Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kegiatan kenegaraan, khususnya sesudah kemerdekaan,
pemerintah melihat bahwa umat Islam sebagai kelompok mayoritas di
Negara ini, memiliki potensi yang tidak bisa diabaikan. Pemerintah
menilai bahwa suatu program, apalagi yang berkaitan dengan agama,
hanya bisa sukses disokong oleh agama, atau sekurang-kurang ulama tidak
menghalanginya. Ini berarti bahwa kerja sama dengan ulama sangat perlu
dijalin oleh pemerintah. Untuk maksud tersebut, di zaman presiden
Sukarno telah didirikan Majelis Ulama yang kemudian disusul dengan
lahirnya berbagai Majelis Ulama Daerah.
Tetapi, wujud dari Majelis Ulama yang ada di berbagai daerah itu
belum mempunyai pegangan dan cara kerja yang seragam, sampai
akhirnya atas prakarsa pemerintah Orde Baru diadakanlah suatu
Musyawarah Nasional Ulama yang terdiri atas utusan wakil-wakil ulama
propinsi se-Indonesia di Jakarta dari tanggal 21 sampai 28 Juli 1975.
Musyawarah inilah yang berhasil secara bulat menyepakati berdirinya
Majelis Ulama Indonesia (MUI).
MUI menghasilkan banyak fatwa yang mencakup berbagai bidang,
Seperti masalah ibadah, aḥwal alsyakhṣiyyah, keluarga berencana,
masalah makanan dan minuman, kebudayaan, hubungan antar agama, dan
lain-lain. Fatwa-fatwa yang dihasilkan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
adakalanya menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat,
adapula yang memandangnya sebagai corong penguasa, dan ada pula
masyarakat yang menilainya sebagai tidak konsisten.
Munculnya respon seperti itu dari masyarakat sangat erat kaitannya
dengan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap konsep ijtihad
Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta ciri-ciri ḥukum Islam yang dijadikan
acuan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menghasilkan suatu
fatwa. Oleh sebab itu, studi dalam bidang ini dirasa amat perlu dilakukan

1
Sehingga dalam makalah ini akan membahas terkait tentang
sejarah berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI), model ijtihad komisi
fatwa MUI, kekurangan serta kelebihan ijtihad MUI, dan Serta Sikap MUI
menramgkul masa yang terlibat aksi dalam kisruh pasca perhitungan
pemilu tahun 2019.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Majelis Ulama Indonesia (MUI)?
2. Bagaimana Model Ijtihad Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI)?
3. Bagaimana upaya mewujudkan cita cita umat islam di Indonesia
dengan basis atas Peran dan fungsi MUI ?
4. Bagaimana sikap MUI mengayomi aksi kisruh pasca pilpres tahun
2019 ?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui sejarah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
2. Untuk mengetahui Model Ijtihad Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI).
3. Untuk mengetahui peran dan fungsi MUI.
4. Untuk mengetahui sikap MUI dalam mengayomi masa dalam kisruh
pasca pilpres 2019.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Majelis Ulama Indonesia (MUI)


Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan Badan Otonom Non
Pemerintah yang menghimpun Ulama, Zu’ama dan Cendakiawan Muslim
Indonesia. Majelis ini berdiri pada tanggal 7 Rajab 1395 H, bertepatan
pada tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta.
Lahirnya MUI diawali dengan lahirnya Piagam Berdirinya MUI
dengan musyawarah para Ulama, Cendakiawan dari berbagai penjuru
tanah air. Kemudian, pertemuan tersebut dianggap sebagai Musyawarah
Nasional Ulama I.
Ketika itu hadir 26 ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia,
10 ulama dari ormas-ormas besar Islam tingkat pusat, seperti Nahdatul
Ulama (NU), Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al-Washliyah,
Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI, dan Al-Ittihadiyyah, 4 ulama dari
Dinas Rohani Islam AD, AU, AL dan POLRI, serta 13 orang tokoh/
cendakiawan yang mewakili pribadi.
Selama rentang waktu 40 tahun sejak lahirnya MUI pada tahun
1975, MUI sebagai lembaga penghimpunan para ulama merupakan
penerus tugas-tugas para Nabi dan concern terhadap kesejahteraan rohani
umat, tentunya telah banyak menghasilkan produk berwujud fatwa-fatwa
yang membahas berbagai dimensi kehidupan masyarakat. MUI telah
menerbitkan berbagai macam fatwa dalam masalah ibadah, hukum, sosial,
politik, etika dan bahkan juga ekonomi.
Fatwa-fatwa yang dihasilkan oleh MUI itu adakalanya
menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat, ada pula yang
memandangnya sebagai corong penguasa, dan ada pula masyarakat yang
menilainya sebagai tidak konsisten. Munculnya respon seperti itu dari
masyarakat sangat erat kaitannya dengan kurangnya pengetahuan
masyarakat terhadap konsep ijtihad MUI serta ciri-ciri hukum Islam yang

3
dijadikan acuan MUI dalam menghasilkan suatu fatwa. Oleh sebab itu,
studi dalam bidang ini dirasa sangat perlu dilakukan.1
Sudut pandang sorotan akan peranan MUI sangat beragam mulai
dari aspek hukum, politik, sosial, budaya, maupun ekonomi. Beragaman
cara pandang dan sudut pandang terhadap MUI semakin meneguhkan
posisi strategis MUI dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan
bernegara. Respon positif atas fatwa tersebut muncul dari masyarakat yang
memiliki perhatian terhadap dinamika keberagaman di Indonesia. MUI
sebagai wadah silaturohim ulama, zu’ama dan cendakiawan muslim
Indonesia dalam menyatukan gerak dan langkah umat islam dalam
mewujudkan kesatuan dan persatuan umat dalam rangka menyukseskan
pembangunan serta ketahanan nasional republik Indonesia.
Kegairahan dan kerinduan akan perlunya Majelis Ulama ini mulai
menunjukkan titik-titik kelahirannya mulai usaha mengintensifkan
kegiatan, diantaranya, upaya ketertarikan kegiatan Majelis Ulama yang
sudah ada di berbagai daerah. Menteri dalam Negeri mengintruksikan
supaya di daerah-daerah yang belum terbentuk Majelis Ulama supaya
membentuk secepat mungkin. Pada bulam Mei 1975, diseluruh daerah
tingkat I dan sebagian daerah tingkat II Mejelis Ulama sudah terbentuk,
sedangkan di pusat dibentuk pula suatu panitia persiapan Musyawarah
Nasional yang diketuai oleh H. Kafrawi, MA yang bertujuan menyiapkan
meteri kegiatan serta tema musyawarah.2
Untuk realisasi selanjutnya, Menteri Agama membentuk suatu
Panitia Musyawarah Nasional Majelis Ulama seluruh Indonesia dengan
surat keputusan Nomor 28 tanggal 1 Juli 1975 yang diketuai oleh H.
Sordirman, dengan team penasihat yang terdiri atas Prof. Dr. Hamka, KH.
Syukri Ghazali, dan KH. Abdullah Syafi’i. dalam keputusan tersebut
ditetapkan pula bahwa musyawarah itu akan berlangsung pada tanggal 22
samapai 27 Juli 1975 di Convention Hall Senayan Jakarta. 3 Realisasi
Musyawarah Nasional Majelis Ulama se-Indonesia, sesuai dengan jadwal
1
Helmi karim, Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam Pengembangan Hukum Islam,
(Pekanbaru: Susqanpress, 1994).hlm.1.
2
Ibid.,hlm.80.
3
Ibid.,hlm.81.

4
yang direncanakan, dibuka oleh Presiden Soeharto pada hari senin tanggal
21 Juli 1975 bertepatan dengan 13 Rajab 1395 H, di Istana Negara Jakarta.
Musyawarah Nasional ini dalam sejarah MUI dikenal dengan (Munas) I,
yang diikuti oleh 200 orang peserta.
Pada tanggal 17 Rajab 1395 bertepatan dengan tanggal 26 Juli
1975 disetujui dan ditandatangani Piagam Berdirinya Majelis Ulama oleh
53 orang Ulama terkemuka serta disusun pula pengurusnya untuk periode
1975-1980 dengan Ketua Umumnya Prof. Dr. Hamka. Peristiwa ini
merupakan tonggak sejarah yang penting bagi umat Islam Indonesia.

B. Model Ijtihad Komisi fatwa MUI

Dalam Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI, Pasal


Ketentuan Umum Bab 2 Pasal 7 disebutkan bahwa fatwa adalah jawaban
atau penjelasan Ulama mengenai masalah keagamaan dan berlaku umum
(Majelis Ulama Indonesia, 2011). Sedangkan fatwa yang dilakukan oleh
MUI dijelaskan dalam pasal berikutnya (Pasal 8) yaitu fatwa MUI tentang
suatu masalah keagamaan yang telah disetujui oleh anggota Komisi dalam
rapat.
Bagian pertama adalah teori umum tentang fatwa yang tidak hanya
berlaku pada masalah-masalah fiqh amali dengan menganalisis dalil-dalil
syariat yang zhanni, tetapi berkenaan dengan seluruh permasalahan yang
perlu dan patut direspons dengan kaca mata Agama Islam. Sedangkan
yang kedua berkenaan dengan fatwa yang secara teknis dilakukan oleh
MUI, yang menyangkut prosedur dan metode penalaran serta teknis
pengambilan keputusan. Fatwa yang dilakukan MUI dan juga penalaran
(ijtihad).
Secara organisatoris, fatwa secara khusus menjadi tugas komisi
fatwa. Namun pengumumannya terkadang dilakukan oleh komisi fatwa
sendiri atau dan bersama MUI. Permasalahan yang dibicarakan dalam
MUNAS umumnya langsung diumumkan melalui komisi C bidang Fatwa.
DSN-MUI, sebagaimana telah disebutkan, sejak tahun 1999 dibentuk oleh
MUI secara khusus untuk mengamati masalah-masalah ekonomi,

5
keuangan, dan perbankan, mulai tahun 2000 juga memiliki kewenangan
untuk menerbitkan fatwa, nasehat, peringatan, usulan, atau rekomendasi,
terkait dengan bidang garapannya.
Permasalahan yang ditanggapi dan dicarikan keputusan hukumnya
adalah segala persoalan yang dihadapi masyarakat, baik diajukan ke MUI
atau tidak. Dalam hal ini MUI menjalankan fungsinya mewakili
kepentingan umat Islam untuk mengawal segala peristiwa yang terjadi di
Indonesia agar tidak bertentangan dengan syariat Islam sebagai agama
yang paling banyak dianut masyarakat. Sejak tahun 1975 hingga 2011
MUI telah menerbitkan 14 fatwa bidang Akidah dan Aliran keagamaan, 37
fatwa yang digolongkan bidang Ibadah, 86 fatwa dalam bidang lain selain
aqidah dan ibadah (Himpunan Fatwa MUI, 2011).
Beberapa fatwa yang disebutkan Mohammad Atho’ Mudzhar tidak
dimuat dalam buku Himpunan Fatwa tahun 1984 yang menjadi
rujukannya, sebagian ada dalam buku Himpunan Fatwa tahun 2011,
seperti pemindahan mayat dan bunga bank. Sedangkan fatwa tentang buku
Amran Hambri yang dianggap kontroversial, tuntunan bersembahyang
dalam kaset, olahraga tinju, dan Gerhana (bulan dan Matahari), tetap tidak
ada dalam buku Himpunan Fatwa 2011 (Mohammad Atho Mudzhar,
1993).
Sedangkan fatwa yang diterbitkan melalui DSN-MUI setidaknya
terdapat 53 fatwa hingga tahun 2006 (Dewan Syari’ah Nasional MUI,
2006). Sebelum mengumumkan pendirian finalnya, MUI terikat dengan
prosedur penetapan keputusan hukum, yang tertuang dalam Pedoman dan
Prosedur Penetapan Fatwa. Pedoman yang merupakan aturan pokok
penalaran hukum atau ijtihad MUI dihasilakan melalui ijtima’ Ulama’
Komisi Fatwa se-Indonesia tahun 2003.
Langkah-langkah penalaran hukum atau ijtihad MUI dibicaraan
dalam Bab 2 dan Bab 3. Bab 2 mengenai dasar umum dan sifat fatwa
terdiri dari 3 pasal, yaitu:
1. Penetapan fatwa didasarkan pada Al-Qur’an, Sunnah (hadis), Ijma’,
dan Qiyas serta dalil lain yang mu’tabar.

6
2. Aktivitas penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu
lembaga yang dinamakan Komisi Fatwa.
3. Penetapan fatwa bersifat responsive, proaktif, dan antisifatif.

Sedangkan Bab 3 tentang Metode Penetapan Fatwa berisi 5 pasal,


yaitu:
1. Sebelum fatwa ditetapkan hendaklah ditinjau lebih dahulu pendapat
para imam mazhab dan ulama yang mu’tabar tentang masalah yang
akan difatwakan tersebut, secara seksama berikut dalil-dalilnya.
2. Masalah yang telah jelas hukumnya hendaklah disampaikan
sebagaimana adanya.
3. Dalam masalah yang terjadi khilafiah di kalangan mazhab, maka,
a. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu
di antara pendapatpendapat Ulama Mazhab melalui metode al-
Jam’u wa al-taufiq; dan
b. Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan
fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqaranah
dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh Muqaran.
4. Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di kalangan
mazhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad Jama’I
(kolektif) melalui metode bayani, ta’lili (qiyasi, istihsani, ilhaqi),
istishlahi, dan sadd al-zari’ah.
5. Penetapan Fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum
(mashalih ‘ammah) dan maqashid alsyari’ah.
Dasar penetapan fatwa MUI, sebagai mana disebutkan dalam Bab
II Pasal 1 Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa adalah Al-Qur’an,
Sunnah (Hadith), Ijma’, dan Qiyas, istihsan, isthisab, dzari’ah, serta dalil
lain yang mu’tabar.4 Gambaran ini menetapkan alur ijtihad yang
digunakan MUI sebelum mengumumkan keputusan hukumnya.
Terhadap dua dalil pertama, komisi fatwa menjelaskan: Ketentuan
ayat ini merupakan kesepakatan dan keyakinan umat Islam bahwa setiap
4
MUI, Pengurus Harian, http://mui.or.id/category/tantang-mui/pengurus-mui/periode-berjalan/
pengurus-harian diakses tanggal 23/5/2019-19.28 WIB

7
fatwa harus berdasarkan pada kedua sumber hukum yang telah disepakati
tersebut. Fatwa yang bertentangan atau tidak didasarkan dengan keduanya
dipandang tidak sah, bahkan dipandang sebagai tahakum dan perbuatan
dusta atas nama Allah yang sangat dilarang agama. Ijma’, diakui sebagai
dalil hukum di bawah Al-Qur’an dan Sunnah. Artinya, ijma’ hanya boleh
terjadi bila tidak ada ketetapan dari keduanya. Namun otoritas Ijma’ sangat
kuat, bersifat absolut dan berlaku universal.
Oleh karenanya, penerimaan terhadap ijma’ adalah mutlak.
Akibatnya, bila terdapat peristiwa yang tidak terdapat petunjuknya dari al-
Qur’an dan al- Sunnah, dan terdapat satu pendapat yang diakui atau tidak
dibantah oleh orang lain, maka tidak diperkenankan untuk melanjutkan
ijtihad dengan metode-metode lain dan fatwa hanya boleh diumumkan
berdasarkan pendapat tersebut. Khusus tentang Qiyas dan dalil-dalil lain
setelah Ijma’, penggunaannya oleh MUI sebenarnya menempati posisi
metodologis yang tidak serta merta dilakukan setelah istinbat dengan al-
Qur’an, Sunnah, dan Ijma’.
Ada metode lain yang menjembataninya, yaitu apa yang disebut
dengan Ijtihad Intiqa’I, yang diartikan sebagai memilih pendapat para
ulama terdahulu setelah dikaji secara komprehenship. Pengkajian terhadap
pendapat-pendapat para ulama, jika memungkinkan dilakukan dengan
mekanisme al-jam’ wa altaufiq. Yaitu sebuah usaha untuk menggabungkan
dan mengharmoniskan pendapatpendapat yang berbeda. Namun bila tidak
ditemukan keseragaman dan titik temu, maka dilakukan dengan
mekanisme tarjih.
Setelah sama sekali tidak ditemukan dalam keputusan yuris muslim
terdahulu/yurisprudensi, atau tidak dapat diterima dalam konteks
Indonesia, maka metode ijtihad yang independens dilakukukan dengan
asas jama’I (kolektif).5
C. Peran dan Fungsi MUI.
MUI merupakan mitra pemerintah dalam penyelenggaraan
program pembangunan pengembangan kehidupan yang islami.

5
Anonim, Islam Wasathiyah –MUI PDFmui.or.id.

8
Sebagaimana data yang diperoleh dari situs Majelis Ulama Indonesia,
dalam profil dijelaskan bahwa MUI adalah wadah atau majelis yang
menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia
untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam
mewujudkan cita-cita bersama.
Dalam situs tersebut disebutkan bahwa MUI sebagai wadah
musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha
untuk:
a. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam
dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat
yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala;
b. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan
dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat,
meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah
dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan
persatuan dan kesatuan bangsa serta;
c. Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan
penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna
mensukseskan pembangunan nasional;
d. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi,
lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan
bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat
Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara
timbal balik.

Lebih lanjut dijelaskan, dalam khitah pengabdian MUI telah


dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al
ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid

9
5. Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar

D. Sikap MUI terhadap aksi kerusuhan pra Pilpres.


Majelis Ulama Indonesia (MUI) siap siaga dalam menanggapi adanya
aksi kerusuhan pasca pilpres 2019, yakni merumuskan Tausiah Kebangsaan,
pada Jumat (19/4/2019) malam, berisikan tujuh seruan yang ditujukan kepada
seluruh komponen bangsa. Ini dilakukan dalam rangka meredam dan
mencegah konflik horisontal di masyarakat pascapelaksanaan pemungutan
suara Pemilu 2019.
Tausiah Kebangsaan ini merupakan hasil rapat khusus Dewan
Pertimbangan bersama Dewan Pimpinan MUI, terkait perkembangan
dinamika politik nasional setelah pelaksanaan pemungutan suara Pemilu
2019.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Prof Din Syamsuddin mengatakan
Tausiah Kebangsaan dikeluarkan setelah mendengarkan informasi langsung
dari pimpinan ormas, sekaligus melihat fakta di lapangan terkait situasi pasca-
Pemilu 2019. Serta ditimbang dari adanya pemikiran-pemikiran yang masuk,
kemudian eksekusinya dirumuskan menjadi Tausiah Kebangsaan,"
Demi terciptanya situasi kondusif pasca sidang pleno pemenang hasil
pilpres, MUI secara terbuka merumuskan Resolusi Konflik. Terdapat Tujuh
imbauan dalam Tausiah Kebangsaan ini dibacakan oleh Ketua MUI, Yusnar
Yusuf. Isinya yaitu: pertama, mengajak seluruh keluarga besar bangsa,
khususnya umat Islam, untuk bersyukur ke hadirat Allah SWT bahwa suatu
tahapan penting Pemilu, yakni pencoblosan surat suara Pemilu 2019,
berlangsung dengan lancar dan terkendali, walaupun di sana-sini masih
terdapat kekurangan dan kelemahan.
Kedua, mengajak seluruh keluarga besar bangsa untuk mengikuti dan
mengawal tahapan-tahapan lanjutan Pemilu hingga penetapan presiden dan
wakil presiden terpilih oleh KPU secara definitif berdasarkan konstitusi
dengan sikap tahap berkonstitusi.

10
"MUI meminta kepada semua pihak untuk tidak mengganggu proses
konstitusi tersebut melalui cara-cara langsung ataupun tidak langsung," kata
Yusnar.
Yusnar menyebut, tiga cara yang dapat mengganggu proses konstitusi
seperti melalui pemberitaan hasil hitung cepat (quick count) karena bersifat
menggambarkan sesuatu yang belum pasti, tapi dapat dan telah menimbulkan
euforia berlebih dari rakyat pendukung, yang pada gilirannya dapat
mengundang reaksi dari pihak lainnya.
Cara berikutnya, melalui klaim kemenangan oleh kedua pasangan
capres dan cawapres, yang dapat dan telah menimbulkan euforia dari
pendukung masing-masing, hal mana berpotensi menimbulkan konflik di
kalangan rakyat. Berikutnya, melalui pemberitaan media massa, baik cetak,
elektronik, maupun media sosial secara tidak berimbang, yang menimbulkan
kebingungan di kalangan masyarakat.
Tausiah ketiga, MUI menyerukan kepada semua pihak baik tim
sukses, relawan, dan pendukung masing-masing pasangan capres dan
cawapres, untuk dapat menahan diri tidak bertindak anarkis dan main hakim
sendiri, namun menyerahkan penyelesaian setiap sengketa melalui jalur
hukum berdasarkan prinsip taat konstitusi.
Keempat, mendesak kepada penyelenggara Pemilu sesuai amanat
konstitusi yaitu (bahwa) Pemilu diselenggarakan berdasarkan asas "Luber dan
Jurdil", untuk melaksanakan tahapan-tahapan berikutnya dengan senantiasa
berpegang teguh kepada asas-asas tersebut khususnya jujur dan adil.
"Maka KPU, Bawaslu, DKPP dan pihak keamanan beserta jajarannya
masing-masing untuk berlaku profesional, objektif, transparan dan imparsial,
non partisan," kata Yusnar.
Kelima yakni, secara khusus mendesak lembaga penegakan hukum
dan keamanan (Mahkamah Konstitusi, TNI dan Polri) untuk mengemban
amanat dan tanggungjawab dengan tidak mengedepankan kepentingan
kecuali kepada bangsa dan negara.
Keenam, menyerukan kepada umat Islam khususnya agar dapat
menyatukan hati, pikiran dan langkah, untuk menegakkan persaudaraan

11
keislaman (ukhuwah Islamiyah) dan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah
wathoniyah) dalam koordinasi MUI.
Ketujuh, mengajak seluruh umat beragama, khususnya umat Islam,
untuk senantiasa memanjatkan doa kepada Allah SWT agar bangsa Indonesia
aman dan sentosa, rukun, damai, serta terhindar dari malapetaka perpecahan.
Tausiah Kebangsaan itu ditandatangani oleh Ketua dan Sekjen
masing-masing Dewan Pertimbangan dan Dewan Pimpinan MUI. Din
mengatakan, Tausiah Kebangsaan ini sangat kuat dan tinggi posisinya.
Menurutnya, MUI sebagai lembaga keagamaan memiliki panggilan moral
untuk mengoreksi yang salah, tidak secara partisan.
Din pun menyebut, MUI yang merupakan tempat berhimpun puluhan
ormas Islam pusat dan daerah, mengimbau masyarakat menyatukan pikiran
dan hati dalam menegakkan persaudaraan dan kebangsaan.
"Jangan ada melangkah sendiri. Kami akan memantapkan koordinasi
mengawal NKRI, menjaga keutuhan bangsa," tutur Ketua Dewan
Pertimbangan MUI, Din Syamsuddin.6
Pada poin ke 4 inilah letak resolusi konflik yang masih akan terangkai
dengan resolusi susulan agar upaya meredam amukan masa yang kalah akibat
fanatikme dan ketimpangan moral yang kurang sesuai dengan jalan pancasila
tetap diupayakan agar terciptanya kerukunan antar umat islam, antar
golongan, antar kelas, antar warga indonesia.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan Badan Otonom Non
Pemerintah yang menghimpun Ulama, Zu’ama dan Cendakiawan Muslim
Indonesia. Majelis ini berdiri pada tanggal 7 Rajab 1395 H, bertepatan
6
https://www.suara.com/news/2019/04/20/031000/upaya-redam-konflik-usai-pemilu-mui-
sampaikan-7-poin-tausiah-kebangsaan diakses : 27/5/2019-23.58 WIB.

12
pada tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta. Lahirnya MUI diawali dengan
lahirnya Piagam Berdirinya MUI dengan musyawarah para Ulama,
Cendakiawan dari berbagai penjuru tanah air. Kemudian, pertemuan
tersebut dianggap sebagai Musyawarah Nasional Ulama I.
Sedangkan Bab 3 tentang Metode Penetapan Fatwa berisi 5 pasal,
yaitu:
1. Sebelum fatwa ditetapkan hendaklah ditinjau lebih dahulu
pendapat para imam mazhab dan ulama yang mu’tabar tentang
masalah yang akan difatwakan tersebut, secara seksama berikut
dalil-dalilnya.
2. Masalah yang telah jelas hukumnya hendaklah disampaikan
sebagaimana adanya.
3. Dalam masalah yang terjadi khilafiah di kalangan mazhab, maka,
a. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik
temu di antara pendapatpendapat Ulama Mazhab melalui
metode al-Jam’u wa al-taufiq; dan
b. Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan,
penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode
muqaranah dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh
Muqaran.
4. Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di
kalangan mazhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad
Jama’I (kolektif) melalui metode bayani, ta’lili (qiyasi, istihsani,
ilhaqi), istishlahi, dan sadd al-zari’ah.
5. Penetapan Fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan
umum (mashalih ‘ammah) dan maqashid alsyari’ah.
Resolusi untuk kedamaian Indonesia pasca pemilihan
presiden telah diupayakan MUI dengan membuat 7 himbauan yang
disampaiakan bertepatan pada saat Tausiyah kebangsaan. Hal ini
bertujuan meredam amukan masa yang belum legowo atas
banyaknya suara yang ditetapkan oleh panitia pemilu.

13
14
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Islam Wasathiyah –MUI PDFmui.or.id.


Karim, Helmi.1994.Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam
Pengembangan Hukum Islam.Pekanbaru: Susqanpress.
MUI, Pengurus Harian,
http://mui.or.id/category/tantang-mui/pengurus-mui/periode-berjalan/
pengurus-harian.diaksespada: 20
https://www.suara.com/news/2019/04/20/031000/upaya-redam-konflik-usai-
pemilu-mui-sampaikan-7-poin-tausiah-kebangsaan diakses : 27/5/2019-
23.58 WIB.

15

Anda mungkin juga menyukai