1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Kebutuhan masyarakat akan sebuah lembaga agama yang menaungi dan menjamin
hak keagamaan seta menjawab semua permaslahan masyarakat yang berkaitan dengan
hukum islam merupakan sebauah singgungan yang membuat para ulama bertekad
mendirikan sebuah lembaga independen dibawah naungan pemerintah yang sah.
Lembaga tersebut dikenal dengan istilah Majelis Ulama Indonesia yang merupakan
bentuk lembaga keagamaan yang dipimpin oleh seorang ketua umum yang saat ini
dijabat oileh Din Syamsudin. MUI juga memiliki cabang di berbagai kabupaten dan
kota. Hal ini memiliki tujuan untukj mempermudah MUI dalam mengetahui
permasalahan di masyarakat itu secara akurat agar dapat diberikan jawaban yang sesuai
kebutuhan.
Ajaran agama sebagai suatu nilai-nilai kehidupan yang telah ada semenjak
dahulupun harus harus berkembang mengikuti arus kehidupan manusia. Artinya dengan
ajaran agama yang telah ada harus mampu mengontrol dan memfilter perkembangan
kehidupan manusia agar tidak keluar dari ajaran agamanya tersebut.
2
Berbagai masalah/kasus yang memerlukan fatwa akan ditampung dan dibahas bersama
agar diperoleh kesamaan pandangan dalam penanganannya oleh masing-masing Dewan
Pengawas Syariah (DPS) yang ada di lembaga keuangan syariah. Untuk mendorong
penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi dan keuangan, Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) akan senantiasa dan berperan secara
proaktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis dalam
bidang ekonomi dan keuangan. Dari berbagai macam peran MUI ini dapat kita ambil
kesimpulan tentang peranannya dalam perkembangan Syariah umat Islam di Indonesia
meninjau dari fatwa dan respon masyarakat terhadap fatwa tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dalam setiap penelitian lazimnya akan dibuat rumusan masalah. Adapun rumusan
masalah pada pembahasan kali ini diantaranya yaitu sebagai berikut :
C. Tujuan Penelitian
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian MUI
Majelis Ulama Indonesia atau sering dikenal dengan istilah MUI terdiri dari tiga
suku kata, Majelis yakni wadah atau perkumpulan, Ulama memiliki makna orang yang
memiliki ilmu pengetahuan atau mengetahui akibat sesuatu.1
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan
cendikiawan muslim yang kehadirannya bermanfaat untuk mengayomi dan menjaga
umat. Selain itu MUI juga sebagai wadah silaturahim yang menggalang ukhuwah
islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyah, demi untuk mencapai dan
mewujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis, aman, damai dan sejahtera dalam
Negara kesatuan Republik Indonesia.
Untuk menjalankan fungsi dan tujuan diatas MUI melakukan upaya pendekatan
yang proaktif, responsive dan reventif terhadap berbagai problem-problem itu sedini
mungkin dapat diatasi, untuk tidak menimbulkan dampak yang lebih luas pada
masyarakat khusus nya umat islam.2
Dengan demikian dapat diketahui dengan jelas bahwa MUI merupakan sebuah
lembanga yang akan sedia mengayomi masyarakat dari berbagai isu-isu yang akan
meresahkan dan memberikan fatwa untuk menc\jawab persoalan ditengah-tengah
masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa MUI adalah salah satu wadah di
Indonesia yang berfungsi menegakkan syari’at islam ditengah masyarakat yang
majemuk. Ketika wacana NKRI bersyari’ah digulirkan, sudah biasa terdapat sambutan
pro dan kontra. Yang Pro adalah umat yang merindukan pemimpin yang mampu
mewujudkan NKRI yang lebih bersih dari berbagai konflik keagamaan baik disebabkan
oleh masalah politik, paham liberal, aliran sesat dan lain sebagainya, 3 sehingga dengan
1
Luis Ma’luf, Al-Munjid fi Luhah wal Adab wal Ulum, Beirut, Al-Maktabah al-Katulikiyah. H. 527
2
Tim Penulis MUI Pusat. Mengenal dan mewaspadai penyimpangan syi’ah di Indonesia.
Jakarta; FORMAS. Hal 15
3
Habib Rizieq Shihab. Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyari’ah. Jakarta Selatan; Suara
Islam Press. H. v
4
hadirnya MUI dapat meminimalisir dan menjadi wadah yang berfungsi menegakkan
syari’at. Syari’at islam tidak hanya berupa akidah dan akhlak, tetapi meliputi seluruh
hukum yang menyangkut hubungan dengan Allah, dan hukum yang berkaitan dengan
muamalah, yakni hubungan sesama manusia dan alam sekitar. Karena itu syari’at islam
diturunkan menjadi rahmat kepada alam seluruhnya.4 Hal ini tentunya sulit ditegakkan
apabila tidak ada lembaga yang sah dan berwenang mengayomi masalah-masalah
tesebut. Oleh sebab itu dibentuklah MUI sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat
islam di Indonesia.
B. Sejarah MUI
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan
tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para
ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di
Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat,
yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar,
GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD,
AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh
perorangan.
5
Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris tugas-
tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). Maka mereka terpanggil untuk berperan aktif
dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh
para ulama pada zaman penajajahan dan perjuangan kemerdekaan. Di sisi lain umat
Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan
teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang
didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat
melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam
kehidupan umat manusia.
Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran
keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering
mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan
umat Islam sendiri.
Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun Majelis Ulama Indonesia
sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha
untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan
kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala;
memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan
kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah
Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan
kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan
penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan
pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi,
lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan
6
kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi
secara timbal balik.
Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi
dan peran utama MUI yaitu:
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau
musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai
dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie
dan kini KH. M. Sahal Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga
telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir
masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.
5
http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html diakses 21/3/2015 pukul 18.08
7
Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang
tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut,
dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat
bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam
sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta
musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I. Momentum
berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase
kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak
terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah
kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis
Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan
muslim berusaha untuk:
8
Daftar Ketua MUI
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali musyawarah
nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, yaitu:
Ketua Umum MUI yang pertama, kedua, ketiga, dan kelima telah meninggal
dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan yang keempat dan dua yang terakhir
masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.
Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan
muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia
adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda
dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang
memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat
ini ditampilkan dalam kemandirian — dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh —
kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap
dan mengambil keputusan atas nama organisasi. Dalam kaitan dengan organisasi-
organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia tidak
9
bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-struktur yang
membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan
dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat
Islam. Majelis Ulama Indonesia , sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi
ulama, zuama dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat
Islam. Kemandirian Majelis Ulama Indonesia tidak berarti menghalanginya untuk
menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri
maupun luar negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi masing-
masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia.
Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa
organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan menjadi
bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan bekerjasama
antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Sikap Majelis Ulama
Indonesia ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin
(Rahmat bagi Seluruh Alam).
Buya Hamka
Buya Hamka, tokoh yang awalnya menolak mendirikan sebuah majelis ulama
didaulat menjadi Ketua Umum MUI yang pertama. Beliau menjabat sebagai Ketua
Umum MUI mulai tahun 1975 sampai dengan tahun 1981.
Buya Hamka memberikan dua alasan sebelum menerima amanah sebagai Ketua
Umum MUI: pertama , menurutnya kaum muslimin harus bekerja sama dengan
pemerintahan Soeharto yang anti komunis; kedua, pendirian MUI harus dapat
meningkatkan hubungan antara pemerintah dan umat Islam Indonesia.
10
Periode awal ini MUI lebih memfokuskan kegiatan pada kegiatan pemantapan
organisasi baik secara internal maupun eksternal, untuk mendapatkan pengakuan dari
masyarakat dan memiliki hubungan baik dengan berbagai organisasi-organisasi Islam
lainnya.kegiatan yang menonjol pada periode ini adalah kunjungan MUI kepada ormas-
ormas Islam sebagai pengenalan dan membuka forum ukhuwah melalui kegiatan
seminar, diskusi, lokakarya, dan konferensi-konferensi, baik ditingkat regional,
nasional, ataupun internasional.
Fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI pada periode awal ini antara lain fatwa
mengenai kependudukan, bunga bank, KB, kesehatan, aliran Ahmadiyah, faham Syi’ah,
dan termasuk fatwa mengenai larangan kawin beda agama.
Pada tahun 1981, Buya Hamka mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum
MUI. Beliau digantikan oleh KH. M. Syukri Ghazali, kiai kelahiran tahun tahun 1906
yang berasal dari Nahdlatul Ulama (NU). KH. M. Syukri Ghazali terkenal dengan
keramahan dan keluasan ilmu syariatnya. Beliau pernah menjadi dekan fakultas syariah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN, kini Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
M. Syukri Ghazali hanya memimpin MUI selama tiga tahun tiga tahun. Beliau
wafat pada bulan September 1984, ketika masih menjabat sebagai Ketua Umum MUI.
Pada periode kepemimpinannya dilakukan penyempurnaan pedoman dasar dan
pedoman rumah tangga MUI.
Dalam kasus-kasus tertentu KH. M. Syukri Ghazali sering dimintai nasihat oleh
Munawir Syadzali tentang persoalan hokum Islam. Namun demikian, KH. M. Syukri
Ghazali juga tidak luput dari celaan dan kritik. Dia pernah mendapat celaan akibat
11
pernah membacakan doa bagi seorang Kristen yang bernama F. Silaban yang meninggal
dunia.
Ketua Umum MUI ketiga adalah K.H. Hasan Basri, seorang dai dan Imam Besar
Masjid Al-Azhar, Jakarta. Beliau tidak pernah mengenyam pendidikan universitas dan
memulai karir organisasi di perserikatan Muhammadiyah dan Majelis Syura Muslimin
Indonesia (Masyumi).
Beliau menegaskan bahwa MUI berfungsi sebagai pengawas (watch dog) agar
tidak ada hukum di dalam Negara ini yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
Fungsi utama MUI pada periode kepemimpinannya lebih diutamakan pada usaha-usaha
menuntun dan membimbing umat dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, dan
berbangsa, serta memperkokoh ukhuwah Islamiah.
Selanjutnya Ketua Umum MUI keempat adalah Prof. KH Ali Yafie, mantan Ketua
Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), seorang ulama ahli Fiqh (hukum Islam). Dia
ulama yang berpenampilan lembut, ramah dan bijak.
12
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Dakwah Al Irsyad, Pare-Pare, Sulsel, ini juga
terbilang tegas dan konsisten dalam memegang hukum-hukum Islam. Selain aktif di
MUI, ulama kelahiran Desa Wani, Donggala, Sulawesi Tengah, 1 September 1926, ini
juga menjabat sebagai Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
dan Dewan Penasehat The Habibie Centre.
Prof. KH Ali Yafie mengakhiri jabatannya sebagai Ketua Umum MUI pada tahun
2000. Pada Munas MUI IV (2000), jabatan Ketua Umum MUI diemban oleh DR. (HC).
KH. MA. Sahal Mahfudh. Kiai NU kelahiran Kajen, kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada
17 Desember 1937 ini menjabat Ketua Umum MUI hingga tahun 2014.
Kiai Sahal, demikian biasanya beliau akrab disapa, pernah menjabat sebagai Rais Aam
Syuriah PBNU antara tahun1999 – 2014. Beliau juga pernah memimpin MUI Provinsi
Jawa Tengah selama 10 tahun sejak 1990 – 2000.
Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Maslakhul Huda sejak tahun 1963.
Pesantren yang berada di Kajen Margoyoso, Pati, Jawa Tengah itu didirikan ayahnya
KH. Mahfudh Salam pada tahun 1910. Selain itu, beliau juga menjadi rektor Institut
Islam Nahdlatul Ulama (INISNU), Jepara, Jawa Tengah sejak tahun 1989 – 2014.
Kiai Sahal adalah seorang ahli fikih yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa
(DR. HC) dari UIN Syarif Hidayatulah, Jakarta, pada tahun 2003.[12]
DR. (HC). KH. MA. Sahal Mahfudh wafat pada hari Jum’at, 24 Januari 2014,
dikampung halamannya Pati. Sebagai penggantinya, ditunjuk Prof. DR. KH.
Muhammad Sirajuddin Syamsuddin atau dikenal dengan Din Syamsudin sebagai Ketua
Umum MUI. Keputusan penggantian tersebut ditetapkan pada rapat pimpinan MUI
yang diselenggarakan pada Selasa, 18 Februari 2014, yang hasilnya diplenokan dan
dibuat sebagai keputusan rapat.
13
Prof. DR. KH. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin
Beliau adalah kelahiran Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada 31 Agustus
1958. Sebelum menjabat Ketua Umum MUI beliau telah menjabat sebagai Wakil Ketua
Umum. Selain itu beliiau juga menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP)
Muhammadiyah selama dua periode, sejak 2005-2015.
Ketua Umum MUI berikutnya adalah DR. (HC) KH. Ma’ruf Amin. Beliau terpilih
sebagai Ketua Umum MUI periode 2015-2020 berdasarkan hasil rapat tim formatur
yang terdiri atas 17 orang di Munas ke-IX MUI di Hotel Garden Palace, Surabaya, pada
Kamis, 27 Aagustus 2015. Satu bulan sebelumnya, beliau juga terpilih dalm Muktamar
Ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, sebagai Rais Aam Syuriah Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama(PBNU).
DR. (HC) KH. Ma’ruf Amin lahir di Tangerang, Banten, pada 11 Maret 1943.
Beliau adalah cicit Syekh Nawawi Banten. Beliau mengenyam pendidikan di Pondok
Pesantren Tebu Ireng, Jombang, dan menyelesaikan kuliah di Universitas Ibnu
Khaldun,Bogor.
Sebagai ulama, beliau sangat di segani karena kedalaman ilmunya di bidang fikih.
Selain menguasai ilmu fikih, beliau dikenal responsive menyerap persoalan umat.
Apalagi beliau cukup lama menjadi pengurus dalam Komisi Fatwa MUI Pusat sejak
tahun 2000-2007.
14
Beliau juga ikut andil dalam perkembangan ekonomi syariah, terutama perbankan
syariah. Beliau ikut terlibat dalam mengembangkan perbankan syariah melalui berbagai
jabatan di dewan pengawas syariah di lembaga perbankan dan asuransi syariah,
diantaranya Bank Muamalat, bank BNI Syariah, dan Bank Mega Syariah.
Ketua Umum MUI sejak Buya Hamka sampai dengan DR. (HC). KH. MA. Sahal
Mahfudh mempunyai beberapa persamaan, yaitu:
Pertama, tidak seorang pun dari mereka pernah mengenyam bangku universiitas,
kedua, ketiganyya mendapatkan gelar doctor, kehormatan atau sederajat profesor dari
sejumlah universitas,
C. FATWA-FATWA MUI
Setelah menimbang :
15
2. bahwa umat Islam Indonesia, nampaknya beranggapan bahwa setiap orang yang
sudah memiliki sejumlah uang yang cukup untuk biaya pelaksanaan ibadah haji
wajib melaksanakan haji pada saat itu, walaupun kondisi fisiknya tidak lagi
memung-kinkan sehingga mengakibatkan resiko yang tidak kecil.
3. bahwa atas dasar itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memandang perlu
menetapkan fatwa tentang hukum
Menimbang :
Pelaksanaan ibadah haji bagi narapidana untuk dijadikan pedoman oleh umat
Islam umumnya dan pihak terkait lainnya. Firman Allah SWT:
“...Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang
yang sangggup mengadakan perjalanan ke Baitullah..” (QS. Ali Imran [3]: 97).
Ayat ini menyatakan bahwa ibadah haji hanya diwajibkan kepada orang yang
telah sanggup mengadakan perjalanan untuk haji, yang lazim disebut dengan istitha’ah
Dengan arti bahwa istitha’ah adalah syarat wajib haji. Pendapat Imam Syafi`i dan
Ahmad bin Hanbal bahwa istitha’ah hanya menyangkut kemampuan dalam bidang
biaya (mãl); sehingga orang sakit yang tidak dapat melaksanakan haji sendiri tetapi ia
mempunyai biaya untuk melaksanakan haji dipandang sudah memenuhi kriteria
istitha’ah. Oleh karena itu, ia wajib membiayai orang lain untuk menghajikannya
(pendapat dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh kedua imam mazhab ini lihat
lampiran). Pendapat Imam Maliki bahwa criteria istitha’ah hanya me-nyangkut
kesehatan badan. Menurutnya, orang yang secara fisik tidak dapat melaksanakan haji
sendiri tidak dipandang sudah memenuhi kriteria istitha’ah, walaupun ia memiliki
sejumlah harta yang cukup untuk membiayai orang lain untuk menghajikannya. Karena
itu, ia belum berkewajiban menunaikan haji, baik sendiri maupun dengan membiayai
16
orang lain (pendapat dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh imam mazhab ini lihat
lampiran).
Mengingat :
1. Surat dari Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Depag RI
2. Pendapat peserta Sidang Komisi Fatwa MUI
3. Makalah Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A.
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG IBADAH HAJI BAGI
NARAPIDANA
1. Orang yang sudah mempunyai biaya untuk menunaikan ibadah haji, tetapi
situasi dan kondisi tidak memungkinkannya untuk melaksanakan ibadah haji,
baik karena sudah terlalu tua, karena suatu penyakit, maupun karena dilarang
oleh peraturan perundangundangan seperti narapidana, dipandang telah
memenuhi syarat istitha’ah. Karena itu, ia sudah kewajiban menunaikan haji.
Ditetapkan di : J A K A R T A
Pada tanggal : 27 Muharram 1419 H.
21 April 2001 M
6
Himpunan Fatwa MUI, Maktabah Syamilah Nahdlatul Ulama. Juz 2 h.194-196
17
D. Jenis-jenis Kelembagan Majlis Ulama Indonesia (MUI)
Dewan Syariah Nasional MUI ini memiliki lembaga yang wilayah kerjanya
adalah memberikan saran atau menampung berbagai masalah yang berkaiatan
dengan lembaga keuangan syari’at. Lembaga ini diberinama dengan Dewan
Syari’ah Nasional. Dewan Syari’ah Nasional didirikan MUI dengan harapan dapat
berfungsi untuk mendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi.[5]
2. LP-POM MUI
LP-POM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari 1989 dan telah memberikan
peranannya dalam menjaga kehalalan produk-produk yang beredar di masyarakat.
Pada awal-awal tahun kelahirannya, LP-POM MUI berulang kali mengadakan
seminar, diskusi-diskusi dengan para pakar, termasuk pakar ilmu Syari’ah, dan
kunjungan-kunjungan yang bersifat studi banding serta muzakarah. Hal ini
dilakukan untuk mempersiapkan diri dalam menentukan standar kehalalan dan
prosedur pemeriksaan, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kaidah
agama. Pada awal tahun 1994, barulah LP-POM MUI mengeluarkan sertifikat halal
pertama yang sangat didambakan oleh konsumen maupun produsen, dan sekarang
dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.[6]
18
Selain itu, MUI selalu mengadakan kongres tahunan umat Islam. Kali ini,
pelaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia V ini dimaksudkan untuk
menindaklanjuti hasil-hasil keputusan yang telah ditetapkan dalam Kongres Umat
Islam Indonesia IV 2005. Kongres mengambil tema utama ”Peneguhan Ukhuwwah
Islamiyah untuk Indonesia yang Bermartabat.” Ukhuwwah Islamiyah dalam konteks
kemajemukan adalah syarat mutlak untuk mewujudkan kepemimpinan yang efektif
dan bermakna guna mewujudkan kesejahteraan bangsa.[7]
b. Masalah Ekonomi Umat Islam, yang meliputi: Paradigma dan Nilai Ekonomi
Islam, Penguatan dan Pengembangan Kelembagaan Ekonomi Umat, dan Model
Pemberdayaan Ekonomi Umat.
19
permanen yang di idindependen dan memiliki fungsi menyelesaikan kemungkinan
adanya masalah muamalat yang muncul di dalam hubungan edangan, industri,
keuangan, jasa dan lain sebagainya dikalangan umat muslim.[9]
Lembaga Pemeliharaan Lingkungan Hidup dan sumber Daya Alam Majelis Ulama
Indonesia. Yang didirikan pada tanggal 23 septembe 210 oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI).
Lembaga ini didirikan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran untuk umat
Islam bahwa pelestaraian lingkungan hidup serta manfaat sumberdaya alam yang
baik sangatlah penting. Hal ini dikarnakan agar kekayaan alam yang melimpah ini
tidak digunakan dengan seenaknya dan tidak membiarkan munculnya kerusakan-
kerusakan di bumi.[10]
Misi dari adanya pelembagaan pemuliaan lingkungan hidup dan sumber daya alam
ini adalah untuk mengembalikan pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan
sumber daya alam secara Islami melalui pembinaan umat Islam yang berkualitas
tinggi (khaira ummah), dan berakhlak mulia (akhlakul kaimah), sehingga
terciptanya kehidupan kemasyarakatan yang baik, dan memperoleh ridha serta
amounan dari Allah SWT.
20
a. Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan umat secara efektif dengan
menjadikan ulama sebagai panutan (qudwah hasanah), sehingga mampu
mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanamkan dan memupuk aqidah
Islamiyah, serta menjalankan syariah Islamiyah.
21
d. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan
dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan
dalam maupun luar negeri.
Pada tanggal 28 September 2005 dalam Musyawarah Nasional (Munas) yang ke-7,
Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwanya yaitu:
e. MUI mengharamkan warisan beda agama kecuali dengan wasiat dan hibah.
22
i. Mui mengharkan imam perempuan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Diantaranya fatwa yang di terapkan bukan hanya berlaku untuk satu kelompok
akan tetapi, untuk segenap waga negara indonesia dan khususnya bagi umat Islam.
Dalam hal ini, secara tidak langsung bagi pihak warga indonesia telah merasa
ketentraman jiwa terhadap pemakai-pemakai barang yang memiliki lebel-lebel MUI,
sehingga tidak ada permasalahan yang terjadi dimasyarakat.
Majelis Ulama Indonesia juga mempunyai wewenang atas unjuk kerja dan tidak
bisa sesuai dengan apa yang diinginkannya. Sebagai mana fatwanya dalam Memberikan
rekomendasi dan mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai Dewan
Pengawas Syariah (DPS) pada suatu lembaga keuangan dan bisnis syariah. Hal ini telah
disepakati sebelumnya atas keputusan bersama dai sebuh lembaga Majlis Ulam
Indonesia.Majelis Ulama Indonesia adalah wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan
23
cendikiawan muslim yang kehadirannya bermanfaat untuk mengayomi dan menjaga
umat. Selain itu MUI juga sebagai wadah silaturahim yang menggalang ukhuwah
islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyah, demi untuk mencapai dan
mewujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis, aman, damai dan sejahtera dalam
Negara kesatuan Republik Indonesia.
Untuk menjalankan fungsi dan tujuan diatas MUI melakukan upaya pendekatan
yang proaktif, responsive dan reventif terhadap berbagai problem-problem itu sedini
mungkin dapat diatasi, untuk tidak menimbulkan dampak yang lebih luas pada
masyarakat khusus nya umat islam.
Dengan demikian dapat diketahui dengan jelas bahwa MUI merupakan sebuah
lembanga yang akan sedia mengayomi masyarakat dari berbagai isu-isu yang akan
meresahkan dan memberikan fatwa untuk menc\jawab persoalan ditengah-tengah
masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan
tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para
ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di
Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat,
yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar,
GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD,
AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh
perorangan.
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk
membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan
muslim, yang tertuang dalam sebuah “PIAGAM BERDIRINYA MUI”, yang
ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah
Nasional Ulama.
24
B. SARAN – SARAN
Dalam pembahasan makalah ini penulis merasa memang masih jauh dari
sebuah kesempurnaan karena masih banyak kekurangan-kekurangannya dan
banyak yang harus diperbaiki. Karenanya, saran dan masukan-masukan yang
bersifat membangun bagi penulis sangat mengharapkan demi perbaikan makalah
ini. semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi
penulis sendiri. Sesungguhnya hanya Allah sajalah yang Mahasempurna dalam
segalanya.
C. DAFTAR PUSTAKA
Ma’luf, Luis. Al-Munjid fi Luhah wal Adab wal Ulum, Beirut, Al-Maktabah al-
Katulikiyah.
Tim Penulis MUI Pusat. Mengenal dan mewaspadai penyimpangan syi’ah di
Indonesia. Jakarta; FORMAS.
Shihab, Habib Rizieq. Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyari’ah. Jakarta
Selatan; Suara Islam Press.2013
Syahputra, Akmaluddin. Butir –Butir Pemikiran Islam Prof. Dr.H.Abdullah Syah
MA. Bandung; Cipta Pustaka Media. Cet 2; 2014
Situs Web :
http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html.diakses 21/3/2015
pukul 18.08
PDF :
Himpunan Fatwa MUI, Maktabah Syamilah Nahdlatul Ulama. Juz 2
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, Jakarta, Hujjah Press: 2007.
Huda, dkk. Investasi Pada Pasar Modal Syariah. Jakarta, Kencana Perdana
Media: 2007.
25
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka: 1983. 43.
Sri Suyanta, Dinamika Peran Ulama Aceh, Banda Aceh, A-Raniry Press: 2008.
[1] Sri Suyanta, Dinamika Peran Ulama Aceh, (Banda Aceh, A-Raniry Press:
2008), hal.10.
[2] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta, Hujjah Press:
2007), hal. 21.
[5] Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta, Balai
Pustaka: 1983), hal. 43.
[6] Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum . . . hal. 44.
[8] Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum . . . hal. 44-45.
[12] Huda, dkk. Investasi Pada Pasar Modal Syariah. (Jakarta: Kencana Perdana
Media Group:2007), hal. 72.
26