Anda di halaman 1dari 15

ANALISIS PERBEDAAN SISTEM PEMIDANAAN PADA KUHP DAN KUHP

NASIONAL

Mata Kuliah: Hukum Pidana Kodifikasi

Dosen Pengampu: Dr. Anita Zulfiani, S.H, M.Hum.

Disusun Oleh: Annisa

Ayu Rachmawati

E0022058

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hukum pidana di Indonesia selama berpuluh-puluh tahun masih
menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) peninggalan
kolonial Belanda, yang bahkan di Belanda sudah tidak dipakai tetapi di
Indonesia masih tetap dipertahankan sebagai peraturan perundang-undangan
untuk mengatur tindak pidana sebab di Indonesia belum mempunyai KUHP
Nasional.
KUHP peninggalan kolonial Belanda termasuk sistem hukum
kontinental (civil law system) yang mana sistem hukum tersebut lebih
menonjolkan paham individualism, liberalism, and individual rights, hal
tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Seiring dengan perkembangan manusia dan kemajuan teknologi di
Indonesia, peraturan pidana pada KUHP sudah tidak sesuai lagi untuk
diterapkan. Terdapat beberapa pasal pada KUHP lama yang tidak lagi sesuai
dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Maka dari itu diperlukan
pembaharuan hukum pidana Indonesia dengan membentuk KUHP Nasional.
Usaha para ahli hukum pidana untuk pembentukan KUHP Nasional
sudah ada sejak tahun 1963 melalui sebuah seminar nasional, yang
menyerukan rancangan kodifikasi hukum pidana nasional diselesaikan dengan
waktu yang sesingkat-singkatnya. Berawal pada tahun 1970 pemerintah mulai
untuk membuat RUU KUHP yang dirancang oleh tim yang berisi sejumlah
Guru Besar Hukum Pidana Indonesia pada saat itu. Namun perjalanan
pembuatan KUHP Nasional ternyata tidak semudah yang diperkirakan,
pembahasan terus berlanjut hingga tahun 2022. Meskipun dalam perjalanan
pengundangan KUHP Nasional mengalami beberapa kendala karena pro-
kontra dalam masyarakat, akhirnya sebuah produk hukum pidana yang
bercirikan Bangsa Indonesia disahkan pada akhir tahun 2022.
Berbagai respons pun muncul usai disahkannya KUHP Nasional ini,
terdapat pro-kontra dalam masyarakat, karena dianggap KUHP Nasional
masih
terdapat beberapa pasal yang kontroversial, antara lain seperti; masalah
pengaturan pidana denda, masalah penghinaan pemerintah, masalah pidana
mati, dan lain sebagainya.
Selain masih terdapat pasal-pasal yang kontroversial, yang menjadi
sorotan publik ialah, KUHP Nasional memuat beberapa poin yang mengubah
aturan lama atau KUHP lama. Tercatat terdapat 13 perubahan mencolok antara
KUHP dan KUHP Nasional, antara lain sebagai berikut; tentang alasan
penghapus pidana, tentang pertanggung jawaban pidana, tentang delik adat,
tentang pidana mati, dan sebagainya.
Aturan pada KUHP Nasional ini menggantikan aturan hukum pidana
sebelumnya, yang telah digunakan selama kurang lebih 104 tahun lamanya.
Oleh karena terdapat beberapa perbedaan antara KUHP dan KUHP Nasional,
maka pada pembahasan makalah ini penulis memfokuskan pada perbedaan
pidana mati pada KUHP dan KUHP Nasional

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa urgensi pembaharuan hukum pidana Indonesia?
2. Bagaimanakah sejarah pembentukan KUHP Nasional?
3. Bagaimanakah perbedaan sistem pemidanaan dalam KUHP dan KUHP
Nasional?
C. TUJUAN MAKALAH
1. Untuk mengetahui urgensi pembaharuan hukum pidana Indonesia.
2. Untuk mengetahui sejarah pembentukan KUHP Nasional.
3. Untuk mengetahui perbedaan sistem pemidanaan dalam KUHP dan KUHP
Nasional.
D. METODE PENELITIAN

Metode penulisan yang digunakan penulis dalam makalah ini adalah


pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Teknik pengumpulan
data penelitian ini dilakukan melalui penelusuran kepustakaan secara konvensional
dan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif karena
data disajikan dalam secara naratif-deskriptif.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

Hukum pidana merupakan keseluruhan hukum yang mengatur semua


perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan disertai dengan ancaman pidana bagi
yang melanggar, menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah
melakukan tindak pidana dapat dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan, dan menentukan dengan cara begaimana pengenaan pidana tersebut
dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka melakukan tindak pidana.

Jika kita melihat sejarah hukum pidana di Indonesia, udah berpuluh-puluh


tahun lamanya hukum pidana Indonesia masih mempertahankan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan warisan Pemerintah Kolonial
Belanda sebagai peraturan perundang-undangan untuk mengatur tindak pidana.

Seiring dengan perkembangan manusia dan kemajuan teknologi di Indonesia,


KUHP dinilai sudah tidak cocok untuk digunakan lagi. Dilihat dari fakta bahwa
baknyaknya kejahatan-kejahatan baru yang muncul saat ini belum diatur didalam
KUHP, hal tersebut membuat KUHP dinilai semakin lemah dalam mengatasi
kejahatan-kejahatan jenis baru itu. Kondisi tersebut tentunya dapat menghambat
proses penegakan hukum pidana di Indonesia. Oleh karena itu maka perlu dikaji lebih
mendalam lagi mengenai urgensi pembaharuan hukum pidana Indonesia.1

Urgensi pembaharuan hukum pidana bisa dilakukan dengan meninjau berbagai


aspek seperti, aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, dan juga sosiokultural atau bisa juga
dari berbagai aspek lainnya seperti kebijakan sosial, kebijakan penegakan hukum,
serta kebijakan krimial yang memiliki arti bahwa pembaharuan hukum pidana
pada

1
Remaja, G. 2019. Rancangan KUHP Nasional Sebagai Rancangan Pembaharuan Hukum Pidana Yang
Perlu
hakekatnya merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap
berbagai aspek dan kebijakan yang menjadi landasan pembaharuan.2

Barda Nawawi berpendapat bahwa makna dan hakikat pembaharuan


hukum pidana dapat:

1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan:

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial bahwa pembaharuan hukum


pidana merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial.

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal bahwa pembaharuan hukum


pidana merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat.

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum bahwa pembaharuan


hukum pidana merupakan bagian dari upaya pembaharuan substansi dalam
rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.

2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai, pembaharuan hukum pidana merupakan


upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai sosio
politik, sosio filosofis dan sosio kultural yang melandasi dan
memberi isi terhadap muatan normatif serta substansi hukum pidana.

Pembaharuan hukum pidana sudah menjadi suatu kebutuhan yang


sangat mendesak untuk adanya perubahan mendasar dalam rangka
mencapai cita-cita dari pidana yang lebih baik dan lebihmelihat aspek hak
asasi manusia. Kebutuhan tersebut sejalan dengan keinginan yang kuat
untuk mewujudkan suatu penegakan hukum yang seadil-
adilnya.Sebagaimana diketahui,penegakan hukum bukanlah aktivitas yang
netral, melainkan memiliki struktur sosialnya sendiri, sehingga berbeda
dari waktu ke waktu, dari sistem ke sistem dan dari satu tempat ke tempat
lain.

2
Purti, Y. & Purwani, S. 2020. Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Jurnal Kertha Wicara 9
(8):
Di era globalisasi penegakan hukum sangat membutuhkan adanya
keterbukaan, demokrasi, perlindungan hukum terhadap Hak Asasi Manusia,
penegakan hukum dan keadilan pada keseluruhan aspek dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.

Menurut pendapat Sudarto setidaknya ada tiga argumentasi utama


mengapa pembaharuan hukum pidana sangat diperlukan, yaitu:

1. Alasan politis yaitu bahwa kelayakan Indonesia sebagai negara


merdekan memiliki KUHP yang bersifat nasional sehingga
dipandang merupakan kebanggaan tersendiri sebagai negara telah
melepaskan kedudukannya dari penjajahan Belanda.
2. Alasan sosiologis yaitu bahwa pada dasarnya KUHP adalah
pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan suatu bangsa.
3. Alasan praktis yaitu bahwa pada kenyataannya teks asli Wetboek van
Strafrecht merupakanbahasa Belanda
4. Sehingga jumlah penegak hukum yang memahami bahasa Belanda
semakin lama semakin sedikit.

Berdasarkan hal tersebut maka upaya melakukan pembaharuan


KUHP bukan hanya merupakan tuntutan nasional tapi juga merupakan
kecenderungan Internasional.

Sehingga karena hal tersebut diatas pembaharuan hukum pidana


Indonesia merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar kembali
dengan alasan apapun. Problematika yang muncul terkait dengan usangnya
KUHP secara internal dan berkembangnya persoalan-persoalan yang muncul
di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara eksternal menambah
dorongan yang sangat kuat dari masyarakat untuk menuntut kepada negara
agar segera merealisasikan kodifikasi hukum pidana yang bersifat nasional
sebagai hasil jerih payah dan pemikiran bangsa Indonesia sendiri.
B. Sejarah Singkat Pembentukan KUHP Nasional

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), merupakan peninggalan


zaman Pemerintah Kolonial Belanda, nama asli dari KUHP adalah wetboek van
strafrecht voor nederlandsch indie (WvSNI). KUHP ini pertama kali diberlakukan di
Indonesia pada
15 Oktober 1915 dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 dan mulai
diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS
negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 yang diberlakukan di negara Belanda
pada tahun
1886. Meskipun WvSNI merupakan turunan dari WvS Belanda, namun oleh
pemerintah kolonial pada saat itu diterapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi
pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan
dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.3

Setelah berpuluh-pulu tahun menggunakan KUHP bikinan Pemerintah


Kolonial Belanda, masyarakat menginginkan pembaharuan hukum pidana Indonesia
dengan membuat KUHP Nasinonal yang berdasar pada nilai-nilai filosifis Bangsa
Indonesia. KUHP ini dinilai sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan manusia
dan kemajuan teknologi masyarakat Indonesia, selain itu KUHP dinilai tidak memiliki
kepastian hukum. Hal tersebut dikarenakan sejak Indonesia merdeka pemerintah
belum menetapkan terjemahan resmi KUHP, akibatnya terjadi multitafsir karena
perbedaan pemaknaan KUHP. Oleh karena iru diperlukan pembaharuan KUHP
menjadi KUHP Nasional.

WvSNI diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918, dimana pada ssat itu
Indonesia dalam masa penjajahan Belanda yang masih bernama Hindia Belanda pada
saat itu. Setelah kemerdekaan Indonesia,pemerintah mengganti sebutan WvSNI
menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP pada tahun 1946.

Upaya pemerintah untuk melakukan pembaharuan hukum pidana sudah ada


sejak lama. Upaya pemerintah yang pertama kali adalah seminar nasional pada tahun
1963, pada seminar tersebut menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana
nasional segera diselesaikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kemudian pada
tahun 1970 pemerintah mulai merancang RKUHP untuk menggantikan KUHP bikinan

3
Sjahdeini, S. 2021. Sejarah Hukum Indonesia: Seri Sejarah Hukum. Prenada Media
kolonial Belanda. Tim perancang KHUP pada saat itu diketuai oleh Prof. Sudarto dan
diperkuat oleh sejumlah Guru Besar Hukum Pidana Indonesia. Namun upaya agar
RKUHP tersebut bisa segera diserahkan kepda DPR untuk selanjutnya dibahas tidak
kunjung terwujud.

Tidak menyerah begitu saja, pemerintah membuat tim baru perancang RKUHP
pada 2004 yang dibentuk dibawah Prof. Dr. Muladi, S.H. Kemudian RKUHP tersebut
baru diserahkan oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada DPR untuk
selanjutnya bisa dibahas oleh DPR pada tahun 2012. Kemudian draf RKUHP
disepakati oleh DPR periode 2014-2019 dalam pengambilan keputusan tingkat
pertama. Namun RKUHP menimbulkan sejumlah reaksi, gelombang protes tidak
setuju oleh para pengiat hukum dan mahasiswa terhadap sejumlah pasal RKUHP.

Kemudian pada September 2019, Presiden Jokowi yang menggantikan SBY


memutuskan untuk mengesahkan RKUHP dan memerintahkan untuk peninjauan
kembali terhadap pasal-pasal yang bermasalah. Lalu secara resmi pada April tahun
2020 anggota DPR kembali melanjutkan pembahasan RKUHP.

Pembahasan RKUHP terus berlanjut hingga tahun 2022, hingga pada akhirnya
RKUHP disahkan oleh DPR pada tanggal 6 Desember tahun 2022 dan diundangkan
pada tanggal 2 Januari2023 sebagai UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, yang kemudian akan berlaku efektif setelah 3 tahun sejak
diundangkan. Sebuah perjalanan yang panjang untuk membuat undang-undang yang
berdasar pada nilai-nilai filososfis Bangsa Indonesia meskipun mendapat sejumlah
penolakan dari sejumlah masyarakat, namun yang menjadi poin terpenting adalah kita
Bangsa Indonesia akhirnya mempunyai undang-undang sendiri yang telah disesuaikan
oleh nilai-nilai yang ada di masyarakat bukan lagi undang-undang hasil dari
terjemahan
yang menimbulkan ketidakpastian hukum4.

4
Setiadi, E. 2011. Membangun KUHP Nasional Yang Berbasisi Ke-Indonesiaan. MIMBAR: Jurnal Sosial dan
Pembangunan 27 (2): 1-10
C. Perbedaan Sistem Pemidanaan Pada KUHP dan KUHP Nasional
Indonesia berhasil mempunyai KUHP sendiri setelah berpuluh-puluh tahun
lamanya menggunakan KUHP peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda, yang secara
filosofis tidak sesuai dengan nilai dan kepribadian bangsa. KUHP yang berhasil
diundangkan oleh pemerintah bersama dengan DPR pada awal tahun 2023 ini patut
untuk dicatat sebagai sebuah prestasi yang luar biasa dalam perjalanan sejarah Bangsa
Indonesia.
Aturan pada KUHP Nasional ini menggantikan aturan hukum pidana
sebelumnya, yang telah digunakan selama kurang lebih 104 tahun lamanya. KUHP
Nasional memuat beberapa poin yang mengubah aturan lama. Tercatat terdapat 13
perbedaan yang menjadi sorotan pada KUHP dan KUHP Nasional, secara terperinci
13 perbedaan tersebut antara lain sebagai berikut:
Sistem Pemidanaan adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Pidana adalah suatu reaksi atas delik
(punishment) dan berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan (sifat
negative) oleh negara atau Lembaga negara terhadap pembuatn delik. Nestapa hanya
merupakan suatu tujuan yang terdekat saja, bukanlah suatu tujuan terakhir yang dicita-
citakan sesuai upaya pembinaan (treatment). Pasal 199 KUHAP memberikan definisi
pemidanaan adalah penghukuman yang dijatuhkan berdasarkan putusan hakim

Jenis-jenis Pidana Menurut KUHP


 Pidana Pokok
1. Pidana Mati
Dalam tata urutan stelsel pidana merupaka jenis pidana yang
paling berat dan yang paling pokok, yang bertujuan untuk
melindungi kepentingan umum dalam masyarakat yang
dibahayakan oleh penjahat yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi.
Diperuntukkan terhadap kejahatan-kejahatan kejam yang
dilaksanakan oleh negara sebagai representasi korban bagi para
pelaku yang bermoral buruk.
2. Pidana Penjara
Berwujud pengurangan atau perampasan kemerdekaan
seseorang. Tujuan dari pidana penjara tidak hanya semata-mata
memberikan pembalasan terhadap perbuatan yang telah dilakukan
terpidana dengan memberikan penderitaan, tetapi juga mempunyai
tujuan lain yaitu membina dan membimbing terpidana agar dapat
kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna bagi
masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam pasal 12 KUHP diatur mengenai lamanya ancaman
penjatuhan pidana penjara:
(1) Boleh seumur hidup atau selama waktu tertentu
(2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling singkat satu
hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut
(3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan
untuk selama 20 tahun berturut-turut dalam hal kejahatan
tertentu dan hakim boleh memilih antara pidana mati,
pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu
tertentu, begitu pula batas lima belas tahun tadi dapat
dilampaui dalam hal karena ada perbarengan (concursus)
atau pengulangan (recidive) atau karena hal-hal tertentu
lainnya (ditentukan dalam pasal
52 dan 52 a LN 1958 No. 127)
(4) Pidana penjara dalam wantu tertentu tidak boleh lebih dari
dua puluh tahun

3. Pidana Kurungan
Walaupun sama-sama pidana perampasan kemerdekaan, pidana
kurungan lebih ringan daripada pidana penjara. Berdasarkan
penelitian sosiologis bahwa seorang yang menjalani pidana
kurungan tidak mengakibatkan stigma buruk dalam masyarakat
sebagaimana narapidana yang menjalani pidana penjara.
Pelaksanaan utnuk pidana kurungan ini lebih ringan daripada
terpidana penjara, dan terpidana ditempatkan di tempat yang lebih
baik daripada terpidana penjara, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Terpidana penjara dapat dipindahkan kemana saja untuk
menjalani masa pidananya, sedangkan terpidana kurungan
tanpa permintaan atau tanpa persetujuannya dan tanpa izin
dari Menteri Kehakiman tidak dapat dipindahkan ke tempat
lain (Pasal 21 KUHP).
2. Terpidana kurungan diberi kewajiban mengerjakan
pekerjaan yang lebih ringan daripada terpidana penjara
(Pasal 19 ayat (2), dan terpidana kurungan dengan biaya
sendiri boleh sekedar memperbaiki atau meringankan
keadaannya (Lembaga pistole model Perancis). Ketentuan
ini tidak ada bagi terpidana penjara (pasal 23).
4. Pidana Denda
Merupakan kewajiban membayar sejumlah uang, sebagaimana
telah ditentukan dalam putusan hakim yang dibebankan kepada
terpidana atas pelanggaran atau kejahatan yang telah dilakukannya.
5. Pidana Tutupan
Dasar hukum UU Nomor 20 Tahun 1946 Tentang Hukuman
Tutupan.
Pasal 2 ayat (2) : Dalam mengadili orang yang melakukan
kejahatan, yang diancam dengan hukuman penjara, karena
terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh
menjatuhkan hukuman tutupan.
Pada umumnya adalah untuk pelaku kejahatan politik.
Pelaksanaannya lebih baik dari pidana penjara : makanan, rokok,
pakaian
6. Pidana Tambahan (Hanya dijatuhkan setelah disamping
pidana pokok)
a. Pencabutan hak-hak tertentu (pasal 35 ayat (1) KUHP
Hak memegang jabatan, Hak memasuki Angkatan
perang, Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan, Hak menjadi
penasehat atau pengurus, wali, wali pengawas, pengampu atau
pengampu pengawas atas orang yang bukan anaknya, Hak
menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau
pengampuan atas anak sendiri, Hak menjalankan pencaharian
tertentu.
b. Perampasan barang-barang tertentu
Hanya terhadap barang-barang tertentu milik terpidana,
Barang-barang yang dirampas bersifat fakultatif, (yang
diperoleh dari kejahatan, ct: hasil pencurian, perampokan, yang
dengan sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan, ct: pisau,
belati, bahan racun, bahan atau alat yang telah diberi tujuan
sebagai hasil (tercipta) dari kejahatan, ct: bahan/alat untuk
membuat uang palsu, surat palsu, segel palsu, merk palsu)
c. Pengumuman putusan hakim
Ada publikasi ekstra misalnya dalam surat kabar, dibuat
plakat yang ditempelkan di Gedung pemerintahan dll,
pengumuman melalui siaran radio. Televisi, dlsb. Biaya
publikasi dibebankan kepada terpidana yang ditentukan
pembayarannya. Bertujuan untuk mencegah (prevensi) orang-
orang tertentu atau golongan orang melakukan beberapa jenis
delik yang sering dilakukan yaitu: melakukan penjualan barang
berbahaya, menghindarkan diri dari membayar pajak, menjual
susu yang telah dicampur dengan air, dsb. Dengan
pengumuman tersebut masyarakat luas diberitahu supaya
berhati-hati.
7. Pidana Bersyarat
Pidana bersyarat diatur dalam Pasal 14a KUHP. Pidana
bersyata ada masa percobaan, Selama masa percobaan, terpidana
diharapkan dapat memperbaiki diri dan kelakuannya, bila selama
masa percobaan terpidana tidak mengulangi perbuatan pidana atau
melakukan perbuatan pidana yang lain, maka pidana yang telah
dijatuhkan tidak perlu dijalani. Masa percobaan paling lama adalah
1 tahun.

Pemidanaan dalam KUHP Baru

Menurut KUHP Baru atau KUHP Nasional pemidanaa bertujuan untuk:

Pasal 51

1. mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma


hukum demi perlindungan dan pengayoman masyarakat;

2. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan


pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna;

3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana,


memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai
dalam masyarakat; dan

4. menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada


terpidana.
Pasal 52

Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia

Menurut KUHP Nasinoal Tindak Pidana Adalah:

Pasal 12

(1) Tindak Pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan


perundang- undangan diancam dengan sanksi pidana dan/atau
tindakan.

Disebut Double Track System atau sistem dua jalur mengenai


sanksi dalam hukum pidana, yakni jenis sanksi pidana dari satu
pihak dan jenis sanksi tindakan dipihak lain.

Sistem Pemidanaan dalam KUHP Baru

Pasal 64

Pidana terdiri atas:

1. pidana pokok;

2. pidana tambahan; dan

3. pidana yang bersifat khusus untuk Tindak Pidana tertentu yang


ditentukan dalam Undang-Undang. Pidana mati yang selalu
diancamkan secara alternatif.

Dari penjelasan diatas terlihat bahwa perbedaan sistem pemidanaan


dalam KUHP Lama dan KUHP Baru adalah dalam KUHP Baru tidak terdapat
pidana tutupan dan pidana besyarat dan juga perbedaan yang sangat mencolok
serta menarik perhatian masyarakat adalah terkait pidana mati. Dalam KUHP
Lama pidana mati sebagai pidana pokok sedangkan pada KUHP Nasional
pidana mati dirumuskan sebagai pidana “istimewa” yang pelaksanaannya
dapat ditunda dengan masa percobaan 10 (sepuluh) tahun apabila terpidana
“berkelakuan baik” maka pidana mati dapat dikonjungsi atau diubah menjadi
tindak pidana penjara seumur hidup.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Hukum pidana di Indonesia selama berpuluh-puluh tahun masih menggunakan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) peninggalan kolonial Belanda,
yang bahkan di Belanda sudah tidak dipakai tetapi di Indonesia masih tetap
dipertahankan sebagai peraturan perundang-undangan untuk mengatur tindak
pidana sebab di Indonesia belum mempunyai KUHP Nasional.
KUHP peninggalan kolonial Belanda termasuk sistem hukum kontinental
(civil law system) yang mana sistem hukum tersebut lebih menonjolkan paham
individualism, liberalism, and individual rights, hal tersebut tidak sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila. Pengaturan hukum pidana sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan kemajuan teknologi di Indonesia. Banyak pasal di KUHP lama
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Maka dari itu
diperlukan pembaharuan hukum pidana dengan adanya KUHP Nasional yang
sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Secara sosiologis KUHP lama telah ketinggalan zaman dan sering tidak sesuai
dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Dalam KUHP baru ketentuan
mengenai sistem pemidanaan sudah mengalami pembaharuan yaitu dari jenis dan
ukuran penjatuhan pidananya. KUHP baru dilatarbelakangi oleh berbagai pokok
pikiran yang secara garis besar disebut ide keseimbangan dengan menggunakan
pendekatan multi-dimensional

Yang menjadi poin penting dalam pembahasan ini adalah perbandingan


sistem pemidanan dalam KUHP Lama dan KUHP Baru, tidak terdapat banyak
perubahan dalam KIHP Baru yang membedakan hanya KUHP Baru tidak terdapat
pidana tutupan dan pidana besyarat, namun ada satu perbedaan yang sangat
mencolok dan menarik perhatian masyarakat terkait aturan pidana mati pada
KUHP dan KUHP Nasional. Yang mana pada KUHP pidana mati sebagai pidana
pokok sedangkan pada KUHP Nasional pidana mati dirumuskan sebagai pidana
khusus yang pelaksanaannya dapat ditunda dengan masa percobaan 10 (sepuluh)
tahun apabila terpidana “berkelakuan baik” maka pidana mati dapat dikonjungsi
atau diubah menjadi tindak pidana penjara seumur hidup.
DAFTAR PUSTAKA

Purti, Y. & Purwani, S. 2020. Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Jurnal
Kertha Wicara 9 (8): 1-13

Remaja, G. 2019. Rancangan KUHP Nasional Sebagai Rancangan Pembaharuan Hukum


Pidana Yang Perlu Dikritisi. Kerta Widhya Jurnal Fakultas Hukum UNIPAS 7 (2): 1-19

Setiadi, E. 2011. Membangun KUHP Nasional Yang Berbasisi Ke-Indonesiaan. MIMBAR:


Jurnal Sosial dan Pembangunan 27 (2): 1-10

Sjahdeini, S. 2021. Sejarah Hukum Indonesia: Seri Sejarah Hukum. Prenada Media

Wahyuningsih, S. 2014. Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana Materiil Indonesia


Berdasarkan Nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Jurnal Pembaharuan Hukum 1 (1): 17-23

Anda mungkin juga menyukai