits Nabi. Di sisi lain ada shahabat yang mendapatkan ijin untuk menulis hadits, dan ini
dengan jelas menunjukkan bahwa penulisan hadits sudah mulai sejak masa turunnya wahyu.

Diantara para sahabat yang mendapatkan ijin untuk menulis hadits adalah Abdullah bin Amr’ bin
‘Ash.  Beliau berkata:38

ٌّ ‫ “ا ْكتُبْ فَ َوالَّ ِذي نَ ْف ِسي بِيَ ِد ِه َما يَ ْخ ُر ُج ِم ْنهُ ِإاَّل َح‬:‫ … فَقَا َل‬،ُ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ُأ ِري ُد ِح ْفظَه‬
‫ق‬ ِ ‫َي ٍء َأ ْس َم ُعهُ ِم ْن َرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ْ ‫ت َأ ْكتُبُ ُك َّل ش‬
ُ ‫ ُك ْن‬:‫ال‬
َ َ‫”ق‬

Saya menuliskan semua yang saya dengar dari sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihiwassalam, kemudian
saya ingin menghafalnya … Rasulullah Shalallahu ‘alaihiwassalam bersabda: “Tulislah -Demi yang
jiwaku ada di tangan-Nya- tidak ada yang keluar dari lisanku kecuali hanya kebenaran saja” (HR. Abu
Daud, No.3646. Dan dishohihkan oleh Al-Albani).

Setelah wafatnya Nabi Shalallahu ‘alaihiwassalam, sebagian shahabat menulis hadits kemudian


dikirimkan tulisan tersebut kepada sebagian shahabat yang lain atau tabi’in.

Seperti tulisan Shahabat Usaid bin Khudair yang dikirimkan kepada Marwan bin Al Hakam, Sahabat
Jabir bin Samurah yang dikirimkan kepada ‘Aamir bin Sa’ad bin Abi Waqqas dan Shahabat Zaid bin
Arqam mengirimkan catatan haditsnya kepada Shahabat Anas bin Malik.

Adapun pengumpulan hadits, dimulai dizaman tabiin, dimana sebagian tabiin mengumpulkan hadits-
hadits dari gurunya. Dan hadits-hadits tersebut dikumpulkan dalam tulisan yang dikenal dengan shohifah
atau kumpulan lembaran catatan-catatan hadits. Seperti shohifah Said bin Jubair murid shahabat Anas bin
Malik dan Basyir bin Nuhaik murid dari Abu Hurairah.

Kemudian berlanjut dengan melakukan pengumpulan hadits dalam jumlah yang lebih banyak dan lebih
luas di zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau yang memerintahkan para ulama di masanya untuk
mencari hadits-hadits Nabi kemudian dituliskan pada lembaran-lembaran lalu dikumpulkan. Dan inilah
awal mula pengumpulan hadits-hadits dalam jumlah yang lebih banyak dan dilakukan secara massif.
Pengumpulan hadits ini lebih dikenal dengan pengumpulan hadits yang dilakukan oleh Imam Muhammad
bin Syihab az Zuhri.

Imam az Zuhri berkata:

ٌ َ‫ض لَهُ َعلَ ْيهَا س ُْلط‬


‫ان َد ْفتَرًا‬ ٍ ْ‫ث ِإلَى ُك ِّل َأر‬ ِ ‫َأ َم َرنَا ُع َم ُر بْنُ َع ْب ِد ْال َع ِز‬
َ ‫ فَبَ َع‬،‫يز بِ َج ْم ِع ال ُّسن َِن فَ َكتَ ْبنَاهَا َد ْفتَرًا َد ْفتَرًا‬

Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada kami untuk mengumpulkan sunnah-sunnah Nabi
(hadits). Maka kami menulisnya pada kumpulan-kumpulan catatan hadits, kemudian kami mengirim satu
kumpulan catatan kepada setiap wilayah. (Jami’ bayanilmi wa fadhlihi, 1/331).

Pada Abad ke-2 H masa atbaut tabiin, pada masa ini pembukuan hadits dimulai; perbedaan pembukuan
hadits di masa atbaut tabiin dengan yang dilakukan oleh Imam az Zuhri, bahwa Imam az Zuhri hanya
mengumpulkan hadits dalam catatan dan dikumpulkan tanpa dilakukan pembukuan. Yang dimaksud
dengan pembukuan disini adalah hadits-hadits dikumpulkan dan disusun menjadi buku; yaitu hadits-
hadits suatu permasalahan pada satu buku atau satu bab pada sebua buku.Artinya hadits dikumpulkan dan
disusun dalam bentuk penyusunan tertentu, dimana sebelumnya hanya dilakukan pengumpulan dan
penulisan saja.

Buku-buku hadits yang ditulis pada zaman atbaut tabiin, diantaranya adalah:

1. Al Mushannaf karya Imam Abdur Razzaq as Shan’ani


2. Al Muwatha’ karya Imam Malik bin Anas
3. Kitab Az Zuhud karya Imam Abdullah bin Mubarak

Setelah masa atbaut tabiin, pembukuan hadits terus berkembang dan mengalami masa kemasaan pada
abad ke-3 H., dimana pada masa itu lahirlah karya-karya besar dalam pembukuan hadits, seperti Shohih
Bukhori dan Muslim dan kitab Sunan yang empat.Penulisan hadits dimulai dizaman Nabi Shalallahu
‘alaihiwassalam, dikumpulkan di zaman tabiin dan dimulai pembukuannya dizaman atbaut tabiin pada
abad ke-2 H. Untuk pembahasan yang lebih meluas, bisa merujuk kepada kitab “Tadwinussunnah An
Nabawiyah” karya Syaikh Muhammad bin Mathar az Zharani –Rahimahullah
5.KRITERIA METODE PERIWAYATAN HADIS

Hadis memiliki peranan penting. Demi memelihara kualitas serta menghindari hadis dari
kesalahan baik dalam matan ataupun sanad, diperlukan pengetahuan tentang bagaimana para
perawi menerima dan meriwayatkan hadis agar dapat diketahui mana hadis yang diterima dan
mana yang ditolak.

Kegiatan menerima dan menyampaikan hadis atau dikenal dengan at-tahammul wa ada’ al-
hadis, pada zaman Rasulullah berbeda dengan zaman sahabat. Saat Rasulullah saw. masih hidup,
hadis yang diterima oleh para sahabat dapat dengan mudah diperiksa keabsahannya. Sedangkan
setelah wafatnya Rasulullah saw., pemalsuan hadis kerap terjadi dan sekiranya ada hadis yang
diragukan kebenarannya, semakin jauh jarak munculnya hadis tersebut dengan masa hidup
Rasulullah saw. maka akan semakin sulit diperiksa.

Adapun langkah-langkah untuk memastikan ketersambungan sanad sebuah hadis adalah dengan
mencatat nama-nama perawi dalam sanad, meneliti sejarah dan kualitas perawi melalui kitab-
kitab rijal al-hadis serta meneliti kata-kata yang menunjukkan metode penerimaan hadis
antarperawi dalam sanad atau dalam ilmu hadis dikenal dengan at-tahammul wa ada al-hadis.

Dr. Nuruddin Itr dalam Manhaj An-Naqd fi Ulum Al-Hadis mendefinisikan At-


Tahammul sebagai penerimaan hadis oleh murid dari gurunya dengan salah satu cara tertentu
sedangkan Al-Ada’ adalah proses meriwayatkan hadis dari seorang guru kepada muridnya.
Metode penerimaan dan periwayatan hadis ada delapan macam, yaitu:

1. As-Sima’ min Lafzhi Asy-Syaikh (‫ع ِم ْن لَ ْف ِظ ال َّشيْخ‬


ُ ‫)ال ِّس َما‬

Maksud dari metode ini adalah seorang murid mendengar langsung dari gurunya baik dengan
didiktekan (imla) atau pemberian informasi (tahdits) berdasarkan hafalan sang guru ataupun
catatannya.

Metode ini menurut pendapat mayoritas ulama merupakan yang paling tinggi derajatnya dan
lambang atau shighat yang digunakan pada penyampaian hadis berdasarkan metode ini adalah
dengan lafal sami’tu (‫ْت‬ُ ‫) َس ِمع‬/saya telah mendengar, haddatsani (‫)ح َّدثَنِي‬/seseorang
َ telah bertutur
kepada saya, akhbarani (‫)َأ ْخبَ َرنِي‬/seseorang telah mengabarkan kepada saya, qala li ( ‫قَا َل‬
‫)لِي‬/seseorang telah berkata kepada saya atau dzakara li (‫) َذ َك َر لِي‬/seseorang telah menyebutkan
kepada saya.

Jika sang murid pada saat mendengar hadis tidak sendirian maka dhamir (pronoun/kata ganti)
yang dipakai adalah dhamir jamak ‫( نا‬kita) maka lafal yang telah disebutkan di atas menjadi
َ َ‫ ق‬،‫ َأ ْخبَ َرنَا‬،‫ َح َّدثَنَا‬،‫ َس ِم ْعنَا‬.
‫ َذ َك َر لَنَا‬،‫ال لَنَا‬

ِ ‫)القِ َرا َءةُ َعلَى ال َّشي‬


2. Al-Qira’ah ‘ala Asy-Syaikh  (‫ْخ‬
Metode kedua disebut juga dengan Al-‘Ardhu yakni seorang murid atau perawi membacakan
hadis pada gurunya dari yang dia hafal ataupun dari catatan yang ada di hadapannya. Baik guru
tersebut menyimak orang yang membaca dari hafalannya, menghadirkan catatannya kepada yang
membaca ataupun dilakukan oleh orang tsiqah selainnya.

Hukum riwayat yang disampaikan dengan metode ini adalah shahih hanya saja terdapat silang
pendapat tentang derajatnya. Ulama yang berpendapat bahwa Al-Qira’ah sederajat dengan As-
Sima’ adalah Imam Malik, Imam Al-Bukhari, dan sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah.

Adapun yang berpendapat metode ini lebih rendah adalah mayoritas ulama
dari Masyriq sedangkan yang berpendapat Al-Qira’ah lebih tinggi daripada As-Sima’ ialah Imam
Abu Hanifah serta Imam Ibnu Adz-Dzi’bi dan riwayatnya dari Imam Malik.

Riwayat yang disampaikan melalui cara ini menggunakan lafal qara’tu ‘ala fulanin/‫ت َعلَى فُاَل ٍن‬ ُ ‫قَ َر ْا‬
‫َأ‬
(aku membacakan kepada fulan), quri’a ‘alaihi wa ana asma’u fa aqarra bihi/ ‫قُ ِرَئ َعلَي ِه َوأنَا ش َم ُع‬
ْ
‫( فَأقَ َّر بِ ِه‬Dibacakan kepadanya dan saya mendengarnya lalu ia setuju) atau dengan lafal
haddatsana qiraatan ‘alaihi/‫( َح َّدثَنَا قِ َرا َءةً َعلَ ْي ِه‬telah ia tuturkan bacaan kepada kami.

3. Al-Ijazah (ُ‫)اِإل َجا َزة‬

Al-Ijazah adalah salah satu bentuk penerimaan hadis dengan cara pemberian izin untuk
meriwayatkan hadis dari seorang guru kepada muridnya atau orang lain baik dari ucapan ataupun
catatan.

Apabila seorang guru mengizinkan riwayat tertentu untuk dapat disampaikan oleh orang seperti
ungkapan ajaztuka Shahih Al-Bukhari/‫َاري‬ َ َ‫( َأ َج ْزتُك‬saya mengizinkanmu untuk
ِ ‫ص ِحي َح البُخ‬
meriwayatkan Shahih Al-Bukhari) , maka hal ini dibolehkan menurut pendapat mayoritas ulama
karena dianggap sebagai model periwayatan yang paling kuat dalam metode ini.

Sedangkan jika izin atas riwayat yang tidak ditentukan kepada orang yang juga tidak tentu atau
tidak dikenal bahkan untuk generasi berikutnya yang belum ada saat sang guru memberikan izin
maka hal tersebut dianggap membawa kelemahan dan menggampangkan periwayatan.

Adapun lafal penyampaiannya seperti ajaza li fulanun/‫( َأ َجازَ لِي فُاَل ٌن‬telah mengizinkanku si
fulan), haddatsana ijazatan/ً‫( َح َّدثَنَا ِإ َجا َزة‬telah mengatakan kepada kami dengan
ijazah/perizinan), akhbarana ijazatan/ً‫( َأ ْخبَ َرنَا ِإ َجا َزة‬telah mengabarkan kepada kami dengan
ijazah/perizinan).

4. Al-Munawalah (َ‫)ال ُمنَا َولَة‬

Yaitu seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadis tertulis agar diriwayatkan dengan
mengambil sanad darinya.
Al-munawalah dibagi menjadi dua jenis, yang pertama adalah al-munawalah dengan yang
disertai dengan ijazah. Pada jenis ini, sang guru menyerahkan catatannya kepada muridnya dan
mengatakan hadza riwayati ‘an fulanin fa arwihi ‘anni/‫( هَ َذا ِر َوايَتِيي ع َْن فُاَل ٍن فََأرْ ِو ِه َعنِّ ْي‬ini adalah
riwayatku dari fulan maka riwayatkanlah ini dariku). Periwayatan yang disampaikan dengan
jenis ini dibolehkan karena termasuk ke dalam metode as-sima’ dan al-qiraah derajat paling
rendah.

Sedangkan jenis yang kedua adalah al-munawalah yang tidak disertai indikasi ijazah. Bentuknya


adalah jika seorang guru menyerahkan catatannya pada muridnya disertai dengan perkataan ini
adalah hadis-hadis yang aku dengar. Adapun periwayatan dengan jenis ini tidak diperbolehkan.

5. Al-Kitabah (ُ‫)ال ِكتَابَة‬

Maksud dari al-kitabah di sini adalah seorang guru catatannya kepada muridnya atau salinan
yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkannya

Jalan periwayatan ini juga terdapat dua jenis sebagaimana pada al-munawalah yakni disertai
dengan ijazah seperti ajaztuka ma katabtu laka aw ilaika/ َ‫ك َأو ِإلَ ْيك‬
َ َ‫ْت ل‬ َ ُ‫( َأ َج ْزت‬aku
ُ ‫ك َما َكتَب‬
mengizinkanmu untuk meriwayatkan apa yang aku tulis untukmu atau kepadamu) dan
sebagainya. Hukum untuk meriwayatkan yang disertai dengan ijazah seperti ini adalah shahih.

Sedangkan jenis kedua adalah yang tidak disertai ijazah. Maksudnya, seorang guru menuliskan
hadis-hadisnya dan memberikan catatannya kepada muridnya namun sang murid tidak boleh
meriwayatkannya.

Adapun lafal penyampaiannya seperti kataba ilayya fulanun/‫ي فُاَل ٌن‬َّ َ‫َب إل‬
َ ‫( َكت‬fulan telah menuliskan
sesuatu kepada saya) atau dengan lafal as-sima’ dan al-qiraah seperti haddatsani fulanun/ ‫َح َّدثَنِي‬
‫( فُاَل ٌن‬fulan telah mengatakan kepada saya) atau akhbarani kitabatan/ً‫( َأ ْخبَ َرنِي ِكتَابَة‬Ia telah
mengabarkan kepadaku secara tertulis).

6. Al-I’lam (‫)اِإل عْاَل ُم‬

Penyampaian hadis secara al-i’lam maksudnya adalah sang guru memberitahu muridnya bahwa


hadis yang ia sampaikan atau catatan yang ia bacakan didapatkan langsung dari yang ia dengar.

Mayoritas ulama hadis dan ushul fiqh memperbolehkan periwayatan dengan metode ini asalkan
didapat dari guru yang kredibel namun sejumlah muhaddits tidak memperbolehkannya karena
tidak disertai dengan ijazah atau izin. Adapun lafal yang digunakan pada metode ini
seperti a’lamani syaikhi bikadza/‫( َأ ْعلَ َمنِي َشي ِْخي بِ َك َذا‬guruku telah memberitahukanku seperti ini).

7. Al-Washiyyah (ُ‫صيَّة‬
ِ ‫)ال َو‬
Bentuk dari metode ini adalah pemberian wasiat dari seorang guru sebelum ia wafat atau
berpergian kepada seseorang berupa catatan atau kitab tertentu yang ia riwayatkan.

Sejumlah ulama memperbolehkan periwayatan hadis dengan cara ini namun pendapat ini keliru.
Adapun pendapat yang benar adalah tidak diperbolehkan karena al-washiyyah termasuk cara
penyampaian hadis yang lemah. Contoh lafal al-washiyyah seperti ungkapan ausha ilayya
fulanun/‫ي فُاَل ٌن‬ َ ْ‫( َأو‬fulan telah mewasiatkan kepadaku) atau haddatsani fulanun washiyyatan/
َّ َ‫صى ِإل‬
ً‫صيَّة‬ ُ
ِ ‫( َح ّدثَنِي فاَل ٌن َو‬fulan mengatakan kepadaku secara wasiat).

8. Al-Wijadah (ُ‫)الو َجا َدة‬


ِ

Jalan penerimaan hadis dengan bentuk al-wijadah maksudnya adalah ketika seorang murid


menemukan hadis-hadis tulisan gurunya dan ia mengenali tulisan itu sedangkan ia tidak pernah
mendapatkan hadis-hadis tersebut dengan cara as-sima’ ataupun al-ijazah.

Riwayat hadis yang didapatkan dengan cara al-wijadah adalah munqathi’ (ٌ‫ ) ُم ْنقَ ِطع‬atau terputus


ِ َّ‫ ) ُمت‬atau tersambung.
meski di dalam catatan yang ditemukan terdapat hadis yang muttashil (‫ص ٌل‬

Adapun lafal penyampaiannya seperti wajadtu bi khaththi fulanin/‫ت بِ َخطِّ فُاَل ٍن‬ ُ ‫( َو َج ْد‬aku mendapati
ِّ
tulisan fulan) atau qara’tu bikhaththi fulanin kadza/‫ت بِ َخط فُاَل ٍن َك َذا‬ ْ
ُ ‫( قَ َرا‬aku membaca tulisan si
fulan seperti ini).
6.BENTUK-BENTUK HADIS

Bentuk-Bentuk Hadits

1. Hadits Qouli (Perkataan)


2. Hadits Fi’li (Perbuatan)
3. Taqrir (Ketetapan)
4. Hammi (Keinginan)
5. Ahwali (Hal iwal)
Berikut ini adalah penjelasan lengkap beserta contoh dari bentuk-bentuk hadits sebagai
berikut.

1. Hadits Qouli

Hadits qouli adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi
SAW. Dengan kata lain, hadits qouli adalah hadits berupa perkataan Nabi SAW yang berisi
berbagai tuntunan dan petunjuk syara’, peristiwa, dan kisah, baik yang berkaitan dengan
aspek akidah, syariat, ataupun akhlak.

Contoh Hadits Qouli

Diantara contoh hadits qouli adalah hadis yang berkaitan tentang kecaman Rasul kepada
orang-orang yang mencoba memalsukan hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah saw

‫سلَّ َم َمنْ َك َذ َب َعلَ َّي ُمتَ َع ِّمدًا فَ ْليَتَبَ َّوْأ َم ْق َع َدهُ ِمنْ النَّا ِر‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫َأبِي ُه َر ْي َرةَ قَا َل قَا َل َر‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬

Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa berdusta atas namaku maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari
neraka.” (HR. Muslim No. 4)

2. Hadits Fi’li

Pengertian hadits fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam hadits fi’li tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi Muhammad SAW, yang
menjadi anutan perilaku para sahabat pada saat itu dan menjadi keharusan bagi seluruh umat
Islam untuk mengikutinya.

Hadits yang termasuk kategari ini diantaranya adalah hadis-hadis yang di dalamnya terdapat
kata-kata kanayaksimu atau ra’atul ra’aina.

Contoh Hadits Fi’li

ِ ‫سو ُل هَّللا‬ َ ‫وب عَنْ َأبِي قِاَل بَةَ عَنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن يَ ِزي َد ا ْل َخ ْط ِم ِّي عَنْ عَاِئ‬
ُ ‫شةَ قَالَتْ َكانَ َر‬ َ ‫س َم ِعي َل َح َّدثَنَا َح َّما ٌد عَنْ َأ ُّي‬ ْ ‫سى بْنُ ِإ‬ َ ‫َح َّدثَنَا ُمو‬
ْ ْ ‫َأ‬ َ ‫َأ‬ ُ َ ‫َأ‬
‫س ِمي فِي َما ْملِ ُك فاَل تَل ْمنِي فِي َما تَ ْملِ ُك َواَل ْملِ ُك قا َل بُو دَا ُود يَ ْعنِي القَل َب‬ َ َ َّ َ
ْ ‫س ُم فيَ ْع ِد ُل َويَقُو ُل الل ُه َّم َهذا ق‬ َّ
ِ ‫سل َم يَ ْق‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ

Telah menceritakan kepada kami [Musa bin Isma’il], telah menceritakan kepada kami
[Hammad] dari [Ayyub] dari [Abu Qilabah] dari [Abdullah bin Yazid Al Khathmi] dari
[Aisyah], ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan pembagian dan
berbuat adil dalam membagi, dan beliau berkata: “Ya Allah, inilah pembagianku yang aku
mampu, maka janganlah Engkau cela aku pada sesuatu yang Engkau mampu dan tidak aku
mampu.” Abu Daud berkata; yaitu hati. (HR. Abu Daud No. 1882)

3. Hadits Taqriri

Hadits taqriri adalah hadits berupa ketetapan Nabi Muhammad SAW terhadap apa yang datang
atau dilakukan oleh para sahabatnya. Nabi Muhammad SAW membiarkan atau mendiamkan
suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah
beliau membenarkan atau mempermasalahkannya. Sikap Nabi yang demikian tersebut dijadikan
dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqriri, yang dapat dijadikan hujah atau memiliki kekuatan
hukum untuk menetapkan suatu kepastian Syara. Contoh Hadits Taqriri

Diantara contoh hadis taqriri adalah sikap Rasulullah SAW yang membiarkan para sahabat
dalam menafsirkan sabdanya tentang shalat pada suatu peperangan, yaitu sebagai berikut.

َ‫ص َر ِإاَّل فِي بَنِي قُ َر ْيظَةَ فََأد َْرك‬ ْ ‫صلِّيَنَّ َأ َح ٌد ا ْل َع‬ ِ ‫سلَّ َم يَ ْو َم اَأْل ْحزَ ا‬
َ ُ‫ب اَل ي‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْن ُه َما قَا َل قَا َل النَّبِ ُّي‬
ِ ‫عَنْ ا ْب ِن ُع َم َر َر‬
‫هَّللا‬
ُ ‫صلى‬ َّ َّ َ ُ َ َ َّ
َ ‫صلي ل ْم يُ ِر ْد ِمنا ذلِ َك فذ ِك َر ذلِكَ لِلنبِ ِّي‬ َ ِّ ُ
َ ‫ض ُه ْم بَ ْل ن‬ َ ‫ْأ‬َ
ُ ‫صلي َحتَّى ن تِيَ َها َوقا َل بَ ْع‬ ِّ ُ ‫اَل‬
َ ‫ض ُه ْم ن‬ َ َ
ُ ‫يق فقا َل بَ ْع‬ َّ
ِ ‫ص َر فِي الط ِر‬ ْ ‫ض ُه ْم ا ْل َع‬
ُ ‫بَ ْع‬
‫احدًا ِم ْن ُه ْم‬ َ
ِ ‫سلَّ َم فلَ ْم يُ َعنِّفْ َو‬َ ‫َعلَ ْي ِه َو‬

Dari Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhuma, ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda ketika perang al-Ahzab: “Janganlah seseorang melaksanakan shalat ‘Ashar kecuali
di perkampungan Bani Quraizhah.” Setelah berangkat, sebagian dari pasukan melaksanakan
shalat ‘Ashar di perjalanan sementara sebagian yang lain berkata; “Kami tidak akan shalat
kecuali setelah sampai di perkampungan itu.” Sebagian yang lain beralasan; “Justru kita
harus shalat, karena maksud beliau bukan seperti itu.” Setelah kejadian ini diberitahukan
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak menyalahkan satu pihakpun.” (HR.
Al-Bukhari No. 3810)

Sebagian sahabat memahami larangan itu berdasarkan pada hakikat perintah tersebut sehingga
mereka terlambat dalam melaksanakan shalat Ashar. Segolongan sahabat lainnya memahami
perintah tersebut untuk segera menuju Bani Quraidhah dan serius dalam peperangan dan
perjalanannya sehingga dapat shalat tepat pada waktunya. Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh
Nabi Muhammad SAW tanpa ada yang disalahkan atau diingkarinya.

4. Hadits Hammi

Hadits hammi adalah hadis yang berupa keinginan atau hasrat Nabi Muhammad SAW yang
belum terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura.

Contoh Hadits Hammi

َ‫س ِم َع َأبَا َغطَفَان‬ َ ُ‫ش َّي َح َّدثَهُ َأنَّه‬ِ ‫س َم ِعي َل بْنَ ُأ َميَّةَ ا ْلقُ َر‬ ْ ‫وب َأنَّ ِإ‬ َ ُّ‫ب َأ ْخبَ َرنِي يَ ْحيَى بْنُ َأي‬ ٍ ‫ي َح َّدثَنَا ابْنُ َو ْه‬ ُ ‫َح َّدثَنَا‬
ُّ ‫بْنُ دَا ُو َد ا ْل َم ْه ِر‬  ُ‫سلَ ْي َمان‬
ُ ‫صيَا ِم ِه قَالُوا يَا َر‬
ِ ‫سو َل هَّللا‬ ِ ِ‫ُورا َء َوَأ َم َرنَا ب‬ َ ‫سلَّ َم يَ ْو َم عَاش‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫صا َم النَّبِ ُّي‬ َ َ‫س يَقُو ُل ِحين‬ ٍ ‫س ِمعْتُ َع ْب َد هَّللا ِ بْنَ َعبَّا‬ َ ‫يَقُو ُل‬
ْ
‫ت ال َعا ُم‬ ‫ْأ‬ َ
ِ َ‫س ِع فلَ ْم ي‬ ِ ‫ص ْمنَا يَ ْو َم التَّا‬ ْ ْ
ُ ‫سل َم فِإذا َكانَ ال َعا ُم ال ُم ْقبِ ُل‬ َ َ َّ ‫هَّللا‬
َ ‫صلى ُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫هَّللا‬
َ ِ ‫سو ُل‬ َ
ُ ‫صا َرى فقَا َل َر‬ ْ ِّ
َ َّ‫ِإنَّهُ يَ ْو ٌم تُ َعظ ُمهُ اليَ ُهو ُد َوالن‬
‫سلَّ َم‬ ‫و‬
َ َ ِ ‫ه‬ ‫ي‬
ْ َ ‫ل‬‫ع‬َ ُ ‫هَّللا‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬‫ص‬ ‫هَّللا‬ ‫ل‬
َ ِ ُ ُ َ َ ُ‫و‬ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ي‬ ِّ ‫ف‬ ‫و‬ُ ‫ت‬ ‫َّى‬ ‫ت‬‫ح‬ ‫ل‬‫ب‬
َ ُ ِ ُْ
‫ق‬ ‫م‬ ْ
‫ل‬ ‫ا‬

Telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin Daud Al Mahri], telah menceritakan kepada
kami [Ibnu Wahb], telah mengabarkan kepadaku [Yahya bin Ayyub], bahwa [Isma’il bin
Umayyah Al Qurasyi] telah menceritakan kepadanya bahwa ia telah mendengar [Abu
Ghatafan] berkata; saya mendengar [Abdullah bin Abbas] ketika Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura ia berkata; dan beliau memerintahkan kami agar
berpuasa pada hari tersebut. Para sahabat kertanya; wahai Rasulullah, itu adalah hari
dimana orang-orang yahudi dan nashrani mengagungkannya. Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila tahun depan maka kita akan berpuasa pada
hari kesembilan.” Kemudian belum datang tahun depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam telah meninggal dunia. (HR. Abu Dawud No. 2089)

Nabi Muhammad SAW belum sempat merealisasikan hasratnya ini karena beliau wafat sebelum
datang bulan ‘Asyura tahun berikutnya. Menurut para ulama, seperti Asy-Syafi’i dan para
pengikutnya, menjalankan hadits hammi ini disunnahkan, sebagaimana menjalankan sunnah-
sunnah lainnya.
5. Hadits Ahwali

Hadits ahwali adalah hadis yang berupa hal ikhwal Nabi Muhammad SAW yang tidak termasuk
ke dalam kategori ini adalah hadits-hadits yang menyangkut sifat-sifat dan kepribadian, serta
keadaan fasik Nabi SAW.

Contoh Hadits Ahwali

Sifat Nabi Muhammad SAW diceritakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Annas bin Malik,
sebagai berikut.

‫س ُخـــلُـــقًا‬ َ ‫س ْو ُل هللاَ َأ ْح‬


ِ ‫سنَ النَّا‬ ُ ‫َكانَ َر‬

Rasulullah adalah manusia yang terbaik akhlaknya (HR. Muslim)

Tentang kedaan disik Rasulullah SAW dijelaskan dalam hadits berikut.

ِ ‫س َوَأش َْج َع النَّا‬


‫س‬ ِ ‫س َوَأ ْج َم َل النَّا‬
ِ ‫َكانَ َأ ْج َو َد النَّا‬

Beliau adalah orang yang paling dermawan, paling tampan dan paling pemberani (HR al-
Bukhâri dan Muslim)

Dalam hadits lainnya disebutkan bahwa Anas bin Malik berkata,

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬ ِ ْ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ عَن‬


َ ‫صيَ ِام النَّبِ ِّي‬ ِ ‫سا َر‬ ً َ‫سَأ ْلتُ َأن‬ َ ‫ساَل ٍم َأ ْخبَ َرنَا َأبُو َخالِ ٍد اَأْل ْح َم ُر َأ ْخبَ َرنَا ُح َم ْي ٌد قَا َل‬ َ ُ‫ ُم َح َّم ٌد ه َُو ابْن‬ ‫َح َّدثَنِي‬
‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ُ‫صاِئ ًما ِإاَّل َر ْيتُهُ َواَل ُم ْف ِط ًرا ِإاَّل َر ْيتُهُ َواَل ِمنْ اللَّ ْي ِل قَاِئ ًما ِإاَّل َر ْيتُهُ َواَل نَاِئ ًما ِإاَّل َر ْيتُه‬ َ ‫ش ْه ِر‬ َّ ‫سلَّ َم فَقَا َل َما ُك ْنتُ ُأ ِح ُّب نْ َراهُ ِمنْ ال‬
‫َأ‬ ‫َأ‬ َ ‫َو‬
‫س َكةً َواَل َعبِي َرةً َأ ْطيَ َب َراِئ َحةً ِمنْ َراِئ َح ِة‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫ش‬ ‫اَل‬‫و‬ ‫م‬َّ
ْ ِ ُ‫ُ َ ْ ِ َ َ َ َ َ ِ ْ ت‬ ‫ل‬‫س‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ي‬ َ ‫ل‬‫ع‬ ‫هَّللا‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬‫ص‬ ‫هَّللا‬ ‫ول‬ ‫س‬ ‫ر‬ َ
‫ك‬
َ ِ ِ ُ َ ِّ‫َ َ ِ َ َنَ ِ نْ ف‬ ‫م‬ ‫ي‬ ْ
‫ل‬ ‫َأ‬ ً ‫ة‬‫ر‬ ‫ي‬ ‫ر‬ ‫ح‬ ‫اَل‬‫و‬ ً ‫ة‬‫ز‬َّ َ
‫خ‬ ُ‫َواَل َ ِ ْت‬
‫س‬ ‫س‬ ‫م‬
‫سلَّ َم‬َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو ِل هَّللا‬ُ ‫َر‬

Telah menceritakan kepada saya [Muhammad]. Dia adalah Ibnu Salam telah mengabarkan
kepada kami [Abu Khalid Al Ahmar] telah mengabarkan kepada kami dari [Humaid] berkata;
Aku bertanya kepada [Anas radliallahu ‘anhu] tentang shaum Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Dia berkata: “Tidaklah aku ingin melihat Beliau berpuasa dalam suatu bulan
kecuali aku pasti melihatnya, begitu juga tidaklah aku ingin melihat beliau tidak berpuasa,
pasti aku juga bisa melihatnya. Dan saat Beliau berdiri shalat malam melainkan aku
melihatnya begitu juga bila Beliau tidur melainkan aku juga pernah melihatnya. Dan belum
pernah aku menyentuh sutera campuran ataupun sutera halus yang melebihi halusnya
telapak tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan belum pernah pula aku mencium
bau wewangian minyak kasturi dan wewangian lain yang lebih harum dari keharuman
(badan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Bukhari No. 1837)
7.KUALITAS HADIS

 Para ulama hadits membagi hadits berdasarkan kualitasnya dalam tiga kategori, yaitu hadits
shahih, hadits hasan, hadits dhaif.

a. Hadits Shahih
Hadits shahih ialah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang
berkualitas dan tidak lemah hafalannya, di dalam sanad dan matannya tidak ada syadz dan illat.
Mahmud Thahan dalam Taisir Musthalahil Hadits menjelaskan hadits shahih adalah:
‫ما اتصل سنده بنقل العدل الظابط عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ وال علة‬
Setiap hadits yang rangkaian sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan
dhabit dari awal sampai akhir sanad, tidak terdapat di dalamnya syadz dan ‘illah.

b.Hadits Hasan
Hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih, yaitu hadits yang rangkaian sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit, tidak terdapat syadz dan ‘illah.
Perbedaan dari kedua jenis hadits ini adalah kualitas hafalan perawi hadits hasan tidak sekuat
hadits shahih. Ulama hadits sebenarnya berbeda-beda dalam mendefenisikan hadits hasan.
Menurut Mahmud Thahhan, defenisi yang mendekati kebenaran adalah definisi yang dibuat Ibnu
Hajar. Menurut beliau hadits hasan ialah:
‫هو ما اتصل سنده بنقل العدل الذي خف ضبطه عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ وال علة‬
Hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi adil, namun kualitas hafalannya
tidak seperti hadits shahih, tidak terdapat syadz dan ‘illah.

c.Hadits Dhaif
Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih dan hadits hasan.
Dalam Mandzumah Bayquni disebutkan hadits hasan adalah:
‫ فهو الضعيف وهو اقسام كثر‬ #  ‫وكل ما عن رتبة الحسن قصر‬
Setiap hadits yang kualitasnya lebih rendah dari hadits hasan adalah dhaif dan hadits dhaif
memiliki banyak ragam.

Dilihat dari definisinya, dapat dipahami bahwa hadits shahih adalah hadits yang kualitasnya
paling tinggi, kemudian di bawahnya adalah hadits hasan. Para ulama sepakat bahwa hadits
shahih dan hasan dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Sementara hadits dhaif ialah hadits
yang lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Namun dalam beberapa kasus,
menurut ulama hadits, hadits dhaif boleh diamalkan selama tidak terlalu lemah dan untuk fadhail
amal.
8.BIOGRAFI PARA PERIWAYAT HADIS

1. Imam Bukhari (194 H – 265 H)

Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin
Mughirah bin Yardizhab al-Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat tanggal 13 Syawal 194 H di
Bukhara, wilayah Asia Tengah.

Imam Bukhari merupakan seorang ahli hadis yang menghabiskan umurnya untuk mengumpulkan
hadis-hadis Nabi yang ketika itu masih dihafalkan oleh ulama-ulama. Beliau mendatangi kota-
kota atau desa-desa tempat para ulama penghafal hadis tinggal. Kemudian Imam Bukhari
bertanya, mengambil, mengumpulkan hadis-hadis Nabi tersebut. Selanjutnya diteliti matannya,
diperhatikan pula sanadnya, dan dituliskan sehingga menjadi sebuah kitab yang bernama Shahih
Bukhari.

Di antara hadis-hadis itu ada juga yang dituliskan dalam kitab-kitab lain yaitu dalam
kitab Adabul Mufrad, kitab Tarikh Al-Kabir, dan lain-lain. Beliau telah mengumpulkan
sebanyak 600.000 hadis yang kemudian dipilih dengan sangat teliti sehingga menjadi 7.275 hadis
yang termaktub dalam Shahih Bukhari. Pada proses selanjutnya ditinjau kembali sehingga
menjadi 2.513 hadis.

Menurut sebuah riwayat, saat akan menuliskan hadis dalam kitab Shahih Bukhari, beliau
berwudhu dengan air zamzam dan sembahyang sunat sebanyak 2 rakaat di Maqam Ibrahim. Ini
menunjukkan bahwa Shahih Bukhari ditulis di Mekkah, dan beliau tinggal di dekat Ka’bah.

Imam Bukhari tidak hanya menuliskan hadis-hadis tersebut. Di hadapan muridnya beliau
membacakan Shahih Bukhari. Murid Imam Bukhari sangat banyak jumlahnya. Pernah beliau
membacakan langsung Shahih Bukhari di hadapan 90.000 orang.

Kitab Shahih Bukhari sering menjadi rujukan umat Muslim dalam pengambilan sebuah hukum
syara’. Ulama sepakat bahwa hadis Imam Bukhari merupakan hadis-hadis yang dapat dipercaya
dan paling shahih.

Beliau wafat di Bukhara, desa Kartank, Samarkand pada tahun 256 H dan juga dimakamkan di
sana.

2. Imam Muslim (Wafat 261 H)

Beliau memiliki nama lengkap Abu Husein Muslim bin Hajaj bin Muslim al-Qusyairi an-
Nisaburi. Beliau juga termasuk perawi hadis terkenal dan telah mengumpulkan sebanyak
300.000 hadis. Tetapi setelah diseleksi dengan cermat, maka dalam Shahih Muslim hanya
ditemukan sebanyak 4.000 hadis pilihan Muslim.
Umat Muslim telah mengakui bahwa seluruh hadis dalam Shahih Muslim adalah hadis-hadis
yang shahih dan menjadi sumber hukum yang kuat, sama halnya dengan Shahih
Bukhari. Namun derajat kitab Shahih Muslim dari segi sanad-sanadnya masih berada di
bawah Shahih Bukhari. Keunggulan Shahih Muslim dibandingkan dengan Shahih
Bukhari terdapat pada cara penyusunan bab dan pasalnya yang disusun secara sistematis. Jika
Imam Bukhari dan Imam Muslim disandingkan, maka tak ada keraguan lagi terhadap keabsahan
hadis-hadis yang mereka rawikan. Imam Muslim wafat pada tahun 261 H di Nisabur, yaitu
sebuah negeri di Persia.

3. Imam Tirmidzi (200 H – 267 H)

Nama lengkap beliau adalah Abulhasan Muhammad bin Isa yang berasal dari desa Tirmidzi di
pantai sungai Jihun di Bukhara. Untuk menyebutkan nama beliau boleh diucapkan dengan
“Tirmidzi”, “Turmudzi”, dan “Tarmidzi”.

Kitab hadis Shahih Tirmidzi adalah sebuah kitab hadis besar yang menghimpun beribu hadis
Nabi Muhammad.

Beliau dilahirkan pada tahun 200 H dan wafat tahun 267 H. Kitab Tirmidzi termasuk ke dalam
kitab hadis hasil kolaborasi bersama Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam
Tirmidzi, Nisai, dan Ibnu Majah.

4. Imam Nisai (214 H – 302 H)

Nama lengkap beliau adalah Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’ib bin ‘Ali bin Bahar bin
Sizam bin Dinar an-Nisai as-Syafi’i. Beliau lahir di sebuah desa bernama Nisa di daerah
Khurasan (Asia Tengah) pada tahun 214 H.

Imam Nisai belajar ilmu di kota-kota dan negeri Islam ketika itu, sehingga beliau digelar dengan
julukan “Al-Hufadz” (yang banyak menghafal hadis). Dalam mengumpulkan hadis, beliau sangat
hati-hati dan teliti, melebihi ketelitian Imam Bukhari dan Imam Muslim. Namun Kitab Nisai
masih berada di bawah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Beliau meninggal di Ramlah, sebuah desa di Palestina dan bermakam di pemakaman Baitul
Maqdis pada tahun 302 H.

5. Imam Abu Daud (202 H – 275 H)

Nama lengkap beliau adalah Sulaiman bin al-As’ats as-Sijistani as-Syafi’i. Beliau lahir pada
tahun 202 H.
Imam Abu Daud telah mengumpulkan sebanyak 50.000 hadis, tetapi yang dituliskan dalam
kitab Sunan Abu Daud hanya sebanyak 4.000 hadis. Menurut Ibnu Arabi: “Andai kata tidak ada
kitab yang di tangan seseorang, tapi ada Kitabullah dan Sunan Abu Daud, maka itu sudah cukup
untuk ilmu pengetahan”.

Beliau wafat pada tahun 275 H.

6. Imam Ibnu Majah (207 H – 273 H)

Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Yazid Abi Abdillah Ibnu Majah al-
Khuzuaini. Beliau lahir pada tahun 207 H.

Menurut Imam Muhammad bin Abdul Hadi, pensyarah kitab Ibnu Majah bahwa hadis yang
terkumpul dalam kitab Ibnu Majah berjumlah 4.000 hadis. Kitab Ibnu Majah termasuk kitab
hadis yang enam, tetapi ada ulama mengatakan bahwa Ibnu Majah termasuk yang ketujuh,
sedang yang keenam adalah Imam Maliki bin Anas.

Beliau wafat pada tahun 273 H.

7. Imam Malik bin Anas (95 H – 179 H)

Nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Abi ‘Amir al-Anshari, dan digelari dengan
Abu Abdillah. Beliau lahir di Madinah pada tahun 95 H.

Imam Malik adalah seorang ulama tabi’in yang sangat alim. Beliau belajar fikih kepada Rabi’ah
ar-Ra’ji, seorang guru yang terkenal dalam ilmu fikih saat itu. Ilmu hadis dipelajarinya dari
ulama-ulama hadis seperti Imam Nafi’i, Imam Syaibah az-Zuhri dan lain-lain.

Imam Malik terkenal dengan julukan Imam Darul Hijrah. Beliau adalah pembangun mazhab
Maliki dalam fikih. Tetapi walaupun beliau ahli fikih, beliau juga seorang ahli hadis. Kitab Imam
Malik, Al-Muwatha memuat banyak hadis yang dijadikan sumber bagi hukum fikih oleh para
ulama.

Beliau mengumpulkan hadis selama 40 tahun dan telah menghafal sebanyak 1000.000 hadis.
Selanjutnya beliau menyaring sanad-sanadnya dan matannya sehingga tinggal 5.000 hadis yang
termaktub dalam Al-Muwatha. Kenapa dinamakan dengan Al-Muwatha? Pada saat selesainya
kitab itu, Imam Malik menunjukkan kepada 70 orang ulama fikih pada saat itu dan semuanya
setuju dengan isi kitab itu.

Imam Malik wafat di Madinah pada tahun 179 H.

8. Imam Ahmad bin Hambal (164 H – 241 H)


Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hilal as-Syaibani. Beliau lahir di
Baghdad pada tahun 164 H.

Ibu dan bapak beliau tinggal di Marwin, sebuah wilayah di Khurasan (Asia Tengah). Beliau
adalah ulama fikih dan hadis serta pembangun mazhab Hambali. Menurut Imam Abu Zu’ah,
Imam Ahmad bin Hambal mampu menghafal 1.000.000 hadis. Ini adalah suatu keramat bagi
aulia-aulia Allah yang jarang tandingannya.

Hadis-hadis yang beliau hafal diseleksi dari berbagai aspek sehingga tinggallah sebanyak 40.000
hadis, dan ditulis kembali sehingga menjadi 30.000 hadis yang termaktub dalam
kitab Masnad. Imam Ahmad bin Hambal pernah berguru ilmu fikih pada Imam Syafi’i.

Imam Hambal wafat pada tahun 241 H di Baghdad.

9. Imam Baihaqi (384 H – 458 H)

Beliau lahir pada tahun 384 H. Imam Baihaqi mengumpulkan hadis dan tersusun dalam
kitabnya Sunan Baihaqi, Syu’bul Iman, dan kitab-kitab lain. Selain perawi hadis beliau juga
dikenal sebagai ulama fikih. Beliau meninggal di Nisabur, Persia pada tahun 458 H dan
dimakamkan di Baihaq.

10. Imam Syafi’i (150 H – 204 H)

Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin
Syafi’i bin Said bin Ubeid bin Abdi Yazin bin Hasyim bin Abdil Muthalib bin Abdi Manaf
al-Quraisyi al-Mathalabi. Beliau lahir pada tahun 150 H di Asqalan, Palestina. Pada umur 9
tahun beliau dibawa ke Mekkah dan belajar di sana. Pada usia tersebut Imam Syafi’i telah
mampu menghafal Al-Quran.

Guru beliau dalam ilmu hadis adalah Sofyan bim Uyainah, Imam Malik bin Anas, dan lain-lain.
Selain ahli fikih dan pembangun Mazhab Syafi’i, beliau juga seorang perawi hadis. Kitab beliau
yang terkenal yaitu Al-Umm, Al-Muzanni, dan lain-lain.

Beliau wafat pada tahun 204 H di Mesir dan dimakamkan juga di sana.

11. Imam Daruquthni (Wafat 385 H)

Nama lengkap beliau adalah Abu Hasan Ali bin Umar ad-Daruquthni, yang merupakan
seorang ahli hadis yang jarang tandingannya pada masa itu. Beliau mengetahui banyak tentang
seluk-beluk hadis, mana hadis dha’if, mana hadis yang baik. Beliau juga tahu tentang orang-
orang yang memangku hadis, apakah dapat dipercaya ataupun tidak.
Kitab Daruquthni membuktikan kemahiran dan kecakapan beliau dalam memilih hadis sehingga
beliau digelari dengan “Amirul Mukminin fil Hadits’. Di antara murid-murid beliau seperti Al
Hafidz Abu Nu’im, Qadhi Abu Thaib, Imam Thabari, Imam Abu Bakar Al-Barqani dan lain-lain.

Beliau wafat pada tahun 385 H.

12. Imam Abu Nu’im (334 H – 430 H)

Nama lengkap beliau adalah Abu Nu’im Ahmad bin Abdillah al-Ashfahani adalah seorang
ahli hadis yang terkenal. Beliau juga termasuk salah satu perawi hadis yang dapat dipercaya.
Hadis-hadis beliau dipakai sebagai sandaran hukum yang termaktub dalam Al-Hurriyah. Beliau
lahir pada tahun 334 H dan wafat pada tahun 430 H di Asfahan, Persia dan dimakamkan juga di
sana.
B. Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut, dapat kami simpulkan bahwa : 1. Hadis merupakan salah satu sumber
hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. 2. Hadits yang
wajib dijadikan hujah atau dasar hukum sama dengan AlQur’an dikarenakan adanya dalil-dalil
syariah yang menunjukkannya. Al-Qur’an dan hadist sebagai pedoman hidup, sumber hukum
dan ajaran dalam Islam, antara yang satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan. Al-Qur’an
itu adalah pokok hukum syari’at, pegangan umat Islam yang secara rinci menerima penjelasan
dari sunnah. 3. Fungsi hadis terhadap Al-Qur’an adalah sebagai : a. Bayan al-Taqrir (penjelasan
memperkuat apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. b. Bayan al-Tafsir (menjelaskan dan
menafsirkan ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an). c. Bayan al-Tasyri’ (mewujudkan suatu
hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya
(ashl) saja). d. Bayan al-Nasakh (menghapus, menghilangkan, dan mengganti ketentuan yang
teradapat dalam Al-Qur’an).
C. DAFTAR PUSTAKA

https://pdfcoffee.com/makalah-kedudukan-hadist-pdf-free.html

https://sumbar.kemenag.go.id/v2/post/1952/pengertian-kedudukan-dan-fungsi-hadits.html

https://www.synaoo.com/bentuk-bentuk-hadits-beserta-contohnya/

https://hadispedia.id/delapan-metode-penerimaan-dan-periwayatan-hadis/

https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.com/2014/10/perawi-hadits.html

Anda mungkin juga menyukai