Anda di halaman 1dari 14

IHTIHSAN

Makalah Ini Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Ushul Fiqh

Dosen Pengampu : Hasyim As’yari, M.Pd.I

Disusun Oleh:

Aung Saputra 221210006

Risa Khofifatur Rohmah 221210151

Progam Studi Pendidikan Agama Islam

FAKULTAS TARBIYAH

UNIVERSITAS MA’ARIF LAMPUNG

2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Assalamualaikum Wr.Wb.

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberi nikmat, rahmat serta
hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Ihtihsan dengan tepat waktu. Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah
di progam studi Pendidikan Guru Agama Islam Fakultas Tarbiyah Universitas
Ma’arif Lampung pada semester Dua. Kami ucapkan terimakasih kepada Bapak
Hasyim Asyari, M.Pd selaku dosen pembimbing Mata kuliah Ushul Fiqh dan
kepada segenap pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Akhirnya kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih ada
banyak kekurangan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamualaikum. Wr.Wb.

Metro,05 April 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1

A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................3

A. Pengertian Ihtihsan....................................................................................3
B. Dasar-dasar Ihtihsan..................................................................................3
C. Macam-macam Ihtihsan.............................................................................4
D. Kehujjahan Ihtihsan...................................................................................8
BAB III PENUTUP..............................................................................................10

A..Kesimpulan................................................................................................10
B..Saran..........................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................11

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sumber hukum islam yang disepakati ulama’ adalah al Qur’an,
Hadits, Ijma’. Qiyas. Jumhur ulama’ menyepakati keempat sumber hukum ini.
Namun demikian masih terdapat beberapa ulama’ yang tidak sepakat terhadap
kehujjahan qiyas dengan beberapa alasan.
Seiring perjalan waktu, perkembangan teknologi dan pengetahuan
begitu pesat terjadi, sehingga muncul banyak permasalahan-permasalahan
baru yang terkadang tidak cukup dengan keempat sumber hukum di atas. Atas
dasar demikian muncul setelahnya beberapa metode istinbath hukum yang
pada kelanjutannya diklaim sebagai sumber hukum yang dipercaya.
Kemunculan sumber hukum yang baru tidak serta-merta diterima
keabsahannya, sehingga tidak heran pro dan kontra tetap bermunculan bahkan
hingga saat ini. Terlepas dari pro konta yang terjadi, jika melihat dari situasi
dan kondisi masa ini modifikasi terhadap hukum islam merupakan sebuah
keniscayaan.
Di antara sumber hukum yang baru itu adalah istihsan. Istihsan yang
merupakan dalil syariat yang prinsip dasarnya adalah kebaikan untuk umat,
tentunya sangat dibutuhkan untuk setidaknya meredam permasalahan-
permasalahan baru yang terjadi. Karena jika tetap berpegang pada sumber
hukum yang empat dengan fanatisme buta, otomatis agama akan ditinggalkan
karena tidak bisa mewadahi permasalahan-permasalahan baru yang terjadi.
Metode yang ditawarkan istihsan cukup konflek kendati tetap
membutuhkan pengembangan-pengembangan yang signifikan. Jamal Ma’mur
Asmani misalnya memandang bahwa istihsan merupakan keniscayaan untuk
menerapkannya pada masa ini, hal itu mencakup seluruh bidang kehidupan
(sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya) tentunya dengan
modifikasi-modifikasi yang tidak bertentangan dengan syariat agama.

iv
Dalam makalah sederhana ini, penulis akan membahas tentang istihsan, hal itu
terkait dengan definisi dan pro kontra yang terjadi terhadapnya. Tidak
ketinggalan pula kita akan mengkaji tentang pentingnya istihsan dalam
kehidupan sekarang ini, yang mana kita temukan banyak sekali permasalahan-
permasalahan kontemporer yang membutuhkan ijtihad hukum yang baru.
Ternyata tidak semua persoalan yang dijumpai masyarakat islam
ketika itu dapat diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti ini, Nabi
menyelesaikan dengan pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula
melalui permusyawaratan dengan para sahabat. Inilah yang kemudian dikenal
dengan sunnah Rasul. Memang al-Qur’an hanya memuat perinsip-perinsip
dasar dan tidak menjelaskan segala sesuatu secara rinci. Perinciannya khusus
dalam masalah ibadat, diberikan oleh hadist. Sedangkan dalam bidang
muamalat, perinsip-perinsip dasar itu, yang belum dijelaskan oleh Rasulullah
SAW diserahkan kepada ummat untuk mengaturnya.
Dengan demikian persoalan yang belum ada nasnya dalam al-Qur’an
dan Hadist, para ulama mencoba memberikan solusi atau di istimbatkan
hukumnya dengan berbagi metode, walaupun metode dalam berijtihad berbeda
satu sama lain, ada yang memakai metode misalnya Istihsan tetapi ulama lain
menolaknya. Dalam makalah ini akan dibahas tentang persoalan metode
berijtihad oleh para ulama, namun dalam makalah ini pembahasan cukup
difokuskan pada persoalan berijtihad dengan Istihsan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian ihtihsan?
2. Bagaiamana dasar-dasar ihtihsan?
3. Apa saja macam-macam ihtihsan?
4. Bagaimana kehujjahan ihtihsan?

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ihtihsan
Isitihsan menurut bahasa adalah menganggap baik terhadap sesuatu,
sedangkan menurut istilah ulam ushul fiqh, istihsan adalah berpalingnya
seorang mujtahid dari tuntunan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntunan qiyas
yang khafi (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnai
(pengecualian), kerana terdapat dalil yang mementingkan perpindahan.
Apabila ada kejadian yang tidak terdapat nash hukumnya, maka untuk
menganalisisnya dapat menggyunakan dua aspek yang berbeda yaitu :
Pertama : Aspek nyata ( Zhahir) yang menghendaki suatu hokum tertentu.
Kedua : Aspek tersembunyi (Khafi) yang menghendaki hukum lain.
Dalam hal ini, apabila dalam diri mujtahid terdapat dalil yang
mengunggulkan segi analisis yang nyata, maka ini disebut dengan istihsan,
menurut istilah syara’. Demikian pula apabila ada hukum yang bersifat kulli
(umum) namun pada diri mujtahid terdapat dalil yang menghendaki
pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli ( umum) tersebut, dan mujtahid
tersebut menghendaki hukum juz’iyyah dengan hukum yang lain, maka hal
teresebut menurut syara’ juga disebut dengan istihsan.1
B. Dasar-dasar Ihtihsan
Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-
Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian
denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam
surah Al-Zumar: 18
‫ واولئك هم اولو االلبابز‬. ‫اولئك الذين هدهم هللا‬. ‫الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه‬

Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk
dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)

1
a bdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, Toha Putra Group, 1994,) h. 131

vi
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi
hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian
tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
‫واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم‬

Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan


kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk
mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib.
Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum
wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.
Hadits Nabi saw:
‫ُون َح َس ًنا َفه َُو عِ ْندَ هَّللا ِ َح َسنٌ َو َما َرَأ ْوا َس ِّيًئ ا َفه َُو عِ ْندَ هَّللا ِ َسيٌِّئ‬
َ ‫ َف َما َرَأى ْالمُسْ لِم‬.

Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik,


maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang
buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.

Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum
muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini
menunjukkan kehujjahan Istihsan.
C. Macam-macam Ihtihsan
1. Istihsan Qiyasi
Istihsan Qiyasi adalah suatu bentuk pengalihan hukum dan ketentuan
hukum yang didasarkan kepada qiyas jali ( nyata ) kepada ketentuan
hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi ( yang tersembunyi ), karena
adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut.
Alasan kuat yang dimaksud disini adalah kemaslahatan. Istihsan dalam
bentuk pertama inilah yang disebut dengan istihsan qiyasi2. Contoh
dibawah ini akan lebih mendekatkan pemahaman kita kepada pengertian
Istihsan dalam bentuk yang pertama ini.

2
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.198

vii
Berdasarkan istihsan qiyasi yang dilandasi oleh qiyas khafi, air sisa
minuman burung buas, adalah suci dan halal diminum, seperti : sisa
minuman burung gagakatau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali,
sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung buas adalah najis
dan haram untuk diminum, karena sisa minuman tersebut telah bercampur
dengan air liurnya, yaitu dengan meng-qiyaskan kepada dagingnya.
Sedangkan segi istihsannya bahwa jenis burung yang buas, meskipun
dagingnya haram tetapi air liur yang keluar dari dagingnya tidaklah
bercampur dengan sisa minumannya. Karena ia minum dengan
menggunakan paruhnya sedangkan paruh adalah tulang yang suci.
Adapun binatang buas maka ia minum dengan lidahnya yang bercampur
dengan air liurnya. Oleh karena inilah, sisa minumnya najis.3
Perbedaan hukum antara air sisa minuman burung buas dengan air sisa
minuman binatang buas ini ditetapkan berdasarkan Istihsan qiyasi, yaitu
mengalihkan ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas jali
(najis dan haram), kepada hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci dan
halal), karena adanya alasan yang kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan.
Contoh lainnya Misalnya, kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam
proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat
aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seorang harus membuka
bajunya untuk didiagnosa penyakitnya. Maka untuk kemaslahatan orang
tersebut, menurut kaidah istishan seorang dokter dibolehkan melihat aurat
wanita yang berobat kepadanya.4
2. Istihsan Istishna’i
Istihsan Istishna’I adalah qiyas dalam bentuk pengecualian dari
ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada
ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus, istihsan dalam bentuk
yang kedua ini disebut dengan istihsan istishna’I. istihsan bentuk yang
kedua ini terbagi menjadi beberapa macam yaitu sebagai berikut :

3
Abdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, (Toha Putra Group, 1994), h. 134
4
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 406

viii
a. Istihsan bi an-Nashsh
Istihsan bi an-Nashsh adalah pengalihan hukum dari ketentuan
yang umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena
ada nashsh yang mengecualikannya, baik nashsh tersebut Al-Qur’an
maupun Sunnah.
Contoh istihsan bi an-Nashsh berdasarkan Nashsh Al-Qur’an
adalah berlakunya ketentuan wasiat setelah seseorang itu wafat,
padahal menurut ketentuan umum ketika orang yang telah wafat, ia
tidak berhak lagi terhadap kartanya, karenanya telah beralih kepada
ahli warisnya. Nyatanya, ketentuan umum tersebut dikecualikan oleh
Al-Qur’an, antara lain termaktub dalam surah an-Nisa’ (4) : 12 :
Sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar
utangnya….5
Contoh istihsan bi an-Nash yang berdasarkan sunnah ialah, tidak
batalnya puasa orang yang makan atau minum karena lupa, padahal
menurut ketenutan umum, makan dan minum membatalkan puasa,
nyatanya ketentuan umum tersebut dikecualikan berdasarkan hadits 6:
Dari Abu Hurairah RA, katanya, Rasulullah SAW bersabda : “
Barangsiapa yang lupa sedang ia berpuasa, kemudian ia makan atau
minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena
sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan minum kepadanya”.
b. Istihsan Bi al-Ijma’
Istihsan bi al-ijma’ adalah istihsan yang meninggalkan penggunaan
dalil qiyas karena adanya ijma’ ulama yang menetapkan hukum yang
berbeda dari tuntunan qiyas7. Sebagai contoh, ketetapan ijma’ tentang
sahnya akad istishna’ ( perburuhann/pesanan). Menurut qiyas,
semestinya akad itu batal. Sebab sasaran (obyek) akad tidak ada ketika
akad itu dilangsungkan.

5
Kementrian agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid (Jawa Barat, Sygma creative media corp,
2014), an-Nisa’, (12).
6
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.200
7
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409

ix
Akan tetapi karena transaksi model itu telah dikenal dan sah
sepanjang zaman, maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau urf’Am
(tradisi) yang dapat mengalahkan dengan dalil qiyas. Yang demikian
ini berarti merupakan perpindahan suatu dalil ke dalil lain yang lebih
kuat
c. Istihsan bi al-Urf
Istihsan bi al-Urf adalah pengecualian hukum dari prinsip syari’ah
yang umum, berdasarkan kebiasaan yang berlaku. Contohnya ialah,
menurut ketentuan umum mentapkan ongkos kendaraan umum dengan
harga tertentu secara pukul rata, tanpa membedakan jauh atau dekatnya
jarak tempuh, adalah terlarang. Sebab, transaksi upah-mengupah harus
berdasarkan kejelasan pada obyek upah yang dibayar. Akan tetapi
melalui istihsan, transaksi tersebut dibolehkan berdasarkan kebiasaan
yang berlaku, demi menjaga jangan timbul kesulitan masyarkat dan
terpeliharanya kebutuhan mereka terhadap transaksi tersebut.8
d. Istihsan bi ad-Dharurah
Istihsan bi ad-Dharurah adalah istihsan yang disebabkan oleh
adanya keadaan yang darurat (terpaksa) dalam suatu masalah yang
mendorong seorang mujtahid untuk meninggalkan dalil qiyas. Seperti
contoh menghukumkan sucinya air sumur atau kolam air yang
kejatuhan najis dengan cara menguras airnya. Menurut ketentuan
umum, tidak mungkin mensucikan sumur atau kolam hanya dengan
mengurasnya. Sebab ketika air sedang dikuras mata air akan terus
mengeluarkan air yang kemudian akan bercampur dengan air yang
bernajis. Demikian juga dengan alat pengurasnya (timba atau mesin
pompa air); ketika bekerja, air yang bernajis akan mengotori alat
tersebut, sehingga air akan tetap najis. Akan tetapi, demi kebutuhan
menghadapi keadaan darurat, berdasarkan istihsan, air sumur atau
kolam dipandang suci setelah dikuras.9

8
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.202
9
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409

x
e. Istihsan bi al- Mashlahah Mursalah
Istihsan bi al- Mashlahah Mursalah adalah mengecualikan
ketentuan hukum yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan,
dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip
kemaslhatan. Misalnya, menetapkan hukum sahnya wasiat yang
ditujukkan untuk keperluan yang baik, dari orang yang berada dibawah
pengampuan, baik karena ia kurang akal maupun karena berperilaku
boros. Menurut ketentuan umum, tindakan hukum terhadap harta orang
yang dibawah pengampuan tidak sah, karena akan mengabaikan
kepentingannya terhadap hartanya. Akan tetapi, demi kemaslahatan,
wasiat orang tersebut dipandang sah. Sebab, dengan memberlakukan
hukum sah wasiatnya yang ditujukkan untuk kebaikan,maka hartanya
akan tetap terpelihara. Apalagi mengingat bahwa hukum berlakunya
wasiat adalah setelah ia wafat; tentu hal itu tidak menganggu
kepentingan orang yang berwasiat tersebut. Oleh karena itu, ketentuan
umum yang berlaku dalam harta orang yang dibawah pengampunan
dikecualikan khusus yang berkaitan dengan wasiat.10
D. Kehujjahan Ihtihsan
Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua macam, jelaslah
pada hakekatnya istihsan bukan sumber hukum yang berdiri sendiri. Karena
hukum-hukum tersebut pada bagian pertama berasal dari qiyas khafi
(tersembunyi) yang mengalhkan terhadap qiyas jali (jelas).
Karena adanya beberapa faktor yang menenangkan hati para mujtahid
yaitu dari segi istihsan. Sedangkan bagian kedua dari istihsan, hukum-
hukmnya antara lain berupa dalil maslahat yang menuntut pengecualian
juz’iyyah dari hukum kulli (umum) dan ini juga disebut dengan segi istihsan.
Hujjah Istihsan kebanyakan digunakan oleh kalangan ulama
Hanafiyah, alasan mereka ialah bahwa mencari dalil dengan istihsan
hakikatnya merupakan Istidlal (mencari dalil). Dengan dasar qiyas yang
tersembunyi, yang lebih diungguli dari qiyas yang nyata. Atau sebagai upaya

10
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.203

xi
mengunggulkan suatu qiyas dengan qiyas lain yang berlawanan dengan
berdasarkan suatu dalil yang bisa diandalkan atau merupakan Istidlal dengan
jalan mashlahah mursalah berdasarkan pengcualian juz’iyyah dari hukum kulli
( umum), semua ini merupakan istidlal yang sahih.11

11
Abdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, (Toha Putra Group, 1994), h. 136

xii
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih
cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain
disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum
kedua dari hukum yang pertama. Artinya, persoalan khusus yang seharusnya
tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan
dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai
pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.
Istihsan dipandang dari berbagai segi banyak macamnya. Hal ini dapat
dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya, dan
adakalanya dari segi sandaran atau dasar yang diikutinya saat beralih dari
qiyas.
1. Dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan
gantinya istihsan.
2. Ditinjau dari segi sandaran atau dalil yang menjadi dasar dalam
peralihan dari qiyas
3. Ulama ushul dari kalangan malikiyah dikenal pula istihsan yang dalam
prakteknya dinamai dengan istislah
Hadits Nabi saw:Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin
sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa
yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum
muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini
menunjukkan kehujjahan Istihsan.
B. Saran
Kami menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih banyak kesalahan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami meminta kritik yang
membangun dari para pembaca

xiii
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khalaf, 1994 Ilmu Ushul Fiqh, Toha Putra Group

Abd. Rahman Dahlan, 2016 Ushul Fiqh Cet.4, Jakarta : Amzah

Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, Jakarta : PT. Firdaus Pustaka

Kementrian Agama RI, 2014. Al-Qur’an Terjemah Dan Tajwid Jawa


Barat:Sygma Creative Media Corp,

xiv

Anda mungkin juga menyukai