Anda di halaman 1dari 79

ANALISIS TERHADAP BENTUK-BENTUK PENODAAN AGAMA

(DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna

Mencapai Gelar Sajana Hukum

dalam Juruan Hukum Pidana Islam

Oleh:

RESTIANA

NIM. 1415005

FAKULTAS SYARI’AH

PRODI HUKUM PIDANA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)BUKITTINGGI

TA 2018/2019
ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Analisis Terhadap Bentuk-Bentuk Penodaan


Agama (Dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam)”, skripsi ini
ditulis oleh Restiana, NIM. 1415005, Program Studi Hukum Pidana Islam
Fakultas Syari‟ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi 2019 M/1440
H.
Adapun yang melatarbelakangi penulis melakukan penelitian ini adalah
Penodaan agama merupakan suatu bentuk yang melanggar hukum yang telah
diatur dalam agama itu sendiri. Barangsiapa dengan sengaja di muka umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat
permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di
Indonesia, maka dihukum sesuai dengan peraturan yang telah dibuat oleh
pemerintah. Dilihat dari banyaknya contoh kasus tentang penodaan agama yang
terjadi pada masa sekarang ini yang memiliki beragam bentuk-bentuk penodaan
agama. Oleh karena itu perlu diketahui seperti apa perbuatan yang dapat
dikategorikan ke dalam bentuk-bentuk penodaan agama.
Dalam pengumpulan data penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis
penelitian kepustakaan (Library Research) yang mana penulis melakukan
penelitian ini dengan mengumpulkan data melalui buku-buku yang berkenaan
dengan pembahasan tentang penodaan agama dan peraturan-peraturan mengenai
penodaan agama.
Adapun tujuan dan kegunaan dari penelitian ini adalah dapat mengetahui
bentuk-bentuk penodaan agama dalam perspektif hukum positif dan hukum Islam.
sebagai sumbangan pemikiran dan kontribusi penulis terhadap pembaca dalam
permasalahan yang diteliti dan sebagai bahan untuk menambah, memperdalam
serta memperluas keilmuan mengenai konsep penodaan agama.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan dapat diambil
kesimpulan bahwa bentuk-bentuk penodaan agama dalam hukum positif yaitu
terdiri dari penodaan terhadap Tuhan dan Nabi, penodaan terhadap kitab suci,
penodaan terhadap simbol-simbol agama dan penodaan terhadap pimpinan agama.
Adapun bentuk- bentuk penodaan agama dalam hukum Islam yaitu dilihat dari
unsur-unsurnya yaitu perbuatan, perkataan, niat jahat dan sesat yang menghina
Rasul dan menghina ajaran Islam. Perbandingan antara hukum Islam dan
Perundang-undangan di Indonesia terletak pada tujuannya. Dalam Islam bertujuan
untuk memelihara ad-diin, sementara perundang-undangan untuk menjaga
ketertiban umum, sebab Indonesia beragam agama. Adapun pada sanksinya,
dalam Islam dikenakan hukuman ta‟zir, karena hukuman penodaan agama tidak
terdapat kriterianya di dalam al-Qur‟an maupun Hadis. Sementara perundang-
undangan, memandang apabila perbuatan itu dilakukan dengan disengaja, pelaku
penodaan agama dihukum apabila tidak mau diberi peringatan keras dan
membubarkan alirannya, dan sanksi yang diberikan hukuman penjara selama-
lamanya lima tahun.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan sebuah negara yang berdasarkan kepada

Pancasila, dimana pada sila pertama menyebutkan, ”Ketuhanan Yang Maha

Esa”. Maka oleh sebab itu seluruh hukum yang dibuat oleh negara atau

pemerintah dalam arti yang seluas-luasnya, tidak boleh bertentangan dengan

hukum Tuhan, bahkan lebih dari itu, setiap tertib hukum yang dibuat,

haruslah didasarkan atas dan ditujukan untuk merealisir hukum Tuhan.

Indonesia bukanlah negara sekuler yang memisahkan antara negara dan

agama, namun demikian Indonesia juga bukanlah yang berdasarkan pada

suatu agama tertentu, akan tetapi Indonesia merupakan negara kesatuan yang

memberikan kebebasan kepada warga negaranya untuk memiliki suatu

keyakinan dan menganut agama tertentu.1

Agama secara mendasar dan umum dapat didefinisikan sebagai

perangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan

dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia

dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan

lingkunganya. Namun dalam definisi ini keterlibatan manusia sebagai

1
Asep saepudin Jahar Dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-
undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2013), hal 191-192
pendukung dan penganut agama tidak tampak tercakup di dalamnya, karena

agama dilihat sebagai teks atau doktrin.2

Indonesia bukanlah negara Islam, sebab negara Indonesia tidak

didasarkan pada suatu agama tertentu, tetapi Indonesia mengakui eksistensi

enam agama, yaitu: Agama Islam, Katolik,Protestan, Hindu, Budha dan

Konghuchu. Sebenarnya masalah keyakinan terhadap suatu suatu ajaran

agama adalah urusan hati setiap manusia dan tidak bisa diintervensi siapapun.

Tapi mengubah, menambah atau menghilangkan ajaran agama yang sudah

ada dianut di Indonesia, bukanlah suatu hak asasi manusia yang harus

dihormati dan dilindungi, karena itu adalah perbuatan menista suatu agama

atau penodaan agama. Penodaan ajaran agama ialah suatu hal/kegiatan yang

mengusik sakral dalam satu agama.

Tindak pidana terhadap kepentingan agama sering disebut dengan

penodaan agama. Aspek mengenai tindakan terhadap kepentingan agama

tersebut diatur dalam KUHP dengan tujuan melindungi kepentingan agama.

Di dalam KUHP ada tiga kepentingan yang dilindungi yaitu kepentingan

individu, kepentingan masyarakat dan kepentingan negara yang masing-

masing diperinci ke dalam sub jenis kepentingan lagi.3 Tidak seorangpun

diperbolehkan menghina atau mengejek keyakinan agama orang lain atau

2
Harmoni Jurnal Multikultural dan Multireligius, Agama dan Budaya dalam Dinamika
Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Redaksi dan Tata Usaha, 2011), Volume X, Nomor 4, hal 749
3
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Eresco,1986),
hal 6
menghasut publik untuk membenci penganut agama lain; menghormati

keyakinan agama orang lain merupakan kewajiban bagi semua muslim.4

Dalam Hukum Pidana Positif, penodaan agama memuat ketentuan

mengenai perbuatan yang dilarang sebagai tindak pidana, misalnya

pertanggungjawaban serta ancaman sanksinya yang dapat terwujud dalam

berbagai peraturan perundangan hukum pidana. Secara lengkap, Pasal 156 a

KUHP yang berbunyi:

“Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun

barang siapa dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau

melakukan perbuatan.

a. Yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalahgunaan, atau

penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun

juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.5

Agama Islam juga melarang perbuatan menjelekan suatu agama atau

kepercayaan lain, hal ini diupayakan untuk mengurangi gesekan-gesekan

antar individu karena perbedaan pemahaman serta keyakinan yang berhujung

pada penghinaan, penghujatan, penodaan atau pelecehan. Seperti yang

tertuang dalam al-Qur‟an Surah al-Maidah ayat 57 yang berbunyi:

           

            

4
Badri Khaeruman, Hukum Islam dan Perubahan Sosial,(Bandung, CV Pustaka Setia,
2010), hal 308
5
Lihat KUHP Pasal 156 a
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi
pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan
permainan, (yaitu) diantara orang-orang yang telah diberi kitab
sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan
bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang
beriman.”

Larangan melecehkan/menghina dalam agama Islam dapat dilihat

dalam al-Quran surat al-An‟am ayat 108 yang berbunyi

             

            
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan.”

Ternyata bahwa pada akhir-akhir ini hampir seluruh Indonesia tidak

sedikit timbul aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebathinan/kepercayaan

masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama. Di

antara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut

sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum,

memecah persatuan nasional dan menodai agama. Dari kenyataan, teranglah

bahwa aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebathinan/kepercayaan

masyarakat yang menyalahgunakan dan atau mempergunakan agama sebagai

pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang ke arah

yang sangat membahayakan agama-agama yang ada. Meskipun filosofi yang

melatarbelakangi gagasan delik terhadap agama memang ideal, namun


implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ternyata tidak

selalu mudah. Hal ini tampak dari kesulitan dalam menentukan batas-batas

campur tangan negara dalam kehidupan beragama.6

Penodaan agama sudah terjadi sejak turunnya al-Qur‟an dan berlanjut

hingga sampai sekarang. Penodaan ajaran agama ialah suatu hal/kegiatan

yang mengusik ajaran sakral dalam satu agama. Sebagai contoh adalah

Basuki Tjahaja Purnama atau disapa Ahok resmi dijadikan tersangka kasus

penodaan agama. Kasus tersebut bermula saat Ahok melakukan kunjungan

kerja di Kepulauan Seribu (27 September 2016) kemudian dalam

sambutannya mengutip Surat Al-Maidah yang dianggap melakukan penodaan

Agama Islam, video sambutan Ahok tersebut menjadi viral dan tersebar di

media sosial kemudian memicu reaksi keras berbagai pihak. Setelah melewati

proses 23 kali persidangan, akhirnya Ahok dinyatakan bersalah dengan

dakwaan pasal 156a tentang penodaan agama dan pasal 156 KUHP sebagai

alternatif dengan vonis hukuman 2 tahun kurungan penjara.

Namun sebelum kasus tersebut mengemuka, terdapat beberapa kasus

penodaan agama yang terjadi di Indonesia yang diselesaikan secara hukum,

antara lain: (1) Lia Aminudin, atau Lia Eden yang mengaku sebagai Imam

Mahdi dan mendapat wahyu dari malaikat Jibril; (2)Arswendo Atmowiloto

mantan pemimpin redaksi tabloid monitor; (3) HB Jassin dengan cerpen

6
Asep saepudin Jahar Dkk, Hukum Kelurga, Pidana dan Bisnis..., hal 194
Langit Makin Mendung karena pengambaran Allah, Nabi Muhammad dan

Jibril.7

Hukum positif dan hukum Islam memiliki kesamaan dalam tujuan,

yaitu untuk menjaga kepentingan dan ketentraman masyarakat serta menjalin

kelangsungan hidup bagi seluruh masyarakatnya. Dalam Islam, penodaan

terhadap agama dianggap sama halnya dengan penghinaan terhadap agama.

Istilah yang biasa digunakan disebut sabb ad-din. Penghinaan itu meliputi

penghinaan terhadap sumber hukum Islam, baik terhadap al-Qur‟an maupun

Hadist, serta berpaling atau tidak mempercayai dari ketentuan yang ada

keduanya. Perbuatan ini bagi seorang muslim merupakan bagian dari perilaku

yang mendekatkan diri kepada perbuatan murtad.8

Dilihat dari banyaknya contoh kasus tentang Penodaan Agama yang

terjadi pada masa sekarang ini memiliki beragam bentuk-bentuk yang

dikategorikan sebagai penodaan agama. Oleh karena itu berdasarkan Latar

belakang diatas, penulis tertarik membahas persoalan tersebut dengan judul

Analisis Terhadap Bentuk-bentuk Penodaan Agama (Dalam Perspektif

Hukum Positif dan Hukum Islam).

7
https:www.bbc.com/indonesia/trensosial-38001552, artikel diakses pada tangal 17
Januari 2019 pukul 12.00
8
http://www.masjidagungtransstudiobandung.com/2016/1/20/pandangan-Islam-penodaan-
agama/,artikel dikses pada tanggal 17 Januari 2019, pukul 11.05
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah

yaitu adalah Bagaimana bentuk-bentuk penodaan agama dalam perspektif

Hukum Positif dan Hukum Islam?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah dapat mengetahui bentuk-bentuk

penodaan agama dalam perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam.

2. Kegunaan dari penelitian ini tidak lain adalah:

a. Sebagai sumbangan pemikiran dan kontribusi penulis terhadap

pembaca dalam permasalahan yang diteliti.

b. Sebagai bahan untuk menambah, memperdalam dan memperluas

keilmuan mengenai konsep penodaan agama.

D. Penjelasan Judul

Analisis :Merupakan aktivitas yang memuat sejumlah

kegiatan mengurai, membedakan, memilih sesuatu

untuk digolongkan dan dikelompokkan kembali

menurutt kriteria tertentu kemudian dicari

kaitannya dan ditafsirkan maknanya.

Penodaan Agama :Penentangan hal-hal yang dianggap suci atau yang

tidak boleh diserang (tabu), yaitu simbol-simbol

agama/pemimpinagama/kitab suci agama.


Perspektif :Suatu cara pandang terhadap suatu masalah yang

terjadi, atau sudut pandang tertentu yang digunakan

dalam melihat suatu fenomena.

Hukum Positif :Kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang

pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara

umum atau khusus dan ditegakkan oleh pemerintah

atau pengadilan dalam Negara Indonesia.

Hukum Islam :Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah

dan Sunnah Rasulullah tentang tingkah laku

manusia mukallaf yang diakui dan diyakini

mengikat untuk semua orang yang beragama Islam.

Adapun maksud dari judul ini secara keseluruhan adalah menganalisa,

menguraikan dan membedakan secara mendalam terhadap bentuk-bentuk

penentangan suatu simbol-simbol agama/pemimpin agama/kitab suci agama

menurut hukum positif dan hukum Islam.

E. Metodelogi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan jenis penelitian

kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan adalah serangkaian

kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka,

membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.9 Jadi dalam hal ini

yang penulis lakukan adalah dengan mengumpulkan buku-buku yang

9
Mestika Zed, Metodologi Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004), hal 3
berkenaan dengan penelitian ini, kemudian mencatat dan mengolah ya

berdasarkan data-data kepustakaan yang berkaitan dengan pokok persoalan

yang dibahas.

2. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan jenis penelitian yang dipakai dalam penyusunan skripsi

ini, maka teknik pengumpulan data dilakukan melalui pencarian terhadap

berbagai literatur yang berkaitan dengan objek pembahasan ini. Data-data

yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer

meliputi ; Al-Quran, Hadis, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

sedangkan data sekunder meliputi ; buku-buku, skripsi, pendapat ataupun

pernyataan ahli hukum yang mendukung, terkait dalam pembahasan skripsi

ini.

3. Analisa Data

Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode berpikir

sebagai berikut:

a. Metode induktif, yaitu metode berpikir yang mempelajari dan menyelidiki

suatu masalah yang berkaitan erat dengan pokok masalah secara satu

persatu dari yang khusus kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat

umum.10

b. Metode deduktif, yaitu metode berpikir yang menganalisa suatu masalah

secara umum untuk menemukan kesimpulan secara khusus.11

10
Sutriso Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1987), hal 36
11
Sutriso Hadi, Metodologi Research…, hal 45
c. Metode komparatif, yaitu metode berpikir dengan membandingkan suatu

masalah dengan sudut pandang yang satu dengan sudut pandang yang

lainnya kemudian diperoleh suatu kesimpulan.12

F. Tinjauan Kepustakaan

Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis melakukan studi kepustakaan

dengan membaca dan menelaah karya-karya ilmiah/skripsi yang telah ada

sebelumnya. Sejauh pengamatan penulis memang telah ada karya tulis yang

membahas tentang penodaan agama antara lain:

1. Muhammad Fadlan Asif, NIM: 112211058 Jurusan Siyasah Jinayah

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo. Yang

menjadi pembahasannya adalah Analisis Hukum Islam terhadap Pasal 156

a (KUHP) Tentang Tindak Pidana Penodaan Agama. Berbeda dengan apa

yang penulis kaji, dalam skripsi tersebut yang dikaji adalah tinjauan

yuridis pasal 156 a KUHP dan tinjauan hukum Islam terhadap penodaan

agama, sedangkan penulis akan mengkaji analisis terhadap bentuk-bentuk

penodaan agam dalam perspektif hukum positif dan hukum Islam.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan suatu penulisan yang tersusun yang tersusun

secara sistematika dan berurutan antara bagian yang satu dengan yang lain

merupakan suatu hubungan yang erat, maka penulis dalam hal ini membuat

bagian pembahasan yang terdiri dari empat bab yang meliputi :

12
Winarno, Surachmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1975), hal 153
BAB I adalah uraian yang berfungsi sebagai pengantar dalam

memahami pembahasan bab berikutnya. Pada bab ini terdiri dari tujuh sub

bab yang meliputi : latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan

kegunaan penelitian, penjelasan judul, tinjauan kepustakaan, metode

penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II membahas tentang landasan teori penodaan agamadan

permasalahannya. Yang terdiri dari pengertian penodaan agama, unsur-unsur

penodaan agama, penodaan agama dalam hukum positif dan penodaan agama

dalam hukum Islam.

BAB III membahas tentang hasil penelitian yaitu terdiri dari bentuk-

bentuk penodaan agama,Tinjauan hukum positif dan hukum Islam terhadap

bentuk-bentuk penodaan agama dan analisa penulis.

BAB IV adalah penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran.


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Penodaan Agama

Penodaan agama disebut juga dengan penghinaan agama atau

penistaan agama merupakan suatu bentuk yang melanggar hukum yang telah

diatur dalam agama itu sendiri. Akan tetapi jika manusia itu melanggar atau

menentang agama yang telah diyakini ataupun menghina agama yang lain,

maka itu juga merupakan suatu bentuk penodaan atau penghinaan agama.13

Secara gramatikal penodaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

diartikan sebagai “menjadikan adanya noda; mengotori atau mencemarkan;

menjelekkan (nama baik).14 Dari pengertian tersebut dapat diperoleh makna

penodaan adalah suatu perbuatan yang mencela, menjelekkan atau

mencemarkan (nama baik). Apabila penodaan yang dimaksud penjelasan

156a KUHP adalah penghinaan, kiranya hal ini tidak berlebihan melihat

pengertian penghinaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses,

cara, perbuatan menghina(kan); menistakan.15 Selain itu istilah penodaan

agama sebenarnya terdapat beberapa konsep di dalamnya, yakni; blasphemy

yang sering disebut penodaan agama; demation yang berarti penistaan agama;

dan hate speech berarti pernyataan kebencian.16 Penodaan juga sama dengan

13
https:/www.kompasiana.om/habibur_rohman27/5891e353109773d91456d74c/penodaan
-agama dalam-sudut-pandang-undang-undang-dan-perspektif-islam, diakses pada tanggal 05 Maret
2019 pada pukul 10:58 Wib
14
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesai,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal 785
15
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar…, hal 402
16
Asep Saepudin jahar, dkk, Hukum keluarga, Pidana dan Bisnis, (Jakarta: Kencana,
2013) Cet 1 hal 2015
penistaan, perkataan “menista” berasal dari kata “nista”. Sebagian pakar

menggunakan kata “celaan”.17

Agama secara etimologis berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari a

berarti tidak, dan gama berarti kacau. Jadi agama berarti tidak kacau atau

tertatur. Dengan demikian agama adalah aturan yang mengatur manusia agar

kehidupanya menjadi terataur dan tidak kacau. Sementara dalam bahasa

Inggris, agama disebut religion; dalam bahasa Belanda disebut religie berasal

dari bahasa latin relegere berarti mengikat, mengatur, atau menggabungkan.

Jadi religion atau religie dapat diartikan sebagai aturan hidup yang mengikat

manusia dan menghubungkan manusia dengan Tuhan.Dalam bahasa Arab

agama adalah Din yang secara etimologis memiliki arti: balasan atau pahala,

ketentuan, kekuasaan, pengaturan, perhitungan, taat dan patuh, kebiasaan.

Agama memang membawa peraturan, hukum yang harus dipatuhi, menguasai

dan menuntut untuk patuh kepada Tuhan yang menurunkan ajarannya,

membawa kewajiban yang jika tidak dilaksanakan akan menjadi hutang yang

akan membawa balasan baik kepada yang taat, dan memberi balasan buruk

kepada yang tidak taat.18

Secara terminologis, pengertian agama di kalangan para ahli juga

berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang dan perspektif.

1. Jalaludin : Agama adalah kekuatan gaib yang diyakini berada di atas

kekuatan manusia di dorong oleh kelemahan dan keterbatasannya.

17
Laden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997) Hal 11
18
http://alialsudaer.blogspot.com/2017/04/makalah-pengertian-agama-dan-islam.html,
diakses pada tanggal 27 Februari pada pukul 21:30 Wib
Manusia merasa berhajat akan pertolongan dengan cara menjaga dan

membina hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Sebagai

relisasinya adalah sikap patuh terhadap perintah dan larangan gaib

tersebut.19

2. Elizabeth K. Nottingham : Agama adalah gejala yang begitu sering

terdapat dimana-mana, dan agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia

untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan

keberadaan alam semsesta. Selain itu agama dapat membangkitkan

kebahagiaan batin yang paling sempurna dan juga perasaan takut dan

ngeri. Meskipun perhatian tertuju kepada adanya suatu dunia yang tidak

dapat dilihat (akhirat), namun agama melibatkan dirinya dalam masalah-

masalah kehidupan sehari-hari di dunia.20

Dari uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa agama adalah

ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung

dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi ke

generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi

manusia agar mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat, yang didalamnya

mencakup unsur kepercayaan dan kekuatan gaib yang selanjutnya

menimbulkan respon emosional dan keyakinan bahwa kebahagian hidup

tersebut tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib

tersebut. Jadi yang dimaksud dengan penodaan agama secara umum adalah

19
Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal 13
20
Jalaludin, Psikologi Agama... hal 317
penentangan hal-hal yang dianggap suci atau yang tidak boleh diserang (tabu)

yaitu, simbol-simbol agama/pemimpin agama/kitabsuci agama.

B. UNSUR-UNSUR PENODAAN AGAMA

1. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 156 a, unsur-

unsur penodaan agama yaitu:

a. Setiap orang

b. Sengaja di muka umum

c. Mengeluarkan perasaan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan

d. Adanya suatu agama yang dianut di Indonesia.

2. Berdasarkan Undang-Undang PNPS No 1 tahun 1965 unsur-unsur

penodaan agama yaitu:

a. Setiap orang

b. Organisasi atau aliran kepercayaan

c. Sengaja di muka umum

d. Menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum

untuk melakukan penafsiran

e. Terhadap suatu agama

f. Mengeluarkan perasaan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan.

3. Berdasarkan Undang-undang nomor 11 tahun 2008 pasal 28 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik unsur-unsur penodaan agama yaitu:

a. Setiap orang

b. Dengan sengaja dan tanpa hak

c. Menyebarkan informasi
d. Menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan individu atau kelompok

masyarakat

e. Berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA)

Berdasarkan keseluruhan dalam uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa

unsur-unsur penodaan agama adalah sebagai berikut:

1. Setiap orang

2. Organisasi atau aliran kepercayaan

3. Sengaja dimuka umum

4. Mengeluarkan perasaan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan

5. Terhadap suatu agama

6. Menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan

7. berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

C. PENODAAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

Indonesia adalah negara yang memiliki bermacam-macam suku,

budaya, agama, ras dan golongan. Tentunya kita sebagai masyarakat

Indonesia harus saling menghormati dan menghargai antar sesama warga

negara walaupun dalam kenyataannya berbeda suku, ras, agama, golongan

dan budaya. Sehingga terciptanya kerukunan antar umat beragama serta tidak

mengakibatkan perpecahan bangsa Indonesia. Terutama bagi setiap orang

dalam memeluk agama di Indonesia jangan sampai adanya diskriminasi antar


pemeluk agama dan golongan di negara ini. Jaminan kebebasan kehidupan

beragama sebenarnya cukup kuat.21

Namun, keindahan aturan-aturan normatif tidak serta merta indah pula

dalam kenyataannya. Masih banyak warga negara Indonesia merasa dikekang

kebebasannya dalm memeluk agama dan berkeyakinan. Bahkan, orang yang

mempunyai keyakinan tertentu bisa dituduh melakukan penodaan agama.

Jaminan kebebasan beragama pertama-tama dapat dilihat dari konstitusi atau

Undang-undang Dasar negara kita yaitu Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945.

Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan hak

dasar yang tidak bisa diganggu gugat.22 Dalam pasal 22 ditegaskan:

1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk


beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaan itu.
Agama dan negara memiliki relasi yang erat dan tidak bisa dipisahkan

dengan kehidupan masyarakat. Dalam mukadimah UUD 1945, alinea ketiga

disebutkan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan

didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang

bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.

Kalimat pembuka alinea ketiga mukadimah UUD 1945 merupakan

representasi dari pengakuan negara terhadap eksitensi agama, meskipun

21
Randy A Adare, Delik Penodaan Agama Di Tinjau Dari Sudut Pandang Hukum
Pidana Di Indonesia, Jurnal Lex Et Societatis Vol 1 No 1, Januari 2013, hal 91-92
22
Randy A Adare, Delik Penodaan Agama..., hal 91-92
Indonesia secara tegas mengkonsepsikan diri sebagai negara kesatuan yang

mempunyai semboyan bhineka tunggal ika, artinya mengakui keragaman,

Indonesia merupakan suatu bangsa yang multi etnis, multi religius dengan

segala keragaman identitas yang melekat didalamnya.23

Dasar hukum penodaan agama di Indonesia diatur dalam Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Republik

Indonesia yaitu sebagai berikut:

1. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Dalam KUHP sebenarnya tidak ada bab khusus mengenai delik

agama, meski ada beberapa delik yang sebenarnya dapat dikategorikan

sebagai delik agama. Istilah delik agama itu sendiri sebenarnya mengandung

beberapa pengertian: a) delik menurut agama; b) delik terhadap agama; c)

delik yang berhubungan dengan agama.

Adam Chazawi mengemukakan mengenai kejahatan penghinaan yang

berhubungandengan agama ini, dapat dibedakan menjadi 4 (empat) macam,

ialah: 1) penghinaan terhadap agama tertentu yang ada di Indonesia (pasal

156a); 2) penghinaan terhadap petugas agama yang menjalankan tugasnya

(pasal 177 angka 1); 3) penghinaan mengenai benda-benda untuk keperluan

ibadah (pasal 177 angka 2); menimbulkan gaduh di dekat tempati badah yang

sedang digunakan beribadah (pasal 503).24

23
Dian Andriasari, Kritik Terhadap Penerapan Pasal 156a KUHP Ditinjau dari
Perspektif Kehidupan Demokrasi Di Indonesia, Vol 3 No 2, Desember 2017, hal 276
24
Adami H Cahzawi, Hukum Pidana Positif Penghinaan, (Surabaya: PMN, 2009), hal
237
Delik yang dapat dikategorikan sebagai delik terhadap agama yaitu

Pasal 156 KUHP yang mengatur hukuman pidana penjara paling lama empat

tahun untuk seseorang yang dengan sengaja menyatakan permusuhan,

kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat

Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan hukum pidana itu memberi

aturan-aturan untuk menanggulangi perbuatan jahat. Hukum pidana

mempunyai pengaruh preventif terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran

norma hukum, diterapkan terhadap pelanggaran yang konkrit dan sudah

tercantum dalam peraturan hukum.25

Unsur pidana dari delik penodaan ialah perbuatan dengan menyatakan

perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan yang dilakukan di muka

umum. Jika seseorang mengatakan perasaan permusuhan, maka harus

dibuktikan terlebih dulu perasaannya, sehingga dianggap cukup sebagai

perbuatan pidana. Sementara itu, pelanggaran terhadap ketertiban umum bisa

menjadi pidana jika dirasakan sebagai perbuatan yang betentangan dengan tata

hukum yang berlaku. Menurut Moeljatno yang dikutip dari jurnal Nazar

Nurdin menegaskan delik agama bukan sebagai bentuk pelanggaran atau

perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru diketahui setelah ada aturan

yang menjelaskannya.26

Pasal 156a KUHP masuk dalam Bab V KUHP tentang Kejahatan

terhadap Ketertiban Umum. Disini tidak ada tindak pidana yang secara

25
Kurnia Dewi Anggraeny, Penafsiran Tindak Pidana Peodaan Agama Dalam Perspektif
Hukum, Vol 2, No. 1 Juni 2017, Jurnal Era Hukum hal 278
26
Nazar Nurdin, Delik Penodaan Agama Islam di Indonesia, International Journal Ihya‟
„Ulum Al-Din Vol 19 No.1 2017, hal 135-36
spesifik mengatur tindak pidana terhadap agama. Pasal 156a merupakan

tambahan untuk men-stressing-kan tindak pidana terhadap agama. Perlu

dijelaskan bahwa pasal 156a tidak berasal dari Wetboek van Strafrecht

(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda), melainkan dari UU No.

1/PNPS/1965 (LN 1965 No 3), dan ditempatkan dalam Pasal

156 a, yang rumusan lengkapnya sebagai berikut:

“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun

barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau

melakukan perbuatan:

a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau

penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun

juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.27

Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 156a adalah perbuatan, perasaan

yang bersifat permusuhanan, menyalahgunakan agama dan melakukan

penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia. Disamping itu, pasal

tersebut juga melarang kegiatan yang mengajak seseorang untuk tidak

menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha

Esa.

Aturan tentang penodaan agama perlu dimasukkan kedalam KUHP

dengan memperhatikan konsideran dalam UU No. 1/PNPS/1965 disebutkan

beberapa hal, antara lain: pertama, undang-undang ini dibuat untuk

27
Randy A Adare, Delik Penodaan Agama..., hal 93
mengamankan Negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan

nasional dimana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai

ancaman revolusi. Kedua, timbulnya berbagai aliran-aliran atau oranisasi-

organisasi kebathinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan

dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah

melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama,

sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan undang-undang

ini.

Ketiga, karena itu aturan ini dimaksudkan untuk mencegah agar

jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap

sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan.

Dan aturan ini melindungi ketentraman agama tersebut dari

penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama

yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keempat, seraya menyebut

enam agama yang diakui pemerintah (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha

dan Khong Hu Cu Confusius), undang-undang ini berupaya sedemikian rupa

agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama tersebut dibatasi

kehadirannya.28

Dasar yang digunakan untuk memasukkan delik agama dalam KUHP

adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima negara Pancasila.

UUD 1945 pasal 29 juga menyebutkan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa. karena itu kalau ada orang yang mengejek dan penodaan

28
https://diktis.kemenag.go.id/acis/ancon06/makalah/Makalah%20Rumadi.doc, diakses
pada tanggal 13 Maret 2019 pada pukul 10:33 Wib
Tuhan yang disembah tidak dapat dibiarkan tanpa pemidanaan.Atas dasar itu,

dengan melihat Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai titik sentral dari

kehidupan kenegaraan, maka delik “Godslastering (penghinaan)” sebagai

“blasphemy (penistaan)” menjadi prioritas dalam delik agama.

Unsur pasal 156 a menurut Adami Chazawida dua kejahatan.

Kejahatan yang pertama, unsur-unsurnya sebagai berikut:

a. Unsur-unsur Objektif

1) Mengeluarkan perasaan;

2) Melakukan perbuatan yang bersifat: permusuhan, penyalahgunaan

dan penodaan.

3) Objeknya: suatu agama yang dianut di Indonesia;

4) Di muka umum

b. Unsur-unsur Subjektif adalah kesalahan dengan sengaja.

Kejahatan yang kedua, unsur-unsurnya adalah:

a. Unsur-unsur objektif

1) Perbuatannya: mengeluarkan perasaan, melakukan perbuatan.

2) Di muka umum.

b. Unsur subjektif dimaksud agar supaya orang tidak menganut agama

apapun juga yang bersendikan Ketuhanan yang Maha Esa.

Perbuatannya yang sifatnya memusuhi suatu agama adalah setiap

perbuatan berwujud fisik (terhadap sarana dan prasarana suatu agama)

yang dari perbuatan itu dinilai umum oleh penganut agama yang
bersangkutan adalah sebagai memusuhi agama tertentu. Misalnya,

merusak gereja, merusak mesjid dan tempat agama lainnya.29

Pengertian golongan disini menurut pasal 156 Kitab Undang-undang

Hukum Pidana adalah tiap-tiap bahagian penduduk Negara Indonesia yang

berbedaan dengan sesuatu atau beberapa bahagian dari penduduk itu lantaran

bangsanya (ras), agamanya, tempat aslinya, keturunannya, kebangsaanya atau

hukum negaranya. Pasal 156a KUHP (dalam penjelasan pasal 4 UU Nomor

1/PNPS/1965) menjelaskan bahwa tindak pidana pada huru a semata-mata

(pada pokoknya) ditujukan pada niat untuk memusuhi atau menghina.

Dengan demikian maka uraian-uraian tertulis yang dilakukan secara obyektif

dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk

menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat

bermusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana. Sedangkan huruf b

dijelaskan bahwa orang yang melakukan tindak pidana tersebut disamping

mengganggu ketentraman orang yang beragama, pada dasarnya mengkhianati

sila pertama dari dasar negara secara total, dan oleh karena itu sudah pada

tempatnya perbuatannya dipidana.30

Melihat perumusan Pasal 156 a sebetulnya ingin memidana mereka

yang (di muka umum) mengeluarkan perasaan (atau melakukan perbuatan)

yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap sesuatu

agama yang dianut di Indonesia.Hal ini memungkinkan pemidanaan secara

29
Adnani, Penodaan Agama: Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum Pidana Di
Indonesia, Jurnal Hukum Islam dan Perundang-Undangan, , Vol 4 No 1 2017, hal 8-9
30
Marsudi Utoyo, Tindak Pidana Penistaan Agama Oleh Kelompok Aliran Indonesia,
Jurnal Pranata Hukum, Vol 7 No 1, januari 2017, hal
langsung pernyataan perasaan tersebut yang ditujukan terhadap agama.Jadi

konsekuensinya menyangkut pemidanaan perbuatan tersebut tanpa

dihubungkan dengan persoalan apakah pernyataan demikian itu dapat

mengganggu ketentraman orang beragama dan karena itu

membahayakan/mengganggu ketertiban umum.31

2. Bedasarkan Undang-undang

a. Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965

Jika dilihat dari latarbelakang pembentukan UU No.1/PNPS/1965

seperti dijelaskan pada bagian konsiderans penetapan Presiden bahwa

penetapan Presiden tersebut dibuat dalam rangka pengamanan Negara dan

masyarakat, cita-cita revolusi nasional dan pembangunan semesta menuju

pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama dan untuk mengamankan

revolusi dan keamanan masyarakat. Setidaknya terdapat dua alasan mendasar

pembentukan penetapan presiden ini yaitu:

1) Pengamanan Negara dan revolusi Nasional terkait dengan pencegahan

penyalahgunaan atau penodaan agama;

2) Pengamanan revolusi dan ketentraman masyarakat.

Dari kedua alasan diatas, sangat tampak tujuan utama dikeluarkannya

penetapan Presiden ini semata-mata untuk mendukung pengamanan revolusi

sedangkan pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama merupakan

salah satu faktor penunjang tercapainya revolusi nasional. Hal tersebut

31
Marsudi Utoyo, Tindak Pidana Penistaan..., hal 24
menunjukkan bahwa Penetapan Presiden tersebut selalu menempatkan Dekrit

Presiden sebagai sumber hukum padahal MPRS dan DPRS sudah terbentuk.32

Pemberlakuan UU No 1/PNPS/1965 memiliki dampak yuridis bagi

Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Secara eksplisit UU No. 1/PNPS/1965

mengatur dua macam tindakan yang dilarang yaitu tindakan penyimpangan

ajaran agama dan kejahatan agama. Mengenai bentuk tindakan yang pertama

sebagaimana Pasal 1 sampai 3 UU No.1/PNPS/1965 hanya memberikan

bentuk tindakan penyimpangan terhadap ajaran agama yang yang ada

merupakan pelanggaran. Hanya saja pengaturan sanksi terhadap tindakan

tersebut dibuat secara khusus dan bertahap. Pemberian sanksi tersebut lebih

bersifat administratif karena hanya berupa perintah, peringatan keras,

pernyataan larangan dan pembubaran (pasal 2). Sanski pidana baru diterapkan

setelah sanksi administrasi gagal sehingga diberikan diberikan sanksi pidana

penjara sebagaimana Pasal 3 UU No.1/PNPS/1965. Bentuk pertama tersebut

dapat dikategorikan dalam kejahatan penyimpangan agama. Bentuk kedua

diatur dalam Pasal 4 UU No.1/PNPS/1965.33

Undang-undang PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atauPenodaan Agama yang berbunyi:

Pasal 1

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,

menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan

penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan


32
Hwian Christianto, Arti Penting Pemberlakuan UU No. 1/PNPS/1965, Jurnal Yusidial,
Vol 41 No. 3, Juli-September 2011, hal 366
33
Hwian Christianto, Arti Penting Pemberlakuan..., hal 383
kegiatan-kegiatan agama yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari

agama itu, penafsiran dan kegiatan mana yang menyimpang dari pokok-pokok

ajaran agama itu.

Pasal 2

(1) Barangsiapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah

dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatann yaitu dalam suatu

keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri

Dalam Negeri.

(2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat 1 dilakukan oleh organisasi atau

sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat

membubarkan oganisasi tersebut itu dan menyatakan atau aliran tersebut

sebagai organisasi atau aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden

mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan

Menteri Dalam Negeri.

Pasal 3

Apabila setelah dilakukan tindakan Menteri Agama bersama

Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden Republik

Indonesia menurut ketetuan dalam pasal 2 terhadap orang, organisasi atau

aliran kepercayaan mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1,

maka orang, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan

dan aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.

Pasal 4
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa

dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan

perbuatan:

a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan

terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

b. Dengan maksud supaya tidak menganut agama apa pun juga yang

bersendikanke-Tuhanan Yang Maha Esa.34

Lahirnya Undang-undang No. 1/PNPS/1965, landasan hukum bagi

tindak kejahatan terhadap agama, yang dilatar belakangi berbagai macam

situasi dan persoalan, antara lain: nasionalisme, agama dan komunisme,

bermunculannya aliran kebathinan yang dianggap bertentangan dengan nilai-

nilai agama dan dinilai menimbulkan pelanggaran hukum, memecah persatuan

nasional, menyalahgunakan dan/atau mempergunakan agama, dan menodai

agama.

Aturan tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

ini dibuat dalam penjelasan dikemukakan bahwa aturan ini didasarkan karena:

1) Dekrit presiden 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar

1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia telah menyatakan, bahwa

Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu

rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Menurut Undang-

Undang Dasar 1945 Negara kita berdasarkan:

a. Ketuhanan Yang Maha Esa;

34
Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) hal
185-186
b. Kemanusian yang adil dan beradab;

c. Persatuan Indonesia;

d. Kerakyatan;

e. Keadilan sosial.

2) Telah ternyata, bahwa pada akhir-akhir ini hampir di seluruh Indonesia

tidak sedikit timbul aliran-aliran atau organisasi-organisasi

kebathinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-

ajaran dan hukum agama. Di antara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan

pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah

menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan

nasional dan menodai agama.

3) Untuk mencegah berlarut-larut hal-hal tersebut yang dapat

membahayakan persatuan bangsa dan negara, maka dalam rangka lima

kewaspadaan nasional dan dalam demokrasi terpimpin dianggap perlu

dikeluarkan Penetapan Presiden sebagai realisasi Dekrit Presiden 5 Juli

1959 yang merupakan salah satu jalan untuk menyalurkan

ketatanegaraan dan keagamaan, agar oleh segenap rakyat di seluruh

wilayah Indonesia ini dapat menikmati ketentraman beragama dan

jaminan untuk menuaikan ibadah menurut agamanya masing-masing.

4) Berhubung dengan maksud memupuk ketentraman beragama inilah,

maka Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan

sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dai ajaran-ajaran agama

yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari


agama yang bersangkutan (pasal 1-3); dan kedua kalinya aturan ini

melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan

serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan

Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 4).

5) Adapun penyelewengan-penyelewengan keagamaan yang nyata

merupakan pelanggaran pidana dirasa tidak perlu diatur lagi dalam

peraturan ini, oleh karena telah cukup diaturnya dalam berbagai-bagai

aturan pidana yang telah ada. Dengan Penetapan Presiden ini tidaklah

sekali-kali dimaksudkan hendak mengganggu gugat hak hidup agama-

agama yang sudah diakui oleh Pemerintah sebelum Penetapan Presiden

ini diundangkan.35

Undang-undang (PNPS) ini berisi rangkap yang satu menambah KUHP

dengan pasal 156a yang diatur dalam pasal 4. Yang satu lagi mengatur

tersendiri suatu perumusan delik yang diatur dalam pasal 1s/d 3. Dalam

perumusan pasal 2 bahwa di situ terselip campuran sanksi pidana dan sanksi

administratif. Perumusan pada pasal 1 dengan sanksi adminstratif pada pasal

2. Kalau sanksi administratif pada pasal 2 tidak dihiraukan barulah dikenakan

sanksi pidana seperti pada pasal 3.36

Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan /atau Penodaan Agama yang mengatur tentang ketentuan

hukum administrasi dan sanksi administrasi dan sanksi pidana adminisrasi

serta memuat amandemen KUHP yaitu memasukkan Pasal 156a KUHP.


35
Asep saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga...,hal 193-194
36
Andi Hamzah, Delik-delik Tersebar Di Luar KUHP Dengan Komentar, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 1985) hal 138
Tersebar dalam berbagai undang-undang di bidang hukum administrasi yang

memuat ketentuan hukum pidana yang merujuk kepada tindak pidana agama

dalam KUHP disertai dengan pemberatan ancaman pidana (misalnya Undang-

undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

yang dimuat dalam Pasal 27 ayat (3). Di samping itu, ada norma-norma lain

yang mengatur tentang larangan melakukan tindak pidana penghinaan

terhadap agama, misalnya dalam kode etik profesi, yang selanjutnya dapat

dijadikan norma interpretasi terhadap tindak pidana terhadap agama dalam

menjalankan profesi yang bersangkutan.37

Pada Oktober 2009, UU No 1/PNPS/1965 diajukan ke Mahkamah

Konstitusi (MK) guna diuji konstitusionalitas. Dari Uji Materil tersebut MK

melalui Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 menyebutkan bahwa UU ini tidak

bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK ini menegaskan bahwa UU

tersebut benar dan tidak berlawanan dengan kebebasan beragama yang

dijamin konstitusi. Namun demikian, UU tersebut tidak tertutup

kemungkinannya untuk dilakukan perbaikan. UU tersebut belum baik dalam

artian perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu,

RUU tentang Perlindungan Agama tersebut harus baik dan benar serta dapat

dilakukan sehingga perlindungan terhadap umat beragama semakin

meningkat. Jadi, RUU tentang Perlindungan Umat Beragama tersebut

37
Zahratul Idami, Perlindungan Hukum Oleh Negara Kepada Pemeluk Agama Di
Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Ketentuan Dalam Islam, Kanun Jurnal Ilmu Hukum,
Vol 18 No 1, April 2016, hal
diharapkan dapat mengurangi atau bahkan meniadakan kekerasan atas nama

agama dan penodaan terhadap agama.38

Undang-undang No. 1/PNPS/Tahun 1965 dijadikan dasar dan

pedoman dalam menangani permasalahan tindak pidana penodaan agama di

Indonesia, sedangkan pasal 156a KUHP merupakan salinan dari Undang-

undang No. 1/PNPS/Tahun 1965 yang dijadikan sumber dalam putusan dalam

setiap putusan dalam kasus penodaan agama di Indonesia.

b. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008

Selain di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pasal penodaan

agama juga diatur di dalam pasal 28 ayat 2 Undang-undang nomor 11 tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sedangkan untuk ketentuan

pidananya diatur di dalam pasal 45 ayat 2 undang-undang ini. Namun, pasal

ini berlaku secara khusus, yakni hanya untuk tindak pidana penodaan agama

yang bekaitan dengan informasi dan transaksi elektronika, atau bisa dikatakan

hanya untuk tindak pidana penodaan agama yang dilakukan di dunia maya

yang menggunakan teknologi elektronika atau internet.39 Bunyi Pasal 28 ayat

2 UU ITE adalah sebagai berikut:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang

ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu

dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras,

dan antargolongan (SARA).”

38
Zahratul Idami, Perlindungan Hukum Oleh Negara..., hal 79
39
Muhammad Andri Fauzzan Lubis, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku
Tindak Pidana Penistaan Agama Melalui Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-undang No
11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, 2013 hal 8
Perbuatan yang dilarang dalam pasal 28 ayat 2 UU ITE ialah dengan

sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk

menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok

masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan

(SARA). Sebenarnya tujuan pasal ini untuk mencegah terjadinya

permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada

SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif. Isu SARA dalam

pandangan masyarakat merupakan isu yang cukup sensitif. Oleh karena itu,

pasal ini diatur dalam delik formil, dan bukan delik materil.

Sedangkan ketentuan pidananya diatur di dalam Pasal 45 ayat 2 yang

berbunyi:

Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28

ayat (1) atau (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

c. Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2003 tentang

Pemilihan Umum

Larangan Penodaan atau penghinaan agama juga dapat dilihat dalam

Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan

Umum Presiden dan Wakil Presiden Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa

yaitu pasal 38 yang berbunyi:

Dalam kampanye dilarang:


1. Mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau
pasangan calon yang lain;
3. Menghasut atau mengadu domba antarperseorangan maupun
antarkelompok masyarakat;
4. Mengganggu ketertiban umum;
5. Mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan
penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota
masyarakat, dan/atau pasangan calon yang lain;
6. Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye pasangan
calon; dan
7. Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat
pendidikan.40
D. PENODAAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Dalam konsep hukum Islam penodaan agama termasuk peruatan

jinayah atau jarimah. Secara etimologi jinayah merupakan bentuk mashdar

dari kalimat “Yajni”“jana” yang berarti “irtakaba dzanban” yaitu

melakukan perbuatan dosa, atau Jarimah secara etimologi berarti “a-Jurmu

wa ad-zdzzanbu” yang berarti kesalahan dan dosa. Sementara penodaan

agama merupakan suatu istilah dari bahasa Indonesia. Istilah penodaan ini

identik dengan tindakan menghina, melecehkan, merendahkan, pencemaran,

merusak, mengolok-olokan dan lain-lain, terhadap suatu agama. Istilah kata

“sabb ad-Din” artinya penghinaan/ penodaan terhadap agama atau dengan

kata “syatuma atau asy-syatmu” dalam kamus Munawwir diartikan dengan

perbuatan mencaki-memaki (cacian-makian).

40
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_23_2003.htm
Istilah-istilah yang bisa dipakaikan dengan arti penodaan adalah

perbuatan yang bersifat menodai agama, terhadap sesuatu yang dihormati

atau dimuliakan, seperti menghina atau melecehkan Tuhan, para nabi,

malaikat dan Kitab Al-Qur‟an. Penodaan terhadap agama dengan sengaja

maka menjadikannya murtad, sedangkan sanksinya melihat kepada akibat dan

dampak kemurtadanya.41

Dalam hal ini ada dua macam kemurtadan. Pertama, orang murtad

yaitu orang-orang yang secara sadar mengaku keluar dari agama Islam.

Hukuman bagi mereka secara umum adalah hukuman mati. Namun demikian,

hukuman mati dapat diberikan kepada orang murtad yang: (a) menjadi

muslim atas kesadaran sendiri; (b) melakukan sholat lima waktu; (c) setelah

murtad ia menjadi musuh umat Islam atau membahayakan umat Islam.

Kedua, orang yang dihukum murtad yaitu orang-orang yang tidak mengaku

murtad namun ia dikatakan murtad karena pikirannya dan perkataannya.42

Larangan untuk menghina atau melecehkan ajaran agama, menghina

Tuhan umat lain sebenarnya bisa dilihat dari Al-Qur‟an surat al-An‟am ayat

108 yang berbunyi:

               

          
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat

41
Muhammad Dahri, Tindak Pidana Penodaan Agama di Indonesia, AT-TAFAHUM:
Journal of Islamic Law, Vol 1 No. 2 Juli-Desember 2017, hal 6-62
42
Yulkarnain Harahap dan Supriyadi, Aliran Sesat Dalam Perspektif Hukum Pidana
Islam Dan Hukum Pidana Nasional, Jurnal Mimbar Hukum, Vol 20 No 3, Oktober 2008, hal 519
menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan.”

Ayat ini tegas melarang seorang beragama untuk melecehkan atau

menodai agama. Allah melarang terhadap Rasul-Nya dan orang yang beriman

dari mencaci sembahan kaum Musyrikin, meski cacian mengandung

kemaslahatan. Menghina Tuhan umat lain dilarang karena berpotensi muncul

konflik yang lebih besar. 43

Orang yang memperolok-olok agama hukumnya murtad dan keluar

dari agama Islam secara total. Allah Ta‟ala berfirman dalam surat At-Taubah

ayat 65-66 yang berbunyi:

            

              

    


“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan
itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya Kami hanyalah
bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan
Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah
kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan
segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab
golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu
berbuat dosa.”

Ayat ini menujukkan bahwa mengolok-olok Allah, mengolok-olok

Rasul dan mengolok-olok ajaran agama Islam adalah sebuah kekufuran.

Barang siapa yang mengolok-olok salah satunya saja, berarti ia telah

mengolok-olok keemuanya. Itulah yang terjadi pada orang-orang munafik.

Mereka mengolok-olok Rasulullah dan para sahabat beliau, maka turunlah


43
Nazar Nurdin, Delik Penodaan Agama..., hal 149
ayat tersebut. Mengolok-olok ada dua macam. Pertama, mengolok-olok

secara jelas dan terang, yaitu perkataan mereka. Kedua, mengolok-olok

secara tidak langsung, yaitu seperti isyarat dengan mengedipkan mata,

menjulurkan lidah, memonyongkan bibir, dan isyarat dengan tangan saat al-

Qur‟an dan hadist Rasul dibacakan.44

Sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk menghormati agama

Islam, tidak menghina, atau menggugat sesuatu darinya. Karena itu, tidak

seorangpun diperbolehkan menggugat agama ini atau merendahkannya. Tidak

boleh pula membicarakannya dengan perkataan yang mengandung unsur

penghinaan, olok-olok atau ejekan. Setiap apa yang mereka olok-olok atau

cemooh, maka itu merupakan kekufuran dan dapat mengkafirkan pelakunya.

Setiap orang yang menyerukan sesuatu yang mengandung celaan terhadap

salah satu akidah Islam dari akidah Kaum Muslim, dan jika celaan tersebut

dapat mengkafirkan pelakunya, maka ia akan dikenakan sanksi riddah atau

murtad.

Murtad dalam bahasa Arab disebut dengan riddah. Secara bahasa

artinya keluar dari jalan yang pertama kita lalui. Makna kata ini serupa

dengan irtidad, namun riddah disini dikhususkan dalam makna kafir. Dengan

demikian perbuatan murtad mengeluarkan seseorang dalam lingkungan Islam.

Bila seseorang menolak prinsip-prinsip dasar kepercayaan (iman) seperti

keyakinan akan adanya Allah serta Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-

Nya sebagaimana tercakup dalam “Kalimah al-Shahadah” begitu juga


44
Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi AD Damsyiqi, Asbabul Wurud 1 Latar Belakang
Historis Timbulnya Hadist-hadist Rasul, diterjemahkan oleh M. Suwarta Wijaya dan Zafrullah
Salim, (Jakarta: Kalam Mulia, 1997), Cet 4, hal 369-370
menolak mempercayai al-Qur‟an sebagai Kitabullah atau menolak ajaran

yang dikandungnya, atau mengingkari hari kebangkitan, ganjaran atau

hukuman dari Allah termasuk ke dalam perbuatan murtad. Menolak ibadah-

ibadah khusus seperti shalat, zakat, puasa dan haji juga termasuk tindakan

“al-riddah”.45

Riddah adalah kembali dari agama Islam kepada kekafiran, baik

dengan niat, perbuatan yang menyebabkan kekafiran atau dengan ucapan.

Seseorang yang melakukan perbuatan riddah sudah ditetapkan hukumannya

di dalam al-Qur‟an dan al-Hadist. Mereka dimasukkan keneraka untuk

selama-lamanya serta mendapatkan azab yang pedih dan hukuman di dunia

darahnya halal di tumpahkan.46 Hal tersebut dijelaskan oleh Allah SWT

dalam surat Al-Baqarah ayat 217 yang berbunyi:

                

               

             

            

    


“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram.
Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi
menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi
masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih
besar (dosanya) di sisi Allah. dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya)
daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai
mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran),

45
A Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), hal 347
46
Rina Septiani, Tindak Pidana Penistaan Agama Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran, Vol 17 No 1 Januari-Juni 2017, hal 20-21
seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari
agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya.”

Di antara contoh-contoh yang menunjukkan kekafiran adalah:

1. Mengingkari hal-hl yang telah ditetapkan secara pasti. Seperti

mengingkari keesaan Allah, tidak mengakui Allh yang menciptakan alam,

mengingkari keberadaan malaikat, mengingkari kenabiaan, Muhammad

Saw, tidak mengakui al-Qur‟an sebagai wahyu Allah, mengingkari hari

kebangkitan dan pembalasan, mengingkari kewajiban shalat, zakat, puasa

dan haji.

2. Menghalalkan sesuatu yang disepakati keharamannya oleh kaum

muslimin. Seperti menghalalkan khamar, zina, riba, memakan daging

babi, menghalalkan darah dan harta orang yang tidak bersalah.

3. Mengharamkan sesuatu yang disepakati keharamannya oleh kaum

muslimin. Seperti mengharamkan hal-hal yang baik.

4. Mencela dan menghina Nabi, begitu pula mencela salah satu di antara para

Nabi.

5. Mencela agama, mencela al-Qur‟an dan sunah, tidak berhukum dengan al-

Qur‟an dan Sunah, lebih mendahulukan hukum-hukum buatan manusia

ketimbang al-Qur‟an dan Sunah.


6. Membuang mushaf di tempat-tempat kotoran, begitu juga dengan kitab-

kitab Hadist, menghina dan menganggap enteng kandungan al-Qur‟an dan

Sunah.47

Adapun jika sejak awal ia adalah orang kafir asli, maka tindakannya

menghina, melecehkan dan mencaci maki Allah Ta‟ala atau Rasulullah

Shalallahu Alaihi wa Sallam atau agama Islam tersebut telah menempatkan

dirinya sebagai gembong kekafiran dan pemimpin orang kafir. Di antara dalil

al-Qur‟an yang menegaskan hal ini adalah Firman Allah dalam surat At-

Taubah ayat 12 yang berbunyi:

              

    


“Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan
mereka mencerca agamamu, Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-
orang kafir itu, karena Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang
tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti”.

Dalam ayat ini, Allah menyebut orang kafir yang mencerca dan

melecehkan agama Islam sebagai pemimpin-pemimpin orang kafir. Jadi ia

bukan sekedar kafir biasa, namun gembong orang-orang kafir. Tentang hal

ini, Imam Al-Qurthubi berkata, “ Barangsiapa membatalkan perjanjian damai

dan mencerca agama Islam nscaya ia menjadi pokok dan pemimpin dalam

47
Sulaiman bin Ahmad bin Yahya Al-Faifi, Ringkasan Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq,
diterjemahkan oleh Abdul Majid, dkk, (Jakarta: Beirut Publishing, 2014), hal 616
kekafiran, sehingga berdasarkan ayat ini termasuk jajaran pemimpin orang-

orang kafir.”48

Hukuman bagi orang yang murtad menurut hukum pidana Islam yaitu

adalah hukuman Hadd, yaitu hukum bunuh. Sebagaimana dijelaskan dalam

hadist yaitu:

Hadist dari Mua‟dz Ibn Jabal :

،ّ‫ الأجْ هس ححى ٌقحم قَضاء هللا ٔسسٕن‬:‫ٔعٍ يعا ر بٍْ جبم سضً هللا عُّ فً سجم أسْهًثى جٕٓد‬
.‫ كاٌ قذ اسْححٍْب قبْم رنك‬:‫ ٔفً سٔاٌة أل بً دأد‬.ٍّْ‫ يحفق عه‬.‫فأيشبّ فقحم‬
Dari Muadz bin Jabal Radhiyallahu Anhu tentang seorang laki-laki yang
masuk Islam lalu murtad menjadi seorang Yahudi, beliau berkata, “aku tidak
akan duduk sampai dia dibunuh, ini adalah keputusan Allah dan Rasul-Nya.
“maka dia pun dibunuh”.(Mutaffaq Alaih).49
Dan dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, “sebelumnya dia telah diminta
bertaubat”

Hadist ini menjelaskan wajibnya hukum membunuh orang yang

murtad adalah ijma‟. Ulama berbeda pendapat, apakah orang yang murtad itu

harus diminta untuk bertaubat dahulu atau tidak. Jumhur berpendapat wajib

diminta untuk bertaubat terlebih dahulu karena Nabi Saw menyuruh Mu‟adz

untuk menyeru orang murtad tersebut masuk Islam terlebih dahulu sebelum

membunuhnya. Ada juga yang bependapat bahwa tidak wajib meminta taubat

terlebih dahulu. Mereka berdalil dengan hadist, “Orang-orang yang

mengganti agamanya maka bunuhlah dia”.50

Selanjutnya Hadist dari Ibnu Abbas :

‫ سٔاِ ْانبخاسي‬.ِ ْٕ‫يٍ بذل دٌُّْ فا ْقحه‬


ْ :‫ قال سسْٕ ل هللا صهى هللا عهٍّْ ٔسهى‬:‫ٔعٍ ابٍْ عباس قال‬

48
https://psq.or.id/artikel/wawasan-l-qur‟an-tentang-pelecehan-terhadap-nabi-muhammad-
saw/, artikel ini diakses pada hari Selasa tanggal 09 April 2019 pada pukul 20:05 Wib
49
Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan‟ani, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram
jilid 3, diterjemahan oleh Ali Nur Medan, dkk, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2012), hal 304
50
Imam Al-Hafidz ibnu Hajar Al-„Asqalany, Bulughul Maram Five in One, ditejemahkan
oleh Luthfi Arif, dkk, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2012), cet 1, hal 710
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata,”Rasulullah shalallahu
Alaihi wa Sallam bersabda,” barangsiapa yang mengganti agamanya
(murtad), maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari).51

Dalil ini adalah dalil atas wajibnya membunuh orang yang mengganti

agamanya sebagaimana yang telah diterangkan diatas. Dan hokum ini berlaku

umum bagi laki-laki dan perempuan. Adapun hukum yang berlaku untuk laki-

laki itu merupakan ijma‟ para ulama sementara hukum yang berlaku untuk

perempuan itu masih menjadi perselisihan para ulama.

Dengan adanya ancaman dalam bentuk hukuman dunia itu maka

murtad termasuk dalam salah satu tindak kejahatan yang dikenai ancaman

hukuman hudud. Hukuman hudud yang dilaksanakan bila telah terpenuhi

syarat dan rukun dari pelaksanaan hudud tersebut. Adapun rukun dari murtad

tersebut adalah: pertama, tindakan itu keluar dari agama Islam dengan melalui

salah satu cara sebagaimana disebutkan diatas. Kedua, keluar dari agama

Islam itu dilakukan dengan sengaja dan penuh kesadaran serta mengetahui

bahwa tindakannya itu dilarang agama dengan ancaman hukuman dunia dan

akhirat .

Adapun syarat yang dimaksud di sini berkaitan dengan syarat bagi

seseorang yang dinyatakan bersalah dan dikenai hukuman mati yaitu:

1. Tindakan itu dilakukannya sedang ia dalam keadaan beragama Islam.

pindahnya non muslim dari satu agama ke agama lain tidak disebut murtad

dalam hal ini menurut yang disepakati oleh ulama, karena kekafiran itu

sama tingkatnya antara satu dengan lainnya.

51
Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan‟ani, Subulus Salam..., hal 305
2. Pelaku tindakan murtad itu adalah seseorang yang telah dewasa dan

berakal sehat. Murtad yang dilakukan oleh anak-anak atau orang gila tidak

termasuk kepada tindakan yang dikenai hukuman mati.

3. Tindakan murtad itu dilakukan secara sadar dengan kehendak sendiri.

Tindakan yang dilakukan karena terpaksa tidak dinamakan murtad yang

diancam dengan hukuman mati.52

Dan hadist dari Ibnu Abbas :

،ًٓ‫كاَث نّ أو ٔنذ ج ْشحى انُبً صهى هللا عهٍّ ٔسهى ٔجقع فٍّْ فٍ ُْٓاْا فال ج ُْح‬
ْ ‫ٔعٍ ابٍ عباس أٌ أ ْعًى‬
ْ
‫ فبهغ رنك سسٕل هللا صهى هللا عهٍّْ ٔسهى‬،‫فٍبطُٓا ٔاجكأ عهٍْٓا فقحهٓا‬ ّ‫فهًا كاٌ رات نٍْهة أخز ْانًعْٕال فجعه‬
.‫ سٔاِ أبٕ دأد ٔسٔاجّ ثقات‬.‫ أال ا ْشٓذْٔ ا أٌ ديٓا ْذس‬:‫فقال‬
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata,” Ada seorang laki-laki buta
yang memiliki hamba sahaya perempuan yang melahirkan anaknya. Hamba
tadi mencela dan menghina Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan orang
laki-laki itupun mengingatkannya tapi hamba tadi tidak mau mendengarnya.
Dan ketika malam tiba laki-laki itu mengambil cangkul (sekop) dan
menusukkannya di perut hamba tersebut dan membunuhnya. Hal ini sampai
kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu bersabda, “Ingat, saksikanlah
oleh kalian semua bahwa darah wanita ini halal.” (HR. Abu Dawud dan
semua rawinya tsiqat)53

Riddah atau murtad terjadi melalui salah satu dibawah ini yaitu sebagai

berikut:

1. Melalui perbuatan yang disengaja, baik dalam bentuk melakukan sesuatu

atau tidak melakukan sesuatu. Dalam bentuk melakukan sesuatu yang

dimaksud disini adalah sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang secara

jelas dengan dalil yang pasti dilarang oleh Allah dalam al-Qur‟an atau

melalui penjelasan Nabi dalam hadistnya. Umpamanya sengaja berzina

atau membunuh atau memakan daging babi atau meminum khamar

52
Amir Syarifuddin, Garis-garis besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003) hal 317-318
53
Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan‟ani, Subulus Salam...,hal 308
dengan dalil bahwa yang demikian tidak haram. Murtad dalam

meninggalkan berbuat disini maksudnya adalah sengaja meninggalkan

suatu perbuatan yang secara jelas dengan dalil yang menyakinkan

diperintahkan oleh Allah SWT maupun Nabi.

2. Melalui ucapan, baik ucapan yang jelas menyatakan keluar dari Islam atau

ucapan lain yang menyebabkan seseorang dapat dinyatakan kafir, seperti

ucapan yang mencela dan menghinakan serta menyalahkan agama Islam;

ucapan bahwa Tuhan itu lebih dari satu atau ucapan lain yang tidak biasa

berlaku dalam agama Islam seperti meniadakan kekuasaan Allah atau

meniadakan kerasulan Muhammad.

3. Melalui akidah, atau kepercayaan seperti mempercayai alam ini qadim

seperti Allah, percaya tidak ada hari kiamat, percaya bahwa tidak ada alam

ghaib seperti malaikat, percaya bahwa Allah mempunyai anak dan istri,

mempercayai bahwa Allah sudah tidak lagi berkuasa dan lain kepercayaan

yang menafikan kekuasaan Allah dan sifatNya.54

Abdurrahman al-Maliki telah memberikan klarifikasi secara rinci

tentang hal-hal apa saja yang membuat seseorang murtad baik berupa

keyakinan, keraguan, ucapan atau perbuatan. Hal-hal tersebut adalah: (a)

meyakini apa saja yang telah dilarang secara qath‟i dan mengingkari perkara

yang telah diketahui secara umum dalam agama seperti mengingkari

kewajiban potong tangan bagi pencuri; (b) meragukan perkara-perkara akidah

yang dalilnya qath‟i seperti meragukan Nabi Muhammad Saw; (c)

54
Amir Syarifuddin, Garis-garis..., hal 316-317
mengucapkan sesuatu yang tidak mengandung makna lain (ta‟wil) bahwa hal

tersebut adalah kekufuran, misalnya mengatakan bahwa Isa adalah anak Allah;

(d) melakukan perbuatan yang tidak ada kemungkinan (ta‟wil) lain bahwa

perbuatan tersebut adalah kekufuran, seperti orang yang sujud di depan patung

atau beribadah di gereja dengan cara-cara Nasrani. Upaya ini untuk menjaga

kebersihan agama Islam dan berbagai penyimpangan dan merupakan tugas

utama negara Islam.

Dalam rangka menjaga kebersihan dan kekuatan akidah umat Islam,

selain aktif memberikan pendidikan kepada warganya, negara juga

memberikan sejumlah sanksi yang tegas atas siapapun yang melakukan

tindakan-tindakan yang mencela dan melecehkan akidah Islam serta

melakukan penyebaran pemikiran kufur, pemikiran yang meragukan Islam

dan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan akidah Islam.55

Di dalam hukum pidana Islam tindak pidana penodaan agama terdapat

di dalam hukuman ta‟zir. At-Ta‟zir menurut bahasa merupakan mashdar (kata

dasar) dari Azzara. Asal arti al-„azru adalah cegahan. Dari makna inilah kata

ini diambil, karena ia diharapkan dapat mencegah terjerumusnya seseorang

kejurang kemaksiatan. Sedangkan menurut istilah Syar‟I pengajaran karena

melakukan suatu dosa yang tidak dijelaskan ketetapannya dan kafarahnya.

Semua kemaksiatan, kedurhakaan lainnya, maka hukum bagi pelakunya

disebut ta‟zir yang manabatas maksimalnya sepuluh cambukan. Ini masyhur

dikalangan pengikut madzhab Imam Ahmad.

55
Zahratul Idami, Perlindungan Hukum Oleh Negara..., hal 88
Ta‟zir secara etimologi berarti menolak atau mencegah. Hukuman

tersebut bertujuan mencegah yang bersangkutan mengulangi kembali

perbuatannya da menimbulkan kejeraan kepada pelaku. Dalam fiqh jinayah,

pengertian ta‟zir adalah bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentuan

kadar hukumannya oleh syara‟ dan penentuan hukumannya menjadi

kekuasaan hakim.sebagian ulama mengartiakan ta‟zir sebagai hukuman yang

berkaitan dengn pelanggaran terhadap hak Allah dan hak hamba yang tidak

ditentukan Al-Qur‟an dan hadis. Ta‟zir berfungsi memberikan pengajaran

kepada pelaku sekaligus mencegahnya untuk tidak mengulangi perbuatan

serupa. Ulama lain mengatakan bahwa ta‟zir adalah hukuman terhadap

perbuatan maksiat yang tidak dihukum dengan hukuman hadd atau kafarat.

Rahmat Hakim mengatakan bahwa ta‟zir adalah jarimah yang sanksinya

ditentukan penguasa.56

Secara umum, tindak pidana ta‟zir terbagi menjadi tiga bagian, yaitu

sebagai berikut:57

1. Tindak pidana hudud dan tidak pidana qisas yang syubhat, atau tidak

jelas, atau tidak memenuhi syarat, tetapi merupakan maksiat.

Contohnya percobaan pencurian, percobaan perzinaan, pencurian

dalam keluarga, dan lain-lain.

2. Tindak pidana atau kemaksiatan yang ditentukan oleh Al-Quran dan

hadis, tetapi tidak ditentukan sanksinya. Contohnya penghinaan, saksi

56
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah),
(Bandung: Pustaka Setia, 2013), hal 593
57
Asadulloh Al Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2009), hal 55
palsu, tidak melaksanakan amanah, makan babi, mengurangi

timbangan, riba, dan sebagainya.

3. Berbagai tindak pidana atau kemaksiatan yang ditentukan oleh ulil

amri (penguasa) berdasarkan ajaran Islam demi kemaslahatan umum.

Contohnya pelanggaran terhadap berbagai peraturan penguasa yang

telah ditetapkan berdasarkan ajaran Islam, korupsi, kejahatan ekonomi,

dan lain sebagainya.

Adapun orang yang terus menerus mengerjakan kedurhakaan, maka

juga harus dijatuhkan hukuman ta‟zir agar dia segera meninggalkannya.58 Ada

3 hal yang membedakan ta‟zir dengan had (hukuman). Pertama, dalam

ketentuan ta‟zir tiap-tiap orang berbeda sesuai dengan kesalahannya. Kedua,

didalam ta‟zir diperbolehkan adanya keringanan atau pengurangan hukuman.

Ketiga, orang yang mendapat ta‟zir tetap harus bertanggung jawab atas barang

yang dirusaknya.

Apabila ta‟zir tersebut diterapkan karena meninggalkan sesuatu yang

harus dikerjakan, maka hal itu bagaikan membunuh orang yang murtad, orang

yang memerangi islam, dan pemberontak. Hukuman ta‟zir seperti ini tidak

dapat ditentukan dengan jelas, bahkan puncaknya bisa berupa hukuman mati.

Sebagai contoh, orang yang tidak dapat berhenti dari mencuri harta benda

orang lain, maka boleh dihentikan dengan hukuman mati.

Menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟I bahwa

hukuman ta‟zir tidak boleh sampai kebatas hudud yang sudah ditentukan.

58
Syaikh Abdullah Abdurrahman Alu Basam, Syarah Hadits Hukum Bukhari Muslim,
diterjemahkan oleh Arif Wahyudi, dkk, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2009) hal 1106
Menurut pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,” Terkadang

hukuman ta‟zir berupa pengucilan dan teguran keras, misalnya dikatakan

kepadanya, „wahai orang yang zhalim, wahai orang yang melampaui batas dan

hal ini boleh disampaikan di satu majlis. Dia berkata lagi,” Hukuman ta‟zir

boleh berupa harta, boleh dengan merusaknya atau menyitanya. Ini berlaku

menurut dasar hukum yang dijadikan acuan oleh Imam Ahmad, karena dia

tidak ditentang oleh para muridnya bahwa hukum-hukum dalam harta benda

tidak mansukh seluruhnya (hanya sebagian). Sedangkan Syaikh Abu

Muhammad al-Maqdisi, Ibnu Qudamah berkata,” Tidak boleh mengambil

harta benda orang yang dijatuhi hukuman ta‟zir.” Dia mengarahkan

pernyataan kepada apa yang biasanya dilakukan oleh para penguasa yang

zhalim.59

Jadi, kesimpulan dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan

bahwasannya hukuman ta‟zir ini hanya berupa teguran keras, pengucilan,

dera, penjara dan penyitaan harta benda, maka dera yang dimaksud di dalam

hukuman ta‟zir ini ialah hanya boleh dilakukan sebanyak sepuluh kali

cambukan dan tidak boleh melebihi hukuman had. Jika misalnya seseorang

yang melakukan perbuatan zina maka pelaku tersebut dijatuhi hukuman

delapan puluh kali dera.

Jarimah ta‟zir apabila dilihat dari hak yang dilanggar dibagi menjadi

dua, yaitu sebagai berikut.

59
Syaikh Abdullah Abdurrahman Alu Basam, Syarah Hadits Hukum…,hal 1111
1. Jarimah ta‟zir yang menyinggung hak Allah, yaitu semua perbuatan

yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Misalnya, berbuat

kerusakan dimuka bumi, pencurian yang tidak memenuhi syarat,

mencium wanita yang bukan istrinya, penimbunan bahan-bahan

pokok, dan penyeludupan.

2. Jarimah ta‟zir yang menyinggung hak perorangan (individu), yaitu

setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian pada orang tertentu,

bukan orang banyak. Misalnya, penghinaan, penipuan, dan pemukulan.

Jarimah ta‟zir dapat berupa perbuatan yang menyinggung hak Allah

atau hak individu, jarimah ta‟zir adakalanya melakukan perbuatan maksiat

dan pelanggaran yang dapat membahayakan kepentingan umum. Jarimah

ta‟zir secara rinci dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:

a) Jarimah ta‟zir yang berkaitan dengan pembunuhan,

b) Jarimah ta‟zir yang berkaitan dengan pelukaan,

c) Jarimah ta‟zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan

dan kerusakan akhlak,

d) Jarima ta‟zir yang berkaitan dengan harta,

e) Jarimah ta‟zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu,

f) Jarimah ta‟zir yang berkaitan dengan keamanan umum.

Dengan demikian, sanksi hukum terhadap pelaku aliran sesat dan

penodaan agama yang tidak ditemukan kriterianya dalam al-Qur‟an maupun

hadist, pelaku tersebut dapat dijerat dengan hukuman ta‟zir. Sanksi hukum ini

dirasa pantas dan wajar terhadap pelaku penodaan agama. Karena hakim akan
menimbang segala perbuatan dan akibat yang telah ditimbulkan oleh pelaku,

untuk memutuskan sanksi hukum apa yang akan dijeratkan pada mereka, yang

tentunya sesuai dengan tujuan adanya sanski hukum.


BAB III

HASIL PENELITIAN

A. Bentuk-bentuk Penodaan Agama

Beberapa tahun terakhir ini hampir di seluruh wilayah Indonesia

banyak muncul aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan

masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama. Di

antara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan para pemeluk aliran-aliran tersebut

sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum,

memecah persatuan nasional dan menodai agama, sehingga jika dilakukan

pembiaran akan mengancam stabilitas nasional dan keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.60 Bentuk-bentuk penodaan agama yaitu

sebagai berikut:

1. Penodaan Terhadap Tuhan dan Nabi

a. Kasus Lia Eden

Lia mengaku bahwa ia mengalami peristiwa ajaib, pertama adalah

sewaktu dia melihat sebuah bola bercahaya kuning berputar di udara dan

lenyap sewaktu baru saja ada di atas kepalanya. Hal ini terjadi sewaktu

dia sedang bersama dengan kakak mertuanya di serambi rumahnya di

kawasan Senen, Jakarta Pusat pada 1974. Peristiwa ajaib kedua pada

malam 27 Oktober 1995, pada masa itu, dia telah merasakan kehadiran

60
Ahmad Jazuli, Penyelesaian Konflik Penodaan Agama Dalam Perspekti Hukum Pidana
Di Indonesia (Conflict Accomplishment of Blasphemy in Indonesia`S Criminal Law Perspective),
Jurnal Penelitian Hukum, Volume 17, Nomor 3, September 2017, hal 330
pemimpin rohaninya, Habib al-Huda yang kemudian mengaku dirinya

sebagai Jibril pada waktu itu.61

Setelah itu Lia mengaku dia menerima bimbingan Malaikat Jibril

secara terus menerus sejak 1997 hingga kini. Selama dalam proses

pembimbingan itu, Lia mengatakan bahwa Malaikat Jibril menyucikan dan

mendidiknya melalui ujian-ujian sehari-hari yang sangat berat, termasuk

pengakuan-pengakuan kontroversial yang harus dinyatakannya kepada

masyarakat atas perintah Jibril. Proses penyucian itu menurut Lia sangat

berat dan tak pernah berhenti hingga kemudian Tuhan memberinya nama

Lia Eden sebagai pengganti namanya yang lama. Di dalam penyuciannya,

Lia mengatakan bahwa Tuhan menyatakan Lia Eden sebagai pasangan

Jibril sebagaimana ditulis di dalam kitab-kitab suci. Dan Lia mengatakan

bahwa dialah yang dinyatakan Tuhan sebagai sosok surgawi-Nya di dunia.

Lia menganggap dirinya sebagai orang yang menyebarkan wahyu Tuhan

dengan perantaraan Jibril.

Lia juga menganggap dirinya memiliki kemampuan untuk

meramalkan kiamat. Lia juga telah mengarang lagu, drama dan juga buku

sebanyak 232 halaman berjudul, “Perkenankan Aku Menjelaskan Sebuah

Takdir” yang ditulis dalam waktu 29 jam. Pada tahun 1998, Lia menyebut

dirinya Mesias yang muncul di dunia sebelum hari kiamat untuk

membawa keamanan dan keadilan di dunia. Selain itu, Lia juga menyebut

61
Muhammad Yusuf Gunawan, Kajian Yuridis Terhadap Penodaan Agama Dikaitkan
Dengan KUHP Jo Undang-Undang No. 01/PNPS/Tahun 1965 Tentang Pencegahan
Penyalahgunaan atau Penodaan Agama, Skripsi Fakultas Hukum UNPAS, hal 42
dirinya sebagai reinkarnasi Bunda Maria, ibu dari Yesus Kristus. Lia juga

mengatakan bahwa anaknya, Ahmad Mukti, adalah reinkarnasi Isa.62

Pemahaman yang dibawa oleh Lia ini mendapat kurang lebih 100

penganut pada awal diajarkannya. Penganut agama ini terdiri dari para

pakar budaya, golongan cendekiawan, artis musik, drama dan juga pelajar.

Mereka disebut sebagai pengikut Salamullah. Pada bulan Desember 1997,

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah melarang perkumpulan Salamullah

ini karena ajarannya dianggap telah menyelewengkan kebenaran mengenai

ajaran Islam. Kelompok ini lalu membalas balik dengan mengeluarkan

“Undang-undang Jibril” (Gabriel's edict) yang mengutuk MUI karena

menganggap MUI berlaku tidak adil dan telah menghakimi mereka dengan

sewenang-wenang. Kelompok Salamullah ini juga terkenal karena

serangannya terhadap kepercayaan masyarakat Jawa, mengenai mitos Nyi

Roro Kidul yang didewakan sebagai Ratu Laut Selatan.

Pada tahun 2000, Salamullah ini diresmikan oleh pengikut-

pengikutnya sebagai nama kelompok. Kelompok Salamullah mengakui

bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir tetapi juga

mempercayai bahwa pembawa kepercayaan yang lain seperti Buddha

Gautama, Yesus Kristus, dan Kwan Im, Dewi pembawa rahmat yang

dipercaya orang Kong Hu Cu, akan muncul kembali di dunia sejak 2003,

62
Muhammad Yusuf Gunawan, Kajian Yuridis Terhadap Penodaan Agama…, hal 42
kelompok Salamullah ini memegang kepercayaan bahwa setiap agama

adalah benar.63

Lia Eden, dituntut dengan hukuman 2 tahun 6 bulan penjara. Lia

terbukti bersalah melakukan penodaan agama Pasal 156 a KUHP. Putusan

ini dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta

Pusat, Sujbacran, di PN Jakpus, Jl Gadjah Mada. Vonis ini sesuai dengan

tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Lia dianggap menistakan agama setelah

menyebarkan 4 risalah kepada berbagai institusi.64

b. Kasus HB Jassin

Pada tahun 1968 muncul suatu peristiwa yang menghebohkan

dunia sastra yaitu adanya cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji

Kusmin. Permasalahan muncul karena cerpen Langit Makin Mendung

dalam ceritanya mengimajinasikan Tuhan yang diibaratkan bertingkah

laku seperti Manusia. Munculnya cerpen Langit Makin Mendung yang

dimuat dalam majalah sastra Horison edisi Agustus 1968 dianggap

sebagai penghinaan terhadap agama Islam. Peristiwa kontroversi ini

sering dikenal dengan “Heboh sastra 1968”. Dalam karya cerpennya Ki

Panji Kusmin menggambarkan bahwa Tuhan dan Nabi seperti manusia.65

Secara umum bahwa didalam agama Islam, figur Tuhan dan Nabi

tidak boleh digambarkan seperti apapun. Di dalam agama Islam

penggambaran zat Tuhan, Nabi serta malaikat-malaikat dilarang sebab

63
Muhammad Yusuf Gunawan, Kajian Yuridis Terhadap Penodaan Agama…, hal 43
64
Muhammad Yusuf Gunawan, Kajian Yuridis Terhadap Penodaan Agama..., hal 43
65
Arum Wahyuningtias, Upaya HB. Jassin Dalam Penyelesaian Polemik Heboh Sastra
Cerpen “Langit Makin Mendung” Karya Kipanjikusmin Di Majalah Sastra Tahun 1968-1970,
Avatara, E-Journal Pendidikan Sejarah Vol 3, No 2, Juli 2015, hal 237
akan menimbulkan suatu persepsi yang salah karena Tuhan yang

diwujudkan dalam suatu bentuk apapun akan menyebabkan kesalahan

penyembahan terhadap Tuhan, seperti contoh Tuhan diibaratkan atau

digambar seperti matahari, semua umat ditakutkan akan menyembah

matahari yang diibaratkan Tuhan tersebut. Itu sebabnya dalam agama

Islam hal tersebut tidak diperbolehkan karena akan mengarah dalam hal

musyrik, sedangkan musyrik dalam agama Islam dosanya tidak dapat

diampuni.66

Terdakwa Hans Bague Jassin (53 tahun) selaku penanggung

jawab Majalah Sastra terbukti bersalah melakukan penyalahgunaaan dan

penodaan terhadap agama Islam. Oleh karenanya terdakwa dikenai

hukuman penjara bersyarat selama 1 tahun dalam masa percobaan 2

tahun. Dengan barang bukti berupa naskah asli dari cerpen Langit Makin

Mendung karya Ki Panji Kusmin yang menurut Hakim nyata-nyata

menghina agama Islam dan sejumlah Majalah Sastra terbitan bulan

Agustus No. 8 tahun ke VI yang memuat cerpen tersebut disita.

Disamping itu terdakwa juga diwajibkan membayar segala biaya

perkara.67

2. Penodaan Terhadap Kitab Suci

Penodaan terhadap kitab suci yang salah satunya dilakukan oleh

Basuki Tjahja Purnama ( Ahok). Pada tanggal 26 September 2016 Ahok

66
Arum Wahyuningtias, Upaya HB. Jassin Dalam Penyelesaian Polemik Heboh Sastra
Cerpen..., hal 238
67
HB. Jassin Dijatuhi Hukuman Penjara Bersyarat 1 Tahun Dengan Masa Percobaan 2
Tahun. Jakarta. Kompas 29 Oktober 1970.
berpidato saat melakukan kunjungan kerja di Pulau Pramuka, Kepulauan

Seribu. Ahok datang untuk meninjau program pemberdayaan budi daya ikan

Kerapu. Menurutnya, program itu akan tetap dilanjutkan meski dia nanti tak

terpilih lagi menjadi gubernur di pilgub Februari 2017, sehingga warga tak

harus memilihnya hanya semata-mata hanya ingin program itu terus

dilanjutkan.

Lalu Ahok menyinggung pelaksanaan pilkada DKI 2017 dan mengutip

surat al Maidah ayat 51 dan mengatakan untuk jangan mau di bohongi, maka

pada hari selanjutnya tersebarlah potongan videonya saat Ahok sedang

berpidato tersebut dan menjadi viral di media sosial, MUI mengeluarkan

pendapat dan fatwa keagamaan bahwa Ahok dikategorikan menghina al-

Qur‟an dan Ulama. Pada tanggal 4 November 2016 umat Islam menggelar

aksi yang disebut dengan “Aksi Bela Islam 411 ” Ahok pun di jadikan

tersangka atas penodaan terhadap agama.68

Jaksa penuntut umum yang menangani kasusnya ini menjatuhkan

tuntutan yang berdasarkan pada Pasal 156 dan 156a KUHP mengenai kasus

penodaan agama yang mengaku tidak segaja melakukan penodaan agama.

Basuki Tjahaja Purnama di vonis oleh hakim berdasarkan pasal 156 a KUHP

dengan putusan 2 Tahun penjara, putusan ini lebih berat dibandingkan dengan

tuntutan jaksa yakni 1 tahun penjara dan 2 tahun masa percobaan.69

68
https://www.google.co.id/amp/s/www.idntimes.com/news/indonesia/amp/gregorius-
pranandito/perjalanan-kasus-ahok-bermula-dari-pidato-hingga-akhirnya-di-penjara, diakses pada
tanggal 17 Agustus 2019 pada pukul 11:40 wib
69
Muhammad Yusuf Gunawan, Kajian Yuridis Terhadap Penodaan Agama…, hal 44
3. Penodaan Terhadap Simbol-simbol Agama

Penodaan terhadap simbol-simbol agama yang salah satunya dilakukan

oleh Meliana Wanita asal Tanjung Balai, Sumatera Utara. Wanita ini dijatuhi

hukuman penjara atas kasus penodaan agama karena dianggap menistakan

agama setelah meminta pengurus mesjid di dekat rumahnya untuk

mengecilkan suara azan. Majelis hakim menyatakan, wanita yang berusia 44

tahun itu terbukti bersalah menistakan agama sebagaimana diatur dalam pasal

156 3a KUHP. Meliana dinyatakan terbukti bersalah secara sah dan

meyakinkan bersalah dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan

atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan,

penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di

Indonesia. Atas perbuatannya Meliana dijatuhi hukuman penjara selama 1

tahun 6 bulan.70

4. Penodaan Terhadap Pimpinan Agama

Penodaan terhadap pimpinan agama yang salah satunya dilakukan oleh

Tajul Muluk. Ia adalah penganut Syiah yang berasal dari Madura, ia membuka

pesantren Syiah yang diasuhnya sendiri bernama Misbahul Huda, di Desa

Nangkernang. Pada tahun 2006, seorang Kyai dan beberapa pemimpin

beraliran Sunni di Nangkernang mulai mengajukan keberatan atas keberadaan

sekolah Syiah dan menyebutnya “aliran sesat”. Pada bulan April 2007, ribuan

orang berunjuk rasa menentang acara perayaan ulang tahun Muhammad di

sekolah ini. Sejumlah ulama Sunni menuntut Tajul untuk menandatangani


70
https://www.google.co.id/amp/s/m,liputan6.com/amp/3626152/perjalanan-kasus-
penodaan-agama-karena-volume-azan-hingga-jatuh-vonis-18-bulan-penjara, diakses pada tanggal
16 Agustus 2019 pada pukul 12:20 Wib
perjanjian bahwa ia tidak akan berdakwah, namun ditolaknya. 1 Januari 2012,

Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Sampang mengeluarkan fatwa sesat

terhadap ajaran-ajaran Tajul.

Tanggal 16 Maret, Tajul dikenakan tuduhan penodaan agama sesuai

Pasal 156a KUHP dan perbuatan tidak menyenangkan sesuai Pasal 335 KUHP

dengan ancaman lima tahun penjara. Pada kasus ini ketua Majelis hakim

dalam menangani kasus penodaan agama dari Tajul Muluk menjatuhkan

putusan berupa penjatuhan pidana penjara selama 2 tahun.71

B. Tinjauan Hukum Positif dan Hukum Islam Terhadap Bentuk-bentuk

Penodaan Agama

1. Tinjauan Hukum Positif Terhadap Penodaan Agama

Penodaan agama termasuk dalam kejahatan kekerasan pada agama dan

ini merupakan hal yang buruk karena agama mengajarkan nilai-nilai luhur, di

mana agama ikut bertanggung jawab atas moral dan perbuatan pelakunya.

Indonesia dengan Pancasila dan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar

alasan yang utama (causa prima), tidak memiliki suatu pembelaan (afweer)

terhadap serangan kata-kata mengejek terhadap Tuhan. Tidak terdapat sesuatu

perundang-undangan khusus bagi seorang yang melakukan penghinaan

kepada Tuhan dan Nabi (Godslasteringswet/ blasphemous libel). Hal ini

dikemukakan sebagai suatu kekurangan dalam suatu negara yang berdasarkan

71
Muhammad Yusuf Gunawan, Kajian Yuridis Terhadap Penodaan Agama…, hal 47
atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Penodaan terhadap agama memiliki

pemahaman yang sangat luas tergantung dari konsep masing-masing agama.72

Perlu diketahui bahwa Code Penal sendiri tidak mengatur mengenai

delik agama, yang ada hanyalah undang-undang mengenai Godslastering di

Negeri Belanda pada tahun 1932 yang terkenal dengan nama Lex Donner oleh

Menteri Donner yang menciptakan undang-undang tersebut. Undang-undang

di Jerman dalam Strafgesetzbuch mencantumkan delik agama dalam Pasal

166, tampaknya menjadi model dan ilham bagi Negeri Belanda, yang tidak

memiliki aturan mengenai delik agama tersebut di tengah-tengah kehidupan

hukum di sana. Namun hal ini tidak ditransfer ke Undang-Undang Republik

Indonesia No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.73

Latar belakang pembentukan UU No. 1/ PNPS/1965 tidak terlepas dari

suasana politik hukum pada tahun 1950-1966. Masa tersebut merupakan masa

pembangunan hukum nasional yang berada dalam dua pilihan kebijakan yaitu

tetap memberlakukan realism pluralisme (kebijakan dominan sejak zaman

kolonial) dan cita-cita unifikasi. Akibatnya setiap perundang-undangan yang

terbentuk di masa itu lebih mencerminkan perjuangan untuk membentuk

pembangunan hukum nasional. Hal tersebut terlihat dengan adanya dua sub

periode dengan dasar konstitusi berbeda, yaitu sub periode 1950- 1959 di

bawah arahan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan sub periode 1959-

1966 dibawah arahan UUD 1945. UU No. 1/PNPS/1965 sendiri lahir dalam

72
Kurnia Dewi Anggraeny, Penafsiran Tindak Pidana Peodaan Agama Dalam Perspektif
Hukum, Vol 2, No. 1 Juni 2017, hal 267
73
Ismuhadi, Analisa Pidana Hukum dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan
Agama di Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumtera Utara, hal 20
sub periode 1959-1966 yang berada di bawah arahan UUD 1945. Hanya saja

terdapat kejanggalan dari pemberlakuan Sistem Demokrasi Terpimpin oleh

Presiden Soekarno sebagai kelanjutan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli

1959 melalui Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959 (Keppres

No.150/1959). Setidaknya terdapat dua alasan mendasar pembentukan

penetapan presiden yaitu:

a. Pengamanan negara dan revolusi nasional terkait dengan pencegahan

penyalahgunaan atau penodaan agama

b. Pengamanan revolusi dan ketenteraman masyarakat74

Argumen hukum dimasukkannya Pasal 156 a ke dalam KUHP

diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dibuat untuk mengamankan

Negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional

dimana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai

ancaman revolusi.

b. Munculnya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi

kebatinan atau kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan

dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang

telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai

74
Hwian Christianto, Arti Penting UU No. 1/PNPS/1965 Bagi Kebebasan Beragama,
Jurnal Yudisial, Vol 6 No. 1 April 2013, hal 3
agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan

undang-undang ini.75

Terkait dengan penyisipan pasal 156 a dalam KUHP ada beberapa

permasalahan fundamental yang sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan

rule of law, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pasal-pasal tersebut

mula-mula diterapkan bagi tindak pidana yang di muka umum menyatakan

perasaan permusuhan dan merendahkan kepada golongan penduduk.

Ditinjau dari sejarah pembentukannya, maka penyisipan pasal 156 a

KUHP tersebut mencerminkan kebutuhan aktual masyarakat Indonesia. Pasal

156 a KUHP ini merupakan tindak pidana yang berada dalam bab V tentang

“Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum”

Penempatan tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama

dalam bab tentang “Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum” dapat diartikan

bahwa pada dasarnya “agama” atau “kehidupan beragama” bukan kepentingan

yang hendak dilindungi oleh hukum pidana, melainkan kriminalisasi atas

perbuatannya itu, karena dianggap berpotensi menggangu ketertiban umum.

Berdasarkan KUHP pasal 156 a bentuk-bentuk penodaan agama yaitu

sebagai berikut:

a. Meyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan

terhadap golongan rakyat Indonesia karena agama

b. Di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan

permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama


75
Ahmad Murtadho,dkk, Tindak kekerasan yang mengatasnamakan Agama ditinjau dari
tindak pidana penyalahgunaan Agama Pasal 156 a KUHP (Prespektif Ajaran Islam), Jurnal
Hukum Universitas Brawijaya, hal 5
c. Di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbutan

agar supaya orang tidak menganut agama apapun

d. Menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau

lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan

perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan diantara atau

terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, termasuk karena

agama

e. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan

atau upacara keagamaan yang bersifat umum dan diijinkan

f. Menganggu pertemuan atau upacara keagamaan yang bersifat umum

dan diijinkan

g. Mentertawakan petugas agama dalam menjalankan tugas yang

diijinkan

h. Menghina benda-benda untuk keperluan ibadah di tempat atau pada

waktu ibadah dilakukan

i. Membuat gaduh di dekat bangunaan untuk menjalankan ibadah yang

dibolehkan.

j. Menjual jimat-jimat atau benda yang memiliki kekuatan gaib.76

Perbuatan yang sifatnya memusuhi suatu agama, adalah setiap

perbuatan berwujud fisik (terhadap sarana dan prasarana suatu agama) yang

dari perbuatan itu dinilai oleh umum penganut agama yang bersangkutan

76
Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2010),
hal 154.
adalah sebagai memusuhi agama tertentu. Misalnya, merusak gereja, merusak

masjid dan tempat agama lainnya.

Sedangkan perbuatan yang bersifat penodaan agama tertentu, ialah

melakukan perbuatan yang oleh umat penganut agama yang bersangkutan

dinilai sebagai menodai agama tersebut. Penodaan disini mengadung sifat

penghinaan, melecehkan, meremehkan dari suatu agama. Karena itu

menyakitkan perasaan bagi umat pemeluk agama yang bersangkutan. Contoh

Pada umumnya, orang masuk masjid yang dengan sengaja tanpa melepas

sepatu, dinilai sebagai menodai masjid, karena masjid adalah tempat suci

untuk beribadah umat Islam, maka oleh umat Islam orang itu dinilai telah

menodai agama Islam.77

Rumusan pasal 156 a KUHP telah memiliki rumusan hukum pidana

untuk menyampaikan maksud dan tujuan dilarangnya suatu perbuatan dan

pemahaman norma hukum pidana dalam pasal 156 a KUHP dilakukan secara

komprehensif, sistematik, atau tidak parsial dalam hubungannya dengan

penjelasan umum dan penjelasan pasal 4 atau 156 a KUHP Undang-Undang

Nomor 1/PNPS Tahun 1965. Berdasarkan argumen tersebut norma hukum

pidana yang dimuat dalam pasal 156 a KUHP adalah tidak bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar 1945.78

77
Muhammad Dahri, Tindak Pidana Penodaan Agama Di Indonesia: Tinjauan
Pengaturan Perundang Undangan Dan Konsep Hukum Islam, AT-TAFAHUM Journal Of Islamic
Law, Vol. 1 No. 2 Juli-Desember 2017, hal 63
78
M. Fawwazul Haqie, Tindak Pidana Penodaan Agama Melalui Jejaring Sosial Ditinjau
dalam Huklum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam, Skripsi Fakultas Hukum Pidana Islam
UIN Syarif Hidayatullah, hal 24
Jika setelah diadakan tindakan-tindakan sebagaimana tersebut di atas,

ia masih terus melanggar ketentuan dalam Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor

1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan

Agama, maka orang/anggota atau anggota pengurus dari organisasi/aliran

tersebut dipidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun. Sandaran dari

peraturan tersebut adalah pertama-tama melindungi ketenteraman beragama

dari pernyataan ataupun perbuatan penodaan/penghinaan serta ajaran-ajaran

untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penodaan Agama

Agama Islam tidak mengatur secara khusus tentang penodaan agama,

Al-Quran menggunakan istilah kemurtadan/ketidakhormatan dan kafir. Dalam

konsep hukum Islam penodaan agama termasuk perbuatan jinayah atau

jarimah. Secara etimologi Jinayah yang merupakan bentuk mashdar dari

kalimat ‫جيىن‬-‫ جىن‬yang berarti “irtakaba dzanban” yaitu melakukan perbuatan

dosa. Jarimah secara etimologi berarti “a-Jurmu wa ad-dzanbu” yang berarti

kesalahan dan dosa. Penodaan ini identik dengan tindakan menghina,

melecehkan, merendahkan, pencemaran, merusak, mengolok-olok dan lain-

lain, terhadap suatu agama. Dalam bahasa Arab kata “penodaan” diartikan

dengan kata “dannasa” (pencemaran) seperti kalimat “tadnisul „irdhi

(Pencemaran/penodaan atas kehormatan).79

Secara bahasa, penghinan terhadap agama adalah menampakkan

akidah (keyakinan), perbuatan dan ucapan dengan sengaja yang bermuatan

79
Muhammad Dahri, Tindak Pidana Penodaan Agama…, hal 61
menghina, meremehkan agama, serta menghina Allah dan Rasul-rasulNya.

Penghinaan terhadap agama Islam bisa dilakukan dengan cacian, meremehkan

dengan tanpa paksaan yang dilakukan secara serius ataupun gurauan terhadap

simbol-simbol yang dimuliakan dalam Islam, khususnya yang berkaitan

langsung dengan sendi ketauhidan.80

Bentuk penodaan agama dalam hukum Islam dilihat dari tiga unsur,

yaitu sebagai berikut:

a. Perbuatan

Maksudnya yaitu melakukan perbuatan yang diharamkan secara

sengaja untuk menghina Islam, meremehkan Allah dan Rasulullah atau

menentang ajaran Islam. misalnya melempar mushaf ke tempat yang

kotor, membolehkan melakukan zina, menghalalkan meminum khamar,

dan membunuh sebagai perbuatan yang dibolehkan dan bukan atas dasar

ta‟wil.

b. Perkataan

Ucapan mencela Allah Ta‟ala atau Rasulnya, menjelek-jelekkan

malaikat atau salah seorang Rasul, mengaku mengetahui ilmu ghaib,

mengaku sebagai Nabi, membenarkan orang yang mengaku Nabi.

Seseorang dapat menjadi kafir apabila menghina Allah dan mengatakan

bahwa Allah bukanlah Tuhan; Allah itu tidak Esa; Allah memiliki

tandingan, pasangan dan anak; Malaikat dan Nabi tidak ada; Al-Qur‟an

80
Nazar Nurdin, Delik Penodaan Agama Islam di Indonesia, International Journal Ihya‟
„Ulum al-Din, Vol 19 No.1 2017, hal 150
itu berisi kebohongan; hari kiamat tidak pernah terjadi; syariat Islam

tidak untuk mengatur kehidupan manusia.

c. Niat jahat dan sesat

Seperti contohnya meyakini Allah memiliki sekutu, khamar, zina

dan riba sebagai sesuatu yang dibolehkan sehingga halal dilakukan. Dan

meyakini sholat itu tidak diwajibkan atau sebagainya atau meyakini

keharaman sesuatu yang jelas disepakati kehalannya dan sebaliknya. Niat

jahat dan sesat dapat menjadi murtad adalah dapat terjadi melalui

keyakinan, seperti meyakini bahwa alam ini telah ada sebelum adanya

Allah, Allah ada setelah adanya alam, antara khalik dan makhluk dapat

bersatu dan Al- Qur‟an tidak berasal dari Allah.81

Perbuatan- perbuatan penodaan tersebut dalam istilah agama disebut

dengan kata “sabba” dengan arti menghina/mencaci-maki. Sebagaimana

dalam firman Allah dalam surat al-An‟am ayat 108 yang berbunyi:

             

            
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan.”

Ayat ini bertujuan untuk memperingatkan umat Islam, agar mereka

tidak mencaci, mencerca, dan memaki orang-orang musyrik yang tidak


81
Adnani, Penodaan Agama: Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum Pidana Di
Indonesia, AL QADHA Jurnal Hukum Islam dan Perundang-undangan, Vol. 4 No. 1 Tahun 2017,
hal 12-13
menyembah Allah, atau yang menyembah selain Allah, sebab nanti mereka

akan memaki melebihi dari makian umat Islam terhadap mereka. 82 Ayat ini

menunjukkan larangan terhadap penghinaan, tindakan mencaci maki sesuatu

yang diagungkan atau dimuliakan. Sekalipun terhadap suatu keyakinan yang


83
salah. Larangan memaki Tuhan dan kepercayaan pihak lain merupakan

tuntunan agama guna memelihara kesucian agama dan guna menciptakan rasa

aman serta hubungan harmonis antar-umat beragama. Manusia sangat mudah

terpancing emosinya bila agama dan kepercayaannya disinggung. Ini

merupakan tabiat manusia, apapun kedudukan sosial atau tingkat

pengetahuannya, karena agama bersemi di dalam hati penganutnya, sedangkan

hati adalah sumber emosi.84

Menurut Imam An-Nawawi dalam kitab Minhaj al Thalibin, murtad

adalah memutuskan keislaman baik dengan niat, ucapan, perbuatan yang

menyebabkan kufur atau secara yakin menghina dan menentang baik dengan

ucapan atau perbuatan, barang siapa yang tidak mengakui para utusan Allah,

mendustakan salah seorang utusan Allah, menghalalkan sesuatu yang secara

ijma‟ telah dinyatakan haram, seperti berzina atau sebaliknya (mengharamkan

sesuatu yang telah dinyatakan halal secara ijma‟) seseorang yang tidak

mengakui kewajiban yang telah disepakati atau sebaliknya (mengakui sesuatu

yang secara ijma‟ tidak dianggap wajib) sebagai suatu kewajiban, seseorang

berniat akan melakukan kekufuran, maka semua itu bisa menjadi kafir,

perbuatan yang bisa berakibat pelakunya dianggap kafir adalah apa yang
82
Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2011), hal 411
83
Muhammad Dahri, Tindak Pidana Penodaan Agama…, hal 61
84
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal 607
diniatkan dalam rangka menghina agama secara terang-terangan atau secara

tegas menolak agama tersebut, seperti melemparkan mushaf al-Qur‟an

ketempat yang kotor (menjijikan) dan seperti sujud kepada berhala atau

matahari.85

Setiap muslim wajib memuliakan dan mensucikan al-Qur‟an, hal ini

telah disepakati oleh para ulama. Oleh karena itu, siapa saja yang berani

menghina al-Qur‟an berarti telah melakukan dosa besar, sebagaimana firman

Allah SWT dalam surat Al-Jatsiyah ayat 9 yang berbunyi:

            
“Dan apabila Dia mengetahui barang sedikit tentang ayat-ayat Kami, Maka
ayat-ayat itu dijadikan olok-olok. Merekalah yang memperoleh azab yang
menghinakan.”

Apabila orang yang menyombongkan diri itu mengetahui sedikit

tentang ayat Allah, seluruh ayat-ayat Allah dijadikan sebagai bahan olokan

dan hinaan. Orang-orang pendusta yang penuh dengan dosa seperti itu akan

memperoleh azab yang menghinakan. Dalam ayat lain dijelaskan dalam surat

At-Taubah ayat 12 yang berbunyi:

          

        


“Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan
mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-
orang kafir itu, karena Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang
tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti”

85
Adnani, Penodaan Agama: Studi Komparatif Hukum Islam..., hal 10
Allah berfirman dalam Al-Qur'an surah Al Baqarah ayat 9 yang

berbunyi:

          
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, Padahal
mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar”

Allah memperingatkan bagi penoda agama dalam surah at-Taubah ayat

65 yang berbunyi:

          

   


“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan
itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya Kami hanyalah
bersenda gurau dan bermain-main saja. Katakanlah: “Apakah dengan Allah,
ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”

Dan Allah memberi ganjaran bagi orang-orang yang mengolok-olok

yang sama dengan menodai agama tersebut dalam Surah at-Taubah ayat 66

yang berbunyi:

             

   


“Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. jika Kami
memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan
mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang
selalu berbuat dosa”

Penistaan dalam agama Islam Secara syariat ialah sikap keluar dari

agama Islam dengan kekufuran baik berupa niat, ucapan, maupun perbuatan

yang disertai keyakinan,penentangan, atau penghinaan. Misalnya sikap tidak


mengakui Allah sebagai pencipta, mengingkari seorang nabi, menolak suatu

yang telah disepekati, sujud kepada makhluk, dan ragu-ragu dalam kekufuran.

C. Analisa penulis

Perumusan ketentuan delik penodaan terhadap agama dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dimasukkan dalam kelompok

kejahatan penghinaan, karena penodaan disini mengandung sifat penghinaan,

melecehkan, meremehkan dari suatu agama. Karena itu menyakitkan perasaan

bagi umat pemeluk agama yang bersangkutan, sehingga unsur hal ini

memenuhi unsur yang ada dalam ketentuan Pasal 156 a KUHP yang terdiri

dari mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat

permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama di muka

umum.

Dalam kasus penistaan agama ini kita kembali kepada Pancasila dan

konstitusi karena jutaan rakyat Indonesia tersakiti oleh pelaku penista agama.

Sakitnya rakyat ini terobati apabila Pancasila dan konstitusi ditegakkan.

Negara Indonesia mempunyai ideologi Negara yaitu Pancasila sebagai dasar

Negara, dimana sila pertama berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa” artinya

petunjuk bahwa agama dalam pandangan Negara Indonesia sangat sakral,

maka dengan itu agama dilarang dimain-mainkan. Negara harus memberikan

hukuman sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam tindak pidana penistaan agama dimasa yang akan datang

seharusnya negara menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru

yang berorientasi pada ide-ide pancasila yang mengandung nilai moral,


kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan sosial. Perlindungan yang

harus dilindungi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah perasaan

hidup keagamaan, ketentraman hidup beragama seperti tertera dalam

pancasila. Selain itu, undang-undang harus memberikan perlindungan kepada

penganut agama yang ada di Indonesia agar merevisi undang-undang tentang

penistaan agama sehingga lebih terperinci. Sebab seluas apapun kebebasan

seseorang akan tetap dibatasi oleh kebebasan orang lain. Kebebasan yang

melahirkan perdamaian itu adalah kebebasan yang di dalamnya tidak ada

penistaan, pelecehan, dan menyudutkan figur agama atau terhadap kesucian

agama.

Bentuk penodaan Agama dalam Islam adalah penodaan agama yang

disebut dari tiga unsur yaitu dari perkataan, perbuatan dan dari niat yang jahat

dan sesat yang menghina Allah, menghina Rasul dan menghina ajaran Islam.

Bentuk penodaan agama dalam hukum pidana di Indonesia adalah Dengan

sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan, melakukan perbuatan yang

bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama

yang dianut di Indonesia. Di dalam hukum Islam, setiap perkataan, perbuatan

yang mencela Allah, menghina Rasul dan menghina agama bisa dikatakan

murtad, maka hukum bagi orang murtad hukuman mati.

Adapun perbandingan antara hukum Islam dan Perundang-undangan di

Indonesia terletak pada tujuannya. Dalam Islam bertujuan untuk memelihara

ad-diin, sementara perundang-undangan untuk menjaga ketertiban umum,

sebab Indonesia beragam agama. Adapun pada sanksinya, dalam Islam


dikenakan hukuman ta‟zir, karena hukuman penodaan agama tidak terdapat

kriterianya di dalam al-Qur‟an maupun Hadist. Sementara perundang-

undangan, memandang perbuatan itu dilakukan dengan disengaja, pelaku

penodaan agama dihukum apabila tidak mau diberi peringatan keras dan

membubarkan alirannya, dan sanksi yang diberikan hukuman penjara selama-

lamanya lima tahun.

Peraturan mengenai persoalan kebebasan beragama sejalan antara

pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dengan konsep Islam seperti dalam Al-Quran

surah Al-Baqarah ayat 256 yaitu memberikan kebebasan bagi manusia rakyat

Indonesia untuk memilih dan menjalankan agamanya. Namun yang dilarang

adalah melakukan penodaan, penghinaan, atau pelecehan terhadap agama.

Demikian pula dalam UU No.1 PNPS Tahun 1965 dan KUHP 156 a sejalan

dengan Al-Quran surat Al-an‟am ayat 108 tentang dilarangnya melakukan

penodaan terhadap agama.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian pada bab-bab sebelumnya dapat penulis simpulkan

sebagai berikut:

Bentuk-bentuk penodaan agama dalam hukum pidana di Indonesia

yaitu terdiri dari penodaan terhadap Tuhan dan Nabi, penodaan terhadap kitab

suci, penodaan terhadap simbol-simbol agama dan penodaan terhadap

pimpinan agama. Bentuk-bentuk penodaan Agama dalam hukum Islam yang

dilihat dari unsur-unsurnya adalah perkataan, perbuatan dan dari niat yang

jahat dan sesat yang menghina Allah, menghina Rasul dan menghina ajaran

Islam. Di dalam hukum Islam, setiap perkataan, perbuatan yang mencela

Allah, menghina Rasul dan menghina agama bisa di katakan murtad, maka

hukum bagi orang murtad hukuman mati.

Adapun perbandingan antara hukum Islam dan Perundang-undangan di

Indonesia terletak pada tujuannya. Dalam Islam bertujuan untuk memelihara

ad-diin, sementara perundang-undangan untuk menjaga ketertiban umum,

sebab Indonesia beragam agama. Adapun pada sanksinya, dalam Islam

dikenakan hukuman ta‟zir, karena hukuman penodaan agama tidak terdapat

kriterianya di dalam al-Qur‟an maupun Hadis. Sementara perundang-

undangan, memandang apabila perbuatan itu dilakukan dengan disengaja,

pelaku penodaan agama dihukum apabila tidak mau diberi peringatan keras
dan membubarkan alirannya, dan sanksi yang diberikan hukuman penjara

selama-lamanya lima tahun.

Peraturan mengenai persoalan kebebasan beragama sejalan antara

pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dengan konsep Islam seperti dalam al-Qur‟an

surah Al-Baqarah ayat 256 yaitu memberikan kebebasan bagi manusia rakyat

Indonesia untuk memilih dan menjalankan agamanya. Namun yang dilarang

adalah melakukan penodaan, penghinaan, atau pelecehan terhadap agama.

Demikian pula dalam UU No.1 PNPS Tahun 1965 dan KUHP 156 a sejalan

dengan al-Qur‟an surat Al-An‟am ayat 108 tentang dilarangnya melakukan

penodaan terhadap agama.

B. Saran

1. Kepada pemerintah untuk melahirkan undang-undang yang dapat memberi

perlindungan kepada penganut agama yang di Indonesia dan yang hidup

toleran atau pemeluk agama agar merevisi undang-undang tentang

penodaan agama sehingga lebih terperinci. Dan dapat melahirkan KUHP

yang baru yang berorientasi kepada ide dasar pancasila yang nilai moral,

kemanusiaan, kebangsaan, keadilan sosial bagi seluruh pemeluk agama.

2. Kepada Majelis Hakim yang menjatuhkan hukuman bagi penodaan agama

supaya putusan tersebut dapat memberi keadilan kepada pemeluk agama

dan menjadi preventif agar tidak terulang kembali kesalahan yang sama.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

AD Damsyiqi, Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi. 1997. Asbabul Wurud 1 Latar


Belakang Historis Timbulnya Hadist-hadist Rasul, diterjemahkan oleh
M. Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim. Jakarta: Kalam Mulia. Cet 4

Adare, Randy A. 2013. Delik Penodaan Agama Di Tinjau Dari Sudut Pandang
Hukum Pidana Di Indonesia. Jurnal Lex Et Societatis Vol. 1 No. 1

Adnani. 2017. Penodaan Agama: Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum
Pidana Di Indonesia. Jurnal Hukum Islam dan Perundang-Undangan Vol.
4 No. 19

Al-„Asqalany, Imam Al-Hafidz ibnu Hajar. 2012. Bulughul Maram Five in One,
ditejemahkan oleh Luthfi Arif, dkk. Jakarta: PT. Mizan Publika, 2012.
cet 1

Al-Faifi, Sulaiman bin Ahmad bin Yahya. 2014. Ringkasan Fiqih Sunnah Sayyid
Sabiq, diterjemahkan oleh Abdul Majid, dkk. Jakarta: Beirut Publishing

Andriasari, Dian. 2017. Kritik Terhadap Penerapan Pasal 156a KUHP Ditinjau
dari Perspektif Kehidupan Demokrasi Di Indonesia Vol 3 No 2

Anggraeny, Kurnia Dewi. 2017. Penafsiran Tindak Pidana Peodaan Agama


Dalam Perspektif Hukum. Jurnal Era Hukum Vol. 2 No. 1

Ash-Shan‟ani, Muhammad bin Ismail Al-Amir. 2012. Subulus Salam Syarah


Bulughul Maram jilid 3, diterjemahan oleh Ali Nur Medan, dkk. Jakarta:
Darus Sunnah Press

Cahzawi, Adami H. 2009. Hukum Pidana Positif Penghinaan. Surabaya: PMN

Christianto, Hwian. 2011. Arti Penting Pemberlakuan UU No. 1/PNPS/1965.


Jurnal Yusidial, Vol. 41 No. 3

Christianto, Hwian. 2013. Arti Penting UU No. 1/PNPS/1965 Bagi Kebebasan


Beragama. Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 1

Dahri, Muhammad. 2017. Tindak Pidana Penodaan Agama di Indonesia, AT-


TAFAHUM: Journal of Islamic Law Vol. 1 No. 2

Doi, A Rahman I. 2002. Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah. Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada

Hadi, Sutriso. 1987. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset


Hamzah, Andi. 1985. Delik-delik Tersebar Di Luar KUHP Dengan Komentar.
Jakarta: Pradnya Paramita

Harahap, Yulkarnain dan Supriyadi. 2008. Aliran Sesat Dalam Perspektif Hukum
Pidana Islam Dan Hukum Pidana Nasional. Jurnal Mimbar Hukum Vol.
20 No. 3

Harmoni Jurnal Multikultural dan Multireligius. 2011. Agama dan Budaya dalam
Dinamika Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Redaksi dan Tata Usaha

Hasan, Abdul Halim. 2011. Tafsir Al-Ahkam. Jakarta: Kencana

Idami, Zahratul. 2016. Perlindungan Hukum Oleh Negara Kepada Pemeluk


Agama Di Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Ketentuan Dalam
Islam. Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 18 No. 1

Jahar, Asep saepudin, Dkk. 2013. Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian
Perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional.
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group

Jalaludin. 2004. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Jazuli, Ahmad. 2017. Penyelesaian Konflik Penodaan Agama Dalam Perspekti


Hukum Pidana Di Indonesia (Conflict Accomplishment of Blasphemy in
Indonesia`S Criminal Law Perspective). Jurnal Penelitian Hukum, Vol. 17
No. 3

Khaeruman, Badri. 2010. Hukum Islam dan Perubahan Sosial. Bandung: CV


Pustaka Setia

Lubis, Muhammad Andri Fauzzan. 2013. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap


Pelaku Tindak Pidana Penistaan Agama Melalui Jejaring Sosial Dikaitkan
Dengan Undang-undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.

Marpaung, Laden. 1997. Tindak Pidana Terhadap Kehormatan. Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada

Nurdin, Nazar. 2017. Delik Penodaan Agama Islam di Indonesia. International


Journal Ihya‟ „Ulum Al-Din Vol. 19 No.1

Prodjodikoro, Wirjono. 1986. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia. Bandung:


Eresco

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Septiani, Rina. 2017. Tindak Pidana Penistaan Agama Perspektif Hukum Islam
dan Hukum Positif Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran Vol. 17
No. 1

Setiady, Tolib. 2010. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Bandung:


Alfabeta

Shihab, Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati

Surachmad, Winarno. 1975. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito

Syarifin, Pipin. 2000. Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia

Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-garis besar Fiqh. Jakarta: Kencana

Utoyo, Marsudi. 2017. Tindak Pidana Penistaan Agama Oleh Kelompok Aliran
Indonesia. Jurnal Pranata Hukum, Vol. 7 No. 1

Wahyuningtias, Arum. 2015. Upaya HB. Jassin Dalam Penyelesaian Polemik


Heboh Sastra Cerpen “Langit Makin Mendung” Karya Kipanjikusmin Di
Majalah Sastra Tahun 1968-1970. Avatara, E-Journal Pendidikan Sejarah
Vol . 3 No. 2

Zed, Mestika. 2004. Metodologi Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia

WEBSITE
http://alialsudaer.blogspot.com/2017/04/makalah-pengertian-agama-dan-
islam.html, diakses pada tanggal 27 Februari pada pukul 21:30 Wib

http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_23_2003.htm

http://www.masjidagungtransstudiobandung.com/2016/1/20/pandangan-Islam-
penodaan-agama/,artikel dikses pada tanggal 17 Januari 2019, pukul 11.05

https://diktis.kemenag.go.id/acis/ancon06/makalah/Makalah%20Rumadi.d
oc, diakses pada tanggal 13 Maret 2019 pada pukul 10:33 Wib

https://psq.or.id/artikel/wawasan-l-qur‟an-tentang-pelecehan-terhadap-
nabi-muhammad-saw/, artikel ini diakses pada hari Selasa tanggal 09 April 2019
pada pukul 20:05 Wib

https://www.google.co.id/amp/s/m,liputan6.com/amp/3626152/perjalanan-
kasus-penodaan-agama-karena-volume-azan-hingga-jatuh-vonis-18-bulan-
penjara, diakses pada tanggal 16 Agustus 2019 pada pukul 12:20 Wib
https://www.google.co.id/amp/s/www.idntimes.com/news/indonesia/amp/
gregorius-pranandito/perjalanan-kasus-ahok-bermula-dari-pidato-hingga-
akhirnya-di-penjara, diakses pada tanggal 17 Agustus 2019 pada pukul 11:40 wib

https:/www.kompasiana.om/habibur_rohman27/5891e353109773d91456d
74c/penodaan-agama dalam-sudut-pandang-undang-undang-dan-perspektif-islam,
diakses pada tanggal 05 Maret 2019 pada pukul 10:58 Wib

https:www.bbc.com/indonesia/trensosial-38001552, artikel diakses pada


tangal 17 Januari 2019 pukul 12.00

Anda mungkin juga menyukai