Anda di halaman 1dari 12

PROSPEK FATWA MUI TERHADAP HUKUM POSITIV

DI NEGARA PANCASILA

Oleh: Drs. Suyadi, MH.1

A. Pendahuluan

Dunia Internasional sudah memaklumi, bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah


beragama Islam, bahkan terbesar dunia penduduk muslimnya. Meskipun demikian
Indonesia bukanlah negara islam, namun sebuah negara yang berdasarkan “Pancasila”.
Beruntunglah, bahwa mayoritas masyarakat kita, telah saling memamahami, bahwa yang
hidup di negeri ini bukan kaum muslimin saja, namun beraneka agamanya, sukunya,
bahasanya dan bangsannya dan kondisi saling memahami seperti itu sudah terjalin dari
dulu kala.

Sejarah telah mencatat para pemuda dan pemudi kita sejak tanggal, 28 Oktober tahun
1928 telah berikrar dengan sebutan “Sumpah Pemuda”, yaitu: “Bertanah Air Satu
Tanah Air Indonesia, Berbangsa Satu Bangsa Indonesia Dan Berbahasa Satu
Bahasa Indonesia”. Dengan harapan semoga iklim toleran dan tekad persatuan
Indonesia itu, tetap terjaga dan abadi di negera Pancasila ini.

Patut disyukuri, di Indonesia ini ada sebuah lembaga yang diisi oleh orang-orang
pilihan, berakhlak mulia dan banyak ilmunya yaitu suatu lembaga yang bernama Majelis
Ulama’ Indonesia (MUI). Suatu lembaga yang pendapatnya (fatwanya) berisi solusi
masalah-masalah di masyarakat yang bersumberkan dari: kitab suci (Al-Qur’an), suatu
kitab selalu terjaga oleh Sang pemberi wahyu tersebut, atau didasarkan dari sabda
Rasulullah (Al-Hadis) yang sangat terpercaya (shahih), atau berdasarkan dari
kesepakatan para alim ulama’ (ijma’), atau berdasarkan analogi hukum yang telah ada
(qiyas) dan masih ada sumber lain. Oleh karena itu meskipun fatwa tersebut, bukan
termasuk dalam hirarkhis tata urutan hukum Indonesia, namun sangat potensial,
sehingga dapat diadopsi atau diambil oleh Lembaga resmi negara untuk dijadikan
peraturan hukum nasional. Tentunya jika telah menjadi hukum nasioanal akan berlaku
bagi semua umat baik muslim maupun non muslim. Meskipun produk MUI tersebut
masih berupa fatwa, namun sudah terbiasa dijadikan rujukan bagi kaum muslimin untuk

1
Hakim PA. Jakarta Selatan, artikel ini dikirim tanggal, 01/06/2021, dengan niat turut serta
memperingati hari Lahirnya Pancasila tanggal, 01/06/1945
dipedomaninya. Bahkan sudah ratusan Fatwa dari DSN (Dewan Syari’ah Nasional) yang
telah dipakai oleh lembaga negara dalam kegiatan ekonomi Syariah.

Dari uraian-uraian tersebut di atas, muncul rumusan masalah sebagai berikut:

1. Sejauh manakah prospek Fatwa MUI terhadap hukum positiv di negara yang
berdasarkan Pancasila .
2. Bagaimana teknis menkontribusikan Fatwa MUI menjadi hukum positiv
(nasional).

B. Pembahasan

Apabila kita merujuk kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Undang-Undang, pada Pasal 7 dijelaskan jenis dan hirarki
peraturan perundangan adalah: UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Udang/Perpu,
Peraturan Pemerintah, Perpres, Perda Provinsi atau Kabupaten/Kota. Jadi Fatwa MUI
tidak termasuk kelompok tersebut, begitu juga KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang
telah disusun oleh para Ahli Fiqih dan Ahli Hukum yang beragama islam pada tahun
1991, tidak masuk dalam kategori hirarkhis tersebut. Bahwa KHI itu dipayungi
dengan Inpres (Instruksi Presiden) No. 1 Tahun 1991, kemudian dipayungi dengan
Peraturan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991. Menurut Pasal 8 ayat (1) UU No.
12/2011, disebutkan: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi
Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”
Para Imam Madzhab dulu, dasar yang dipakai dalam menetapkan hukum
terhadap suatu masalah tertentu, hirarkinya adalah sebagai berikut: 1). Al-Qur’an, 2).
As-sunnah (Al-Hadis), 4). Ijma’ (konsensus), 5). Qiyas (analogis). Sedangkan dasar
hukum selainnya masih khilafiyah. Begitu juga pedoman utama MUI dalam
berfatwa 5 sumber tersebut dan ditambah sumber yang lainnya. Dengan demikian
kwalitas dan kwantitas fatwa MUI sangat baik dan dapat dipertanggungjawabkan
dunia dan akhirat. Semoga saja suatu saat nanti semua fatwa MUI atau minimal
rohnya saja diadopsi oleh Lembaga Eksekutif maupun Legislatif ataupun Yudikatif
sebagai peraturan hukum, sehingga dapat berlaku secara nasional.

Dengan mengutip dari kompas.com, menurut Profesor Tim Lindsey,


Direktur CILIS (Center for Indonesian Law, Islam and Society), Melbourne
University Law School berpendapat bahwa MUI adalah LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) yang juga mempunyai bersifat organ publik negara atau Quasi-
Autonomous Non-Govermental Organization (QuANGO) 2 . Sifat MUI sebagai
lembaga berwenang menerbitkan sertifikasi halal serta menerima dana sertifikasi
halal, selanjutnya peran tersebut beralih kepada Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal (BPJPH) sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal. MUI bukanlah badan, lembaga, komisi negara yang “dibentuk
dengan undang-undang, atau bukan dibentuk oleh Pemerintah atas perintah undang-
undang” sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011. Dengan demikian fatwa
MUI itu memang bukan tergolong peraturan perundang-undangan yang berlaku
(bukan hukum positiv), sebagaimana maksud UU No. 12 Tahun 2011 tersebut.
Meskipun demikian Fatwa MUI tidak boleh diremahkan oleh siapapun, karena fatwa
MUI termasuk hasil ijtihad para Ulama’ Indonesia, yang sangat potensial, sehingga
suatu saat kemungkinan besar akan diambil oleh lembaga negara untuk dijadikan

peraturan hukum positiv di negera Pancasila ini.

B. Kapasitas Fatwa MUI

Coba kita menengok ke belakang, bahwa MUI berdiri sejak tanggal 26 bulan Juli
tahun 1975 M. bertepatan 17 bulan Rajab tahun 1395 H. MUI didirikan bertujuan untuk
membantu pemerintah dalam hal-hal yang menyangkut dengan umat Islam, seperti
mengeluarkan fatwa dalam kehalalan sebuah makanan, memberi nasihat atau pendapat
masalah kemasyarakatan, penentuan kebenaran sebuah aliran dalam agama Islam, dan
hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seorang penganut agama Islam dengan
lingkungannya.

Rasanya kita perlu mengetahui , apa saja tugas MUI itu. Bahwa apabila mengutip
wikipedia.org , ada tujuh macam tugasnya, yaitu:

2
https://nasional.kompas.com/read/2016/12/22/17262341/fatwa-mui-hukum-positif-dan-hukum-
aspiratif, diakses 30/05/2021
1. Sebagai pengawal bagi penganut agama Islam
2. Sebagai pemberi edukasi dan pembimbing bagi penganut agama Islam
3. Sebagai penjaring kader-kader yang lebih baik
4. Sebagai pemberi solusi bagi masalah keagamaan di dunia internasional
5. Sebagai perumus konsep pendidikan Islam
6. Sebagai pengawal konten dalam media massa
7. Sebagai organisasi yang menjalankan kerja sama dengan organisasi keagamaan.3

Sedangkan fungsi MUI sebagaimana yang dilansir oleh wikipedia.org ada 5 macam
yaiu:

1. Sebagai warasatul Anbiya (pewaris tugas-tugas para Nabi).

2. Sebagai Mufti (pemberi fatwa).

3. Sebagai Ri’ayat wa khadhim al umah (pembimbing dan pelayan umat).

4. Sebagai Ishlah wa al tajdid (gerakan kebaikan dan pembaharuan).

5. Sebagai penegak amar makruf nahi munkar (mengaja kebaikan dan mencegah
kejahatan;4

Apabila kita amati wilayah Yuridiksi Fatwa MUI, cakupannya tiada batasannya, yang
penting masalah-masalah hukum masyarakat Indonesia khususnya pemeluk agama islam,
bisa jadi masalah hukum, sosial, politik, kesehatan, dan sebagainya, kemudian MUI akan
berpendapat (berfatwa) tentang masalah yang diajukan oleh masyarakat baik perorangan
maupun individu, atau bahkan oleh pemerintah. Lalu MUI tersebut akan memelajari
masalahnya dan mencarikan dalil dasar hukumnya akhirnya menghukuminya, mungkin
dengan hukum wajib atau sunnah, halal atau haram, sunnah atau mubah, setelah para
mufti (MUI bidang fatwa) mencari dasar hukum, dari Al-Qur’an, Al-Hadis, ijma’,
Qiyas, atau dari pendapat para Fuqaha’ dan mungkin dari sumber hukum lainnya. Yang
harus kita ingat fatwa MUI tidak mempunyai daya paksa seperti Undang-Undang atau
peraturan hukum nasional lainnya, sehingga masyarakat bebas dalam menyikapinya.
Jangankan Fatwa MUI, fatwa dari Mahkamah Agung (MA) saja yang berupa produk
fatwa bukan putusan, padahal MA sebagai lembaga tinggi negara yang resmi, tidak
memiliki daya paksa, sehingga boleh ditaati dan tidak ditaatinya serta tiada sanksi bagi

3
https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia, diakses 30/05/2021
4
https://map-bms.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia, diakses 30/05/2021
yang tidak mentaatinya. Meskipun demikian menurut hemat penulis, sebagai warga
negara yang baik dan sekaligus sebagai umat islam yang beretika, alangkah baiknya baik
Fatwa MUI maupun Fatwa MA semestinya harus ditaatinya.

C. Teknis Mengkontribusikan Fatwa MUI Menjadi Hukum Positiv

Menurut Cik Hasan, (Dosen IAIN Sunan Gunung Djati Bandung), ada tiga hal
yang utama untuk mentransformasi Hukum Islam ke dalam system Hukum nasional
(hukum positiv), yaitu:

1). Hukum Islam merupakan serangkaian perintah dan larangan Allah dan Rasulullah bagi
penataan kehidupan umat manusia. Ia bersifat semesta, tanpa terikat oleh struktur sosial
meskipun mempertimbangkan sistem sosial yang berlaku. Namun pada saat hukum itu
diterapkan dalam kehidupan masyarakat , dalam hal ini umat Islam, ia berada dalam
struktur sosial, sebagaimana tampak dalam hukum Islam dimensi nidzam, qanun, idarah,
dan adat.

2). Transformasi hukum Islam ke dalam satuan masyarakat bangsa yang diikat oleh
organisasi negara. Dalam hal ini dilakukan berdasarkan keputusan politik, atau politik
hukum, dari penyeleggara negara melaui proses legislasi dalam bentuk peraturan
perundang-undangan dan perangkat hukum yang menjalankan produk legislasi tersebut.

3). Sistem hukum nasional, yakni sebagai bagian dari system masyarakat bangsa. Dalam
system ini meliputi nilai fundamental yang telah disepakati sebagai rujukan utama, bahan
baku dalam pembentukan dan pengembangan hukum, arah pembangunan hukum yang
hendak diraih, berbagai aturan yang perlu proses politik. Dari berbagi hal itu merupakan
unsur hukum nasional sebagai satu kesatuan yang terintegrasi. (vide Mimbar hukum No.
56 th.2002 h.27)

Setidak-tidaknya hingga akhir tahun 2020, produk Fatwa DSN-MUI yang sudah
dilahirkan sejumlah 138 Fatwa. Adapun Fatwa DSN-MUI yang kemungkinan yang
terbaru saat ini adalah Fatwa nomor 138/DSN-MUI/V/2020, yaitu tentang Penerapan
Prinsip Syariah Dalam Kliring, Dan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa Efek
Ekuitas di Bursa Efek. Kandungan poin fatwanya antara lain: Dalam hal Anggota Kliring
tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam menyelesaikan Transaksi Bursa atas Efek
Bersifat Ekuitas, dan Lembaga Kliring dan Penjaminan meggunakan dana Jaminan untuk
memenuhi kewajiban Anggota Kliring tersebut, maka Lembaga Kliring dan Penjaminan
tetap wajib menyelesaikan transaksi tersebut. Anggota Kliring yang tidak dapat
memenuhi kewajibannya kepada Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk menyerahkan
Efek maka dapat dikenakan ta’wid (ganti rugi) dan/atau ta’zir (denda) dan batasan ta’wid
berupa kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas sebagaimana Fatwa MUI
Nomor: 43/DSN-MUI/VIII/2004 .5

Sedangkan produk Fatwa MUI dari Komisi Fatwa yang kemungkinan terbaru adalah
Fatwa No. 24 Tahun 2021, tentang Panduan beribadah pada bulan Ramadhan dan shalat
Idul Fitri tahun 1442 Hijriyah, oleh karena virus corona belum selesai, maka isi fatwanya
antara lain harus menjaga protokol kesehatan, menjaga jarak , memakai masker,
merenggangkan shaf pada shalat berjamaah dibolehkan karena ada hajat syari’ah dan
tidak kehilangan keutamaan berjamaah karena untuk menghindari penularan dan
memutus virus Covid-19.6

Kiranya ada baiknya, untuk menyinggung tentang masalah Legeslasi maksudnya


pembuatan hukum oleh yang berwenang, dalam materi hukum Islam dikenal dengan
sebutan Tasyri'. Hal ini erat sekali dengan politik hukum (legal policy), yang akan atau
telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: 1).
Pembangunan hukum yang memprioritaskan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-
materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; 2). Pelaksanaan ketentuan hukum
yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
Dari pengertian tersebut politik hukum meliputi proses pembuatan dan pelaksanaan
hukum yang dapat menunjukkan sifat dan arah pembangunan hukum . ( vide: Politik
Hukum di Indonesia oleh Mahfud MD. h. 9)

Bagi kaum muslimin, di manapun berada, diperlukan kiat perjuangan, berdakwah


dan berijtihad untuk memasukkan nilai-nilai keislaman. Menurut hemat penulis Ijtihad
pada zaman reformasi seperti saat ini, yang dominant adalah melalui legislative atau
eksektif dan atau yudikatif. Peraturan perundang-undangan yang berupa Undang-Undang,
yang berwenang membuat adalah Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah. Oleh
karena itu perlu berjuang atau melobi baik sesama teman politik maupun lawan politik
bahkan kepada seluruh warga Indonesia agar kandungan isi Fatwa MUI tersebut dapat
dikontribusikan ke dalam system hukum nasional, paling tidak nilai-nilainya saja. Maka

5
https://dsnmui.or.id/, saat akses 30/05/2021
6
https://mui.or.id/, 30/05/2021
dari itu setiap ada perhelatan Pemilu (Pemilihan Umum) baik pemilu Presiden, Pemilu
Legislatif, Pemilihan Gubernur, Pemilihan Bupati/Wali Kota dan seterusnnya, tentu jika
ingin nilai-nilai dari Fatwa MUI itu dapat dimasukkan ke Hukum Nasional, harus
memilih Calon Presiden dan Wakil Rakyat yang sesama muslimnya dan yang sekiranya
akan dapat mengayomi terhadap kepentingan umat muslim. Demikian juga untuk
memilih calon wakil kita baik yang di Daerah (DPRD) ataupun di pusat DPR, calon
Gubernur, calon Bupati, calon Wali Kota, dan yang lainnya, tentu minimal yang seagama
dan mana yang dianggap baik. Dapat kita bayangkan seandai negeri kita di kuasai oleh
orang-orang non muslim dan orang-orang asing yang tidak bermoral, mungkin mereka
akan memproduk hukum nasional yang semaunya saja, bisa jadi merobah konstitusi dan
Undang-Undang dan peraturan hukum dengan seenaknya, bisa jadi menghalalkan
narkoba dan memberi ijin tumbuh dan berkembangnya kemaksiatan-kemaksiatan dan
lain-lainnya. Semoga hal itu tak pernah terjadi di negara kita meskipun bukan negara
islam namun penghuninya mayoritas memeluk agama islam.

Kegiatan berijtihad sebenarnya sudah sering dilakukan oleh fakar hukum Islam,
yang dikenal dengan sebutan "mujtahid" atau "faqih" . Awal ijtihad itu sejak zaman
sahabat karena ditinggal wafat oleh nabi SAW, namun ijtihadnya bersifat individual.
Selanjutnya terhadap hasil ijtihad Mujtahid tersebut ada yang pro (sependapat) ada pula
yang kontra (tidak sependapat), kemudian muncul madzhab-madzhab. Pihak yang pro
terhadap pendapat Imam Hanafi disebut madzhab Hanafi, pihak yang pro kepada Imam
Hambali disebut madzhab Hambali, yang pro tehadap ijtihad Maliki dikenal madzhab
Maliki yang pro tehadap ijtihad Imam Syafi'i, disebut madzhab Syafii, dan masih ada
madzhab yang lain.

Mengenai hukum fikih dan hukum-hukum Islam sebenarnya sudah banyak yang
ditulis oleh para Imam madzhab atau fakar hukum, yang sudah dibukukannya dalam
berbagai buku atau kitab. Pembukuan masalah hukum itu merupakan hasil ijtihad mereka
yang bersumberkan dari Al-Qur'an, Al-Hadis, Ijma' dan qiyas dan sebagainya, namun
demikian pembukuan seperti tersebut dalam hukum moderen masih dikategorikan hukum
yang tak tertulis karena belum diambil atau diadovsi dan disahkan oleh pejabat yang
berwenang, seperti Pejabat Eksekutif maupun Legislatif maupun oleh pejabat Yudikatif
(para hakim), sehingga tidak masuk dalam hirarkhis tata urutan peraturan hukum seperti
terurai di atas.
Indonesia adalah negara yang cenderung mengikuti system hukum civil law, namun
juga tidak menutup rapat terhadap system common law. Mungkin karena Indonesia dulu
pernah dijajah oleh Belanda, begitu juga Belanda pernah dijajah oleh perancis. Sedangkan
Perancis mengikuti system civil law. Ciri khas system civil law adalah peraturan hukum
yang mengutamakan peraturan hukum tertulis. Berbeda dengan system common law yang
mengutamakan Yurisprudensi, sebagaimana yang dianut oleh negara Inggris, Amerika,
Australia dan lain-lainnya, tidak mengutamakan peraturan hukum yang tertulis, seperti
pasal-pasal secara rinci dan jelas dari Undang-undang yang baku.

Dasar hukum yang dipakai pada zaman awal-awal islam dan zaman Sahabat hingga
zaman pra moderen adalah hukum yang masih global dari Qur'an, Hadis dan pendapat
fuqaha' yang biasanya terdapat dalam kitab-kitab yang berbahasa arab. Seperti halnya
negara Arab Saudi hingga kini masih menganut system seperti tersebut, yakni
berdasarkan kepada Al-Qur an, sunnah, ijma’, qiyas. Mengenai putusan hakim di Arab
Saudi dipengaruhi oleh madzhab Hambali, sedangkan dasar konstitusinya adalah Al-
Qur’an dan As-Sunnah.7

Apabila kita cermati, nilai-nilai dari syari’at Islam, sudah banyak yang masuk
dalam hukum nasional, seperti terdapat pada UU. No. 1 Tahun 1974, Tentang
Perkawinan, UU.No. 7 Tahun 1989, Tentang Peradilan Agama Jo. UU. No. 3 Tahun
2006, UU.No 21 tahun 2008, Tentang Perbankan Syari’ah, UU. No. 19 tahun 2008
tentang Surat-surat Berharga Syari’ah dan lain lainnya. Sedangkan yang semula dari
Fatwa MUI, kemudian menjadi hukum nasionl, yaitu Peraturan Mahkamah Agung No, 2
Tahun 2008, tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Beberapa Peraturan Bank
Indonesia (PBI) Mengenai Perbankan Syariah, misalnya: PBI No.9/19/PBI/2007 tentang
pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana
serta pelayanan jasa bank syariah., PBI No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas
peraturan bank Indonesia, PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan lain-lainnya.

Dalam Pasal 26 (3) UU. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan, bahwa PBI harus
menuangkan Fatwa MUI, terkait prinsip syari’ah, pada Pasal 25 UU. No. 19 Tahun 2008.
Menteri Keuangan meminta fatwa MUI sebagai dasar penerbitan SBSN (Surat Berharga
Syari’ah Negara), terhadap prinsip-prinsip syariah dari lembaga yang memiliki

7
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Arab_Saudi, diakses 31/05/2021
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Oleh karena masyarakat sudah
banyak yang melakukan kegiatan ekonomi secara syariah dan sudah banyak produk
Perbankan secara syariah, usaha-usaha lain secara syariah, maka fatwa MUI sangat
diperlukan oleh instansi-instansi terkait.

Memang rasanya masih terdapat ada kendala untuk mewujudkan hukum Islam
secara kaffah di negeri kita ini, termasuk di dalamnya produk Fatwa MUI untuk dijadikan
sebagai Hukum nasional. Kendala-kendala produk Fatwa MUI untuk menjadi hukum
nasional tersebut antara lain:

a. Meskipun jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 90 % beragama Islam


itu, barang kali hanya berdasarkan KTP saja, namun yang betul-betul taat
kepada ajaran Islam hanyalah sebagian saja, dari sebagian itu tidak semua
yang sependapat fatwa MUI diterapkan di Indonesia secara kaffah (total).
b. Kadangkala orang yang dikategorikan fakar hukum Islam, setelah
menempati posisi strategis, idialismenya biasanya menurun bahkan ada
yang hilang sama sekali.
c. Umat islam Indonesia beragam, sehingga tidak semua yang sependapat
dengan pendapat (fatwa MUI), dalam masalah tertentu, sehingga muncul
pro dan kontra.
D. Kesimpulan

Dari uraian-urian di atas dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut:

1. Fatwa MUI tidak mempunyai daya paksa seperti Undang-Undang atau peraturan hukum
nasional pada umumnya, sehingga masyarakat bebas dalam menyikapinya. Namun fatwa
MUI merupakan sumber hukum materiil yang dapat dipertanggungjawabkan dunia dan
akhirat karena sumbernya dari dalil aqli dan naqli. Ternyata materi-materi fatwa MUI
sudah ada yang menjadi bagian hukum nasional dan suatu saat nanti paling tidak nilai-
nilainya banyak yang akan diadopsikan menjadi hukum positiv (nasional), tergantung
situasi politik negara Indonesia. Fatwa MUI, yang semula sebagai sumber hukum materiil,
jika telah teradopsi menjadi hukum nasionaal, akan berlaku sebagaimana peraturan
hukum pada umumnya.
2. Agar supaya Fatwa MUI terkontribusikan dalam positiv (Hukum Nasional), apabila
ada perhelatan Pemilu apapun namanya, tentunya sejak dini dalam memilih calon-
calonnya harus minimal seagama dan yang terbaik. Apabila ada Pemilu Legislatif, tentu
pilihannya harus betul-betul calon yang berkwalitas dan sesama agamanya. Begitu juga
untuk Pemilu yang lainnya, sehingga nanti akan mampu menghasilkan Undang-Undang
dan/atau peraturan hukum yang lainnya yang mementingkan nilai syar’i dan bernilai
filosofis ( penuh dengan pemikiran yang mendalam) dan bernilai sosiologis ( dapat
diterima masyarakat dengan senang hati). Di negeri kita ini, terdapat parpol-parpol yang
mempunyai visi dan misi atas keberlangsungan ajaran Islam, maka agar nilai-nilai dari
fatwa MUI masuk ke dalam system hukum nasional, perlu menitipkan pesan kepadanya
agar cita-cita tersbut berhasil.
E. Penutup

Demikian, semoga artikel yang sederhana ini bermanfaat, tak lupa


mengucapkan:”Selamat Hari Lahirnya Pancasila, 01 Juni 1945”. semoga Pancasila tetap jaya
di negara Indonesia, dan jika ada yang tidak berkenan mohon maaf.

Jakarta Selatan, 1 Juni 2021

Penulis

TTD.

(Drs. Suyadi Hs.,MH.)


Daftar Pustaka

Amran Suadi, H.Dr.,Drs., SH.,M.Hum.,M.M., Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum, Dalam

Penyelesaian sengketa Ekonomi Syariah, Jakarta, Kencana Jl Tambra Raya No. 23

Rawangmangun, cetakan ke I, 2020

David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, Jakarta, CV. Rajawali, th.1977.

https: //nasional.kompas.com/read/2016

http ://www.uraiantugas.com/2017

https://mui.or.id/fatwa

https://id.wikipedia.org/wiki/Sumber-sumber_hukum_Islam

https://www.beritatransparansi.com

https://www.researchgate.net/publication

https://map-bms.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia

Moh.Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta, PT Pustaka LP3ES Indonesia, th. 1998.

Moh. Daud Ali, H. Dr., SH. Hukum Islam dan Masalahnya Di Indonesia, IAIN Jakarta, th.1993.

Masjfuk Zuhdi, Drs., Masail Fiqhiyah Kapita Selekta hukum Islam, Jakarta, CV.Haji Masagung, th.
1989.

Muhammad Amin Suma, Prof. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, th. 2004.

Muin Umar, Drs., Asymuni A. Rahman, H., Drs., Tolchah Mansoer,

Dr.,H.,SH., Kamal Muchtar, H., Drs., Zuhri Hamid, Drs., Dahwan, H.,Drs., Ushul Fiqih, Jakarta,
Depag RI, th. 1985.

Mimbar Hukum, Aktualisasi Hukum Islam, No. 56 th. 2002, Jakarta ,Alhikmah & DITBINPERA, th.
2002.

Rifyal Ka'bah, Dr., MA., Penegakan Syari'at Islam di Indonesia, Penerbit Khairul Bayan, Jakarta, th.
2004.

Slamet Suhartono, Makalah Eksistensi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam Perspektif Negara
Hukum Pancasila.

Anda mungkin juga menyukai