Anda di halaman 1dari 13

ISTISHAB

Mata Kuliah: Ushul fiqih


Dosen Pengampu: Drs. Zulqurnain

Disusun oleh :
1.Dimas ardiansah
2.Dimas aji saputra

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI ) AL-MA’ARIF


KALIREJO KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
TAHUN AKADEMIK 2021/2022

i
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala
limpah Rahmat dan Hidayah-Nya, sehinga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini yang berjudul “ISTISHAB’’
Shalawat dan salam tak lupa kita panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan sahabat- sahabatnya yang telah memperjuangkan Agama
Islam hingga sampai kepada kita.
Adapun sesudah itu kami menyadari bahwa mulai perencanaan sampai
penyusunan makalah ini kami telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu dengan segala hormat kami sampaikan rasa terima kasih yang
sedalam – dalamnya kepada :
1. Orang tua yang selalu mendukung proses pembelajaran
2. Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’arif (STAIM) Kalirejo Bapak
Sungkowo S.Ag. M, Pd.I.
3. Dosen Pengampu yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan
makalah ini Bapak Drs. Zulqurnain
4. teman– teman dan seluruh pihak yang ikut berpartisipasi dalam penyelesaian
makalah.
Dan dalam penyusunan makalah ini kami sadar masih banyak kekurangan
dan kekeliruan, maka dari itu kami mengharapkan kritikan positif, sehingga bisa
di perbaiki seperlunya.
Akhirnya semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam Aamin Yaa Robbal’Alami.
Kalirejo,24 november 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................................................1
B. Rumusan masalah.....................................................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan..................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................2
A. Pengertian istishab....................................................................................................................2
B. Syarat-syarat istishab................................................................................................................3
C. Macam-macam istishab............................................................................................................3
D. Contoh istishab.........................................................................................................................5
E. Dasar hukum istishab...............................................................................................................6
F. Kehujjahan istishab..................................................................................................................6
G. Implikasi dan kaedah-kaedahnya.............................................................................................8
H. Relevansi Istishab dengan UU Positif terhadap Perkembangan Masyarakat  Zaman
Sekarang...................................................................................................................................8

BAB III PENUTUP.....................................................................................................................9


A. Kesimpulan...............................................................................................................................9
B. Saran.........................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang disepakati dan
hukum yang tidak disepakati.Seperti yang kita ketahui bahwa hukum yang kita sepakati
tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada 7 hukum
Islam yang tidak disepakati dan salah satu diantaranya akan menjadi pokok pembahasan
pada makalah ini yaitu Istishab.

            Dalam peristilaan ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan
yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia
diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap
berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Istishab ?
2. Apa saja Syarat-syarat Istishab ?
3. Apa saja Macam- Macam Istishab ?

C. Tujuan pembahasan
1. Mengetahui pengertian istishab
2. Mengetahui syarat-syarat istishab
3. Mengetahui apa saja macam-macam istihab

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian istishab

Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba((‫حب‬FF‫استص‬dalam


shigat is-tif’âl (‫)استفعال‬, yang berarti: ‫استمرار الصحبة‬. Kalau kata ‫الصحبة‬diartikan “sahabat”
atau “teman”, dan ‫تمرار‬FF‫ اس‬ diartikan “selalu” atau “terus-menerus”, maka istishab itu
secara lughawi artinya adalah: “selalu menemani” atau “selalu menyertai”.
            Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan oleh para ulama, di antaranya ialah:1
1.      Imam Isnawi
            Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah
ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum
tersebut.
2.      Ibn al-Qayyim al-Jauziyah
            Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan
meniadakan apa yang sebelumnya tiada.
3.      Abdul-Karim Zaidan
            Istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula
selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.
            Istishab juga dapat berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di
masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang selama tidat terdapat yang mengubahnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum
yang telah ada sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut.

1
https://gapurakampus.blogspot.com/2017/11/makalah-istishab.html?m=1

2
B. Syarat-syarat Istishab
1. Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa hak-
hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya
terdahulu.
2. Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak saja dan
tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi tidak
untuk mentsabitkan.

C. Macam- Macam Istishab

Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa istishab ada 5 macam yang sebagian
disepakati dan sebagian lain diperselisihkan. Kelima macam Istishab itu adalah :

1. Istishab hukum Al- Ibahah Al- Asliyyah

Maksudnya menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah


boleh selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya.Misalnya seluruh
pepohonan di hutan adalah merupakan milik bersama umat manusia dan masing-
masing orang berhak menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada
bukti yang menunjukkan bahwa hutan tersebut telah menjadi milik
sesorang.Berdasarkan ketetapan perintah ini, maka hukum kebolehan memanfaatkan
hutan tersebut berubah menjadi tidak boleh.Istishab seperti ini menurut para ahli
ushul fiqih dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.

2. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.

Misalnya hukum wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap berlangsung


terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya.Apabila seseorang merasa ragu
apakah wudhunya masih ada atau sudah batal, maka berdasarkan Istishab wudhuya
dianggap masih ada karena keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan. Hal ini
sejalan dengan Sabda Rasul “ Jika seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu
ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali- kali janganlah ia
keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau
mencium bau kentut. (HR. Muslim dan Abu Hurairah).

3
Istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih.Inu
Qayyim al- Jauziyyah berpendapat bahwa Istishab seperti ini dapat dijadikan hujjah.

Ulama’ Hanafiyah berpendirian bahwa pendapat seperti ini hanya bisa dijadikan
hujjah untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa
dijadikan hujjah untuk hukum yang belum ada.

Imam Ghazali menyatakan bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah apabila
didukung oleh nash atau dalil, dan dalil itu menunjukkan bahwa hukum itu masih
tetap berlaku dan tidak ada dalil yan laing yang membatalkannya.

Sedangkan Ulama Malikiah menolak istishab sebagai hujjah dalam beberapa


kasus, seperti kasus orang yang ragu terhadap keutuhan wudhunya. Menurut mereka
dalam kasus seperti ini istishab tidak berlaku, karena apabila sesorang merasa regu
atas keutuhan wudhunya sedangkan sedangkan di dalam keadaan shalat, maka
shalatnya batal dan ia harus berwudhu kembali dan mengulangi shalatnya.

3. Istishab terdapat dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil


yangmengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil nasakh(yang
membatalkannya).

Contoh istishab dengan nash selama tidak ada yang menasakhkannya. Kewajiban


berpuasa di bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam tetap wajib bagi
umat Islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak ada nash lain yang
membatalkannya. Kasus seperti ini menurut Jumhur ulama’ ushul fiqih termasuk
istishab.Tetapi menurut ulama ushul fiqih lainnya, contoh di atas tidak dinamakan
istishab tetapi berdalil berdasarkan kaidah bahasa.

4. Istishab hukum akal sampai adanya hukum syar’i.

Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukum syar’i sebelum datangnya


syara’. Seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat
manusia,sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya seseorang
menggugat orang lain bahwa ia berhutang kepadanya sejumlah uang, maka penggugat
berkewajiban untuk  mengemukakan bukti atas tuduhannya, apabila tidaksanggup,
maka tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada

4
penggugat. Istishab seperti ini diperselisihkan menurut ulama Hanafiyah, istishab
dalam bentuk ini hanya bisa menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa
menetapkan hukum yang akan datang.

Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syati’iyah, dan Hanabilah, istishab seperti


ini juga dapat menetapkan hukum syar’i, baik untuk menegaskan hukum yang telah
ada maupun hukum yang akan datang.

5. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’


itudiperselisihkan.

Istishab sepeti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujahannya.Misalnya para


ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang
boleh bertayamum untuk mengerjakan shalat. Tetapi dalam keadaan shalat, ia melihat
ada air, apakah shalat harus dibatalkan ?

Menurut ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh


membatalkan shalatnya, karena adanya ijma’ yang mengatakan bahwa shalatnya sah
apabila sebelum melihat air. Mereka mengaggap hukum ijma’ tetap berlaku sampai
adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya kemudian
berwudhu dan mengulangi shalatnya.

Ulama Hanabilah dan Hanafiyyah mengatakan orang yang melakukan shalat


dengan tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya untuk
berwudhu. Mereka tidak menerima ijma’, karena ijma’ menurut mereka hanya terkait
dengan hukum sah nya shalat bagi orang dalam keadaan tidak adanya air, bukan
keadaan tersedianya air.2

D. Contoh Istishab

Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka


berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama
berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin

2
https://www.pa-cianjur.go.id/artikel/881-istishab-sebagai-metodologi-ijtihad.html

5
dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan
hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum
yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang
ditetapkan dengan istishab.

E. Dasar Hukum Istishab

Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya
istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada
hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah
ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan. Pernyataan ini
sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang
berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh di atas.
Seandainya si B boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan
C atau terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan
antara yang halal dengan yang haram.

F. Kehujjahan Istishab

Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan isthishab ketika tidak
ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi :

1. Ulama Hanafiyah : menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk
menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda
(kebalikan) dengan penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum
yang baru. Dengan kata lain isthishab itu adalah menjadi hujjah untuk menetapkan
berlakunya hukum yang telah ada dan menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari
ketetapan yang berlawanan dengan ketetapan yang sudah ada, bukan sebagai hujjah
untuk menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya.
2. Ulama mutakallimin (ahli kalam) : bahwa istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena
hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil. Demikian juga
untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang,

6
harus pula berdasarkan dalil. Alasan mereka, mendasarkan hukum pada istishab
merupakan penetapan hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu hukum telah
ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil. Namun, untuk memberlakukan
hukum itu untuk masa yang akan datang diperlakukan dalil lain. Istishab, menurut
mereka bukan dalil. Karenanya menetapkan hukum yang ada d i masa lampau
berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum
tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan syara’.
3. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah : bahwa istishab bisa
menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum
ada yang adil mengubahnya.Alasan mereka adalah, sesuatu yang telah ditetapkan
pada masa lalu, selama tidak ada adil yang mengubahnya, baik secara qathi’ (pasti)
maupun zhanni (relatif), maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku
terus, karena diduga keras belum ada perubahannya. Menurut mereka, suatu dugaan
keras (zhan) bisa dijadikan landasan hukum.Apabila tidak demikian, maka bisa
membawa akibat kepada tidak berlakunya seluruh hukum-hukum yang disyari’atkan
Allah SWT.dan Rasulullah SAW. Akibat hukum perbedaan kehujjahan istishab :
Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syi’ah, orang
hilang berhak Menerima pembagian warisan pembagian warisan dari ahli warisnya
yang wafat dan bagiannya ini disimpan sampai keadaannya bisa diketahui, apakah
masih hidup, sehingga harta waris itu diserahkan kepadanya, atau sudah wafat,
sehingga harta warisnya diberikan kepada ahli waris lain.   Menurut ulama Hanafiyah,
orang yang hilang tidak bisa menerima warisan, wasiat, hibah dan wakaf, karena
mereka belum dipastikan hidup. Sebaliknya, harta mereka belum bisa dibagi kepada
ahli warisnya, sampai keadaan orang lain itu benar-benar terbukti telah wafat, karena
penyebab adanya waris mewarisi adalah wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam
hal ini adalah karena istishhab bagi mereka hanya berlaku untuk mempertahankan
hak (harta orang hilang itu tidak bisa dibagi), bukan untuk menerima hak atau
menetapkan hak baginya (menerima waris, wasiat, hibah dan wakaf).

7
G. Implikasi dan Kaedah-Kaedahnya

‫االصل بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت ما يفيره‬


”pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang
telah ada   sehingga ada dalil yang merubahnya.”

 ‫االصل في االشياء اال باحة‬


“pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh.”

‫االصل في االنسان البراءة‬


“manusia pada asalnya adalah bebas dari beban.”

‫بالشك واليزول االبيقين مثله ما ثبت باليقين اليزول‬


“apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan.
Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga’’.

H. Relevansi Istishab dengan UU Positif terhadap Perkembangan Masyarakat  Zaman


Sekarang
Istishab dipergunakan dalam UU Pidana sebagai landasan, karena segala sesuatu
dipandang mubah sebelum ada ketentuan tegas yang menetapakan keharamannya, dan
kebanyakan dari hukum UU Perdata pun demikian.Dalam istishab pada dasarnya
seseorang itu dinyatakan tidak bersalah sampai ada bukti secara meyakinkan bahwa
orang tersebut bersalah.Prinsip ini di dalam hukum positif Indonesia khususnya dikenal
dengan istilah praduga tak bersalah.

8
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Istishab merupakan landasan hukum yang masih diperselisihkan akan tetapi kita sebagai
umat Islam sepatutnya kita mempelajari dan mengatahui setiap hukum-hukum yang ada.
2. Istishab merupakan suatu hukum yang menganggap tetapnya status sesuatu seperti
keadaanya semula selama belum terbukti sesuatu yang mengubahnya.
3. Dalam melihat hukum istishab, kita jangan hanya melihat dari satu sudut pandang saja,
akan tetapi mempejari secara cermat mengenai seluk beluk istishab itu sendiri dari
keseluruhan aspeknya.

B. SARAN

Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna. Banyak kekurangan disana-sini untuk itu mohon kiranya para pembaca
sekalian mau memberikaan masukan kritik dan saran guna perbaikan dimasa yang akan
datang.

9
DAFTAR PUSTAKA

https://gapurakampus.com/2017/11/makalah-istishab.html?m=1
https://www.pa-cianjur.go.id/artikel/881-istishab-sebagai-metodologi-ijtihad.html

10

Anda mungkin juga menyukai