Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat

(3) Undang-Undang Dasar 1945, dalam kaitannya dengan hal ini dimana setiap

warga negara yang melakukan hubungan hukum memerlukan wadah untuk

mendapatkan kepastian hukum melalui pihak yang berwenang.

Hal ini senada dengan teori residu (teori catur praja) dari van Vollenhoven

dalam bukunya Omtrek van Het Administatief Recht yang menyatakan bahwa

kekuasaan pemerintah sebagai pihak yang berwenang yang dimaksud dalam

penyelenggaraan pemerintahan mengandung makna proaktif dan memiliki empat

fungsi pemerintah, yaitu fungsi memerintah (bestuur), fungsi polisi (politie),

fungsi mengadili (justitie), dan fungsi mengatur (regelaar). Salah satu fungsinya

adalah fungsi memerintah (bestuur), dimana pada negara modern fungsi ini

mempunyai tugas yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada pelaksanaan undang-

undang saja tetapi pemerintah banyak mencampuri urusan kehidupan masyarakat,

baik dalam ekonomi, sosial budaya maupun politik.1

Oleh karenanya, pihak yang berwenang dalam hal hubungan kepidanaan

yang bersifat mengadili yang diberikan oleh pemerintah, yaitu pengadilan negeri

1
Van Vollenhoven, Pengertian Administrasi Negara dan Hukum Administrasi Negara, (Jakarta:
Pradinya Paramita 1983), hlm. 7.

1
2

untuk membuat sebuah keputusan dan mengadili setiap masyarakat yang

berhubungan dengan hukum.

Majelis hakim memiliki seperangkat otoritas hukum untuk kemudian dapat

dilimpahkan dalam memeriksa pelaku kejahatan. Di samping itu, hakim dalam

memeriksa tersangka tentu harus imparsial dan objektif agar tidak ada intervensi

terhadap keyakinan hakim yang akan mengkonstruksikan suatu hukum. Sehingga

keadilan dan kebenaran materiilnya mencerminkan proses peradilan pidana yang

komitmen dan konsisten.

Kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan, termaktub dalam Pasal 24

ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

Juga dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

(selanjutnya disebut Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman), yaitu:

“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.”

Tentunya dalam menegakkan keadilan, kebebasan seorang hakim tidak boleh

mengikuti pergerakan persepsi yang semu dari masyarakat serta tidak boleh

terjebak dalam memberikan putusan akibat mendapat tekanan publik.


3

Dengan demikian, seperti dikatakan Curzon, diyakini pula bahwa untuk

dapat mempertanggungjawabkan seseorang dan karenanya mengenakan pidana

terhadapnya, tidak boleh ada keraguan sedikitpun pada diri hakim tentang

kesalahan terdakwa.2

Indonesia merupakan negara yang mengakui berbagai macam agama dengan

diakuinya hak untuk memeluk agama tercantum dalam konstitusi Indonesia. Pasal

28E ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

merupakan bukti nyata bahwa konstitusi Indonesia melindungi hak beragama bagi

rakyatnya. Negara akan menjamin setiap kegiatan dan aktivitas keagamaan bagi

seluruh rakyat Indonesia tanpa adanya intervensi dari pihak lain. Pasal 29 ayat (2)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia juga menjadi dasar jaminan

yang diberikan oleh negara kepada warga negara untuk dapat melaksanakan

kegiatan keagamaan tanpa adanya rasa takut akan adanya intervensi pihak lain

yang mengganggu dalam melaksanakan kegiatan keagamaan.

Sejarah mencatat hukum positif pertama tentang penodaan agama diatur

dalam Peraturaan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan,

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan agama, kemudian dalam aturan tersebut

menambahkan Pasal 156a KUHP sebagai dasar pemidanaan pelaku tindak pidana

penodaan agama. Hukum positif Indonesia mengatur tentang pemidanaan bagi

pelaku tindak pidana penodaan agama diatur dalam Pasal 156a KUHP. Tujuan

2
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 2.
4

awal diberlakukan pasal ini dilatarbelakangi dari banyaknya aliran-aliran

kepercayaan serta ajaran-ajaran kebatinan yang dianggap sesat dan tidak sesuai

dengan ajaran-ajaran agama yang dianut masyarakat Indonesia.

Kasus penodaan agama yang terjadi di Sukabumi ini menyita perhatian

publik dengan cara para pelaku yang diduga melakukan penodaan agama dengan

cara menginjak kitab suci Al-Qur’an umat Islam. Pasal 156a KUHP memiliki ruas

cakupan yang luas dalam mendefinisikan tentang suatu penodaan agama, untuk itu

diperlukan adanya definisi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan penodaan

agama. Pasal 156a KUHP memberikan makna penodaan agama secara abstrak dan

luas sehingga menimbulkan adanya penggunaan pasal yang berlebihan dan

menimbulkan penafsiran pasal yang mengarah kepada suatu penafsiran pasal yang

tidak pasti kepada masyarakat manakala suatu perbuatan dapat dengan mudah

diputus dalam sidang peradilan sebagai perbuatan yang menodakan suatu agama di

Indonesia.

Majelis hakim menggunakan Pasal 156a KUHP untuk memutus tindak

pidana penodaan agama dalam dua kasus ini. Unsur tindak pidana terdiri dari dua

unsur yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif yang masing-masing unsur berdiri

sendiri dan tidak dapat digabungkan menjadi satu unsur. Perkembangan hukum

pidana terkini memisahkan unsur subyektif dan unsur obyektif tindak pidana,

dalam ilmu hukum pidana penggabungan unsur obyektif dan unsur subyektif dapat

dikaji secara mendalam untuk kemajuan ilmu hukum. Tujuan kemajuan hukum

pidana ini kemudian dapat diimplementasikan dalam sistem hukum nasional


5

sehingga hukum nasional mampu memberikan bentuk perlindungan baik dari segi

praktik maupun tepat dari segi akademis. Penggabungan unsur ini ditinjau dari

perspektif ilmu hukum pidana merupakan sebuah bentuk kemunduran dalam

perkembangan ilmu hukum.3

Sementara itu berdasarkan putusan tingkat pertama dalam putusan Nomor:

136/Pid.Sus/2022/PN. Skb., jo. 137/Pid.Sus/2022/PN. Skb., dalam amar putusan

tersebut bahwa Sri Latifah dan Cep Dika Eka Rismana dinyatakan bersalah dan

divonis hukuman penjara selama 4 (empat tahun) dan pidana denda sebesar Rp.

100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

terhadap permasalahan ini dan menuangkannya dalam bentuk penulisan hukum

dengan judul: “Analisis Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi

Pidana Bagi Pelaku Penodaan Agama Dengan Cara Menginjak Al-Qur’an

(Studi Kasus Putusan Perkara Nomor: 136/Pid. Sus/2022/PN. Skb., Jo.

137/Pid. Sus/2022/PN. Skb).”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut:

3
Kurnia Dewi Anggraeny, “Penapsiran Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Perspektif Hukum,” tersedia
di: https://www.neliti.com/publications/217569/, diakses tanggal 13 Oktober 2022.
6

1. Apa yang menjadi faktor penyebab serta akibat penodaan agama dalam kasus

perkara pidana Nomor: 136/Pid. Sus/2022/PN. Skb., jo. 137/Pid. Sus/2022/PN.

Skb?

2. Mengapa pelaku dalam kasus perkara Nomor: 136/Pid. Sus/2022/PN. Skb., jo.

137/Pid. Sus/2022/PN. Skb mendapatkan keringanan hukuman?

3. Apakah putusan perkara Nomor: 136/Pid. Sus/2022/PN. Skb., jo. 137/Pid.

Sus/2022/PN. Skb telah sesuai dengan teori pemidanaan?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka maksud dan tujuan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Maksud Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menganalisis apa yang menjadi latar belakang

terjadinya penodaan terhadap agama.

b. Untuk mengetahui alasan pertimbangan hakim mengenai peringanan

hukuman terhadap pelaku tindak pidana penodaan agama dalam perkara

Nomor: 136/Pid. Sus/2022/PN. Skb., jo. 137/Pid. Sus/2022/PN. Skb.

c. Untuk mengetahui apakah putusan perkara pidana Nomor: 136/Pid.

Sus/2022/PN. Skb., jo. 137/Pid. Sus/2022/PN. Skb., telah sesuai dengan

tujuan pemidanaan.

2. Tujuan Penelitian
7

a. Untuk memberikan pemahaman hukum dan menambah pengetahuan dalam

menunjang pengembangan ilmu bagi penulis dan pembaca khususnya

mengenai tindak pidana penodaan agama.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperdalam dan

mengembangkan ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana serta

menambah wawasan dan informasi bagi pihak-pihak yang tertarik untuk

melakukan penelitian terhadap kasus-kasus tindak pidana penodaan agama.

D. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teoritis

a. Teori pertimbangan hakim

Putusan hakim merupakan klimaks dari suatu perkara yang sedang

diperiksa dan diadili olehnya. Hakim memberikan keputusannya mengenai

hal-hal sebagai berikut:4

1) Keputusan mengenai peristiwanya, apakah terdakwa telah


melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.
2) Keputusan mengenai hukumnya, apakah perbuatan yang
dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan
apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana.
3) Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang
dapat dipidana.

Menurut Mackenzie terdapat beberapa teori atau pendekatan yang

digunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam

suatu perkara, yaitu antara lain teori keseimbangan, teori pendekatan seni
4
Sudarto (1), Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 74.
8

dan intuisi, teori pendekatan keilmuan, teori pendekatan pengalaman, teori

ratio decidendi, dan teori kebijaksanaan.5

Dalam pemeriksaan perkara, hakim juga harus memperhatikan terkait

pembuktian, karena hasil dari pembuktian tersebut nantinya akan digunakan

sebagai bahan pertimbangan untuk memutus perkara. Sebab salah satu

fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap

perkara yang diajukan kepadanya, dimana dalam perkara pidana hal itu tidak

terlepas dari sistem pembuktian negatif (negative wettelijk), yang pada

prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan

dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut undang-

undang juga ditentukan keyakinan hakim yang bersumberkan pada peraturan

perundang-undangan.6

b. Teori keadilan

Keadilan (gerehtikeit) adalah salah satu cita-cita hukum yang harus

dicapai dalam penegakan hukum sehingga menciptakan kepastian hukum.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adil adalah tidak

sewenang-wenang, tidak memihak, dan tidak berat sebelah. Adil terutama

mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas

norma-norma objektif. Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang

relatif, setiap orang tidak sama, adil menurut yang satu belum tentu adil bagi
5
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 102.
6
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, edisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017),
hlm. 256.
9

yang lainnya, ketika seseorang menegaskan bahwa ia melakukan suatu

keadilan, hal itu tentunya harus relevan dengan ketertiban umum dimana

suatu skala keadilan diakui. Skala keadilan sangat bervariasi dari satu tempat

ke tempat lain, setiap skala didefinisikan dan sepenuhnya ditentukan oleh

masyarakat sesuai dengan ketertiban umum dari masyarakat tersebut.7

Aristoteles mengartikan adil sebagai segala sesuatu yang berdasarkan

undang-undang atau sesuai dengan hukum (lawful) dan segala sesuatu yang

adil bijaksana dan jujur (fair). Sehingga orang yang dikatakan adil adalah

orang yang melakukan sesuatu berdasarkan hukum (undang-undang) dan

bertindak adil bijaksana serta jujur. Selain itu juga keutamaan yaitu ketaatan

terhadap hukum (hukum polis pada waktu itu, tertulis dan tidak tertulis)

adalah keadilan.8

2. Kerangka konseptual

Kerangka konseptual yang digunakan dalam penulisan hukum ini

dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui

keadaan yang sebenarnya. Menurut Dwi Prastowo analisis diartikan sebagai

penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu

sendiri, serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang

7
M. Agus Santoso, Hukum, Moral dan Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, (Jakarta:
Kencana, 2014), hlm. 85.
8
Aristoteles, The Nicomachean Ethics, (APA TERJEMAHAN DARI JUDUL TERSEBUT
DALAM BAHASA INDONESIANYA ………………………………..……………………....???),
diterjemahkan oleh David Ross, (New York: University Press Inc, 2009), page 81.
10

tepat dan pemahaman arti keseluruhan;9

b. Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam

menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung

keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di

samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan

sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan

cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka

putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan

dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung;10

c. Menjatuhkan adalah sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan

pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda. Menjatuhkan memiliki arti

dalam kelas verbal atau kata kerja sehingga menjatuhkan dapat menyatakan

suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian dinamis lainnya;11

d. Sanksi adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja

oleh seseorang sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan dan kesalahan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sanksi adalah tindakan tindakan

hukuman untuk memaksa seseorang menaati aturan atau menaati undang-

undang. Sanksi (punnishment) merupakan pemberian hasil yang tidak

9
Aris Kurniawan, “13 Pengertian Analisis Menurut Para Ahli,” tersedia di
http://www.gurupendidikan.com/13-pengertian-analisis-menurut-para-ahli-didunia/, diakses tanggal
17 Maret 2022.
10
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, cetakan V, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 140.
11
Peter Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontenporer, (Jakarta: Modern English Press, 2002),
hlm. 1598.
11

diinginkan (menyakitkan) untuk meminimalisir perilaku yang tidak

diinginkan;12

e. Pidana ialah nestapa yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang

melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan undang-undang

(hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa;13

f. Pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan,

dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu tidak sengajaan

seperti yang diisyaratkan oleh undang-undang telah menimbulkan suatu

akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang, baik itu merupakan

unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur obyektif, tanpa memandang

apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari

dirinya sendiri atau tidak karena gerakan oleh pihak ketiga;14

g. Penodaan adalah merupakan sebuah pertentangan akan sesuatu yang

diaanggap suci atau yang tiidak boleh diserang seperti, simbol agama,

pemimpin agama atau kitab suci agama. Umumnya bentuk dari penodaan

agama adalah perkataan atau tulisan yang menantang ketuhanan terhadap

agama yang mapan;15

h. Agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu

yang diyakininya, bahwa sesuatu lebih tinggi dari pada manusia; sebagai

12
Sahwitri Triandani, Pengaruh Tim Kerja, Stress Kerja dan Reward (Imbalan), (Pekanbaru:
LPPM, 2014), hlm. 39.
13
Sudarto (2), Hukum dan Hukum Pidana, (Jakarta: Alumni, 2007), hlm. 204.
14
Ibid., hlm. 139.
15
Kurnia Anggraeni, Op. Cit., hlm. 5.
12

sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang

terlembaga, yang kesemuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang

dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate mean hipotetiking);16

i. Menginjak adalah sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan

pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda arti dari menginjak dapat

masuk ke dalam jenis kiasan sehingga penggunaan menginjak dapat bukan

dalam arti yang sebenarnya. Menginjak memiliki arti dalam kelas verbal atau

kata kerja sehingga menginjak dapat menyatakan suatu tindakan,

keberadaan, pengalaman, atau pengertian dinamis lainnya;17

j. Al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang berisi firman Allah yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan perantara malaikat Jibril

untuk dibaca, dipahami dan diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup

bagi manusia.18

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu

penelitian dengan melakukan penelusuran data kepustakaan dengan

menggunakan data sekunder yang didukung oleh penelitian hukum empiris.

2. Sifat Penelitian

16
Daradjat Zakiyah, Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hlm. 10.
17
Peter Salim, Op. Cit., hlm. 98.
18
Ibid., hlm. 3.
13

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa pembahasan

dilakukan dengan cara menyajikan dan menggambarkan suatu data secara

lengkap, terperinci dan sistematis, kemudian terhadap data tersebut dianalisis

dengan menggunakan teori-teori ilmu hukum dengan melakukan pendekatan

secara yuridis dan komprehensif

3. Teknik pengumpulan data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data

sebagai berikut:

a. Penelitian kepustakaan (library research)

Yaitu mengumpulkan data dengan cara mencari, mempelajari dan

memahami buku-buku yang berhubungan dengan materi penulisan hukum

yang dilakukan oleh penulis yang dilakukan di Perpustakaan Fakultas

Hukum Universitas Pakuan dan perpustakaan nasional.

b. Penelitian lapangan (field research)

Penelitian lapangan (field research) yaitu mempelajari secara intensif

tentang latar belakang keadaan sekarang, dan interaksi suatu sosial, individu,

kelompok, lembaga, dan masyarakat. Untuk memudahkan dalam

pengambilan data lapangan penulis mempergunakan metode pengumpulan

data dengan cara wawancara dengan hakim di penngadilan negeri kota

sukabumi. Wawancara (interview) merupakan teknik pengumpulan data

yang digunakan penulis untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan

melalui bercakap-cakap dan bertatap muka dengan pihak terkait yang


14

berkompeten sehingga dapat menunjang kelancaran dalam penulisan hukum

ini.

4. Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan menggunakan

kata-kata dan kalimat-kalimat dengan tujuan agar tersusun suatu materi

pembahasan yang sistematis dan mudah dipahami atau dimengerti.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan hukum ini terdiri dari 5 (lima) bab. Setiap bab terbagi menjadi

beberapa sub bab. Adapun perinciannya sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam Bab I ini penulis akan menjelaskan tentang latar belakang

masalah, identifikasi masalah, maksud dan tujuan penelitian, kerangka

pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENODAAN

AGAMA

Dalam Bab II ini penulis akan menjelaskan tentang pengertian dan unsur

tindak pidana, jenis tindak pidana, serta pengertian dan jenis sanksi

pidana, dan proses penyelesaian perkara pidana.

BAB III PEMIDANAAN PELAKU TINDAK PIDANA PENODAAN

AGAMA
15

Dalam Bab III ini penulis akan menjelaskan tentang sistem teori

pembuktian, jenis putusan hakim, pengaturan tindak pidana penodaan

agama, pengertian dan sistem teori pemidanaan, serta menjelaskan

mengenai peringanan sanksi pidana dalam KUHP, di luar KUHP dan

keadaan tambahan dalam proses persidangan yang menjadi

pertimbangan hakim.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN PADA PERKARA NOMOR:

136/PID.SUS/2022/PN. SKB., JO. 137/PID.SUS/2022/PN. SKB

Dalam Bab IV ini penulis akan menganalisis kasus posisi, pertimbangan

hakim dalam putusan perkara Nomor: 136/Pid.Sus/2022/PN. Skb., jo.

137/Pid.Sus/2022/PN. Skb., serta kendala dan upaya penanggulangan

dalam penyelesaian kasus tindak pidana penodaan agama.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab V merupakan penutup dari penulisan hukum ini, yang terdiri dari

kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi tentang jawaban atas

pertanyaan dalam identifikasi masalah, sedangkan saran berupa

pendapat dan ungkapan kepedulian penulis yang ditujukan kepada

penegak hukum dan masyarakat.


16

Anda mungkin juga menyukai