Anda di halaman 1dari 20

HADITS, SUNNAH, KHABAR DAN ATSAR

Mata Kuliah : Ulumul Hadist


Dosen Pengampu : Basirun, S.Pd.I, M.Pd

Disusun Oleh :
1. Diah Fadila
2. Zaki Ahmad Fanani

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI ) AL-MAARIF


KALIREJO KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobil'alamin, puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas


segala limpah Rahmat dan Hidayah-Nya, sehinga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini yang berjudul “Ulumul Hadist“, Shalawat dan salam tak lupa
kita sanjung agungkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-
sahabatnya yang telah memperjuangkan Agama Islam hingga sampai kepada kita.
Oleh karena itu dengan segala hormat kami sampaikan rasa terima kasih yang
sedalam – dalamnya kepada :
1. Orang tua yang selalu mendukung proses pembelajaran
2. Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’arif (STAIM) Kalirejo Bapak
Sungkowo S.Ag , M.Pd.I.
3. Dosen Pengampu yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan
makalah ini, Bapak Basirun, S.Pd.I, M.Pd
4. Teman – teman dan seluruh pihak yang ikut berpartisipasi dalam penyelesaian
makalah.
Dan dalam penyusunan makalah ini kami sadar masih banyak kekurangan dan
kekeliruan, maka dari itu kami mengharapkan kritikan positif, sehingga bisa menjadi
lebih baik dikemudian hari. Dan pada akhirnya semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca,
"Aamin Yaa Robbal’Alamin.

Sendangagung, 17 Maret 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada hakekatnya umat Islam di dunia ini sama dengan umat agama
lain. Kesamaan yang dimaksud dalam hal ini adalah sama-sama memiliki
kitab sebagai pedomannya. Jika umat kristen memiliki kitab Injil sebagai
pedomannya, umat Hindu memiliki kitab Trimurti, dan umat Budha yang
memiliki kitab Weda sebagai pegangan hidupnya maka umat islam memilki
Kitab Al-Qur’an Al-Karim sebagai pedoman hidupnya. Kitab Al-Qur’an ini
adalah mukjizat yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW
yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kebenaran, ketetapan yang mutlak
mengenai agama islam. Namun ada pembahasan yang terdapat dalam Al-
qur’an yang masih bersifat global.Oleh karena itu Munculah Al-Hadits yang
fungsinya menyempurnakan dan menjelaskan kitab-kitab terdahulu seperti
kitab Taurat, Zabur, Injil dan termasuk juga Al-Qur’an.

Akan tetapi banyak orang tanpa terkecuali para ulama yang


memperdebatkan antara Al-Hadits yang identik dengan As-Sunnah.Apakah
kedua hal itu sama maksudnya? Tetapi hanya berbeda istilah dan cara orang
menafsirkannya? Ataukah antara As-sunnah dan Al-Hadits, keduanya benar-
benar memiliki maksud dan pengertian yang berbeda?

Oleh karena hal itu kami akan coba memaparkan dan memberikan
penjelasan tentang apa itu yang dimaksud dengan Al-Hadist, As-Sunnah,
Khabar, Atsar dan hal-hal yang berkaitan dengan As-Sunnah ditinjau dari segi
makna maupun secara strukturnya.

Namun pembahasan mengenai Al-Hadits pada makalah ini janganlah


para pembaca menjadikan makalah ini sebagai acuan yang mutlak dan pasti
akan kebenarannya ini. tentunya kami mempunyai kekurangan dalam
menyajikan pembahasan ini. Semoga makalah ini bermanfaat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari Hadist, Sunnah, Khabar, dan Atsar?

2. Apa kriteria dari Al-Hadist?

3. Apa kedudukan dan fungsi dari Al-Hadist?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari Hadist, Sunnah, Khabar, dan Atsar?

2. Untuk mengetahui kriteria dari Al-Hadist?

3. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi dari Al-Hadist?


BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HADITS, SUNNAH, KHABAR DAN ATSAR

1. Definisi Al-Hadits

Dalam kamus besar bahasa Arab [al-‘ashri], Kata Al-Hadits berasal dari
bahasa Arab “al-hadist” yang berarti baru, berita. Ditinjau dari segi bahasa, kata
ini memiliki banyak arti, dintaranya:

a) al-jadid (yang baru), lawan dari al-Qadim (yang lama)

b) Dekat (Qarib), tidak lama lagi terjadi, lawan dari jauh (ba’id)

c) Warta berita (khabar), sesuatu yang dipercayakan dan dipindahkan dari


sesorang kepada orang lain.[1]

Allah juga menggunakan kata hadits dengan arti khabar sebagaimana tersebut
dalam firman-Nya:

Artinya: “Maka hendaklah mereka mendatangkan suatu kabar (kalimat) yang


semisal Al-Qur’an itu, jika mereka orang-orang yang benar” (QS. At-Thur: 34).
[2]

Secara terminologis, hadits ini dirumuskan dalam pengertian yang berbeda-


beda diantara para muhadditsin dan ahli ushul.mereka berbeda-beda pendapatnya
dalam menta’rifkan Al-hadits. Perbedaan tersebut disebabkan karena terpengaruh
oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing, yang tentu
saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya.[3] Ibnu
Manzhur berpendapat bahwa kata ini berasal dari kata Al-Hadits, jamaknya: Al-
Ahadits, Al-Haditsan dan Al-Hudtsan. Ada juga sebagian Ulama yang
menyatakan, bahwa ahadits bukan jamak dari haditsyang bermakna khobar, tetapi
meruppakan isim jamak.Mufrad ahadits yang sebenarnya, adalah uhdutsah, yang
bermakna suatu berita yang dibahas dan sampai dari seseorang ke seseorang.
(Hasbi Ashidiqi, sejarah pengantar ilmu hadits : 2)

Menurut istilah ahli ushul fiqih, pengertian hadits ialah:

‫ون‬JJ‫له ان يك‬JJ‫ا يص‬JJ‫ر مم‬JJ‫ل اوتقري‬JJ‫كل ماصدر عن النبي صلى هللا عليه وسلم غيرالقرأن الكريم من قول او فع‬
‫دليال لحكم شرع‬

“Hadits yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW selain Al-
Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Nabi yang
bersangkut paut dengan dengan hukum syara”.

Sedangkan Ulama Hadits mendefinisikan Hadits sebagai berikut:

‫كل ما أثرعن النبي صلى هللا عليه وسلم من قول او فعل اوتقرير اوصفة خلقية او خلقية‬

“Segala sesuatu yang diberikan dari Nabi SAW baik berupa sabda, perbuatan,
taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi”.[4]

Yang dimaksud dengan “hal ihwal” ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi
SAW yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran dan
kebiasaan-kebiasaan.

Kedua hadits tersebut di atas menyatakan bahwa unsur Hadits itu terdiri dari
tiga unsur yang ketiga unsur ini hanya bersumber dari Nabi Muhammad, ketiga
unsur itu adalah:

a) Perkataan. Yang dimaksud dengan perkataan Nabi Muhammad ialah sesuatu


yang pernah dikatakan oleh beliau dalam berbagai bidang.
b) Perbuatan. Perkataan Nabi merupakan suatu cara yang praktis dalam
menjelaskan peraturan atau hukum syara’. Contohnya cara Sholat.

c) Taqrir. Arti taqrir adalah keadaan beliau mendiamkam, tidak menyanggah


atau menyetujui apa yang dilakukan para sahabat.

Sementara kalangan ulama ada yang menyatakan bahwa apa yang dikatakan
hadits itu bukan hanya yang berasal dari Nabi SAW, namun yang berasal dari
sahabat dan tabi’in disebut juga hadits. Sebagai buktinya, telah dikenal adanya
istilah hadits marfu’, yaitu hadits yang dinisbahkan kepada Nabi SAW, hadits
mauquf, yaitu hadits yang dinisbahkan pada shahabat dan hadits maqtu’ yaitu
hadits yang dinisbahkan kepada tabi’in.Jumhur Al-Muhadditsin berpendapat
bahwa pengertian hadits merupakan pengertian yang terbatas sebagai berikut:
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik berupa
perkataan, perbuatan, penyataan (taqrir) dan sebagainya”

Sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Mahfuzh Al-Tirmizi, yaitu:

‫حابى‬J‫يف الى الص‬J‫ا أض‬J‫و م‬J‫وف وه‬J‫اء بلموق‬J‫ل ج‬J‫لم ب‬J‫ه وس‬J‫لى هللا علي‬J‫أن الحديث اليحتث بالمرفوع اليه ص‬
‫والمقطوع وهو ما أضيف للتبعي‬

Artinya: “Bahwasanya hadits itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’
yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, melainkan bisa juga untuk
sesuatu yang mauquf,yang disandarkan kepada sahabat dn yang maqtu, yaitu yang
disandarkan kepada tabi’in” Munzier Suparta (2001:3)

Berdasarkan pengertian hadits diatas maka kami menyimpulkan bahwa hadits


adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik ucapan, perbuatan
maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan
Allah yang disyariatkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa dikatakan hadits
karena ahli ushul membedakan diri Nabi Muhammad dengan manusia biasa.
Yang dikatakan hadits adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran
Allah yang diemban oleh Muhammad SAW sebagai Rasulullah. Ini pun, menurut
mereka harus berupa ucapan, perbuatan dan ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-
kebiasaan, tata cara berpakaian dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan
sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadits. Dengan demikian,
pengertian hadits menurut ahli ushul lebih sempit dibanding dengan hadits
menurut ahli hadits.[5] Disamping itu, ada beberapa kata yang bersinonim
(muradif) dengan kata hadits seperti: sunnah, khabar, dan atsar.

2. Definisi As-Sunnah

Menurut bahasa sunnah berarti

‫الطريقة محمودة كانت اومذمونة‬

“Jalan yang terpuji atau tercela”.[6]

Firman Allah s.w.t

“Dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah”.

Adapun menurut istilah, ta’rif Sunnah antara lain sebagaimana


dikemukakan oleh Muhammad ajaj al-khathib:

‫م من قول اوفعل اوتقريراوصفةخلقية‬.‫ما أثر عن النبى ص‬

Artinya: “Segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik sebelum Nabi
diangkat jadi rasul atau sesudahnya”.

Sabda Nabi SAW,

‫لتتبعن سنن من قبلكم شبرا بشبرودراعابدراع حتى لودخلواحجرالضب لدخلتموه‬

Artinya:”sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan-perjalan)


orang yang sebelummu” sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.
Sehingga sekiranya mereka memasuki seorang dan (berupa biawak) sungguh
kamu memasuki juga”.[7](HR. Muslim)

Menurut istilah as-sunnah adalah pensarah Al-Qur’an, karena Rasulullah


bertugas menyampaikan Al-Qur’an dan menjelaskan pengertiannya. Maka As-
asunnah menerangkan ma’na Al-Qur’an, adalah dengan cara:

a) Menerangkan apa yang dimaksud dari ayat-ayat mudjmal, seperti


menerangkan waktu-waktu sembayang, bilangan raka’at, kaifiyat ruku’,
kaifiyat sujud, kadar-kadar zakat, waktu-waktu memberikan zakat, macam-
macamnya dan cara-cara mengerjakan haji. Karena inilah Rasulullah s.a.w.
bersabda:

Artinya “ambillah olehmu dariku perbuatan-perbuatan yang dikerjakan


dalam ibadah haji”.

b) Menerangkan hukum-hukum yang tidak ada didalam Al-Qur’an seperti


mengharamkan kita menikahi seseorang wanita bersamaan dengan menikahi
saudaranya ayahnya, atau saudara ibunya, seperti mengharamkan kita makan
binatang-binatang yang bertaring.

c) Menerangkan ma’na lafad, seperti mentafsirkan al maghdlubi ‘alaihim dengan


orang yahudi dan mantafsirkan adldlallin, dengan orang nasroni.[8]

3. Khabar

Secara etimologis khabar berasal dari kata :khabar, yang berarti


‘berita’.Adapun secara terminologis, para ulama Hadits tidak sepakat dalam
menyikapi lafadz tersebut.sebagaimana mereka berpendapat adalah sinonim dari
kata hadits dan sebagian lagi tidak demikian.Karena Khabar adalah berita, baik
berita dari Nabi SAW, maupun dari sahabat atau berita dari tabi’in.[9]
Sementara Khabar menurut ahli Hadits, yaitu : “Segala sesuatu yang
disandarkan atau berasal dari Nabi SAW atau dari yang selain Nabi SAW”. [10]

Ulama lain mengatakan Khabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi
SAW, sedang yang datang dari Nabi SAW disebut Hadits. Ada juga ynag
mengatakan bahwa Hadits lebih umum dan lebih luas daripada Khabar, sehingga
tiap Hadits dapat dikatakan Khabar, tetapi tidak setiap Khabar dikatakan Hadits.
[11]Karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa Khabar itu menyangkut
segala sesuatu yang datang dari selain Nabi SAW. Sedangkan Hadits khusus
untuk segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW.[12]

4. Atsar

Atsar dari segi bahasa artinya bekas sesuatu atau sisa. Sesuatu dan berarti pula
nukilan (yang dinukilkan). Karena doa yang dinukilkan / berasal dari Nabi SAW.
Dinamkan doa maksur.[13]

Sedangkan atsar menurut istilah terjadi perbedaan pendapat diantara pendapat


para ulama. Sedangkan menurut istilah:

‫ماروي عن الصحابة ويحوزاطالقه على كالم النبى ايضا‬

Artinya: “yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat danboleh juga
disandarkan pada perkataan Nabi SAW”.[14]Jumhur ulama mengatakan bahwa
atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW,
sahabat dan tabi’in. sedangkan menurut ulama Khurasan bahwa atsar untuk yang
mauquf dan khabar untuk yang marfu’. (Mudasir : 1999: 32).

5. Analisis Perbedaan Hadits dengan Sunnah, Khabar dan Atsar

Dari keempat istilah, yaitu hadits, sunnah, khabar dan atsar, menurut jumhur
ulama hadits dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadits
disebut juga dengan sunnah, khabar dan atsar. Begitu pula halnya sunnah, dapat
disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka hadits mutawatir dapat juga disebut
dengan sunnah mutawatir atau khabar mutawatir. Begitu juga hadits shahih dapat
disebut dengan sunnah shahih, khabar shahih dan astar shahih. Dari keempat tema
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tema tersebut sangat berguna sebagai
ilmu tambahan bagi masyarakat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
dan menentukan kulitas dan kuwantitas Hadits, sunnah, Khabar dan Atsar.[15]

Para ulama juga membedakan antara hadits, sunnah, khabar dan atsar sebagai
berikut:

a) Hadits dan sunnah: hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, takrir yang
bersumber pada Nabi SAW, sedangkan sunnah segala yang bersumber dari
Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, tabiat, budi pekerti atau
perjalanan hidupnya, baik sebelum di angkat menjadi rasulmaupun
sesudahnya.

b) Hadits dan khabar: sebagian ulama hadits berpendapat bahwa khabar sebagai
suatu yang berasal atau disandarkan kepada selain nabi SAW., hadits sebagai
sesuatu yang berasal atau disandarkan pada Nabi SAW.

c) Hadits dan atsar: jumhur ulama berpendapat bahwa atsar sama artinya dengan
khabar dan hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa atsar sama
dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW, sahabat dan
tabiin.[16]

B. KRITERIA AL-HADITS

1. Sanad

Kata “Sanad” menurut bahasa adalah “sandaran” atau sesuatu yang akan
dijadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena hadist bersandar kepadanya.
Sedangkan menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin
Jama’ah dan Al-Thiby mengatakan bahwa : “Berita tentang jalan matan”.

Ada juga yang menyebutkan :“Silsilah para perawi yang menukilkan hadist
dari sumbernya yang pertama”.[17]

Sedangkan menurut Ahli Hadist: “Jalan yang menyampaikan kepada matan


hadits.[18]

Yang berkaitan dengan istilah sanad,terdapat kata-kata seperti, al-isnad, al-


musnid dan al-musnad. Kata-kata ini secara terminologis mempunyai arti yang
cukup luas, sebagaimana yang dikembangkan oleh para ulama.

Kata al-isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal)


dan mengangkat. Yang dimaksud disini ialah menyandarkan hadits kepada orang
yang mengatakannya (raf’u hadits ila qa ‘ilih atau ‘azwu hadits ila qa’ilih).
Menurut At-thiby, “Kata al-isnad dan al-sanad digunakan oleh para ahli dengan
pengertian yang sama”.Kata al-musnad mempunyai beberapa arti, bisa berarti
hadits yang disandarkan atau diisnadkan oleh seseorang, bisa berarti nama suatu
kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan system penyusunan berdasarkan
nama-nama para sahabat, perawi hadits, seperti kitab Musnad Ahmad, bisa juga
berarti nama bagi hadits yang marfu’ dan muttashil.

2. Matan

Kata “matan” atau “al-matn” menurut bahasa berarti Mairtafa’a min al-ardi
(tanah yang meninggi). Sedangkan menurut istilah ahli hadits adalah : “Perkataan
yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nai SAW. Yang disebutkan
sanadnya”.[19]

3. Rawi ( periwayat)
Kata “rawi” atau “al-rawi” berarti orang yang meriwayatkan atau
memberitakan hadits (naqil al-hadits). Sebenarnya antara sanad dan rawi itu
merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadits pada tiap-
tiap tabaqahnya juga disebut rawi, jika yang dimaksud rawi adalah orang yang
meriwayatkan dan memindahkan hadits. Akan tetapi yang membedakan antara
sanad dan rawi adalah terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadits. Orang
yang menerima hadits dan kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin,
disebut dengan perawi. Dengan demikian, maka perawi dapat disebut mudawwin
(Orang yang membukan dan menghimpn hadits).

Dari berbagai pengertian tentang sanad, matan dan rawi dengan berbagai
urgensi yang berbeda-beda yang menunjukan begitu indah perbedaan pemikiran yang
menghiasi pengertian tentang sanad, matan dan rawi. Dengan ini kami menyimpulkan
bahwa yang dimaksud sanad adalah orang-orang yang meriwayatkan hadits atau yang
menyampaikan hadits pada matan. Matan adalah isi, materi atau lafadz hadits itu
sendiri sedangkan rawi adalah orang yang menghimpun dan membukukan hadits.[20]

C. KEDUDUKAN DAN FUNGSI AL- HADITS

Hadits Nabi SAW. Merupakan penafsiran Al-Qur’an dalam praktek atau


penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Demikian ini mengingat bahwa
pribadi Rasulullah merupakan perwujudan dari Al-Qur’an yang ditafsirkan untuk
manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an, sedikitnya mempunya tiga fungsi


pokok yaitu:

1. Memperkuat dan menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-


Qur’an (sebagai bayan taqrir).
2. Memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih bersifat mujmal dan
bersifat mutlak (bayan tafsir). Penjelasan (penafsiran) Rasulullah terhadap ayat-
ayat yang demikian, dapat berupa:

a) Menafsirkan kemujmalannya seperti pemerintah mengerjakan salat,


membayar zakat, dan menunaikan haji.

b) Menaqyidkan (memberikan persyaratan), misalnya ketentuan tentang anak-


anak dapat memusakai harta orang tuanya dan keluarganya didalam Al-
Qur’an dilukiskan secara umum.

c) Memberikan kekhususan (bayan takhsis), ayat yang masih bersifat umum,


misalnya tentang keharaman bangkai dan darah.

3. Menetapkan hukum aturan-aturan yang tidak didapati( diterangkan di dalam Al-


Qur’an), misalnya dalam masalah perkawinan (nikah).[21]

Adapun fungsi perbandingan hadits dengan Al-Qur’an, Sunnah atau hadits


dalam Islam merupakan sumber hukum kedua dan kedudukannya setingkat lebih
rendah dari pada Al-Qur’an.Al-Qur’an adalah kalamullah yang diwahyukan Allah
lewat Malaikat Jibril secara lengkap berupa lafaz dan sanadnya sekaligus, sedangkan
lafaz hadits bukanlah dari Allah melainkan dari Nabi sendiri.Dari segi kekuatan
dalalah-nya, Al-Qur’an adalah mutawatir yang Qat’i sedangkan hadits
kebanyakannya khabar ahad yang hanya memiliki dalalah Danni. Sekalipun ada
hadits yang mencapai martabat mutawatir namun jumlahnya hanya sedikit.Para
sahabat mengumpulkan Al-Qur’an dalam mushaf dan menyampaikan kepada umat
dengan keadaan aslinya, satu huruf pun tidak berubah atau hilang. Dan mushaf itu
terus terpelihara dengan sempurna dari masa ke masa.

Sedangkan hadits tidak demikan keadaannya, karena hadits Qauli hanya


sedikit yang mutawatir. Kebayakan hadits yang mutawatir mengenai amal prakter
sehari-hari seperti bilangan rakaat salat dan tatacaranya.Al-Qur’an merupakan hukum
dasar yang isinya pada umumnya bersifat mujmal dan mutlak. Sedangkan hadits
sebagai ketentuan-ketentuan pelaksanaan (praktisnya).[22]
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1 Definisi Al-Hadits, As-Sunnah, Khabar, Atsar:

a) Al-Hadist, Dalam kamus besar bahasa Arab [al-‘ashri], Kata Al-Hadits


berasal dari bahasa Arab “al-hadist” yang berarti baru, berita. Ditinjau
dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti, dintaranya:1) al-jadid
(yang baru), lawan dari al-Qadim (yang lama), 2) dekat (Qarib), tidak
lama lagi terjadi, lawan dari jauh (ba’id), 3) warta berita (khabar), sesuatu
yang dipercayakan dan dipindahkan dari sesorang kepada orang lain.
Disamping itu, ada beberapa kata yang bersinonim (muradif) dengan kata
hadits seperti: sunnah, khabar, dan atsar.

b) Definisi As-Sunnah, Menurut bahasa sunnah berarti

‫“ الطريقة محمودة كانت اومذمونة‬Jalan yang terpuji atau tercela”.

c) Khabar, Secara etimologis khabar berasal dari kata :khabar, yang berarti
‘berita’.Adapun secara terminologis, para ulama Hadits tidak sepakat
dalam menyikapi lafadz tersebut.sebagaimana mereka berpendapat adalah
sinonim dari kata hadits dan sebagian lagi tidak demikian. Karena Khabar
adalah berita, baik berita dari Nabi SAW, maupun dari sahabat atau berita
dari tabi’in.

d) Atsar, dari segi bahasa artinya bekas sesuatu atau sisa. Sesuatu dan berarti
pula nukilan (yang dinukilkan). Karena doa yang dinukilkan / berasal dari
Nabi SAW. Dinamakan doa maksur.
2 Kriteria al-haditsAdapun kriteria hadits dibagi menjadi tiga yaitu: sanat,
matan, rawi.

3 Kedudukan dan fungsi al- hadits Hadits Nabi SAW. Merupakan penafsiran
Al-Qur’an dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal.
Demikian ini mengingat bahwa pribadi Rasulullah merupakan perwujudan
dari Al-Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang
dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an, sedikitnya mempunya


tiga fungsi pokok yaitu:

a) Memperkuat dan menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan oleh


Al-Qur’an (sebagai bayan taqrir).

b) Memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih bersifat mujmal


dan bersifat mutlak (bayan tafsir).

c) Menetapkan hukum aturan-aturan yang tidak didapati( diterangkan di


dalam Al-Qur’an), misalnya dalam masalah perkawinan (nikah).

B. Saran
Semoga makalah ini bisa menjadi khazanah pengetahuan bagi
pembaca dan penullis, dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kampus
bisa digunakan sebagai mana mestinya
DAFTAR PUSTAKA

Ichwan, Mohammad Nor, 2007. Studi Ilmu Hadis. Semarang; RaSAIL Media
Grup.
Khon, Abdul Majid, 2009. Ulumul Hadis. Jakarta; KDT
Solahuddin, M. Agus, 2008. Ulumul Hadis. Bandung; Pustaka Setia
Diktat Mata Kuliah Ulumul Hadist STAIL Hidayatullah Surabaya 2007.
http//:www.perbedaan-antara-sunnah-dengan-hadits.html   
Diktat Mata Kuliah Ulumul Hadist STAIL Hidayatullah Surabaya 2007
Abdul Maid Khon, Ulumul Qur’an, hal. 11
Mahmud Yunus, Ilmu Mushthalah al-Hadits, Jakarta: Sa’diyah Putra, t.th., h. 21.
Https://Www.Academia.Edu/7350270/Hadits_Dan_Kedudukannya_Dalam_Syariat_Islam,
dikutip pada tanggal 25 November 2014
A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, Bandung : Diponogoro, 2007
Mudasir,ilmu hadis,(Bandung.CV Pustaka Setia)
Munzier Saputra,Ilmu Hadis,(Jakarta:PT RajaGrafindo,2002)
Abuddin Nata,AL-qur`an dan Hadis,(Jakarta:PT RajaGrafindo,2000)
Utang Ranuwijaya,Ilmu Hadis,( Jakarta: Gaya Media Pratama,1996)
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,(Jakarta:Bulan Bintang).
Edi Syafri,Al-Imam Syafi’I : Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB
Press, 1999)
Muhammad ma’shum Zein, H. Drs, Ulumul Hdits dan Mustholah hadits, Darul-Hikmah,
Jlopo Tebel Bareng Jombang Jatim, cet.1, 2008.

Anda mungkin juga menyukai