PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
KUHP Indonesia yang diadopsi Wetboek van Strafrecht (WvS) dari Belanda
tidak mengenal Tindak Pidana Penodaan Agama. Oleh sebab itu, dilatarbelakangi
desakan Golongan Umat Islam yang pada saat itu kuatir dengan maraknya
kelompok-kelompok keyakinan yang sembarangan menafsirkan ajaran agama,
terutama agama Islam dengan Al-Quran sebagai rujukan utama pedoman hukum dan
kehidupan lainnya, selanjutnya Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan
Presiden Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama yg ditandatangani 27 Januari 1965, akan tetapi baru tanggal 5 Juli
1969 dinyatakan sebagai Undang-Undang melalui Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1969
tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden Presiden dan Peraturan Presiden
sebagai Undang- Undang oleh Presiden Soeharto.
Oleh sebab itulah, dari aspek HAM, banyak kelompok-kelompok dan aktivitis
HAM yg kemudian menentang pemberlakuan Delik Penodaan agama ini karena
1
dianggap bertentangan dengan Konstitusi atau Konsep dan Pasal yang ada di UU
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yg menyatakan setiap orang berhak meyakini
agama dan kepercayaan yg diyakininya. Sehingga tidak boleh orang dipidana karena
keyakinannya tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
2
BAB II
PEMBAHASAN
Ada 3 (tiga) jenis sanksi yang berlaku dalam delik penodaan agama, yakni: 1.
Sanksi Administratif, 2. Sanksi Administratif berujung Pidana, dan 3. Sanksi Pidana.
Ketiga jenis sanksi tersebut dapat ditemukan dalam Penetapan Presiden Nomor
1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan
Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pasal 1 Penpres a quo menyebutkan bahwa: Setiap orang dilarang dengan sengaja
di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum,
untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-
pokok ajaran agama itu. Jika delik tersebut diuraikan, maka ada 2 jenis tindak
pidana yang terdiri beberapa unsur yang menyusun konstruksi Pasal tersebut, yakni:
1. Setiap orang;
2. Dilarang;
3. Sengaja;
4. Di muka umum;
3
7. Penafsiran tersebut menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama.
1. setiap orang;
2. Dilarang;
3. Sengaja;
4. Di muka umum;
Jadi jelas, dari sudut pembuktian Pidana, unsur yang paling penting dari Pasal 1 ini
adalah kesengajaan dan kemurnian ajaran agama dengan masing-masing
perbuatan berupa Melakukan Kegiatan Penafsiran dan Kegiatan yang
menyerupai kegiatan keagamaan.
Ada tingkatan sanksi yang dijatuhkan atas pelanggaran Pasal 1 ini, yakni jika terbukti
melanggar maka akan diberikan sanksi administatif berupa peringatan (Pasal 2 ayat
1 Penpres a quo) dan sanksi Administratif berupa pembubaran organisasi apabila
pelakunya berbentuk organisasi (Pasal 2 ayat 2 Penpres a quo). Apabila setelah
diberikan Sanksi Administatif masih tetap melakukan pelanggaran, maka akan
dijatuhkan sanksi pidana penjara maksimum 5 (lima) tahun (Pasal 3 Penpres a quo).
Selain jenis Tindak Pidana yang diatur dalam Pasal 1 Penpres a quo, ada juga jenis
tindak pidana penodaan agama yang lain, sebagaimana yang diatur pada Pasal 4
Penpres a quo.
4
Pasal 156a KUHP
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang
bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Dilihat dari aspek kesejarahannya, delik tindak pidana antara huruf a dengan b
masing-masing berdiri sendiri sebagai tindak pidana sebagaimana yang dimaksud
Penjelasan Pasal 4 Penpres a quo. Huruf a dikenal dengan tindak pidana penistaan
agama, sedangkan b tindak pidana mengajak orang menjadi atheis atau tidak
beragama.
1. Barang siapa;
2. Sengaja;
3. Di muka umum;
5
1. barang siapa;
2. Sengaja;
3. Di muka umum;
Jadi jelas, dari sudut pembuktian Pidana, unsur yang paling penting dari Pasal 156a
KUHP ini juga sama dengan Pasal 1 Penpres a quo yakni unsur kesengajaan dan
kemurnian ajaran agama.
Ada dua aspek yang sering diperdebatkan dalam menerapkan Pasal 156a KUH-
Pidana. Pertama, mengenai sikap batin atau niat. Padahal, niat ada dalam diri
manusia dan tidak seorang pun mengetahui selain yang berangkutan dan Tuhan.
Untuk menemukan ada sikap batin atau niat jahat (mens rea) seseorang harus dilihat
pada rangkaian ucapan dan perbuatan yang mencocoki rumusan delik yang dilarang
dalam Pasal 156a KUH-Pidana yang disebut perbuatan jahat (actus reus).
Artinya, niat jahat (actus reus) ditemukan pada ucapan atau perbuatan seseorang
yang dilarang dalam undang-undang sebagai unsur yang dapat dipidana.
Mengeluarkan perasaan (ucapan) atau perbuatan yang dilarang dalam Pasal 165a
(khususnya huruf-a) KUH-Pidana terkait dengan dugaan penistaan agama
adalah :...dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau
penodaan.
6
Apalagi 156a KUH-Pidana termasuk delik formil yaitu tindak pidana di mana yang
dilarang dan diancam pidana adalah perbuatan jahat (actus reus) yang mencocoki
rumusan delik.
Pengertian dengan sengaja (dolus atau opzet) dapat ditemukan pada teori yang
dikemukakan oleh para pakar hukum pidana yang terkenal dalam buku-bukunya
(Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, 1995: 266). Acapkali hakim melihat
makna frasa sengaja sebagai maksud untuk membuat sesuatu atau tidak membuat
sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.
Pemahaman ini sesuai dengan makna sengaja dalam hukum adat Indonesia dan
hukum pidana pada negara-negara penganut sistem hukum common law (Anglo
Saxon). Dalam kepustakaan hukum pidana, secara umum teori kesengajaan
dibedakan atas tiga bentuk (Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I , 1995: 235,
294, 295, dan 332).
Pertama, sengaja sebagai niat (oogmerik), sengaja melakukan delik yang sejak awal
diniatkan dalam hati. Ini diterapkan pada Pasal 340 KUH-Pidana mengenai
pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu. Kedua, sengaja sadar akan
kepastian atau keharusan (zekerheidsbe wustzijn), sengaja melakukan delik dengan
memastikan akan terjadi akibat lain dari perbuatannya.
Bentuk kesengajaan yang ketiga inilah yang digunakan terhadap dugaan penistaan
agama (Islam) yang diatur pada Pasal 156a KUH-Pidana. Sebab, seharusnya orang
yang mengeluarkan perkataan, pidato, atau perbuatan di tempat umum mengetahui
atau patut dapat menduga atau memperkirakan akan menimbulkan permusuhan
atau penodaan terhadap suatu agama yang mengganggu ketertiban umum.
Unsur Kemurnian Ajaran Agama. Dalam konteks MvT, maka yg berhak dan dimintai
pendapat adalah tokoh agama. Pertanyaannya bagaimana jika aparat penegak
7
hukum diperdengarkan banyak penafsiran yg berbeda mengenai kemurnian
agama? maka yang terjadi selanjutnya adalah kewenangan subyektif aparat yang
menentukan dengan segala resiko hukumnya.
Sehingga dari sudut pembuktian hukum pidana, Delik penodaan agama ini memang
agak sulit pembuktiannya dan selalu menimbulkan kontroversi dalam penegakan
hukumnya jika melibatkan kasus-kasus perorangan yangg sifatnya insidentil dan
tidak masif serta terencana, maupun yang sifatnya organisatoris.
Malah penyidik dapat pula menerapkan Pasal 156 KUHPidana yang mengatur
penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia dengan
ancaman pidana 4 (empat) tahun penjara. Itu menjadi dasar bagi penuntut umum
menyusun surat dakwaan alternatif, yaitu dakwaan yang dirumuskan antara satu
dakwaan dan dakwaan lain yang saling mengecualikan.
Dakwaan ini memberi pilihan bagi hakim mengenai dakwaan mana yang harus
dipertanggungjawabkan oleh terdakwa. Dakwaan alternatif digunakan terhadap
dugaan tindak pidana yang mempunyai kaitan atau persinggungan atas dua atau
lebih pasal yang berkaitan corak dan ciri kejahatannya.
Unsur Kemurnian Ajaran Agama. Dalam konteks MvT, maka yg berhak dan dimintai
pendapat adalah tokoh agama. Pertanyaannya bagaimana jika aparat penegak
hukum diperdengarkan banyak penafsiran yg berbeda mengenai kemurnian
agama? maka yang terjadi selanjutnya adalah kewenangan subyektif aparat yang
menentukan dengan segala resiko hukumnya.
Sehingga dari sudut pembuktian hukum pidana, Delik penodaan agama ini memang
agak sulit pembuktiannya dan selalu menimbulkan kontroversi dalam penegakan
8
hukumnya jika melibatkan kasus-kasus perorangan yangg sifatnya insidentil dan
tidak masif serta terencana, maupun yang sifatnya organisatoris.
Dari uraian jenis delik tindak pidana yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya,
yang paling memungkinkan adalah penggunaan Pasal 156a huruf a KUHP. Dengan
kata lain ucapan- ucapan Ahok yang disampaikan pada 27 September 2016 di
Kepulauan Seribu haruslah memenuhi unsur-unsur Pasal 156a huruf a KUHP jika
ingin disebut sebagai sebuah tindak pidana penodaan atau penistaan agama.
Pasal 1 angka 5 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menyebutkan bahwa: Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam undang-undang ini. Jadi, langkah pertama Penyelidik adalah
menentukan apakah laporan yang diadukan kepada pihak Polisi mengenai ucapan-
ucapan Ahok tersebut merupakan suatu tindak pidana atau bukan.
2. Cari barang bukti pembanding: dalam hal ini video rekaman utuh pernyataan
Ahok;
4. Penguraian kalimat dari sudut bahasa atas kalimat yang dilontarkan Ahok
dengan 2 kunci pertanyaan: Yang dilakukan Ahok itu apakah memusuhi orang
9
atau memusuhi/menodai Agama? Oleh sebab itu perlu diperiksa ahli tata bahasa
Indonesia.
7. Untuk membuktikan unsur pemurnian agama, maka perlu dipanggil tokoh atau
pemuka agama Islam, yang dapat berasal dari Majelis Ulama Indonesia, NU,
Muhammadiyah, dan lain- lain tergantung kebutuhan Penyelidik. Pihak Terlapor
dan Pelapor juga berhak untuk mengajukan ahli masing-masing;
10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
11
DAFTAR PUSTAKA
http://koran-sindo.com/news.php?r=1&n=1&date=2016-11-15
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4464/delik-penghinaan-terhadap-agama
http://www.kompasiana.com/adamichazawi/penghinaan-penodaan-terhadap-
agama_55009b48a3331153735116bf
http://www.negarahukum.com/hukum/penodaaanagamaahok.html
12