Anda di halaman 1dari 30

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PEMBAHARUAN PEMIDANAAN DI


INDONESIA YANG BERWAWASAN NILAI PANCASILA

DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH


Dr. Ainul Azizah, S.H.,M.H

Oleh:

YUSTI INGGRIANI RAKMENI


NIM : 220730101007

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM


FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN 2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembaharuan hukum pidana di Indonesia terus berlangsung hingga saat ini dan telah
lama menjadi perbincangan dan kajian, baik di kalangan akademisi ataupun praktisi.
Pembaharuan hukum pidana tersebut baik berupa pembaharuan hukum pidana material,
pembaharuan hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.

Pembaharuan hukum pidana ini merupakan cita-cita bangsa untuk mewujudkan hukum
yang adil bagi masyarakat. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada saat ini
merupakan hasil dari warisan zaman kolonial Belanda yang bersifat individualisme dan
kolonialisme yang sebenarnya tidak sesuai dengan ideologi bangsa. Oleh karenanya
pendahulu menginginkan KUHP kolonial ini hanya bersifat sementara dalam mengatur
hukum pidana di Indonesia, namun ironisnya KUHP tersebut masih digunakan sampai
sekarang. Upaya untuk mengantikan KUHP warisan kolonial tersebut telah lama digagas oleh
para pakar hukum pidana, bahkan sebenarnya usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang
sudah dimulai sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, melalui Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat dilepaskan dari landasan
dan sekaligus tujuan nasional yang ingin dicapai seperti dirumuskan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya alinea ke empat
sebagai berikut:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial,Yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab,Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Dari perumusan tujuan nasional yang tertuang dalam alinea ke empat UUD NRI 1945
tersebut, dapat diketahui dua tujuan nasional yang utama yaitu
(1) untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, dan
(2) untukmemajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila.
Menurut Barda Nawawi Arief1, terlihat dua kata kunci dari tujuan nasional, yaitu
“perlindungan masyarakat” dan “kesejahteraan masyarakat”. Dua kata kunci itu identik
dengan istilah yang dikenal dalam kepustakaan/ dunia keilmuan dengan sebutan “social
defence” dan “social welfare”. Dengan adanya dua kata kunci inipun terlihat adanya asas
keseimbangan dalam tujuan pembangunan nasional. Perlu dicatat, bahwa kedua istilah ini
pun sering
dipadatkan dalam satu istilah saja, yaitu “social defence”, karena di dalam istilah
“perlindungan masyarakat” sudah tercakup juga “kesejahteraan masyarakat”.
Tujuan nasional itu tentunya merupakan garis kebijakan umum yang menjadi landasan
dan sekaligus tujuan politik hukum di Indonesia. Ini pulalah yang seharusnya menjadi
landasan dan tujuan dari setiap usaha pembaruan hukum, termasuk pembaruan hukum pidana
dan tujuan penanggulangan kejahatan (dengan hukum pidana) di Indonesia. Seminar
Kriminologi ketiga tahun 1976 dalam kesimpulannya senada dengan tujuan nasional tersebut
menyatakan:2
“Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk “social
defence” dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki
atau memulihkan Kembali (“rehabilitatie”) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan
kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat.”

Hukum pidana jika dilihat dari segi politik hukum maupun dari politik kriminal,
Sudarto,3 menyatakan bahwa Politik Hukum adalah:
Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu saat, maka kebijakan dari negara melalui badan-badan yang
berwenang dapat menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan
bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan
untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Sesuai pengertian yang telah dijelaskan oleh Sudarto, dapat kita ambil kesimpulan
bahwa, kebijakan hukum pidana dapat diartikan sebagai usaha untuk membentuk peraturan
perundang-undangan yang sesuai dengan kondisi masyarakat, tujuan utamanya yakni untuk
mencapai cita-cita bangsa Indonesia, yaitu tidak hanya mengatur warga masyarakatnya
melalui undang-undang, tetapi juga menciptakan kedamaian dan kesejahteraan, yang
dilakukan melalui lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan
terkait.
1
Barda Nawawi Arief, 2009, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Semarang, Penerbit : Universitas Diponegoro,
hal.43
2
Keputusan Seminar Kriminologi Ketiga, 26 dan 27 Oktober 1976, hal.4
3
Sudarto, 2011, Sebagaimana dikutip dalam Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Jakarta,
Kencana, hal.26
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada
hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau
politik hukum pidana juga bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari
sudut pandang politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian
kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.
Selain uraian di atas, ada faktor lain yang tidak dapat dihindari, yaitu perkembangan
masyarakat yang semakin modern menimbulkan pergeseran-pergesaran kultur serta nilai-nilai
yang ada dimasyarakat, dan kemudian tidak diimbangi dengan hukum yang ada, akibatnya
masyarakat merasakan ketidakadilan hukum yang berdampak juga pada ketidakpercayaan
terhadap penegak hukum. Artinya, penyusunan konsep rancangan KUHP baru adalah
dalam rangka menyesuaikannya dengan nilai-nilai dan keadaan masyarakat sekarang ini serta
memperhitungkan kondisi masyarakat yang akan datang. Hal ini karena KUHP yang berlaku
saat ini dianggap sudah tidak lagi menjawab permasalahan hukum yang ada di indonesia
khususnya dalam perkembangan terkini yang sudah modren cenderung menimbulkan
ketidakpuasaan masyarakat dalam dalam penegakan hukum.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di negara kita, hingga
sekarang dianggap sudah ketinggalan jaman. Beberapa ketentuan yang ada di dalamnya
dirasakan sudah kurang mampu berfungsi efektif untuk menghadapi gejala kemasyarakatan
yang tumbuh dalam masyarakat dewasa ini. Usaha pembaharuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) bagi masyarakat Indonesia tentunya memiliki dimensi-dimensi
sendiri, baik secara filosofi, politik maupun sosial
Konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) baru berupaya
menyerap berbagai kebutuhan-kebutuhan yang ada di masyarakat, mulai dari nilai-nilai adat,
agama hingga kecenderungan-kecenderungan dan seruan-seruan masyarakat internasional
yang tampak dari berbagai instrument-instrument internasional. Isi konsep Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) baru jika dibandingkan dengan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) wetboek van strafrecht voor Nederland Indie (Wvs) lama
tentu berbeda, banyak ketentuan-ketentuan baru dimunculkan yang sebelumnya tidak diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama. Ketentuan-ketentuan itu
misalnya berkaitan dengan pola penjatuhan pidana, stelsel sanksi dan sebagainya.4

4
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Penerbit : Universitas Diponegoro, hl.viiii
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Agustinus Pohan5, bahwa pembaharuan hukum
pidana Indonesia didasarkan pada alasan-alasan sebagai
berikut:

1. KUHP dipandang tidak lagi sesuai dengan dinamika perkembangan hukum pidana
nasional Indonesia.
2. Perkembangan Hukum Pidana diluar KUHP, baik berupa hukum pidana khusus
maupun hukum pidana administrasi telah menggeser keberadaan system hukum
pidana dalam KUHP. Keadaan ini telah mengakibatkan terbentuknya lebih dari satu
system hukum pidana yang berlaku dalam system hukum pidana nasional.

3. Dalam beberapa hal telah juga terjadi duplikasinorma hukum pidana antara norma
hukum pidana dalam KUHP dengan norma hukum pidana dalam undang-undang di
luar KUHP.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Sudarto, bahwa terdapat 3 (tiga) alasan
perlunya memperbarui KUHP. Yakni alasan sosiologis, politis, dan praktis (kebutuhan dalam
praktik):6

1. Dari segi politik, wajar bagi bangsa Indonesia yang sudah merdeka untuk
mempunyai KUHP sendiri karena hal itu adalah merupakan simbol (lambang) dari
kebanggaan sebagai bangsa yang telah merdeka.

2. Karena dalam teks resmi KUHP adalah berbahasa Belanda maka sehubungan dengan
hal itu, tidaklah cocok dengan Bahasa Indonesia yang sudah mendarah daging dari
Bangsa Indonesia ini.
3. Secara sosiologis, KUHP tidak mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat Indonesia. Ini tentunya bertentangan dengan masalah kebudayaan, di sisi
lain KUHP Belanda berdasarkan system kapitalisme, dan liberal. Sementara bangsa
Indonesia berdasarkan kebersamaan, kekeluargaan. Maka dari itulah sudah tidak
cocok bahwa KUHP untuk diterapkan di Indonesia.
Muladi menambahkan bahwa salah satu karakteristik hukum pidana yang
merncerminkan proyeksi hukum pidana masa yang akan dating adalah hukum pidana

5
Agustinus Pohan, Pembaharuan Hukum Pidana, diakses dari www.antikorupsi.org pada 29 maret 2023
6
Sudarto 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru, hal.66
nasional dibentuk tidak hanya sekedar atas alasan sosiologis, politis, dan praktis semata-mata
melainkan secara sadar harus disusun dalam rangka kerangka Ideologi Nasional Pancasila.7
Kebijakan yang ditempuh oleh bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembaharuan
hukum pidana melalui dua jalur yakni, pembuatan konsep rancangan kitab undang-undang
hukum pidana (RKUHP) nasional,yang maksudnya menggantikan kitab undang-undang
hukum pidana (KUHP) yang berlaku sekarang dan pembaharuan perundang-undangan pidana
yang dimaksud mengubah, menambah, dan melengkapi kitab undang-undang hukum pidana
(KUHP) yang berlaku sekarang. Pembaharuan hukum pidana, khususnya dalam hal kebijakan
hukum pidana menuntun diterapkannya sanksi pidana yang lebih efektif menanggulangi
kejahatan.
Adapun tujuan dari pada pemidanaan, sebagaimana pandangan utilitarian8 dan
pendekatan integratif adalah sebagai berikut:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat:
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang
yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat:
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat: dan
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana
sementara dalam KUHP yang baru pasal 51 Tujuan Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pelindungan dan pengayoman masyarakat;
b. memasyaralatkan terpidana dengan mengadalan pembinaan dan pembimbingan agar
menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan
keseimbangan, serta mendatangkan rasa arnan dan damai dalam masyarakat; dan
d. menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Dari beberapa uraian di atas pada dasarnya memiliki tujuan pidana yang sama, yakni
sama-sama bertujuan untuk melindungi masyarakat agar tetap mendapatkan keadilan,
kepastian dan kemanfaatan dari suatu aturan perudang-undangan baik itu kepada terdakwa
ataupun korban. Pidana merupakan sanksi yang dijatuhkan kepada seseorang sebagai upaya
7
Muladi, 1990, Proyeksi Hukum Pidana material Dimasa Yang Akan Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar
Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, hal.3
8
Muladi,1986, Jenis-Jenis Pidana Pokok Dalam KUHP, hal. 3-4
terakhir dalam sebuah perkara. Perlu atau tidaknya hukum pidana dalam masyarakat
terletak pada tujuan yang hendak dicapai pada suatu perkara.
sanksi pidana yang saat ini ada, dimuat dalam Pasal 10 KUHP, bahwa jenis pidana
ada 2 macam, yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun pidana pokok
meliputi:
a) Pidana mati;
b) Pidana penjara;
c) Pidana kurungan;
d) Pidana tutupan; dan
e) Pidana denda.
Sementara pidana tambahan meliputi:
a) Pencabutan hak-hak tertentu;
b) Perampasan barang-barang tertentu;
c) Pengumuman keputusan hakim.
Sedangkan sanksi pidana menurut KUHP Nomor 1 Tahun 2023 ditegaskan dalam pasal
65 ayat (1), yang berbunyi “Pidana pokok terdiri atas:
a. pidana penjara;
b. pidana tutupan;
c. pidana pengawasan;
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial.
Bisa kita lihat terdapat perbedaan pidana pokok KUHP dan KUHP baru Tahun 2023,
yaitu tidak adanya ketentuan pidana mati dan tambahan mengenai pidana kerja sosial. Pidana
kerja sosial merupakan salah satu kajian menarik dalam pembaharuan hukum pidana. Pidana
kerja sosial merupakan bentuk pidana dimana pidana tersebut dijalani oleh terpidana dengan
melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan Putusan
Pengadilan. Pidana kerja sosial ini tidak dibayar karena sifatnya sebagai pidana (work as a
penalty), oleh karena itu pelaksanaan pidana ini tidak boleh mengandung hal- hal yang
bersifat komersial.
Pidana kerja sosial merupakan bentuk pidana dimana pidana tersebut dijalani oleh
terpidana dengan melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan dan Putusan Pengadilan. Pidana kerja sosial ini tidak dibayar karena sifatnya
sebagai pidana (work as a penalty),oleh karena itu pelaksanaan pidana ini tidak boleh
mengandung hal- hal yang bersifat komersial.9
Berdasarkan uraian di atas sangat menarik untuk dibahas bagaimana prospek penerapan
pidana kerja sosial dalam perspektif pembaharuan hukum pidana di Indonesia, sehingga
judul yang penulis angkat adalah PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PEMBAHARUAN
PEMIDANAAN DI INDONESIA YANG BERWAWASAN NILAI PANCASILA

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa konsep dasar dimasukkannya pidana kerja sosial dalam pembaharuan sistem
pemidanaan di Indonesia?
2. Bagaimana eksistensi pidana kerja social dalam pembaharuan pemidanaan di
Indonesia?

9
Togat, 2021, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Djambatan, hal.7
BAB II
PEMBAHASAN
a. Konsep Pidana Kerja Sosial
Secara etimologis istilah pidana kerja sosial berasal dari dua kata yaitu pidana dan kerja
sosial. Secara sederhana pidana Kerja Sosial dapat diartikan sebagai suatu perbuatan hukum
yang bersifat pembebanan hukuman berupa kewajiban untuk bekerja sosial, sebab pidana
kerja sosial merupakan suatu bentuk penghukuman di mana pelaku kejahatan atau terpidana
dapat menjalani hukumannya dengan cara melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan oleh
negara. Istilah pidana kerja sosial biasanya dalam bahasan Inggris dikenal dengan dengan
istilah Community Service Order.10
Pidana kerja sosial merupakan jenis pidana yang harus dijalani oleh terpidana di luar
lembaga dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial, pidana kerja sosial ini tidak dibayar
karena sifatnya sebagai pidana (works as a penalty).
Jenis pidana kerja sosial ini merupakan pidana yang sebelumnya tidak pernah diatur
dalam hukum positif Indonesia, baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
maupun ketentuan di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Secara teoritis pidana kerja sosial mengandung beberapa dimensi yaitu:
a. Pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana kerja sosial jangka pendek. Sesuai dengan
dasar pemikiran yang melatar belakangi lahirnya jenis pidana kerja sosial, yaitu upaya
untuk mencari alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Sekalipun
dengan cara penerapan yang berbeda sebagai pidana mandiri atau sebagai syarat berkaitan
dengan penjatuhan pidana bersyarat kecenderungan internasional yang terjadi adalah
sama, yaitu menjadikan pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana perampasan
kemerdekaan jangka pendek.
b. Pidana kerja sosial sebagai alternatif sanksi apabila denda tidak dibayar. Pidana kerja
sosial dapat mengganti pidana penjara pengganti apabila terpidana denda gagal membayar
pidana dendanya. Jadi apabila ada seorang terdakwa oleh hakim dijatuhi hukuman denda
kemudian tidak dapat membayar denda tersebut, maka sebagai ganti tidak terbayarnya
denda terpidana harus menjalani pidana penjara pengganti. Pada pelaksanaannya, pidana
penjara pengganti (denda) inilah yang dapat digantikan dengan pidana kerja sosial.
10
Ibid hal. 7
c. Pidana kerja sosial dalam kerangka grasi. Beberapa negara di Eropa, pidana kerja sosial
ini dapat manjadi syarat diterapkannya grasi. Belanda misalnya, grasi dapat dijatuhkan
atau diterapkan kepada seorang terpidana dengan syarat, bahwa terpidana harus
melaksanakan pidana kerja sosial.11
Merujuk pada pendapat Muladi12, syarat yang memungkinkan untuk penjatuhan pidana
kerja sosial antara lain dikemukakan, sebagai berikut:
(1) Yang berkaitan dengan tindak pidana.
Secara umum di negara Eropa mempersyaratkan, bahwa pidana kerja sosial haya
dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang tidak terlalu berat. Persyaratan yang
mungkin diterapkan dalam penerapan pidana kerja sosial adalah persyaratan yang
berkaitan dengan si pelaku itu sendiri, misalnya usia pelaku dan criminal record
dari pelaku.
(2) Jumlah jam pidana kerja sosial.
Pada umumnya ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan tentang pidana kerja
sosial juga menyangkut pengaturan tentang minimum dan maksimum jam kerja
pidana kerja sosial yang di setiap negara bervariasi.
(3) Persetujuan terpidana.
Penerapan pidana kerja sosial yang berlaku di berbagai negara memiliki
penegasan bahwa pidana kerja sosial harus atas persetujuan terpidana. Persetujuan
terpidana ini untuk menghindari adanya pertentangan atau konflik denagan
berbagai konstitusi dan traktat yang melarang kerja paksa (force labour), agar
hakim dapat menjamin, bahwa terpidana memang mempunyai motivasi untuk
melakukan pidana kerja sosial.
(4) Isi pidana kerja sosial.
Hakim yang menjatuhkan pidana kerja sosial di pengadilan hanya menetapkan
jumlah jam dan jangka waktu yang harus dipenuhi, berapa jam pidana kerja sosial
harus dijalankan setiap harinya. Waktu pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama
yaitu:
1) 240 jam bagi terpidana yang telah berusia 18 tahun keatas.
2) 120 jam bagi terpidana yang berusia di bawah 18 tahun.

11
Muladi,1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit: Universitas Diponegoro, Semarang, Hlm 139
12
Ibid hal.139
2.1.2. Esensi Pidana Kerja Sosial
Salah satu hal yang harus diperhatikan oleh Negara, bukan hal dalam hubungannya
dengan korban kejahatan dan melainkan juga hal yang berhubungan dengan pelaku kejahatan,
tujuannya adalah dalam Negara merancang dan menetapkan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) baru yang dapat memperhitungkan tidak hak-hak hukum yang dimiliki oleh
pihak korban maupun pihak pelaku kejahatan, disamping itu juga memikirkan keterbatasan
dan kemampuan Negara dalam memberikan kepastian hukum dan keyakinan hukum bagi
korban dan keluarga korban bahwa Negara telah berlaku adil atas apa yang di alami oleh
korban maupun keluarga korban dan juga Negara dapat memberikan kepastian hukum dan
keadilan hukum bagi pelaku kejahatan atau keluarga pelaku kejahatan bahwa sanksi hukum
yang didapatkan oleh pelaku kejahatan adalah benar-benar sesuai perbuatannya sehingga
pelaku kejahatanpun merasa bahwa ini merupakan hukuman yang bersifat mendidik
(treatment) bukan berifat pembebanan hukuman (punishment).
Dalam pembahasan RKUHP berbagai pemikiran hukum banyak dimasukkan. Terlihat
dalam pemidanaan telah dipengaruhi oleh pemikiran restorative justice system yang
memasukkan pidana kerja sosial dalam RKUHP. Konsep pendekatan restorative justice
sendiri merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya
keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.
Diadopsinya pidana kerja sosial dalam sistem hukum pidana Indonesia tidak terlepas
dari tekad untuk menjadikan hukum pidana Indonesia yang tidak saja berorientasi pada
perbuatan tetapi juga berorientasi pada pelaku sekaligus. Selain itu diadopsinya pidana kerja
sosial tersebut juga merupakan upaya untuk menjadikan hukum pidana lebih fungsional dan
manusiawi, disamping sangat relevan dengan falsafah pemidanaan yang sekarang dianut
yaitu Indonesia pidana yang berasaskan tidak hanya pada falsafah hukum yang bersifat
penghukumana tetapi juga berasaskan kepada Pancasila yang lebih bersifat pada morlaitas
sistem perlakuan terhadap seorang narapidana, dengan harapan sistem pemidanaan dapat
diberlakukan tidak hanya bersifat punishment (pembebanan hukuman), melainkan juga harus
dapat bersifat treatment (pembinaan atau perbaikan karakter) dari narapidana yang sedang
menjalani hukuman.
Konsep-konsep atau dasar pemikiran dari tim perancang untuk mengadopsi pidana
kerja sosial dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yakni
1. Upaya untuk untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek.
2. Menjadikan pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana perarampasan kemerdekaan
jangka pendek.
3. Pidana kerja sosial merupakan alternative pidana yang tidak dibayar.
4. Pidana kerja sosial dapat mengganti pidana penjara apabila terpidana gagal membayar
denda.
5. Tim perancang berusaha menangkap perkembangan-perkembangan dan kecenderungan-
kecenderungan positif dunia internasional yakni mencari alternatif pidana perampasan
kemerdekaan.
6. Menjadikan hukum pidana lebih fungsional dan manusiawi.
7. Biaya perampasan kemerdekaan sangat besar. Kenyataan yang terjadi adalah bahwa biaya
operasional yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk membiayai hidup dan
kebutuhan narapidana sangatlah besar.
8. Kelebihan tingkat hunian di rutan. Diadopsinya pidana kerja sosial dalam Rancangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak terlepas dari kenyataan bahwa
jumlah narapidana di lapas semakin bertambah dan lapas tidak mampu menampung
jumlah narapidana yang semakin banyak.
Esensi atau hal-hal yang paling mendasar atau melekat pada pidana kerja sosial itu
sendiri yakni pidana kerja sosial memiliki banyak keunggulan antara lain, pidana kerja sosial
menjujung tinggi nilai-nilai Pancasila, menjunjung tinggi Hak Asasi manusia, menjadikan
terpidana menjadi lebih baik dan berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh
terpidana, membebaskan rasa bersalah pada terpidana, pidana kerja sosial tidak membuat
terpidana menderita dan pidana kerja sosial tidak merendahkan martabat manusia.
Dari hal tersebut, maka dapat kita tarik suatu pemahaman hukum yang secara positif
berpikir bahwa apabila pidana alternatif ini diterapkan di Indonesia tentunya membutuhkan
suatu konstitusi atau undang-undang yang secara jelas dapat mengaturnya sehingga kemudian
tidak menjadi bias dalam penerapannya. Hal ini penting sebab jika suatu peraturan hukum
atau suatu undang-undang jika tidak memiliki nilai dan sifat kepastian yang jelas dan dapat
mengikat bagi semua orang maka akan menjadi suatu aturan yang bersifat banci atau tidak
jelas. Oleh karena itu, maka oleh I Dewa Gede Adtmajdja menyatakan menurut K.C, Wheare
jika konsep ini dipandang dari sudut teori positivisme hukum, maka kekuatan mengikatnya
konstitusi karena merupakan norma tertinggi (presupposed) karena mendapat mengesahan
dari Grundnorm atau badan yang berwenang.13

13
I Dewa Gede Admadja; Hukum Konstitusi; Setara Press 2010; hal 50-51
Bertolak dari falsafah tersebut, maka pidana kerja sosial diharapkan dapat menjadi
alternatif pemidanaan yang efektif tanpa menghilangkan esensi dari pidana itu sendiri.
Dengan pidana kerja sosial diharapkan dampak negatif dari penerapan pidana perampasan
kemerdekaan seperti stigmatisasi, dehumanisasi dan dampak negatif yang lain dapat
dihindari. Demikian terpidana juga tetap mempunyai kesempatan untuk menjadi manusia
yang utuh tanpa harus kehilangan rasa percaya dirinya sebagai bekal dalam proses pembinaan
lebih lanjut. Sebagai jenis pidana baru dalam hukum pidana, pidana

2.1.3. Pidana Kerja Sosial Dilihat dari Kebijakan Kriminal


Dalam kerangka yang lebih luas pembaharuan hukum pidana (penal reform) pada
dasarnya merupakan bagian dari kebijakan politik atau kriminal. Karena itu maka
dipertanyakan sejauh mana pidana kerja sosial sebagai hasil reorientasi dan reformasi dalam
hukum pidana mempunyai relavansi dengan kebijakan kriminal. Pembaharuan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana
yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Berkaitan dengan kebijakan kriminal Sudarto14 mengemukakan tiga arti kebijkan
kriminal, yaitu :
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi
terhadap pelanggaran hukum berupa pidana
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk
didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi
c. Dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui
perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan
norma sentral dari masyarakat. Sementara itu berkaitan dengan arti kebijakan
kriminal, Marc Ancel merumuskan bahwa kebijakan kriminal merupakan The
rational organization of the control of crime by society.
Bertolak dari pendapat-pendapat tersebut di atas cukup jelas kiranya bahwa kebijakan
kriminal merupakan kebijakan atau upaya untuk melakukan kebijakan atau upaya untuk
melakukan pengulangan kejahatan. Upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan
menggunakan hukum pidana (upaya penal) dan tanpa menggunakan hukum pidana (upaya
non penal).15

14
Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni Bandung, hal 133
15
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, hal 4
Menurut Sudarto, untuk melihat sejauh mana pidana kerja sosial mempunyai relevansi
dengan kebijakan kriminal pada umumnya akan dilihat apakah pidana kerja sosial dapat
menunjang kebijakan penggulangan kejahatan di Indonesia. Penegasan ini perlu
dikemukakan oleh karena kebijakan kriminal pada hakikatnya merupakan “suatu usaha yang
rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan16.
Keterkaitan anatara pidana kerja sosial dengan kebijakan kriminal ini perlu dipahami
oleh pembaharuan hukum pidana yang didalamnya memuat upaya untuk melakukan
reorientasi dan reformasi terhadap sanksi pidana haruslah merupakan upaya penanggulangan
kejahatan yang bersifat terpadu. Artinya pidana kerja sosial ini tidak perlu hanya dilihat
dalam prespektif pembaharuan pidana saja, tetapi harus dilihat dalam prespektf yang lebih
luas, termasuk harus dilihat dalam prespektif kebijakan kriminal. Pembaharuan hukum pidana
sangat penting karena diharapkan agar hukum pidana dapat memenuhi tuntutan keberlakuan
baik yuridis, sosiologis maupun filosofis sebagai norma hukum yang efektif. Tututan
keberlakuan itu dimaksudkan agar hukum pidana dapat memerankan fungsinya sebagai alat
kontrol sosial terutama dalam penggulangan kejahatan. Penggulangan kejahatan dengan
menggunkan sarana hukum pidana pada ahirnya akan bermuara pada masalah pilihan
terhadap sanksi apa yang dapat digunakan secara efektif menanggulangi kejahatan. Disinilah
nampak keterkaitan pidana kerja sosial dengan kebijakan hukum pidana dan sekaligus dengan
kebijakan kriminal.

2.1.4. Pidana Kerja Sosial Dilihat Dari Aspek Tujuan Pemidanaan


Ada beberapa teori pemidanaan telah merumuskan adanya pemidanaan yang berbeda-
beda. Teori retrebutif, merumuskan bahwa tujuan pemidanaan semata-mata untuk memenuhi
ambisi balas dendam tanpa mempunyai tujuan lebih lanjut. Sementara dalam teori utilitarian
mengemukakan, bahwa tujuan pemidanaan mempunyai tujuan lebih lanjut dari sekedar
pembalasan. Menurut teori utilitarian pemidanaan mempunyai tujuan untuk prevensi, baik
yang bersifat umum maupun bersifat khusus. Diluar kedua teori ini ada teori yang bersifat
integratif, yang mengartikulasikan tujuan pemidanaan sekaligus. Menurut teori integratif,
tujuan pemidanaan bersifat plural, yaitu baik sebagai pembalasan maupun sebagai prevensi.
Menurut Prof Muladi, tentang teori pemidanaan integratif (kemanusiaan dalam sisitim
pancasila)17, bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan baik individual
maupun sosial yang disebabkan karena adanya tindak pidana. Konsepsi ini bertolak dari

16
Sudarto, 1996, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, hal.38
17
Muladi, Lembaga Pidana Beryarat, Alumni Bandung, hal, 53
asumsi dasar, bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan yang
mengakibatkan kerusakan individual dan sosial.
Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa hubungan antara penetapan saksi
pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam melakukan strategi perencanaan
politik kriminal. Menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan
cara, sarana atau tindakan yang digunakan18 . Kebijakan menetapkan sanksi pidana apa yang
dianggap paling baik untuk mencapai tujuan, setidak-tidaknya mendekati tujuan, tidak dapat
dilepaskan dari persoalan pemilihan berbagai alternatif sanksi. Masalah pemilihan barbagai
alternatif untuk memperoleh pidana mana yang dianggap paling baik, paling tepat, paling
patut paling berhasil atau efektif merupakan masalah yang tidak mudah. Dilihat dari sudut
politik kriminil, maka tidak terkendalikannya perkembangan kriminalitas yang semakin
meningkat, justru dapat disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih dan
ditetapkan.
Ketentuan mengenai pemidanaan dalam KUHP yang baru, jika dibandingkan dengan
KUHP warisan colonial belanda mengalami beberapa perubahan yang mendasar. Bagian
pemidanaan dalam KUHP yang baru memuat tentang tujuan pemidanaan, pedoman
pemidanaan, dan alasan-alasan mengenai dapat dijatuhkannya pemidanaan bagi pelaku tindak
pidana dan pengaturannya lebih lengkap.
KUHP yang baru pemidanaan dua jalur (doble track system) dimana disamping pelaku
tindak pidana dapat dijatuhi sanksi pidana (criminal punishment), dapat juga dikenakan
berbagai tindakan (treatment). Selain itu dalam jenis-jenis pemidanaan dalam RKUHP ini
juga akan bertambah dengan adanya pidana kerja sosial yang merupakan bagian dari pidana
pokok, jenis tindak pidana yang sebelumnya belum pernah dikenal dalam KUHP Indonesia.
Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
perumusan tujuan pemidanaan adalah : a. Pada hakekatnya undang-undang merupakan sistim
hukum yang bertujuan sehingga dirumuskan pidana dan atauran pemidanaan dalam undang-
undang yang pada hakekatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan b. Dilihat
secara fungsional operasioan, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan
yang konkretasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap.19
Berbagai pandangan tentang tujuan pemidanaan tersebut di atas, bahwa secara umum
tujuan pemidanaan meliputi dua aspek tujuan yaitu:

18
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, PT Alumni, Bandung, hal.95
19
Barda Nawawi, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra
Aditya Bakti, hal 113-114
a. Aspek perlindungan masyarakat, yang pada intinya meliputi tujuan mencegah, mengurangi
atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan dalam masyarakat
b. Aspek perlindungan terhadap individu, yang pada intinya meliputi tujuan untuk melakukan
rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali pelaku tindak pidana agar taat dan patuh pada
hukum. Aspek perlindungan individu ini sering disebut dengan aspek individualisasi
pidana. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu
kesatuan sistim pemidanaan, maka dirumuskan tujuan pemidanaan.
Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai “fungsi pengendalian kontrol” dan
sekaligus memberikan landasan filosofis, dasar rasionalaitas dan motivasi pemidanaan yang
jelas dan terarah.20

2.2. Eksistensi pidana kerja social dalam pembaharuan pemidanaan di Indonesia


Perkembangan sanksi pidana di Indonesia menimbulkan pertanyaan mengenai hakikat
pemidanaan. Sebagai bangsa yang memiliki falsafah Pancasila, sanksi pidana harus
dilaksanakan dengan menggunakan perspektif Pancasila untuk merumuskan apa yang baik
dan benar bagi masyarakat Indonesia. Berbagai pembaharuan sanksi pidana di Indonesia
tidak pernah lepas dari kontroversi yang dipengaruhi oleh perkembangan kemanusiaan,
khususnya terhadap pembaharuan sanksi pidana yang diajukan dalam Rancangan Undang-
Undang Kitab Undang Hukum Pidana (RKUHP).21
Sebagai bangsa yang memiliki Pancasila sebagai falsafah hidup, sanksi pidana
merupakan bagian dari sistem hukum pidana yang tidak terlepas dari sistem hukum
nasional yang berorientasi pada Pancasila yang mengandung keseimbangan antara moral
religious (ketuhanan), kemanusiaan (humanistik), kebangsaan, demokrasi, dan keadilan
social. Oleh karena itu, dalam melakukan pembaharuan sanksi pidana perlu dilakukan
pengkajian dan penggalian nilai-nilai nasional yang bersumber pada Pancasila.
Pidana kerja sosial selaras dengan sila kelima Pancasila yang di dalamnya
terkandung nilai bekerja keras dalam menjalani pemidanaan. Kerja keras adalah salah satu
sarana utama untuk menuju keadilan sosial. Pidana kerja sosial juga sesuai dengan nilai-
nilai sila kedua. Pada sila kedua tersebut terkandung nilai-nilai pengakuan terhadap
martabat manusia karena manusia Indonesia adalah bagian dari warga masyarakat dunia
yang berharkat dan bermartabat sama sebagai hamba Tuhan.

20
Barda Nawawi, 1995, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, hal 113
21
Barda Nawawi Arief, 2004, Sistem Pemidanaan dalam Ketentuan Umum Buku I RUU KUHP, Hlm.5
Manusia dituntut berlaku adil dan menghormati hak asasi lainnya dan memandang
nilai penghormatan terhadap hak dan kewajiban manusia. Pidana kerja sosial juga
terkandung nilai pengayoman, yaitu mengayomi narapidana dari pergaulan kelompok
kriminal lain yang dapat mengakibatkan narapidana bertambah jahat, mengayomi
narapidana agar dapat hidup layak di kemudian hari, dan mengayomi narapidana dari balas
dendam masyarakat atau korban kejahatan. Nilai-nilai Pancasila harus dilihat dari suatu
kebulatan karena, meskipun nilai-nilai tersebut dapat dibedakan, pada hakikatnya tidak
dapat dipisahkan.
Manfaat pidana kerja sosial bagi pelaku adalah dapat meberikan kesempatan untuk
menyumbang kepada masyarakat dengan bekerja untuk masyarakat dan memberikan
kesempatan untuk mengembangkan sikap positif, keahlian, dan kepercayaan diri. Manfaat
pidana kerja sosial bagi lembaga atau institusi yang berperan serta menyediakan tempat
untuk melakukan pidana kerja sosial adalah memberikan pelaku kesempatan untuk ikut
dalam program-program masyarakat dan mempelajarinya dan tersedianya sukarelawan
untuk membantu di tempat kerja. Sementara itu, manfaat pidana kerja sosial untuk
masyarakat luas adalah pidana kerja sosial lebih ringan biayanya dengan mempekerjakan
pelaku di dalam masyarakat daripada memasukkannya ke penjara.
Gagasan Pidana Kerja Sosial ini jika dilihat dari perkembangan hidup masyarakat
Indonesia tentunya dapat memberi makna tersendiri dalam peradaban budaya bangsa
Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila sebagai rujukan jiwa dan rohnya
bangsa Indonesia. Hal ini penting karena dalam kehidupan bangsa Indonesia setiap aturan
hukum yang dibangun, dibuat dan dikembangkan harus merujuk pada Pancasila sebagai
dasar ideologi bangsa Indonesia, sebab Pancasila sendiri merupakan rumusan negara yang
digali dan di ambil dari bumi pertiwi Indonesia. Untuk itu tentunya setiap aturan hukum
yang dibangun tidak boleh bertentangan dengan aturan dasar Indonesia adalah Pancasila
karena di dalam Pancasila mengandung unsur sosialnya, unsur moralnya, unsur
kebijakannya dan unsur keadilannya.
Unsur-unsur hukum ini tentunya sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan
hukum yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, sehingga dalam setiap rumusan
undang-undang tentunya tidak boleh mengesampingkan unsur-unsur hukum yang
dikandung dalam Pancasilan itu sendiri karena Pancasila merupakan implementasi dari jiwa
dan rohnya bangsa yang selama ini telah bertumbuh dan berkembang di Indonesia.
Unsur-unsur ini tentunya tidak terlepas dari perilaku masyarakat Indonesia selaku
sebagai manusia yang beraklak dan berbudaya, dimana dalam menjaga keharmonisan
perilaku masyarakatnya dibutukan aturan-aturan hukum yang bersifat tegas, adil dan
bijaksana dalam membangun dan membina manusianya sebagai makluk yang sosial yang
hidup bermasyarakat.
Sebagai makluk sosial yang hidup bermasyarakat tentunya dibutuhkan aturan
hukum yang dapat memberikan penegasan terhadap perilaku masyarakatnya dalam berlaku
dan bertindak, dengan kata lain bahwa untuk mengatur masyarakatnya agar dapat hidup
dengan tenang dan nyaman tentunya dibutuhkan hukum. Hal ini menurut Roscoe Pound 22
menyatakan bahwa :
Gagasan mengenai untuk apa hukum itu diadakan tidak dapat dilepaskan dari gagasan
mengenai apa sebenarnya hukum itu,
dan untuk mengetahui tujuan hukum tersebut, maka Roscoe Pound menyatakan ada
kurang lebih 12 (dua belas) gagasan yang patut diketahui dalam mengetahui apa itu
hukum. Kedua belas (12) gagasan itu antara lain:23
(1) hukum dipandang sebagai aturan atau kesepakatan aturan tentang tingkah laku
manusia yang ditetapkan oleh kuasa yang bersifat Ilahi,
(2) hukum dimaknai sebagai suatu tradisi masa lalu yang terbukti berkenang bagi para
dewa sehingga menuntun manusia untuk mengarungi kehidupan dengan selamat,
(3) hukum dimaknai sebagai catatan kearifan para orang tua yang telah menjadi suatu
ketetapan ilahi,
(4) hukum dipandang sebagai sistem prinsip yang secara filosofi, prinsip-prinsip
tersebut mengungkapkan hakekat dasar dari perilaku manusianya,
(5) hukum diartikan sebagai seperangkat aturan dan pernyataan kode moral yang abadi
dan tidak dpat diubah,
(6) hukum dipandang sebagai seperangkat perjanjian yang dibuat oleh orang-orang
yang terorganisir secara politis,
(7) hukum dipandang sebagai suatu refleksi pikiran ilahi yang menguasai alam semesta,
(8) hukum dipandang sebagai serangkaian perintah penguasa dalan suatu masyarakat
yang diorganisir secara politis,
(9) hukum sebagai sistem pedoman yang ditemukan berdasarkan pengalaman manusia
yang secara individual atau masing-masing dapat saja merealisasikan
kebebasannya masing-masing,
(10) hukum dipandang sebagai sistem prinsip yang secara filosofi dapat dikembangkan
secara perinci melalui tulisan yuristik dan putusan pengadilan,
22
Peter Mahmud Marzuki; Pengantar ilmu hukum; Penerbit Prenadamedia Group; 2013 hal, 66, 113 - 115
23
Peter Mahmud Marzuki,2013, Pengantar Ilmu Hukum, Prenadamedia, hal 66,113,116
(11) hukum dipandang sebagai suatu sistem aturan yang dipaksakan kepada siapapun
baik secara segaja maupun tidak sengaja dan
(12) hukum dipandang sebagai suatu gagasan yang ditimbulkan dari prinsip-prinsip
ekonomi dan sosial tentang tingkah laku manusia dalam masyarakat.
Sejak Indonesia merdeka, Indonesia telah memiliki Pancasila sebagai filsafat negara
Indonesia , oleh karenanya maka tujuan pemidanaan di Indonesia harus disesuaikan dengan
mengedepankan prinsip-prinsip pemidanaan dalam pandangan filsafat Pancasila yang
dilakukan sesuai dengan budaya yang dianut bangsa Indonesia dengan memperhatikan
prinsip-prinsip, sebagai berikut :
1) Pengakuan manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa sehingga wujud
pemidanaannya tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama maupun
kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Pemidanaan terhadap
seseorang harus diarahkan pada penyadaran iman dari terpidana sehingga dapat
bertobat menjadi manusia yang beriman dan taat. Dalam hal ini, pemidanaan harus
berfungsi sebagai pembinaan mental orang yang dipidana dan mentransformasikan
terpidana menjadi orang yang religius.
2) Pengakuan terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan.
Pemidanaan tidak boleh mencederai hak- hak asasinya yang paling dasar dan
jaminan atas hak hidup. Hak ini adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun (non derogable right) serta tidak boleh merendahkan martabatnya
dengan alasan apapun. Implikasinya adalah walaupun terpidana berada dalam
lembaga pemasyarakatan, unsur-unsur dan sifat perikemanusiaannya tidak boleh
dikesampingkan demi membebaskan yang bersangkutan dari pikiran, sifat,
kebiasaan, dan tingkah laku jahatnya.
3) Solidaritas kebangsaan dengan orang lain sebagai sesama warga bangsa. Pelaku
harus diarahkan pada upaya meningkatkan toleransi dengan orang lain,
memumbuhkan kepakaan terhadap kepentingan bangsa, dan mengarahkan untuk
tidak melakukan kejahatan. Dengan kata lain, pemidanaan perlu diarahkan untuk
menanamkan rasa kecintaan terhadap bangsa.
4) Menumbuhkan kedewasaan sebagai warga negara yang berkhidmat, mampu
mengendalikan diri, disiplin, dan menghargai, serta menaati hukum sebagai wujud
keputusan rakyat.
5) Menimbulkan kesadaran kewajiban setiap individu sebagai makhluk sosial yang
menjunjung keadilan bersama orang lain sebagai sesama warga masyarakat. Perlu
diingat bahwa pemerintah dan rakyat harus ikut bertanggung jawab untuk
membebaskan terpidana dari kemelut dan kekejaman kenyataan sosial yang
melilitnya menjadi pelaku tindak pidana.24

2.2.1. Eksistensi Pidana Kerja Sosial Ditinjau dari Nilai-Nilai Pancasila

Pidana kerja sosial selaras dengan Lima sila Pancasila, yaitu:

1. KeTuhanan yang maha esa. Didalam sila ke satu ini terkandung nilai KeTuhanan dan

nilai cinta kasih. yang artinya Bangsa Indonesia memberikan kebebasan pada rakyat

untuk menganut menjalankan sekaligus mengamalkan ibadah berdasarkan agama

masing masing individu tersebut. Nilai nilai yang terkandung dalam sila pertama

pancasila adalah sebagai berikut:

a. Sebuah keyakinan bahwa Tuhan itu ada dan memiliki sifat yang sempurna.

b. Memiliki ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Esa dengan cara melakukan semua

perintahNya dan menjauhi laranganNya.

c. Saling hormat menghormati antar umat beragama.

d. Adanya bentuk kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama

masing masing.

2. Sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam sila ke dua ini terkandung

nilai kemanusiaan. Didalam pancasila sila kedua memiliki arti yakni segenap bangsa

dan rakyat Indonesia diakui serta diperlakukan sebagaimana mestinya sesuai harkat

serta martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Nilai nilai pancasila ini dilandasi

pada pernyataan bahwa semua manusia memiliki derajat, martabat, hak dan kewajiban

yang sama. Nilai nilai yang terkandung dalam pancasila sila kedua antara lain adalah:

a. Manusia memiliki hak dan martabat yang sama dan sejajar.

24
Sahetapy J.E, 1982, Suatu Studi Kasus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan
Berencana, Jakarta, Rajawali Press, hlm 284
b. Timbulnya pengakuan bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang paling

sempurna.

c. Dengan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan akan mendapat perlakuan adil dari

dan kepada manusia lain.

d. Setiap manusia memiliki rasa solidaritas dan tenggang rasa yang tinggi sehingga

mereka tidak bisa bertindak seenaknya sendiri.

3. Sila ketiga, persatuan Indonesia. Terdapat nilai kesatuan pada sila ketiga ini. Makna

yang terkandung dalam pancasila sila ketiga merupakan wujud berupa tekat kuat dan

utuh yang berasal dari berbagai aspek kehidupan yang memiliki satu tujuan dan

tergabung menjadi satu yakni Indonesia. Sebagaimana makna yang terkadung dalam

sila ketiga pancasila yang berbunyi persatuan Indonesia memiliki makna dan nilai

persatuan.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan

pancasila. Dalam sila keempat ini terdapat nilai kerakyatan. Pancasila sila keempat

berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan" makna sila keempat pancasila menegaskan pada kita

bahwa segala proses pengambilan keputusan harus didasarkan pada asas musyawarah

sehingga dapat menciptakan kesepakatan bersama. Selain itu nilai pancasila sila

keempat juga menegaskan bahwa pemerintahan yang dilaksanakan berasal dari

rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

5. keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang di dalamnya terkadung nilai

keadilan sosial. Pancasila sila kelima berbunyi Keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. nilai sila kelima pancasila ini menegaskan bahwa dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara harus tercipta keseimbangan yang sesuai antara hak dengan

kewajiban. Serta sebagai anggota masyarakat sebangsa setanah air kita harus
menghormati hak-hak yang dimiliki orang lain, bersikap adil dan suka menolong

sesama jika diperlukan. Makna dan nilai lain yang terkandung dalam pancasila sila

kelima adalah:

a. Semua manusia memiliki derajat yang sama di mata hukum.

b. Mencintai segala jenis pembangunan demi kemajuan bangsa.

c. Tidak membeda bedakan manusia berdasarkan derajat dan golongan.

d. Adil dan bijaksana dalam segala tindakan.

Nilai-nilai Pancasila tersebut harus dilihat dari suatu kebulatan karena, meskipun nilai-

nilai tersebut dapat dibedakan, pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan.

Pidana kerja sosial ini jika dilihat dari sudut pandang pembangunan maka pidana kerja

sosial dapat merupakan konsep hukum sesuai folosofi bangsa Indonesia yaitu Pancasila,

dimana mungkin secara hukum perbuatan terpidana patut dihukum karena telah membuat

orang lain sengsara namun pada saat yang sama Negara tidak menghilangkan hak hukum

narapidana untuk melaksanakan kewajibannya terhadap keluarga yang ditinggal selama

menjadi narapidana dan menjalankan hukumannya di Lapas atau Rutan.

Oleh karenanya maka pidana kerja sosial yang akan diberlakukan di Indonesia dalam

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, perlu diberlakukan dengan

didasarkan filosofi dan Ideologi bangsa Indonesia yaitu memberi kemerdekaan setiap orang

dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, walaupun hal yang terkait

perikemanusiaan dan peri keadilan patut diperhitungkan dan patut dijaga, karena dari sanalah

perikemanusiaan dan keadilan dapat menjadi pintu gerbang kemerdekaan bagi semua orang

yang harus dijaga demi keutuhan dan kedaulatan bangsa Indonesia, baik dari kedaulatan

dalam penegakan hukum, maupun kedaulatan dalam menjaga kemakmuran rakyatnya,

termasuk melindungi masyarakatnya, memajukan kesejahteraan masyarakatnya,


mencerdaskan kehidupan masyarakatnya, dan juga menjaga ketertiban dan perdamaian

masyarakatnya.

Sesuai dasar inilah, maka pidana kerja sosial yang akan diberlakukan di Indonesia

patut memperhatikan dan patut diberlakukan secara berbeda dengan Negara lain, karena

Indonesia adalah Negara hukum yang di dasarkan atas Pancasila sebagai dasar pijakan

hukumnya dan dasar filosofi hidupnya bangsa Indonesia. Untuk itu pidana kerja sosial yang

diterapkan oleh Negara harus memperhatikan:

1) Asas Kewajiban dimana dalam melaksanakan tanggung jawab hukumnya atas

perbuatannya seorang narapidana yang telah merugikan kehidupan orang lain dan

juga tanggung jawabnya atas keluarganya sendiri, yang mana sebelum narapidana

melakukan perbuatan jahatnya terhadap orang lain, yang bersangkutan telah

memiliki kewajiban untuk menghidupi orang lain, seperti anak dan istrinya, kedua

orang tuanya atau orang-orang yang telah berada dibawah tanggung jawabnya

sebelum yang bersangkutan melakukan kejahatan.

2) Asas Hak Kebebasandalam melakukan suatu pekerjaan yang dapat memberi

narapidana kemampuan untuk melaksanakan tanggung jawabnya dalam memberi

hidup dan mungkin pendidikan kepada keluarga yang ditinggalkannya, kum

walaupun pada saat yang sama dia memiliki kewajiban untuk menjalani hukumannya

atas kejahatannya yang telah ia lakukan terhadap orang lain sebelumnya.

3) Asas Perlindungan Hukum, dimana pada bagian ini Negara harus mampu bertindak

tidak hanya memberi perlindungan kepada korban kejahatan, tetapi juga memberi

perlindungan hukum kepada narapidana yang telah melakukan kejahatan.

4) Asas Keadilan, dimana Negara harus adil dan secara patut memberikan hukuman

kepada narapidana pelaku narapidana sesuai kejahatan yang ia lakukan, namun

negarapun harus adil bahwa hukuman yang harus di dapatkan oleh seorang
narapidana adalah hukuman sesuai atau sebatas perbuatnnya, sedangkan hal lain

yang tidak berhubungan dengan tanggung jawab narapidana, maka Negara juga

wajib memberikannya kepada narapidana sesuai dengan hukum filosofi hukum

Indonesa adalah Pancasila

5) Asas Kepastian, dimana Negara wajib memberikan hukum bagi pihak korban

kejahatan dan juga memberikan kepastian hukum kepada pelaku kejahatan atau

narapidana, yaitu salah satunya Negara harus dengan tegas menghukum pelaku

sesuai dengan perbuatannya, tapi Negara juga harus memberi kesempatan bagi

narapidana atau pelaku kejahatan untuk memperbaiki perbuatannya dan

melaksanakan tanggungjawabnya terhadap keluargannya.

6) Asas Kedaulatan, dimana Negara wajib menentukan hukuman apa yang patut

dilaksanakan dan dapat diberlakukan secara efektif dalam membangun kesadaran

masyarakat menjadi masyarakat yang sadar hukum. Oleh karenanya pidana kerja

sosial harus diatur secara detail terutama dalam hal tata cara pelaksanaan pidana

kerja sosial sesuai dasar filosofi Negara Indonesia yaitu Pancasila.

Asas-asas tersebut selaras dengan Pancasila apabila dilihat dari tujuan pemidanaan

maka tujuan pemidanaan harus disesuaikan dengan mengedepankan prinsip-prinsip

pemidanaan dalam pandangan filsafat Pancasila yang dilakukan sesuai dengan budaya yang

dianut bangsa Indonesia dengan memperhatikan prinsip-prinsip berikut25.

1. Pengakuan manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa sehingga wujud

pemidanaannya tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama maupun

kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Pemidanaan terhadap seseorang

harus diarahkan pada penyadaran iman dari terpidana sehingga dapat bertobat

menjadi manusia yang beriman dan taat. Dalam hal ini, pemidanaan harus berfungsi

25
lihat Sahetapy sebagaimana dikutib Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1982.
sebagai pembinaan mental orang yang dipidana dan mentransformasikan terpidana

menjadi orang yang religius

2. Pengakuan terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai ciptaanTuhan.

Pemidanaan tidak boleh mencederai hak- hak asasinya yang paling dasar dan

jaminan atas hak hidup. Hak ini adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apapun (non derogable right) serta tidak boleh merendahkan martabatnya

dengan alasan apapun. Implikasinya adalah walaupun terpidana berada dalam

lembaga pemasyarakatan, unsur-unsur dan sifat perikemanusiaannya tidak boleh

dikesampingkan demi membebaskan yang bersangkutan dari pikiran, sifat,

kebiasaan, dan tingkah laku jahatnya.

3. Solidaritas kebangsaan dengan orang lain sebagai sesama warga bangsa. Pelaku harus

diarahkan pada upaya meningkatkan toleransi dengan orang lain,memumbuhkan

kepakaan terhadap kepentingan bangsa, dan mengarahkan untuk tidak melakukan

kejahatan. Dengan kata lain, pemidanaan perlu diarahkan untuk menanamkan rasa

kecintaan terhadap bangsa

4. Menumbuhkan kedewasaan sebagai warga negara yang berkhidmat, mampun

mengendalikan diri, disiplin, dan menghargai, serta menaati hukum sebagai wujud

keputusan rakyat

5. Menimbulkan kesadaran kewajiban setiap individu sebagai makhluk sosial yang

menjunjung keadilan bersama orang lain sebagai sesama warga masyarakat. Perlu

diingat bahwa pemerintah dan rakyat harus ikut bertanggung jawab untuk

membebaskan terpidana dari kemelut dan kekejaman kenyataan sosial yang melilitnya

menjadi pelaku tindak pidana.

Bahwa hal-hal tersebut, maka pidana kerja sosial yang akan berlaku di Indonesia tentu

memiliki kekhasan tersendiri dan terbangun berdasar kebiasaan bangsa Indonesia dengan
bernafaskan pada Pancasila.Jika dikaji lebih jauh maka korelasi antara ide pemasyarakatan

dengan pidana kerja sosial ini akan terlihat beberapa hal yakni :

a. Kesesuaian tujuan untuk kembali menjadikan seorang narapidana menjadi manusia

yang utuh dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabatnya. Adapun pidana

kerja sosial bertolak dari gagasan untuk tetap memanusiakan terpidana sebagai

manusia yang utuh. Karenanya hak dan kebebasannya tetap dihormati. Dengan

demikian jelas perbedaan keduanya tidak menghilangkan kesamaan esensinya, tetapi

hanya muncul dengan implementasinya yang berbeda. Pidana kerja Sosial muncul

dalam bentuk pidana luar lembaga, sedangkan ide pemasyarakatan muncul dalam

bentuk pidana dalam lembaga.

b. Ide pemasyarakatan pada hakekatnya merupakan ide melaksanakan pidana (penjara)

dengan tetap menjujnung tinggi harkat dan martabat sebagai manusia. Dilihat dari

sasaran yang demikian, maka ide pemasyarakatan pada hakekatnya mempunyai

sasaran yang sama dengan pidana kerja sosial. Dengan menempatkan terpidana dalam

kerangka kerja sosial juga dimaksudkan agar terpidana tetap dapat bersosialisasi

dengan masyarakat sekitarnya. Dengan demikian, terpidana tidak mengalami

dehumanisasi dan efek negatif lainnya akibat penerapan pidana dalam lembaga.

c. Ide pemasyarakatan menuntut perlakuan terhadap narapidana yang lebih manusiawi.

Tutuntan ini dilakukan antara lain dengan menempatkan terpidana sesuai dengan

beratnya tindak pidana yang dilakukan. Upaya ini dilakukan atas pertimbangan untuk

memperkecil kemungkinan komunikasi antara penjahat kelas kakap dengan para

penjahat pemula.Dengan demikian menghindarkan narapidana dari pengaruh buruk

serta nilai-nilai negative yang hidup dipenjara yang dapat menggangu sasaran dan

tujuan proses pembinaan sendiri. Dengan kata lain, ide pemasyarakatan juga

menghendaki terhindarnya narapidana terhadap prisonisasi.Maka terdapatlah


kesesuaian ide pemasyarakatan dengan pidana kerja sosial sebagai jenis pidana di luar

lembaga jelas akan menghindarkan terpidana dari kemungkinan prisonisasi, sehingga

akan membuka kemungkinan resiko munculnya residivis. Hal ini menunjukkan

pidana kerja sosial dapat menjadi salah satu alat yang dipakai dalam penggulangan

kejahatan di Indonesia.26

Manfaat pidana kerja sosial bagi pelaku adalah dapat meberikan kesempatan untuk
menyumbang kepada masyarakat dengan bekerja untuk masyarakat dan memberikan
kesempatan untuk mengembangkan sikap positif, keahlian, dan kepercayaan diri. Manfaat
pidana kerja sosial bagi lembaga atau institusi yang berperan serta menyediakan tempat untuk
melakukan pidana kerja sosial adalah memberikan pelaku kesempatan untuk ikut dalam
program-program masyarakat dan mempelajarinya dan tersedianya sukarelawan untuk
membantu di tempat kerja. Sementara itu, manfaat pidana kerja sosial untuk masyarakat luas
adalah pidana kerja sosial lebih ringan biayanya dengan mempekerjakan pelaku di dalam
masyarakat daripada memasukkannya ke penjara.

26
lihat Sahetapy dalam Djisman Samosir hlm 81, sebagaimana dikutip dalam Tongat Pidana Kerja Sosial
dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Penerbit: Djamban, Jakarta 2002, hlm 59
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Diadopsinya pidana kerja sosial dalam hukum pidana Indonesia yakni upaya untuk untuk
mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek, menjadikan pidana
kerja sosial sebagai alternatif pidana perarampasan kemerdekaan jangka pendek, pidana
kerja sosial merupakan alternative pidana yang tidak dibayar, pidana kerja sosial dapat
mengganti pidana penjara apabila terpidana gagal membayar denda, tim perancang
berusaha menangkap perkembangan-perkembangan dan kecenderungan-kecenderungan
positif dunia internasional yakni mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan,
menjadikan hukum pidana lebih fungsional dan manusiawi, biaya perampasan
kemerdekaan sangat besar. Kenyataan yang terjadi adalah bahwa biaya operasional yang
harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk membiayai hidup dan kebutuhan narapidana
sangatlah besar. Diadopsinya pidana kerja sosial tidak terlepas dari kenyataan bahwa
jumlah narapidana di lapas semakin bertambah dan lapas tidak mampu menampung
jumlah narapidana yang semakin banyak.
2. Diadopsinya pidana kerja sosial dalam sistem hukum pidana Indonesia tidak terlepas dari
tekad untuk menjadikan hukum pidana Indonesia yang tidak saja berorientasi pada
perbuatan tetapi juga berorientasi pada pelaku sekaligus. Selain itu diadopsinya pidana
kerja sosial tersebut juga merupakan upaya untuk menjadikan hukum pidana lebih
fungsional dan manusiawi, disamping sangat relevan dengan falsafah pemidanaan yang
sekarang dianut yaitu Indonesia pidana yang berasaskan tidak hanya pada falsafah
hukum yang bersifat penghukumana tetapi juga berasaskan kepada Pancasila yang lebih
bersifat pada morlaitas sistem perlakuan terhadap seorang narapidana, dengan harapan
sistem pemidanaan dapat diberlakukan tidak hanya bersifat punishment (pembebanan
hukuman), melainkan juga harus dapat bersifat treatment (pembinaan atau perbaikan
karakter) dari narapidana yang sedang menjalani hukuman.

3.2. Saran
1. Penerapan Pidana kerja sosial perlu dikembangkan sebagai alternatif pidana penjara

jangka pendek, karena pidana kerja sosial memenuhi unsur-unsur keeadilan bagi

pelaku dan korban, unsur pembinaan dan memberikan pelindungan kepada

masyarakat.
2. Perlu kiranya KUHP yang baru terus disosialisasikan terutama mengenai pasal
pidana kerja sosial yang merupakan pidana baru dinegara kita yang merupakan
alternatif pidana penjara jangka pendek, karena pidana kerja sosial sangat besar
manfaatnya demi terciptanya keadilan, kepastian, dan kemanfaatan khususnya bagi
masyarakat dan narapidana itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Agustinus Pohan, Pembaharuan Hukum Pidana, diakses dari www.antikorupsi.org pada 29


maret 2023
Barda Nawawi, 1995, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti
Barda Nawawi Arief, 2004, Sistem Pemidanaan dalam Ketentuan Umum Buku I RUU KUHP
Barda Nawawi Arief, 2009, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Semarang, Penerbit :
Universitas Diponegoro
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung
I Dewa Gede Admadja; Hukum Konstitusi; Setara Press 2010
Keputusan Seminar Kriminologi Ketiga, 26 dan 27 Oktober 1976
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Penerbit : Universitas
Diponegoro
Muladi,1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit: Universitas
Diponegoro, Semarang
Muladi,1986, Jenis-Jenis Pidana Pokok Dalam KUHP
Muladi, 1990, Proyeksi Hukum Pidana material Dimasa Yang Akan Datang, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum UNDIP, Semarang
Muladi, Lembaga Pidana Beryarat, Alumni Bandung
Peter Mahmud Marzuki 2013 Pengantar ilmu hukum; Penerbit Prenadamedia Group
Peter Mahmud Marzuki,2013, Pengantar Ilmu Hukum, Prenadamedia
Sudarto, 2011, Sebagaimana dikutip dalam Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana,Jakarta, Kencana
Sudarto 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru, hal.66
Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni Bandung
Sudarto, 1996, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung
Sahetapy J.E, 1982, Suatu Studi Kasus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap
Pembunuhan Berencana, Jakarta, Rajawali Press
Sahetapy 1982 sebagaimana dikutib Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung,

Togat, 2021, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:
Djambatan

Anda mungkin juga menyukai