( Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Al-quran dan Hadits)
Disusun Oleh : Kelompok 2 Mawah Shofwah (1112016200040) Nur Hikmah (11120162000 Savira Aulia (1112016200076)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan taufik dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Al-Quran dan Hadits. Dalam menyusun makalah ini, penulis tidak lepas dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini juga kami tidak lupa menyampaikan rasa terima kasih kepada sebagai dosen mata kuliah Al-Quran dan Hadits. 1. Drs. Abdul Haris, M.Ag 2. Teman-teman kelompok 3. Teman-teman yang telah menyelesaikan tugas makalah ini Kami sadar bahwa dalam menyusun makalah ini masih banyak kekurangan, baik dalam segi isi maupun cara penyusunananya. Oleh karena itu, apabila ada kesalahan, kami dengan senang hati menerima segala kritik dan saran demi penyempurnaan tugas makalah ini. Semoga tugas makalah ini bermanfaat bagi kami dan khususnya untuk para pembaca pada umumnya.
Jakarta, 25 Maret 2013
Penyusun
ii
Daftar Isi
Kata Pengantar..................................................................................................... ii Daftar isi...................................................................................................... iii BAB I Pendahuluan 1.1 Latar belakang ........................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah.................................................................... 1 1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................... 2 1.4 Ruang Lingkup ........................................................................ 2 1.5 Sumber Data............................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Hadits ...................................................................... 3 2.2 Masa Pengumpulan Hadits dan Sejarahnya ............................. 5 2.3 Periwayatan Hadits .................................................................. 7 2.4 Kualitas Hadits ........................................................................ 12 2.5 Takhrij Hadits .......................................................................... 17 2.6 Fungsi Hadits ........................................................................... 24 2.7 Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum ........................... 26
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan ................................................................................ 31 3.2 Saran .......................................................................................... 31
Daftar Pustaka
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Keberadaan Hadits sebagai salah satu Sumber Hukum setelah alquran. Didalam islam Hadits memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak masa zaman Rosulullah, zaman Sahabat, dan Tabiin hingga setelah pembukuan hadits pada abad ke-2 H. Perkembangan masa awal lebih banyak menggunakan Lisan karena adanya larangan Nabi untuk menulis hadits. Karena beliau terfokus pada para sahabat yang bisa menulis Alquran. Larangan tersebut berlanjut sampai masa tabiin besar dan khalifah. Sampai pada akhirnya hadits sangat penting dan berguna bagi umat islam untuk ditulis dan dibukukan dalam menghadapi suatu masalah. Oleh karena itu dalam makalah ini kita akan membahas bagaimana sebenarnya sejarah perkembangan dan pembukuan hadits itu. Karena Sejarah perkembangan hadits itu sangat penting serta memberikan pengaruh terhadap sejarah peradapan islam.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun latar belakang masalah yang muncul berdasarkan hasil dari latar belakang masalah tersebut,yaitu : 1.2.1 Menjelaskan pengertian hadits 1.2.2 Memaparkan sejarah singkat pengumpulan hadits 1.2.3 Memaparkan kualitas hadits 1.2.4 Menjelaskan periwayatan hadits 1.2.5 Memaparkan tentang takhrij hadits 1.2.6 Memaparkan fungsi hadits 1.2.7 Menjelaskan kedudukan Al-Quran sebagai sumber hukum bagi umat Islam.
1
1.3 Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengenalkan Hadits secara global.
1.4 Ruang Lingkup Adapuna ruang lingkup pembahasan makalah ini yaitu: 1.4.1 Pengertian Hadits. 1.4.2 Sejarah singkat pengumpulan Hadits. 1.4.3 Periwayatan Hadits. 1.4.4 Kualitas Hadits. 1.4.5 Takhrij Hadits. 1.4.6 Fungsi Hadits. 1.4.7 Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum Islam.
1.5 Sumber Data Adapun sumber referensi yang digunakan yaitu Sumber buku : Inti Sari Hadits Kedudukan As-Sunnah dalam syariat Islam Hadits-hadits Muttafaqalaih Bagian Ibadat Kajian Sunnah Nabi saw sebagai sumber hukum Islam Metode Kritik Hadits Al-Quran dan Hadits Sumber Web : http://badiatulmunawaroh.files.wordpress.com/2012/05/takhrij-hadis.pdf http://stiqulumalhadis.blogspot.com/2012/01/takhrij-al-hadits.html
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hadits 2.1.1 Pengertian Hadits Secara Lughawi Menurut penelitian Abul Baqa kata hadits senada dengan kata tahdits, yang berarti ikhbar atau memberi tahu. Kemudian, pengertian ini berkembang mencakup segala pekerjaan, ucapan, dan pengakuan Nabi saja. 1 Perkataan ikhbar sebenarnya sudah digunakan sejak zaman pra-Islam yang artinya sama dengan Hadits. Perkataan ikhbar sebenarnya lebih umum dari pada perkataan hadits yang mencakup pada ucapan, perbuatan, dan pengakuan Nabi, sementara perkataan ikhbar bisa merupakan perbuatan, ucapan, pengakuan Nabi atau yang lainnya seperti sahabat, tabiin, ataupun yang lainnya. Oleh karena itu ulama menyatakan bahwa setiap hadits adalah khabar dan setiap tidak setiap khabar adalah hadits. Allah pun menggunakan kata hadits dengan arti khabar seperti dalam firman- Nya: W-O>4OU +CgO4 g)-u1g)` p) W-O+^~E --g~g= ^@j
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits berarti baru sebagai lawan dari Qadim atau terdahulu; maksudnya bahwa semua sabda Rasulullah SAW. dianggap sebagai sesuatu yang baru, sedangkan yang Qadim adalah Al-quran.
2.1.2 Pengertian Hadits Menurut Istilah Menurut terminologi atau istilah ialah: segala sesuatu yang berssumber dari Nabi SAW dalam bentuk Qouli (ucapan), fili (perbuatan), taqrir, dan sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagia Tasyri bagi umat islam.
1 M. Abdurrahman, Metodr kritik Hadits (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), hal 192 3
Hadits menurut pengertian ahli hadits dibagi dua, yaitu pengertian hafits yang terbatas dan pengertian hadits yang luas. Pengertian hadits yang terbatas adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, dan yang sebagainya. Tarif ini mengandung empat unsur yakni perkataan, perbuatan, pernyataan dan sifat-sifat atau keadaan Nabi SAW yang semuanya hanya disandarkan kepada beliau, tidak termaksud hal-hal yang disandarkan kepada para sahabat dan tidak pula tabiin. Sementara menurut pengertian yang luas hadits tidak hanya disandarkan kepada Nabi SAW tetapi juga mencakup juga perkataan, perbuata, taqrir yang disandarkan kepada para sahaabat sehingga dalam hadits ada istilah marfu (yang disandarkan kepada Nabi), manqul (yang disandarkan kepada sahabat), dan maqthu ( yang disandarkan kepada tabiin). Adapun ada istilah sunnah, berarti jalan yang baik ata jalan yang tidak baik. Di sini snnah berarti jalan yang di tempuh oleh Rasulullah saw, yang berhubungan dengan nilai-nilai keagamaaan. Jika hadits terbatas pada pengertian ikhbar, yaitu memberi tahu dalam bentuk ucapan, maka sunnah secara khusus berbentuk perilaku Nabi saw. Bertitik tolak dari keterangan di atas ternyata di kalangan ulama ada yang cenderung untuk membedakan hadits dengan sunnah. Namun demikian, dalam pengertian dala pengertian yang mutabar dan diakui oleh kebanyakan ulam, tetap tidak ada perbedaaan yang prinsip antara pengertian hadits, sunnah, dan khabar jika ditinjau secara istilah dan disandarkan kepada Nabi saw. Selain tiga perkataan yang semakna dengan hadits, sebagaimana diterangkan di atas, ternyata ada lagi lafal lain yaitu atsar. Lafal ini menurut sebagian ulama semakna dengan hadits, sunnah, dan khabar. Oleh sebab itu, ada ulama yang menamai bukunya yang berhubungan dengan Ilmu Hadits dengan nama Musthalah Ahli Atsar. Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang semakna dengan hadits ini ada epat macam, yaitu sunnah, khabar, dan atsar. Walaupun kenyataannya berbeda, tetapi secara umum mempunyai makna yang sama atau hampir bersamaan. Perkataan khabar lebih umum daripada hadits dan sunnah, demikian pula perkataan atsar. 4
2.2 Masa Pengumpulan Hadits dan Sejarahnya. Hadits sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga sampai kepada pembuku Hadits. Itulah pembentukan Hadits. 2.2.1 Masa Pembentukan Al Hadist Masa pembentukan Hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini Al Hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja.
2.2.2 Masa Penggalian Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabiin, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini Al Hadits belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar Al Hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.
2.2.3 Masa Penghimpunan Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabiin yang mulai menolak menerima Al-Hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syariat dan aqidah dengan munculnya Al Hadits palsu.
Para sahabat dan tabiin ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada Al Hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa Al Hadits itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabiin memerintahkan penghimpunan Al Hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan Al Hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan Al Hadits marfu dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu.
5 2.2.4 Masa Pendiwanan dan Penyusunan Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan Al Hadits guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami Hadits sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan Hadits dan memisahkan kumpulan Hadits yang termasuk marfu (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu (berisi prilaku tabiin). Usaha pembukuan Al Hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud diatas) juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas Al Hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan Hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan maghligai Al Hadits. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Al Hadits seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab Al Hadits abad 4 H.
2.2.5 Masa Sahabat Sahabat adalah mereka yang bertemu dengan Rasulullah saw dalam keadaan mumin dan meninggal dalam keadaan mumin. Selain memperhatikan al-Quran, pada masa ini Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali secara sungguh-sungguh memperhatikan perkembangan periwayatan hadis. Hal ini berdasarkan perintah Nabi untuk menyampaikan hadis kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir saat hadis disampaikan. ) ( Ingatlah, hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. (HR. Ibn Majah).
6 2.2.6 Hadis pada Masa Khulafa al-Rasyidin Periwayatan hadis pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab masih terbatas disampaikan kepada yang memerlukan saja, belum bersifat pengajaran resmi. Demikian juga penulisan hadis. Periwayatan hadis begitu sedikit dan lamban. Hal ini disebabkan kecenderungan mereka untuk membatasi atau menyedikitkan riwayat (Taqlil al-Riwyah), di samping sikap hati- hati dan teliti para sahabat dalam menerima hadis. Ali bahkan hanya mau menerima hadis perorangan jika orang tersebut bersedia disumpah. Pada masa ini muncul sektarianisme yang bertendensi politis menimbulkan perbedaan pendapat dan pertentangan, bukan saja dalam bidang politik dan pemerintahan, tapi juga dalam ketentuan-ketentuan keagamaan. Dari suasana itu muncul pemalsuan hadis. Metode Tabiin dalam Menjaga Sunnah Nabi Saw. 1. Menempuh metode yang sudah dilakukan para sahabat. 2. Menerima riwayat dari orang yang kapasitasnya tsiqah dan dhabit. 3. Meminta sumpah dari periwayatnya saat mencari dukungan dari perawi lain. 4. Melakukan rihlah untuk mengecek hadis dari pembawa aslinya.
2.3 Periwayatan Hadits Periwayatan hadits adalah proses penerimaan hadits oleh rawi dari gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan, ditulis, ditadwin, dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid dengan menyebutkan sumber riwayat tersebut. Dalam proses ini terjadi dua peristiwa yaitu tahammul dan ada. Tahammul adalah cara penyampaian hadits dari seorang syekh atau guru kepada muridnya. Sedangkan ada adalah proses penerimaan hadits oleh seorang murid dari syekh atau gurunya. Dengan demikian antara dua proses di atas tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling berkaitan. 2.3.1 Tata cara mendengar dan menerima hadits Kaifiyah Sima al-Hadits (tata cara mendengar hadits) adalah penjelasan tentang syarat yang harus dimiliki seseorang yang hendak mendengar riwayat hadits dan guru-gurunya untuk selanjutnya
disampaikan kepada orang lain, seperti syarat ketentuan umur dan lain sebagainya. 2
Kaifiyah Tahammul Al-Hadits (tata cara menerima hadits) adalah penjelasan tentang sistem pengembalian dan penerimaan hadits dari guru-gurunya. Kaifiyah Dlabth Al-Hadits (tata cara melestarikan hadits) maksudnya sebagaimana seorang murid memelihara (mengahafal) secara benar dan meyakinkan riwayat hadits yang pernah diterimanya dari gurunya dan kemudian disampaikan kepada orang lain. Para Ulama berusaha memasukkan masalah ini sebagai pembahasan Ulum al-hadits,. Usaha tersebut dimaksudkan untuk membantu mereka dalam memlihara hadits Rasulullah sa, dan menyampaikan kepada orang lain dengan benar. 2.3.2 Syarat menerima hadits Menurut pendapat yang shahih, perawi pada waktu menerima riwayat hadits tidak disyaratkan harus beragama islam dan baligh, namun setidaknya harus sudah tamtiz. Jadi, orang kafir dan anak- anak dinyatakan sah menerima riwayat hadits, tetapi untuk kegiatan menyampaikan tidak sah sebelum masuk Islam dan baligh. 3
2.3.3 Tata cara penerimaan riwayat hadits Ada 8 cara penerimaan riwayat hadis, yaitu : 1. La-Samamin Lafadzi al-Syaikh Ialah penerimaan hadis dengan cara mendengar langsung lafal hadis yang dibaca guru hadis, baik yang dibaca itu berdasarkan hafalannya atau catatannya. Periwayatan hadits dengan cara as- sama yaitu seorang syekh membacakan hadist sedang murid mendengarkannya, sama saja apakah syekh tersebut membaca dari hafalannya atau kitabnya, begitu pula murid mendengar dan mencatat apa yang di dengarnya atau mendengar saja dan tidak menulisnya, Maksud periwayatan hadits dengan cara as-sama adalah seorang murid menerima langsung periwayatan gurunya dengan cara mendengarkan bacaan dari hafalan atau pun tulisan sang guru. Dalam periwayatan bentuk as-sama, biasanya seorang guru membacakan haditsnya, sedangkan murid mendengarkan
2 Dr. Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, (Malang: UIN-Malang Press), hal 173 7 3 Ibid., hal. 174 8
dengan seksama untuk kemudian menulis apa yang telah ia dengar, atau hanya mendengar saja dan menghafalnya. Di dalam periwayatan yang berbentuk as-sama, disyaratkan adanya pertemuan antar guru dan murid. Namun, pertemuan tersebut tidak harus bertemu muka. Menurut pandangan jumhur ulama, periwayatan hadits yang diterima dengan adanya tabir (penghalang) yang memisahan antara sang guru dan murid sudah dianggap sah dan tergolong periwayatan bentuk as-sama. Menurut jumhur ulama, as-sama merupakan periwayatan yang paling tinggi dalam pweriwayatan hadits. Jika melihat pada masa Nabi, cara as-sama adalah cara yang sering dilakukan. Para sahabat mendengarkan dengan seksama apa yag dikataka Nabi SAW., kemudian para sahabat saling mencockan hadits yang telah didapat dari Nabi SAW tersebut. Kata atau lafadz yang digunakan dalam penyampaian hadits dengan cara as-sama diantaranya adalah samitu (aku telah mendengar) dan hadatsaniy (telah menceritakan kepadaku). Namun, jika yang meriwayatkan itu banyak, maka lafadznya adalah samina (kami telah mendengar) dan haddatsana (telah menceritakan kepada kami). 2. Al- qiraah ala al syaikh Sebagian ulama menamaknnya dengan Ardl, maksudnya adalah seorang murid (periwayat) membaca riwayat hadits dihadapan guru hadits, baik dibaca sendiri maupun dibaca orang lain dan dia mendengarnya baik berdasarkan hafalannya atau catatannya. guru hadis tersebut aktif menyimaknya, baik melalui hafalannya sendiri atau catatannya atau dipercayakan kepada orang lain. 4
Hukum periwayatan dengan cara al-qiraah ini menurut sebagian ulama adalah shahi, kecuali menurut kelompok tasyaddud (garis keras) yang tidak terbiasa dengan cara ini. Ketika menyampaikan hadits secara qiraah ini perawi biasanya menggunakan kalimat : qaratu alaa fulaana (aku telah membaca kepada si fulan) atau qaratu alaihi (aku telah membaca kepadanya) , namun yang paling umum dipakai para ahli hadits lafaz akhbarana (aku telah mengabarkan kepada kami). 3. Al- Ijazah
4 Ibid., hal. 176 9
Periwayatan denagn cara al-ijazah yaitu, seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits yang ada padanya. Contohnya seperti perkataan seorang guru kepada salah satu muridnya: saya beri izin kamu untuk meriwayatkan hadits-hadits yanga ada pda kitab shahih bukhari. Macam-macam ijazah : a. Seorang guru memberikan iajazah hadits tertentu kepada orang tertentu, seperti:
(aku mengizinkan kepadamu shahih bukhari). Jenis ini paling tinggi kualitasnya dari semua jenis ijazah mujarradahan munaawalah (ijazah murni). b. Seorang guru memberikan ijazah kepada orang tertentu untuk hadits yang tidak tertentu,misalnya semua hadits yang pernah didengarnya,seperti :
(aku mengijazahkan kepadamu akan suatu riwayat yang aku dengar). c. Seorang guru memberikan ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk hadits yang juga tidak tertentu,seperti :
(aku ijazahkan kepada orang-orang di zamanku akan suatu riwayat yang aku dengar). d. Seorang guru memberikan ijazah kepada seseorang yang belum jelas (majhul) atau untuk hadits yang belum jelas,seperti :
(aku mengijazahkan kepada si fulan dan kepada orang yang dilahirkan sifulan tersebut). Kalimat periwayatan yang dipakai dengan cara Ijazah yaitu: Kata-kata yang diupakai dalam menyampaikan riwayat lewat jalur ijazah adalah ajaza lifulanin (ia telah memberikan ijazah kepada si fulan), haddatsana ijazatan (ia telah memberikan hadsits dengan ijazah kepada kami), akhbarana ijazatan (telah mengabarkan
kepada kami dengan cara ijazah), atau anbaana ijazatan (ia telah memberitakan kepada kami dengan ijazah). 5
4. Al-Munawalah Periwayatan hadits dengan cara al-munawalah adalah seorang guru memberikan naskah yang telah ia koreksi kepada muridnya untuk diriwayatkan. Periwayatan ini terbagi menjadi 2 macam: a. Al-munawalah al-maqrunah bi al-Ijazah, Al-munawalah yaitu munawalah yang dibarengi dengan ijazah. Praktiknya, seorang guru menyodorkan kepada muridnya hadits yang ada padanya, kemudian guru tadi berkata: anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadits yang saya peroleh ini atau seorang murid menyodorkan hadits kepada guru hadits, kemudian guru itu memeriksanya dan setelah guru memaklumi bahwa dia juga meriwayatkannya,maka dia berkata: hadits ini telah saya terima dari guru-guru saya dan anda saya beri ijazah untuk meriwayaktan hadits ini dari saya. Bentuk ijazah ini dinilai paling tinggi kualitasnya. b. Al-Manawalah Mujarradah an al- Ijazah, yaitu munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah. Praktiknya, seorang guru menyodorkan kitab hadits kepada muridnya sambil berkata ini hadits yang pernah saya dengar atau ini hadits yang pernah saya riwayatkan. Dalam redaksi hadits yang diterima dengan jalan al-munawalah terdapat kata-kata seperti: nawalaniy wa ajazaniy (ia telah memberikan munawalah dan ijazah kepadaku), haddatsana munawalatan wa ijazatan (ia telah menceritakan kepada kami dengan munawalah dan ijazah. 6
5. Al-Kitabah Artinya, seorang guru hadits menulis hadits yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada orang tertentu,baik ditulis sendriri maupun oleh orang lain. Periwayatan dengan cara al-kitabah yang pertama adalah sah dan kualitasnya sama denagn al-munawalah yang disertai ijazah. Macam-macam al-kitabah : a. al-kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan:
5 Ibid., hal. 178 10 6 Ibid., hal. 180 11
(seseorang bercerita kepadaku melalui surat atau seseorang telah menulis surat kepadaku. b. al-kitabah yang tidak di barengi dengan ijazah, artinya seorang guru menulis sebagian hadits untuk diberikan kepada seseorang tanpa memberi izin meriwayatkannya. 6. Al-Ilam Artinya, seorang guru hadits memberitahukan kepada muridnya, hadits atau kitabnya yang telah didengarnya sendiri Dapat difahami bahwa pemberitahuan sang guru kepada seorang muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu adalah riwayatnua sendiri dari si fulan (guru seseorang), namun tidak disertakan untuk meriwayatkannya. 7. Al-Washiyah Artinya, seorang guru menjelang wafatnya, ia memberi wasiat kepada seseorang untuk sebuah kitab hadits yang pernah diriwayatkannya.Biasanya kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan hadits dengan cara al-wasiyyah adalah
(si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
8. Al-Wijadah Artinya, seorang murid menemukan beberapa hadits catatan seorang guru hadits yang dikenalnya dan tidak diperoleh dengan cara diberi izin atau ijazah. Hukum periwayatan dengan cara ini menurut kalangan ulama Malikiyah, hadits tidak boleh diriwayatkan dengan cara wijadah, namun menurut Syafii membolehkannya.
2.4 Kualitas Hadits Menurut pendapat kebanyakan ulama, hadits ditinjau menurut kualitas yang meriwayatkannya terdiri atas tiga bagian yaitu, hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif. 7
Menurut Al-Suyuthi:
7 M. Abdurrahman, op cit., h. 204 12
kebanyakan ulama membagi sunnah ini pada shahih, dhaif, dan hasan.
2.4.1 Hadits shahih Menurut bahasa : al-shahih lawan kata al-saqim yang berarti sehat lawan kata sakit. Menurut istilah :
hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith mulai awal dan akhir sanad, tidak syadz (janggal) dan tidak mengandung illat (cacat). Syarat hadits shahih adalah - Sanadnya harus bersambung artinya masing-masing perawi betul-betul pernah menerima hadits secara langsung dari perawi di atasnya. Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad. - Perawinya bersifaat adil, artinya perawinya beragama islam, mukallaf( baligh dan berakal), melaksanakan ketentuan agama (tidak fasiq), dan tidak cacat muruahnya (berperilaku baik). - Perawinya bersifat dlabith, artinya sempurna hafalannya - Tidak terdapat syadz (kejanggalan) artinya hadits yang diriwayatkan yang tsiqah tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi yang juga bersifat tsiqah - Tidak terdapat illat(cacat), artinya tidak terdapat sebab yang tersembunyi yang dapat merusak kualitas hadits yang tampak lahirnya shahih. Berdasarkan ijma(konsensu) ulama ahli hadits, ulama ahli ushul fiqih, dan ulama ahli fiqih, hadits shahih wajib diamalkan karena ia merupakan salah satu hujjah (dasar) syariah islam. Kitab yang pertama memuat hadits shahih adalah kitab shahih al- Bukhari, kemudian shahih Muslim. Keduanya merupakan kitab yang paling shahih setelah al-Quran dan masyarakat muslim-secara konsensus-menerima kedua kitab tersebut.
13 a. Hadits shahih li-ghairihi
Yaitu hadits shahih karena adanya syahid atau mutabi. Hadits ini semula merupakan hadits hasan, karena adanya mutabi dan syahid, maka kedudukannya berubah menjadi shahih li- Ghairihi.
Hadits shahih yang mempunyai syarat seperti tersebut diatas, dinamakan hadis shahih li-dzathi, dan jika syarat kedhabithan seorang perawi kurang sempurna, turun nilainya menjadi hadis shahih li-dzathi. Sedangkan hadis hasan li-dzatih bisa naik nilainya menjadi shahih li-ghairih apabila juga diriwayatkan melalui jalur sanad lain yang serupa atau yang lebih kuat, karena kashahihannya tidak disebabkan dari sanad itu sendiri, namun karena tergabungnya sanad lain tersebut. Kualitas hadis shahih li-ghairih lebih tinggi dari pada hadis hasan li- dzatih dan lebih rendah dari hadis shahih li-dzatih.
2.4.2 Hadis hasan Menurut bahasan al-hasan berbentuk sifat musyabbahat yang berarti baik. Menurut istilah ada beberapa pendapat para ulama hadis tentang definisi hadis hasan, mengingat kualitas hadis hasan berada di antara hadis shahih dan dlaif. Definisi yang terpilih berdasarkan pengertian yang diberikan oleh Ibn Hajar, tentang hadis hasan adalah hadis yang muttasil sanadnya dengan diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hafalannya dari perawi semisal sampai akhir sanad, tidak syadz dan tidak terdapat illat. Hadis hasan nilainya sama dengan hadis shahih yakni sama-sama bisa dipakai sebagai hujjah, walaupun kekuatannya berada di bawah hadis shahih. Oleh karena itu semua ulama ahli fiqih memakainya
sebagai hujjah dan mengamalkannya, demikian juga sebagian besar ulama ahli hadis dan ushul fiqih.
14 Hadits hasan terdiri atas dua kategori yaitu hasan li dzatihi dan hasan la li ghairihi. Hadits hasan li dzatihi adalah hadits hasan yang sudah dijelaskan definisinya yaitu hadits yang sanadnya bersambung, rawinya adil, tidak syadzdz, tidak illat qadihah, tetapi daya tangkap atau hafalan rawinya agak lemah.
2.4.3 Hadis dlaif Menurut etimologi hadis dlaif berarti lemah, sedangkan menurut terminologi hadis dlaif adalah hadis yang belum memenuhi syarat- syarat hadis hasan. Kedlaifan hadis itu tergantung pada tingkat kelemahan perawi perawinya, yakni ada yang berat dan ada juga yang ringan, sehingga ada yang dlaif(lemah), dlaif jiddan (lemah sekali), waahi (lemah), munkar, dan yang paling jelek adalah hadis maudlu. Para ulama di kalangan ahli hadis dan lainnya membolehkan meriwayatkan hadis dlaif dengan tidak menyebutkan sanadnya serta tanpa menjelaskan kedlaifannya. Menjelaskan hadis dlaif masih terikat dengan 2 syarat yaitu tidak berkanaan dengan masalah-masalah aqidah, seperti tentang sifat-sifat Allah dan tidak berkanaan dengan masalh-masalh hukum syara yakni tidak berhubungan dengan hukum halal dan haram. Artinya boleh meriwayatkan hadis dlaif yang hanya berkaitan dengan masalah nasehat, targhib dan tarhib serta tentang kisah-kisah umat terdahulu dan lain sebagainya.
a. Hadis dhaif karena sanadnya terputus Yang dimaksud dengan sanadnya terputus adalah terputusnya mata rantai sanad disebabkan karena gugurnya satu atau lebih dari sebagian perawi-perawi hadis, baik terputus secara jelas atau samar. Para ulama telah memberikan nama tersendiri terhadap hadis yang terputus sanadnya secara jelas, jika di tinjau dari segi tempat atau bilangan perawi yang gugur, dengan empat nama: 1) Hadis Muallaq Menurut bahasa muallaq artinya menghubungkan dan menjadikannya sebagai suatu yang bergantung. Menurut istilah suatu hadis yang sejak permulaan sanadnya gugur seorang perawi atau lebih secara beruntun, suatu sanad dikatakan muallaq karena dia hanya bersambung dengan bagian dan arah atas saja dan
terputus di bagian bawah, sehingga seolah-olah dia merupakan sesuatu yang bergantung pada suatu atap dan lain sebagainya.
15 2) Hadis Mursal
Menurut bahasa mursal adalah isim maful dari fiil madli arsala yang berarti athlaqa yakni melepaskan. Memang seakan- akan hadis mursal itu melepaskan sanadnya, dan tidak mengikatnya dengan perawi yang dikenal. Menurut istilah ialah suatu yang akhir sanadnya gugur seorang perawi sesudah tabiin. Hadis mursal pada dasarnya adalah berkualitas dlaif mardud, karena tidak terdapatnya sebagian syarat hadis maqbul yaitu bersambungnya sanad dan tidak diketahuinya perawi yang terbuang serta adanya kemungkinan bahwa perawi yang terbuang itu adalah perawi bukan sahabat. Dalam keadaan seperti ini berarti hadis tersebut adalah dlaif.
3) Hadis Mudlal Menurut bahasa mudlal adalah isim maful dari fiil madli adlala semakna dengan ayaa yang berarti memayahkan. Menurut istilah ialah hadis yang sanadnya gugur dua orang atau lebih secara beruntun. Hadis mudlal adalah daif, bahkan keadaannya lebih parah dari hadis mursal dan munqathi, karena banyaknya perawi yang terbuang dari sanad. Demikian menurut kesepakatan para ulama.
4) Hadis Munqathi Menurut bahasa al-muntaqhi adalah isim fail dari masdar al- inqitha yang berarti terputus. Menurut istilah hadis muntaqhi adalah hadis yang sanadnya tidak bersambung atau gugur perawinya pada bagian mana saja. Menurut kesepakatan para ulama, hadis muntaqhi berkualitas dlaif, karena tidak diketahuinya keadaan perawi yang terbuang.
b. Hadis dhaif karena perawinya cacat Yang dimaksud dengan perawi cacat adalah dari segi keadilan dan kedlabithannya menurut penilaian ulama.
Adapun sebab-sebab cacatnya perawi ada 10 macam, yaitu yang berkaitan dengan sifat keadilan perawi seperti dusta, tertuduh dusta, fasiq, bidah, tidak diketahui identitasnya.
16 Adapun yang berkaitan dengan kadlabithan perawi seperti keliru yang sangat, tidak baik hafalannya, pelupa, banyak berprasangka atau ragu-ragu, menyalahi riwayat perawi yang tsiqah (adil dan dlabith). 1) Hadis Maudlu adalah hadits palsu dimana perkataannya disandarkan kepada nabi. 2) Hadits Matruk adalah hadits dhaif yang rawinya tertuduh dusta. 3) Hadits Mungkar yaitu hadits dhaif yang disebabkan rawinya banyak kekeliruan, lengah dalam hafalan dan melakukan kecurangan dalam perbuatan dan perkataan. 4) Hadits Mudraj yaitu hadits dhaif yang disebabkan penambahan pada susunan sanad atau matan sehingga susunannya berubah. 5) Hadits Maqlub yaitu hadits dhaif yang disebabkan karena adanya pemutar balikan sanad atau matan. 6) Hadits Mudhtharib yaitu hadits dhaif yang kedhaifannya disebabkan hadits itu bertentangan satu sama lain dalam maknanya. 7) Hadits Muharrah yaitu hadits yang kedhaifannya disebabkan oleh perubahan titik dan baris atau tanda baca. 8) Hadits Mushahhaf yaitu hadits dhaif yang kedhaifannya disebabkan perubahan huruf pada nama rawi tapi rupa tulisannya tetap. 9) Hadits Mubham, mastur dan majhul yaitu hadits dhaif yang kedhaifannya disebabkan rawi tidak menyebutkan nama orang yang meriwayatkan hadits kepadanya. 10) Hadits Syadzdz yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang haditsnya bisa diterima, tapi menyalahi orang yang lebih tsiqat daripadanya. 11) Hadits Mukhtalith yaitu hadits yang kelemahannya disebabakan ketuaannya atau karena kitabnya terbakar atau hilang sehingga timbul ikhtilat pada hadits yang diriwayatkannya 12) Hadits Al-Mubtadi yaitu hadits dhaif yang diriwayatkan oleh orang bidah yang bidahnya membawa kepada kefasikan.
2.5 Takhrij Hadits
2.5.1 Pengertian Takhrij Hadits Secara etimologi kata takhrij berasal dari akar kata mendapat tambahan tasydid pada ro (ain fiil) menjadi : yang menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan, dan menumbuhkan. 17 Maksudnya menampakkan sesuatu yang tersembunyi, tidak kelihatan dan masih samar. Penampakan dan pengeluaran disini tidak mesti berbentuk fisik yang konkret, tetapi mencakup nonfisik yang hanya memerlukan tenaga dan pikiran seperti makna kata yang diartikan istnbath yang berarti mengeluarkan hukum dari nash/teks Alquran dan hadist. Takhrij secara bahasa berarti juga berkumpulnya dua perkara yang saling berlawanan dalam satu persoalan, namun secara mutlak diartikan oleh para ahli bahasa dengan arti mengeluarkan( al istinbath), melatih( at-tadrib), dan menghadapkan(at-taujih).
Takhrij menurut istilah adalah sebagai berikut: a. Pendapat Mahmud Ath- Thahhan
. Takhrij adalah penunjukan terhadap tempat hadist di dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanad dan martabatnya sesuai keperluan. b. Pendapat Ahli hadist bahwa Takhrij mempunyai beberapa arti sebagai berikut: 1) Mengemukakan hadist kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah meyampaikan hadist itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh. 2) Ulama hadist mengemukakan berbagai hadist yang telah dikemukakan oleh para guru hadist, atau berbagai kitab, atau yang lainnya. Yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan. 3) Menunjukan asal- usul hadist dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadist yang disusun oleh para mukhorrijnya langsung ( yakni para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadist yang mereka riwayatkan)
4) Mengemukakan hadist berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadist, yang didalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanadnya masing-masing, serta diterangkan keadaan periwayatnya dan kualitas hadistnya.
18 5) Menunjukan atau mengemukakan letak asal hadist pada sumber yang asli, yakni berbagai kitab yang didalamnya dikemukakan hadist itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing: kemudian untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas sanad hadist tersebut. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Takhrijul hadist adalah mengemukakan hadist pada orang banyak dengan menyebutkan para rowinya, mengemukakan asal usul hadist sambil dijelaskan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadist yang rangkaian sanadnya berdasarkan riwayat yang telah diterimanya sendiri atau berdasarkan rangkaian sanad gurunya, dan penelusuran atau pencarian hadist dalam berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadist yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadist yang bersangkutan. 2.5.2 Manfaat Takhrij Hadits Ada beberapa manfaat dari takhrij al-hadits antara lain sebagai berikut: 1. Memberikan informasi bahwa suatu hadits termasuk hadits shahih, hasan, ataupun dhaif, setelah diadakan penelitian dari segi matan maupun sanadnya. 2. Memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa suatu hadits adalah hadits makbul (dapat diterima). Dan sebaliknya tidak mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu hadits adalah mardud (tertolak). 3. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadits adalah benar-benar berasal dari Rasulullah SAW. Yang harus kita ikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadits tersebut, baik dan segi sanad maupun matan.
2.5.3 Faktor Penyabab Takhrij Hadits Adapun faktor utama yang menyebabkan kegiatan penelitian terhadap hadits (takhrij al-hadits) dilakukan oleh seorang peneliti hadits adlah sebagai berikut: 1. Mengetahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti
Maksudnya adalah untuk mengetahui status dan kualitas hadits dalam hubungannya dengan kegiatan penelitian, langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang peneliti adlah mengetahui asal-usul periwayatan hadits yang akan diteliti, sebab taanpa mengetahui asal-usulnya sanad dan matan hadits yang bersangkutan mengalami kesulitan untuk diketahui
19 matarantai sanadnya sesuai dengan sumber pengambilannya, sehingga tanpa diketahui secara benar tentang matarantai sanad dan matan, maka seorang peneliti peengalami kesulitan dalam melakukan penelitian secara baik dan cermat. Makanya dari faktor ini, kegiatan penelitian hadits (takhrij) dilakukan. 2. Mengetahui dan mencatat seluruh periwayatan hadits bagi hadits yang akan diteliti. Maksudnya adalah mengingat redaksi hadits yang akan diteliti itu bervariasi antara satu dengan yang lain, maka diperlukan kegiatan pencarian seorang peneliti terhadap semua periwayatan hadits yang akan diteliti, sebab boleh jadi salah satu sanad haadits tersebut berkualitas dhaif dan yang lainnya berkualitas shahih. 3. Mengetahui ada tidaknya syahid dan mutabi pada mata rantai sanad Mengingat salah satu sanad hadits yang redaksinya bervariasi itu dimungkinkan ada perawi lain yang sanadnya mendukung pada sanad hadits yang sedang diteliti, maka sanad hadits yang sedang diteliti tersebut mungkin kualitasnya dapat dinaikkan tingkatannya oleh sanad perawi yang mendukungnya. Dari dukungan tersebut, jika terdapat pada bagian perawi tingkat pertama (yaitu tingkat sahabat) maka dukungan ini dikenal dengan syahid. Jika 19 dukungan itu terdapat pada bagian perawi tingkat kedua atau ketiga (seperti pada tingkatan tabiI atau tabiit tabiin), maka disebut sebagai mutabi .
Dengan demikian, kegiatan penelitian (takhrij) terhadap hadits dapat dilaksanakan dengan baik jika seorang peneliti dapat mengetahui semua asal-usul matarantai sanad dan matannya dari sumber pengambilannya. Begitu juga jalur periwayatan mana yang ada syahid dan mutabinya, sehingga kegiatan penelitian (takhrij) dapat dengan mudah dilakukan secara baik dan benar dengan menggunakan metode pentakhrijannya.
2.5.4 Metode Takhrij Hadits Setelah mengetahui betul faktor-faktor yang menyebabkan penelitian hadits (takhrij al- hadits) di atas, maka langkah awal yang harus dilakukan seorang peneliti dalam melakukan kegiatan penelitian hadits (takhrij al- hadits)adalah hal-hal sebagai berikut: 20 1. Kitab-kitab koleksi atau buku-buku pendukung tentang takhrij Telah dapat diketahui bersama bahwa untuk menelusuri hadits sampai pada sumber asalnya itu tidak semudah menelusuri ayat-ayat Al-Quran yang hanya cukup dengn menggunakan sebuah kitab kamus Al-Quran, sepertiMujam al-Mufahras Li Al-fadhil Quran Al-karim ( ) karya Muhammad Fuad Abdul Baqiy. Akan tetapi untuk menelusuri hadits tidak cukup hanya satu kitab koleksi, tetapi dari berbagai kitab koleksi hadits lainnya. Hal ini terjadi mengingat banyaknya para kolektor yang telah membuat kitab koleksi mereka masing-masing, sehingga menjadi penyebab sulitnya hadits ditelusuri sampai pada sumber asalnya lantaran terhimpun dalam banyak kitab. 2. Macam-Macam Metode Yang Dipakai dalam Takhrij Hadits Jika kita hendak menakhrijkan hadist dan hendak mengetahui dan tempatnya dalam sumber aslinya, terlebih dahulu harus mempelajari keadaan hadist. Hal ini dengan cara melihat sahabat yang meriwayatkannya, pokok bahasannya, lafal-lafalnya, lafal pertamanya, atau dengan melihat sifat-sifat tertentu dalam sanad atau matannya. Demikian ini agar kita dapat menentukan metode yang tepat dan mudah dalam menakhrijkan hadist yang dimaksud. Menurut Mahmud At-Thohan macam-macam metode menakhrijkan hadist adalah sen as-sunnah bagai berikut: a. Dengan cara mengetahui sahabat yang meriwayatkan hadist. Metode takhrij ini dapat diterapkan selama nama sahabat yang meriwayatkan terdapat dalam hadist yang hendak ditakhrij. Jika sebaliknya atau tidak mungkin dapat diketahui dengan cara apapun, maka metode ini tidak dapat diterapkan. Adapun kitab-kitab pembantu metode ini adalah sebagai berikut: 1) Kitab-kitab Musnad Musnad adalah kitab hadist yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat, atau kitab yang menghimpun hadist-hadist sahabat. 2) Kitab-kitab Mujam.
Mujam adalah kitab-kitab hadist yang yang disusun berdasarkan musna-musnad sahabat, guru-gurunya, Negara atau lainnya.dan umumnya susunan nama- nama sahabat itu berdasarkan urutan huruf hijaiyah, tetapi ada kitab-kitab mujam yang disusun berdasarkan musna-musnad sahabat.
21 3) Kitab-kitab Atraf Kitab Atraf adalah bagian kitab-kitab hadist yang hanya menyebutkan bagian(tarf) hadist yang dapat menunjukan keseluruhannya, kemudian menyebutkan sanad-sanadnya, baik secara menyeluruh atau hanya dinisbahkan (dihubungkan) pada kitab-kitab tertentu. b. Metode Takhrij menurut Lafadz Pertama dari Matan Hadist. Metode takhrij hadist dari lafadz pertama, yaitu suatu metode berdasarkan pada lafadz pertama matan hadist, sesuai dengan urutan huruf hijaiyah dan alfabetis, sehingga metode ini mempermudah pencarian hadist yang dimaksud. Adapun kitab-kitab yang membantu kita dalam menggunakan metode ini adalah sebagai berikut: 1) Kitab-kitab tentang hadist-hadist yang masyhur di kalangan masyarakat. Yaitu ucapan-ucapan yang banyak beredar dan selalu diriwayatkan di kalangan masyarakat, yang disandarkan pada nabi Muhammad SAW. 2) Kitab-kitab tentang hadist yang disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah. 3) Kitab-kitab miftah(kunci) dan Fahras (kamus) kitab-kitab hadist tertentu. c. Mencari Hadist berdasarkan Tema Penelusuran Hadist yang didasarkan pada tema / topic (maudhui) hendaknya sudah mengetahui topic hadist kemudian ditelusuri melalui kamus hadist tematik. Salah satu kamus hadist tematik adalah Miftah min Kunuz As-Sunnah oleh Dr. Fuad Abdul Baqi, terjemahan dari aslinya berbasa inggris A Handbook of Early Muhammadan karya A.J Wensink. Pencarian matan hadist yang berdasarkan topic masalah sangat menolong pengkaji hadist yang ingin memahami petunjuk- petunjuk hadist dalam segala konteksnya. d. Metode Takhrij menurut Lafadz-Lafadz yang Terdapat dalam Hadist.
Metode Takhrij hadist menurut lafadz yang terdapat dalam hadist, yaitu suatu metode yang berlandaskan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadist, baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian hadistnya sehingga pencarian hadist-hadist yang dimaksud dapat diperoleh.
22 Kamus yang diperlukan dalam dalam metode takhrij ini salah satunya yang paling mudah adalah Kamus Al-Mujam Al-Mufahras li Alfadz Al-Hadist An-Nabawi yang disusun oleh A.J Wensinck dan kawan- kawannya dalam 8 jilid. e. Metode dengan Jalan Meneliti Sanad dan Matan Hadist. Metode ini adalah mempelajari tentang keadaan matan dan sanad hadist, kemudian mencari sumbernya dalam kitab-kitab yang membahas tentang keadaan matan dan sanad hadist tersebut. Metode ini terbagi menjadi 3 yaitu sebagai berikut: 1) Penelitian Matan Jika dalam matan hadist terdapat tanda-tanda kepalsuan seperti lemah lafalnya, rusak maknanya atau bertentangan dengan teks Al-Quran yang sarih atau sebagainya, maka cara yang tepat untuk mengetahui sumbernya adalah melihat kitab-kitab Al- Maudhuat(Kitab-kitab tentang hadist maudhu). Dengan kitab- kitab ini, dapat diketahui hadist-hadist yang mempunyai sifat- sifat tersebut diatas, takhrijnya, bahasan, dan penjelasan tentang orang yang memalsukannya. Contoh kitab-kitab tentang hadist maudhu adalah Al Mauduatul Kubro karya Syekh Ali Al-Qori Al Harawi (w, 1014 H) dan kitab Tanzihus-Syariah Al Marfuah Anil Ahadist- Syariah Al Maudhuat karya Abu hasan Ali sbin Muhammad bin Iraq Al Kinani(w, 963 H). Jika matan hadist tersebut termasuk hadist qudsi maka sumber yang tepat untuk mencarinya adalah kitab-kitab khusus yang membahas tentang hadist qudsi karena di dalamnya disebutkan hadist dan perawinya secara lengkap, misalnya dalam kitab Misykatul Anwar Fima Ruwiya Anillahi Subhanahu Wa Taala Minal Akbar karya Muhyidin Muhammad bin Ali binArabi Al Khatimi Al-Andulisi(w, 638 H). 2) Penelitian Sanad. Kegiatan ini dilakukan jika dalam sanad suatu hadist terdapat kesamaran,seperti:
a) Seorang bapak meriwayatkan hadist dari anaknya, maka sumber yang tepat untuk menakhrijkannya adalah kitab- kitab khusus tentang hadist-hadist riwayat bapak dari anaknya. Misalnya kitab Riwayatul Aba Anil Abna, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Bagdadi(w, 436 H). 23 b) Sanadnya Musalsal, maka dapat digunakan kitab-kitab yang membahas tentang hadist musalsal, diantaranya seperti kitab Al Musalsalatul Kubra, karya As-Suyuthi yang menghimpun 85 hadist musalsal. c) Sanadnya Mursal, maka digunakan kitab-kitab tentang hadist mursal, diantaranya seperti kitab Al-Marasil, karya Abu Dawud As Sijistani. d) Perawinya lemah, maka dapat dicari kitab-kitab tentang perawi dhoif dan yang masih dibicarakan kualitasnya diantaranya esperti kitab Mizanul Itidal karya Az-Zahabi. 3) Penelitian Matan dan Sanad Kegiatan ini dilakukan jika dalam suatu hadist yang akan diteliti terdapat beberapa sifat dan keadaan separti adanya illat dan kesamaran hadist, maka dapat mencari hadist tersebut dalam kitab-kitab yang membahas tentang illat dan kesamaran hadist, diantaranya kitab Illalul hadist karya Ibnu Hatim Ar-Razi, Al- Asmaul Mubhamah dalam Fil Anbail Mukhkamah karya Al- Khatib Al-Bagdadi, Al-Mustafad Min Mubhamatil Matni wal Isnad, karya Abu Zurah Ahmad bin Abdur Rohim AlIroqi. Berdasarkan kelima metode takhrij di atas dapat diambil kesimpulan bahwa seorang peniliti hadist harus memahami tentang metode-metode takhrij dan kitab-kitab yang dipakai dalam mempraktikan setiap metode takhrij itu. Peneliti hadist juga harus faham tentang ulumul hadist dan cabang-cabang ilmu hadist.
2.6 Fungsi Hadits Ditinjau dari hukum yang ada maka hubungan as-sunnah dengan Al- Quran, sebagai berikut:
1. Hadits berfungsi sebagai penguat hukum yang ada di dalam Al-Quran. Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber dan terdapat dua dalil. 8
2. Terkadang hadits itu berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal dalam Al-Quran. Karena hadits itu memberikan penjelasan kepada makna yang dimaksud didalam Al- Quran. 9
Dalam hal ini Allah telah memberi wewenang kepada Rasulullah saw, untuk memberikan penjelasan terhadap nash-nash Al-Quran dengan firman-Nya : ge4L)O4l^) @O+O-4 .4L^4O^4 El^O) 4O-g]~.- 4))-4l+g +EELUg 4` 4@O+^ jgO) _^UE4 ]NO-E4-4C ^jj Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan Di antara contoh hadits yang mentakhshish Al-Quran adalah :
88 Yazid Abdul Qadir Jawas., kedudukan As-Sunnah dalam Syariat Islam, (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar), hal 52 24 9 Ibid., h. 52
774.4-47 774.E44 4p+O;> _GC C4O^~ 7 4^4^ _ LO_C@O ;g)` *.- Ep) -.- 4p~E 1)U4N V1EO ^ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak- anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. 25 (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nissa: 11). Ayat ini ditakhshishkan oleh as-sunnah : - Para nabi tidak boleh mewariskan apa-apa untuk anak-anaknya dan apa yang mereka tinggalkan adalah sebagai sadaqah, - Tidak boleh orang tua kafir mewariskan kepada anak yang muslim atau sebaliknya - Pembunuh tidak mewariskan apa-apa. (HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah) 2. Hadits sebagai bayan dari mujmal Al-Quran : - Menjelaskan tentang cara shalat Nabi saw. Rasulullahsaw,bersabda: Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR.Bukhari) - Menjelaskan tentang cara haji Nabi saw. Rasulullah saw, bersabda ; Ambillah dariku tentang tata cara manasik haji kamu. (HR.Muslim), dan masih banyak lagi ayat-ayat yang perlu penjelasan dari as-sunnah karena masih mujmal.
3. Terkadang hadits menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Quran. Diantara hukum-hukum itu ialah tentang haramnya keledai negeri, binatang buas yang mempunyai taring,burung yang mempunyai kuku yang tajam, juga tentang haramnya kaum laki-laki memakai kain sutera dan cincin emas. Semua itu disebutkan dalam hadits yang shahih. 10
2.7 Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa hadits itu merupakan dasar kedua dalam pembentukan hukum islam dan hukum-hukum yang dipetik dari hadits itu wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang diistinbatkan dari Al- quran. Adapun eksistensi hadits dalam pembinaan hukum islam mempunyai kolerasi yang erat dengan Al-quran, yaitu menguatkan hukum yang telah ditetapkan oleh Al-quran, memberikan keterangan (bayan) ayat-ayat Al-quran. Eksistensi hadits yang dapat dimodifikasi menjadi norma-norma hukum adalah pemberitaan hadits yang dapat diterima oleh akal yang normal (murni), atau lazim disebut hadits yang mutawatir dan hadits yang shahih. Sedangkan hadits yang dhaif, apalagi hadits yang maudhu, tidak dapat dipergunakan untuk menetapkan hukum suatu prbuatan, hanya bias dipakai untuk memberikan sugesti agar umat banyak beramal. Berlainan dengan hadits yang maudhu. Ia tidak dapat sama sekali dipakai untuk berhujjah dalam menetapkan hukum atau memberikan sugesti dalam melakukan amal- amal yang utama. Dari asumsi tersebut dapat dikatakan bahwa eksistensi hadits itu disamping sebagai tadid (penegas) dan bayan (penjelasan) Al-quran, ia dapat pula menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapt dalam Al-quran. Imam Asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat mengungkapkan bahwa sunnah atau hadits itu dipakai untuk nama bagi segala apa tidak diterangkan dalam Al-quran, baik dengan bayan isi Al-quran atau tidak atau dipakai sebagai lawan bidah. Selanjutnya, ia menambahkan kata sunnah itu dipakai juga mejadi nama bagi pekerjaan atau perbuatan para sahabat, baik pekerjaan atau perbuatan itu sesuai dengan Al-quran ataupun tidak. Dijelaskan juga oleh Asy Syathiby (dalam Al Muwafaqat 4: 7-8) menerangkan bahwa rutbah
10 Ibid., h. 54 26
(kedudukan) As Sunnah di bawah rutbah Al-Quran sebagai sumber ajaran agama dengan alasan sebagai berikut: a. Al Quran diterima dengan jalan yang yakin (maqthubihi), sedangkan As Sunnah diterima dengan jalan dhan (madhnun bihi). Keyakinan kita kepada sunnah hanyalah secara global saja; bukan secara detail. Al- Quran global dan detailnya diterima dengan cara meyakinkan. b. As Sunnah adakala, menerangkan (membayankan) sesuatu yang diijmalkan(diringkaskan uraiannya) oleh Al-Quran, adakala mensyarahkan Al-Quran, dan adakala mendatangkan yang belum didatangkan Al-Quran. Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung menyampaikannya kepada umat, demikian seterusnya generasi demi generasi.
27 Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang menurut adatmustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi qathiy wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabiin. Ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah zhanniy al-wurud. Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak faktor - baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang- menopang sehingga mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw. Dan berikut diuraikan dalil-dalil yang menjelaskan kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam: a. Al-Quran
Banyak ayat al-Quran yang menerangkan tentang kewajiban untuk tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Iman kepada Rasul sebagai utusan AllahSWt merupakan satu keharusan dan sekaligus kebutuhan individu. Dengan demikian Allah akan memperkokoh dan memperbaiki keadaan mereka. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam surat Ali Imron 17 dan An Nisa 36. Selain Allah memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan agar mentaati segala bentuk perundang- undangan dan peraturan yang di bawahnya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ali Imron[3]: 32.Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul- Nya; jika kamu berpaling, MakaSesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". Disamping banyak ayat yang menyebutkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya secara bersama-sama, banyak ayat yang memerintahkan untuk mentaati Rasul yangberarti juga sama dengan ketaatan kepada Allah sebagaiman Firman Allah dalm Q.S. An-Nisa [4]: 80.Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dalam firman- Nya Q.S. Al Hasyr [59]: 7Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. 28 Berdasarkan kenyataan ini, maka sebenarnya Allah juga menyebutkan secara eksplisit didalam Al-Quran kewajiban mengamalkan sunnah yang menunjukkan bahwa hadis dijadikan sebagai salah satu sumber ajaran Islam. b. Hadits Nabi saw Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan menjadikanhadis sebagai pedoman hidup, disamping Al-Quran sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda: /+gO[c gO>- g g_g We+WOO> - WOO>g_> W} g}WC OW We7Og +eW. O Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik). Dalam hadis lain beliau bersabda: Wajib bagi sekalian berpegangan teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa ar-Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya. (HR. Abu Daud dan Ibn Majah)
Hadis-hadis tersebut diatas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguhkepada hadis/menjadikan hadis sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalahwajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Quran.
c. Kesepakatan Ulama (Ijma) Umat Islam telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah satu dasar hukum beramal; karena telah sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Bahkan kesepakatan umat Islam dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan terkandung di dalam hadis ternyata sudah sejak masa Rasulullah hidup. Sepeninggal beliau, semenjak masa Khulafa al Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya, tidak ada yang mengingkarinya. Banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkannya, akan tetapi bahkan menghafal, memelihara, dan menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya.
29
d. Sesuai dengan Petunjuk Akal Kerasulan Nabi Muhammad saw telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun, tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai nas menasakhnya. Bila kerasulan Muhammad saw telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya segala peraturan dan perunda-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau hasil ijtihad semata, ditempatkansebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Disamping itu, secara logika kepercayaan kepada Muhammad saw sebagai Rasul mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa hadis merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki
urutan kedua setelah Al-Quran. Sedangkan bila diliahat dari segi kehujjahannya, hadis melahirkan hukumzhanny, kecuali hadis yang mutawatir. Hadits memiliki kedudukan yang tinggi dalam penetapan hukum Islam. Tentunya setelah Al-Quran yang merupakan sumber dari segala hukum Islam. Demikian pentingnya posisi hadits dalam agama Islam, maka hadits senantiasa berkembang dalam arti penelitian terhadap keabsahan materi hadits itu sendiri maupun dari keterpercayaan sanad-sanadnya. Hadits juga dikatakan sebagai penjelas dari ayat-ayat Al-quran, terutama terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Disamping juga memberi kelengkapan dasar hukum Islam yang belum atau tidak ternaktub dalam Al-Quran.
30 BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan Hadis adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Nabi Muhammad SAW. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Quran. Hadits juga dikatakan sebagai penjelas dari ayat-ayat Al-quran, terutama ayat-ayat mutasyabihat. Hadits juga memberi kelengkapan dasar hukum Islam yang belum atau tidak termaktub dalam Al-Quran. Termasuk dalam kategori hadits adalah sunnah, atsar dan taqrir. Klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya hadits sebagai dasar hukum adalah: hadits shohih, hadits hasan dan hadits dhoif. Hadits shohih dan hadits hasan dapat diterima sebagai dasar pengambilan hukum dan pedoman pelaksanaan ibadah, sedangkan hadits dhoif hanya dapat dijadikan sebagai pedoman pelaksanaan ibadah.
3.2 Kritik dan Saran Hendaklah dalam mengambil sumber hukum tidak hanya terpaku dalam satu sumber tetapi, sebaiknya mengambil dari sumber lainnya sepert hadits. Namun, dalam memilih hadits sebagai sumber hukum tidak bisa semua hadits dijadikan sumber hukum harus dilihat dari kualitas haditsnya.
31 Daftar Pustaka
Jawas, Yazid abdul Qadir. 1993. Kedudukan As-sunnah dalam Syariat Islam. Jakarta: Pustaka kautsar. Matsna, H. Moh. MA, Prof. Dr. 2008. Pendidikan Agama Islam Al-Quran Hadits. Semarang: PT. Karya Toha Putra. M. Abdurrahman dan Ellen Sumarna. 2011. Metode Kritik Hadits. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Thahhan, Mahmud. 2007. Intisari Ilmu Hadits. Malang: UIN-Malang Press. Rahman, Zufran, Drs. 1995. Kajian Sunnah Nabi saw sebagai Sumber Hukum Islam Jawaban Terhadap Aliran Ingkar Sunnah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. Hikmatiar, solehudin. Makalah Kedudukan Hadis sebagai Sumber Ajaran Islam. http://id.scribd.com/doc/129908373/Makalah-Kedudukan-Hadis-Sebagai-Sumber- Ajaran-Islam-PDF. 2013. Diakses pada sabtu 23 maret 2013.
Thohari, chamim. Sunnah sebagai sumber hukum islam kedua. http://bakulbuku.com/kumpulan-makalah-artikel/hukum/sunnah-sebagai- sumber-hukum-islam-kedua.pdf. Diakses pada sabtu 23 maret 2013