Anda di halaman 1dari 36

Mengenal Hadits Secara Global

( Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Al-quran dan Hadits)






Disusun Oleh : Kelompok 2
Mawah Shofwah (1112016200040)
Nur Hikmah (11120162000
Savira Aulia (1112016200076)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013



KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan taufik dan
rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Al-Quran
dan Hadits. Dalam menyusun makalah ini, penulis tidak lepas dari bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini juga kami tidak lupa
menyampaikan rasa terima kasih kepada sebagai dosen mata kuliah Al-Quran
dan Hadits.
1. Drs. Abdul Haris, M.Ag
2. Teman-teman kelompok
3. Teman-teman yang telah menyelesaikan tugas makalah ini
Kami sadar bahwa dalam menyusun makalah ini masih banyak kekurangan, baik
dalam segi isi maupun cara penyusunananya. Oleh karena itu, apabila ada
kesalahan, kami dengan senang hati menerima segala kritik dan saran demi
penyempurnaan tugas makalah ini.
Semoga tugas makalah ini bermanfaat bagi kami dan khususnya untuk
para pembaca pada umumnya.



Jakarta, 25 Maret 2013



Penyusun

ii


Daftar Isi

Kata
Pengantar..................................................................................................... ii
Daftar isi...................................................................................................... iii
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar belakang ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................... 2
1.4 Ruang Lingkup ........................................................................ 2
1.5 Sumber Data............................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hadits ...................................................................... 3
2.2 Masa Pengumpulan Hadits dan Sejarahnya ............................. 5
2.3 Periwayatan Hadits .................................................................. 7
2.4 Kualitas Hadits ........................................................................ 12
2.5 Takhrij Hadits .......................................................................... 17
2.6 Fungsi Hadits ........................................................................... 24
2.7 Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum ........................... 26

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................ 31
3.2 Saran .......................................................................................... 31

Daftar Pustaka







iii


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Keberadaan Hadits sebagai salah satu Sumber Hukum setelah alquran.
Didalam islam Hadits memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang
kompleks. Sejak masa zaman Rosulullah, zaman Sahabat, dan Tabiin hingga
setelah pembukuan hadits pada abad ke-2 H.
Perkembangan masa awal lebih banyak menggunakan Lisan karena
adanya larangan Nabi untuk menulis hadits. Karena beliau terfokus pada para
sahabat yang bisa menulis Alquran. Larangan tersebut berlanjut sampai masa
tabiin besar dan khalifah.
Sampai pada akhirnya hadits sangat penting dan berguna bagi umat islam
untuk ditulis dan dibukukan dalam menghadapi suatu masalah. Oleh karena
itu dalam makalah ini kita akan membahas bagaimana sebenarnya sejarah
perkembangan dan pembukuan hadits itu.
Karena Sejarah perkembangan hadits itu sangat penting serta memberikan
pengaruh terhadap sejarah peradapan islam.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun latar belakang masalah yang muncul berdasarkan hasil dari latar
belakang masalah tersebut,yaitu :
1.2.1 Menjelaskan pengertian hadits
1.2.2 Memaparkan sejarah singkat pengumpulan hadits
1.2.3 Memaparkan kualitas hadits
1.2.4 Menjelaskan periwayatan hadits
1.2.5 Memaparkan tentang takhrij hadits
1.2.6 Memaparkan fungsi hadits
1.2.7 Menjelaskan kedudukan Al-Quran sebagai sumber hukum bagi
umat Islam.


1


1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengenalkan Hadits secara
global.

1.4 Ruang Lingkup
Adapuna ruang lingkup pembahasan makalah ini yaitu:
1.4.1 Pengertian Hadits.
1.4.2 Sejarah singkat pengumpulan Hadits.
1.4.3 Periwayatan Hadits.
1.4.4 Kualitas Hadits.
1.4.5 Takhrij Hadits.
1.4.6 Fungsi Hadits.
1.4.7 Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum Islam.

1.5 Sumber Data
Adapun sumber referensi yang digunakan yaitu
Sumber buku :
Inti Sari Hadits
Kedudukan As-Sunnah dalam syariat Islam
Hadits-hadits Muttafaqalaih Bagian Ibadat
Kajian Sunnah Nabi saw sebagai sumber hukum Islam
Metode Kritik Hadits
Al-Quran dan Hadits
Sumber Web :
http://badiatulmunawaroh.files.wordpress.com/2012/05/takhrij-hadis.pdf
http://stiqulumalhadis.blogspot.com/2012/01/takhrij-al-hadits.html








2


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hadits
2.1.1 Pengertian Hadits Secara Lughawi
Menurut penelitian Abul Baqa kata hadits senada dengan kata
tahdits, yang berarti ikhbar atau memberi tahu. Kemudian,
pengertian ini berkembang mencakup segala pekerjaan, ucapan, dan
pengakuan Nabi saja.
1
Perkataan ikhbar sebenarnya sudah digunakan
sejak zaman pra-Islam yang artinya sama dengan Hadits. Perkataan
ikhbar sebenarnya lebih umum dari pada perkataan hadits yang
mencakup pada ucapan, perbuatan, dan pengakuan Nabi, sementara
perkataan ikhbar bisa merupakan perbuatan, ucapan, pengakuan
Nabi atau yang lainnya seperti sahabat, tabiin, ataupun yang
lainnya. Oleh karena itu ulama menyatakan bahwa setiap hadits
adalah khabar dan setiap tidak setiap khabar adalah hadits. Allah pun
menggunakan kata hadits dengan arti khabar seperti dalam firman-
Nya:
W-O>4OU +CgO4
g)-u1g)` p)
W-O+^~E --g~g= ^@j

Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al
Quran itu jika mereka orang-orang yang benar.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits berarti baru sebagai
lawan dari Qadim atau terdahulu; maksudnya bahwa semua sabda
Rasulullah SAW. dianggap sebagai sesuatu yang baru, sedangkan
yang Qadim adalah Al-quran.

2.1.2 Pengertian Hadits Menurut Istilah
Menurut terminologi atau istilah ialah: segala sesuatu yang
berssumber dari Nabi SAW dalam bentuk Qouli (ucapan), fili
(perbuatan), taqrir, dan sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan
dengannya sebagia Tasyri bagi umat islam.

1
M. Abdurrahman, Metodr kritik Hadits (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), hal 192
3



Hadits menurut pengertian ahli hadits dibagi dua, yaitu pengertian
hafits yang terbatas dan pengertian hadits yang luas. Pengertian
hadits yang terbatas adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, dan
yang sebagainya. Tarif ini mengandung empat unsur yakni
perkataan, perbuatan, pernyataan dan sifat-sifat atau keadaan Nabi
SAW yang semuanya hanya disandarkan kepada beliau, tidak
termaksud hal-hal yang disandarkan kepada para sahabat dan tidak
pula tabiin.
Sementara menurut pengertian yang luas hadits tidak hanya
disandarkan kepada Nabi SAW tetapi juga mencakup juga perkataan,
perbuata, taqrir yang disandarkan kepada para sahaabat sehingga
dalam hadits ada istilah marfu (yang disandarkan kepada Nabi),
manqul (yang disandarkan kepada sahabat), dan maqthu ( yang
disandarkan kepada tabiin).
Adapun ada istilah sunnah, berarti jalan yang baik ata jalan yang
tidak baik. Di sini snnah berarti jalan yang di tempuh oleh
Rasulullah saw, yang berhubungan dengan nilai-nilai keagamaaan.
Jika hadits terbatas pada pengertian ikhbar, yaitu memberi tahu
dalam bentuk ucapan, maka sunnah secara khusus berbentuk
perilaku Nabi saw.
Bertitik tolak dari keterangan di atas ternyata di kalangan ulama
ada yang cenderung untuk membedakan hadits dengan sunnah.
Namun demikian, dalam pengertian dala pengertian yang mutabar
dan diakui oleh kebanyakan ulam, tetap tidak ada perbedaaan yang
prinsip antara pengertian hadits, sunnah, dan khabar jika ditinjau
secara istilah dan disandarkan kepada Nabi saw.
Selain tiga perkataan yang semakna dengan hadits, sebagaimana
diterangkan di atas, ternyata ada lagi lafal lain yaitu atsar. Lafal ini
menurut sebagian ulama semakna dengan hadits, sunnah, dan
khabar. Oleh sebab itu, ada ulama yang menamai bukunya yang
berhubungan dengan Ilmu Hadits dengan nama Musthalah Ahli
Atsar.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang semakna dengan
hadits ini ada epat macam, yaitu sunnah, khabar, dan atsar.
Walaupun kenyataannya berbeda, tetapi secara umum mempunyai
makna yang sama atau hampir bersamaan. Perkataan khabar lebih
umum daripada hadits dan sunnah, demikian pula perkataan atsar.
4



2.2 Masa Pengumpulan Hadits dan Sejarahnya.
Hadits sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi
Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat pada saat
bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain
yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya
dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga sampai kepada
pembuku Hadits. Itulah pembentukan Hadits.
2.2.1 Masa Pembentukan Al Hadist
Masa pembentukan Hadits tiada lain masa kerasulan Nabi
Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini
Al Hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan
para sahabat saja.

2.2.2 Masa Penggalian
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabiin, dimulai
sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada
masa ini Al Hadits belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan
perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat
Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar Al Hadits dan
menggali dari sumber-sumber utamanya.

2.2.3 Masa Penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabiin yang
mulai menolak menerima Al-Hadits baru, seiring terjadinya tragedi
perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syariat
dan aqidah dengan munculnya Al Hadits palsu.

Para sahabat dan tabiin ini sangat mengenal betul pihak-pihak
yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut,
sehingga jika ada Al Hadits baru yang belum pernah dimiliki
sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi
sumber dan pembawa Al Hadits itu. Maka pada masa pemerintahan
Khalifah Umar bin Abdul Aziz sekaligus sebagai salah seorang
tabiin memerintahkan penghimpunan Al Hadits. Masa ini terjadi
pada abad 2 H, dan Al Hadits yang terhimpun belum dipisahkan
mana yang merupakan Al Hadits marfu dan mana yang mauquf dan
mana yang maqthu.




5
2.2.4 Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan
penyusunan Al Hadits guna menghindari salah pengertian bagi umat
Islam dalam memahami Hadits sebagai prilaku Nabi Muhammad,
maka para ulama mulai mengelompokkan Hadits dan memisahkan
kumpulan Hadits yang termasuk marfu (yang berisi perilaku Nabi
Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana
yang maqthu (berisi prilaku tabiin).
Usaha pembukuan Al Hadits pada masa ini selain telah
dikelompokkan (sebagaimana dimaksud diatas) juga dilakukan
penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud
tash-hih (koreksi/verifikasi) atas Al Hadits yang ada maupun yang
dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan Hadits terus
dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai
melakukan pembinaan maghligai Al Hadits. Sedangkan abad 5
hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Al
Hadits seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk
memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab
Al Hadits abad 4 H.

2.2.5 Masa Sahabat
Sahabat adalah mereka yang bertemu dengan Rasulullah
saw dalam keadaan mumin dan meninggal dalam keadaan mumin.
Selain memperhatikan al-Quran, pada masa ini Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali secara sungguh-sungguh memperhatikan
perkembangan periwayatan hadis. Hal ini berdasarkan perintah Nabi
untuk menyampaikan hadis kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir
saat hadis disampaikan.
) (
Ingatlah, hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak
hadir.
(HR. Ibn Majah).





6
2.2.6 Hadis pada Masa Khulafa al-Rasyidin
Periwayatan hadis pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab
masih terbatas disampaikan kepada yang memerlukan saja, belum
bersifat pengajaran resmi. Demikian juga penulisan hadis.
Periwayatan hadis begitu sedikit dan lamban. Hal ini disebabkan
kecenderungan mereka untuk membatasi atau
menyedikitkan riwayat (Taqlil al-Riwyah), di samping sikap hati-
hati dan teliti para sahabat dalam menerima hadis. Ali bahkan hanya
mau menerima hadis perorangan jika orang tersebut bersedia
disumpah. Pada masa ini muncul sektarianisme yang bertendensi
politis menimbulkan perbedaan pendapat dan pertentangan, bukan
saja dalam bidang politik dan pemerintahan, tapi juga dalam
ketentuan-ketentuan keagamaan. Dari suasana itu muncul pemalsuan
hadis.
Metode Tabiin dalam Menjaga Sunnah Nabi Saw.
1. Menempuh metode yang sudah dilakukan para sahabat.
2. Menerima riwayat dari orang yang kapasitasnya tsiqah dan
dhabit.
3. Meminta sumpah dari periwayatnya saat mencari dukungan dari
perawi lain.
4. Melakukan rihlah untuk mengecek hadis dari pembawa aslinya.

2.3 Periwayatan Hadits
Periwayatan hadits adalah proses penerimaan hadits oleh rawi dari
gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan, ditulis,
ditadwin, dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid dengan
menyebutkan sumber riwayat tersebut. Dalam proses ini terjadi dua peristiwa
yaitu tahammul dan ada. Tahammul adalah cara penyampaian hadits dari
seorang syekh atau guru kepada muridnya. Sedangkan ada adalah proses
penerimaan hadits oleh seorang murid dari syekh atau gurunya. Dengan
demikian antara dua proses di atas tidak bisa dipisahkan karena keduanya
saling berkaitan.
2.3.1 Tata cara mendengar dan menerima hadits
Kaifiyah Sima al-Hadits (tata cara mendengar hadits) adalah
penjelasan tentang syarat yang harus dimiliki seseorang yang hendak
mendengar riwayat hadits dan guru-gurunya untuk selanjutnya


disampaikan kepada orang lain, seperti syarat ketentuan umur dan
lain sebagainya.
2

Kaifiyah Tahammul Al-Hadits (tata cara menerima hadits) adalah
penjelasan tentang sistem pengembalian dan penerimaan hadits dari
guru-gurunya. Kaifiyah Dlabth Al-Hadits (tata cara melestarikan
hadits) maksudnya sebagaimana seorang murid memelihara
(mengahafal) secara benar dan meyakinkan riwayat hadits yang
pernah diterimanya dari gurunya dan kemudian disampaikan kepada
orang lain.
Para Ulama berusaha memasukkan masalah ini sebagai
pembahasan Ulum al-hadits,. Usaha tersebut dimaksudkan untuk
membantu mereka dalam memlihara hadits Rasulullah sa, dan
menyampaikan kepada orang lain dengan benar.
2.3.2 Syarat menerima hadits
Menurut pendapat yang shahih, perawi pada waktu menerima
riwayat hadits tidak disyaratkan harus beragama islam dan baligh,
namun setidaknya harus sudah tamtiz. Jadi, orang kafir dan anak-
anak dinyatakan sah menerima riwayat hadits, tetapi untuk kegiatan
menyampaikan tidak sah sebelum masuk Islam dan baligh.
3


2.3.3 Tata cara penerimaan riwayat hadits
Ada 8 cara penerimaan riwayat hadis, yaitu :
1. La-Samamin Lafadzi al-Syaikh
Ialah penerimaan hadis dengan cara mendengar langsung lafal
hadis yang dibaca guru hadis, baik yang dibaca itu berdasarkan
hafalannya atau catatannya. Periwayatan hadits dengan cara as-
sama yaitu seorang syekh membacakan hadist sedang murid
mendengarkannya, sama saja apakah syekh tersebut membaca
dari hafalannya atau kitabnya, begitu pula murid mendengar dan
mencatat apa yang di dengarnya atau mendengar saja dan tidak
menulisnya, Maksud periwayatan hadits dengan cara as-sama
adalah seorang murid menerima langsung periwayatan gurunya
dengan cara mendengarkan bacaan dari hafalan atau pun tulisan
sang guru. Dalam periwayatan bentuk as-sama, biasanya seorang
guru membacakan haditsnya, sedangkan murid mendengarkan

2
Dr. Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, (Malang: UIN-Malang Press), hal 173
7
3
Ibid., hal. 174
8


dengan seksama untuk kemudian menulis apa yang telah ia
dengar, atau hanya mendengar saja dan menghafalnya.
Di dalam periwayatan yang berbentuk as-sama, disyaratkan
adanya pertemuan antar guru dan murid. Namun, pertemuan
tersebut tidak harus bertemu muka.
Menurut pandangan jumhur ulama, periwayatan hadits yang
diterima dengan adanya tabir (penghalang) yang memisahan
antara sang guru dan murid sudah dianggap sah dan tergolong
periwayatan bentuk as-sama.
Menurut jumhur ulama, as-sama merupakan periwayatan yang
paling tinggi dalam pweriwayatan hadits. Jika melihat pada masa
Nabi, cara as-sama adalah cara yang sering dilakukan. Para
sahabat mendengarkan dengan seksama apa yag dikataka Nabi
SAW., kemudian para sahabat saling mencockan hadits yang
telah didapat dari Nabi SAW tersebut.
Kata atau lafadz yang digunakan dalam penyampaian hadits
dengan cara as-sama diantaranya adalah samitu (aku telah
mendengar) dan hadatsaniy (telah menceritakan kepadaku).
Namun, jika yang meriwayatkan itu banyak, maka lafadznya
adalah samina (kami telah mendengar) dan haddatsana (telah
menceritakan kepada kami).
2. Al- qiraah ala al syaikh
Sebagian ulama menamaknnya dengan Ardl, maksudnya
adalah seorang murid (periwayat) membaca riwayat hadits
dihadapan guru hadits, baik dibaca sendiri maupun dibaca orang
lain dan dia mendengarnya baik berdasarkan hafalannya atau
catatannya. guru hadis tersebut aktif menyimaknya, baik melalui
hafalannya sendiri atau catatannya atau dipercayakan kepada
orang lain.
4

Hukum periwayatan dengan cara al-qiraah ini menurut
sebagian ulama adalah shahi, kecuali menurut kelompok
tasyaddud (garis keras) yang tidak terbiasa dengan cara ini.
Ketika menyampaikan hadits secara qiraah ini perawi biasanya
menggunakan kalimat : qaratu alaa fulaana (aku telah membaca
kepada si fulan) atau qaratu alaihi (aku telah membaca
kepadanya) , namun yang paling umum dipakai para ahli hadits
lafaz akhbarana (aku telah mengabarkan kepada kami).
3. Al- Ijazah

4
Ibid., hal. 176
9


Periwayatan denagn cara al-ijazah yaitu, seorang guru
memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits
yang ada padanya. Contohnya seperti perkataan seorang guru
kepada salah satu muridnya: saya beri izin kamu untuk
meriwayatkan hadits-hadits yanga ada pda kitab shahih bukhari.
Macam-macam ijazah :
a. Seorang guru memberikan iajazah hadits tertentu kepada
orang tertentu, seperti:

(aku mengizinkan kepadamu shahih bukhari). Jenis ini paling
tinggi kualitasnya dari semua jenis ijazah mujarradahan
munaawalah (ijazah murni).
b. Seorang guru memberikan ijazah kepada orang tertentu untuk
hadits yang tidak tertentu,misalnya semua hadits yang pernah
didengarnya,seperti :

(aku mengijazahkan kepadamu akan suatu riwayat yang aku
dengar).
c. Seorang guru memberikan ijazah kepada orang yang tidak
tertentu untuk hadits yang juga tidak tertentu,seperti :

(aku ijazahkan kepada orang-orang di zamanku akan suatu
riwayat yang aku dengar).
d. Seorang guru memberikan ijazah kepada seseorang yang
belum jelas (majhul) atau untuk hadits yang belum
jelas,seperti :

(aku mengijazahkan kepada si fulan dan kepada orang yang
dilahirkan sifulan tersebut). Kalimat periwayatan yang
dipakai dengan cara Ijazah yaitu: Kata-kata yang diupakai
dalam menyampaikan riwayat lewat jalur ijazah adalah ajaza
lifulanin (ia telah memberikan ijazah kepada si fulan),
haddatsana ijazatan (ia telah memberikan hadsits dengan
ijazah kepada kami), akhbarana ijazatan (telah mengabarkan


kepada kami dengan cara ijazah), atau anbaana ijazatan (ia
telah memberitakan kepada kami dengan ijazah).
5



4. Al-Munawalah
Periwayatan hadits dengan cara al-munawalah adalah seorang
guru memberikan naskah yang telah ia koreksi kepada muridnya
untuk diriwayatkan. Periwayatan ini terbagi menjadi 2 macam:
a. Al-munawalah al-maqrunah bi al-Ijazah, Al-munawalah yaitu
munawalah yang dibarengi dengan ijazah. Praktiknya,
seorang guru menyodorkan kepada muridnya hadits yang ada
padanya, kemudian guru tadi berkata: anda saya beri ijazah
untuk meriwayatkan hadits yang saya peroleh ini atau
seorang murid menyodorkan hadits kepada guru hadits,
kemudian guru itu memeriksanya dan setelah guru
memaklumi bahwa dia juga meriwayatkannya,maka dia
berkata: hadits ini telah saya terima dari guru-guru saya dan
anda saya beri ijazah untuk meriwayaktan hadits ini dari
saya. Bentuk ijazah ini dinilai paling tinggi kualitasnya.
b. Al-Manawalah Mujarradah an al- Ijazah, yaitu munawalah
yang tidak dibarengi dengan ijazah. Praktiknya, seorang guru
menyodorkan kitab hadits kepada muridnya sambil berkata
ini hadits yang pernah saya dengar atau ini hadits yang
pernah saya riwayatkan. Dalam redaksi hadits yang
diterima dengan jalan al-munawalah terdapat kata-kata
seperti: nawalaniy wa ajazaniy (ia telah memberikan
munawalah dan ijazah kepadaku), haddatsana munawalatan
wa ijazatan (ia telah menceritakan kepada kami dengan
munawalah dan ijazah.
6

5. Al-Kitabah
Artinya, seorang guru hadits menulis hadits yang diriwayatkannya
untuk diberikan kepada orang tertentu,baik ditulis sendriri
maupun oleh orang lain. Periwayatan dengan cara al-kitabah yang
pertama adalah sah dan kualitasnya sama denagn al-munawalah
yang disertai ijazah. Macam-macam al-kitabah :
a. al-kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan:

5
Ibid., hal. 178
10
6
Ibid., hal. 180
11



(seseorang bercerita kepadaku melalui surat atau seseorang
telah menulis surat kepadaku.
b. al-kitabah yang tidak di barengi dengan ijazah, artinya
seorang guru menulis sebagian hadits untuk diberikan kepada
seseorang tanpa memberi izin meriwayatkannya.
6. Al-Ilam
Artinya, seorang guru hadits memberitahukan kepada
muridnya, hadits atau kitabnya yang telah didengarnya sendiri
Dapat difahami bahwa pemberitahuan sang guru kepada seorang
muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu adalah
riwayatnua sendiri dari si fulan (guru seseorang), namun tidak
disertakan untuk meriwayatkannya.
7. Al-Washiyah
Artinya, seorang guru menjelang wafatnya, ia memberi wasiat
kepada seseorang untuk sebuah kitab hadits yang pernah
diriwayatkannya.Biasanya kata-kata yang digunakan dalam
meriwayatkan hadits dengan cara al-wasiyyah adalah


(si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau (si fulan
telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).

8. Al-Wijadah
Artinya, seorang murid menemukan beberapa hadits catatan
seorang guru hadits yang dikenalnya dan tidak diperoleh dengan
cara diberi izin atau ijazah. Hukum periwayatan dengan cara ini
menurut kalangan ulama Malikiyah, hadits tidak boleh
diriwayatkan dengan cara wijadah, namun menurut Syafii
membolehkannya.

2.4 Kualitas Hadits
Menurut pendapat kebanyakan ulama, hadits ditinjau menurut kualitas yang
meriwayatkannya terdiri atas tiga bagian yaitu, hadits shahih, hadits hasan,
dan hadits dhaif.
7

Menurut Al-Suyuthi:

7
M. Abdurrahman, op cit., h. 204
12



kebanyakan ulama membagi sunnah ini pada shahih, dhaif, dan hasan.


2.4.1 Hadits shahih
Menurut bahasa : al-shahih lawan kata al-saqim yang berarti sehat
lawan kata sakit.
Menurut istilah :



hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith mulai awal dan akhir
sanad, tidak syadz (janggal) dan tidak mengandung illat (cacat).
Syarat hadits shahih adalah
- Sanadnya harus bersambung artinya masing-masing perawi
betul-betul pernah menerima hadits secara langsung dari
perawi di atasnya. Keadaan itu berlangsung demikian sampai
akhir sanad.
- Perawinya bersifaat adil, artinya perawinya beragama islam,
mukallaf( baligh dan berakal), melaksanakan ketentuan agama
(tidak fasiq), dan tidak cacat muruahnya (berperilaku baik).
- Perawinya bersifat dlabith, artinya sempurna hafalannya
- Tidak terdapat syadz (kejanggalan) artinya hadits yang
diriwayatkan yang tsiqah tidak bertentangan dengan hadits
yang diriwayatkan oleh banyak perawi yang juga bersifat tsiqah
- Tidak terdapat illat(cacat), artinya tidak terdapat sebab yang
tersembunyi yang dapat merusak kualitas hadits yang tampak
lahirnya shahih.
Berdasarkan ijma(konsensu) ulama ahli hadits, ulama ahli ushul fiqih,
dan ulama ahli fiqih, hadits shahih wajib diamalkan karena ia
merupakan salah satu hujjah (dasar) syariah islam.
Kitab yang pertama memuat hadits shahih adalah kitab shahih al-
Bukhari, kemudian shahih Muslim. Keduanya merupakan kitab yang
paling shahih setelah al-Quran dan masyarakat muslim-secara
konsensus-menerima kedua kitab tersebut.



13
a. Hadits shahih li-ghairihi



Yaitu hadits shahih karena adanya syahid atau mutabi.
Hadits ini semula merupakan hadits hasan, karena adanya mutabi
dan syahid, maka kedudukannya berubah menjadi shahih li-
Ghairihi.

Hadits shahih yang mempunyai syarat seperti tersebut diatas,
dinamakan hadis shahih li-dzathi, dan jika syarat kedhabithan
seorang perawi kurang sempurna, turun nilainya menjadi hadis
shahih li-dzathi. Sedangkan hadis hasan li-dzatih bisa naik nilainya
menjadi shahih li-ghairih apabila juga diriwayatkan melalui jalur
sanad lain yang serupa atau yang lebih kuat, karena kashahihannya
tidak disebabkan dari sanad itu sendiri, namun karena tergabungnya
sanad lain tersebut.
Kualitas hadis shahih li-ghairih lebih tinggi dari pada hadis hasan li-
dzatih dan lebih rendah dari hadis shahih li-dzatih.

2.4.2 Hadis hasan
Menurut bahasan al-hasan berbentuk sifat musyabbahat yang berarti
baik. Menurut istilah ada beberapa pendapat para ulama hadis tentang
definisi hadis hasan, mengingat kualitas hadis hasan berada di antara
hadis shahih dan dlaif.
Definisi yang terpilih berdasarkan pengertian yang diberikan oleh
Ibn Hajar, tentang hadis hasan adalah hadis yang muttasil sanadnya
dengan diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hafalannya
dari perawi semisal sampai akhir sanad, tidak syadz dan tidak terdapat
illat.
Hadis hasan nilainya sama dengan hadis shahih yakni sama-sama
bisa dipakai sebagai hujjah, walaupun kekuatannya berada di bawah
hadis shahih. Oleh karena itu semua ulama ahli fiqih memakainya


sebagai hujjah dan mengamalkannya, demikian juga sebagian besar
ulama ahli hadis dan ushul fiqih.

14
Hadits hasan terdiri atas dua kategori yaitu hasan li dzatihi dan
hasan la li ghairihi. Hadits hasan li dzatihi adalah hadits hasan yang
sudah dijelaskan definisinya yaitu hadits yang sanadnya bersambung,
rawinya adil, tidak syadzdz, tidak illat qadihah, tetapi daya tangkap
atau hafalan rawinya agak lemah.

2.4.3 Hadis dlaif
Menurut etimologi hadis dlaif berarti lemah, sedangkan menurut
terminologi hadis dlaif adalah hadis yang belum memenuhi syarat-
syarat hadis hasan. Kedlaifan hadis itu tergantung pada tingkat
kelemahan perawi perawinya, yakni ada yang berat dan ada juga yang
ringan, sehingga ada yang dlaif(lemah), dlaif jiddan (lemah sekali),
waahi (lemah), munkar, dan yang paling jelek adalah hadis maudlu.
Para ulama di kalangan ahli hadis dan lainnya membolehkan
meriwayatkan hadis dlaif dengan tidak menyebutkan sanadnya serta
tanpa menjelaskan kedlaifannya. Menjelaskan hadis dlaif masih
terikat dengan 2 syarat yaitu tidak berkanaan dengan masalah-masalah
aqidah, seperti tentang sifat-sifat Allah dan tidak berkanaan dengan
masalh-masalh hukum syara yakni tidak berhubungan dengan hukum
halal dan haram. Artinya boleh meriwayatkan hadis dlaif yang hanya
berkaitan dengan masalah nasehat, targhib dan tarhib serta tentang
kisah-kisah umat terdahulu dan lain sebagainya.

a. Hadis dhaif karena sanadnya terputus
Yang dimaksud dengan sanadnya terputus adalah terputusnya mata
rantai sanad disebabkan karena gugurnya satu atau lebih dari sebagian
perawi-perawi hadis, baik terputus secara jelas atau samar.
Para ulama telah memberikan nama tersendiri terhadap hadis yang
terputus sanadnya secara jelas, jika di tinjau dari segi tempat atau
bilangan perawi yang gugur, dengan empat nama:
1) Hadis Muallaq
Menurut bahasa muallaq artinya menghubungkan dan
menjadikannya sebagai suatu yang bergantung. Menurut istilah
suatu hadis yang sejak permulaan sanadnya gugur seorang perawi
atau lebih secara beruntun, suatu sanad dikatakan muallaq karena
dia hanya bersambung dengan bagian dan arah atas saja dan


terputus di bagian bawah, sehingga seolah-olah dia merupakan
sesuatu yang bergantung pada suatu atap dan lain sebagainya.

15
2) Hadis Mursal

Menurut bahasa mursal adalah isim maful dari fiil madli
arsala yang berarti athlaqa yakni melepaskan. Memang seakan-
akan hadis mursal itu melepaskan sanadnya, dan tidak
mengikatnya dengan perawi yang dikenal. Menurut istilah ialah
suatu yang akhir sanadnya gugur seorang perawi sesudah tabiin.
Hadis mursal pada dasarnya adalah berkualitas dlaif mardud,
karena tidak terdapatnya sebagian syarat hadis maqbul yaitu
bersambungnya sanad dan tidak diketahuinya perawi yang
terbuang serta adanya kemungkinan bahwa perawi yang terbuang
itu adalah perawi bukan sahabat. Dalam keadaan seperti ini berarti
hadis tersebut adalah dlaif.

3) Hadis Mudlal
Menurut bahasa mudlal adalah isim maful dari fiil madli
adlala semakna dengan ayaa yang berarti memayahkan.
Menurut istilah ialah hadis yang sanadnya gugur dua orang atau
lebih secara beruntun. Hadis mudlal adalah daif, bahkan
keadaannya lebih parah dari hadis mursal dan munqathi, karena
banyaknya perawi yang terbuang dari sanad. Demikian menurut
kesepakatan para ulama.

4) Hadis Munqathi
Menurut bahasa al-muntaqhi adalah isim fail dari masdar al-
inqitha yang berarti terputus. Menurut istilah hadis muntaqhi
adalah hadis yang sanadnya tidak bersambung atau gugur
perawinya pada bagian mana saja. Menurut kesepakatan para
ulama, hadis muntaqhi berkualitas dlaif, karena tidak diketahuinya
keadaan perawi yang terbuang.

b. Hadis dhaif karena perawinya cacat
Yang dimaksud dengan perawi cacat adalah dari segi keadilan
dan kedlabithannya menurut penilaian ulama.


Adapun sebab-sebab cacatnya perawi ada 10 macam, yaitu
yang berkaitan dengan sifat keadilan perawi seperti dusta, tertuduh
dusta, fasiq, bidah, tidak diketahui identitasnya.


16
Adapun yang berkaitan dengan kadlabithan perawi seperti
keliru yang sangat, tidak baik hafalannya, pelupa, banyak
berprasangka atau ragu-ragu, menyalahi riwayat perawi yang tsiqah
(adil dan dlabith).
1) Hadis Maudlu adalah hadits palsu dimana perkataannya
disandarkan kepada nabi.
2) Hadits Matruk adalah hadits dhaif yang rawinya tertuduh dusta.
3) Hadits Mungkar yaitu hadits dhaif yang disebabkan rawinya
banyak kekeliruan, lengah dalam hafalan dan melakukan
kecurangan dalam perbuatan dan perkataan.
4) Hadits Mudraj yaitu hadits dhaif yang disebabkan penambahan
pada susunan sanad atau matan sehingga susunannya berubah.
5) Hadits Maqlub yaitu hadits dhaif yang disebabkan karena adanya
pemutar balikan sanad atau matan.
6) Hadits Mudhtharib yaitu hadits dhaif yang kedhaifannya
disebabkan hadits itu bertentangan satu sama lain dalam maknanya.
7) Hadits Muharrah yaitu hadits yang kedhaifannya disebabkan oleh
perubahan titik dan baris atau tanda baca.
8) Hadits Mushahhaf yaitu hadits dhaif yang kedhaifannya
disebabkan perubahan huruf pada nama rawi tapi rupa tulisannya
tetap.
9) Hadits Mubham, mastur dan majhul yaitu hadits dhaif yang
kedhaifannya disebabkan rawi tidak menyebutkan nama orang
yang meriwayatkan hadits kepadanya.
10) Hadits Syadzdz yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang
haditsnya bisa diterima, tapi menyalahi orang yang lebih tsiqat
daripadanya.
11) Hadits Mukhtalith yaitu hadits yang kelemahannya disebabakan
ketuaannya atau karena kitabnya terbakar atau hilang sehingga
timbul ikhtilat pada hadits yang diriwayatkannya
12) Hadits Al-Mubtadi yaitu hadits dhaif yang diriwayatkan oleh
orang bidah yang bidahnya membawa kepada kefasikan.

2.5 Takhrij Hadits


2.5.1 Pengertian Takhrij Hadits
Secara etimologi kata takhrij berasal dari akar kata
mendapat tambahan tasydid pada ro (ain fiil) menjadi :
yang menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan,
dan menumbuhkan.
17
Maksudnya menampakkan sesuatu yang tersembunyi, tidak kelihatan
dan masih samar. Penampakan dan pengeluaran disini tidak mesti
berbentuk fisik yang konkret, tetapi mencakup nonfisik yang hanya
memerlukan tenaga dan pikiran seperti makna kata yang
diartikan istnbath yang berarti mengeluarkan hukum dari nash/teks
Alquran dan hadist.
Takhrij secara bahasa berarti juga berkumpulnya dua perkara yang
saling berlawanan dalam satu persoalan, namun secara mutlak diartikan
oleh para ahli bahasa dengan arti mengeluarkan( al istinbath),
melatih( at-tadrib), dan menghadapkan(at-taujih).

Takhrij menurut istilah adalah sebagai berikut:
a. Pendapat Mahmud Ath- Thahhan

.
Takhrij adalah penunjukan terhadap tempat hadist di dalam sumber
aslinya yang dijelaskan sanad dan martabatnya sesuai keperluan.
b. Pendapat Ahli hadist bahwa Takhrij mempunyai beberapa arti sebagai
berikut:
1) Mengemukakan hadist kepada orang banyak dengan menyebutkan
para periwayatnya dalam sanad yang telah meyampaikan hadist itu
dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
2) Ulama hadist mengemukakan berbagai hadist yang telah
dikemukakan oleh para guru hadist, atau berbagai kitab, atau yang
lainnya. Yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya
sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan
menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau
karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3) Menunjukan asal- usul hadist dan mengemukakan sumber
pengambilannya dari berbagai kitab hadist yang disusun oleh para
mukhorrijnya langsung ( yakni para periwayat yang juga sebagai
penghimpun bagi hadist yang mereka riwayatkan)


4) Mengemukakan hadist berdasarkan sumbernya atau berbagai
sumbernya, yakni kitab-kitab hadist, yang didalamnya disertakan
metode periwayatannya dan sanadnya masing-masing, serta
diterangkan keadaan periwayatnya dan kualitas hadistnya.

18
5) Menunjukan atau mengemukakan letak asal hadist pada sumber
yang asli, yakni berbagai kitab yang didalamnya dikemukakan
hadist itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing:
kemudian untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas sanad
hadist tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Takhrijul hadist
adalah mengemukakan hadist pada orang banyak dengan menyebutkan para
rowinya, mengemukakan asal usul hadist sambil dijelaskan sumber
pengambilannya dari berbagai kitab hadist yang rangkaian sanadnya
berdasarkan riwayat yang telah diterimanya sendiri atau berdasarkan
rangkaian sanad gurunya, dan penelusuran atau pencarian hadist dalam
berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadist yang bersangkutan, yang di
dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadist yang
bersangkutan.
2.5.2 Manfaat Takhrij Hadits
Ada beberapa manfaat dari takhrij al-hadits antara lain sebagai berikut:
1. Memberikan informasi bahwa suatu hadits termasuk hadits shahih, hasan,
ataupun dhaif, setelah diadakan penelitian dari segi matan maupun
sanadnya.
2. Memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan setelah tahu
bahwa suatu hadits adalah hadits makbul (dapat diterima). Dan sebaliknya
tidak mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu hadits adalah
mardud (tertolak).
3. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadits adalah benar-benar berasal dari
Rasulullah SAW. Yang harus kita ikuti karena adanya bukti-bukti yang
kuat tentang kebenaran hadits tersebut, baik dan segi sanad maupun matan.

2.5.3 Faktor Penyabab Takhrij Hadits
Adapun faktor utama yang menyebabkan kegiatan penelitian terhadap hadits
(takhrij al-hadits) dilakukan oleh seorang peneliti hadits adlah sebagai berikut:
1. Mengetahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti


Maksudnya adalah untuk mengetahui status dan kualitas hadits dalam
hubungannya dengan kegiatan penelitian, langkah awal yang harus
dilakukan oleh seorang peneliti adlah mengetahui asal-usul periwayatan
hadits yang akan diteliti, sebab taanpa mengetahui asal-usulnya sanad dan
matan hadits yang bersangkutan mengalami kesulitan untuk diketahui

19
matarantai sanadnya sesuai dengan sumber pengambilannya, sehingga
tanpa diketahui secara benar tentang matarantai sanad dan matan, maka
seorang peneliti peengalami kesulitan dalam melakukan penelitian secara
baik dan cermat. Makanya dari faktor ini, kegiatan penelitian hadits
(takhrij) dilakukan.
2. Mengetahui dan mencatat seluruh periwayatan hadits bagi hadits yang
akan diteliti.
Maksudnya adalah mengingat redaksi hadits yang akan diteliti itu
bervariasi antara satu dengan yang lain, maka diperlukan kegiatan
pencarian seorang peneliti terhadap semua periwayatan hadits yang akan
diteliti, sebab boleh jadi salah satu sanad haadits tersebut berkualitas dhaif
dan yang lainnya berkualitas shahih.
3. Mengetahui ada tidaknya syahid dan mutabi pada mata rantai sanad
Mengingat salah satu sanad hadits yang redaksinya bervariasi itu
dimungkinkan ada perawi lain yang sanadnya mendukung pada sanad
hadits yang sedang diteliti, maka sanad hadits yang sedang diteliti tersebut
mungkin kualitasnya dapat dinaikkan tingkatannya oleh sanad perawi yang
mendukungnya.
Dari dukungan tersebut, jika terdapat pada bagian perawi tingkat pertama
(yaitu tingkat sahabat) maka dukungan ini dikenal dengan syahid. Jika
19
dukungan itu terdapat pada bagian perawi tingkat kedua atau ketiga
(seperti pada tingkatan tabiI atau tabiit tabiin), maka disebut
sebagai mutabi .

Dengan demikian, kegiatan penelitian (takhrij) terhadap hadits dapat dilaksanakan
dengan baik jika seorang peneliti dapat mengetahui semua asal-usul matarantai
sanad dan matannya dari sumber pengambilannya. Begitu juga jalur periwayatan
mana yang ada syahid dan mutabinya, sehingga kegiatan penelitian
(takhrij) dapat dengan mudah dilakukan secara baik dan benar dengan
menggunakan metode pentakhrijannya.



2.5.4 Metode Takhrij Hadits
Setelah mengetahui betul faktor-faktor yang menyebabkan penelitian
hadits (takhrij al- hadits) di atas, maka langkah awal yang harus dilakukan
seorang peneliti dalam melakukan kegiatan penelitian hadits (takhrij al-
hadits)adalah hal-hal sebagai berikut:
20
1. Kitab-kitab koleksi atau buku-buku pendukung tentang takhrij
Telah dapat diketahui bersama bahwa untuk menelusuri hadits sampai
pada sumber asalnya itu tidak semudah menelusuri ayat-ayat Al-Quran
yang hanya cukup dengn menggunakan sebuah kitab kamus Al-Quran,
sepertiMujam al-Mufahras Li Al-fadhil Quran Al-karim (
) karya Muhammad Fuad Abdul Baqiy.
Akan tetapi untuk menelusuri hadits tidak cukup hanya satu kitab koleksi,
tetapi
dari berbagai kitab koleksi hadits lainnya. Hal ini terjadi mengingat
banyaknya para kolektor yang telah membuat kitab koleksi mereka
masing-masing, sehingga menjadi penyebab sulitnya hadits ditelusuri
sampai pada sumber asalnya lantaran terhimpun dalam banyak kitab.
2. Macam-Macam Metode Yang Dipakai dalam Takhrij Hadits
Jika kita hendak menakhrijkan hadist dan hendak mengetahui dan
tempatnya dalam sumber aslinya, terlebih dahulu harus mempelajari
keadaan hadist. Hal ini dengan cara melihat sahabat yang
meriwayatkannya, pokok bahasannya, lafal-lafalnya, lafal pertamanya,
atau dengan melihat sifat-sifat tertentu dalam sanad atau matannya.
Demikian ini agar kita dapat menentukan metode yang tepat dan mudah
dalam menakhrijkan hadist yang dimaksud.
Menurut Mahmud At-Thohan macam-macam metode menakhrijkan hadist
adalah sen as-sunnah bagai berikut:
a. Dengan cara mengetahui sahabat yang meriwayatkan hadist.
Metode takhrij ini dapat diterapkan selama nama sahabat yang
meriwayatkan terdapat dalam hadist yang hendak ditakhrij. Jika
sebaliknya atau tidak mungkin dapat diketahui dengan cara apapun,
maka metode ini tidak dapat diterapkan.
Adapun kitab-kitab pembantu metode ini adalah sebagai berikut:
1) Kitab-kitab Musnad
Musnad adalah kitab hadist yang disusun berdasarkan nama-nama
sahabat, atau kitab yang menghimpun hadist-hadist sahabat.
2) Kitab-kitab Mujam.


Mujam adalah kitab-kitab hadist yang yang disusun berdasarkan
musna-musnad sahabat, guru-gurunya, Negara atau lainnya.dan
umumnya susunan nama- nama sahabat itu berdasarkan urutan
huruf hijaiyah, tetapi ada kitab-kitab mujam yang disusun
berdasarkan musna-musnad sahabat.

21
3) Kitab-kitab Atraf
Kitab Atraf adalah bagian kitab-kitab hadist yang hanya
menyebutkan bagian(tarf) hadist yang dapat menunjukan
keseluruhannya, kemudian menyebutkan sanad-sanadnya, baik
secara menyeluruh atau hanya dinisbahkan (dihubungkan) pada
kitab-kitab tertentu.
b. Metode Takhrij menurut Lafadz Pertama dari Matan Hadist.
Metode takhrij hadist dari lafadz pertama, yaitu suatu metode
berdasarkan pada lafadz pertama matan hadist, sesuai dengan urutan
huruf hijaiyah dan alfabetis, sehingga metode ini mempermudah
pencarian hadist yang dimaksud.
Adapun kitab-kitab yang membantu kita dalam menggunakan metode
ini adalah sebagai berikut:
1) Kitab-kitab tentang hadist-hadist yang masyhur di kalangan
masyarakat.
Yaitu ucapan-ucapan yang banyak beredar dan selalu
diriwayatkan di kalangan masyarakat, yang disandarkan pada nabi
Muhammad SAW.
2) Kitab-kitab tentang hadist yang disusun berdasarkan urutan huruf
hijaiyah.
3) Kitab-kitab miftah(kunci) dan Fahras (kamus) kitab-kitab hadist
tertentu.
c. Mencari Hadist berdasarkan Tema
Penelusuran Hadist yang didasarkan pada tema / topic (maudhui)
hendaknya sudah mengetahui topic hadist kemudian ditelusuri melalui
kamus hadist tematik. Salah satu kamus hadist tematik adalah Miftah
min Kunuz As-Sunnah oleh Dr. Fuad Abdul Baqi, terjemahan dari
aslinya berbasa inggris A Handbook of Early Muhammadan karya A.J
Wensink. Pencarian matan hadist yang berdasarkan topic masalah
sangat menolong pengkaji hadist yang ingin memahami petunjuk-
petunjuk hadist dalam segala konteksnya.
d. Metode Takhrij menurut Lafadz-Lafadz yang Terdapat dalam Hadist.


Metode Takhrij hadist menurut lafadz yang terdapat dalam hadist,
yaitu suatu metode yang berlandaskan pada kata-kata yang terdapat
dalam matan hadist, baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam
metode ini tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan
adalah bagian hadistnya sehingga pencarian hadist-hadist yang
dimaksud dapat diperoleh.

22
Kamus yang diperlukan dalam dalam metode takhrij ini salah satunya
yang paling mudah adalah Kamus Al-Mujam Al-Mufahras li Alfadz
Al-Hadist An-Nabawi yang disusun oleh A.J Wensinck dan kawan-
kawannya dalam 8 jilid.
e. Metode dengan Jalan Meneliti Sanad dan Matan Hadist.
Metode ini adalah mempelajari tentang keadaan matan dan sanad
hadist, kemudian mencari sumbernya dalam kitab-kitab yang
membahas tentang keadaan matan dan sanad hadist tersebut. Metode
ini terbagi menjadi 3 yaitu sebagai berikut:
1) Penelitian Matan
Jika dalam matan hadist terdapat tanda-tanda kepalsuan seperti
lemah lafalnya, rusak maknanya atau bertentangan dengan teks
Al-Quran yang sarih atau sebagainya, maka cara yang tepat
untuk mengetahui sumbernya adalah melihat kitab-kitab Al-
Maudhuat(Kitab-kitab tentang hadist maudhu). Dengan kitab-
kitab ini, dapat diketahui hadist-hadist yang mempunyai sifat-
sifat tersebut diatas, takhrijnya, bahasan, dan penjelasan tentang
orang yang memalsukannya. Contoh kitab-kitab tentang hadist
maudhu adalah Al Mauduatul Kubro karya Syekh Ali Al-Qori
Al Harawi (w, 1014 H) dan kitab Tanzihus-Syariah Al
Marfuah Anil Ahadist- Syariah Al Maudhuat karya Abu hasan
Ali sbin Muhammad bin Iraq Al Kinani(w, 963 H).
Jika matan hadist tersebut termasuk hadist qudsi maka sumber
yang tepat untuk mencarinya adalah kitab-kitab khusus yang
membahas tentang hadist qudsi karena di dalamnya disebutkan
hadist dan perawinya secara lengkap, misalnya dalam kitab
Misykatul Anwar Fima Ruwiya Anillahi Subhanahu Wa Taala
Minal Akbar karya Muhyidin Muhammad bin Ali binArabi Al
Khatimi Al-Andulisi(w, 638 H).
2) Penelitian Sanad.
Kegiatan ini dilakukan jika dalam sanad suatu hadist terdapat
kesamaran,seperti:


a) Seorang bapak meriwayatkan hadist dari anaknya, maka
sumber yang tepat untuk menakhrijkannya adalah kitab-
kitab khusus tentang hadist-hadist riwayat bapak dari
anaknya. Misalnya kitab Riwayatul Aba Anil Abna,
karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Bagdadi(w,
436 H).
23
b) Sanadnya Musalsal, maka dapat digunakan kitab-kitab yang
membahas tentang hadist musalsal, diantaranya seperti kitab
Al Musalsalatul Kubra, karya As-Suyuthi yang
menghimpun 85 hadist musalsal.
c) Sanadnya Mursal, maka digunakan kitab-kitab tentang
hadist mursal, diantaranya seperti kitab Al-Marasil, karya
Abu Dawud As Sijistani.
d) Perawinya lemah, maka dapat dicari kitab-kitab tentang
perawi dhoif dan yang masih dibicarakan kualitasnya
diantaranya esperti kitab Mizanul Itidal karya Az-Zahabi.
3) Penelitian Matan dan Sanad
Kegiatan ini dilakukan jika dalam suatu hadist yang akan diteliti
terdapat beberapa sifat dan keadaan separti adanya illat dan
kesamaran hadist, maka dapat mencari hadist tersebut dalam
kitab-kitab yang membahas tentang illat dan kesamaran hadist,
diantaranya kitab Illalul hadist karya Ibnu Hatim Ar-Razi, Al-
Asmaul Mubhamah dalam Fil Anbail Mukhkamah karya Al-
Khatib Al-Bagdadi, Al-Mustafad Min Mubhamatil Matni wal
Isnad, karya Abu Zurah Ahmad bin Abdur Rohim AlIroqi.
Berdasarkan kelima metode takhrij di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa seorang peniliti hadist harus memahami
tentang metode-metode takhrij dan kitab-kitab yang dipakai
dalam mempraktikan setiap metode takhrij itu. Peneliti hadist
juga harus faham tentang ulumul hadist dan cabang-cabang ilmu
hadist.

2.6 Fungsi Hadits
Ditinjau dari hukum yang ada maka hubungan as-sunnah dengan Al-
Quran, sebagai berikut:


1. Hadits berfungsi sebagai penguat hukum yang ada di dalam Al-Quran.
Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber dan terdapat
dua dalil.
8

2. Terkadang hadits itu berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci hal-hal
yang disebut secara mujmal dalam Al-Quran. Karena hadits itu
memberikan penjelasan kepada makna yang dimaksud didalam Al-
Quran.
9

Dalam hal ini Allah telah memberi wewenang kepada Rasulullah saw,
untuk memberikan penjelasan terhadap nash-nash Al-Quran dengan
firman-Nya :
ge4L)O4l^)
@O+O-4 .4L^4O^4
El^O) 4O-g]~.- 4))-4l+g
+EELUg 4` 4@O+^ jgO)
_^UE4 ]NO-E4-4C ^jj
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan
Di antara contoh hadits yang mentakhshish Al-Quran adalah :

O71gONC +.- EO) gu
W @OE-~-g NuVg` ]^EO
u-4OV^1- _ p) O}7
w7.=O)e -O u-4-4[^-
O}_U VU 4` E4O> W p)4
;e4^~E LEEgO4 E_U
-g)L- _ gOuC4O44
]7g lg4 Egu+g)`
+EOO- Og` E4O> p) 4p~E
+O /.4 _ p) - }74C
N-. /.4 +OjO44
+-4O4 gOg)`+= +U<1- _
p) 4p~E N. E4Ou=)
gOg)`+= +EOO- _ }g` gu4
lOOg4 /ONC .Ogj u ^E1

88
Yazid Abdul Qadir Jawas., kedudukan As-Sunnah dalam Syariat Islam, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar), hal 52
24
9
Ibid., h. 52


774.4-47
774.E44 4p+O;>
_GC C4O^~ 7 4^4^ _
LO_C@O ;g)` *.- Ep) -.-
4p~E 1)U4N V1EO ^
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan
untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
25
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana. (An-Nissa: 11).
Ayat ini ditakhshishkan oleh as-sunnah :
- Para nabi tidak boleh mewariskan apa-apa untuk anak-anaknya
dan apa yang mereka tinggalkan adalah sebagai sadaqah,
- Tidak boleh orang tua kafir mewariskan kepada anak yang
muslim atau sebaliknya
- Pembunuh tidak mewariskan apa-apa. (HR.Tirmidzi dan Ibnu
Majah)
2. Hadits sebagai bayan dari mujmal Al-Quran :
- Menjelaskan tentang cara shalat Nabi saw.
Rasulullahsaw,bersabda:
Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR.Bukhari)
- Menjelaskan tentang cara haji Nabi saw.
Rasulullah saw, bersabda ;
Ambillah dariku tentang tata cara manasik haji kamu.
(HR.Muslim), dan masih banyak lagi ayat-ayat yang perlu
penjelasan dari as-sunnah karena masih mujmal.



3. Terkadang hadits menetapkan dan membentuk hukum yang tidak
terdapat di dalam Al-Quran. Diantara hukum-hukum itu ialah tentang
haramnya keledai negeri, binatang buas yang mempunyai taring,burung
yang mempunyai kuku yang tajam, juga tentang haramnya kaum laki-laki
memakai kain sutera dan cincin emas. Semua itu disebutkan dalam hadits
yang shahih.
10


2.7 Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum
Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa hadits itu merupakan dasar kedua
dalam pembentukan hukum islam dan hukum-hukum yang dipetik dari hadits
itu wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang diistinbatkan dari Al-
quran.
Adapun eksistensi hadits dalam pembinaan hukum islam mempunyai kolerasi
yang erat dengan Al-quran, yaitu menguatkan hukum yang telah ditetapkan
oleh Al-quran, memberikan keterangan (bayan) ayat-ayat Al-quran.
Eksistensi hadits yang dapat dimodifikasi menjadi norma-norma hukum
adalah pemberitaan hadits yang dapat diterima oleh akal yang normal
(murni), atau lazim disebut hadits yang mutawatir dan hadits yang shahih.
Sedangkan hadits yang dhaif, apalagi hadits yang maudhu, tidak dapat
dipergunakan untuk menetapkan hukum suatu prbuatan, hanya bias dipakai
untuk memberikan sugesti agar umat banyak beramal. Berlainan dengan
hadits yang maudhu. Ia tidak dapat sama sekali dipakai untuk berhujjah
dalam menetapkan hukum atau memberikan sugesti dalam melakukan amal-
amal yang utama.
Dari asumsi tersebut dapat dikatakan bahwa eksistensi hadits itu disamping
sebagai tadid (penegas) dan bayan (penjelasan) Al-quran, ia dapat pula
menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapt dalam Al-quran.
Imam Asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat mengungkapkan bahwa
sunnah atau hadits itu dipakai untuk nama bagi segala apa tidak diterangkan
dalam Al-quran, baik dengan bayan isi Al-quran atau tidak atau dipakai
sebagai lawan bidah. Selanjutnya, ia menambahkan kata sunnah itu dipakai
juga mejadi nama bagi pekerjaan atau perbuatan para sahabat, baik pekerjaan
atau perbuatan itu sesuai dengan Al-quran ataupun tidak. Dijelaskan juga
oleh Asy Syathiby (dalam Al Muwafaqat 4: 7-8) menerangkan bahwa rutbah

10
Ibid., h. 54
26


(kedudukan) As Sunnah di bawah rutbah Al-Quran sebagai sumber ajaran
agama dengan alasan sebagai berikut:
a. Al Quran diterima dengan jalan yang yakin (maqthubihi), sedangkan
As Sunnah diterima dengan jalan dhan (madhnun bihi). Keyakinan kita
kepada sunnah hanyalah secara global saja; bukan secara detail. Al-
Quran global dan detailnya diterima dengan cara meyakinkan.
b. As Sunnah adakala, menerangkan (membayankan) sesuatu yang
diijmalkan(diringkaskan uraiannya) oleh Al-Quran, adakala
mensyarahkan Al-Quran, dan adakala mendatangkan yang belum
didatangkan Al-Quran.
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol
antara hadis dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau
penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun
langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar menyampaikan
kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung menyampaikannya
kepada umat, demikian seterusnya generasi demi generasi.


27
Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami
perubahan, karena sejak diterimanya Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian
banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah
orang yang menurut adatmustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini,
wahyu-wahyu Al-Quran menjadi qathiy wurud. Ini, berbeda dengan hadis,
yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali
dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh
Nabi saw. Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun
pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada
umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada
sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabiin. Ini menjadikan
kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah zhanniy al-wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan
hadis karena sekian banyak faktor - baik pada diri Nabi maupun sahabat
beliau, di samping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-
menopang sehingga mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan
yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.
Dan berikut diuraikan dalil-dalil yang menjelaskan kedudukan hadis sebagai
sumber ajaran Islam:
a. Al-Quran


Banyak ayat al-Quran yang menerangkan tentang kewajiban untuk
tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Iman kepada Rasul
sebagai utusan AllahSWt merupakan satu keharusan dan sekaligus
kebutuhan individu. Dengan demikian Allah akan memperkokoh dan
memperbaiki keadaan mereka. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam
surat Ali Imron 17 dan An Nisa 36.
Selain Allah memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasul
SAW, juga menyerukan agar mentaati segala bentuk perundang-
undangan dan peraturan yang di bawahnya. Sebagaimana firman Allah
dalam Q.S. Ali Imron[3]: 32.Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-
Nya; jika kamu berpaling, MakaSesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang kafir". Disamping banyak ayat yang menyebutkan
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya secara bersama-sama, banyak
ayat yang memerintahkan untuk mentaati Rasul yangberarti juga sama
dengan ketaatan kepada Allah sebagaiman Firman Allah dalm
Q.S. An-Nisa [4]: 80.Barangsiapa yang mentaati Rasul itu,
Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dalam firman-
Nya Q.S. Al Hasyr [59]: 7Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka
terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.
28
Berdasarkan kenyataan ini, maka sebenarnya Allah juga menyebutkan
secara eksplisit didalam Al-Quran kewajiban mengamalkan sunnah
yang menunjukkan bahwa hadis dijadikan sebagai salah satu sumber
ajaran Islam.
b. Hadits Nabi saw
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan
menjadikanhadis sebagai pedoman hidup, disamping Al-Quran
sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:
/+gO[c gO>- g
g_g We+WOO> -
WOO>g_> W} g}WC OW
We7Og +eW. O
Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan
tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah
dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik).
Dalam hadis lain beliau bersabda:
Wajib bagi sekalian berpegangan teguh dengan sunnahku dan sunnah
Khulafa ar-Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang
teguhlah kamu sekalian dengannya. (HR. Abu Daud dan Ibn Majah)


Hadis-hadis tersebut diatas menunjukkan kepada kita bahwa
berpegang teguhkepada hadis/menjadikan hadis sebagai pegangan dan
pedoman hidup itu adalahwajib, sebagaimana wajibnya berpegang
teguh kepada Al-Quran.

c. Kesepakatan Ulama (Ijma)
Umat Islam telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah satu dasar
hukum beramal; karena telah sesuai dengan yang dikehendaki oleh
Allah. Bahkan kesepakatan umat Islam dalam mempercayai,
menerima, dan mengamalkan segala ketentuan terkandung di dalam
hadis ternyata sudah sejak masa Rasulullah hidup. Sepeninggal beliau,
semenjak masa Khulafa al Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya, tidak
ada yang mengingkarinya. Banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami
dan mengamalkannya, akan tetapi bahkan menghafal, memelihara, dan
menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya.






29

d. Sesuai dengan Petunjuk Akal
Kerasulan Nabi Muhammad saw telah diakui dan dibenarkan oleh
umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau
hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT, baik
isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan
bimbingan ilham dari Tuhan. Namun, tidak jarang beliau
membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang
tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil
ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai nas menasakhnya. Bila kerasulan
Muhammad saw telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya
segala peraturan dan perunda-undangan serta inisiatif beliau, baik yang
beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau hasil ijtihad semata,
ditempatkansebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Disamping
itu, secara logika kepercayaan kepada Muhammad saw sebagai Rasul
mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau
sampaikan. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa hadis merupakan
salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki


urutan kedua setelah Al-Quran. Sedangkan bila diliahat dari segi
kehujjahannya, hadis melahirkan hukumzhanny, kecuali hadis yang
mutawatir.
Hadits memiliki kedudukan yang tinggi dalam penetapan hukum
Islam. Tentunya setelah Al-Quran yang merupakan sumber dari
segala hukum Islam. Demikian pentingnya posisi hadits dalam agama
Islam, maka hadits senantiasa berkembang dalam arti penelitian
terhadap keabsahan materi hadits itu sendiri maupun dari
keterpercayaan sanad-sanadnya. Hadits juga dikatakan sebagai
penjelas dari ayat-ayat Al-quran, terutama terhadap ayat-ayat
mutasyabihat. Disamping juga memberi kelengkapan dasar hukum
Islam yang belum atau tidak ternaktub dalam Al-Quran.









30
BAB III

PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Hadis adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Nabi Muhammad SAW.
Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua
pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Quran. Hadits juga dikatakan
sebagai penjelas dari ayat-ayat Al-quran, terutama ayat-ayat mutasyabihat.
Hadits juga memberi kelengkapan dasar hukum Islam yang belum atau tidak
termaktub dalam Al-Quran. Termasuk dalam kategori hadits adalah sunnah,
atsar dan taqrir. Klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya
hadits sebagai dasar hukum adalah: hadits shohih, hadits hasan dan hadits
dhoif. Hadits shohih dan hadits hasan dapat diterima sebagai dasar
pengambilan hukum dan pedoman pelaksanaan ibadah, sedangkan hadits
dhoif hanya dapat dijadikan sebagai pedoman pelaksanaan ibadah.



3.2 Kritik dan Saran
Hendaklah dalam mengambil sumber hukum tidak hanya terpaku dalam
satu sumber tetapi, sebaiknya mengambil dari sumber lainnya sepert hadits.
Namun, dalam memilih hadits sebagai sumber hukum tidak bisa semua hadits
dijadikan sumber hukum harus dilihat dari kualitas haditsnya.















31
Daftar Pustaka

Jawas, Yazid abdul Qadir. 1993. Kedudukan As-sunnah dalam Syariat Islam.
Jakarta: Pustaka kautsar.
Matsna, H. Moh. MA, Prof. Dr. 2008. Pendidikan Agama Islam Al-Quran
Hadits. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
M. Abdurrahman dan Ellen Sumarna. 2011. Metode Kritik Hadits. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Thahhan, Mahmud. 2007. Intisari Ilmu Hadits. Malang: UIN-Malang Press.
Rahman, Zufran, Drs. 1995. Kajian Sunnah Nabi saw sebagai Sumber Hukum
Islam Jawaban Terhadap Aliran Ingkar Sunnah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Hikmatiar, solehudin. Makalah Kedudukan Hadis sebagai Sumber Ajaran Islam.
http://id.scribd.com/doc/129908373/Makalah-Kedudukan-Hadis-Sebagai-Sumber-
Ajaran-Islam-PDF. 2013. Diakses pada sabtu 23 maret 2013.


Thohari, chamim. Sunnah sebagai sumber hukum islam kedua.
http://bakulbuku.com/kumpulan-makalah-artikel/hukum/sunnah-sebagai-
sumber-hukum-islam-kedua.pdf. Diakses pada sabtu 23 maret 2013


















32

Anda mungkin juga menyukai