Anda di halaman 1dari 11

KEPEMIMPINAN DALAM NU

Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Aswaja
Dosen Pengampu: Drs, Suyoto, M.Ag

Disusun Oleh Kelompok: 3


1. Khofifah Nadilla (211210072)
2. Julia Ambarwati (211210068)

FAKULTAS TARBIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM MA’ARIF NU (IAIMNU)
METRO LAMPUNG
2022 M/1444 H

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum.wr.wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan dan
kemudahan kepada kami,sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
Aswaja yang berjudul “Kepemimpinan Dalam NU”
Sholawat dan salam pada pimpinan umat islam, Nabi Muhammad SAW,
yang telah memberikan dan membawa pencerahan pada umat manusia, sehingga
penuh ilmu pengetahuan seperti yang dapat kita rasakan pada saat ini. Adapun
makalah ini kami susun, merupakan tugas mata kuliah Aswaja, yang menjadi
dasar pemenuhan nilai bagi kami semoga makalah yang kami susun ini dapat kita
pelajari dan pergunakan dengan sebaik-baiknya. Kami juga ingin berterimakasih
atas bimbingan dan arahan dari bapak dosen penganpu ya’ni Drs. Suryoto, M.Ag
yang telah memberikan banyak pengarahan sehingga kita dapat membuat makalah
ini dengan baik.
Dan kami sadar bahwa masih banyak kekurangan dan kekeliruan maka dari
itu mengharap keritikan positif dari bapak dosen sehingga bisa kita perbaiki
dengan semaksimal mungkin. Tetapi, kami tetap berharap semoga makalah ini
menjadi butir-butir amalan kami dan bermanfaat bagi kami, umumnya bagi
seluruh pembaca. Aamiin yaa robbal alamin.

Metro, 27September 2022

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
A. Kepemimpinan Dalam NU.................................................................2
B. Sistem Keorganisasian NU.................................................................3
C. Sistem Permusyawaratan Kepemimpinan NU...................................3

BAB III KESIMPULAN


A. Kesimpulan.........................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................8

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lahirnya jam'iyyah5 NU tidak ubahnya seperti mewadahi suatu barang yang sudah ada.
Dengan kata lain, wujud NU sebagai organisasi keagamaan itu, hanyalah sekedar penegasan
formal dari mekanisme informal para ulama sepaham, pemegang teguh salah satu dari empat
mazhab: Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan Hambali yang sudah berjalan dan sudah ada jauh
sebelum lahirnya jam'iyyah NU.6Tujuan didirikannya NU adalah memelihara, melestarikan,
mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlusunnah wal jamaah7 yang menganut
salah satu dari mazhab empat, dan mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-
pengikutnya serta melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia.8
Dan untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka NU melaksanakan usaha-usaha sebagai
berikut:91. Di bidang agama mengupayakan terlaksananya ajaran Islam yang menganut
faham Ahlusunnah Wal Jamaah dan menurut salah satu mazhab empat dalam masyarakat
dengan melaksanakan dakwah Islamiyah dan Amar Ma'ruf Nahi Munkar.2. Di bidang
pendidikan, pengajaran dan kebudayaan mengupayakan terwujudnya penyelenggaraan
pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam
untukmembina umat agar menjadi muslim yang taqwa dan berbudi luhur.
B. Rumusan Masalah
1.Bagaimana Kepemimpinan Dalam NU?
2.Bagaimana Sistem Keorganisasian NU?
3.Bagaimana Permusyawaratan Kepemimpinan NU?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kepemimpinan Dalam NU
Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah diniyah ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan)
bukan hanya berjuang melakukan pergerakan nasional dalam upaya kemerdekaan Indonesia,
tetapi juga mendorong kepemimpinan nasional. Sosok pemimpin nasional merupakan hal
urgen ketika cita-cita kemerdekaan menjadi visi bersama bangsa Indonesia.
Syaikhul Islam Ali dalam Kaidah Fiqih Politik: Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan
Ulama (2017) menjelaskan bahwa agama Islam tidak hanya mengatur persoalan ibadah
semata. Sebab itu, demi menjaga ajaran agama di sebuah tanah air atau negara serta agar
terhindar dari kerusakan (mafsadat) yang lebih besar, agama menyaratkan adanya sebuah
imarah (kepemimpinan) yang mengatur urusan duniawi dan menjaga agama (hirasatud din
wa siyasatud dunya). Islam mengakui dan menyaratkan adanya kepemimpinan agar
pelaksanaan ajaran Islam bisa ditegakkan dalam keadaan aman.
Dalam kaidah fiqih yang lain, manusia tidak berhenti pada level memilih semata, tetapi
juga harus memikirkan kemaslahatan yang lebih luas ketika dihadapkan pada dua pilihan
sulit, terutama bagi yang memegang prinsip golput. Kaidah yang bisa menjadi pijakan ialah
dar'ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih (menghindari keburukan itu harus lebih
didahulukan daripada meraih kebaikan).
Keburukan untuk tidak memilih pemimpin ialah dapat membuka pintu bagi orang-orang
yang tidak baik untuk menjadi pemimpin. Jika menurut kelompok golput dua pilihannya
tidak baik menurut idealismenya, agama memberikan panduan untuk memilih yang
kejelekannya sedikit. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih ma la yudraku kulluh la yutraku
kulluh (sesuatu yang tidak bisa dicapai atau diakukan semuanya, jangan ditinggal
seluruhnya). Kalau menghendaki pemimpin yang sempurna, maka selamanya sebuah negara
tidak akan memiliki pemimpin. Namun, memilih pemimpin bukan sekadar memilih yang
terbaik, tapi setidaknya mencegah orang buruk untuk memimpin.
Keberadaan pemimpin adalah keharusan (wajib), yang mana keberadaannya tidak
sempurna kecuali dengan suara. Sebab itu, memilih pemimpin menjadi bagian dari ibadah
sosial yang merupakan ejawantah (wujud) atas spiritualitas manusia. Maka golongan putih
(golput) yang tidak menggunakan hak suaranya untuk memilih pemimpin tidak bisa serta
merta diterima atas dasar hak asasi.
Sejarah mencatat, sebelum resmi menunjuk Soekarno dan Mohammad Hatta menjadi
Presiden dan Wakil Presiden RI yang memegang tampuk kepemimpinan nasional setelah
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, NU sudah menyikapi hal ini empat tahun
sebelumnya. Tepatnya dalam Muktamar ke-15 NU pada 15-21 Juni 1940 di Surabaya, Jawa
Timur.
Selain sejumlah problem bangsa, dalam Muktamar ini, NU membahas sekaligus
memutuskan perihal kepemimpinan nasional. Keputusan ini berangkat dari keyakinan NU

2
bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia akan segera tercapai. (Choirul Anam, Pertumbuhan
dan Perkembangan NU, 2010)
Hal itu ditindaklanjuti dengan menggelar rapat tertutup guna membicarakan siapa calon
yang pantas untuk menjadi presiden pertana Indonesia. Rapat rahasia ini hanya diperuntukkan
bagi 11 orang tokoh NU yang saat itu dipimpin oleh KH Mahfudz Shiddiq dengan
mengetengahkan dua nama yaitu Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta. Rapat berkahir
dengan kesepakatan Soekarno calon presiden pertama, sedangkan Mohammad Hatta yang
ketika itu hanya mendapat dukungan satu suara, sebagai wakil presiden.
B. Sistem Keorganisasian NU
1. Kepengurusan NU
Kepengurusan NU terdiri atas Mustasyar, Syuri’ah, dan Tanfizdiah.
a. Mustasyar adalah penasehat yang secara kolektif bertugas memberikan
nasiaht kepada pengurus NU menurut tingkatannya dalam rangka menjaga
kemurnian khittah Nahdliyah Ulama dan menyelesaikan persengketaan.
b. B. Syuriah adalah jabatan tertinggi organisasi NU yang berfungsi sebagai
pembina, pengendali, pengawas, dan penentu kebijakan dalam usaha
mewujudkan tujuan organisasi.
c. C. Tanfidiyah adalah pelaksana harian organisasi NU yang bertugas. –
Memimpin jalannya organisasi sesuai dengan kebijakan di tetapkan
pengurus Syuriah. – Melaksanakan program NU – Mengawasi kegiatan
semua berangkat – Melaporkan secara periodik kepada Syuri’ah.
2. Tingkat kepengurusan/ Kepemimpinan NU Tingkat kepengurusan dalam
Organisasi NU terdiri atas pengurus besar (PB) untuk tingkat pusat, pengurus Wilayah (PW),
untuk Propinsi, Pengurus Cabang (PC), tingkat Kabupaten/Kota, pengurus majelis wakil
cabang (MWC), tingkat kecamatan dan pengurus ranting (PR).
a. Pengurus Besar Adalah kepengurusan organiasi NU ditingkat pusat dan
berkedudukan di Ibu kota RI. Kebijaksanaan dalam pengendalian organisasi dan
pelaksanaan keputusan Muhtamar.
B. Pengurus Wilayah Adalah kepengurusan organiasi NU ditingkat Propinsi
yang disamakan dengannya dan berkedudukan di ibu Kota propinsi.
C. Pengurus Cabang Adalah kepengurusan organiasi NU ditingkat
kabupaten / kota dan berkedudukan di Ibu Kota-nya, sedang pengurus cabang
istimewa di luar negeri, kedudukannya ditetapkan oleh pengurus Besar.
D. Pengurus Majelis Wakil Cabang Adalah kepengurusan organiasi NU
ditingkat kecamatan pengurus ini mengkoordinir rangting-ranting di daerahnya dan
melaksanakan kebijakan pengurus cabang dan MWC untuk daerahnya serta
keputusan-keputusan rapat anggota.
C. Sistem Permusyawaratan Kepemimpinan NU
NU mempunyai 7 macam sistem permusyawaratan kepemimpinan organiasi NU,
yaitu :

3
1. Mukhtamar Di selenggarakan 5 tahun sekali, dihadiri oleh, pengurus Besar,
Pengurus Wilayah, Cabang dan dihadiri juga oleh alim Ulama, serta undangan dari
tenaga ahli yang berkompeten.
2.Musyawarah Nasional alim Ulama’ Diselenggarakan para alim Ulama’ yang
diselenggarakan leh pengurus besar Syuri’ah, membahas masalah-masalah
keagamaan, Munas alim Ulama’ tidak dapat mengubah AD/ART, keputusan-
keputusan Muhtamar dan tidak dapat mengadakan pemilihan pengurus Baru.
3.Konferensi Besar Diadakan oleh pengurus besar atau atas permintaan separuh dari
jumlah pengurus wilayah yang sah merupakan instansi permusyawaratan tertinggi
setelah mukhtamar.
4. Konferensi Wilayah Diselenggarakan oleh pengurus wilayah 5 tahun sekali,
dihadiri oleh pengurus wilayah dan utusan-utusan cabang untuk menyusun rencana
kerja lima tahun, membahas keagamaan, serta memilih pengurus baru. 5. Konferensi
cabang Diselenggarakan oleh cabang setiap 5 tahun sekali yang yang dihadiri
Pengurus Cabang dan utusan MWC dan ranting daerahnya untuk membahas
pertanggung jawaban pengurus Cabang, dan lain-lain.
Syaikhul Islam Ali dalam Kaidah Fiqih Politik: Pergulatan Pemikiran Politik
Kebangsaan Ulama (2017) menjelaskan bahwa agama Islam tidak hanya mengatur persoalan
ibadah semata. Sebab itu, demi menjaga ajaran agama di sebuah tanah air atau negara serta
agar terhindar dari kerusakan (mafsadat) yang lebih besar, agama menyaratkan adanya
sebuah imarah (kepemimpinan) yang mengatur urusan duniawi dan menjaga agama
(hirasatud din wa siyasatud dunya). Islam mengakui dan menyaratkan adanya kepemimpinan
agar pelaksanaan ajaran Islam bisa ditegakkan dalam keadaan aman.
Dalam kaidah fiqih yang lain, manusia tidak berhenti pada level memilih semata,
tetapi juga harus memikirkan kemaslahatan yang lebih luas ketika dihadapkan pada dua
pilihan sulit, terutama bagi yang memegang prinsip golput. Kaidah yang bisa menjadi pijakan
ialah dar’ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih (menghindari keburukan itu harus
lebih didahulukan daripada meraih kebaikan).
Keburukan untuk tidak memilih pemimpin ialah dapat membuka pintu bagi orang-
orang yang tidak baik untuk menjadi pemimpin. Jika menurut kelompok golput dua
pilihannya tidak baik menurut idealismenya, agama memberikan panduan untuk memilih
yang kejelekannya sedikit. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih ma la yudraku kulluh la yutraku
kulluh (sesuatu yang tidak bisa dicapai atau diakukan semuanya, jangan ditinggal
seluruhnya). Kalau menghendaki pemimpin yang sempurna, maka selamanya sebuah negara
tidak akan memiliki pemimpin. Namun, memilih pemimpin bukan sekadar memilih yang
terbaik, tapi setidaknya mencegah orang buruk untuk memimpin.
Keberadaan pemimpin adalah keharusan (wajib), yang mana keberadaannya tidak
sempurna kecuali dengan suara. Sebab itu, memilih pemimpin menjadi bagian dari ibadah
sosial yang merupakan ejawantah (wujud) atas spiritualitas manusia. Maka golongan putih
(golput) yang tidak menggunakan hak suaranya untuk memilih pemimpin tidak bisa serta
merta diterima atas dasar hak asasi.

4
Sejarah mencatat, sebelum resmi menunjuk Soekarno dan Mohammad Hatta menjadi
Presiden dan Wakil Presiden RI yang memegang tampuk kepemimpinan nasional setelah
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, NU sudah menyikapi hal ini empat tahun
sebelumnya. Tepatnya dalam Muktamar ke-15 NU pada 15-21 Juni 1940 di Surabaya, Jawa
Timur.
Selain sejumlah problem bangsa, dalam Muktamar ini, NU membahas sekaligus
memutuskan perihal kepemimpinan nasional. Keputusan ini berangkat dari keyakinan NU
bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia akan segera tercapai. (Choirul Anam, Pertumbuhan
dan Perkembangan NU, 2010)
Hal itu ditindaklanjuti dengan menggelar rapat tertutup guna membicarakan siapa
calon yang pantas untuk menjadi presiden pertana Indonesia. Rapat rahasia ini hanya
diperuntukkan bagi 11 orang tokoh NU yang saat itu dipimpin oleh KH Mahfudz Shiddiq
dengan mengetengahkan dua nama yaitu Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta. Rapat
berkahir dengan kesepakatan Soekarno calon presiden pertama, sedangkan Mohammad Hatta
yang ketika itu hanya mendapat dukungan satu suara, sebagai wakil presiden.
Pembahasan calon presiden pertama dalam Muktamar ke-15 NU tersebut
menunjukkan kematangan NU dalam mengkaji masalah-masalah sosial-politik kala itu.
Bahkan, ketika peneguhan negara pasca Proklamasi Kemerdekaan mendapat gangguan
kembali penjajahan maupun pemberontakan, NU tegas mempertahankan konsep
kepemimpinan nasional berbasis negara bangsa.
Seperti ketika negara mendapat ancaman pemberontakan yang justru datang dari
kelompok-kelompok pribumi, seperti DI/TII Kartosoewirjo yang menginginkan pembentukan
negara Islam. Sebagai bagian dari entitas Islam terbesar di tanah air, Nahdlatul Ulama tidak
begitu saja menyepakati keinginan Kartosoewirjo karena konsep negara bangsa berdasar
kemajemukan Indonesia tidak membatasi umat Islam untuk menjalankan keyakinan dan
ibadahnya.
Sejak semula, para ulama NU menyatakan bahwa gerakan yang dilakukan oleh
Kartosoewirjo dengan Negara Islam Indonesia-nya merupakan bughot (pemberontakan) yang
harus dibasmi demi keberlangsungan persatuan dan kesatuan bangsa sebab Indonesia karena
keberagaman. Untuk keperluan itu, Menteri Agama KH Masjkur memprakarsai konferensi
Alim Ulama se-Indonesia bertempat di Cipanas, Cianjur pada 2-7 Maret 1954 guna
mengukuhkan kedudukan kepala negara Republik Indonesia sebagai Waliyul Amri Dharuri
Bissyaukah (pemegang kekuasaan negara darurat).
KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) sebagai seorang ulama yang ikut hadir
dalam konferensi itu pernah menjelaskan secara panjang lebar mengenai Waliyul Amri
Dharuri Bissyaukah dalam sidang parlemen, 29 Maret 1954. Dengan berpedoman pada kitab
fiqih, Kiai Wahab menjelaskan bahwa dunia Islam telah sepakat untuk mengangkat Imam
A’dham (Imama yang berhak menduduki jabatan imamah), satu imam. Salah satu
persyaratannya adalah mempunyai pengetahuan Islam yang sederajat dengan Mujtahid
Mutlak. Dan inilah yang disebut imam yang sah, bukan Imam Darurat.
Namun orang yang memiliki ilmu pengetahuan Islam semartabat dengan ‘mujtahid
mutlak’ itu semenjak 700 tahun yang lampau hingga sekarang ini belum pernah ada. Ini
berarti pembentukan Imam A’dham tersebut mustahil berhasil. Tetapi bukan berarti tidak ada

5
alternatif lain. Apabila umat Islam tidak lagi mampu membentuk Imam A’dham, maka wajib
atas umat Islam di masing-masing negara mengangkat Imam yang ‘darurat’. Segala imam
yang diangkat darurat ialah Imam Dharuri.
Selanjutnya, Kiai Wahab menambahkan bahwa baik imam a’dham maupun imam
dharuri bisa dianggap sah sebagai pemegang kekuasaan negara, yakni waliyul amri. Bung
Karno yang saat itu dipilih oleh pemuka-pemuka warga negara, sekalipun tidak oleh
semuanya, menurut hukum Islam adalah sah sebagai Kepala Negara, sekalipun tidak cukup
syarat-syarat untuk menjadi waliyul amri. Karena tidak mencukupi syarat, yakni tidak dipilih
oleh ulama yang berkompeten untuk itu (ahlul halli wal aqdi) tetapi melalui proses lain, maka
terpaksa kedudukannya dimasukkan dalam bab ‘dharuri’. Sedangkang kata ‘bissyaukah’
adalah karena satu-satunya orang terkuat di Indonesia (ketika itu) ialah Ir. Soekarno.
Dalam perhelatan Musyawarah Alim Ulama NU pada 1997 di Pesantren Qomarul
Huda Bagu, Pringgarata, Lombok tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), NU juga membahas
secara mendalam terkait kepemimpinan negara (nashbul imam). Pembahasan tema tersebut
dilakukan dalam Bahtsul Masail Maudluiyyah.
Menurut pandangan Islam, pada hakikatnya kekuasaan adalah amanat Allah SWT
yang diberikan kepada seluruh manusia. Kemudian kekuasaan itu diwakilkan kepada pihak-
pihak yang ahli dalam mengemban dan memikulnya. Firman Allah menjelaskan,
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit dan bumi.” (QS Al-Ahzab:
72)
Dalam wacana paham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) bahwa membangun negara
(imamah) adalah wajib syar’i. Hal tersebut didasarkan pada dalil-dalil berikut ini: “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS An-Nisa’: 59)
Proses pengangkatan kepemimpinan negara (nashbul imam) sebagai pengemban dan
pemikul amanat kekuasaan, menurut Islam, dapat dilakukan dengan beberapa alternatif atau
cara yang disepakati oleh rakyat sepanjang tidak bertentangan dengan syariat.
Sebuah negara harus dibangun nilai-nilai luhur keislaman yang antara lain meliputi:
al-‘adalah (keadilan), al-amanah (kejujuran), dan as-syura (kebersamaan). Allah berfirman,
“Apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS An-Nisa’: 58)
Untuk merealisasikan nilai-nilai luhur tersebut diperlukan wujudnya pemerintahan
yang demokratis, bersih, dan berwibawa. Untuk melahirkan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa diperlukan adanya kesadaran dan keinginan yang kuat dari rakyat untuk bersama-
sama melahirkannya. Negara yang demokatis yang merupakan perwujudan syura dalam
Islam menuntut para pemimpinnya bukan saja bersedia untuk dikontrol, tetapi menyadari
sepenuhnya bahwa kontrol sosial merupakan kebutuhan kepemimpinan yang memberi
kekuatan moral untuk meringankan beban dalam mewujudkan pemerintahan yang adil,
bersih, dan berwibawa.

6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : NU
adalah perluasan dari komite Hijoz yang merupakan tandingan komite Khilafat yang
didominasi kaum modernis. Latar belakang kelahiran NU dilihat secara spesifik dalam
konteks kekecewaan Islam tradisional yang tesingkir dari komite khilafat yang akan mewakili
umat Islam Indonesia pada kongres Islam dimekah tahun 1926. Tetapi kongres Khilafat di
Mesir di Tunda, karena perkalian umat Islam tertuju pada karena perkalian umat Islam tertuju
pada perkembangan di Hijaz di mana Ibnu Saud berhasil mengusir Syarif Husein dri Mekah
1924. NU mempunyai 7 macam sistem permusyawaratan kepemimpinan organiasi NU,
yaitu : a) Mukhtamar b) Musyawarah Nasional alim Ulama’ c) Konferensi Besar d)
Konferensi Wilayah e) Konferensi cabang
Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah diniyah ijtima’iyyah (organisasi sosial
keagamaan) bukan hanya berjuang melakukan pergerakan nasional dalam upaya
kemerdekaan Indonesia, tetapi juga mendorong kepemimpinan nasional. Sosok pemimpin
nasional merupakan hal urgen ketika cita-cita kemerdekaan menjadi visi bersama bangsa
Indonesia.

7
DAFTAR PUSTAKA

Nata,Abuddin.1997. Teologi Islam.Surabaya. CV Al-Ihsan.


Pustaka Ma’arif NU, Islam Ahlussunnah Wal Jamaah Di Indonesia, Jakarta, 2007.
Noor,Tamrin.2021.Kepemimpinan Dalam Perspektif Organisasi.Malang:mOzaik Pratama

Anda mungkin juga menyukai