Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

MAJELIS ULAMA INDONESIA

OLEH KELOMPOK 6 :

FITRI AMALIAH : NIM 012021022

IMA SEFRINI ASIS : NIM 012021021

HALIFA YUSRA BIL HUSNA : NIM 012021019

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN INSTITUT KESEHATAN


DAN BISNIS KURNIA JAYA PERSADA PALOPO
TAHUN ANGKATAN 2021
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “MAJELIS ULAMA INDONESIA” ini dengan baik tanpa
hambatan. Hal ini tidak terlepas juga karena dukungan dari dosen pembimbing kami.

Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan tugas ini atas semua bantuan, bimbingan dan kemudahan yang telah diberikan
kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Meskipun telah berusaha dengan segenap kemampuan, namun kami menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini masih belum sempurna, sehingga kritik, koreksi, dan saran
dari semua pihak untuk menyempurnakan makalah ini sangat diharapkan.Semoga makalah
ini dapat bermanfaat untuk meningkatkan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Palopo, 21Maret 2022

Kelompok 6
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. RumusanMasalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah serta peran fungsi Didirikannya MUI


B. Memahami metode dalam proses penetapan fatwa yang digunakan oleh MUI
C. Contoh fatwa yang telah di tetapkan MUI

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam pandangan umum masyarakat Indonesia, ulama diartikan sebagai tokoh
yang menjadi tuntunan dalam penerapan syariat Islam, agar adanya kesesuaian antara
dalil syara’ dan praktiknya di kehidupan sehari-hari. Keberadaan sosok ulama di
Indonesia sudah ada seiring dengan masuknya Islam ke Indonesia, hingga saat ini
ulama pun tetap memiliki peranan yang besar. Peranan ulama secara garis besar
merupakan sosok yang bisa menjawab dan memecahkan setiap masalah sosial
keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat, selain itu ulama
dikatakan pula sebagai penjaga moral dan bentengnya masyarakat.1
Ulama bertanggung jawab menyelesaikan persoalan umat Islam.Ulama
bersifat Independen(berdiri sendiri) dan moderat (tidak memihak), tanpa mengikuti
aliran-aliran tertentu dalam membimbing umat (netral).Dalam memutuskan suatu
hukum, mereka tidak memihak kepada salah satu aliran tertentu, melainkan
berdasarkan kepada ijtihad dari Al-Qur’an dan sunah.Banyak sekali catatan sejarah
yang merekontruksi peranan ulama dari masa ke masa yang bervariasi, namun dari
semua tugasnya mereka memiliki misi utama sebagai penerus dakwah Nabi Muhamad
SAW dalam menegakan syariat Islam.2Peranan ulama dalam catatan sejarah begitu
banyak dari sebelum Indonesia merdeka hingga sesudah Indonesia merdeka, baik
dalam hal politik, sosial, dan budaya. Dalam mewujudkan peranannya tersebut, ulama
senantiasa menyesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan yang ada di masyarakat,
seperti halnya pada saat masyarakat Indonesia berjuang untuk keluar dari belenggu
Belanda, peranan ulama dalam hal politik untuk melawan Belanda bisa dilihat dari
contoh perjuangan ulama yakni Imam Bonjol dan Pangeran Diponogoro.3
Selain perannya dalam hal politik, di masa Pergerakan Nasional para ulama
tetap menjalankan peran dan fungsinya dalam hal lain, seperti yang dilakukan oleh
mereka dalam membentuk sebuah kesatuan yang menghimpun para ulama untuk
membentuk majelis ulama. Sebagaimana yang dilakukan oleh H. Agus Salim ketika
membentuk Majelis ulama pada 29 Januari 1928 dalam sebuah kongres partai 51
Indonesia di Yogyakarta. Faktor utama berdirinya majelis ini nampak dari adanya
perbedaan pendapat antara Kelompok Ahli Sunah Wal Jamaah dan Wahabi dalam hal
khilafiah. Perbedaan lain muncul dari nama majelis ini yang tidak sama dengan
majelis yang ada sekarang, sebab pada saat itu majelis ini belum dinamakan sebagai
Majelis Ulama Indonesia, melainkan Majelis Ulama. Namun sayangnya organisasi ini
tidak jelas kelanjutannya, akan tetapi majelis inilah yang menginspirasi berdirinya
majelis ulama pada masa berikutnya.4
Selanjutnya ketika Indonesia sudah merdeka posisi dan peranan ulama di
Indonesia ternyata masih besar, ada beberapa ulama yang kemudian mengisi
kursipemerintahan, salah satu contohnya adalah KH.Agus Salim sebagai Mentri
Agama di awal Orde Lama.Namun keadaan tersebut ternyata tidak berlangsung lama,
sebab pada masa itu pemerintah mulai melakukan penekanan, rekayasa negatif (yang
tidak benar), marginalisasi dan menjadikan umat Islam yang mayoritas sebagai
golongan Ekstrim (keras) dan sekelompok masyarakat yang membentuk gerakan
bawah tanah.5
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah serta peran fungsi Didirikannya MUI?


2. Bagaimana memahami metode dalam proses penetapan fatwa yang digunakan
oleh MUI ?
3. Bagaimana contoh fatwa yang telah di tetapkan MUI?

C. Tujuan

1. Menjelaskan bagaimana sejarah serta peran fungsi Didirikannya MUI


2. Mengetahui bagaimana memahami metode dalam proses penetapan fatwa yang
digunakan oleh MUI
3. Mengetahui bagaimana contoh fatwa yang telah di tetapkan MUI
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan fungsi didirikannya MUIs


Kemajuan budaya dan peradaban manusia selalu berkembang seiring dengan
perkembangan ilmu perngetahuan dan teknologi, sehingga menimbulkan persoalan-
persoalan baru dalam kehidupan masyarakat baik yang berkaitan dengan ibadah
maupun yang berkaitan dengan muamalah yang memerlukan pemecahan, karena tidak
terdapat hukumnya dalam al-Quran dan Hadist. Begitu juga ulama-ulama terdahulu
tidak secara eksplisit menjelaskan persoalan- persoalan baru tersebut sehingga banyak
masyarakat yang haus akan jawaban tersebut. Hal ini membuat Ulama Indonesia
bersepakat untuk membuat lembaga yang dapat memecehkan persoalan-persoalan
keagamaan yang ada pada masyarakat dengan nama Majelis Ulama Indonesia atau
yang disingkat dengan MUI. MUI berdiri pada tanggal 17 Rajab 1395 H, bertepatan
dengan 26 Juli 1975 yang didahului dengan musyawarah pertama Majelis Ulama
Indonesia pada tahun yang sama9.
Nomor 28 tanggal 1 Juli 197510. Berdirinya Majelis Ulama Indonesia ditandai
dengan bentuk “Piagam berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI)” yang
ditandatangani oleh 53 orang ulama yang terdiri dari ketua-ketua Majelis Ulama
Indonesia Daerah Tingkat 1 seluruh Indonesia, 10 orang ulama unsurorganisasi Islam
tingkat pusat11, 4 orang ulama Dinas Rohaniyah Islam yang terdiri dari Angkatan
Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI, dan 13 orang ulama undangan
perorangan.
Momentum berdirinya MUI setelah 30 tahun Indonesia merasakan
kemerdekaan yaitu ketika Indonesia berada pada fase kebangkitan, dimana pada saat
itu bangsa Indonesia sibuk dengan politik kelompok masing-masing sehingga tidak
memperdulikan masalah rohani yang ada pada masyarakat. Keberagaman dan
kemajuan umat Islam dalam Keagamaan, organisasi sosial dan kecendrungan aliran
politik sering membuat lemah dan dapat dijadikan pertentangan diantara umat Islam
di Indonesia.
Sebagai suatu lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempunyai fungsi
dan tujuan. Adapun tujuan dari Majelis Ulama Indonesia sebagaimana tercantum
dalam pedoman Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (ADART) MUI pada
Bab III, pasal 13 adalah menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan Islam yang
dinamis dan efektif sehingga mampu mengarahkan dan mendorong umat Islam untuk
melaksanakan akidah Islamiyah, membimbing umat dalam menjalankan ibadat,
menuntun umat dalam mengembangkan muamalah, dan menjadi panutan dalam
mengambangkan akhlak karimah untuk mewujudkan masyarakat yang aman, damai,
adil, dan makmur rohaniyah dan jasmaniyah yang diridhoi Allah SWT. Sedangkan
fungsi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah :
1. Sebagai wadah musyawarah para ulama, zu‟ama dan cendikiawan muslim dalam
mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan yang islami, demokratis,
akomodatif, dan aspiratif.
2. Sebagai wadah silaturahim para ulama, zu‟ama dan cendikiawan muslim untuk
mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan menggalang ukhwah islamiyah.
3. Sebagai wadah yang mewakili umat Islam dan hubungan serta konsultasi antar
umat beragama.
4. Sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta maupun
tidak diminta.

B. METODE PENETAPAN HUKUM DALAM BERFATWA


Metode-Metode Fatwa Fatwa mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Fatwa
dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisa memecahkan kebekuan dalam
perkembangan hukum Islam. Hukum Islam yang dalam penetapannya tidak bisa terlepas dari
dalil-dalil keagamaan (an-nushush as-syari‟iyah) menghadapi persoalan serius ketika
berhadapan dengan permasalahan yang semakin berkembang yang tidak tercover dalam nash-
nash keagamaan. Nash-nash keagamaan telah berhenti secara kuantitasnya, akan tetapi secara
diametral permasalahan dan kasus semakin berkembang pesat seiring dengan perkembangan
zaman. Sebagaimana ungkapan para ulama “Sesungguhnya nash itu terbatas, sedangkan
persoalan-persoalan yang timbul tidak terbatas. Atau karena sesungguhnya nash itu telah
berhenti sedangkan permasalahan akan senantiasa muncul dan tidak pernah berhenti”. Dalam
kondisi seperti inilah fatwa menjadi salah satu alternatif jalan keluar mengurai permasalahan
dan peristiwa yang muncul tersebut. Salah satu syarat menetapkan fatwa adalah harus
memenuhi metodologi (manhaj) dalam berfatwa, karena menetapkan fatwa tanpa
mengindahkan manhaj termasuk yang dilarang oleh agama. Menetapkan fatwa yang
didasarkan semata karena adanya kebutuhan (li al-hajah), atau karena adanya kemaslahatan (li
almashlahah), atau karena intisari ajaran agama (li maqashid as-syari‟ah), dengan tanpa
berpegang pada nushus syar‟iyah, termasuk kelompok yang kebablasan (ifrathi). Sebaliknya,
kelompok yang rigid memegang teks keagamaan (an-nushus as-syar‟iyah) dengan tanpa
memperhatikan kemaslahatan (al-mashlahah) dan intisari ajaran agama (maqashid as-
syari‟ah), sehingga banyak permasalahan yang tidak bisa dijawab, maka kelompok seperti ini
termasuk kategori gegabah (tafrithi). Oleh karenanya, dalam berfatwa harus tetap menjaga
keseimbangan, antara harus tetap memakai manhaj yang telah disepakati para ulama, sebagai
upaya untuk tidak terjerumus dalam kategori memberikan fatwa tanpa pertimbangan dalil
hukum yang jelas. Tapi di sisi lain juga harus memperhatikan unsur kemaslahatan dari fatwa
tersebut, sebagai upaya untuk mempertahankan posisi fatwa sebagai salah satu alternatif
pemecah kebekuan dalam perkembangan hukum Islam adapun kaidah istinbat yang dijadikan
pedoman dalam penetapan fatwa sebagaii berikut :
1. Metode Bayani 8 Rachmat Syafe‟I,Ilmu Ushul fiqih untuk UIN,STAIN,PTAIS,
(Bandung:CV.Pustaka Setia,2007),cet.3,hal.177 175 | Al-Istinbath: Jurnal Hukum Islam,
Vol.3, No.2, 2018 Metode ini dipergunakan untuk menjelaskan teks al-Quran dan asSunnah
dalam menetapkan hukum dengan menggunakan analisis kebahasaan. Pembahasan metode
bayani ini dalam kajian ushul fiqh mencakup:
a. Analisa bedasarkan segi makna lafaz
b. Analisa bedasarkan segi pemakaian makna
c. Analisa bedasarkan segi terang dan samarnya makna
d. Analisa bedasarkan segi penunjukan lafaz kepada makna menurut maksud pencipta nash.

2. Metode Ta‟lili
Metode ini digunakan untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang
tidak ditemukan dalilnya secara tersurat. Istinbat ini ditunjukan untuk menetapkan hukum
suatu peristiwa dengan merujuk kepada kejadian yang sudah ada hukumnya karena adanya
kesamaan illat.
3. Metode Istishlahi Metode ini dipergunakan untuk menggali, menemukan, dan
merumuskan hukum syara‟ dengan cara menerapkan hukum kulli untuk peristiwa yang
ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash, belum diputuskan dengan ijma‟ dan tidak
memungkinan dengan qiyas atau istihsan.

METODE BERFATWA YANG DIPERGUNAKAN DI LINGKUNGAN MUI


Keberadaan metode dalam penetapan fatwa adalah sangat penting, sehingga dalam setiap
proses penetapan fatwa harus mengikuti metode tersebut. Sebuah fatwa yang ditetapkan tanpa
mempergunakan metodologi, keputusan hukum yang dihasilkannya kurang mempunyai
argumentasi yang kokoh. Oleh karenanya, implementasi metode (manhaj) dalam setiap proses
penetapan fatwa merupakan suatu keniscayaan.

Metode yang dipergunakan oleh Komisi Fatwa MUI dalam proses penetapan fatwa dilakukan
melalui tiga pendekatan, yaitu Pendekatan Nash Qath‟i, Pendekatan Qauli dan Pendekatan
Manhaji.

Pendekatan Nash Qoth‟i dilakukan dengan berpegang kepada nash alQur‟an atau Hadis untuk
sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat dalam nash al-Qur‟an ataupun
Hadis secara jelas. Sedangkan apabila tidak terdapat dalam nash al-Qur‟an maupun Hadis
maka penjawaban dilakukan dengan pendekatan Qauli dan Manhaji.

Pendekatan Qauli adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mendasarkannya
pada pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-
mu‟tabarah). Pendekatan Qauli dilakukan apabila jawaban dapat dicukupi oleh pendapat
dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (alkutub al-mu‟tabarah) dan hanya terdapat satu pendapat
(qaul), kecuali jika pendapat (qaul) yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi
karena sangat sulit untuk dilaksanakan (ta‟assur atau ta‟adzdzur al-„amal atau shu‟ubah al-
„amal) , atau karena alasan hukumnya („illah) berubah. Dalam kondisi seperti ini perlu
dilakukan telaah ulang (i‟adatun nazhar), sebagaimana yang dilakukan oleh ulama terdahulu.
Karena itu mereka tidak terpaku terhadap pendapat ulama terdahulu yang telah ada bila
pendapat tersebut sudah tidak memadai lagi untuk didijadikan pedoman.

Apabila jawaban permasalahan tersebut tidak dapat dicukupi oleh nash qoth‟i dan juga tidak
dapat dicukupi oleh pendapat yang ada dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-
mu‟tabarah), maka proses penetapan fatwa dilakukan melalui pendekatan manhaji.
Pendekatan Manhaji adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan
mempergunakan kaidah-kaidah pokok (al-qowaid al-ushuliyah) dan metodologi yang
dikembangkan oleh imam mazhab dalam merumuskan hukum suatu masalah. Pendekatan
manhaji dilakukan melalui ijtihad secara kolektif (ijtihad jama‟i), dengan menggunakan
metoda : mempertemukan pendapat yang berbeda (al-Jam‟u wat taufiq), memilih pendapat
yang lebih akurat dalilnya (tarjihi), menganalogkan permasalahan yang muncul dengan
permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi) dan istinbathi.
Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan imam mazhab maka penetapan fatwa
didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara pendapat-pendapat madzhab
melalui metode al-Jam‟u wa al-Taufiq.

Jika usaha al-Jam‟u wa al-Taufiq tidak berhasil maka penetapan fatwa dilakukan melalui
metode tarjihi (memilih pendapat ulama yang dinilai paling kuat dalil dan argumentasinya),
yaitu dengan menggunakan metode perbandingan mazhab (muqaran al-madzahib) dan dengan
menggunakan kaedahkaedah ushul fiqh perbandingan.

Membiarkan masyarakat untuk memilih sendiri pendapat para ulama yang ada sangatlah
berbahaya, karena hal itu berarti membiarkan masyarakat untuk memilih salah satu pendapat
(qaul) ulama tanpa menggunakan prosedur, batasan dan patokan. Oleh karena itu, menjadi
kewajiban lembaga fatwa yang memiliki kompetensi untuk memilih pendapat (qaul)
yang rajih (lebih kuat dalil dan argumentasinya) untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat.

Ketika satu masalah atau satu kasus belum ada pendapat (qaul) yang menjelaskan secara
persis dalam kitab fiqh terdahulu (al-kutub al-mu‟tabarah) namun terdapat padanannya dari
masalah tersebut, maka penjawabannya dilakukan melalui metode ilhaqi, yaitu menyamakan
suatu masalah yang terjadi dengan kasus padanannya dalam al-kutub al-mu‟tabarah.
Sedangkan metode Istinbathi dilakukan ketika tidak bisa dilakukan dengan metode ilhaqi
karena tidak ada padanan pendapat (mulhaq bih) dalam al-kutub almu‟tabarah. Metode
istinbathi dilakukan dengan memberlakukan metode qiyasi, istishlahi, istihsani dan sadd al-
dzari‟ah.
Secara umum penetapan fatwa di MUI selalu memperhatikan pula kemaslahatan umum
(mashalih „ammah) dan intisari ajaran agama (maqashid alsyari‟ah).Sehingga fatwa yang
dikeluarkan oleh MUI benar-benar bisa menjawab permasalahan yang dihadapi umat dan
benar-benar dapat menjadi alternatif pilihan umat untuk dijadikan pedoman dalam
menjalankan kehidupannya.

C. CONTOH FATWA YANG TELAH DITERAPKAN OLEH MUI

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara resmi telah mengeluarkan Fatwa
MUI Nomor 2 Tahun 2021 tentang Produk Vaksin COVID-19 dari Sinovac Life Sciences Co.
Ltd. China dan PT Bio Farma (Persero). Fatwa ini ditetapkan pada tanggal 11 Januari 2021 di
Jakarta.
Dikeluarkannya Fatwa MUI ini seiring dengan telah diterbitkannya Izin Penggunaan dalam
Kondisi Darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) vaksin produksi Sinovac dari
Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) pada hari yang sama, Senin (11/01/2021).
Sebelumnya, pada Jumat (08/01/2021) lalu, Komisi Fatwa MUI telah menetapkan vaksin
produksi Sinovac halal dan suci, namun Fatwa utuhnya baru akan disampaikan setelah Badan
POM (atau yang sering juga disingkat BPOM) mengemukakan keputusan mengenai aspek
keamanan penggunaan vaksin tersebut.
Sebagaimana dikutip dari laman resmi mui.or.id, Ketua MUI Bidang Fatwa KH Asrorun Niam
Sholeh menjelaskan, dengan BPOM menyetujui EUA untuk Vaksin Covid-19 produksi
Sinovac, maka vaksin ini aman digunakan, sehingga Komisi Fatwa MUI menerbitkan Fatwa
vaksin Covid-19 produksi Sinovac Lifescience Co. Ltd China dengan dua diktum sekaligus.
“Kepala BPOM sudah menyatakan menyetujui EUA untuk vaksin Covid-19 produksi sinovac,
sehingga aman untuk digunakan. Ketika BPOM sudah mengeluarkan hasil dan persetujuannya
itu, maka Fatwa MUI dikeluarkan,” ujarnya.
Adapun diktum kedua yang tertuang dalam fatwa itu menyebutkan: (1) pertama, vaksin
Covid-19 produksi Sinovac Life Sciences Co Ltd.China dan PT Bio Farma (Persero)
hukumnya suci dan halal; (2) kedua, vaksin Covid-19 produksi Sinovac Life Sciences Co. Ltd
China dan PT. Bio Farma (Persero) sebagaimana angka 1 (diktum pertama) boleh digunakan
untuk umat Islam sepanjang terjamin keamanannya menurut ahli yang kredibel dan kompeten.

PENGESAHAN 5 FATWA BARU DSN MUI JADI LANDASAN PELAKU INDUSTRI

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) telah mengesahkan
lima fatwa tentang sejumlah problematika kekinian seputar keuangan syariah.

Kelima fatwa tersebut yaitu fatwa Pemasaran Produk Asuransi Berdasarkan Prinsip
Syariah, Pedoman Pendirian Dan Operasional Koperasi Syariah, dan Penawaran Efek
Syariah Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan
Prinsip Syariah, Pembiayaan Personal (at-tamwil asy-syakhsi/personal financing), dan
Pendapatan Lembaga Keuangan Syariah Selama Konstruksi.

Ketua BPH DSN MUI, KH Dr Hasanudin, mengatakan pengesahan lima fatwa


tersebut dilaksanakan pada Rapat Pleno Badan Pengurus DSN-MUI yang
dilaksanakan 19 dan 24 Agustus 2021. Kiai Hasanuddin, mengatakan dengan
penambahan lima fatwa baru di atas, maka total jumlah fatwa yang disahkan DSN-
MUI menjadi sebanyak 143 fatwa yang sebelumnya berjumlah 138 fatwa.

Selanjutnya untuk diketahui dan dipahami substansi dari kelima fatwa tersebut,
disampaikan pula kepada para DPS yang masih bagian dari DSN-MUI,” kata dia
dalam“Mudah-mudahan para DPS mendapatkan informasi lengkap mengenai fatwa
DSN-MUI yang sudah disahkan kemarin melalui acara ini. Kemudian dapat
digunakan landasan untuk membantu para pelaku industri.” tutur dia menambahkan.

Kiai Hasanudin berharap para DPS nantinya mampu merangkul industri lembaga
keuangan syariah (LKS) maupun lembaga bisnis syariah (LBS). Hal ini dilakukan
sebagai upaya mengembangkan kegiatan usaha dan produk yang mereka
kembangkan.
Di samping itu, kata dia, para BPS juga perlu mengetahui tiga informasi mengenai
perkembangan ketentuan di internal DSN-MUI dalam pengurusan periode 2020-2025.

Pertama, telah disahkannya Peraturan Organisasi Majelis Ulama Indonesia Nomor :


11/Po-MUI/VIII/2021 tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga DSN-
MUI oleh Dewan Pimpinan MUI pada 3 Agustus 2021.

Kedua, Keputusan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor


Kep.79/DSN-MUI/IX/2021tentang Pedoman Pembentukan Dan Penyelenggaraan
Sekretariat DSN-MUI Perwakilan tanggal 29 September 2021.

Fatwa tersebut menggantikan Keputusan DSN-MUI sebelumnya mengenai Sekretariat


DSN-MUI Perwakilan (Keputusan DSN-MUI No. KEP. 14/DSN-MUI/IV/2017
Tentang Pedoman Pembentukan Sekretariat DSN-MUI Perwakilan).

Ketiga, Keputusan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesiano: 04/DSN-


MUI/IX/2021 tentang Pedoman Implementasi Fatwa Wakaf Manfaat Asuransi Dan
Manfaat Investasi Pada Asuransi Jiwa Syariah, tanggal 29 september 2021.

“Selain mendapat informasi kelima fatwa yang baru disahkan oleh DSN-MUI, para
BPS juga perlu mengetahui mengenai perkembangan ketentuan di internal DSN-MUI
dalam pengurusan periode 2020-2025 ini,” kata dia.

Workshop Pra Ijtima Tsanawi yang diikuti kurang lebih 500 DPS Lembaga Keuangan
Syariah (LKS), Lembaga Bisnis Syariah (LBS), dan Lembaga Perekonomian Syariah
(LPS) tersebut akan berlangsung sejak 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 11 Oktober 2021.

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) setelah:

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka percepatan pencegahan dan penangulangan wabah covid, pemerintah
menargetkan pelaksanaan vaksinasi covid19 menjangkau 181,5 juta orang (70% dari
penduduk Indonesia) pada tahun 2021 guna mencapai kekebalan kelompok (herd imunity);

b. bahwa dengan target waktu satu tahun, maka program vaksinasi tersebut terus berjalan
meskipun umat Islam sedang berpuasa bulan Ramadhan;

c. bahwa muncul pertanyaan di tengah masyarakat terkait status hukum vaksinasi bagi orang
yang berpuasa;

d. bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia perlu menetapkan fatwa
tentang hukum vaksinasi covid-19 saat berpuasa untuk dijadikan pedoman;

Mengingat :

1. Firman Allah SWT antara lain:


a. Ayat tentang wajibnya puasa Ramadhan dan keterangan rukhsah bagi yang sakit atau
bepergian;

ْ َ ‫ِب ت ُ ك ْ وا ُ ن‬ َ ‫ِب ت ُ ا ك َ م َ ك ُ ام َ ِ ي ٱلص ُ م ُ ك ْ ي َ ل َ ع‬ َ ‫م ُ ك َّ ل َ ع َ ل ْ م ُ ِ ك ل ْ ب َ ِمن ق َ ِذين َّ ى ٱل َ ل َ ع‬


َ ‫س َ ل َ ع ْ و َ ا أ يضً ِ ر َّ م م ُ ِمنك َ ان‬ َ ‫ى‬ ‫ف‬ َ ‫ر‬ ٍ ۢ ‫ف‬ َ ‫ِعد‬ َّ ‫ة‬ ٌ ‫م‬ ‫ن‬ ِ ْ )٣٨١) ‫ام َ ء َ ِذين َّ ا ٱل َ ه ُّ ي َ أ ٰ َٓ َ ي َ ون ُ ق َّ ت َ ت‬
‫ن ك َ م َ ۚ ف ٍۢ ت َ ود ُ د ْ ع َّ ا م ً ام َّ ي َ أ َّ ى ٱل َ ل َ ع َ ۚ و َ ر َ خ ُ أ ام َّ ي َ أ ٌ ر ْ ي َ خ َ و ُ ه َ ا ف ً ر ْ ي َ خ َ ع َّ و َ ط َ ن‬
ْ ‫ت َ م َ ۖ ف ٍۢ ن ِكي ِمسْ ُ ام َ ع َ ط ٌ ة َ ي ْ ِفد ۥ ُ ه َ ون ُ ِطيق ُ ي َ ِذين َ ون ُ م َ ل ْ ع َ ت ْ م ُ نت ُ ِ ن ك ۖإ ْ م ُ ك َّ ل ٌ ر ْ ي َ خ‬
٣٨١) ‫)وا ُ وم صُ َ ن ت َ أ َ ۥۚو ُ ه َّ ل‬

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan
kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. al-Baqarah [2]: 183-184)

b. Ayat yang menerangkan bahwa salah satu rukun puasa adalah menahan dari yang
membatalkan (di antaranya makan dan minum);

َ ْ ‫ال ُ ط ْ ي َ خ ْ ال ُ م ُ ك َ ل َ ن َّ ي َ ب َ ت َ ي ى َّ ت َ وا ح ُ ب َ ر ْ اش َ وا و ُ ل ُ ك َ و ِ ر ْ ج َ ف ْ ال َ ِد ِمن َ و سْ َ ْ ِط‬


‫… ال ْ ي َ خ ْ ال َ َ ُض ِمن ي ْ ب ۖ ۖ ِل ْ ي َّ ىالل َ ل ِ إ َ ام َ ِ ي وا الص ُّ ِم ت َ أ َّ م ُ ث‬

dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, … (QS. al-Baqarah [2]: 187)

c. Ayat tentang larangan menjatuhkan diri pada kebinasaan;

َ ‫ين ِ ِسن ْ ح ُْ باْل ِح ُّ ُ ي َ ه َّ الل َّ ِن وا إ ُ ِسن ْ ح َ أ َ ِةو َ ك ُ ل ْ ه َّ ىالت َ ل ِ إ ْ م ُ ِديك ْ ي َ أ ِ وا ب ُ ق ْ ل ُ ت َ َل َ و‬

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah:195)

2. Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam antara lain:

a. Hadis yang menerangkan bahwa segala penyakit pasti ada obatnya dan hadis tentang
perintah untuk berobat dengan yang halal:

ُ َ ‫ص ي ِ ب َّ الن ْ ن َ ع ُ ه ْ ن َ ع ُ ه َّ الل َ ِ ي ض َ ر َ ة‬
َ ِ ‫س َ ِه و ْ ي َ ل َ ع ُ ه َّ ى الل َّ ل‬
َ ‫ال َ ق َ م َّ ل‬
َ ‫ه َّ الل َل َ ز ْ ن َ ا أ َ م‬
‫ )رواهالبخاري‬. ‫(ر ْ ي َ ر ُ ي ه ِ ب َ أ ْ ن َ ع ً اء َ ِشف ُ ه َ ل َل َ ز ْ ن َ أ َّ َِل إ ً اء َ د‬

Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Sesungguhnya Allah tidak
menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan (pula) obatnya. (HR. al-Bukhari)

ُ ِ : َ ‫ول سُ َ ر َّ ن َ ك أ ِه ي ْ ي َ ل َ ع َ ه َّ الل َّ ِن إ َ اف ْ و َ او َ د‬َ ‫ِهص َّ الل‬


َ ‫س ُ أ ْ ن َ ع َ ر ُ ه َّ ى الل َّ ل‬ َ ‫ش ن ْ ب َ ة َ ام‬
َ ‫ ال ا َ ا ء و َ د‬:‫ض َ ي ْ م َ ل " ُ م َ ر َ ه ْ ِح د‬ َ ‫س َ و َّ ز َ ع َّل َ ج َ و َ و َ د ُ ه َ ل َ ع‬
َ ‫ض َ و َّ َِل إ ً اء َ د ْ ع‬ َ ‫"ت ا َل َ ق َ م َّ ل‬
‫(ر ْ ي َ غ ً اء )رواه أبو داوود و الترميذي و النسائي و ابن ماجه‬

Dari Usamah bin Syuraik sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Berobatlah, karena Allah tidak menjadikan penyakit kecuali menjadikan pula obatnya, kecuali
satu penyakit yaitu tua renta. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah)
Fatwa tentang Hukum Vaksinasi Covid-19 saat Berpuasa 3 Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia:

َ ‫ ق ا َل َ ِء ق ا َ د ْ ر َّ ي‬: َ ‫ص َّ الل و ُل سُ َ ر ا َل‬


َ ‫س َ ِه و ْ ي َ ل َ ع ُ ه َّ ى الل َّ ل ِه‬
َ ‫ "إ َ م َّ ل‬: ‫اء َّ الد َل َ ز ْ ن َ أ َ ه َّ الل َّ ِن‬
َ ‫الد ِ ب َ أ ْ ن َ ع ا َ و َ ا ءد َ ِ د ل ُ ِك ل َل َ ع َ ج َ و َ اء َ و َّ الد َ و " )رواهأبو داود( ام َ ر َ ِح ا ب ْ و َ او َ د َ ت َ َل َ او ْ و‬
‫او َ د َ ت َ ف ً ء‬

Dari Abu Darda’, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


“Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat bagi setiap penyakit, maka
berobatlah dan janganlah berobat dengan yang haram”. (HR. Abu Dawud)

b. Hadis tentang larangan berlama-lama beristinsyaq saat wudlu:

ِ ْ ‫ص ن ْ ِط ب ِقي َ ل ِ ن‬
َ ِ ‫ ع َ ة َ ر ْ ب‬، َ ‫ ق ا َل َ ِه ق ي ِ ب َ أ ْ ن‬: ُ ‫ول سُ َ ا ر َ ي ُ ت ْ ل‬
َ ‫ أ َّ الل‬،‫ن َ ِي ع ن ْ ِر ب ْ خ َ ِه‬
َ ‫ص َ ون ُ ك َ ت ْ ن‬َ ‫ و َ وء ضُ ُ و ْ ال ِ ِغ ب سْ َ أ ا ً ِم ائ‬، َ ‫ ق ضُ ُ و ْ ال » ِ ف ْ ِغ ال َ ب‬،‫ال َ ِوء‬ َ : ‫ب ِ ِصم ا َ ع ْ ن َ ع‬
‫ )رواهابن ماجه‬. « ‫ إ ا َ ش ْ ِن ت َِلسْ ي ا‬،‫(أ َّ َِل ِق‬

Dari ‘Ashim bin Laqith bin Shabrah dari ayahnya berkata: saya berkata “Wahai Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ajarkan padaku tentang wudhu”. Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “sempurnakan wudhu, bersungguh-sungguhlah ketika istinsyaq (menghirup
air ke dalam hidung), kecuali ketika kamu sedang puasa”. (HR. Ibnu Majah)

c. Hadis bahwa menggunakan celak tidak membatalkan puasa:

َ َ ‫ص َ و ُ ه َ ِ ِمد و ْ ث ِ ْ ْال ِ ب ِح ُل َ ت ْ ك‬
َ ‫ص ي ِ ب َّ الن َّ ن َ أ ٌ ِم ائ‬
َ َّ ‫س َ ِهو ْ ي َ ل َ ع ُ ىاهلل َّ ل‬
َ ‫ان َ ك َ م َّ ل‬
‫(ي )رواهالبيهقي‬

“Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan celak itsmid


(batu antimonium dengan warna permukaan seperti logam) ketika sedang berpuasa.” (HR.
alBaihaqi)

3. Kaidah Fikih antara lain:

ُ ‫الضرر ُ ي زا ُل‬

“Bahaya harus dihilangkan”

‫الضَّ ُ رر ُ َل ي زا ُل بالضَّ ِ رر‬

“Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan”

ُ ‫الضرر ُ ي ْ د ُ ِ فع ب َ ِ قد ِن ر ْالمكا‬

“Bahaya dicegah dengan sedapat mungkin”

ِ ‫وا ُ لو ْ ضو ُ ء ِم َّ م َ ا خ ً رج ْ َس ولي ِم َّ م ادخ َل‬، َ ‫إ َ نم ُ ِم ا الصيام َّ م َ اد خ َل ْ َس ولي ِم َّ م َ ا خر َ ج‬


“Yang membatalkan puasa adalah karena sesuatu yang masuk bukan karena sesuatu yang
keluar, sedangkan yang membatalkan wudlu adalah karena sesuatu yang keluar dari tubuh
bukan karena sesuatu yang masuk”

Memperhatikan:

1. Pendapat al-Qasthalani dalam kitab Irsyadu al-Sari (7/96) yang menjelaskan bahwa berobat
karena sakit dan menjaga diri dari wabah adalah wajib:

)} ْ ‫صة فيوضْ ِ ع َ ال‬ ِ ‫ ] ُ فيهبيان الرخ‬201 :‫إن كان بكم أذى من مطر أو كنتم مرض ى أن تضعوا أسلحتكم{( ]النساء‬
َ ‫ضع ُ ف ْ ِم هم ض َ ن مر َ وأم‬ِ ْ ‫لح ة ْ إن َ ث ُ ق ْ ل عليهم َ ح ْ م ُ ل ِ ِب ها ب سب َ م َ ا ي ُ ب ُّ ل ُ م ِم ه ن مطر ْ أو ُ ي‬ ِ ‫ِس‬
‫ود َّل ُ ذلك علىو ْ ِر ِب الحذ ِ جو ِ عن جميع‬، ‫بأخذ ْ الحذ ِ ر ِل َ ئال ي ْ غ َ ف َ لوا في ُ هج ُ م ُ عليهم ُّ العدو‬
ِ ‫ر ُ ه ْ م َ ِ مع ذلك‬
َ ‫وم المظنون ْ ن َ ث َّ م ُ ِعل َّ م أن َ ِء العالج بالدوا ْ واَلح َ تراز ِ ِء عن الوبا ُّ والتحر َ ِس ز عن الجلو َ تحت‬،
ِ ‫ِة المضار‬
‫المائل ٌب واج‬
َ ‫ الجدار‬،

(Dan tidak mengapa kamu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu
kesusahan karena hujan atau karena kamu sakit) (al-Nisaa:102). Di dalam ayat ini adanya
keringanan untuk meletakkan senjata saat para pasukan terbebani dengan bawaan, seperti
dalam keadaan basah kuyup kehujanan atau karena sakit. Meskipun demikian mereka tetap
harus waspada terhadap musuh. Ayat tersebut juga menunjukkan wajibnya menjaga
kewaspadaan dari segala bahaya yang akan datang. Dari sinilah difahami bahwa berobat
dengan obat dan menjaga diri dari wabah penyakit serta menghindari dari duduk-duduk di
bawah dinding yang miring adalah wajib.

2. Pendapat ulama-ulama bahwa sesuatu yang sampai pada perut itu membatalkan puasa jika
masuk lewat rongga badan yang terbuka dan sesuatu tersebut dianggap makanan atau
minuman, antara lain: a. Pendapat Ibnu al-Hammam al-Hanafi dalam kitab Fathu al-Qadir
(2/330) bahwa yang membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk lewat rongga yang lazim,
seperti mulut, kubul, dan dubur:

ِْ ‫س ْ ِطر ْ ف ُ ي ْ م َ ل َل َ ح َ ت ْ اك‬ َ ( ‫ي ف َ ود ُ ج ْ و َ م ْ ال َّ ن َ ِل َ َل ْ و َ ِقِه أ ْ ل َ ِي ح ف ُ ه َ م ْ ع َ ط َ د َ ج َ و ٌ اء َ و‬


ْ ‫س َ م ْ ال‬َ ‫و َ ل َ و ُ ه ُ ل ْ و َ )ق ِ ج َ ر ْ خ ُْ ْال َ ِل و َ خ ْ د ُ م ْ ال َ ِفِذ ك ا َ ن َ م ْ ال ْ ِمن ِخ ُل ا َّ الد ُ ِطر ْ ف ُ م ْ ال َ ِ و ام‬
‫س َ م ْ ال ْ ِمن َ َل‬
َ ‫ِمن ً ِخال ا َ د ُ ه ُ ر َ ث َ ِقِهأ ْ ل َ ح ِ ام‬

(Ungkapan “Dan jika memakai celak maka tidak membatalkan puasa”) baik tenggorokannya
dapat merasakan suatu makanan atau tidak, karena zat yang berada di tenggorokan adalah
sisasisa yang masuk lewat pori-pori. Sedangkan yang membatalkan puasa adalah sesuatu
yang masuk lewat rongga yang terbuka seperti jalan masuk ke tubuh atau jalur keluar darinya,
dan bukan dari pori-pori.

b. Ungkapan al-Rafi’i yang dinukil oleh al-Nawawi dalam kitab alMajmu’ (6/313) bahwa
yang sesuatu yang masuk ke perut dan membatalkan puasa itu dengan syarat masuknya lewat
rongga yang terbuka, dengan sengaja, dan dalam keadaan tidak lupa:

َ ‫ و ُّ ِفِعي ا ال َّر‬: َ ‫ض‬


ِ ِ َ ‫ال‬ َ ‫هر ا َّ الظ ْ ِة ِمن َ ِصل ا َ و ْ ِن ال ْ ي َ ع ْ ال ِ ب َ ِطر ْ ف ُ م ْ ال ِخ َل ا َّ الد ابُ َ ْصح َ ْ ال َ ط َ ب‬
ْ‫ق َ ق ْ ن َ ع وح ُ ت ْ ف َ ذ م َ ف ْ ن َ ِيم ف ِ ِطن ا َ ب ْ ىال َ إل ِ م ْ َّصو ال ِ ر ْ ِذك َ ع َ د م ص‬

Imam Rafi’i berkata: ulama-ulama Syafiiyah memberikan batasan (dhabit) bahwa sesuatu
yang masuk ke perut yang membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk dari luar lewat
rongga yang terbuka dengan kesengajaan dan dalam keadaan tidak lupa sedang berpuasa.
c. Pendapat Imam al-Ramli dalam kitab Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj (3/165)
bahwa jika sesuatu yang sampai pada perut itu terasa bermanfaat sebagai nutrisi bagi badan
(makanan atau minuman), maka itu membatalkan puasa:

ِ ‫ر سْ َ ِك ( ب َ اء َ ِغذ ْ ال ِحي ُل ُ ت ٌ ة َّ و ُ ِف )ق ْ و َ ج ْ ال يْ َ ِه( أ ِفي َ ون ُ ك َ ي ْ ن َ ا أ َ ذ َ ه َ ع َ م ُ ط َ ر َ ت ْ ش ُ ي‬


ْ ‫ِقيل َ )و ِ ِه ُس ب ْ ف َّ ى الن َّ ذ َ غ َ ت َ ت َ َل ُ ه ُ ِحيل ُ ت َ ا َل َ م ْ ِ إذ د َ م ْ ال ِ ب َ اء َ و َّ الد ْ و َ ِن أ ْ ي َ ت َ م َ ج ْ ع ُ م‬
َ
‫ِصل ا َ و ْ ال َ ه َ ب‬
َ ‫ِل ال ا َّ الذ ِ ب َ ِن و ْ ي َ غ ْ ال ُ ن َ د َ ب ْ ِ ِهال ب ُ ِفع َ ت ْ ن َ ي َ َل و ِف َ ْ و َ ج ْ ال ِ ر ْ ي َ ى غ َ إل‬
‫ْشَأَف‬

Disyaratkan adanya sesuatu kekuatan di dalam perut yang menghantarkan sseuatu yang
masuk menjadi nutrisi ataupun obat. Karena, jika tidak ada yang menghantarkannya, maka
badan tidak merasakan adanya nutrisi atau sesuatu yang bermanfaat baginya, maka
menyerupai sesuatu yang sampai ke selain perut.

d. Pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim Syarh al-Mukoddimah al-
Hadramiyah (246) bahwa termasuk yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu ke
saluran perut melalui jalur rongga badan yang terbuka, sedangkan minyak oles, celak, atau air
sebab mandi yang masuk lewat poripori tidak membatalkan:

ِْ‫دخول ِم َ ن م ْ ن َ ف ذ م‬
ِ ‫شرط ْ ْ ِه‬
ِ ‫خول عي ْ ِط جو ا كبا ً ف ِ ن ُ ِن ِْل الذ وا ْ ح ْ لي ِ ِل ب‬
ِ ‫ ا ْ م ُ ساك ْ عن ُ د ْ ن‬:‫ل الرابع‬
‫ول ي ُ ر ر تشُّ ضُّ بُ َ الم ُّ سام ُّ بالد ْ ِه ن ُ ِحل والك ْ ِل واَ ِلغت سا‬،
َ َ ‫ْ ف ْ تو ح‬

Rukun keempat, menahan dari masuknya sesuatu ke perut, seperti telinga bagian dalam dan
saluran kandung kemih, dengan syarat masuknya lewat rongga badan yang terbuka. Sesuatu
yang terserap masuk melalui pori-pori seperti minyak oles, celak, dan sebab air mandi tidak
membatalkan puasa.

e. Pendapat Imam al-Nawawi dalam kitab Raudlatu al-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin


(2/358) bahwa obat yang masuk ke dalam daging tidak membatalkan puasa:

ْ ْ‫ص‬ َ ‫ أ ا السَّ ِ م ْ ح َ ِ ِخل ل ا َ ىد َ ل ِ إ َ اء َ و َّ الد َل‬،‫ص َ و َ ف ُ ين ِ ِ ك ِهالس ِفي َ ز ِ ر ُ غ ْ و َ ِق‬ َ ‫ ل ُ ه َّ خ ُ م ْ ت َ ل‬، َ ‫م‬
ُ ‫ و ً ف َّ و َ ج ُ ا م ً و ضْ ُ ع َّ د َ ع‬.‫س ْ أ َ ى ر َ ل َ ط ْ و َ ل َ ا‬ َ ‫ص َ و َ ف ِ ن ْ ه ُّ الد ِ ب ُ ه َ ن ْ ط َ ب ْ و َ أ ُ ه‬َ ‫و َ أ ْ و َ ل َل‬
‫ك وح ُ ت ْ ف َ ذ م‬، َ ‫س َ م ْ ِب ال ْ ر ُ ِش ب ُ ه َ ف ْ و َ ج ُ ِطر ْ ف ُ ي َ ا َل َ م‬ َ ‫ام‬ ِ ‫ل‬ ، َ ‫م‬ ْ ‫ي‬ ُ ‫ف‬ ْ ‫ِطر‬ ْ ، ‫ِل‬ َ ‫ي ْ م َ ل ُ ه َّ ن‬
َ ‫ ْ ِطر ْ ف ُ ي ِ ِه ِطن ا َ ِيب ا ف ًر َ ث َ أ ُ ه َ ل َ د َ ج َ و ْ ن ِ إ َ ِءو ا َ م ْ ِيال ِسف ا‬، ‫َ ف ْ ن َ م ْ ِمن ِصلْ َ ي ْ م َ ل ُ ه َّ ن َ ِل‬
‫ِس ت ْ َِلغ ا ِ ب‬َ ‫ ِغم ْ َِلن ا َ ِل و ا‬.

Jika obat dimasukkan ke dalam daging betis atau dimasukkannya obat melalui pisau sehingga
sampai pada otak, maka puasanya tidak batal karena tempat tersebut tidak termasuk bagian
dari perut. Jika seseorang mengolesi kepalanya atau perutnya dengan minyak dan minyak
tersebut sampai pada rongga perut melalui pori-pori, maka tidak batal puasanya, karena
masuknya tidak melalui rongga badan yang terbuka, sebagaimana tidak batal puasa seseorang
yang mandi dan menyelam di air, meskipun pengaruh air tersebut sampai pada bagian dalam
badannya.

3. Pendapat ulama-ulama mutaqaddimin bahwa yang dimaksud alhuqnah (suntikan) yang


membatalkan puasa adalah sesuatu yang dimasukkan lewat dubur seseorang, antara lain:

a. Pendapat Imam Ahmad Al-Khatib al-Syarbini dalam kitab Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati
alfadz al-Minhaj (5/127):

‫لُ ُ خ ْ د َ ا ي َ م َ ِهي َ ( و ٌ ة َ ن ْ ق ُ ح َ )َل َ ال َ ا ء ف َ و َ د ْ ِل ِمن ُ ب ُ ق ْ ال ْ و َ أ ِ ر ُ ب ُّ ِي الد ف ُ ِم ر َ ح ُ ي ( ِ ر َ ه‬


َ ‫ و َ ِعد َ م ْ ِي ال ف َ د َ ق َ ع ْ ا ان َ ِل م ا َ ه ِْلسْ ا َ ه َّ ن‬،‫ ت ان َّ الث َ ِة‬:‫ْ ظ َ ْ ِي ال )ف ُل صُ ْ ح َ ا ي َ م َ ك ُ ِم ر َ ح ُ ِي‬
‫ِل ِ ي؛ ذ َ غ َّ ِء الت ا َ ِف ت ْ َِلن ا َ ه ِ ب ُ ِفطر ال‬
(huqnah) yaitu sesuatu seperti obat yang masuk lewat dubur atau kubul tidak menyebabkan
seseorang menjadi mahram (menurut pendapat yang kuat) karena tidak dianggap memberikan
nutrisi, karena huqnah tersebut berfungsi untuk melancarkan buang air besar. Pendapat yang
kedua, huqnah tersebut menyebabkan kemahraman sebagaimana hal tersebut membatalkan
puasa.

b. Pendapat Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi dalam kitab Syarh Zad al-Mustaqni’


(4/103):

ْ ‫ إن ُ ها ت ْ و جبُ َ الفطر؛ َّ لن َ ها ت ص ُل َ إلىالج و ِف‬:‫ فهذه قالوا‬، َّ ‫ ]أو احتقن[ كأن َ ت َ كون ْ حق ٌ نة ُّ في الد ِ بر‬:‫قوله‬
‫ ً الجا‬، ‫ْ َ وي َ ت َّ ِْل غذىِب ها ا ُ نسان َ وي ْ ِف رت ُ ق َ ِوع بهاد ً واء‬

Ungkapan (atau huqnah), seperti memasukkan sesuatu ke dubur. Mereka berpendapat bahwa
itu membatalkan puasa, karena sesuatu yang dimasukkan tersebut sampai pada lambung dan
seseorang dapat merasakan makanan serta dapat dirasakan adanya obat dan proses
penyembuhan.

4. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang pleno Komisi Fatwa MUI
pada tanggal 16 Maret 2021 bertepatan dengan 2 Sya’ban 1442 H.

MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
FATWA TENTANG HUKUM VAKSINASI COVID-19 SAAT BERPUASA Pertama :
Ketentuan Umum Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1. Vaksinasi adalah proses pemberian vaksin dengan cara disuntikkan atau diteteskan ke dalam mulut
untuk meningkatkan produksi antibodi guna menangkal penyakit tertentu.
2. Injeksi intramuskular adalah injeksi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat atau vaksin
melalui otot.
Kedua : Ketentuan Hukum
1. Vaksinasi Covid-19 yang dilakukan dengan injeksi intramuscular tidak membatalkan puasa.
2. Melakukan vaksinasi Covid-19 bagi umat Islam yang berpuasa dengan injeksi intramuscular
hukumnya boleh sepanjang tidak menyebabkan bahaya (dlarar).
Ketiga : Rekomendasi
1. Pemerintah dapat melakukan vaksinasi Covid-19 pada saat bulan Ramadhan untuk mencegah
penularan wabah Covid-19 dengan memperhatikan kondisi umat Islam yang sedang berpuasa.
2. Pemerintah dapat melakukan vaksinasi Covid-19 terhadap umat Islam pada malam hari bulan
Ramadhan jika proses vaksinasi pada siang hari saat berpuasa dikhawatirkan menyebabkan bahaya
akibat lemahnya kondisi fisik.
3. Umat Islam wajib berpartisipasi dalam program vaksinasi Covid-19 yang dilaksanakan oleh
Pemerintah untuk mewujudkan kekebalan kelompok dan terbebas dari wabah Covid-19. Fatwa
tentang Hukum Vaksinasi Covid-19 saat Berpuasa 8 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Keempat : Ketentuan Penutup
1. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata
dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua
pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :


Menimbang :
a. bahwa bulan suci Ramadan merupakan salah satu momentum yang tepat bagi umat muslim untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah yang di antaranya dengan puasa, tarawih, i’tikaf,
menunaikan zakat, takbir, sholat Idul Fitri, dan silaturrahmi halal bihalal di bulan Syawal;
b. bahwa Ramadan dan Syawal Tahun 1442 H ini masih dalam kondisi wabah Covid-19 yang meski
sudah ada penurunan kasus dan penanganan yang serius, namun belum sepenuhnya terkendali,
sehingga harus tetap melakukan kewaspadaan agar tidak terjadi peningkatan penularan;
c. bahwa muncul pertanyaan dari masyarakat mengenai tata cara penyelenggaraan ibadah di bulan
Ramadan dan Syawal 1442 agar dapat terlakasana secara baik sesuai tuntunan syariah dan pada saat
yang sama dapat berkontribusi dalam pencegahan penularan wabah Covid-19;
d. bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia perlu menetapkan fatwa tentang panduan
penyelenggaraan ibadah di bulan Ramadan dan Syawal 1442 H untuk dijadikan sebagai pedoman.
Mengingat :
1. Firman Allah SWT:
a. Ayat-ayat tentang tentang wajibnya puasa Ramadan dan keterangan rukhsah bagi yang sakit atau
bepergian, antara lain;
َّ ‫ِب خ ُ ك ْ ىا ُ ى َ ام َ ء َ ِ ًز َّ ا ٱل َ ه ُّ ي َ أ ٓ َ ً ْ م ُ ِ ك ل ْ ب َ ِ ًم ك َ ِ ًز َّ ٱل ( َ ىن ُ ل‬
َ ‫ِب خ ُ ا ك َ م َ ك ُ ام َ ُ ِ ٱلصّ ُ م ُ ك ْ ُ َ ل َ ع‬َ ‫ىَلَع‬
ً َ
َ ‫) ٍۢ ٍ ش َ ف ى ظ َ ل َ ع ْ و َ ا أ ٍظ ِ ش َّ م م ُ ِمىك َ ان َ ً ك َ م َ ۚ ف ٍۢ ٍث َ ود ُ ذ ْ ع َّ ا م ً ام َّ ً َ أ َ ع َّ ى َ ؼ َ ً ج‬٣٨١ ‫خ َ ج ْ م ُ ك َّ ل َ ع َ ل‬
ْ ‫م َ ۖ ف ٍۢ ٍن ِكي ِم ْع ُ ام َ ع َ ػ ٌ ت َ ً ْ ِفذ ۥ ُ ه َ ىه ُ ِ ُؼل ُ ً َ ِ ًز َّ ى ٱل َ ل َ ع َ ۚ و َ ش َ خ ُ أ ٍ ام َّ ً َ أ ْ ً ِ ّ م ٌ ة َّ ِعذ َ ف ا ً ر ْ ي َ خ ) َ ىن ُ م َ ل‬
٣٨١ ‫)ع َ ح ْ م ُ ىخ ُ ِ ن ك ۖئ ْ م ُ ك َّ ل ٌ ر ْ ي َ خ ْ ىا ُ ىم صُ َ ن ج َ أ َ ۥۚو ُ ه َّ ل ٌ ر ْ ي َ خ َ ى ُ ه َ ف‬
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-
orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka
barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,
maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS.
alBaqarah [2]: 183-184)
b. Ayat-ayat tentang tentang kewajiban menunaikan zakat, di antaranya:
‫ )الخىبت‬... ‫ص ْ ِ م ِه ال َ ى ْ م َ أ ْ ِ ًم ْ ز ُ خ‬
َ ‫اَهِبِْمهِْيّكَضُجَوْمُهُِشّهَؼُجًتَكَذ‬
@ 301)Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka… (QS. al-Taubah [9]: 103)
ِ ُ ‫ا َ ه ْ ي َ ل َ ع َ ِ ين ِمل َ ع ْ ٱل َ ِن و ِكي َع َْ ْٱل َ ِء و ٓ ا َ ش َ ل ُ ف ْ ِ ل ل ُ ذ َ ك َ ذ ا ٱلصَّ َ م َّ ه ِ ِت ئ َ ف َّ ل َ إ ُْ ْٱل َ و ْ م ُ ه ُ ىب ُ ل‬
ٌ ‫ك ى ف َ و ِۖل ُ ِ ب ٱل َّع ِ ً ْ ٱب َ ِ و ِل ٱَّلل َّ ُ ِ ب ِى ظَ ف َ و َ ِ ِمين ش َ ؼ ْ ٱل َ ِب و ا َ ك ِ ّ ِري َضة ٱلش فَ ٌ ُِم ل َ ع ٱَّلل َّ ُ َ ِۗ و ٱَّلل َّ َ ًِ ّ م‬
‫ِ ُكم َ ح ]الخىبت‬
@ 6]< Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-
orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai
suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. al-
Taubah [9]: 60)
َ ‫ )البلشة‬. ‫اة َ ك َّ ىا الض ُ آج َ و َ ة َ َل ىا الصَّ ُ ِ ُكم َ أ َ و ىا ُ ع َ ك ْ اس َ و َ ِ ِكعين ا َّ الش َ ع َ م‬
@ 9) ”Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS.
al-Baqarah [2]: 43)
ۖ ‫ب ّ ُ َ ِ ًم ػ ْ ىا ُ ِفل ه َ أ ْ ا ٓ ى ُ ى َ ام َ ء َ ِ ًز َّ ا ٱل َ ه ُّ ي َ أ ٓ َ ً ِت َ ً ِ ّ م م ُ ك َ ا ل َ ى ْ ح َ ش ْ خ َ أ ٓ ا َّ ِمم َ و ْ م ُ خ ْ ب َع َ ا ك َ م‬
َِ ‫ِض ْ س‬ َ
‫ )البلشة‬... ‫ْ ْٱل‬
@ =>8.) Hai orang yang beriman! Nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu …”. (QS. al-Baqarah [2]: 267)
ِ 939 @‫ )البلشة‬... ‫ل ُ ك َ ن ْ ى ُ ِفل ْ ى ُ ا ً َ ار َ م َ ك َ ه ْ ى ُ ل َ ئ ْع َ َ َ و َ ى ْ ف َ ع ْ ال‬.) Dan mereka bertanya kepada
apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. (QS. al-Baqarah [2]: 219)
c. Ayat-ayat tentang perintah dan keutamaan i’tikaf, di antaranya: َ ُ ‫ك ْ ِل ِ ِحذ ج ا َع َْ ِي ْال ف َ ىن ُ ِكف ا َ ع ْ م‬
ُ َّ ‫خ ْ ه َ أ َ و َّ ً ُ وه ُ ِشش ا َ ب ُ ج َ َل َ و ُ ود ُ ذ ُ ح ا َ ىه ُ ب َ ش ْ ل َ ج َ َل َ ِ ف اَّلل َّ َ ىن ُ ل َّ خ َ ً ْ م ُ ه َّ ل َ ع َ ِطل ا َّ ِ لى ِ ِهل اج َ ً َ آ اَّلل‬
7<= @) ‫ )البلشة‬. ‫)ُ ن ّ ِ ي َ ب ُ ً َ ِك ل َ ز َ ك‬

“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikafdalam mesjid. Itulah larangan Allah,
maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 187)

ْ ‫ع َّ ك ُّ الش َ و َ ِ ِك فين ا َ ع ْ ال َ و َ ِ ِفين ائ َّ ِ لؼ ل َ ِ ي ت ْ ُ َ ا ب َ ِ ش ّ ه َ ػ ْ ن َ أ ِع َُل ا َ م‬


ِ ْ ‫ِظ ئ َ و َ ِهُم ا َ ش ْ ب ِ ى ئ َ ل ِ ا ئ َ ه‬
78; @‫)ذ ه َ ع َ و ىِد ُ ج ُّ الس )البلشة‬
“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang
yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". (QS. al-Baqarah [2]: 125) d. Ayat-ayat tentang
ْ ‫ص َ ِهۦف ِ ّ ب َ س َ م‬
shalat Idul Fitri, di antaranya: ‫ٱظ َ ش َ ك َ ر َ و ]ال‬ َ ‫ى َّ ك َ ض َ ً ج َ م َ ح َ ل ْ ف َ أ ْ ذ َ ك ى َّ ل‬
7-;7: @‫]على‬
Sungguh beruntung orang-orang yang mensucikan diri (beriman) dan mengingat nama Tuhan-Nya,
lalu dia shalat. (QS. al-A’la [87]: 34-15)
e. Ayat tentang larangan menjatuhkan diri dalam kebinasaan, di antaranya: ...
َ ِ 7) @ ‫;?ين ِعى ْ خ ُْ ْال ُّ ِحب ُ ً اَّلل َّ َ َّ ِن ىا ئ ُ ِعى ْ ح َ أ َ ِتو َ ك ُ ل ْ ه َّ ى الت َ ل ِ ئ ْ م ُ ِ ًذك ْ ً َ أ ِ ىا ب ُ ل ْ ل ُ ج َ َل َ و )البلشة‬
“… dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan
berbuat baiklah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Baqarah [2]:
195)
f. Ayat-ayat tentang adanya kemudahan dalam beragama, jika dalam keadaan darurat atau kondisi
yang sulit, di antaranya:
ٍ ِ ‫ )البلشة@ َ ش ْع ُ ع ْ ٱل ُ م ُ ِك ب ُ ٍذ ِ ش ُ ً َ َل َ و َ ش ْع ُ ِ ْ ٱل ُ م ُ ِك ب ٱَّلل َّ ُ ُ ذ‬... ً ... ُ ‫… [=<; ش‬
dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan … (QS. al-Hajj [22]:
78) ...
ْ ‫ ْ م ُ خ ْ ع َ ؼ َ خ ا‬á@ ً‫]الخؼاب‬
]7> ‫اظ َ م ىا اَّلل َّ َ ُ ل َّ اج َ ف‬
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu … . (QS. al-Taghabun [64]: 16)
2. Hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam antara lain:
a. Hadis-hadis tentang kewajiban puasa Ramadan dan keutamaanya, di antaranya:
@ َ ‫ِظ ْ َ ْال ِ ي ن‬ْ ‫ ع َ ش َ م ُ ِ ع ً ْ اب ِ ً َ ع ُ ٍغ ب ْ م َ ى خ َ ل َ ع ُ م َ َل‬، َ ً ِ ‫ص ّ ِ ي ب َّ الى‬ َ ِ ‫ك َ م َّ ل ظَ َ ِهو ْ ُ َ ل َ ع ى هلالُ َّ ل‬، َ ‫ال‬َ
َ َ‫ َ ان ظ‬. ‫ و ُل ْ ى ظُ َ ا س ً ذ َّ م َ ح ُ م َّ ن َ أ َ و هلالُ َّ َِل ئ َ له ِ ئ‬، ‫ و َ َل الصَّ ِ ام َ ِك ئ َ ِهلال‬، ‫َل ْ ن َ ِة أ َ اد َ ه َ اِء @ ش َ خ ْ ً ِ ئ َ ِة‬
‫و ا َ ك َّ الض )سواهمعلم‬،‫و ْ ِ َ ب ْ ال ِ ّ ج َح َ ِة‬،‫ص َ ِذ‬ َ ‫(م َ ِ س م ْ ى‬
Dari Ibnu Umar ra. dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Islam dibangun di atas lima hal:
bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, pergi haji, dan puasa di bulan Ramadan.'" (HR. Muslim)

َ ‫ال َ ك َ م َّ ل ظَ َ ِهو ْ ُ َ ل َ ع ى هلالُ َّ ل َ ص ا ً اه َ م ْ ً ِ ئ َ ان ظَ َ م َ س َ ام‬


َّ ِ َ ً ْ ‫ص‬ َ ‫ أ َ ة َ ش ْ ٍ َ ش ُ ي ه ِ ب َ أ ْ ً َ ع‬، َ ‫ي ب َّ الى َّ ن‬
‫(م ِ ِه ب ْ ه َ ر ْ ِ ًم َ م َّ ذ َ ل َ ا ج َ م ُ ه َ ل َ ِفش ُ ا ػ ً اب ِ َع د ْ اح َ و )سواهأبىداود‬
Dari Abu Hurairah ra. sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang
berpuasa Ramadan karena keimanan dan mengharapkan pahala (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala),
niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR. Abu Dawud)

َ َّ ‫ال َ ك َ م َّ ل ظَ َ ِه و ْ ُ َ ل َ ع ى هلالُ َّ ل‬
ْ ‫ أ َ ة َ ش ْ ٍ َ ش ُ ي ه ِ ب َ أ ْ ً َ ْ ُغ ع @ م َ خ ْ ال ُ اث َ ى َ ل لصَّ َ ا ُ ج‬، َ ‫ص ِ ي ب َّ الى َّ ن‬ َ
ِ ‫ال و ِذ َ َ ِب ى ُ خ ْ ا اح َ ِر ئ َّ ً ُ ه َ ن ْ ُ َ ا ب َ ِ ْل ٌ اث َ ِ ش ّ ف َ ك ُ م َ ان ظَ َ م َ ى س َ ل ِ ئ ُ ان ظَ َ م َ س َ ِت و َ ع ُ م ُ ج ْ ى ال َ ل‬
‫(ئ ُ ت َ ع ُ م َ ِش ائ َ ب َ ك ْ ال )سواهمعلم‬
Dari Abu Hurairah ra. sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalat fardhu lima
waktu, shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, dan Ramadan ke Ramadan berikutnya menghapuskan
dosa-dosa yang dilakukan di antara masa tersebut seandainya dosadosa besar ditinggalkannya.” (HR.
Muslim)
b. Hadis tentang qadha’ dan fidyah puasa Ramadan, di antaranya:

َ ِ ‫ ف َ م َّ ل ظَ َ ِه و ْ ُ َ ل َ ع ى هلالُ َّ ل‬، َ ُ َ ‫ت َ ِش ائ َ ع ْ ً َ ع @ ْ ذ َ ال َ ك » ا َ ه ُ ش ُ م ْ أ‬
، َ ُ ‫ص ّ ِ ي ب َّ الى َ ذ ْ ُع ِعى ِ ُح َ ا ه َّ ى‬
‫ (ك ِ م ْ ى ِاءالصَّ ظَ َ ِل ب «)سواهابً ماحه‬Dari Aisyah ra. berkata: “Kami haid di masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka beliau memerintahkan kami untuk mengqadha’”. (HR. Ibnu Majah)
ٍ‫ ن{ ]البلشة@ ِكي ِم ْع ُ ام َ ع َ ػ ٌ ت َ ً ْ ِفذ ُ ه َ ىه ُ ِ ُؼل ُ ً َ ِ ًز َّ ى ال َ ل َ ع َ ٍط@ }و ا َّ ب َ ِ ع ً ْ اب ِ ً َ ع ا َل‬:

c. Hadis tentang keutamaan i’ktikaf di bulan Ramadan, di antaranya:

َ َّ ‫خش ا َ و َ ْ ال َ ش ْ ش َ ع ْ ال ِكفُ َ خ ْ ع َ ٌ َ ان َ ك َ م َّ ل ظَ َ ِه و ْ ُ َ ل َ ع ى هلالُ َّ ل‬


َ ِ ‫ " أ َ ت َ ِش ائ َ ع ْ ً َ ع‬، َ ‫ص ِ ي ب َّ الى َّ ن‬
‫ )سواهأحمذ‬. ‫ ح َ ان ظَ َ م َ س ْ ِ ًم ِ ِذه ْ ع َ ب ْ ِ ًم ُ ه ُ اح َ و ْ ص َ أ‬، َ ‫ ث ُ هلالُ اه َّ ف َ ى َ ىج َّ ت‬، ُ ‫(فَ َ ك َ خ ْ اع َّ م‬
Dari ‘Aisyah ra. sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir
bulan Ramadan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR.
Ahmad)
d. Hadis tentang kewajiban menunaikan zakat, di antaranya:
َ ‫ىل ظُ َ س َّ ن َ ا@ أ َ م ُ ه ْ ن َ ع اَّلل َّ ُ َ ِض ي َ ٍط س ا َّ ب َ ِ ع ً ْ اب ِ ً َ ع‬ َ َّ ‫ص اَّلل‬
َ ِ ‫ث َ ع َ ا ب َّ َ ْل َ م َّ ل ظَ َ ِهو ْ ُ َ ل َ ع ى هلالُ َّ ل‬
ُ ‫ال َ ك ِ ً َ م َ ى ا ُل َ ل َ ع ُ ه ْ ى َ ع اَّلل َّ ُ َ ِض ي َ ا س ً ار َ ع ُ ِل م » ِك ْ ه َ أ ٍ م ْ ى َ ى ك َ ل َ ع ُ م َ ذ ْ ل َ ج َ ك َّ ه ِ ٍب ئ ا َ خ ىا‬ َ @
َّ َّ
‫ف َ ش َ ا ع َ ِر ا َ ِ ف الل َّ ُ ة َ اد َ ِه ِعب ْ ُ َ ل ِ ئ ْ م ُ ىه ُ ع ْ ذ َ ا ج َ م َل َّ و َ أ ْ ً ُ ك َ ُ ْ ل َ ف َّلالَ ْ ذ َ ك الل َّ َ َّ ن َ أ ْ م ُ ه ْ ِر ب ْ خ َ أ َ ف‬
ََ‫صمَخِْمهْيَل‬ َ ‫اَّلل َّ َ َّ ن َ أ ْ م ُ ه ْ ِر ب ْ خ َ أ َ ىا ف ُ ل َ ع َ ا ف َ ِر ا َ ف ْ ِ م ِ ه ت َ ل ْ ُ َ ل َ و ْ ِ م ِمه ْ ى َ ِي ً ا ٍث ف َ ى َ ل ْ َغ‬
‫َض ع ش َ ف ْ ِ م ه ْ ي َ ل َ َ َض ع ش َ ف ْ م ُ ه ْ ِمن ْ ز ُ خ َ ا ف َ ه ِ ىا ب ُ اع َ ػ َ ا أ َ ِر ا َ ف ْ ِ م ِ ه ائ َ ش َ ل ُ ى ف َ ل َ ع ُّ د َ ش‬
‫(ُ ج َ و ْ ِ م ِه ال َ ى ْ م َ أ ْ ِ ًم ً اة َ ك َ ص ِط ا َّ ِل الى ا َ ى ْ م َ أ َ ِم ائ َ ش َ ك َّ ق َ ى َ ج َ و «)سواهالبخاسي‬
Dari Ibnu 'Abbas ra. bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu'adz ra. ke negeri
Yaman, Beliau berkata,: "Kamu akan mendatangi Ahlul Kitab, maka hendaklah hal pertama yang
kamu da'wahkan kepada mereka adalah mengajak mereka untuk menyembah Allah. Jika mereka telah
mengenal Allah, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka untuk
melakukan shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah melaksanakannya, maka
beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan mereka untuk membayar zakat dari harta mereka yang akan
diberikan kepada orang-orang faqir dari kalangan mereka. Jika mereka telah menaatinya, maka
ambillah dari mereka (sesuai ketentuannya) dan peliharalah kesucian harta manusia". (HR. al-
Bukhari)
ٍ ّ ِ ‫ال َ @ ك ا َل َ ك ” ى َ ل َ َ َض ع ش َ ف‬ َ ‫ص اَّلل َّ ى ُل ظُ َ س‬
َ ِ ‫ي ل َ ع ْ ً َ ع هنع هلال يضر @ َ م َّ ل ظَ َ ِهو ْ ُ َ ل َ ع ى هلالُ َّ ل‬
َ ‫اَّلل َّ َ َّ ِن ئ اِء َ ُِ ى ْ ػ َ أ َّ َِل ئ ُ اء َ ش َ ل ُ ف ْ ال َ ذ َ ه ْ ج ُ ً ْ ً َ ل َ و ْ م ُ ه َ اء َ ش َ ل ُ ف ُ ع َع َ ِزي ٌ َّ ال َ س ْ ذ َ ك ْ ِ م ِه ال َ ى ْ م‬
َ ‫ِي أ ف َ ِ ِمين ل ْع ُْ ْال ِت َ ام َ ِ ُل ْ ال َ م ْ ى َ ً ْ م ُ ه ُ ِظب ا َ ح ُ م اَّلل َّ َ َّ ِن ئ َ و َ َل َ أ ْ م ُ ه ُ اؤ َ ُِ ى ْ ػ َ أ ُ ع َ ى صْ َ ا ً َّ ِمم وا ُ ش ُ ع‬
‫(ىا و ُ اع َ ا ح َ ِر ئ ا ً ِ ًذذ َ اش ً اب ِح َع ً اب َ ز َ ع ْ م ُ ه ُ ِ ب ّ ز َ ع ُ م َ و ا ً ش ْ ك ُ ا ه “)سواهالؼبراوي‬
Dari Ali ra. berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah
mewajibkan zakat kepada orang-orang muslim yang kaya atas harta mereka yang mencukupi
kebutuhan orang-orang muslim yang fakir. Dan tidak akan terjadi kelaparan dan orang tidak memakai
pakaian (sama sekali) kecuali karena orang kaya tidak menunaikan zakat. Ketahuilah! Sesungguhnya
Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka (orang kaya yang tidak berzakat) dan akan
menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih“. (HR. al-Thabarani)
e. Hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membolehkan penyegeraan pengeluaran zakat
sebelum waktunya, di antaranya;

َ َّ ‫ط ا َّ ب َ ع ْ ال َّ ن َ ِ ٍب أ ال َ ي ػ ِ ب َ أ ِ ً ْ ب ِ ّ ِ ي ل َ ع ْ ً َ ع » ْ ُ َ ل َ ع ى هلالُ َّ ل‬
َ ‫ص ِ ي ب َّ الى َل َ أ َ في ظ ِ َ م َّ ل ظَ َ ِه و َ ِك‬
‫ص ُ ِ ج ْ ع َ ح « )سواه ابً ماحه وأبى داوود‬ َ ‫(ل َ ِي ر ف ُ ه َ َص ل َّ خ َ ش َ ف ِح َّل َ ج ْ ن َ أ َل ْ ب َ ِ ِه ك خ َ ك َ ذ ِل‬
Dari Ali bahwa Abbas ra. bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penyegeraan
pengeluaran zakat sebelum waktunya, lalu beliau mengizinkannya. (HR. Ibnu Majah dan Abu Daud)

َ ‫ص اَّلل َّ ى ُل ظُ َ س‬
َ َ ‫ال َ @ ك ا َل َ ِ ٍب ك ال َ ي ػ ِ ب َ أ ِ ً ْ ب ِ ّ ِ ي ل َ ع ْ ً َ ع @ " وا ُ ِكش ا َ ب‬ َ ِ ‫م َّ ل ظَ َ ِه و ْ ُ َ ل َ ع ى هلالُ َّ ل‬
‫(َل َ ء َ َل َ ب ْ ال َّ ِن ا َ ِتف َ ك َ ذ الصَّ ِ ب ا َ اه َّ ؼ َ خ َ خ َ ً ")سواهالؼبراوي‬
Dari Ali bin Abi Thalib ra. berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersegeralah
membayar zakat, sebab bala’ bencana tidak akan melangkahinya”. (HR. al-Thabarani)
f. Hadis tentang larangan membahayakan diri sendiri dan orang lain, di antaranya:
ْ ً َ ‫ي س ْ ذ ُ ـخ ْ ال َل ْ ى ظُ َ س َّ ن َ أ ُ ه ْ ى َ ع َ هلالُ ِض ي َ س @ ا َل‬ ُ ِ ْ ‫ـي ِ ب َ ٍذ أ‬
ّ ِ ِ ‫ع َ ٍن ظ ا َ ِ ِظى ً ْ ِ ِك ب ال َ ِ م ً ْ ِذ ب ْ ع َ ظ‬ ْ ‫ع‬
َ ُ
‫َ( ك َ م َّ ل ظ َ ِهو ْ ُ َ ل َ ع ـى هلال َّ ل َ ِهلال ص لي )سواه الذساكؼنيوالبيه َ اس َ ِطش َ َل َ و َ س َ ش ط َ َل و الخاكم‬َ

Dari Abû Sa’îd Sa’d bin Mâlik bin Sinân al-Khudri Radhyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain ”. (HR.
alDâraquthni, al-Baihaqi, al-Hakim)
g. Hadis-hadis tentang tuntunan menghadapi suatu pandemi atau wabah, di antaranya:
@ ‫ص ّ ِ ي ب َّ الى ِ ً َ ع » َ َل َ ٍض ف ْ س َ أ ِ ىِن ب ُ اع َّ الؼ ِ ب ْ م ُ خ ْ ِمع ا ظَ َ ِر‬ َ ِ ‫ال َ ك ُ ه َّ ه َ أ َ م َّ ل ظَ َ ِهو ْ ُ َ ل َ ع ى هلالُ َّ ل‬
َ
‫و َ ىه ُ ل ُ خ ْ ذ َ ج ا َ ه ْ ِم «ن‬،‫ئ ىا ُ ح ُ ش ْ خ َ ج َ َل َ اف َ ه ِ ب ْ م ُ خ ْ ه َ أ َ ٍض و ْ س َ أ ِ ب َ ع َ ك َ او َ ِر ئ َ ا‬
Dari Nabi saw sesungguhnya beliau bersabda: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka
janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan
tinggalkan tempat itu." (HR. al-Bukhari)
َ ِ ‫ ف ِ م ْ أ َّ ى الش َ ل‬، َ ‫ش َ م ُ ع َّ ن َ أ ِ م ْ أ َّ الش ِ ب َ ع َ ك َ و ْ ذ َ ك َ اء َ ب َ الى َّ ن َ أ ُ ه َ ؼ َ ل َ ب َ غ ْ ش ِ َع ب َ ان َ ا ك َّ م َ ل‬
َ َّ ‫ص اَّلل‬
َ ‫ىل ظُ َ س َّ ن َ ٍف@ أ ْ ى َ ع ُ ً ْ ب ِ ً َ م ْ ح َّ الش ُ ذ ْ ب َ ع ُ ه َ ر‬ َ ِ ‫ال َ ك َ م َّ ل ظَ َ ِه و ْ ُ َ ل َ ع ى هلالُ َّ ل‬
َ @-‫ئَجَشَخ‬
َ ‫ ف َ ه ِ ب ْ م ُ خ ْ ه َ أ َ ٍض و ْ س َ أ ِ ب َ ع‬،‫ب ْ خ َ أ َ ف « َ ىا ع ُ م َ ذ ْ ل َ ج َ َل َ ٍض ف ْ س َ أ ِ ِه ب ِ ب ْ م ُ خ ْ ِمع ا ظَ َ ِر ئ َ َل َ ا‬
‫ و ْ ُ َ ل ُ ه ْ ِمى ا ً اس َ ِفش ىا ُ ح ُ ش ْ خ َ ج‬،‫« ك َ ا و َ ِر ئ َ ِه‬
Sesungguhnya Umar sedang dalam perjalanan menuju Syam, saat sampai di wilyaah bernama Sargh.
Saat itu Umar mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian
mengatakan pada Umar jika Nabi Muhammad saw pernah berkata, "Jika kamu mendengar wabah di
suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada,
maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR. al-Bukhari).

h. Hadis-hadis yang menerangkan adanya kemudahan dalam beribadah saat kondisi darurat atau
keadaan sulit, di anataranya:

َ ‫ص ى ُل ظُ َ س‬
ِ َ ‫ال َ ًع ابً عمشكال @ ك ِه ْ ُ َ ل َ ع ْ ن َ أ ُّ ِحب ُ ً هلالَ َّ ِ ن @ " ئ َ م َّ ل ظَ َ و ُ ه ُ خ‬
‫ِص ْ ع َ ى م َ ح‬ َ ‫ى هلالُ َّ ل ِهلال‬
‫ك ُ ه صُ َ خ ُ ى س َ ح ْ إ ُ ج )سواهأحمذ‬، َ ‫(ْ إ ُ ج ْ ن َ أ ُ ه َ ش ْ ك َ ا ً َ م‬
Dari Ibnu Umar ra. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah suka
untuk dilakukan rukhsah-Nya, sebagaimana Allah membenci apabila maksiat dilakukan.” (HR.
Ahmad)
@ ْ ‫ىل ظُ َ س َ ِمع ظَ ُ ه َّ ه َ ًع أبي ه ٍششة هنع هلال يضر أ » ا َ م ِه ِ ب ْ م ُ ك ُ ج‬ َ ‫ص‬ َ ‫ى ُل ُ ل َ ً َ م َّ ل ظَ َ ِه و ْ ُ َ ل َ ع ى هلالُ َّ ل ِهلال‬
ْ
ِ ‫ ف ْ م ُ خ ْ ع َ ؼ َ خ ا اظ َ م ُ ه ْ ِمى‬، َ ‫ ف ُ ه ْ ى َ ع ْ م ُ ك ُ خ ْ ُ َ ه َ ن ىا ُ ل َ ع ْ اف َ ف ا َ م َّ ه ِ ا‬، َ ‫ش َ م َ ا أ َ م َ و ُ ىه ُ ِب ي َ خ ْ اح‬
‫ و ْ ِ م ِه ِل ائ َع َ م ُ ة َ ر ْ ث َ ك ْ م ُ ِ ك ل ْ ب َ ك ْ ِ ًم َ ِ ًز َّ ال َ ك َ ل ْ ه َ أ معلم‬، َ ‫(م )سواه ِ ه ائ َ ُ ِ ب ْ ه َ ى أ َ ل َ ع ْ م ُ ه ُ ف َ َِل خ ْ اخ‬
Abu Hurairah ra. mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apa saja yang aku
larang kamu melakukannya, hendaklah kamu jauhi, dan apa saja yang aku perintahkan kepadamu,
maka lakukanlah menurut kemampuan kamu. Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu
adalah karena mereka banyak bertanya dan tidak patuh dengan nabi-nabi mereka.” (HR. Muslim)
ِ ‫ ا َل َ ك @» ى َ ح ْ إ ُ ج ْ ن َ أ ُّ ِحب ُ ً َّل َ ح َ و َّ ض َ ع اَّلل َّ َ َّ ِن ئ‬-‫ملسو هيلع هلال ىلص‬- ‫ىل ظُ َ س َّ ن َ أ َ ش َ م ُ ِ ع ً ْ اب ِ ً َ ع‬
َ َّ ‫اَّلل‬
‫« ُ ه ُ ِ م ائ َ ض َ ى ع َ ح ْ إ ُ ج ْ ن َ أ ُّ ِحب ُ ا ً َ م َ ك ُ ه صُ َ خ ُ س‬.
Dari Ibnu Umar ra. sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya
Allah suka untuk dikerjakan rukhsahNya, demikian juga Allah suka untuk dikerjakan perintah-Nya
(azimah).” (HR. al-Baihaqi)
3. Kaidah Fikih antara lain:

َ ًُ ُ‫الظَّ َشس‬
‫ضا ُل‬
“Kemudharatan harus dihilangkan”
ِ ِ‫لح صا َ ِباْل ْ ل َ على ح ٌ م َّ ذ َ ل ُ ِ ِظذ م ا َ ف َ ْال ُ ء ْ س َ د‬
“Menolak mafsadah didahulukan dari pada mecari kemaslahatan”.
َ ‫ر ْ ِعي ْ ِ َّ الخ ِبُ ل ْ ج َ ج ُ ت َّ ل َ ش َ ْال‬
“Kesulitan membawa kepada kemudahan”
ُ ‫َان‬ ِ ‫الظَّ َشسُ ًُ ع َ ف ْ د بِلَ ْذ‬
ِ ‫س ْال ْمك‬
“Bahaya sedapat mungkin harus dihindarkan”
ِ‫“ ها س َ ذ َ بل ُ س َّ ذ َ ل ُ ج ُ ة َ وس ُ الظش‬
Kedaruratan diukur sesuai kadarnya”.
َ ‫ اق طَ َ ع َع ّ ا اح َ ِر ئ َ و َ ع َع َّ اح َ اق ا طَ َ ِر ئ ُ ش ْ الم‬.
“Sesuatu ketika sulit, menjadi longgar, dan ketika longgar, menjadi sulit".
ُ ِ َّ ‫ص َ ِت ج َ خ َ ل صْ َْ ْال ِ ب ٌ غ ْ ى ُ ى َ ِتم‬
‫ع َّ الش‬ َ ‫ى َ ل َ ِ ع ام َ ِم ْ ْال ُ ُّف ش‬
“Kebijakan pemimpin [pemegang otoritas] terhadap rakyat harus mengikuti kemaslahatan“.
ُ ‫ه ُّ ل ُ ك ُ ك َ ر ْ ت ُ ً َ َل ُ ه ُّ ل ُ ك ُ ك َ س ْ ذ ُ ً َ ا َل َ م‬
“Apa yang tidak dapat diperoleh seluruhnya tidak boleh ditinggal seluruhnya”
Memperhatikan:
1. Pendapat fuqaha terkait dengan saf dalam shalat jamaah, antara lain:
a. Pendapat al-Ramli dalam kitab Nihayah al-Muhtaj Ila Syarh alMinhaj (2/192):

َ ‫ا َ ئر ُ ه َّ ه َ أ ِ ش صْ َ ع ْ ِل ال ْ ه َ ْ ُع أ ع َ ِه ب ِ ى ب َ ت ْ ف َ ا أ َّ م َ ع ُّ ِ ي ل ْ م َّ الش ابُ َ ِ ه ّ الش ِ َل ئ ظُ َ و ٌّ ف‬


َ ‫ص فَ َ ك َ و ؟‬
ُ ‫َل ْ و َ أ ٌ ذ َ م َ خ ْ ع ُ م َ ى ُ ه لْ َ ِت ه َ اع َ م َ ج ْ ال ُ ت َ ِظُل َ ف ُ ه َ ل لْ صُ ْ ح َ ج ْ م َ ل ُ ه َ ام َ م َ ا أ َ ِ م ام َ م ْ ئج َل ْ ب َ ك ِ ىس‬
َ ‫ك ْ ز َْ ىِفِهاْل ُ ك ُ ِى ِتب َ اع َ م َ ج ْ ال ُ ت َ ِظُل َ ف ُ ه ُ ىج ُ ف َ ج َ َل ُ ه َّ ه َ أ ِ ب‬
‫اب َ ح َ أ َ ف‬
Syihab al-Ramli pernah ditanya tentang fatwa sebagian ulama tentang kuat atau tidaknya pendapat
bahwa jika seorang jamaah yang membuat saf baru sebelum sempurnanya saf di depannya maka dia
tidak mendapatkan keutamaan shalat berjamaah. Beliau berpendapat bahwa seorang jamaah tersebut
tidak kehilangan keutamaan shalat berjamaah karena membuat saf baru tersebut.
ِ ‫ ْ ِ م‬. ‫ ب ِ ًذ َ خ ْ ِي ال ف َ د َ س َ ا و َ م َ ِة ك َ َل الصَّ ِ ام َ م َ ج ْ ى ِف ِ ًم ُ ف ُّ الص َ ت َ ٍ ِ ى ْع َ ح َّ ِن ا َ ف‬،‫ك ْ ش َ ِف ج َ ِخَ ل ِ ِث‬
ْ ‫ى َّ ت َ ِ ِمه ح ا َ ش ْ ئح ُ م َ ذ َ ع ُ ه َ ل ُّ ً َع ُ ٌ َ ام َ ِم ْ ْال َّ ِ ن ا َ ِ ي ف ّ ؼ َ خ َّ الخ َ ع َ و ْ ئن ْ م ْ ه َ ش‬ٌ ُ ‫ي ّ ى َع‬
َ ِ ‫ىِفه ُ ف صُ َ ن ْ ي َ ب‬
َ ْ ْ
َ ‫ك ُ ً ْ م َ ل ِ ام َ ش َ خ ْ ِ ِذ ال ج س ْ َ ال ِ ب ِ ّ ش َ خ ْ ِذ ال ْ ك َ ى َ ٍ ك س ْ ز ُ ِ ع ِت ل َ ح ْ ش ُ ف ْ ِ ال ّ ذ ظ ْ ً َ ع ْ م ُ ه ُ ش ُّ خ َ أ َ ج‬
‫ان َ ك ِ ِصير ْ ل َّ الخ ِ م َ ذ َ ِ ع ل‬
Sesungguhnya meluruskan saf adalah termasuk kesempurnaan shalat berjamaah sebagaimana tersebut
dalam hadis. Hal ini berbeda jika barisan tidak teratur, maka imam disunnahkan untuk tidak
bertakbiratul ihram sebelum meluruskan saf. Jika seseorang tidak merapatkan saf karena uzur seperti
cuaca panas di masjidil haram, maka tidak makruh karena bukan niat meremehkan.
b. Pendapat Ibnu Alan As-Shiddiqi al-Syafii dalam kitab Dalil alFalihin (6/573-574):
ِ ‫ ً جل ٍشبا ٍ سع ْ ر َ أ ُ ِن ثَلثت‬، ‫ى فيها َ بل َ كم( أي حتى َل ً َ ف ْ ى ُ ا صف ْ ى ُّ َص و ًع أوغ هنع هلال يضر أن سظىل هلال كال@ س‬
َ ‫صفي ك ّل َ ما بين َ ًكىن ْ ىا بُنها( بأن ُ ب ِ اس َ )وك ل ٌل َ َولخ ٌ حت ْ ش ُ ف الجما ِعت ُ م فظُلت ُ ه َ وفات ْ لهم َ ه ُ ش َ ِ ًم رلك ك َ ه أكثر‬
‫ل ْ ب َ ا ك َّ عم ٌّ صف َ ذ ُ ع َ ب ْ ِن فا ٍذ ح ٍد ش ًذ َ أوبش ٍ ّ ش َ ِ ًم ح َ َلعزس ُ ُث‬
Dari sahabat Anas ra., Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Susunlah saf kalian)
sehingga tidak ada celah dan longgar (dekatkanlah antara keduanya) antara dua saf kurang lebih
berjarak tiga hasta. Jika sebuah saf berjarak lebih jauh dari itu dari saf sebelumnya, maka hal itu
dimakruh dan luput keutamaan berjamaah sekira tidak ada uzur cuaca panas atau sangat dingin
misalnya.
2. Penjelasan Manshur al-Bahuty dalam kitab Kasysyaf al-Qanna’ (1/268) tentang bolehnya shalat
dengan menggunakan masker saat ada hajah syar’iyah:
َ‫ص ُ ج ْ نَ ( أُ ه‬ َ ‫ى َ ل َ ىا ع ُ ع َ م ْ ح َ @ أ ِ ّ ر َ ب ْ ِذ ال ْ ب َ ع ُ ً ْ اب َال َ ٍت( ك َ اح َ ح َ َِل ب ٍ ع ُ ك ْ ش ُ ب َ ٍب و ا َ ِل ِي ه )ف َ ِ ي ّ ل‬
ُّ ‫ِشف ْ ك َ ج ْ ن َ ِة أ َ أ ْ ش َْ ى اْل َ ل َ ع َّ ن َ أ‬
ُّ ‫ِخل ُ ِه ً ْ ح َ ى ْ ال َ ر ْ ت َظ َّ ن َ ِْل َ ِ و ام َ ش ْ ِح ْ ْال‬ َ ‫الص ا ف َ ه َ ه ْ ح َ و‬
َّ ‫ش ْ ك ُ ٍ َ )و َ ِة و َ َل ِي‬
‫ ْ ُ َ ل َ ع ى‬- ‫ص ُْ ِة اْل َ ش َ اش َ ب ُ ِ م ِه ب‬
َ ‫و ْ ه َ ْ ال َ ِت و َ ه ْ ب َ ج ْ ال ِ ِ ي ب ّ ل‬،‫ِ ي ب َّ َهى اىل َ ه ْ ذ َ ك َ و َ م َ ف ْ ِ ي ال ّ ؼ َ ؼ ُ َ َ ِف‬
‫ِب اه َ ح َ أ ِ ىس ُظ ُ ح َ ٍتك َ اح َ ِخل َ ان َ ك ْ ِ ن ا َ ف ُ ه ْ ى َ ع َل ُ ح َّ الش َ ت‬ َ ‫اَّلل َّ ُ َّ ل‬.
َ ‫ف‬، َ ‫ َ اه َ ش َ ك َ َل‬- ‫ص َ م َّ ل َظ َ و‬
Dalam keadaan tanpa hajah (perempuan dimakruhkan untuk memakai cadar saat shalat), Ibnu Abdi
al-Bar berkata: “Ulama bersepakat bahwa perempuan harus membuka wajahnya saat shalat dan ihram,
karena menutup wajah menghalangi dahi dan hidung untuk menyentuh tempat sujud”. Dan ulama
juga bersepakat bahwa laki-laki tidak boleh menutup mulut saat shalat karena adanya riwayat hadis
yang melarang laki-laki menutup mulut saat shalat. Jika karena ada hajah seperti hadirnya orang yang
bukan muhrim maka tidak dimakruhkan.
3. Pendapat Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ (2/267):
tentang hukum puasa bagi ibu hamil dan menyusui:
} ‫ فىحب عليهما‬á‫وا لشطع على أهفعهما أفؼشجا وعليهما اللظاء دون الكفاسة َلنهما أفؼشجا للخىف على أهفعهما‬ ْ ‫فان خافذ الخامل‬
ٍ ْ‫اللظاء دون الكفاسة كا‬
ً‫ على ولذيهما أفؼشجا وعليهما اللظاء ب َذل ًع الصىم وفى الكفاسة ثَلثتأوحه)كال( في االم ًجب ع‬á‫لشع وئن خافخا‬
ً ً
‫(كل ًىم مذ ًم الؼعام وهى الص ُخح للىله حعالي )وعلي الز ً ُؼلىهه فذت‬
Jika ibu hamil dan menyusui khawatir terhadap kondisi kesehatan dirinya maka wajib mengqadha’
dan tidak membayar fidyah, karena kondisi mereka seperti orang sakit. Jika mereka khawatir terhadap
kondisi bayinya maka mereka boleh tidak berpuasa dan wajib mengqadha’, Adapun kewajiban
membayar fidyah, ada tiga keadaan: (pertama) dalam kitab al-Um “wajib membayar fidyah satu mud
untuk setiap harinya dan ini adalah pendapat yang shahih, sebagaimana hadis firman Allah SWT “Dan
atas orang yang tidak mampu, harus membayar fidyah …”

KESIMPULAN
Mahasiswa dapat lebih memahami sejarah terbentuknya MUI dan juga mempelajari penetapan fatwa
yang ada serta conto-contoh fatwa yang telah dikemukakan oleh MUI dan dilaksana oleh sebagian
masyarakat.serta memberikan tugas seperti ini dapat membuat kami belajar kembali dan mencari tau
tentang lembaga agama yang besar diindonesia.kami jugamengetahui bahwa fatwa yang ada adalah
hasih yang sudah disimpulkan dan sudah dipertimbangkan sebelum dikemukakan dan bisa menjadi
acuan yang dapat diikuti oleh sebagian masyarakat indonesia.

Anda mungkin juga menyukai