Anda di halaman 1dari 18

9

BAB II

PROFIL MAJELIS ULAMA INDONESIA

A. Sejarah MUI

Kemajuan budaya dan peradaban manusia selalu berkembang seiring

dengan perkembangan ilmu perngetahuan dan teknologi, sehingga menimbulkan

persoalan-persoalan baru dalam kehidupan masyarakat baik yang berkaitan

dengan ibadah maupun yang berkaitan dengan muamalah yang memerlukan

pemecahan, karena tidak terdapat hukumnya dalam al-Quran dan Hadist. Begitu

juga ulama-ulama terdahulu tidak secara eksplisit menjelaskan persoalan-

persoalan baru tersebut sehingga banyak masyarakat yang haus akan jawaban

tersebut. Hal ini membuat Ulama Indonesia bersepakat untuk membuat lembaga

yang dapat memecehkan persoalan-persoalan keagamaan yang ada pada

masyarakat dengan nama Majelis Ulama Indonesia atau yang disingkat dengan

MUI. MUI berdiri pada tanggal 17 Rajab 1395 H, bertepatan dengan 26 Juli 1975

yang didahului dengan musyawarah pertama Majelis Ulama Indonesia pada tahun

yang sama9.

Nomor 28 tanggal 1 Juli 197510. Berdirinya Majelis Ulama Indonesia

ditandai dengan bentuk “Piagam berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI)”

yang ditandatangani oleh 53 orang ulama yang terdiri dari ketua-ketua Majelis

Ulama Indonesia Daerah Tingkat 1 seluruh Indonesia, 10 orang ulama unsur

9
“Muqadimah Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia”, www.majelisulama.com, akses
tanggal 15 November 2016.
10
Musyawarah pertama ini dikeahui oleh letjen. Purn. H. Soedirman dan Tim Penasehat
yang terdiri dari Prof. Dr. Hamka, K.H. Abdullah Syafe‟I dan K.H. M. Syukri Ghazali. Lihat
“MUI Berdiri, Tumbang dan Berkembang”, http//www.majelisulama.com/mui_in/article, akses 15
November 2016.
10

organisasi Islam tingkat pusat11, 4 orang ulama Dinas Rohaniyah Islam yang

terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI, dan 13

orang ulama undangan perorangan.

Momentum berdirinya MUI setelah 30 tahun Indonesia merasakan

kemerdekaan yaitu ketika Indonesia berada pada fase kebangkitan, dimana pada

saat itu bangsa Indonesia sibuk dengan politik kelompok masing-masing sehingga

tidak memperdulikan masalah rohani yang ada pada masyarakat. Keberagaman

dan kemajuan umat Islam dalam Keagamaan, organisasi sosial dan kecendrungan

aliran politik sering membuat lemah dan dapat dijadikan pertentangan diantara

umat Islam di Indonesia.

Sebagai suatu lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempunyai fungsi

dan tujuan. Adapun tujuan dari Majelis Ulama Indonesia sebagaimana tercantum

dalam pedoman Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (ADART) MUI

pada Bab III, pasal 13 adalah menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan

Islam yang dinamis dan efektif sehingga mampu mengarahkan dan mendorong

umat Islam untuk melaksanakan akidah Islamiyah, membimbing umat dalam

menjalankan ibadat, menuntun umat dalam mengembangkan muamalah, dan

menjadi panutan dalam mengambangkan akhlak karimah untuk mewujudkan

masyarakat yang aman, damai, adil, dan makmur rohaniyah dan jasmaniyah yang

diridhoi Allah SWT. Sedangkan fungsi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)

adalah :

11
Majelis Ulama unsur organisasi Islam Tingkat Pusat terdiri dari NU, Muhammadiyah,
Syarikat Islam, PERTI, Al-Washiyah, Mutla‟ul Anwar, GUPPI, PDTI, Dewan Masjid Indonesia
dan Al-Itthadiyah. Ibid.
11

1. Sebagai wadah musyawarah para ulama, zu‟ama dan cendikiawan

muslim dalam mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan yang

islami, demokratis, akomodatif, dan aspiratif.

2. Sebagai wadah silaturahim para ulama, zu‟ama dan cendikiawan

muslim untuk mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan

menggalang ukhwah islamiyah.

3. Sebagai wadah yang mewakili umat Islam dan hubungan serta

konsultasi antar umat beragama.

4. Sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik

diminta maupun tidak diminta.

Sebagaimana fungsinya yang telah disebutkan diatas, maka orientasi MUI

dalam melaksanakan tugasnya adalah sebagai berikut :

1. Diniyah.

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhitmatan yang mendasari

semua langkah dan kegiatanya pada nilai dan ajaran Islam. Karena

Islam adalah Agama yang berdasarkan pada prinsip tauhid dan

mempunyai ajaran yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.

2. Irsyadiyah.

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan dakwa wa al-

irsyad, yaitu upaya untuk mengajak umat manusia kepada kebaikan

serta melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar dalam arti yang

seluas-luasnya. Setiap kegiatan Majelis Ulama Indonesia


12

dimaksudkan untuk dakwah dan dirancang untuk selalu berdimensi

dakwah.

3. Ijabiyah.

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan ijabiyah yang

senantiasa memberikan jawaban positif terhadap setiap permasalahan

yang dihadapi masyarakat melalui prakarsa-prakarsa kebijakan (amal

saleh) dan berlomba-lomba dalam berbuat baik (fastabiq al-khairat).

4. Hururiyah

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhitmatan independen

yang bebes dan merdeka serta tidak tergantung maupun terpengaruh

oleh pihak-pihak lain dalam mengambil keputusan, mengeluarkan

pikiran, pandangan dan pendapat.

5. Ta’awuniyah

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang mendasari

diri pada semangat tolong menolong untuk kebaikan dan ketakwaan

dalam membela kaum dhu‟afah untuk meningkatkan harkat dan

martabat serta derajat kehidupan masyarakat. Semangat ini

dilaksanakan atas dasar persaudaraan dikalangan seluruh lapisan

masyarakat golongan umat Islam. Ukhwah islamiyah ini merupakan

landasan bagi Majelis Ulama Indonesia dan memperkukuh

persaudaraan kemanusiaan (ukhwah basyariyah) sebagai anggota

masyarakat dunia.
13

6. Syuriyah

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhitmatan yang

menekankan perinsip musyawarah dalam mencapai permufakatan

melalui pengembangan sikap demokratis, akomodatif dan aspiratif

terhadap berbagai aspirasi yang tumbuh dan berkembang didalam

masyarakat.

7. Tasamuh

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang

mengembangkan sikap toleransi dan moderat dalam melaksanakan

kegiatanya dengan senantiasa menciptakan keseimbangan diantara

berbagai arus pemikiran dikalangan masyarakat sesuai dengan syariat

Islam

8. Qudwah

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang

mengedepankan kepeloporan dan keteladanan melelui prakarsa-

prakarsa kebijakan yang bersifat perintisan untuk kebutuhan

kemaslahatan umat. MUI dapat berkegiatan secara oprasional

sepanjang tidak terjadi tumpang tindih dengan kegiatan ormas-ormas.

9. Addualiyah

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang menyadari

dirinya sebagai anggota masyarakat dunia yang ikut aktif

memperjuangkan perdamaian dan tatanan dunia yang sesuai dengan

ajaran Islam. Sesuai dengan hal itu, Majelis Ulama Indonesia menjalin
14

hubungan dan kerjasama dengan lembaga/ organisasi Islam

Internasional diberbagai Negara.

Peran MUI sebagai wadah masyarakat dalam menyalurkan masalah-

masalah keagamaan yang masih samar adalah sebagai berikut12 :

1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (warasat al-Ambiya)

2. Sebagai pemberi fatwa

3. Sebagai pembimbing dan pelayanan umat (Ri-ayat khadim al-ummah)

4. Sebagai gerakan Islah wa at-Tajdid

5. Sebagai penegak Amar Makruf Nahi Mungkar.

Dalam setiap organisasi mempunyai susunan organisasi. Adapun susunan

organisasi Majelis Ulama Indonesia, sebagaimana terdapat dalam pedoman dasar

Majelis Ulama Indonesia pada Bab V pasal 17 mengenai susunan dan hubungan

organisasi Majelis Ulama Indonesia bahwa Majelis Ulama Indonesia Pusat

berkedudukan di Ibukota Ripublik Indonesia, Majelis Ulama Indonesia Provinsi

bertempat di Ibukota Kabupatan/ Kota dan Majelis Ulama Indonesia Kecamatan

bertempat di Ibukota Kecamatan.13

Pada pasal 18 muqodimah pedoman dasar Majelis Ulama Indonesia Pusat,

Provinsi, Kecamatan bersifat koordinatif, aspiratif, dan struktual administrative,

sedengakan hubungan Majelis Ulama Indonesia dengan organisasi atau

kelembagaan Islam bersifat konsultatif dan kemitraan.14

12
“Orientasi dan Peran MUI” http//majelisulama.com, akses tanggal 16 Novembar 2016
13
“Muqodimah Pedoman Dasar: Majelis Ulama Indonesia”, www.majelisulama .com,
akses tanggal 16 November 2016.
14
Ibid.
15

Adapun pada Bab VI pasal 19 tentang susunan pengurus Majelis Ulama

Indonesia Pusat dan Majelis Ulama Indonesia Daerah adalah dewan penasehat,

dewan pimpinan harian, dan anggota pleno, komisi dan lembaga.15

B. Komisi Fatwa MUI dan Tugasnya

Komisi fatwa MUI adalah sebuah komisi yang bertugas untuk

pembentukan fatwa-fatwa MUI. Pada masa awal pembentukan MUI pada tahun

1975 komisi fatwa berjumlah 7 orang dari wakil ulama dan ormas Islam, jumlah

ini terus berubah setiap pergantian kurun waktu kepengurusan komisi fatwa 5

tahun sekali, yang pada tahun 2005-2010 beranggotakan sebanyak 41 orang.

Tugas komisi fatwa adalah merunding dan mengeluarkan fatwa mengenai

persoalan-persoalan hukum Islam yang dihadapi masyarakat. Persidangan-

persidangan komisi fatwa diadakan menurut keperluan atau bila MUI telah

dimintai pendapatnya oleh umum atau oleh pemerintah mengenai persoalan-

persoalan tertentu dalam hukum Islam. Untuk mengeluarkan fatwa biasanya

diperlukan sekali sidang, dan bisa saja dalam sekali persidangan bisa dan bisa saja

dalam sekali persidangan bisa menghasilkan beberapa fatwa.16

Selain itu, tugas komisi fatwa juga mengagendakan sidang komisi untuk

merundingkan dan mengeluarkan fatwa mengenai persoalan-persoalan hukum

Islam yang dihadapi masyarakat. Pembahasan persoalan hukum Islam yang

merupakan desakan masyarakat, maka MUI memberikan fatwa, dan merespon

persoalan hukum Islam yang dianggap membutuhkan legitimasi hukum Islam.


15
Ibid.
16
Muhammad Atho Muzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Study tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: INIS, 1993), h. 79-80
16

Sidang Komisi Fatwa harus dihadiri anggota komisi fatwa yang telah

diangkat pimpinan pusat MUI dan pimpinan MUI Provinsi dan memanggil para

ahli apabila diperlukan. Sidang komisi fatwa harus diselenggarakan apabila ada

permintaan atau adanya kebutuhan yang oleh MUI dianggap dan perlu

dikeluarkan Fatwa. Kebutuhan yang dianggap perlu dikeluarkan fatwa dapat saja

datang dari masyarakat, pemerintah, lembaga sosial, atau respon MUI terhadap

suatu masalah tertentu. Dalam proses mengeluarkan fatwa dapat dilakukan satu

kali sidang atau dapat berkali-kali, tergantung tingkat kuantitas permasalahan

yang ada di masyarakat.

Fatwa-fatwa yang dihasilkan biasanya berupa pernyataan, diumumkan

baik oleh komisi fatwa sendiri atau oleh MUI. Bantuk lahiriyah fatwa selalu sama,

dimulai dengan katerangan bahwa komisi telah mengadakan sidang pada waktu

tertentu berkenaan dengan adanya pertanyaan yang telah diajukan oleh orang-

orang atau badan-badan tertentu, dan dilanjutkan dengan dalil-dalil yang

digunakan sebagai dasar pembuatan fatwa yang dimaksud. Cara lain

menyebarluaskan fatwa juga bisa dengan membicarakannya dalam konferensi-

konferensi tahunan ulama yang diselenggarakan oleh MUI dan biasanya banyak

dari para ulama yang menghadiri konferensi ini.17

17
Mukhsin Jamil, Membendung Despotisme Wacana Agama (Semarang: Walisongo
Press, 2010), h.148.
17

C. Eksistensi Fatwa

1. Pengertian Fatwa

Fatwa secara bahasa memiliki pengertian jawaban atas suatu kejadian

(memberikan jawaban yang tegas terhadap segala yang terjadi didalam

masyarakat ). Sedangkan fatwa dalam istilah memiliki pengertian suatu

penjelasan hukum syari‟at dalam menjawab suatu perkara yang diajukan oleh

seseorang yang bertanya, baik penjelasan itu ragu-ragu dan penjelasan itu

mengarah pada dua kepentingan, yakni kepentingan pribadi dan kepentingan

masyarakat.18

Fatwa merupakan hasil ijtihad para ahli (mujtahid dan mufti) yang

dapat dilahirkan dalam bentuk lisan ataupun tulisan. Adapaun metode yang

digunakan untuk menjelaskan suatu hukum tersebut melalui dua cara dan dua

sumber yang autentik yaitu Al-Quran dan Hadits. Hukum Islam yang

berlandaskan Al-Quran dan Hadits sebagian besar bentuknya ditentukan

berdasarkan hasil ijtihad para mujtahid yang dituangkan dalam bentuk fatwa

keagamaan oleh para mufti, hal ini dikarenakan dalam al-Quran sendiri

kebanyakan hukum yang ada didalamnya masih berbentuk global, sehingga

membutuhkan ijtihad dari para mufti untuk dapat menjawab berbagai

permasalahan keagamaan yang ada didalam masyarakat.

Fatwa mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Fatwa

dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisa memecahkan kebekuan

dalam perkembangan hukum Islam. Hukum Islam yang dalam penetapannya

18
Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan dalam fikih Islam ( Jakarta : Bumi
Aksara, 2006), h. 7
18

tidak bisa terlepas dari dalil-dalil keagamaan (an-nushush as-syar’iyah)19

menghadapi persoalan serius ketika berhadapan dengan permasalahan yang

semakin berkembang yang tidak tercover dalam nash-nash keagamaan. Nash-

nash keagamaan telah berhenti secara kuantitasnya, akan tetapi secara

diametral permasalahan dan kasus semakin berkembang pesat seiring dengan

perkembangan zaman. Sebagaimana ungkapan para ulama yang berbunyi :

“Sesungguhnya nash itu terbatas, sedangkan persoalan-persoalan yang

timbul tidak terbatas. Atau karena sesungguhnya nash itu telah berhenti

sedangkan permasalahan akan senantiasa muncul dan tidak pernah

berhenti”.20

Dalam kondisi seperti inilah fatwa menjadi salah satu alternatif

jalan keluar mengurai permasalahan dan peristiwa yang muncul tersebut. Oleh

karenanya, dalam berfatwa harus tetap menjaga keseimbangan, antara harus

tetap memakai manhaj yang telah disepakati para ulama, sebagai upaya untuk

tidak terjerumus dalam kategori memberikan fatwa tanpa pertimbangan dalil

hukum yang jelas. Tapi di sisi lain juga harus memperhatikan unsur

kemaslahatan dari fatwa tersebut, sebagai upaya untuk mempertahankan posisi

fatwa sebagai salah satu alternatif pemecah kebekuan dalam perkembangan

hukum Islam.

Keberadaan metode dalam penetapan fatwa adalah sangat

penting, sehingga dalam setiap proses penetapan fatwa harus mengikuti

metode tersebut. Sebuah fatwa yang ditetapkan tanpa mempergunakan


19
Ad-Dawalibi Muhammad Ma‟ruf (1965), al-Madkhal ila ‟ilm Usul al-Fiqh, (Beirut:
Dar al-„Ilmlil-Malayin), h. 405.
20
Ibid.
19

metodologi, keputusan hukum yang dihasilkannya kurang mempunyai

argumentasi yang kokoh. Oleh karenanya, implementasi metode (manhaj)

dalam setiap proses penetapan fatwa merupakan suatu keniscayaan.

Fatwa, pada hakikatnya merupakan hasil keputusan para ahli agama

Islam dan ilmu pengetahuan umum yang berkaitan dengan keagamaan dalam

memberikan, mengeluarkan, dan mengambil keputusan hukum secara

bertanggung jawab dan konsisten. Fatwa memberikan kejelasan, kekonkritan

terhadap umat dalam hal pemahaman, penalaran ajaran-ajaran Islam, dan

bagaimana aplikasinya. Sehingga dalam fatwa harus mengandung unsur pokok

yang meliputi:21

a. Fatwa sebagai bentuk pengambilan keputusan hukum syariat yang

sedang diperselisihkan.

b. Fatwa sebagai jalan keluar dari beberapa kemelut perbedaan pendapat

dari para ulama atau para ahli.

c. Fatwa hendaknya mengarahkan pada perdamaian umat untuk menuju

umatan wahidah.

Pada perinsipnya dalam membuat fatwa, seseorang harus mempunyai

beberapa persyaratan yang mendasar, serta harus menggunakan beberapa

metodologi, yaitu:

a. Seorang ahli fatwa harus mengetahui secara detail seluruh kandungan

Al-Quran, mampu menganalisis dan menafsirkan secara mantap dan

meyakinkan.

21
Rohadi Abdul Fatah, Op. Cit., h. 27.
20

b. Seorang ahli fatwa harus mengetahui ilmu secara komprehensif.

c. Seorang ahli fatwa harus memenuhi syarat mujtahid dan syarat

mujtahid dilarang mengikuti secara bulat mujtahid lain (tidak boleh

taqlid buta).

d. Fatwa tidak boleh keluar dari sikap hak asasi manusia yang diusung

dalam Islam sejak awal. Hak tersebut yaitu antara lain hak untuk

memeluk suatu agama dan mengikuti tafsir kelompok penafsir tertentu.

e. Kebenaran fatwa bersifat relatif sehingga selalu dimungkinkan untuk

diubah seiring dengan perubahan ruang, waktu dan tradisi.

f. Fatwa harus didahului dengan riset dan pendeskripsian yang memadai

tentang satu pokok soal termasuk mengajak berdiskusi pihak-pihak

terkait tentang apa yang akan di fatwakan.

2. Kedudukan Fatwa Dalam Islam

Mungkin Fatwa menempati kedudukan yang strategis dan sangat

penting, karena mufti merupakan ulama dan merupakan penerus para nabi,

dalam artian pelanjut tugas Nabi SAW, sehingga ia berkedudukan sebagai

khalifah dan ahli waris beliau, sebagaimana sabdanya : “Ulama merupakan

ahli waris para Nabi”

Seorang mufti menggantikan kedudukan Nabi SAW dalam

menyampaikan hukum-hukum syariat, mengajar manusia dan memberi

peringatan kepada mereka agar sadara dan berhati-hati. Disamping

menyampaikan apa yang diriwayatkan dari Nabi SAW, mufti juga

menggantikan kedudukan beliau dalam memutuskan hukum-hukum yang


21

digali dari dalil-dalil hukum-hukum melalui analisis dan ijtihadnya, sehingga

jika dilihat dari sisi ini seorang mufti juga sebagai pencetus hukum yang

wajib diikuti dan dilaksanakan keputusannya, karena inilah pengganti

tugas yang sebenarnya.22

Ulama salaf telah mengetahui betapa mulia, agung, dan

berpengaruhnya fatwa didalam agama Allah dan kehidupan manusia. Oleh

sebab itu mereka mengemukakan tiga hal, diantaranya 23 :

a. Takut memberi fatwa, dalam artian mereka sangat berhati-hati dalam

memberikan fatwa bahkan kadang-kadang mereka berdiam diri dan

tidak memfatwakan sesuatu jika mereka masih ragu.

b. Mengingkari orang yang berfatwa tanpa berdasarkan ilmu, para ulama

salaf sangat mengingkari orang yang terjun dalam bidang fatwa

sementara dia tidak berkelayakan untuk melakukan hal itu. Dan

mereka menganggap hal tersebut sebagai suatu celah kerusakan dalam

Islam, bahkan merupakan kemungkaran besar yang wajib dicegah.

c. Ilmu dan pengetahuan mufti, seorang mufti yang merupakan pengganti

Nabi haruslah memiliki pengetahuan yang luas tentang Islam,

menguasai dalil-dalil hukum Islam yakni al-Quran dan Hadits,

mengerti ilmu bahasa Arab, paham terhadap kehidupan dan manusia,

disamping mengerti fikih dan mempunyai kemampuan melakukan

istinbath.

3. Kedudukan Fatwa MUI dalam Tata Hukum Indonesia


22
Yusuf Qardhawi, Al-Fatwa Bainal Indhibat Wat-Tasayyub, terj.As‟ad Yasin,
Fatwa Antara Ketelitian dan Kecerobohan (Cet. 1; Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 13-14.
23
Ibid., h. 15-24
22

Secara hirarki dalam pengaturan perundangan dalam UU No. 12 Tahun

2011 adalah (1) Undang-Undang Dasar 1945; (2) Undang-Undang/ Perpu; (3)

Peraturan Pemerintah; (4) Peraturan Presiden; (5) Peraturan Daerah. Jika

dilihat secara hirarki, maka posisi Fatwa tidak ada. Akan tetapi dalam sumber

hukum kita dengan Pancasila sebagai groundnorm bangsa secara falsafi

demi kepastian hukum dengan mewujudkan negara hukum yang tidak

menyampingkan kepentingan beragama.

Dalam keadaan yang sangat terbuka sebagai konsekuensi era

Reformasi dan dalam waktu bersamaan dalam kondisi yang krisis seperti

sekarang ini, hukum Islam atau fiqh mempunyai peran besar sebagai sumber

hukum nasional. Arti sumber di sini akan mengalami perkembangan yang

sangat signifikan, bukan saja dalam sistem peradilan yang sudah tegas dalam

lingkungan peradilan agama, akan tetapi juga dalam sistem peradilan (meliputi

materi hukum dan sistem kerja peradilan dalam rangka supremasi hukum)

yang lebih luas. Termasuk dalam konteks menempatkan fiqh sebagai salah

satu bentuk ilmu hukum dalam dunia hukum, yang dapat memberi arti bahwa

fiqh atau hukum Islam menjadi sumber kajian sekaligus sumber hukum matriil

di indonesia.

Indonesia sendiri, para ulama telah memiliki sebuah wadah, tempat,

sarana yang diberi nama Majelis Ulama Indonesia. Tugas MUI adalah

memberikan sebuah kepastian, penentuan, penetapan suatu hukum yang

berhubungan dengan agama Islam yang mana hal ini kita kenal dengan fatwa.
23

Dan fatwa MUI inilah yang nantinya akan menjadi tolak ukur, pola pikir dan

ijtima‟ ulama Islam di Indonesia.

MUI memiliki kewenangan memberi fatwa tentang masalah

keagamaan yang bersifat umum yang menyangkut umat Islam Indonesia

secara nasional dan masalah agama Islam di daerah yang diduga dapat meluas

kedaerah lain.24

Kedudukan Fatwa MUI dalam Perspektif Hukum Positif; apabila

menempatkan fiqh atau hukum Islam dalam jajaran sumber ilmu hukum

secara umum, maka dalam takaran oprasional/ hukum materil, fiqh dapat

dijadikan sumber melalui beberapa jalur yaitu:

a. Dalam peraturan perundang-undangan, fiqh berperan sebagai hukum

materil, atau dalam konteks etika / moralitas hukum.

b. Sumber kebijakan pelaksanaan pemerintahan yang tidak secara

langsung dalam pengertian legislasi sebagaimana PP.

c. Sumber bagi penegak hukum, polisi, jaksa, dan pengacara.

d. Sumber hukum nilai-nilai budaya masyarakat dan sekaligus

sebagai sumber kebiasaan (living law).

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dipahami bahwa kedudukan fatwa

MUI di indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting. Fatwa MUI

merupakan salah satu dari bahan pertimbangan hukum bagi para legislator

dalam membuat atau menetapkan suatu undang-undang atau peraturan.

24
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja grafindo Persada,
2006), h. 195-196.
24

D. Metode Penetapan Fatwa MUI

Maka Metode yang dipergunakan oleh Komisi Fatwa MUI dalam proses

penetapan fatwa dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu Pendekatan Nash

Qath’i, Pendekatan Qauli dan Pendekatan Manhaji.25

Pendekatan nash qoth’i dilakukan dengan berpegang kepada nash al-

Quran atau hadist untuk sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan

terdapat dalam nash al-Quran ataupun hadis secara jelas. Sedangkan apabila tidak

terdapat dalam nash al-Quran maupun hadis maka penjawaban dilakukan dengan

pendekatan qauli dan manhaji.

Pendekatan Qauli adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa

dengan mendasarkannya pada pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab

fiqh terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah). Pendekatan qauli dilakukan apabila

jawaban dapat dicukupi oleh pendapat dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-

kutub al-mu’tabarah) dan hanya terdapat satu pendapat (qaul), kecuali jika

pendapat (qaul) yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi karena

sangat sulit untuk dilaksanakan (ta’assur atau ta’adzdzur al-‘amal atau shu’ubah

al-‘amal), atau karena alasan hukumnya („illah) berubah. Dalam kondisi seperti

ini perlu dilakukan telaah ulang (I’adatun nazhar), sebagaimana yang dilakukan

oleh ulama terdahulu.Karena itu mereka tidak terpaku terhadap pendapat ulama

terdahulu yang telah ada bila pendapat tersebut sudah tidak memadai lagi untuk

didijadikan pedoman.

25
http://www.mui/publik/tanya-jawab/metode-ijtihad-mui//. Diakses pada tanggal 09
Maret 2017.
25

Sedangkan pendekatan Manhaji adalah pendekatan dalam proses

penetapan fatwa dengan mempergunakan kaidah-kaidah pokok (al-qowaid al-

ushuliyah) dan metodologi yang dikembangkan oleh imam mazhab dalam

merumuskan hukum suatu masalah. Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad

secara kolektif (ijtihad jama’i), dengan menggunakan metode: mempertemukan

pendapat yang berbeda (al-Jam’u wat taufiq), memilih pendapat yang lebih akurat

dalilnya (tarjihi), menganalogkan permasalahan yang muncul dengan

permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi) dan

istinbathi.

Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan imam mazhab maka

penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara

pendapat-pendapat madzhab melalui metode al-Jam’u wa al-Taufiq26.

Jika usaha al-Jam’u wa al-Taufiq tidak berhasil maka penetapan fatwa

dilakukan melalui metode tarjihi (memilih pendapat ulama yang dinilai paling

kuat dalil dan argumentasinya), yaitu dengan menggunakan metode perbandingan

mazhab (muqaran al-madzahib) dan dengan menggunakan kaedah-kaedah ushul

fiqh perbandingan27. Ketika satu masalah atau satu kasus belum ada pendapat

(qaul) yang menjelaskan secara persis dalam kitab fiqh terdahulu (al-kutub al-

mu’tabarah) namun terdapat padanannya dari masalah tersebut, maka

penjawabannya dilakukan melalui metode ilhaqi, yaitu menyamakan suatu

masalah yang terjadi dengan kasus padanannya dalam al-kutub al-mu’tabarah.

26
Dewan Syari‟ah Nasional MUI dan Bank Indonesia (2001), Himpunan Fatwa Dewan
Syari‟ah Nasional untuk Lembaga Keuangan Syari‟ah,
27
Lukman Hakim, Al-Qur‟an Menuju Sistem Moneter yang Adil, (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Prima Yasa, 1997), h. 20.
26

Sedangkan metode Istinbathi dilakukan ketika tidak bisa dilakukan dengan

metode ilhaqi karena tidak ada padanan pendapat (mulhaq bih) dalam al-kutub al-

mu’tabarah. Metode istinbathi dilakukan dengan memberlakukan metode qiyasi,

istishlahi, istihsani dan sadd al-dzari’ah.28

Secara umum penetapan fatwa di MUI selalu memperhatikan pula

kemaslahatan umum (mashalih ‘ammah) dan intisari ajaran agama (maqashid al-

syari’ah). Sehingga fatwa yang dikeluarkan oleh MUI benar-benar bisa menjawab

permasalahan yang dihadapi umat dan benar-benar dapat menjadi alternatif

pilihan umat untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupannya.

28
Komisi fatwa MUI, Himpunan Fatwa Nasional.

Anda mungkin juga menyukai