Anda di halaman 1dari 17

PENGARUH FATWA MUI NOMOR : 001/KF/MUI-SU/I/2017

TENTANG PERNISTAAN AGAMA TERHADAP PUTUSAN PN


MEDAN NOMOR : 1612/Pid.B/2018/PN Mdn

A. Latar Belakang Masalah


Setiap zaman selalu melahirkan masalah. Disinilah Islam
menunjukkan kelebihannya. Islam mampu menyesuaikan diri pada segala
zaman dan tempat. Allah menjadikan kemampuan manusia itu beragam.
Ahli di bidang fikih, hadis, ilmu sosial, psikologi dan bidang ilmu lainnya.
Dalam keragaman inilah manusia saling melengkapi dengan kelebihan dan
kekurangannya masing-masing, manusia saling menerima dan memberi.
Dalam keragaman itu pula, kemampuan manusia dalam memahami hukum
Allah swt pun bertingkat. Di sinilah mereka saling membutuhkan untuk
memecahkan masalah masing-masing kepada yang lebih ahli. Pada titik
puncaknya respon dari para ulama dianggap sangat penting dalam
menemukan jalan keluar atas masalah-masalah kontroversial yang terjadi
Islam adalah agama yang membawa rahmat seluruh alam. Untuk
mewujudkannya harus ada norma yang menjadi aturan, dalam agama Islam
norma yang menjadi aturan, dalam agama Islam norma tersebut dikenal
dengan istilah syariah, yaitu suatu tatanan aturan kehidupan yang mengatur
hubungan antara manusia dan sesamanya juga hubungan antara manusia dan
Tuhan. Istilah syariah ini sebenarnya dalam kajian hukum Islam lebih
menggambarkan kumpulan norma-norma hukum yang merupaka proses
dari tasyri. Dalam istilah para ulama fiqh tasyari bermakna menetapkan
norma-norma hukum untuk menata kehidupan manusia baik hubungan
dengan Tuhan maupun dengan sesamanya.1
Syariat yang dimaksud adalah syariah yang mencakup ketentuan-
ketentuan Allah dan rasul;Nya dan norma-norma hukum hasil kajian ulama
mujtahid untuk mewujudkan kemashlahatan hidup manusia. Inilah yang
terkenal dengan Maqasid al-Syariah (tujuan Syariat) dalam hukum Islam.

1
Muhammad Faruq Nabhan, al-madkhal li al-Tasyri’I al-islami, (Beirut: Dar al-Qolam,
1981), hlm. 11.

1
Diantara masalah-masalah tersebut tidak ada dasar yang jelas di
dalam Alquran maupun di dalam sunnah Nabi, sehingga menuntut para
ulama untuk menemukan dalil yang selaras dengan syariat Islam untuk
menciptakan sebuah kemaslahatan. Berawal dari hal di atas, para
cendekiawan muslim di Indonesia secara kolektif semakin termotivasi, dan
berkeinginan untuk menyatukan gerak dan langkah umat Islam di dalam
mewujudkan cita-cita bersama dalam konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdaulat, maka para cendekiawan muslim tersebut
membentuk lembaga besar yang berwenang untuk memberikan respon atau
menentukan sikap terhadap permasalahan kontraversial. Lembaga besar ini
dikenal dengan nama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan mengenai sikap
atau respons yang dikeluarkannya dinamakan fatwa. MUI didirikan pada
tanggal 26 Juli 1975 M di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau
musyawarah para ulama dan cendekiawan yang datang dari berbagai
penjuru tanah air. Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan tempat atau
majelis yang menghimpun para ulama dan cendekiawan muslim Indonesia
untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam
mewujutkan cita-cita bersama.
Namun, wujud dari Majelis Ulama yang ada di berbagai daerah itu
belum mempunyai pegangan dan cara kerja yang seragam, sampai akhirnya
atas prakarsa pemerintah Orde Baru diadakanlah suatu Musyawarah
Nasional Ulama yang terdiri atas utusan wakil-wakil ulama propinsi
seIndonesia di Jakarta dari tanggal 21 sampai 28 Juli 1975. Musyawarah
inilah yang berhasil secara bulat menyepakati berdirinya Majelis Ulama
Indonesia (MUI) produk hukum yang dihasilkan oleh MUI pada umumnya
berupa fatwa. Dari uraian di atas terlihat bahwa hukum Islam sangat
menjaga dan memelihara urusan-urusan yang berkaitan dengan keyakinan
(agama), hal itu terlihat di mana urusan tentang pemeliharaan agama
ditempatkan pada urusan-urusan yang dharuri (hak asasi), untuk itu setiap
tindakan berkaitan dengan hal ini sangat diperhatikan misalnya hukum
murtad (penyelewengan akidah).

2
Untuk menghadapi fenomena berkembangnya aliran-aliran
kepercayaan baru dalam masyarakat, kita tidak harus menanggapinya secara
emosional dan reaktif dengan prasangka-prasangka yang tidak berdasar
(tanpa melihat akar permasalahan yang ada. Kita seharusnya lebih arif dan
bijaksana dalam menyelesaikan masalah. Kekerasan, terror, ancaman serta
pengucilan, bukanlah jalan keuar yang baik. Menghancurkan, bahkan
membunuh mereka yang dianggap sesat tanpa memperbaiki kondisi
kesemrawutan bangsa kita dari segala aspek, hanya akan melahurkan
kesesatan baru yang mungkin jauh lebih berbahaya.
Sedangkan dalam hukum positif sebagai perwujudan aturan hukum
untuk mencapai kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera meliputi
perlindungan hukum terhadap hak-hak dasar warga negara, misalnya bidang
agama. Hal itu sesuai dengan sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang
Maha Esa” dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 yang berbunyi
“Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.2 Sebagai dasar negara
yang mengakui keberadaan macam kepercayaan (agama), jaminan
kebebasan beragama ditujukan agar masyarakat Indonesia dapat memilih
menentukan keberagaman mereka masing-masing tanpa intimidasi dari
pihak manapun. Disebutkan pula bahwa setiap umat beragama bebas untuk
menjalankan tat acara beribadah menurut agama yang dianutnya. Hal ini
senada dengan Asas kebebasan berkeyakinan yang dijamin Undang-Undang
dasar 1945 Pasal 29 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.3
Pasal 28E ayat (10 menyebutkan:
“Setiap orang bebas memluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih oendidikan dan oengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, seta berhak kembali”.
Ayat (20 pasal 28E menegaskan:

2
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1
3
Lihat Undang-Undang Dasar Pasal 29 ayat (2)

3
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.
Artinya seseorang dijamin kebebasannya untuk melakukan ibadah
sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
Tetapi perdebatan penistaan atau penodaan agama senantiasa actual
baik dalam hukum Islam maupun positif, khususnya yang diatur dalam
KUHP. Apalagi kasus penistan agama ini sangat lagi marak di perbincangan
terkait dengan kasus penodaan agama.
Penodaan Agama adalah suatu tindakan melawan hukum baik Islam
maupun Agama lain, baik di Indonesia maupun di negara lain, di Indonesia
penyebab penodaan Agama sering terjadi akibat faktor politik, d tempat
muslim dan non muslim berkumpul dan hidup damai bisa terjadi
perselisihan, bentrokan, hal itu terpicu pemahaman agama yang berbeda d di
dalam masyarakat, factor politik problem pertama terjadi pemecahan dalam
suatu negara, ada beberapa hal utama yang di garis bawahi dalam berita
tersebut, dari segi isu, dua yang utama dan kerap menjadi masalah masih
tetap, yaitu penodaan/penyimpangan agama dan rumah ibadah. Kedua hal
ini menjadinisu utama karena dalam beberapa tahun ini, konflik-konflik di
seputar isu itu kerap berubah kekerasan yang tak tertangani dengan baik. 4
Begitu sensitifnya persoalan agama bagi masyarakat Indonesia, sehingga
konflik sosial dan politik yang sebenarnya diluar agama pun sering kali
ditarik ke wilayah agama untuk mendapatkan dukungan yang lebih banyak
dari pemeluknya.5
Secara normatif, jaminan kebebasan kehidupan beragama di
Indonesia sebenarnya cukup kuat. Namun, keindahan aturan-aturan normatif
tidak serta-merta indah pula dalam kenyataannya. Banyak sekali warga
negara Indonesia yang merasa dikekang kebebasannya dalam memeluk
agama ang diakui pemerintah, artinya jika memeluk agama diluar agama
yang diakui negara maka ada efek yang dapat mengurangi hak-hak sipil
4
Adnani, Penodaan Agama : Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum Pidana di
Indonesia, Pasca Sarjana Program Studi Hukum Islam, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara,
2017, hlm.1-2.
5
Slamet Effendy Yusuf, Review 5 Tahun Kehidupan Umat Beragam di Indonesia:
Perspektif MUI, dalam makalah disampaikan dalam “Kongres FKUB”, (Jakarta, 21-22 November
2011), hlm. 5.

4
warga negara. Bahkan, orang yang mempunyai keyakinan tertentu, biasa
dituduh melakukan penodaan agama. Bukan hanya iytu, peraturan tentang
penodaan terhadap agama di Indonesia diatur melalui instrument penetapan
presiden republic Indonesia nomor 1 tahun 1965 tntang pencegahan
penyalahgunaan atau penodaan agama. Ketentuan yang lebih dikenal
dengan UU PNPS No 1 Tahun 1965 ini sangat singkat isinya, karena hanua
berisi 5 pasal.
Pasal 1 ketentuan ini menyatakan bahwa:
“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan
penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan
kegiatan-kegiatan agama yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan
dari agama itu”.
Undang-undang ini juga memperkenalkan bentuk tindak pidana baru
yaitu tindak pidana penodaan agama ke dalam KUHP Pasal 156 a.
Pasal 156a KUHP:
Dipidana dengan penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan:
a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
b. Dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun
juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.6
.
Terkadang penulis menyadari bahwa tidak semua teori berimplikasi
linear dengan kenyataan, bahwa tidak semua harapan dapat terwujud
menjadi realita oleh sebab yang demikian terdapat masalah yang didasari
bahwa adanya satu ketimpangan yaitu kenyataan yang ada diluar dari teori
atau cita-cita yang diinginkan. Hukum yang sudah ada tidak serta merta
menjadi solusi dari permasalahan permasalahan sosial.

6
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bandung: PT. Bumi Aksara, 2001),
cet. 21, hlm. 59.

5
Mengetahui bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang
artinya segala sesuatu harus dilaksanakan,dibuat,diawasi sesuai hukum yang
berlaku tetapi hukum positif itu tidak bisa menjadi solusi dari apa yang
terjadi maka, terkadang dengan budaya dan adat ketimurannya Indonesia
menggunakan norma-norma sebagai acuan terciptanya keputusan hukum.
Norma-norma tersebut diimplementasikan dalam bentuk organisasi
yang kemudian bisa menyelesaikan persoalan yang terjadi. Dalam hal ini
ketika ada persoalan agama MUI bisa menjadi solusi yang kemudian
fatwanya dapat digunakan sebagai rujukan umat islam. Munculnya fatwa
MUI yang kemudian dijadikan sandaran atau sumber hukum juga tidak
terlepas dari pertanyaan yang kemudian muncul setelahnya seperti
legitimasi fatwa MUI itu sendiri sebagai sandaran untuk menghukumi orang
non muslim.
Dari berbagai uraian di atas, maka penulis tertarik untuk
menganalisis bagaimana legitimasi fatwa MUI khususnya fatwa MUI
nomor: 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang penistaan agama sebagai
pertimbangan atau landasan hukum dalam putusan PN Medan nomor:
1612/Pid.B/2018/PN Mdn. Hal itu akan penulisis analisis melalui metode
komparasi dalam perspektif hukum islam dan hukum positif, yang berjudul
“Pengaruh fatwa MUI nomor: 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang penistaan
agama terhadap putusan PN Medan nomor: 1612/Pid.B/2018/PN Mdn”.
Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka,
permasalahan yang dapat diidentifikasikan adalah sebagai berikut:
1. Sejarah terbentuknya MUI meliputi peran dan kewenangan MUI
didalam agama dan negara
2. Hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesua
sampai saat ini
3. Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan
Agama

6
4. Pengaruh Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang
Penistaan Agama dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan (perkara
No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn
2. Pembatasan Masalah
Agar judul tesis ini tidak meluas dan lebih terarah, maka penulis
membatasinya hanya pada fatwa MUI pada kasus penghinaan agama
(Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan
Agama) dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan (perkara
No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn dengan terdakwa ibu meiliana dalam
tinjauan hukum Islam dan hukum positif dan juga Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka
permasalahannya dirumuskan, sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017
tentang Penistaan Agama dalam hukum positif di Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh Pengaruh Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-
SU/I/2017 tentang Penistaan Agama dalam Putusan Pengadilan Negeri
Medan (perkara No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan peneliti adalah:
1. Untuk mengetahui kedudukan fatwa dalam hukum Islam.
2. Untuk mengetahui letak fatwa MUI dalam sumber hukum di Indonesia.
3. Untuk mengetahui pengaruh Pengaruh Fatwa MUI Nomor : 001/KF/MUI-
SU/I/2017 tentang Penistaan Agama dalam Putusan Pengadilan Negeri
Medan (perkara No.1612/Pid.B/2018./PN Mdn.
D. Manfaat penelitian
Selain tujuan penelitian, dalam penulisan hukum ini penulis juga
mengharapkan adanya suatu manfaat yang dapat diperoleh. Adapun manfaat
yang didapat dari penelitian ini terbagi menjadi:
1. Manfaat Teoritis

7
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah diketahuinya legitimasi
produk hukum MUI terhadap suatu ketetapan dan keputusan hukum,
sehingga dengan demikian diharapkan hasil dari penelitian ini dapat
memberikan tambahan pengetahuan bagi perkembangan hukum positif
pada umumnya.
1. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai tambahan
pengetahuan dan wawasan bagi penulis dan akademisi mengenai
penetapan fatwa MUI dan hierarki peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia, serta untuk memenuhi syarat guna mencapai derajat
sarjana di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
E. Review Kajian Terdahulu
Penulis menemukan beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan
dengan tema tesis ini, di antaranya:
Tesis tahun 2011 yang ditulis oleh Andi Shofian Efendi mahasiswa
Konsentrasi Ketatanegaraan Islam program studi Jinayah Siyasah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul,
“Pengaruh Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Terhadap Proses
Pengambilan Kebijakan Pemerintah Indonesia” menjelaskan bahwa di
kalangan umat Islam Indonesia banyak yang menerima fatwa yang
dikeluarkan oleh MUI. karena mempunyai karateristik keanekaragaman
pehamaman ajaran agama dan juga dalam lingkungan MUI ada beberapa
komponen yang tergabung di dalamnya seperti; organisasi masyarakat,
pesantren. Perguruan Tinggi Islam dan lain-lain. Meskipun fatwa ini tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan masyarakat, namun
fatwa tetap dianggap signifikan dalam memberikan hukum keagamaan pada
masyarakat. Seperti yang kita ketahui fatwa pun seringkali dijadikan
rujukan oleh pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara, seperti dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah dan
perundang-undangan. Yang juga tentang perbankan syari’ah yang
menfatwakan bahwa bunga bank itu adalah haram. Melihat pada sejarah

8
bahwa pada perkembangan regulasi perbankan syari’ah di Indonesia, MUI
mempunyai peranan yang sangat besar di dalamnya. Tak hanya itu, MUI
juga terus melanjutkan peranan pokoknya dengan menjalankan dan
mengfungsikan DSN dan DPS. Yang mana DSN adalah lembaga yang
mengeluarkan fatwa-fatwa syariah sesuai dengan produk yang dikeluarkan
oleh bank-bank syariah. Sementara DPS adalah pelaksana dari fatwa-fatwa
DSN tersebut, juga mengawasi pelaksanaan syariah di masing-masing bank
syariah.
Kedua, tesis tahun 2011 dengan judul ”Faktor Pertimbangan DSN-
MUI Dalam Proses Penetapan Fatwa Produk Perbankan Syariah
Internasional” yang ditulis oleh Darto, mahasiswa Konsentrasi Perbankan
Syariah Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam) Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam tesis ini dijelaskan dalam
penetapan fatwa terhadap suatu produk, DSN (Dewan Syariah Nasional)
tidak ikut serta dalam penetapan tersebut. Karena selain perlu adanya
pengkajian yang lebih mendalam pada produk tersebut juga harus
mempertimbangkan maslahat atau keuntungan dan mafsadat (keburukan)
pada setiap produknya. Hal ini dilakukan untuk kemaslahatan umat dan
menghindari kerugian bagi masyarakat. Perlu kita ketahui bahwa orang-
orang yang berada dalam DSN ini adalah orang-orang pilihan yang sangat
mengerti hukum syariat Islam serta sumber-sumber hukum yang terpercaya
seperti Alquran dan Hadis juga yang membahas tentang muamalat. Meski
begitu dalam penetapan fatwa ini harus tetap berhati-hati dalam
pengkajiannya untuk menentukan sebuah hukum pada produk baru, karena
pasti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt. Dan agar
perbankan syariah ini dapat dipercaya oleh masyarakat terutama muslim,
DSN membutuhkan proses penerapan kode etik sebelum menetapkan fatwa
sebuah produk dan aturan yang ketat dalam pengkajiannya.
Selanjutnya dalam tesis yang berjudul Kedudukan Fatwa DSN MUI
Sebagai Dasar Hukum Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syari’ah
di Pengadilan Agama yang ditulis oleh Nur Afni Octaviani mahasiswi
jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah Fakultas Syari’ah di IAIN Metro tahun

9
2017. Tesis ini membahas fatwa DSN MUI yang dijadikan rujukan resmi
dalam penyusunan peraturan perundang-undangan tentang prinsip syariah di
Indonesia. Undang-Undang Nomo 19 Tahun 2008 tentang SBSN didasarkan
pada fatwa DSN MUI Pasal 31 SK Direksi No 32/34/1999, bank umum
wajib memperhatikan fatwa DSN MUI. Selanjutnya dijelaskan bahwa DSN
MUI berkedudukan sangat penting dalam operasional ekonomi syariah
setelah mendapatkan pengeasan hukum oleh lembaga yang berwenang pada
aturan yang berlaku. Fatwa DSN MUI dijadikan sebagai acuan secara
hukum berlaku sebagai hukuim materil. Jadi didalam praktek ekonomi
syariah jelas terdapat masalah dan dibawa ke pengadilan, maka menjadi
kompetensi Pengadilan Agama sebagai dasar hukum perdata digunakan
Fatwa DSN MUI sebagai hukum materil yang ditegaskan dalam legislasi
hukum nasional.
Kemudian kajian terdahulu selanjutnya dari journal of Islamic Law
At-Tafahum Vol.1 No. 2 tahun 2017 karangan Muhammad Dahri yang
berjudul Tindak Pidana Penodaan Agama di Indonesia: Tinjauan Pengaturan
Perundang-Undangan dan Konsep Hukum Islam. Dalam jurnal tersebut
membahas bahwa pengaturan tindak pidna penodaan agama di Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 PNPS tahun 1965 dan pasal
156a KUHP adalah kejahatan atau delik terhadap agama, untuk
mempertahankan Pancasila sebagai ideology Negara, karena Indonesia
adalah Negara Bergama (religion state), untuk mencegah terjadinya konflik
agama dan mempertahankan keharmonisan social. UU No.1 PNPS Tahun
1965 sejalan dengan pancasila dan tidak bertentangan dengan Pasal 29 ayat
(2) UUD 1945. Pengaturan UU No. 1 PNPS Tahun 1965 untuk kejahatan
terhadap agama sedangkan Pasal 156a KUHP ditujukan terhadap kejahatan
untuk tidak beragama (atheis). Kemudian, Konsep penodaan agama dalam
Islam disebut dengan Istilah-istilah “Istihza, Tadnis, Tho’an, Adza” yang
disebut dengan parbuatan menghina, melecehkan, mencacimaki/mencerca
atau mengolok-olok, dan semisalnya, termasuk perbuatan Jarimah atau
merusak ajaran agama (kesesatan), mengakibatkan pelakunya jadi murtad
hiraby dengan sanksi hudud, jika hanya keluar dari Islam karena kejahilan

10
maka dia murtad dzimmy/jahily, jika ahlul dzimmah maka menghilangkan
ke dzimmah annya. Perbandingan antara hukum Islam dan Perundang-
undangan di Indonesia terletak pada tujuannya. Dalam Islam bertujuan
untuk memelihara ad-diin, sementara perundangundangan untuk menjaga
ketertiban umum, sebab Indonesia beragam agama.
Melalui uraian-uraian kajian terdahulu yang telah penulis paparkan
diatas terdapat beberapa poin yang selanjutnya dapat penulis kembangkan
yaitu bagaimana hukum positif di Indonesia dapat tercipta melalui berbagai
pertimbangan dan juga sumber-sumber yang sebelumnya tidak dituliskan
sebagai hirarki peraturan perundang-undangan atau juga yang termasuk
salah satu sumber hukum positif itu sendiri. Dan perbedaan dengan tesis
yang akan penulis tulis ini adalah membahas bagaimana fatwa MUI
dijadikan dasar pertimbangan putusan hakim Pengadilan Negeri Medan
tentang kasus penistaan agama.
F. Kerangka Teori
1. Teori Kepastian Hukum
Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,
terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan
kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman
perilaku bagi setiap orang.
Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum.
Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum,
karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan
menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat
melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti. Hukum secara
hakikat harus pasti dan adil. Kepastian hukum merupakan pertanyaan
yang hanya bisa dijawab secara normatif bukan sosiologis. Kepastian
hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. 7 Jelas
7
Cst Kansil,at al, Kamus Istilah Hukum. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2009),
h. 385.

11
dalam arti tidak menimbulkan keraguraguan (multi-tafsir) dan logis
dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga
tidak berbenturan atau meniSmbulkan konflik norma.
Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat
membentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Jadi
kepastian hukum ialah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan
terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa
kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku
terhadap hukum secara benar-benar.
Sehingga kepastian hukum menunjukan kepada pemberlakuan
hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaanya
tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang bersifat subyektif.
Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan
secara faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan
tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk, melainkan bukan
hukum sama sekali. Kedua sifat itu termasuk paham hukum itu sendiri
(den begriff des Rechts).8 Hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan
atau kaidah-kaidah serta semua asas yang mengatur pergaulan hidup
dalam masyarakat dan bertujuan untuk memelihara ketertiban serta
meliputi berbagai lembaga dan proses guna mewujudkan berlakunya
kaidah sebagai suatu kenyataan dalam masyarakat. Dimana proses
pelaksanaanya dipaksakan guna mendapatkan keadilan dengan
pemberian sanksi apabila ada yang melanggar hukum tersebut. Kepastian
hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum terutama
untuk norma hukum tertulis.
Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak
lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang, Ubi jus
incertum, ibi jus nullum (di mana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada
hukum). Bahwa dalam hal penegakan hukum setiap orang selalu
berharap dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya sesuatu
peristiwa konkrit. Jadi dengan kata lain bahwa suatu peristiwa tersebut
8
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, (Bandung: PT
Revika Aditama, 2006), h. 79-80.

12
tidak boleh menyimpang dan harus tetap sesuai dengan hukum yang
berlaku sehingga kepastian hukum dapat diwujudkan.
Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan yang terdapat di dalam
isi Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum”
Menurut Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi.
Pertama, mengenai soal dapat dibentuknya (bepaalbaarheid) hukum
dalam hal uang konkret. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan
ingin mengetahui hukum dalam hal yang khusus sebelum memulai
perkara. Kedua, kepastian hukum berarti keamanan hukum. Artinya
perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim.9 Kepastian
hukum harus selalu dijunjung tinggi apa pun akibatnya dan tidak ada
alasan untuk tidak menjunjung hal tersebut karena dalam paradigmanya
hukum positif adalah satu-satunya hukum. Kepastian hukum berarti
bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan
tuntutan itu harus dipenuhi.
Menurut Jan Michiel Otto, kepastian hukum yang sesungguhnya
memang lebih berdimensi yuridis. Namun Otto memberikan batasan
kepastian hukum yang lebih jauh dalam mendefinisikan kepastian
hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu yaitu:
a) Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah
diperoleh (accessible).
b) Instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan
hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat
kepadanya.
c) Warga secara prinsipil menyesuaikan perilaku mereka terhadap
aturan-aturan tersebut; dan

9
L.J.Van Apeldoorn dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka
Berfikir, (Bandung: PT Revika Aditama, 2006), h. 82-83.

13
d) Hakim-hakim peradilan yang mandiri dan tidak berpihak
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu
mereka menyelesaikan sengketa hukum.
Kepastian hukum menjadi hal yang mendasari penelitian ini karena
penelitian ini bermaksud untuk memastikan agar kebijakan pemerintah
selalu memiliki dasar yang kuat sehingga kelak dapat
dipertanggungjawabkan terutama dalam permasalahan hukum yang
mendasari pembentukan sebuah kebijakan umum yang berkaitan
langsung dampaknya bagi masyarakat.
2. Teori stufenbau (Teori Piramida Hukum)
Menurut Kelsen, tata kaedah hukum dari suatu negara,
merupakan suatu sistem kaedah-kaedah hukum yang hierarkhis yang
dalam bentuknya yang sangat sederhana.10 Sedangkan menurut Adolf
Merkl, suatu norma hukum itu posisinya di atas, menjadi sumber bagi
norma hukum di bawahnya yang memiliki masa berlaku (rechtskracht)
yang relatif oleh karena itu masa berlaku suatu norma hukum itu
tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya. Dan apabila
norma hukum yang di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma
hukum yang berada di bawahnya pun ikut tercabut dan terhapus pula.11
Dalam teori jenjang norma hukum (stufentheory) Hans Kelsen
berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang dan berlapis dalam
suatu hierarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi.
Sedangkan norma yang lebih tinggi akan bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu
norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan
fiktif. Sehingga kaidah dasar di atas sering disebut dengan norma dasar.
Menurut Kelsen, norma dasar pada umumnya adalah meta
juridisch (etika), bukan produk bahan pembuat undang-undang, bukan
bagian dari peraturan perundang-undangan, namun merupakan sumber
10
Purnandi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung:Opset Alumni, 1979), h. 41
11
Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya,
(Yogyakarta:Kanikus, 2006), h. 25-26

14
dari semua sumber dari tatanan peraturan perundang-undangan yang
berada di bawahnya.12 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1) Suatu tata kaidah hukum merupakan sistem kaidah-kaidah hukum
secara hierarki
2) Susunan kaidah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat
terbawah ke atas
3) Sahnya kaidah-kaidah hukum dari golongan tingkat yang lebih
rendah tergantung atau ditentukan oleh kaidah-kaidah yang
termasuk golongan yang tingkatnya lebih tinggi.13
Teori ini digunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui posisi
suatu hukum yang digunakan sebagai dasar suatu kebijakan yang
dikemukakan oleh pemerintah, terlebih berkaitan dengan kebijakan
pembentukan holding BUM ini terjadi beberapa tumpang tindih antara
Undang-Undang BUMN dan PP nomor 27 Tahun 2006 dalam
pengaturan mengenai penyertaan modal khususnya.
G. Metodologi Penelitian
Metode penelitian berarti cara yang dipakai untuk mencari,
mencatat, menemukan dan menganalisis sampai menyusun laporan guna
mencapai tujuan.14 Adapun metode penelitian yang digunakan dalam
melakukan penelitian ini diurikan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada tesis ini berfokus pada
penelitian normatif pengaruh Fatwa Mui Nomor : 001/Kf/Mui-
Su/I/2017 tentang pernistaan Agama terhadap putusan PN Medan
Nomor : 1612/Pid.B/2018/PN Mdn.
2. Metode Pendekatan

Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang (Jakarta:Rajawali Press,
12

2008), h. 54

13
Purnandi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung:Opset Alumni, 1979), h. 42

Cholid Narboko dan Abu Achmadi, Metode Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara Pustaka,
14

2011), hlm. 1.

15
Metode yang dipakai pada tesis ini adalah pendekatan ilmu
perundang-undangan (statutory approach) yaitu: penelitian yang
dimaksud untuk mencari meneliti dan mengkaji secara mendalam fatwa
MUI (Fatwa Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan
Agama), dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang kemudian
dikorelasikan dengan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :
1612/Pid.B/2018/PN Mdn.
3. Sumber Data
a. Bahan hukum primer berupa data yang diperoleh melalui fatwa
MUI (Fatwa Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan
Agama) dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :
1612/Pid.B/2018/PN Mdn, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
b. Bahan hukum sekunder yaitu data yang menjelaskan analisa dan
petunjuk pada bahan hukum primer yang diperoleh dari tesis,
buku-buku, tafsir, hasil penelitian, internet (website), jurnal, dan
pendapat praktisi hukum dan referensi lainnya yang berkaitan
dengan masalah terkait.
c. Bahan hukum tersier, adalah bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, seperti : Kamus bahasa Indonesia, kamus hukum
dan kamus ilmiah.
4. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam tesis ini dilakukan dengan
menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu mendetesiskan materi
isi dan keabsahan data yang ditemukan dalam fatwa MUI (Fatwa
Nomor : 001/KF/MUI-SU/I/2017 tentang Penistaan Agama), Putusan
Pengadilan Negeri Medan Nomor : 1612/Pid.B/2018/PN Mdn, dan
hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.

H. Sistematika Penulisan

16
Sistematika penulisan tesis ini berisi detesis bab per bab:
BAB I : Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang masalah, identifikasi masalah,pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,review kajian
terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Kerangka Teori
Bab ini membahas tentang kajian teoritis yaitu mengenai sumber hukum
Islam yang disepakati dan tidak disepakati, kedudukan fatwa dalam hukum
Islam, metode penetapan fatwa dalam MUI, sumber hukum positif Indonesia,
dan kedudukan fatwa MUI dalam hukum positif di Indonesia.
BAB III : Preseden Kasus Penistaan Agama Di Indonesia
Bab ini membahas tentang Kasus Penodaan Agama di Indonesia mengenai
detesis kasus penodaan agama Meliana, kualifikasi delik penodaan Agama
menurut dakwaan JPU, tuntutan JPU, dan vonis hakim.
BAB IV : Analisis terhadap Putusan PN Medan Nomor :
1612/Pid.B/2018/PN Mdn
Pembahasan dalam bab ini yaitu menganalisis Fatwa MUI NOMOR :
001/KF/MUI-SU/I/2017 Tentang Penistaan Agama serta menjelaskan
pertimbangan hukum majelis hakim.
BAB V : Penutup
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan tesis ini, untuk itu penulis
menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis
menengahkan beberapa saran yang dianggap perlu.

17

Anda mungkin juga menyukai