Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MAKALAH

“Hadist”

DOSEN:

Bpk. H. Suhada, S. Ag., M.Pd.I.

Anggota Kelompok:

Agam Sultan

Muhammad Lutfi Huzaifah

Muhammad Rafli Abi Sarwana

Syam Fadilah Permana

UNIVERSITAS RAHARJA

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA

2019
KATA PENGANTAR

Tidak ada kata yang pantas kami ucapkan selain Puji Syukur kepada Allah SWT yang
telah memberikan kami kesempatan untuk dapat menyelesaikan tugas mata kuliah “Agama”
yang berupa Makalah “Hadists”. Kami membuat makalah ini berdasarkan yang kami pelajari
dari berbagai sumber.

Sebagai hamba Allah yang tidak pernah luput dari kesalahan. Oleh karena itu diperlukan
kritik dan saran. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Tangerang, 10 Desember 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

JUDUL.............................................................................................................................i

KATA PENGANTAR....................................................................................................ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang.......................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah........................................................................................1
1.3 Tujuan..........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hadist...................................................................................................2


2.2 Bentuk-Bentuk Hadist............................................................................................7
2.3 Kedudukan Hadist Terhadap Al-Qur’an................................................................8
2.4 Fungsi Hadist Terhadap Al-Qur’an........................................................................9
2.5 Perbandingan Hadist Dengan Al-Qur’an..............................................................11

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................13
3.2 Penutup................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak
dapat diragukan lagi.Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur’an.“Hadits
atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada
Nabi SAW., baik berupa perketaan, perbuatan, atau taqrir-nya

.Hadits sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an, sejarah perjalanan hadits tidak
terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri.Akan tetepi, dalam beberapa hal terdapat
ciri-ciri tertentu yang spesifik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus”.

Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat Nabi, dan
hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat Nabi.Hal ini disebabkan, “Nabi pernah
melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau.tetapi Nabi juga pernah menyuruh para
sahabat untuk menulis hadits beliau.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian hadits?


2. Bagaimana bentuk-bentuk hadits ?
3. Bagaimana kedudukan hadits terhadap al-qur’an ?
4. Apakah fungsi hadits terhadap al-qur’an ?
5. Bagaimana perbandingan hadits dengan al-qur’an ?

1.3 Tujuan

1. Menjelaskan pengertian dari hadist


2. Menjelaskan bentuk-bentuk hadist
3. Menjelaskan kedudukan hadist terhadap al-qur’an
4. Menjelaskan fungsi hadist terhadap al-qur’an
5. Menjelaskan perbandingan hadist dengan al-qur’an

iv
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hadist

Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan
kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu
yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-
hadist.

Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan
pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu
sama lain agak berbeda. Ada yang mendefinisikan hadits, adalah : "Segala perkataan Nabi
SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya". Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk "hal
ihwal", ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah,
karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya. Ulama ahli hadits yang lain
merumuskan pengertian hadits dengan :

"Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun
sifatnya".

Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut :"Sesuatu yang
didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".

Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli hadits dalam
mendefinisikan hadits.Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah hadits dengan segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan.Sedangkan perbedaan
mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits.Ada ahli hadits yang
menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak
menyebut.Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai
komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke
dalam aqwal atau afal-nya.

v
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :

"Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara’ ".

Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat
persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada
Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan shabat atau tabi’in. Perbedaan
mereka terletak pada cakupan definisinya.Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang
disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan
taqrir.Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan Nabi saja
yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara’.

Selain Hadits, ada juga istilah yang mempunyai makna seperti Hadits, yakni :

1. As-Sunnah

Sunnah menurut bahasa berarti :"Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang buruk".
Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa (lughat)
bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai
sunnah, walaupun tidak baik.

Berkaitan dengan pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa, perhatikan sabda
Rasulullah SAW, sebagai berikut :

"Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala Sunnah itu
dan pahala orang lain yang mengerjakan hingga hari kiamat. Dan barang siapa mengerjakan
sesuatu sunnah yang buruk, maka atasnya dosa membuat sunnah buruk itu dan dosa orang yang
mengerjakannya hingga hari kiamat" (H.R. Al-Bukhary dan Muslim).

Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) ialah segala yang
dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir,
pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW.,
dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya. Menurut Fazlur Rahman, sunnah adalah
praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya
memperoleh status normatif dan menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, maka

vi
sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya
dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif dari masyarakat
tersebut.

Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum
syara’, maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini, ialah segala sesuatu yang diperintahkan,
dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berupa perkataan maupun perbuatannya.
Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka
yang dimaksudkannya adalah al-Qur’an dan Hadits.

Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan ulama terdapat perbedaan. Ada
ulama yang mengartikan sama dengan hadits, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada
yang memberi syarat-syarat tertentu, yang berbeda dengan istilah hadits. Ulama ahli hadits
merumuskan pengertian sunnah sebagai berikut :

"Segala yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi
pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul, seperti ketika
bersemedi di gua Hira maupun sesudahnya".

Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut sebagian ulama
sama dengan kata hadits. "Ulama yang mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, mereka
memandang diri Rasul SAW., sebagai uswatun hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang
paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum.Olah karena itu, mereka menerima dan
meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima tentang diri Rasul SAW., tanpa
membedakan apakah (yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syaraatau
tidak.Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan
atau perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya.

Ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah adalah "segala yang dinukilkan dari Nabi
Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut
pautnya dengan hukum". Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, makna inilah yang diberikan
kepada perkataan Sunnah dalam sabda Nabi, sebagai berikut :

vii
"Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu
berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya"

(H.R.Malik).

Perbedaan pengertian tersebut di atas, disebabkan karena ulama hadits memandang Nabi
SAW., sebagai manusia yang sempurna, yang dijadikan suri teladan bagi umat Islam,
sebagaimana firman Allah surat al-Ahzab ayat 21, sebagai berikut :

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu".

Ulama Hadits membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Muhammad
SAW., baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum syariat Islam maupun tidak.
Sedangkan Ulama Ushul Fiqh, memandang Nabi Muhammad SAW., sebagai Musyarri’, artinya
pembuat undang-undang wetgever di samping Allah. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-
Hasyr ayat 7 yang berbunyi:

"Apa yang diberikan oleh Rasul, maka ambillah atau kerjakanlah. Dan apa yang dilarang oleh
Rasul jauhilah".

Ulama Fiqh, memandang sunnah ialah "perbuatan yang dilakukan dalam agama, tetapi
tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Atau dengan kata lain sunnah adalah suatu amalan
yang diberi pahala apabila dikerjakan, dan tidak dituntut apabila ditinggalkan.

Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah menerangkan bahwa Sunnah
ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekan oleh Nabi secara kontinyu dan diikuti oleh para
sahabatnya; sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua
atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka
sendiri.

2. Khabar

Selain istilah Hadits dan Sunnah, terdapat istilah Khabar dan Atsar.Khabar menurut
lughat, yaitu berita yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang. Untuk itu dilihat dari
sudut pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa), kata Khabar sama artinya dengan Hadits.
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, yang dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa istilah hadits sama

viii
artinya dengan khabar, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu, mauquf, dan maqthu’.
Ulama lain, mengatakan bahwa kbabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW.,
sedang yang datang dari Nabi SAW. disebut Hadits.

Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar.Untuk keduanya
berlaku kaidah ‘umumun wa khushushun muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap hadits dapat dikatan
Khabar, tetapi tidak setiap Khabar dapat dikatakan Hadits.

Menurut istilah sumber ahli hadits; baik warta dari Nabi maupun warta dari sahabat,
ataupun warta dari tabi’in. Ada ulama yang berpendapat bahwa khabar digunakan buat segala
warta yang diterima dari yang selain Nabi SAW.

Dengan pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan hadits dinamai muhaddits, dan
orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary atau khabary. Ada juga ulama yang
mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar, begitu juga sebaliknya ada yang mengatakan
bahwa khabar lebih umum dari pada hadits, karena masuk ke dalam perkataan khabar, segala
yang diriwayatkan, baik dari Nabi maupun dari selainnya, sedangkan hadits khusus terhadap
yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja.

3. Atsar

Atsar menurut lughat ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti nukilan (yang
dinukilkan). Sesuatu do’a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do’a ma’tsur.
Sedangkan menurut istilah jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan hadits. Dari
pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama."Jumhur ahli hadits
mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
SAW., sahabat, dan tabi’in.Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang
mauquf dan khabar untuk yang marfu.

Jumhur ulama cenderung menggunakan istilah Khabar dan Atsar untuk segala sesuatu
yang disandarkan kepada NAbi SAW dan demikian juga kepada sahabat dan tabi’in.namun, para
Fuqaha’ khurasan membedakannya dengan mengkhususkan al-mawquf, yaitu berita yang
disandarkan kepada sahabat dengan sebutan Atsar dan al-marfu’, yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW dengan istilah Khabar.

ix
2.2 Bentuk-Bentuk Hadist

Sesuai pengertiannya dengan berdasarkan secara terminologi, Hadits ataupun Sunnah, dapat
dibagi menjadi tiga macam hadits :

1. Hadits Qauli

Hadits yang berupa perkataan (Qauliyah), contohnya sabda Nabi SAW :

"Orang mukmin dengan orang mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan, yang satu sama lain
saling menguatkan."

(HR. Muslim)

2. Hadits Fi’il,

Hadits yang berupa perbuatan (fi’liyah) mencakup perilaku Nabi SAW, seperti tata cara
shalat, puasa, haji, dsb. Berikut contoh haditsnya, Seorang sahabat berkata :

“Nabi SAW menyamakan (meluruskan) saf-saf kami ketika kami melakukan shalat. Apabila saf-
saf kami telah lurus, barulah Nabi SAW bertakbir.”

(HR. Muslim)

3. Hadits Taqriri

Hadits yang berupa penetapan (taqririyah) atau penilaian Nabi SAW terhadap apa yang
diucapkan atau dilakukan para sahabat yang perkataan atau perbuatan mereka tersebut diakui dan
dibenarkan oleh Nabi SAW.

Contohnya hadits berikut, seorang sahabat berkata ;

“Kami (Para sahabat) melakukan shalat dua rakaat sesudah terbenam matahari (sebelum shalat
maghrib), Rasulullah SAW terdiam ketika melihat apa yang kami lakukan, beliau tidak
menyuruh juga tidak melarang kami ”

(HR. Muslim)

x
2.3 Kedudukan Hadist Terhadap Al-Qur’an

Al-qur`an merupakan dasar syariat karena merupakan kalamullah yang mengandung


mu`jizat, yang diturunkan kepada Rasul SAW. Melalui malaikat Jibril mutawatir lafadznya baik
secara global maupun rinci, dianggap ibadah dengan membacanya dan tertulis di dalam lembaran
lembaran.

Dalam hukum islam, hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-qur`an .penetapan
hadits sebagai sumber kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu Al qur`an sendiri, kesepakatan
(ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Al qur`an menunjuk nabi sebagai orang yang
harus menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan Allah, karena itu apa yang disampaikan
Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai rasul harus diteladani kaum muslimin sejak
masa sahabat sampai hari ini telah bersepakat untuk menetapkan hukum berdasarkan sunnah
Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional. Keberlakuan hadits sebagai sumber
hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-qur`an hanya memberikan garis- garis besar
dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat
dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan hadits sebagai sumber kedua
secara logika dapat diterima.

Al-qur`an sebagai sumber pokok dan hadits sebagai sumber kedua mengisyaratkan
pelaksanaan dari kenyataan dari keyakinan terhadap Allah dan Rasul-Nya yang tertuang dalam
dua kalimat syahadat. Karena itu menggunakan hadits sebagai sumber ajaran merupakan suatu
keharusan bagi umat islam. Setiap muslim tidak bisa hanya menggunakan Al-qur`an, tetapi ia
juga harus percaya kepada hadits sebagai sumber kedua ajaran islam. Taat kepada Allah adalah
mengikuti perintah yang tercantum dalam Al-qur`an sedang taat kepada Rasul adalah mengikuti
sunnah-Nya, oleh karena itu, orang yang beriman harus merujukkan pandangan hidupnya pada
Al qur`an dan sunnah/hadits rasul. Alqur`an dan hadits merupakan rujukan yang pasti dan tetap
bagi segala macam perselisihan yang timbul di kalangan umat islam sehingga tidak melahirkan
pertentangan dan permusuhan. Apabila perselisihan telah dikembalikan kepada ayat dan hadits,
maka walaupun masih terdapat perbedaan dalam penafsirannya, umat islam seyogyanya
menghargai perbedaan tersebut.

xi
2.4 Fungsi Hadist Terhadap Al-Qur’an

Al-Quran menekankan bahwa Rasul SAW.berfungsi menjelaskan maksud firman-firman


Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama
beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.

Al-qur`an dan hadist merupakan dua sumber yang tidak bisa dipisahkan. Keterkaitan
keduanya tampak antara lain:

a) Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an. Di sini hadits berfungsi


memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran. Misalnya, Al-
quran menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya :

“Hai orang – orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang – orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” . (Q.S AL BAQARAH/2:183)

Dan hadits menguatkan kewajiban puasa tersebut.

Islam didirikan atas lima perkara :

“persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah , dan Muhammad adalah rasulullah, mendirikan
shalat , membayar zakat , puasa pada bulan ramadhan dan naik haji ke baitullah.” (H.R Bukhari
dan Muslim)

b) Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan Al qur`an yang masih bersifat global.
Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah shalat :

“Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat” (Q.S Al Baqarah /2:110) shalat dalam
ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya shalat yang wajib dan
sunat.sabda Rasulullah SAW:

Dari Thalhah bin Ubaidillah : bahwasannya telah datang seorang Arab Badui kepada Rasulullah
SAW. dan berkata : “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salat apa yang difardukan
untukku?” Rasul berkata : “Salat lima waktu, yang lainnya adalah sunnat” (HR.Bukhari dan
Muslim)

xii
Al-qur`an tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun
gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadits, misalnya sabda Rasulullah SAW:

“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)

c) Hadits membatasi kemutlakan ayat Al qur`an .Misalnya Al qur`an mensyariatkan wasiat:

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda maut dan dia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karib kerabatnya secara
makruf. Ini adalah kewajiban atas orang–orang yang bertakwa,” (Q.S Al Baqarah/2:180)

Hadits memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak melampaui
sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan). Hal ini disampaikan Rasul dalam hadist
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa`ad bin Abi Waqash yang bertanya kepada
Rasulullah tentang jumlah pemberian harta melalui wasiat. Rasulullah melarang memberikan
seluruhnya, atau setengah.Beliau menyetujui memberikan sepertiga dari jumlah harta yang
ditinggalkan.

d) Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al Qur`an yang bersifat umum.


Misalnya Al-qur`an mengharamkan memakan bangkai dan darah:

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas
nama selain Allah , yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan
binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang disembelih untuk berhala.
Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai kefasikan.
(Q.S Al Maidah /5:3)

Hadits memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis bangkai tertentu


(bangkai ikan dan belalang) dan darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana sabda Rasulullah
SAW:

Dari Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda:

”Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai adalah ikan dan
belalang dan dua darah adalah hati dan limpa.”(HR.Ahmad, Syafii`, Ibnu Majah ,Baihaqi dan
Daruqutni)

xiii
e) Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur`an. Al-qur`an bersifat
global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti .Dalam hal ini, hadits
berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-qur`an, misalnya hadits
dibawah ini:

Rasulullah melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang bercakar (HR.
Muslim dari Ibn Abbas)

‘Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi


Makanatiha wafi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah atau Hadits mempunyai fungsi yang
berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’.
Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi’i dalam Al-Risalah, ‘Abdul Halim menegaskan
bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan,
yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir. Yang
pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-
Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari
ayat-ayat Al-Quran.

2.5 Perbandingan Hadist Dengan Al-Qur’an

Hadits dalam islam merupakan sumber hukum kedua dan kedudukannya setingkat lebih
rendah daripada Al-quran. Al-quran adalah kalamullah yang diwahyukan Allah SWT lewat
malaikat Jibril secara lengkap berupa lafadz dan sanadnya sekaligus, sedangkan lafadz hadits
bukanlah dari Allah melainkan dari redaksi Nabi sendiri.Dari segi kekuatan dalilnya, Al-quran
adalah mutawatir yang qot’i, sedangkan hadits kebanyakannya khabar ahad yang hanya memiliki
dalil zhanni.Sekalipun ada hadits yang mencapai martabat mutawattir namun jumlahnya hanya
sedikit.

Membaca Al-Qur’an hukumnya adalah ibadah, dan sah membaca ayat-ayatnya di dalam
sholat, sementara tidak demikian halnya dengan hadits.Para sahabat mengumpulkan Al-quran
dalam mushaf dan menyampaikan kepada umat dengan keadaan aslinya, satu huruf pun tidak
berubah atau hilang. Dan mushaf itu terus terpelihara dengan sempurna dari masa ke
masa.Sedangkan hadits tidak demikian keadaannya, karena hadits qouli hanya sedikit yang
mutawatir.Kebanyakan hadits yang mutawatir mengenai amal praktek sehari-hari seperti

xiv
bilangan rakaat shalat dan tata caranya.Al-quran merupakan hukum dasar yang isinya pada
umumnya bersifat mujmal dan mutlak.Sedangkan hadits sebagai ketentuan-ketentuan
pelaksanaan (praktisnya).

Hadits juga ikut menciptakan suatu hukum baru yang belum terdapat dalam al-quran
seperti dalam hadits yang artinya : “Hadits dari Abi Hurairoh R.A dia berkata, Rasulullah SAW
bersabda “Tidaklah halal mengumpulkan antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara
bapa yang perempuan) dan tidak pula antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara ibu
yang perempuan). (H.R. Bukhari dan Muslim).

xv
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa:

Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan
kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu
yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-
hadist.

Hadits ataupun Sunnah, dapat dibagi menjadi tiga macam hadits yaitu Hadits Qauli.
Hadits Fi’il dan Hadits Taqriri.Sedangkan kedudukan hadits terhadap al-qur’an dalam hukum
islam hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-qur`an .penetapan hadits sebagai sumber
kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu Al qur`an sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika
akal sehat (ma`qul).

3.2 Penutup

Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah
pengetahuan. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat
yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas. Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput
dari kesalahan. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.

xvi
DAFTAR PUSTAKA

http://mnhmotivator.blogspot.com/2011/06/fungsi-hadist-terhadap-al-quran_05.html

http://duniapendidikan33.blogspot.com/2015/12/makalah-tentang-hadits.html

xvii

Anda mungkin juga menyukai