OLEH KELOMPOK 6 :
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “MAJELIS ULAMA INDONESIA” ini dengan baik tanpa
hambatan. Hal ini tidak terlepas juga karena dukungan dari dosen pembimbing kami.
Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan tugas ini atas semua bantuan, bimbingan dan kemudahan yang telah diberikan
kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Meskipun telah berusaha dengan segenap kemampuan, namun kami menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini masih belum sempurna, sehingga kritik, koreksi, dan saran
dari semua pihak untuk menyempurnakan makalah ini sangat diharapkan.Semoga makalah
ini dapat bermanfaat untuk meningkatkan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Kelompok 6
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. RumusanMasalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pandangan umum masyarakat Indonesia, ulama diartikan sebagai tokoh
yang menjadi tuntunan dalam penerapan syariat Islam, agar adanya kesesuaian antara
dalil syara’ dan praktiknya di kehidupan sehari-hari. Keberadaan sosok ulama di
Indonesia sudah ada seiring dengan masuknya Islam ke Indonesia, hingga saat ini
ulama pun tetap memiliki peranan yang besar. Peranan ulama secara garis besar
merupakan sosok yang bisa menjawab dan memecahkan setiap masalah sosial
keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat, selain itu ulama
dikatakan pula sebagai penjaga moral dan bentengnya masyarakat.1
Ulama bertanggung jawab menyelesaikan persoalan umat Islam.Ulama
bersifat Independen(berdiri sendiri) dan moderat (tidak memihak), tanpa mengikuti
aliran-aliran tertentu dalam membimbing umat (netral).Dalam memutuskan suatu
hukum, mereka tidak memihak kepada salah satu aliran tertentu, melainkan
berdasarkan kepada ijtihad dari Al-Qur’an dan sunah.Banyak sekali catatan sejarah
yang merekontruksi peranan ulama dari masa ke masa yang bervariasi, namun dari
semua tugasnya mereka memiliki misi utama sebagai penerus dakwah Nabi Muhamad
SAW dalam menegakan syariat Islam.2Peranan ulama dalam catatan sejarah begitu
banyak dari sebelum Indonesia merdeka hingga sesudah Indonesia merdeka, baik
dalam hal politik, sosial, dan budaya. Dalam mewujudkan peranannya tersebut, ulama
senantiasa menyesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan yang ada di masyarakat,
seperti halnya pada saat masyarakat Indonesia berjuang untuk keluar dari belenggu
Belanda, peranan ulama dalam hal politik untuk melawan Belanda bisa dilihat dari
contoh perjuangan ulama yakni Imam Bonjol dan Pangeran Diponogoro.3
Selain perannya dalam hal politik, di masa Pergerakan Nasional para ulama
tetap menjalankan peran dan fungsinya dalam hal lain, seperti yang dilakukan oleh
mereka dalam membentuk sebuah kesatuan yang menghimpun para ulama untuk
membentuk majelis ulama. Sebagaimana yang dilakukan oleh H. Agus Salim ketika
membentuk Majelis ulama pada 29 Januari 1928 dalam sebuah kongres partai 51
Indonesia di Yogyakarta. Faktor utama berdirinya majelis ini nampak dari adanya
perbedaan pendapat antara Kelompok Ahli Sunah Wal Jamaah dan Wahabi dalam hal
khilafiah. Perbedaan lain muncul dari nama majelis ini yang tidak sama dengan
majelis yang ada sekarang, sebab pada saat itu majelis ini belum dinamakan sebagai
Majelis Ulama Indonesia, melainkan Majelis Ulama. Namun sayangnya organisasi ini
tidak jelas kelanjutannya, akan tetapi majelis inilah yang menginspirasi berdirinya
majelis ulama pada masa berikutnya.4
Selanjutnya ketika Indonesia sudah merdeka posisi dan peranan ulama di
Indonesia ternyata masih besar, ada beberapa ulama yang kemudian mengisi
kursipemerintahan, salah satu contohnya adalah KH.Agus Salim sebagai Mentri
Agama di awal Orde Lama.Namun keadaan tersebut ternyata tidak berlangsung lama,
sebab pada masa itu pemerintah mulai melakukan penekanan, rekayasa negatif (yang
tidak benar), marginalisasi dan menjadikan umat Islam yang mayoritas sebagai
golongan Ekstrim (keras) dan sekelompok masyarakat yang membentuk gerakan
bawah tanah.5
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
2. Metode Ta‟lili
Metode ini digunakan untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang
tidak ditemukan dalilnya secara tersurat. Istinbat ini ditunjukan untuk menetapkan hukum
suatu peristiwa dengan merujuk kepada kejadian yang sudah ada hukumnya karena adanya
kesamaan illat.
3. Metode Istishlahi Metode ini dipergunakan untuk menggali, menemukan, dan
merumuskan hukum syara‟ dengan cara menerapkan hukum kulli untuk peristiwa yang
ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash, belum diputuskan dengan ijma‟ dan tidak
memungkinan dengan qiyas atau istihsan.
Metode yang dipergunakan oleh Komisi Fatwa MUI dalam proses penetapan fatwa dilakukan
melalui tiga pendekatan, yaitu Pendekatan Nash Qath‟i, Pendekatan Qauli dan Pendekatan
Manhaji.
Pendekatan Nash Qoth‟i dilakukan dengan berpegang kepada nash alQur‟an atau Hadis untuk
sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat dalam nash al-Qur‟an ataupun
Hadis secara jelas. Sedangkan apabila tidak terdapat dalam nash al-Qur‟an maupun Hadis
maka penjawaban dilakukan dengan pendekatan Qauli dan Manhaji.
Pendekatan Qauli adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mendasarkannya
pada pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-
mu‟tabarah). Pendekatan Qauli dilakukan apabila jawaban dapat dicukupi oleh pendapat
dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (alkutub al-mu‟tabarah) dan hanya terdapat satu pendapat
(qaul), kecuali jika pendapat (qaul) yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi
karena sangat sulit untuk dilaksanakan (ta‟assur atau ta‟adzdzur al-„amal atau shu‟ubah al-
„amal) , atau karena alasan hukumnya („illah) berubah. Dalam kondisi seperti ini perlu
dilakukan telaah ulang (i‟adatun nazhar), sebagaimana yang dilakukan oleh ulama terdahulu.
Karena itu mereka tidak terpaku terhadap pendapat ulama terdahulu yang telah ada bila
pendapat tersebut sudah tidak memadai lagi untuk didijadikan pedoman.
Apabila jawaban permasalahan tersebut tidak dapat dicukupi oleh nash qoth‟i dan juga tidak
dapat dicukupi oleh pendapat yang ada dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-
mu‟tabarah), maka proses penetapan fatwa dilakukan melalui pendekatan manhaji.
Pendekatan Manhaji adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan
mempergunakan kaidah-kaidah pokok (al-qowaid al-ushuliyah) dan metodologi yang
dikembangkan oleh imam mazhab dalam merumuskan hukum suatu masalah. Pendekatan
manhaji dilakukan melalui ijtihad secara kolektif (ijtihad jama‟i), dengan menggunakan
metoda : mempertemukan pendapat yang berbeda (al-Jam‟u wat taufiq), memilih pendapat
yang lebih akurat dalilnya (tarjihi), menganalogkan permasalahan yang muncul dengan
permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi) dan istinbathi.
Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan imam mazhab maka penetapan fatwa
didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara pendapat-pendapat madzhab
melalui metode al-Jam‟u wa al-Taufiq.
Jika usaha al-Jam‟u wa al-Taufiq tidak berhasil maka penetapan fatwa dilakukan melalui
metode tarjihi (memilih pendapat ulama yang dinilai paling kuat dalil dan argumentasinya),
yaitu dengan menggunakan metode perbandingan mazhab (muqaran al-madzahib) dan dengan
menggunakan kaedahkaedah ushul fiqh perbandingan.
Membiarkan masyarakat untuk memilih sendiri pendapat para ulama yang ada sangatlah
berbahaya, karena hal itu berarti membiarkan masyarakat untuk memilih salah satu pendapat
(qaul) ulama tanpa menggunakan prosedur, batasan dan patokan. Oleh karena itu, menjadi
kewajiban lembaga fatwa yang memiliki kompetensi untuk memilih pendapat (qaul)
yang rajih (lebih kuat dalil dan argumentasinya) untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat.
Ketika satu masalah atau satu kasus belum ada pendapat (qaul) yang menjelaskan secara
persis dalam kitab fiqh terdahulu (al-kutub al-mu‟tabarah) namun terdapat padanannya dari
masalah tersebut, maka penjawabannya dilakukan melalui metode ilhaqi, yaitu menyamakan
suatu masalah yang terjadi dengan kasus padanannya dalam al-kutub al-mu‟tabarah.
Sedangkan metode Istinbathi dilakukan ketika tidak bisa dilakukan dengan metode ilhaqi
karena tidak ada padanan pendapat (mulhaq bih) dalam al-kutub almu‟tabarah. Metode
istinbathi dilakukan dengan memberlakukan metode qiyasi, istishlahi, istihsani dan sadd al-
dzari‟ah.
Secara umum penetapan fatwa di MUI selalu memperhatikan pula kemaslahatan umum
(mashalih „ammah) dan intisari ajaran agama (maqashid alsyari‟ah).Sehingga fatwa yang
dikeluarkan oleh MUI benar-benar bisa menjawab permasalahan yang dihadapi umat dan
benar-benar dapat menjadi alternatif pilihan umat untuk dijadikan pedoman dalam
menjalankan kehidupannya.
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara resmi telah mengeluarkan Fatwa
MUI Nomor 2 Tahun 2021 tentang Produk Vaksin COVID-19 dari Sinovac Life Sciences Co.
Ltd. China dan PT Bio Farma (Persero). Fatwa ini ditetapkan pada tanggal 11 Januari 2021 di
Jakarta.
Dikeluarkannya Fatwa MUI ini seiring dengan telah diterbitkannya Izin Penggunaan dalam
Kondisi Darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) vaksin produksi Sinovac dari
Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) pada hari yang sama, Senin (11/01/2021).
Sebelumnya, pada Jumat (08/01/2021) lalu, Komisi Fatwa MUI telah menetapkan vaksin
produksi Sinovac halal dan suci, namun Fatwa utuhnya baru akan disampaikan setelah Badan
POM (atau yang sering juga disingkat BPOM) mengemukakan keputusan mengenai aspek
keamanan penggunaan vaksin tersebut.
Sebagaimana dikutip dari laman resmi mui.or.id, Ketua MUI Bidang Fatwa KH Asrorun Niam
Sholeh menjelaskan, dengan BPOM menyetujui EUA untuk Vaksin Covid-19 produksi
Sinovac, maka vaksin ini aman digunakan, sehingga Komisi Fatwa MUI menerbitkan Fatwa
vaksin Covid-19 produksi Sinovac Lifescience Co. Ltd China dengan dua diktum sekaligus.
“Kepala BPOM sudah menyatakan menyetujui EUA untuk vaksin Covid-19 produksi sinovac,
sehingga aman untuk digunakan. Ketika BPOM sudah mengeluarkan hasil dan persetujuannya
itu, maka Fatwa MUI dikeluarkan,” ujarnya.
Adapun diktum kedua yang tertuang dalam fatwa itu menyebutkan: (1) pertama, vaksin
Covid-19 produksi Sinovac Life Sciences Co Ltd.China dan PT Bio Farma (Persero)
hukumnya suci dan halal; (2) kedua, vaksin Covid-19 produksi Sinovac Life Sciences Co. Ltd
China dan PT. Bio Farma (Persero) sebagaimana angka 1 (diktum pertama) boleh digunakan
untuk umat Islam sepanjang terjamin keamanannya menurut ahli yang kredibel dan kompeten.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) telah mengesahkan
lima fatwa tentang sejumlah problematika kekinian seputar keuangan syariah.
Kelima fatwa tersebut yaitu fatwa Pemasaran Produk Asuransi Berdasarkan Prinsip
Syariah, Pedoman Pendirian Dan Operasional Koperasi Syariah, dan Penawaran Efek
Syariah Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan
Prinsip Syariah, Pembiayaan Personal (at-tamwil asy-syakhsi/personal financing), dan
Pendapatan Lembaga Keuangan Syariah Selama Konstruksi.
Selanjutnya untuk diketahui dan dipahami substansi dari kelima fatwa tersebut,
disampaikan pula kepada para DPS yang masih bagian dari DSN-MUI,” kata dia
dalam“Mudah-mudahan para DPS mendapatkan informasi lengkap mengenai fatwa
DSN-MUI yang sudah disahkan kemarin melalui acara ini. Kemudian dapat
digunakan landasan untuk membantu para pelaku industri.” tutur dia menambahkan.
Kiai Hasanudin berharap para DPS nantinya mampu merangkul industri lembaga
keuangan syariah (LKS) maupun lembaga bisnis syariah (LBS). Hal ini dilakukan
sebagai upaya mengembangkan kegiatan usaha dan produk yang mereka
kembangkan.
Di samping itu, kata dia, para BPS juga perlu mengetahui tiga informasi mengenai
perkembangan ketentuan di internal DSN-MUI dalam pengurusan periode 2020-2025.
“Selain mendapat informasi kelima fatwa yang baru disahkan oleh DSN-MUI, para
BPS juga perlu mengetahui mengenai perkembangan ketentuan di internal DSN-MUI
dalam pengurusan periode 2020-2025 ini,” kata dia.
Workshop Pra Ijtima Tsanawi yang diikuti kurang lebih 500 DPS Lembaga Keuangan
Syariah (LKS), Lembaga Bisnis Syariah (LBS), dan Lembaga Perekonomian Syariah
(LPS) tersebut akan berlangsung sejak 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 11 Oktober 2021.
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka percepatan pencegahan dan penangulangan wabah covid, pemerintah
menargetkan pelaksanaan vaksinasi covid19 menjangkau 181,5 juta orang (70% dari
penduduk Indonesia) pada tahun 2021 guna mencapai kekebalan kelompok (herd imunity);
b. bahwa dengan target waktu satu tahun, maka program vaksinasi tersebut terus berjalan
meskipun umat Islam sedang berpuasa bulan Ramadhan;
c. bahwa muncul pertanyaan di tengah masyarakat terkait status hukum vaksinasi bagi orang
yang berpuasa;
d. bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia perlu menetapkan fatwa
tentang hukum vaksinasi covid-19 saat berpuasa untuk dijadikan pedoman;
Mengingat :
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan
kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. al-Baqarah [2]: 183-184)
b. Ayat yang menerangkan bahwa salah satu rukun puasa adalah menahan dari yang
membatalkan (di antaranya makan dan minum);
dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, … (QS. al-Baqarah [2]: 187)
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah:195)
a. Hadis yang menerangkan bahwa segala penyakit pasti ada obatnya dan hadis tentang
perintah untuk berobat dengan yang halal:
ُ َ ص ي ِ ب َّ الن ْ ن َ ع ُ ه ْ ن َ ع ُ ه َّ الل َ ِ ي ض َ ر َ ة
َ ِ س َ ِه و ْ ي َ ل َ ع ُ ه َّ ى الل َّ ل
َ ال َ ق َ م َّ ل
َ ه َّ الل َل َ ز ْ ن َ ا أ َ م
)رواهالبخاري. (ر ْ ي َ ر ُ ي ه ِ ب َ أ ْ ن َ ع ً اء َ ِشف ُ ه َ ل َل َ ز ْ ن َ أ َّ َِل إ ً اء َ د
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Sesungguhnya Allah tidak
menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan (pula) obatnya. (HR. al-Bukhari)
Dari Usamah bin Syuraik sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Berobatlah, karena Allah tidak menjadikan penyakit kecuali menjadikan pula obatnya, kecuali
satu penyakit yaitu tua renta. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah)
Fatwa tentang Hukum Vaksinasi Covid-19 saat Berpuasa 3 Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia:
ِ ْ ص ن ْ ِط ب ِقي َ ل ِ ن
َ ِ ع َ ة َ ر ْ ب، َ ق ا َل َ ِه ق ي ِ ب َ أ ْ ن: ُ ول سُ َ ا ر َ ي ُ ت ْ ل
َ أ َّ الل،ن َ ِي ع ن ْ ِر ب ْ خ َ ِه
َ ص َ ون ُ ك َ ت ْ نَ و َ وء ضُ ُ و ْ ال ِ ِغ ب سْ َ أ ا ً ِم ائ، َ ق ضُ ُ و ْ ال » ِ ف ْ ِغ ال َ ب،ال َ ِوء َ : ب ِ ِصم ا َ ع ْ ن َ ع
)رواهابن ماجه. « إ ا َ ش ْ ِن ت َِلسْ ي ا،(أ َّ َِل ِق
Dari ‘Ashim bin Laqith bin Shabrah dari ayahnya berkata: saya berkata “Wahai Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ajarkan padaku tentang wudhu”. Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “sempurnakan wudhu, bersungguh-sungguhlah ketika istinsyaq (menghirup
air ke dalam hidung), kecuali ketika kamu sedang puasa”. (HR. Ibnu Majah)
َ َ ص َ و ُ ه َ ِ ِمد و ْ ث ِ ْ ْال ِ ب ِح ُل َ ت ْ ك
َ ص ي ِ ب َّ الن َّ ن َ أ ٌ ِم ائ
َ َّ س َ ِهو ْ ي َ ل َ ع ُ ىاهلل َّ ل
َ ان َ ك َ م َّ ل
(ي )رواهالبيهقي
ُ الضرر ُ ي زا ُل
ُ الضرر ُ ي ْ د ُ ِ فع ب َ ِ قد ِن ر ْالمكا
Memperhatikan:
1. Pendapat al-Qasthalani dalam kitab Irsyadu al-Sari (7/96) yang menjelaskan bahwa berobat
karena sakit dan menjaga diri dari wabah adalah wajib:
)} ْ صة فيوضْ ِ ع َ ال ِ ] ُ فيهبيان الرخ201 :إن كان بكم أذى من مطر أو كنتم مرض ى أن تضعوا أسلحتكم{( ]النساء
َ ضع ُ ف ْ ِم هم ض َ ن مر َ وأمِ ْ لح ة ْ إن َ ث ُ ق ْ ل عليهم َ ح ْ م ُ ل ِ ِب ها ب سب َ م َ ا ي ُ ب ُّ ل ُ م ِم ه ن مطر ْ أو ُ ي ِ ِس
ود َّل ُ ذلك علىو ْ ِر ِب الحذ ِ جو ِ عن جميع، بأخذ ْ الحذ ِ ر ِل َ ئال ي ْ غ َ ف َ لوا في ُ هج ُ م ُ عليهم ُّ العدو
ِ ر ُ ه ْ م َ ِ مع ذلك
َ وم المظنون ْ ن َ ث َّ م ُ ِعل َّ م أن َ ِء العالج بالدوا ْ واَلح َ تراز ِ ِء عن الوبا ُّ والتحر َ ِس ز عن الجلو َ تحت،
ِ ِة المضار
المائل ٌب واج
َ الجدار،
(Dan tidak mengapa kamu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu
kesusahan karena hujan atau karena kamu sakit) (al-Nisaa:102). Di dalam ayat ini adanya
keringanan untuk meletakkan senjata saat para pasukan terbebani dengan bawaan, seperti
dalam keadaan basah kuyup kehujanan atau karena sakit. Meskipun demikian mereka tetap
harus waspada terhadap musuh. Ayat tersebut juga menunjukkan wajibnya menjaga
kewaspadaan dari segala bahaya yang akan datang. Dari sinilah difahami bahwa berobat
dengan obat dan menjaga diri dari wabah penyakit serta menghindari dari duduk-duduk di
bawah dinding yang miring adalah wajib.
2. Pendapat ulama-ulama bahwa sesuatu yang sampai pada perut itu membatalkan puasa jika
masuk lewat rongga badan yang terbuka dan sesuatu tersebut dianggap makanan atau
minuman, antara lain: a. Pendapat Ibnu al-Hammam al-Hanafi dalam kitab Fathu al-Qadir
(2/330) bahwa yang membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk lewat rongga yang lazim,
seperti mulut, kubul, dan dubur:
(Ungkapan “Dan jika memakai celak maka tidak membatalkan puasa”) baik tenggorokannya
dapat merasakan suatu makanan atau tidak, karena zat yang berada di tenggorokan adalah
sisasisa yang masuk lewat pori-pori. Sedangkan yang membatalkan puasa adalah sesuatu
yang masuk lewat rongga yang terbuka seperti jalan masuk ke tubuh atau jalur keluar darinya,
dan bukan dari pori-pori.
b. Ungkapan al-Rafi’i yang dinukil oleh al-Nawawi dalam kitab alMajmu’ (6/313) bahwa
yang sesuatu yang masuk ke perut dan membatalkan puasa itu dengan syarat masuknya lewat
rongga yang terbuka, dengan sengaja, dan dalam keadaan tidak lupa:
Imam Rafi’i berkata: ulama-ulama Syafiiyah memberikan batasan (dhabit) bahwa sesuatu
yang masuk ke perut yang membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk dari luar lewat
rongga yang terbuka dengan kesengajaan dan dalam keadaan tidak lupa sedang berpuasa.
c. Pendapat Imam al-Ramli dalam kitab Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj (3/165)
bahwa jika sesuatu yang sampai pada perut itu terasa bermanfaat sebagai nutrisi bagi badan
(makanan atau minuman), maka itu membatalkan puasa:
Disyaratkan adanya sesuatu kekuatan di dalam perut yang menghantarkan sseuatu yang
masuk menjadi nutrisi ataupun obat. Karena, jika tidak ada yang menghantarkannya, maka
badan tidak merasakan adanya nutrisi atau sesuatu yang bermanfaat baginya, maka
menyerupai sesuatu yang sampai ke selain perut.
d. Pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim Syarh al-Mukoddimah al-
Hadramiyah (246) bahwa termasuk yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu ke
saluran perut melalui jalur rongga badan yang terbuka, sedangkan minyak oles, celak, atau air
sebab mandi yang masuk lewat poripori tidak membatalkan:
ِْدخول ِم َ ن م ْ ن َ ف ذ م
ِ شرط ْ ْ ِه
ِ خول عي ْ ِط جو ا كبا ً ف ِ ن ُ ِن ِْل الذ وا ْ ح ْ لي ِ ِل ب
ِ ا ْ م ُ ساك ْ عن ُ د ْ ن:ل الرابع
ول ي ُ ر ر تشُّ ضُّ بُ َ الم ُّ سام ُّ بالد ْ ِه ن ُ ِحل والك ْ ِل واَ ِلغت سا،
َ َ ْ ف ْ تو ح
Rukun keempat, menahan dari masuknya sesuatu ke perut, seperti telinga bagian dalam dan
saluran kandung kemih, dengan syarat masuknya lewat rongga badan yang terbuka. Sesuatu
yang terserap masuk melalui pori-pori seperti minyak oles, celak, dan sebab air mandi tidak
membatalkan puasa.
ْ ْص َ أ ا السَّ ِ م ْ ح َ ِ ِخل ل ا َ ىد َ ل ِ إ َ اء َ و َّ الد َل،ص َ و َ ف ُ ين ِ ِ ك ِهالس ِفي َ ز ِ ر ُ غ ْ و َ ِق َ ل ُ ه َّ خ ُ م ْ ت َ ل، َ م
ُ و ً ف َّ و َ ج ُ ا م ً و ضْ ُ ع َّ د َ ع.س ْ أ َ ى ر َ ل َ ط ْ و َ ل َ ا َ ص َ و َ ف ِ ن ْ ه ُّ الد ِ ب ُ ه َ ن ْ ط َ ب ْ و َ أ ُ هَ و َ أ ْ و َ ل َل
ك وح ُ ت ْ ف َ ذ م، َ س َ م ْ ِب ال ْ ر ُ ِش ب ُ ه َ ف ْ و َ ج ُ ِطر ْ ف ُ ي َ ا َل َ م َ ام ِ ل ، َ م ْ ي ُ ف ْ ِطر ْ ، ِل َ ي ْ م َ ل ُ ه َّ ن
َ ْ ِطر ْ ف ُ ي ِ ِه ِطن ا َ ِيب ا ف ًر َ ث َ أ ُ ه َ ل َ د َ ج َ و ْ ن ِ إ َ ِءو ا َ م ْ ِيال ِسف ا، َ ف ْ ن َ م ْ ِمن ِصلْ َ ي ْ م َ ل ُ ه َّ ن َ ِل
ِس ت ْ َِلغ ا ِ بَ ِغم ْ َِلن ا َ ِل و ا.
Jika obat dimasukkan ke dalam daging betis atau dimasukkannya obat melalui pisau sehingga
sampai pada otak, maka puasanya tidak batal karena tempat tersebut tidak termasuk bagian
dari perut. Jika seseorang mengolesi kepalanya atau perutnya dengan minyak dan minyak
tersebut sampai pada rongga perut melalui pori-pori, maka tidak batal puasanya, karena
masuknya tidak melalui rongga badan yang terbuka, sebagaimana tidak batal puasa seseorang
yang mandi dan menyelam di air, meskipun pengaruh air tersebut sampai pada bagian dalam
badannya.
a. Pendapat Imam Ahmad Al-Khatib al-Syarbini dalam kitab Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati
alfadz al-Minhaj (5/127):
ْ إن ُ ها ت ْ و جبُ َ الفطر؛ َّ لن َ ها ت ص ُل َ إلىالج و ِف: فهذه قالوا، َّ ]أو احتقن[ كأن َ ت َ كون ْ حق ٌ نة ُّ في الد ِ بر:قوله
ً الجا، ْ َ وي َ ت َّ ِْل غذىِب ها ا ُ نسان َ وي ْ ِف رت ُ ق َ ِوع بهاد ً واء
Ungkapan (atau huqnah), seperti memasukkan sesuatu ke dubur. Mereka berpendapat bahwa
itu membatalkan puasa, karena sesuatu yang dimasukkan tersebut sampai pada lambung dan
seseorang dapat merasakan makanan serta dapat dirasakan adanya obat dan proses
penyembuhan.
4. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang pleno Komisi Fatwa MUI
pada tanggal 16 Maret 2021 bertepatan dengan 2 Sya’ban 1442 H.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
FATWA TENTANG HUKUM VAKSINASI COVID-19 SAAT BERPUASA Pertama :
Ketentuan Umum Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1. Vaksinasi adalah proses pemberian vaksin dengan cara disuntikkan atau diteteskan ke dalam mulut
untuk meningkatkan produksi antibodi guna menangkal penyakit tertentu.
2. Injeksi intramuskular adalah injeksi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat atau vaksin
melalui otot.
Kedua : Ketentuan Hukum
1. Vaksinasi Covid-19 yang dilakukan dengan injeksi intramuscular tidak membatalkan puasa.
2. Melakukan vaksinasi Covid-19 bagi umat Islam yang berpuasa dengan injeksi intramuscular
hukumnya boleh sepanjang tidak menyebabkan bahaya (dlarar).
Ketiga : Rekomendasi
1. Pemerintah dapat melakukan vaksinasi Covid-19 pada saat bulan Ramadhan untuk mencegah
penularan wabah Covid-19 dengan memperhatikan kondisi umat Islam yang sedang berpuasa.
2. Pemerintah dapat melakukan vaksinasi Covid-19 terhadap umat Islam pada malam hari bulan
Ramadhan jika proses vaksinasi pada siang hari saat berpuasa dikhawatirkan menyebabkan bahaya
akibat lemahnya kondisi fisik.
3. Umat Islam wajib berpartisipasi dalam program vaksinasi Covid-19 yang dilaksanakan oleh
Pemerintah untuk mewujudkan kekebalan kelompok dan terbebas dari wabah Covid-19. Fatwa
tentang Hukum Vaksinasi Covid-19 saat Berpuasa 8 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Keempat : Ketentuan Penutup
1. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata
dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua
pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikafdalam mesjid. Itulah larangan Allah,
maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 187)
َ َّ ال َ ك َ م َّ ل ظَ َ ِه و ْ ُ َ ل َ ع ى هلالُ َّ ل
ْ أ َ ة َ ش ْ ٍ َ ش ُ ي ه ِ ب َ أ ْ ً َ ْ ُغ ع @ م َ خ ْ ال ُ اث َ ى َ ل لصَّ َ ا ُ ج، َ ص ِ ي ب َّ الى َّ ن َ
ِ ال و ِذ َ َ ِب ى ُ خ ْ ا اح َ ِر ئ َّ ً ُ ه َ ن ْ ُ َ ا ب َ ِ ْل ٌ اث َ ِ ش ّ ف َ ك ُ م َ ان ظَ َ م َ ى س َ ل ِ ئ ُ ان ظَ َ م َ س َ ِت و َ ع ُ م ُ ج ْ ى ال َ ل
(ئ ُ ت َ ع ُ م َ ِش ائ َ ب َ ك ْ ال )سواهمعلم
Dari Abu Hurairah ra. sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalat fardhu lima
waktu, shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, dan Ramadan ke Ramadan berikutnya menghapuskan
dosa-dosa yang dilakukan di antara masa tersebut seandainya dosadosa besar ditinggalkannya.” (HR.
Muslim)
b. Hadis tentang qadha’ dan fidyah puasa Ramadan, di antaranya:
َ ِ ف َ م َّ ل ظَ َ ِه و ْ ُ َ ل َ ع ى هلالُ َّ ل، َ ُ َ ت َ ِش ائ َ ع ْ ً َ ع @ ْ ذ َ ال َ ك » ا َ ه ُ ش ُ م ْ أ
، َ ُ ص ّ ِ ي ب َّ الى َ ذ ْ ُع ِعى ِ ُح َ ا ه َّ ى
(ك ِ م ْ ى ِاءالصَّ ظَ َ ِل ب «)سواهابً ماحهDari Aisyah ra. berkata: “Kami haid di masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka beliau memerintahkan kami untuk mengqadha’”. (HR. Ibnu Majah)
ٍ ن{ ]البلشة@ ِكي ِم ْع ُ ام َ ع َ ػ ٌ ت َ ً ْ ِفذ ُ ه َ ىه ُ ِ ُؼل ُ ً َ ِ ًز َّ ى ال َ ل َ ع َ ٍط@ }و ا َّ ب َ ِ ع ً ْ اب ِ ً َ ع ا َل:
َ َّ ط ا َّ ب َ ع ْ ال َّ ن َ ِ ٍب أ ال َ ي ػ ِ ب َ أ ِ ً ْ ب ِ ّ ِ ي ل َ ع ْ ً َ ع » ْ ُ َ ل َ ع ى هلالُ َّ ل
َ ص ِ ي ب َّ الى َل َ أ َ في ظ ِ َ م َّ ل ظَ َ ِه و َ ِك
ص ُ ِ ج ْ ع َ ح « )سواه ابً ماحه وأبى داوود َ (ل َ ِي ر ف ُ ه َ َص ل َّ خ َ ش َ ف ِح َّل َ ج ْ ن َ أ َل ْ ب َ ِ ِه ك خ َ ك َ ذ ِل
Dari Ali bahwa Abbas ra. bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penyegeraan
pengeluaran zakat sebelum waktunya, lalu beliau mengizinkannya. (HR. Ibnu Majah dan Abu Daud)
َ ص اَّلل َّ ى ُل ظُ َ س
َ َ ال َ @ ك ا َل َ ِ ٍب ك ال َ ي ػ ِ ب َ أ ِ ً ْ ب ِ ّ ِ ي ل َ ع ْ ً َ ع @ " وا ُ ِكش ا َ ب َ ِ م َّ ل ظَ َ ِه و ْ ُ َ ل َ ع ى هلالُ َّ ل
(َل َ ء َ َل َ ب ْ ال َّ ِن ا َ ِتف َ ك َ ذ الصَّ ِ ب ا َ اه َّ ؼ َ خ َ خ َ ً ")سواهالؼبراوي
Dari Ali bin Abi Thalib ra. berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersegeralah
membayar zakat, sebab bala’ bencana tidak akan melangkahinya”. (HR. al-Thabarani)
f. Hadis tentang larangan membahayakan diri sendiri dan orang lain, di antaranya:
ْ ً َ ي س ْ ذ ُ ـخ ْ ال َل ْ ى ظُ َ س َّ ن َ أ ُ ه ْ ى َ ع َ هلالُ ِض ي َ س @ ا َل ُ ِ ْ ـي ِ ب َ ٍذ أ
ّ ِ ِ ع َ ٍن ظ ا َ ِ ِظى ً ْ ِ ِك ب ال َ ِ م ً ْ ِذ ب ْ ع َ ظ ْ ع
َ ُ
َ( ك َ م َّ ل ظ َ ِهو ْ ُ َ ل َ ع ـى هلال َّ ل َ ِهلال ص لي )سواه الذساكؼنيوالبيه َ اس َ ِطش َ َل َ و َ س َ ش ط َ َل و الخاكمَ
Dari Abû Sa’îd Sa’d bin Mâlik bin Sinân al-Khudri Radhyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain ”. (HR.
alDâraquthni, al-Baihaqi, al-Hakim)
g. Hadis-hadis tentang tuntunan menghadapi suatu pandemi atau wabah, di antaranya:
@ ص ّ ِ ي ب َّ الى ِ ً َ ع » َ َل َ ٍض ف ْ س َ أ ِ ىِن ب ُ اع َّ الؼ ِ ب ْ م ُ خ ْ ِمع ا ظَ َ ِر َ ِ ال َ ك ُ ه َّ ه َ أ َ م َّ ل ظَ َ ِهو ْ ُ َ ل َ ع ى هلالُ َّ ل
َ
و َ ىه ُ ل ُ خ ْ ذ َ ج ا َ ه ْ ِم «ن،ئ ىا ُ ح ُ ش ْ خ َ ج َ َل َ اف َ ه ِ ب ْ م ُ خ ْ ه َ أ َ ٍض و ْ س َ أ ِ ب َ ع َ ك َ او َ ِر ئ َ ا
Dari Nabi saw sesungguhnya beliau bersabda: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka
janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan
tinggalkan tempat itu." (HR. al-Bukhari)
َ ِ ف ِ م ْ أ َّ ى الش َ ل، َ ش َ م ُ ع َّ ن َ أ ِ م ْ أ َّ الش ِ ب َ ع َ ك َ و ْ ذ َ ك َ اء َ ب َ الى َّ ن َ أ ُ ه َ ؼ َ ل َ ب َ غ ْ ش ِ َع ب َ ان َ ا ك َّ م َ ل
َ َّ ص اَّلل
َ ىل ظُ َ س َّ ن َ ٍف@ أ ْ ى َ ع ُ ً ْ ب ِ ً َ م ْ ح َّ الش ُ ذ ْ ب َ ع ُ ه َ ر َ ِ ال َ ك َ م َّ ل ظَ َ ِه و ْ ُ َ ل َ ع ى هلالُ َّ ل
َ @-ئَجَشَخ
َ ف َ ه ِ ب ْ م ُ خ ْ ه َ أ َ ٍض و ْ س َ أ ِ ب َ ع،ب ْ خ َ أ َ ف « َ ىا ع ُ م َ ذ ْ ل َ ج َ َل َ ٍض ف ْ س َ أ ِ ِه ب ِ ب ْ م ُ خ ْ ِمع ا ظَ َ ِر ئ َ َل َ ا
و ْ ُ َ ل ُ ه ْ ِمى ا ً اس َ ِفش ىا ُ ح ُ ش ْ خ َ ج،« ك َ ا و َ ِر ئ َ ِه
Sesungguhnya Umar sedang dalam perjalanan menuju Syam, saat sampai di wilyaah bernama Sargh.
Saat itu Umar mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian
mengatakan pada Umar jika Nabi Muhammad saw pernah berkata, "Jika kamu mendengar wabah di
suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada,
maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR. al-Bukhari).
h. Hadis-hadis yang menerangkan adanya kemudahan dalam beribadah saat kondisi darurat atau
keadaan sulit, di anataranya:
َ ص ى ُل ظُ َ س
ِ َ ال َ ًع ابً عمشكال @ ك ِه ْ ُ َ ل َ ع ْ ن َ أ ُّ ِحب ُ ً هلالَ َّ ِ ن @ " ئ َ م َّ ل ظَ َ و ُ ه ُ خ
ِص ْ ع َ ى م َ ح َ ى هلالُ َّ ل ِهلال
ك ُ ه صُ َ خ ُ ى س َ ح ْ إ ُ ج )سواهأحمذ، َ (ْ إ ُ ج ْ ن َ أ ُ ه َ ش ْ ك َ ا ً َ م
Dari Ibnu Umar ra. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah suka
untuk dilakukan rukhsah-Nya, sebagaimana Allah membenci apabila maksiat dilakukan.” (HR.
Ahmad)
@ ْ ىل ظُ َ س َ ِمع ظَ ُ ه َّ ه َ ًع أبي ه ٍششة هنع هلال يضر أ » ا َ م ِه ِ ب ْ م ُ ك ُ ج َ ص َ ى ُل ُ ل َ ً َ م َّ ل ظَ َ ِه و ْ ُ َ ل َ ع ى هلالُ َّ ل ِهلال
ْ
ِ ف ْ م ُ خ ْ ع َ ؼ َ خ ا اظ َ م ُ ه ْ ِمى، َ ف ُ ه ْ ى َ ع ْ م ُ ك ُ خ ْ ُ َ ه َ ن ىا ُ ل َ ع ْ اف َ ف ا َ م َّ ه ِ ا، َ ش َ م َ ا أ َ م َ و ُ ىه ُ ِب ي َ خ ْ اح
و ْ ِ م ِه ِل ائ َع َ م ُ ة َ ر ْ ث َ ك ْ م ُ ِ ك ل ْ ب َ ك ْ ِ ًم َ ِ ًز َّ ال َ ك َ ل ْ ه َ أ معلم، َ (م )سواه ِ ه ائ َ ُ ِ ب ْ ه َ ى أ َ ل َ ع ْ م ُ ه ُ ف َ َِل خ ْ اخ
Abu Hurairah ra. mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apa saja yang aku
larang kamu melakukannya, hendaklah kamu jauhi, dan apa saja yang aku perintahkan kepadamu,
maka lakukanlah menurut kemampuan kamu. Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu
adalah karena mereka banyak bertanya dan tidak patuh dengan nabi-nabi mereka.” (HR. Muslim)
ِ ا َل َ ك @» ى َ ح ْ إ ُ ج ْ ن َ أ ُّ ِحب ُ ً َّل َ ح َ و َّ ض َ ع اَّلل َّ َ َّ ِن ئ-ملسو هيلع هلال ىلص- ىل ظُ َ س َّ ن َ أ َ ش َ م ُ ِ ع ً ْ اب ِ ً َ ع
َ َّ اَّلل
« ُ ه ُ ِ م ائ َ ض َ ى ع َ ح ْ إ ُ ج ْ ن َ أ ُّ ِحب ُ ا ً َ م َ ك ُ ه صُ َ خ ُ س.
Dari Ibnu Umar ra. sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya
Allah suka untuk dikerjakan rukhsahNya, demikian juga Allah suka untuk dikerjakan perintah-Nya
(azimah).” (HR. al-Baihaqi)
3. Kaidah Fikih antara lain:
َ ًُ ُالظَّ َشس
ضا ُل
“Kemudharatan harus dihilangkan”
ِ ِلح صا َ ِباْل ْ ل َ على ح ٌ م َّ ذ َ ل ُ ِ ِظذ م ا َ ف َ ْال ُ ء ْ س َ د
“Menolak mafsadah didahulukan dari pada mecari kemaslahatan”.
َ ر ْ ِعي ْ ِ َّ الخ ِبُ ل ْ ج َ ج ُ ت َّ ل َ ش َ ْال
“Kesulitan membawa kepada kemudahan”
ُ َان ِ الظَّ َشسُ ًُ ع َ ف ْ د بِلَ ْذ
ِ س ْال ْمك
“Bahaya sedapat mungkin harus dihindarkan”
ِ“ ها س َ ذ َ بل ُ س َّ ذ َ ل ُ ج ُ ة َ وس ُ الظش
Kedaruratan diukur sesuai kadarnya”.
َ اق طَ َ ع َع ّ ا اح َ ِر ئ َ و َ ع َع َّ اح َ اق ا طَ َ ِر ئ ُ ش ْ الم.
“Sesuatu ketika sulit, menjadi longgar, dan ketika longgar, menjadi sulit".
ُ ِ َّ ص َ ِت ج َ خ َ ل صْ َْ ْال ِ ب ٌ غ ْ ى ُ ى َ ِتم
ع َّ الش َ ى َ ل َ ِ ع ام َ ِم ْ ْال ُ ُّف ش
“Kebijakan pemimpin [pemegang otoritas] terhadap rakyat harus mengikuti kemaslahatan“.
ُ ه ُّ ل ُ ك ُ ك َ ر ْ ت ُ ً َ َل ُ ه ُّ ل ُ ك ُ ك َ س ْ ذ ُ ً َ ا َل َ م
“Apa yang tidak dapat diperoleh seluruhnya tidak boleh ditinggal seluruhnya”
Memperhatikan:
1. Pendapat fuqaha terkait dengan saf dalam shalat jamaah, antara lain:
a. Pendapat al-Ramli dalam kitab Nihayah al-Muhtaj Ila Syarh alMinhaj (2/192):
KESIMPULAN
Mahasiswa dapat lebih memahami sejarah terbentuknya MUI dan juga mempelajari penetapan fatwa
yang ada serta conto-contoh fatwa yang telah dikemukakan oleh MUI dan dilaksana oleh sebagian
masyarakat.serta memberikan tugas seperti ini dapat membuat kami belajar kembali dan mencari tau
tentang lembaga agama yang besar diindonesia.kami jugamengetahui bahwa fatwa yang ada adalah
hasih yang sudah disimpulkan dan sudah dipertimbangkan sebelum dikemukakan dan bisa menjadi
acuan yang dapat diikuti oleh sebagian masyarakat indonesia.